Anda di halaman 1dari 72

PENGARUH RITUAL ADAT SEWU API TERHADAP KEHIDUPAN

MASYARAKAT PETANI DI DESA MUKUSAKI

(Studi di Desa Mukusaki, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagaian Dari Persyaratan

Guna Penyelesaian Program Studi Ilmu Pembangunan Sosial

OLEH :

MARIA DESTINA LANU

NIM: 1785/R.IS/17

PROGRAM STUDI PEMBANGUNAN SOSIAL

SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT (STPM)

SANTA URSULA

ENDE

2021
HALAMAN PERNYATAAN

Yang bertandatangan dibawah ini:

Nama : Maria Destina Lanu

NIM : 1785/R.IS/17

PRODI : Ilmu Pembangunan Sosial

PTS : Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa

Ursula Ende

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Isi dari skripsi yang saya buat adalah benar-benar karya saya sendiri dan tidak

menjiplak karya orang lain, selain nama-nama yang termaksud dalam isi dan

tertulis di daftar pustaka dalam skripsi ini.

2. Apa bila di kemudian hari ternyata skripsi yang saya tulis terbukti hasil

jiplakan, maka saya akan bersedia menanggung segala resiko yang diberikan

oleh lembaga Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula

Ende.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran.

Ende, ...........2021

Yang menyatakan,

Maria Destina Lanu


NIM: 1785/R.IS/17

i
HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama : Maria Destina Lanu

NIM : 1785/R.IS/17

PRODI : Ilmu Pembangunan Sosial

PTS : Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa

Ursula Ende

Judul Skripsi : Pengaruh Ritual Adat Sewu Api Terhadap Semangat Bertani

Masyarakat Penggarap di Desa Mukusaki, Kecamatan

Wewaria, Kabupaten Ende (Studi di Desa Mukusaki,

Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende)

DISETUJUI DAN DITERIMA

Ende, ............2021

Mengetahui

Ketua Program Studi

Pembangunan Sosial Dosen Pembimbing

Domitius Pau,S.sos,MA Drs. Abraham Badu,M.Si

ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

Pengaruh Ritual Adat Sewu Api Terhadap Semangat Bertani Masyarakat


Penggarap di Desa Mukusaki, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende
(Studi di Desa Mukusaki, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende)

Dipersiapkan dan disusun oleh :


Maria Destina Lanu
NIM: 1785/R.IS/17

Telah dipertahankan di depan dewan penguji

Pada tanggal............2021

Penguji I : : ……………………

Penguji II : : ……………………

Penguji III : : ……………………

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Pembangunan Sosial (S. Sos)
Ende,............... 2020
Ketua STPM Santa Ursula Ende

Ngea Andreas, S.Sos. M.Si

iii
MOTO

Kesuksesan yag diraih saat ini merupakan sebuah

pengorbananku pada hari yang lalu serta

dijadikan sebagai perjuanganku untuk mencapai

CITA-CITA di hari depan

iv
HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya tulis ilmiah ini ku persembahkan kepada :

1. Kedua Orang Tuaku, Bapak Thomas Tongge dan Mama Wihelmina Wio

yang dengan cintanya telah melahirkan, membesarkan,mendidik,dan

membiayai peneliti

2. Om Leonardus Lobho,Bapak Martin,Mama Rofi,Bapak Thimoteus

Tongge,Mama Lutfina Lanu,Mama Monika Noni,Mama Dominika

Bae,Nenek Maria Meti,Mama Toji, Om Dominkus Heri,Bibi Ermelinda

Meti,Bapak Bonafansius Ware,Mama Bernadeta Toji yang selalu

mendukung

3. Kakak Tercinta Sherlina Uke, Bernabas F.Lengga, Radimans Sika,

Kanisius Salu, Firmina Sobhu, Sebastianus Ratu, Andi Longge, Man,

Josevina, (Alm) Ambrosius Sika, Fiktor Ano Weroh, Finsensius Mboy,

Delfina Lanu, Olivia Senggo, Yosef Ano Gere yang ikut mendukung dan

setia menyangi peneliti

4. Adik tersayang, Rifaldo, Kadi, Gaya, Alfes, Ristin, Paji, Lega, Kero,

Arlan, Putra, Eka, Tika, Titin, Yani Greis, Rein, Rista, Alan, Irma, Marni,

Azkal, Alfares, Gilbert Sika yang selalu menghibur peneliti.

5. Teman-teman seperjuanganku yang semuanya tidak bisa peneliti sebutkan

satu persatu, yang telah memberi dorongan untuk peneliti baik suka

maupun duka dalam menuliskan karya ilmiah ini yang tak pernah peneliti

lupakan.

v
6. Bapak Dosen Pembimbing Drs. Abraham Badu, M.Si yang telah

membimbing, mendorong serta membantu dan mengarahkan peneliti

dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Almamater tercinta Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM)

Santa Ursula Ende yang memberikan kesempatan kepada peneliti untuk

menimbah ilmu, hingga menyandang gelar sarjana Ilmu Sosiatri (S.SOS).

vi
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena

atas berkat,limpahan rahmat serta bimbimbingannya. Penulis menyadari diri

sebagai makluk yang tidak sempurna.

Penulis menyadari bahwa penulisan untuk karya ilmiah tidaklah mudah,

oleh karena itu tidak menuntut kemungkinan dalam penyusunan skripsi ini

terdapat kekurangan, sehingga penulis sangat mengharapkan masukan, saran dan

kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai rintangan dan

hambatan mulai dari pengumpulan literatur, pengumpulan data sampai pada

pengelolaan dan analisis data maupun dalam tahap penulisan. Namun demgan

kesadaran dan ketekunan yang dilandasi dengan rasa tanggung jawab selaku

mahasiswa dan juga bantuan dari berbagai pihak baik materi maupun moril.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, izinkan penulis mengucapkan rasa

syukur dan terima kasih yang berlimpah kepada :

1. Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula

Ende, staf pengajar dan pegawai yang telah memberikan bantuan dan

dorongan baik dalam proses perkuliahan maupun dalam menyelesaikan

tulisan ini.

2. Bapak Dosen Pembimbing DRS. Abraham, Badu M.Si yang telah

membimbing, mendorong serta membantu dan mengarahkan tulisan dalam

menyelesaikan skripsi ini.

vii
3. Dewan penguji (I,II,III) yang telah memperkaya penulis dalam proses

pertanggungjawaban hasil penelitian dengan kritis dan ilmiah.

4. Kepada Desa Mukusaki, dan Pemerintah Desa lainnya, Kepala Adat serta

Masyarakat yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk penulis

dalam rangka mengumpilkan data yang berkaitan dengan judul karya

ilmiah ini.

5. Orang Tua, Keluarga dan Teman-teman seperjuangan ku yang semuanya

tidak biasa penulis sebutkan satu per satu yang telah memberi dorongan

untuk penulis dalam suka dan duka dalam penyelesaian karya ilmiah ini

yang tak terlupakan.

6. Kepala Desa Mukusaki, dan Masyarakat Desa Mukusaki yang telah

membantu penulis dalam melaksanakan penelitian ini.

Selain itu, peneliti juga menyampaikan permohonan maaf yang sedalam-

dalamnya jika peneliti telah banyak melakukan kesalahan baik dalam bentuk

ucapan maupun tingka laku semenjak peneliti menginjakkan kaki pertama kali di

Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat ini hingga selesai studi penulisan ini.

Semua ini murni dari peneliti sebagai manusia baiasa yang tak pernah luput dari

kesalahan.

Akhirnya peneliti berharap bahwa apa yang di sajikan dalam skripsi ini

dapat bermenfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Semoga kesemuanya

dapat bernilai bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................

HALAMAN PERNYATAAN.................................................................................i

HALAMAN PERSETUJUAN..............................................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI..............................................................iii

MOTTO.................................................................................................................iv

HALAMAN PERSEMBAHAN.............................................................................v

KATA PENGANTAR..........................................................................................vii

DAFTAR ISI ..........................................................................................................x

DAFTAR TABEL...............................................................................................xiii

DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................xiv

ABSTRAK............................................................................................................xv

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1......................................................................................................Latar Belakang

............................................................................................................................1

1.2.................................................................................................Rumusan Masalah

............................................................................................................................6

1.3..................................................................................................Tujuan Penelitian

............................................................................................................................6

1.4................................................................................................Manfaat Penelitian

...........................................................................................................................6

ix
1.5.....................................................................................Ruang Lingkup Penelitian

............................................................................................................................7

BAB II LANDASAN TEORI................................................................................8

2.1. Teori yang Relevan...........................................................................................8

2.1.1. Teori yang Relevan......................................................................................8

2.2. Tinjauan Pustaka.............................................................................................10

2.2.1. Ritual..........................................................................................................10

2.2.2. Adat...............................................................................................................11

2.2.3. Sewu Api......................................................................................................11

2.2.4. Proses Ritual Sewu Api................................................................................12

2.2.5. Masyarakat....................................................................................................13

2.2.6. Petani............................................................................................................14

BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................17

3.1. Jenis Penelitian................................................................................................17

3.2. Unit Analisis..................................................................................................17

3.3. Narasumber.....................................................................................................18

3.4. Teknik Pengumpulan Data..............................................................................18

3.5. Skema Data.....................................................................................................20

3.6. Teknik Analisis Data.......................................................................................21

3.7. Lokasi Penelitian.............................................................................................22

3.8. Waktu Penelitian.............................................................................................22

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITAN..................................23

4.1. Profil Desa...................................................................................................23

x
4.1.1. Sejarah Desa..............................................................................................23

4.2. Keadaan Geografis........................................................................................23

4.3. Keadaan Demografi......................................................................................25

4.4. Keadaan Sosial Budaya................................................................................27

BAB V PEMAPARAN DAN ANALISIS DATA...............................................29

5.1. Pemaparan Data..............................................................................................29

5.1.1. Pandangan terhadap Adat Budaya di Desa Mukusaki...............................29

5.1.2. Pengaruh Religius bagi Semangat Bertani Masyarakat...............................33

5.1.3. Respon Masyarakat terhadap Kehidupan Sosial...........................................36

5.2. Analisis Data...................................................................................................40

5.2.1 Pandangan terhadap Adat Budaya di Desa Mukusaki...............................40

5.2.2 Pengaruh Religius bagi Semangat Bertani Masyarakat................................42

5.2.3 Respon Masyarakat terhadap Kehidupan Sosial...........................................43

BAB VI PENUTUP..............................................................................................45

6.1. Kesimpulan.....................................................................................................45

6.2. Saran............................................................................................................... 46

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xi
DAFTAR TABEL

Tabel. 1 Skema Data..............................................................................................19

Tabel . 2 Topgrafi Desa..........................................................................................24

Tabel . 3 Luas Wilayah..........................................................................................24

Tabel . 4 Orbitasi (jarak dari pusat pemerintahan).................................................25

Tabel . 5 Jumlah dan Kepadatan Penduduk...........................................................25

Tabel . 6 Data Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin...........................................25

Tabel . 7 Menurut Mata pencaharian.....................................................................26

Tabel . 8 Agama/Aliran Kepercayaan....................................................................26

Tabel . 9 Data Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan...................................27

xii
DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Ijin Penelitian dari Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM)

Santa Ursula Ende

2. Surat Rekomendasi Penelitian dari Dinas Penanaman Modal, Pelayanan

Terpadu Satu Pintu dan Ketenagakerjaan Kabupaten Ende

3. Surat Keterangan Selesai Penelitian dari desa Mukusaki, kecamatan Wewaria,

Kabupaten Ende

xiii
ABSTRAK

Skripsi berjudul: PENGARUH RITUAL ADAT SEWU API


TERHADAP KEHIDUPAN BERTANI MASYARAKAT PENGGARAP
(Studi di Desa Mukusaki, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende).
Kebudayaan adalah yang kompleks yang mencakup
pengetahuan,kepercayaan ,kesenian,moral,hukum,adat istiadat,dan kemampuan-
kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai
anggota masyarakat. Secara sosiologi upacara adat yang dilakukan oleh
masyarakat adat Mukusaki memperlihatkan sebuah kehidupan manusia yang ada
di bumi. Acara pesta adat nggua sewu api merupakan acara yang berkaitan
dengan diri kita sendiri (tebo) mulai lahir hingga dewasa, hidup, kawin dan mati,
serta upacara yang berkaitan dengan kehidupan bekerja untuk mewujudkan gae
ola kema tau ola muri (kesejahteraan manusia). Makna dalam pelaksanaan nggua
sewu api bertujuan untuk mengenalkan pengetahuan tentang nilai-nilai budaya
untuk bisa diwarisi pada generasi muda, dengan harapan ikut melestarikan secara
kreatif dan sesuai dengan perubahan jaman.Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh pelaksanaan ritual adat sewu api terhadap semangat bertani
masyarakat penggarap dan mengetahui profil desa Mukusaki..
Peneliti menggunakan teori tindakan sosial yang di kemukakan oleh Max
Weber tentang 3 (tiga) tindakan,yakni:(1) Tindakan Tradisional; (2) Tindakan
Instrumental Rasional (zweckrational); (3) TindakanValue-Rational
(Wertrational). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif. Sehingga data yang telah terkumpul kemudian dianalisis melalui
tahapan-tahapan analisis data deskriptif kualitatif yang hasilnya disampaikan
secara deskriptif kualitatif. Untuk mendapatkan informasi dan data yang di
perlukan dalam peneltian ini,maka peneliti menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data yakni; Wawancara,Dokumentasi,dan Observasi. Penelitian ini
bermaksud menggambarkan dan menjelaskan pengaruh ritual adat sewu api
terhadap semangat bertani masyarakat penggarap di Desa Mukusaki, sehingga
indikator budaya, indikator religius, serta indikator sosial dijadikan sebagai tren
data dalam melakukan analisis hasil temuan di lapangan.

xiv
Berdasarkan hasil penelitian dan temuan-temuan di lapangan, maka
penyimpulan akhir tentang pengaruh ritual adat sewu api terhadap semangat
bertani masyarakat penggarap di desa Mukusaki, kecamatan Wewaria, kabupaten
Ende (studi di desa mukusaki, kecamatan Wewaria, kabupaten Ende) secara
umum telah dilakukan oleh para leluhur dari dulu sebagai bentuk permohonan
sekaligus ucapan syukur atas segala hasil pertanian yang cukup selama setahun,
selain itu berdasarkan hasil wawancara dengan mosalaki setempat dapat
disimpulkan bahwa pengaruh ritual adat sewu api dipercaya dapat memberikan
hasil bertani yang melimpah.

Kata Kunci: Ritual adat, Sewu Api, Penggarap

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebudayaan adalah sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan

kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-

kemapuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai

anggota masyarakat. Dengan kata lain kebudayaan mencakup semua yang

didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku

yang normatif, artinya mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir,

merasakan, dan bertindak (Soekanto, 1982:150).

Mempelajari kebudayaan berarti memahami kenyataan hidup suatu

masyarakat dimana kebudayaan masyarakat merupakan hasil berpikir,

bertindak, dan hasil karya dalam kehidupan. Masyarakat adalah pencipta dan

pendukung kebudayaan tersebut. Kebudayaan juga merupakan sebuah

pewarisan dari nenek moyang sejak dahulu kala kepada generasi secara turun-

temurun dari masa ke masa untuk dilestarikan dan dikembangkan. Selain itu

kebudayaan juga merupakan suatu pandangan hidup masyarakat, yang perlu

diwariskan agar tidak punah atau hilang dari kehidupan masyarakat atau suatu

wilayah. Kebudayaan suatu daerah tentu tidak terlepas dari asal mula

kebudayaan itu pada masa lampau. Semua tradisi dan unsur budaya yang

mampu melawan jaman akan dapat berkembang mengiringi waktu. Hal ini

1
dipertahankan sebagai salah satu norma kehidupan yang berperan

mengarahkan keberagaman dalam lingkungan (Koenjaraningrat, 2009:164).

Di dalam menjalin hubungan dengan alam, manusia mengalami

perkembangan budaya yang disesuaikan dengan kebutuhan hidup secara

evolusioner. Berawal dari food gathering kemudian mengenal food

producing. Kegiatan pertanian ini menunjukkan berbagai keanekaragaman,

baik dalam segi tanaman, pemilikan tanah, motif ekonomi, kebudayaan,

teknologi dan lingkungan yang mempengaruhi pertanian (Wolf, 1985: 2).

Sejalan dengan hal tersebut kita tahu bahwa, gaya hidup masyarakat petani

tradisional sangatlah menjunjung tinggi tali persaudaraan, bersifat ramah,

senang gotong-royong, dengan kekerabatannya yang erat, kehidupan

sederhana, menganut sistem ekonomi tradisional yang bersifat subsistem,

serta konsepsi masyarakat mengenai upacara adat yang sakral dan sangat

penting untuk dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan

Yang Maha Kuasa atas segala yang telah diberikan.

Namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan teknologi yang

pesat, gaya hidup masyarakat petani desa mulai berubah menjadi sistem

ekonomi pasar. Artinya kegiatan ekonomi dimaksudkan untuk membuat

keuntungan sebesar-besarnya. Hasil panen dijual ke pasar luas, memiliki sifat

individualis, dengan kekerabatan yang mulai renggang, semakin materialistis,

serta memudarnya konsepsi upacara keagamaan. Upacara keagamaan tersebut

berarti tidak terlalu penting untuk dilaksanakan, karena keberhasilan panen

2
hanya ditentukan oleh ilmu pengetahuan, bukan ditentukan oleh hal-hal mistis

atau gaib.

Sebagai media komunikasi tradisional seperti suku Lio di Kabupaten

Ende, suku Lio juga merupakan salah satu suku yang dipengaruhi oleh

sejarah masuknya Islam di Ende. Pengaruh tersebut disebabkan oleh kaum

pedagang yang berada diwilayah pesisir selatan, dimana pada saat itu

merupakan lokasi bermukimnya suku Ende, sehingga terjadi pencampuran

kebudayaan. Suku nga’o dipengaruhi oleh wilayah kabupaten Ende yang

berbatasan dengan kabupaten Nagekeo.Suku nga’o ini tersebar disekitaran

wilayah kecamatan Nangapanda dan kecamatan Maukaro.

Suku Lio sendiri banyak terdapat dibagian timur dari wilayah kabupaten

Ende, berbanding dengan kedua suku yang ada di wilayah kabupaten Ende,

Suku Lio masih mempertahankan budaya dari nenek moyangnya. Hal ini

dapat dilihat dari adanya upacara-upacara adat yang dilaksanakan oleh suku

Lio. Suku Lio yang masih mempertahankan budayanya adalah di desa adat

Mukusaki. Kegiatan upacara adat yang dilakukan setiap tahun mulai dari

bulan Desember sampai dengan puncak acara adat di bulan Januari yang

dinamakan upacara Sewu api.

Sewu api menurut Mosalaki (ketua adat) adalah salah satu upacara yang

bertujuan untuk memberikan kesejukan (keta ngga) terhadap setiap lahan

garapan fai walu ana kalo hal ini dapat terjadi karena menurut kepercayaan

adat memberi makan nenek moyang dengan hasil panen dai lahan bertanu

maka lahan bertani tersebut akan menjadi sejuk atau menjadi lahan yang

3
memiliki hasil berlimpah. Sewu api dapat diartikan sebagai seremoni adat

yang berkaitan dengan kehidupan manusia dengan dirinya demi kesejahteraan

hidup dan hubungannya dengan alam dan sang pencipta. Sewu api bisa

bermakna upacara adat untuk mengucapkan terima kasih dan syukur kepada

Dia (kepercayaan asli suku Lio yaitu Du’a Ngga’e) yang tertinggi atau pesta

syukuran seusai panen. Upacara adat sewu api merupakan sebuah rangkaian

ritual yang dimulai sejak awal membuka kebun baru hingga berujung pada

nggua ria dan di tutup dengan tarian gawi. Tarian gawi merupakan simbol

semangat persaudaraan, sepenanggungan dan luapan rasa syukur serta

penghormatan kepada sang pencipta, leluhur dan alam yang telah

memberikan kehidupan.

Secara sosiologi upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat adat

Mukusaki memperlihatkan sebuah kehidupan manusia yang ada di bumi.

Acara pesta adat nggua sewu api merupakan acara yang berkaitan dengan diri

kita sendiri (tebo) mulai lahir hingga dewasa, hidup, kawin dan mati, serta

upacara yang berkaitan dengan kehidupan bekerja untuk mewujudkan gae

ola kema tau ola muri (kesejahteraan manusia). Upcara nggua sewu api

merupakan tradisi yang harus tetap di lestarikan dan di jaga, hal ini berkaitan

dengan nilai–nilai kearifan lokal yang ada.

Adanya ritual nggua sewu api tersebut menjadikan warga masyarakat

desa Mukusaki bertambah semangat dan lebih percaya diri serta meyakini

bahwa desa Mukusaki memiliki banyak potensi yang luar biasa dengan

melakukan upacara nggua sewu api setiap tahun pada akhir Desember sampai

4
awal bulan Januari tahun berjalan. Masyarakat di desa Mukusaki masih

sangat menjaga adat istiadat mereka. Makna dalam pelaksanaan nggua sewu

api bertujuan untuk mengenalkan pengetahuan tentang nilai-nilai budaya

untuk bisa diwarisi pada generasi muda, dengan harapan ikut melestarikan

dengan kreatif dan sesuai dengan perubahan zaman.

Masyarakat desa Mukusaki, dengan adanya upacara sewu api

bersemangat untuk: (1) Dokumentasi kembali seluruh proses upacara adat

serta menghidupkan kembali seluruh rangkaian yang diwarisi oleh leluhur.

Para mosalaki (ketua adat) mulai membenahi struktur kelembagaan adat,

sejarah adat, asal usul adat dan sejarah tanah adat mukusaki; (2) Mewarisi

seluruh proses ritual adat kepada generasi penerus agar tetap terjaga dan terus

melestarikannya dan juga bersemangat membangun kampung adat untuk

menghadap arus perubahan zaman; (3) Melakukan penataan kampung

Mukusaki sebagai ikon pariwisata dengan tidak menghilangkan kebudayaan

asli masyarakat kampung Mukusaki.

Upacara sewu api setiap tahun terus dijalankan oleh masyrakat di desa

Mukusaki, yang mana upacara ini hanya dilakukan oleh masyarakat Lio yang

ada di kabupaten Ende. Sehingga memberikan perbedaan yamg tidak dapat

ditemui pada daerah-daerah lain khususnya di kabupaten Ende maupunn

wilayah Flores umumnya. Hal ini membuat Peneliti lebih tertarik dan

memilih tema kajian mengenai ritual nggua sewu api. Ritual nggua sewu api

ini sudah tergolong langkah.

5
Upacara ritual nggua sewu api merupakan ritual khas di suku Lio yang

ada di desa Mukusaki. Pemilihan didasarkan pada pertimbangan bahwa objek

tersebut dapat digunakan sebagai bentuk komunikasi dalam masyarakat adat

suku Lio. Sejak zaman dahulu sampai sekarang kebudayaan masyarakat suku

Lio dapat diterima, dipelihara, diwariskan dan dikembangkan secara turun

temurun. Perayaan upacara ritual nggua sewu api selalu menjadi pusat

perhatian masyarakat maupun masyarakat luar desa Mukusaki. Berdasarkan

uraian tersebut diatas peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian

dangan judul: “Pengaruh Ritual Adat Sewu Api Terhadap Kehidupan

Bertani Masyarakat penggarap di Desa Mukusaki, Kecamatan Wewaria,

Kabupaten Ende”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas,maka yang menjadi permasalahan

dalam penelitian ini adalah: apa pengaruh ritual adat sewu api terhadap

semangat bertani masyarakat penggarap di desa Mukusaki?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

 Pengaruh pelaksanaan ritual adat sewu api terhadap semangat bertani

masyarakat penggarap di desa mukusaki

 Profil Desa Mukusaki

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini, yaitu:

6
1. Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan bacaan atau bahan kajian

yang akan menambah wawasan pengetahuan dan sebagai salah satu

syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Pembangunan

Masyarakat (STPM) Santa Ursula Ende.

2. Penelitian ini dapat menjadi referensi dan pengetahuan khususnya

mengenai ritual sebagai bentuk komunikasi tradisi dalam merayakan

syukuran maupun memohon pada leluhur

3. Sebagai upaya pelestarian tradisi lokal yang dimiliki oleh Mayarakat desa

Mukusaki, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk memperoleh hasil penelitian dan pembahasan yang tepat maka

perlu ditetapkan ruang lingkup masalah. Hal ini dimaksudkan agar

pembahasan dan penulisan terfokus pada masalah yang di tetapkan. Adapun

ruang lingkup dari permasalahan penelitian ini adalah pengaruh pelaksanaan

ritual adat nggua sewu api terhadap semangat bertani masyarakat penggarap

di desa Mukusaki, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende.

7
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Teori yang Relevan

Untuk tulisan ini lebih lanjut, berdasarkan rumusan masalah sebagaimana

di rumuskan pada bagian pendahuluan maka peneliti menggunakan teori

tindakan sosial Max Weber yang relevan yang digunakan untuk menganalisis

pelaksanaan ritual adat sewu api yang terjadi di Desa Mukusaki, Kecamatan

Wewaria, Kabupaten Ende.

2.2.1. Teori Tindakan Sosial Max Weber

Tindakan sosial Max Weber (Pip Jones, 2003: 115) berorientasi

pada motif dan tujuan pelaku. Dengan menggunakan teori ini dapat

memahami perilaku setiap individu maupun kelompok bahwa masing-

masing memiliki motif dan tujuan yang berbeda terhadap sebuah tindakan

yang dilakukan. Teori ini bisa digunakan untuk memahami tipe-tipe

perilaku tindakan setiap individu maupun kelompok. Dengan memahami

perilaku setiap individu maupun kelompok, sama halnya menghargai dan

memahami alasan-alasan mereka dalam melakukan suatu tindakan.

Sebagaimana diungkapkan oleh Weber, cara terbaik untuk memahami

berbagai kelompok adalah menghargai bentuk-bentuk tipikal tindakan

yang menjadi ciri khasnya. Sehingga dapat memahami alasan-alasan

mengapa warga masyarakat tersebut bertindak.

8
Weber (Pip Jones, 2003: 115) melakukan klasifikasi dari tipe

tindakan yang dibedakan dalam konteks motif para pelakunya yaitu:

1. Tindakan Tradisional

Tindakan tradisional terjadi ketika tujuan dan sarana tindakan

ditetapkan oleh adat dan tradisi. Apa yang penting dari tindakan

tradisional adalah bahwa tujuan akhir diambil begitu saja dan

tampaknya wajar bagi aktor yang bersangkutan karena mereka tidak

dapat memahami kemungkinan tujuan alternatif. Ini adalah tindakan

yang dipandu oleh adat istiadat dan kepercayaan jangka panjang yang

menjadi kebiasaan.

2. Tindakan Instrumental Rasional (Zweckrational)

Tindakan instrumental rasional ditentukan berdasarkan harapan

terhadap perilaku orang lain atau melibatkan pluralitas sarana sebagai

syarat untuk mencapai tujuan. Dengan cara ini tindakan menjadi

sangat instrumental. Tindakan zweckrational adalah membandingkan

tingkat rasionalitas yang ditunjukan oleh individu-individu.

Bagaimana seseorang mempertimbangkan cara apa yang digunakan

sebagai syarat atau kriteria untuk mencapai satu tujuan ekonomi

atau materi.

3. Tindakan Value-Rational (Wertratonal)

Tindakan itu rasional dikaitkan dengan kesadaran akan nilai tertentu.

Tindakan ini terjadi ketika individu menggunakan rasional, yaitu cara

9
mencapai tujuan berbasis nilai etika, estetika, agama atau bentuk

perilaku lain yang terlepas dari prospek keberhasilan.

Dari klasifikasi tindakan tersebut, selanjutnya akan peneliti

gunakan untuk menganalisis fenomena pada tradisi sewu api, guna

memahami motif dan tujuan dari para pelaku tradisi yang sampai dengan

saat ini masih tetap menjaga dan melestarikannya.

2.2.Tinjauan Pustaka

2.2.1. Ritual

Ritual adalah bagian dari tingkah laku religius yang masih aktif

dan bisa diamati, misalnya pemujaan nyanyian, doa-doa, tarian dan lain-

lain. Ritual memiliki sifat yang sakral, seperti penggunaan benda-benda

sakral dalam ritual, yang tidak tergantung pada ciri-ciri hakiki dari benda

tersebut, tetapi tergantung kepada sikap mental dan emosional kelompok

masyarakat pemeluk kepercayaan tersebut, bisa dipahami melalui

pengamatan langsung terhadap ritual yang dilangsungkan oleh masyarakat

penganutnya (Sumerta, dkk. 2013:18).

Sementara Koenjaraningrat (1980:32), memandang ritus sebagai

pelaksanaan upacara khusus demi lancarnya komunikasi antara manusia

dengan dewa-dewi atau nenek moyang dan juga sebagai simbol dari suatu

kenyataan yang didasarkan atas suatu peraturan yang sewenang-wenang

atau simbol dari perhubungan suatu masyarakat dengan suatu yang

merupakan realitas rohani kepada nilai-nilai tertinggi dari suatu

komunikasi atau masyarakat.

10
2.2.2. Adat

Adat adalah aturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan

terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai

dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat pendukungnya (Koentjaraningrat,

2009:158-160). Di Indonesia aturan-aturan tentang segi kehidupan

manusia tersebut menjadi aturan-aturan hukum yang mengikat yang

disebut hukum. Adat menjelaskan bahwa merupakan suatu bentuk

perwujudtan dari kebudayaan, kemudian adat digambarkan sebagai tata

kelakuan. Adat merupakan sebuah norma atau aturan yang tidak tertulis,

akan tetap keberadaanya sangat kuat dan mengikat sehingga siapa saja

yang melanggarnya akan dikenakan sangsi yang berlaku.

Menurut Rahman (2011:68) dengan adat manusia mulai

menyesuaikan diri terhadap lingkungannya untuk mengembangkan

kearifan lingkungan berupa pengetahuan, norma adat yang berlaku. Adat

istiadat dapat mencerminkan jiwa suatu masyarakat atau bangsa dan

merupakan suatu kepribadian dari suatu masyarakat atau bangsa. Tingkat

pendapatan, cara hidup yang moderen seseorang tidak dapat

menghilangkan tingkah laku atau adat istiadat yang hidup dan berakar

dalam masyarakat.

2.2.3. Sewu Api

Berdasarkan hasil wawancara dengan mosalaki setempat maka

diperoleh pengerian bahwa Sewu api bahasa Lio berarti memadamkan api.

Sewu api merupakan sebuah upacara adat,yang diselenggarakan setiap

11
akhir tahun oleh suku Lio, yang sebagian besar warganya mendiami

daerah sepanjang pesisir utara kabupaten Ende khususnya di desa

Mukusaki, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende. Upacara sewu api

bertujuan untuk mengakhiri musim kemarau dan mengawali musim tanam.

Selain itu, acara ini untuk syukuran atas keberhasilan sekaligus

mendoakan kesuburan pada musim tanam yang akan datang. Pelaksanaan

sewu api dari salah satu kelompok adat suku Lio yakni embu lesu dengan

pimpinan tertingginya atau mosalaki pu’unya.

2.2.4. Proses Ritual Adat Sewu Api

Penyelenggaraan utama kegiatan ini adalah pemimpin adat

(mosalaki).Struktur pemimpin adat terdiri dari kepala adat atau mosalaki

pu’u, petinggi adat atau mosalaki ria bewa (semacam perdana menteri),

serta melibatkan masyarakaat umum, yakni para peenggaarap lahan

pertanian yang disebut ana kalo fai walu. Dalam struktur adat, mosalaki

pu’u dan mosalaki riabewa adalah pemegang hak ulayat atas tanah-tanah

adat. Berdasarkan hasil wawancara dengan mosalaki setempat diketahui

bahwa Sewu api biasanya dilaksanakan sepanjang akhir bulan Desember,

biasanya sesudah hari raya natal hingga satu Januari. Sebelum acara inti

pada 1 Januarai, pada tanggal 29 sampai 30 Desember ana kalo wai walu

(penggarap), yang kerja di hak ulayat adat (toko wolo tanah watu) wajib

antar (tu), beras (are wati), sebotol tuak(moke boti), serta uang untuk

membeli babi yang telah di sepakati bersama. Hal ini di buat sebagai

simbol hasil kerja penggarap selama satu tahun ke mosalaki. Pada tanggal

12
31 Desember moslaki pu’u melakukan seremonial adat yaitu memberi

sesajian pada leluhur (pati ka tana watu dan kubur nenek moyang di

tempat-tempat yang jauh). Adapun sesajian yang dibawah pada 31

Desember yaitu :

 Ra wawi dan ra rusa (darah babi dan darah kambing)

 Pare bara (beras yang belum dimasak)

 Nata,oka,keu, dan bako ba’i (siri,kapur,pinang,dan rokok kampong)

 Wea (emas).

Disaat hari puncak pada tanggal 1 Januari,semua ana kalo fai

walu,wajib turun ke tempat ritual adat untuk melakukan tarian gawi

selama tiga puluh menit(30 menit), selesai tarian gawi, seluruh peserta

tarian gawi atau pun para penggarap diundang untuk makan bersama. Usai

makan bersama mosalaki memberikan pengumuman (gu poi) tentang

waktu untuk penggarap (ana kalo fai walu) beraktifitas (dhawe kema ogo

uma). Dalam waktu yang ditentukan, penggarap (ana kalo fai walu) tidak

melakukan aktivitas di kebun, penggarap (ana kalo fai walu) hanya

berdiam di rumah atau melakukan aktifitras dirumah seperi makan ( ka),

tidur (eru), dan duduk bersama (mera bego).

2.2.5. Masyarakat

Masyarakat adalah keseluruhan antara hubungan-hubungan antar

manusia. Robert M. Mclver (Miriam Budiardjo, 2008:46) mengatakan:

“Masyarakat adalah suatu sistem hubungan-hubungan yang ditata (Society

means a system of arderedrelations)”.

13
Biasanya anggota-anggota masyarakat menghuni suatu wilayah

geografis yang mempunyai kebudayaan-kebudayaan dan lembaga-lembaga

yang kira-kira sama. Dalam masyarakat yang seperti ini anggota

masyarakat dapat berinteraksi satu sama lain karena faktor budaya dan

faktor agama, dan/atau etnis.

Harold J. Laski (Miriam Budiardjo, 2008:34), masyarakat adalah

“sekelompok manusia yang hidup bersama dan bekerjasama untuk

mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama” (A society is

a group of human beings living together and working together for the

satisfaction of their mutual wants).

Dari pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat

merupakan kumpulan individu-individu yang kemudian hidup secara

berkelompok dan saling berdampingan berkumpul untuk berinteraksi. Jika

manusia dibiarkan mengejar kepentingannya masing-masing bersaing

secara bebas tanpa terbatas, maka akan timbul keadaan yang penuh

pertentangan yang dapat merugikan masyarakat keseluruhannya.

2.2.6. Petani

Petani adalah masyarakat yang tinggal di pedesaan dan hidupnya

dengan bercocok tanam, terutama menggunakan alat tradisional.

Adiwilangga (1992) mengemukakan bahwa petani adalah orang yang

melakukan cocok tanam dari lahan pertaniannya atau memelihara ternak

dan hasilnya dijual guna untuk mencukupi kebutuhan hidup. Menurut

Faizah (2005) petani adalah setiap orang yang melakukan usaha untuk

14
memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan kehidupannya dibidang

pertanian. Menurut Sutomo (2004) petani adalah orang yang menggarap,

mengelola tanah milik sendiri bukan milik orang lain.

Menurut Oertiwi (2013) secara umum petani dibedakan menjadi

beberapa, yaitu petani pemilik lahan, petani penyewa lahan, petani

penggarap, dan buruh tani.

1. Petani pemilik lahan adalah petani yang mempunyai lahan sendiri

dan bertanggung jawab atas lahannya. Sehingga petani pemilik lahan

mempunyai hak atas lahannya untuk memanfaatkan lahannya seperti

penanaman, pemeliharaan dan pemanenan yang dilakukan sendiri.

2. Petani penyewa adalah petani yang menyewa tanah orang lain untuk

kegiatan pertanian. Besarnya biaya sewa tergantung pemilik tanah

yang menentukan besarnya biayasewa.

3. Petani penggarap adalah petani yang menggarap tanah orang lain

dengan sistem bagi hasil. Resiko usahatani yang ditanggung bersama

dengan pemilik tanah dan penggarap dalam sistem bagi hasil.

Besarnya bagi hasil tidak sama tergantung daerah masing–masing.

4. Buruh tani adalah petani yang menggarap atau bekerja di tanah

orang lain untuk mendapatkan upah kerja. Hidupnya tergantung pada

pemilik sawah yang memperkerjakannya.

Dalam berusahatani, petani memerlukan lahan untuk bercocok

tanam guna menghasilkan bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan

hidup, baik yang mempunyai lahan atau yang tidak mempunyai lahan

15
sebagai mata pencaharian untuk mencukupi kebutuhan hidup. Jadi antara

petani dan pertanian tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena

pertanian bukan hanya untuk menghasilkan pendapatan ekonomi petani

saja. Karena dari pertanian, petani akan memperoleh hasil yang setinggi-

tingginya dari usahataninya.

16
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Merujuk pada permasalahan di atas, maka jenis penelitian ini adalah

penelitian kualitatif dengan metode penelitian deskriptif. Penelitian kualitatif

data-datanya dapat berupa kata-kata yang diperoleh melalui berbagai sumber.

Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis melalui tahapan-tahapan

analisis data kualitatif yang hasilnya disampaikan secara deskriptif kualitatif.

Jenis penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan

data-data berupa kata-kata yang tertulis atau lisan dari para narasumber serta

perilaku yang diamati dan diarahkan pada latar belakang secara utuh

(Moleong, 2011: 1).

Penelitian ini bermaksud menggambarkan dan menjelaskan berbagai data

terkait apa pengaruh ritual adat sewu api terhadap semangat bertani

masyarakat penggarap di Desa Mukusaki, Kecamatan Wewaria, Kabupaten

Ende.

3.2. Unit Analisis

Unit analisis menurut Krippendorff (Eriyanto, 2011: 4), sebagai apa yang

di observasi, dicatat, dan dianggap sebagai data, memisahkan menurut batas-

batasnya dan mengidentifikasikan untuk analisis berikutnya. Unit analisis

dalam penelitian ini adalah individu yaitu para tetua adat dan masyarakat

kampung Mukusaki.

17
3.3. Narasumber

Narasumber adalah orang yang memberikan informasi kepada peneliti.

Informasi tersebut kemudian dapat digunakan sebagai data penelitian (Sare,

2006: 126). Sehingga dalam pengambilan sampel, peneliti menggunakan

metode Purposive Sampling. Pengambilan sampel dilakukan hanya

berdasarkan pertimbangan data yang mengasumsikan bahwa elemen yang

diinginkan terdapat didalam data tersebut.

Menurut Sugiyono (2011: 84) menjelaskan bahwa purposive sampel

adalah teknik untuk menentukan sampel dengan pertimbangan khusus.

Menurut Margono (2004: 128) bahwa pemilihan kelompok subyek dalam

purposive sampling didasarkan pada karakteristik tertentu yang dianggap

berkaitan erat dengan populasi yang diketahui sebelumnya, dengan kata lain

data yang dihubungi disesuaikan dengan kriteria spesifik yang diterapkan

berdasarkan tujuan penelitian.

Narasumber atau sumber data yang diambil untuk mendukung penelitian

ini adalah data primer yaitu data yang diambil dari narasumber yang terdiri

dari 2 (dua) orang tetua adat (mosalaki) yang berperan penting dalam ritual

adat sewu api dan 3 (tiga) orang masyarakat .

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan informasi dan data yang diperlukan dalam penelitian

ini, maka peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yakni:

18
3.4.1. Wawancara

Teknik wawancara adalah suatu metode pengumpulann data primer

yang menggunakan kuisoner atau daftar pertanyaan. Pada metode ini terjadi

proses komunikasi secara langsung antara enumerator atau interviewer

(petugas yang melaksanakan wawancara atau pewawancara) dengan

responden (sumber data) (Anggito dan Setiawan, 2018: 196).

Wawancara dalam penelitian ini ditujukan kepada narasumber dengan

pertanyaan-pertanyaan terstruktur yang difokuskan pada permasalahan yang

diangkat yaitu apa pengaruh ritual adat sewu api terhadap semangat bertani

masyarakat penggarap di Desa adat Mukusaki, Kecamatan Wewaria,

Kabupaten Ende.

3.4.2. Observasi

Marshall (Sugiyono, 2008:226) menyatakan melalui observasi, peneliti

belajar tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut. Lebih lanjut oleh

Rini Dwiastuti (2017: 203) bahwa observasi merupakan mekanisme

pengumpulan data melalui proses pencatatan dari hasil pengamatan terhadap

perilaku subyek (orang), obyek (benda), ataupun kejadian tertentu tanpa ada

kegiatan komunikasi dengan pihak yang diteliti (responden).

Pengumpulan data dalam penelitian ini ialah melalui observasi yang

bertujuan untuk melihat dan mengetahui secara langsung tentang bagaimana

pengaruh ritual adat sewu api terhadap semangat bertani masyarakat adat

Mukusaki.

19
3.4.3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah ditujukan untuk memperoleh data langsung dari

tempat penelitian, meliputi buku-buku yang relevan, peraturan-peraturan,

laporan kegiatan, foto-foto, film dokumenter, data yang relevan penelitian

(Eriyanto, 2011: 90).

Data yang diambil dalam penelitian ini menggunakan teknik

dokumentasi. Yang mana pengambilan data melalui dokumentasi meliputi,

profil desa Mukusaki yang diperoleh dari kantor desa,serta data-data lain dari

dokumen yang dibutuhkan untuk melengkapi data penelitian.

3.5. Skema Data

Tabel. 1
Skema Data
Teknik
No Topik Data Set Sumber Pengumpulan
Data
1. Profil Desa  Sejarah Desa
 Keadaan Geografis
1. Luas wilayah
2. Batas wilayah
3. Topografi
 Keadaan Demografis
 Kantor Desa  Dokumentasi
1. Jumlah penduduk
2. Jenis kelamin
3. Usia
4. Tingkat pendidikan
5. Mata pencaharian
 Keadaan sosial budaya

20
2. Apa
Pengaruh
ritual adat
sewu api
 Adat budaya
terhadap  Wawancara
 Religius
semangat  Narasumber
 Sosial
bertani  Dokumentasi
masyarakat
penggarap
di desa
Mukusaki?

3.6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif.

Menurut Bogdan (Sugiyono, 2008: 244) Analisis data adalah proses mencari

dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara,

catatan lapangan, dan bahan-bahan lain. Sehingga dapat dipahami dan

temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan

dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam uni-unit,

melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola memilih mana yang penting dan

yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan.

Proses menganalisis data dilakukan peneliti setelah pengumpulan data

dengan teknik; pertama, mewawancarai para tetua adat (mosalaki) dan

masyarakat desa Mukusaki; kedua, pendokumentasian pada saat proses

pengambilan data serta menganalisis dengan mencocokan teori dan masalah

untuk mendapatkan kesimpulan, dari kesimpulan tersebut peneliti dapat

21
memberikan usul dan saran terhadap pelaksanaan ritual adat sewu api di desa

Mukusaki, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende.

3.7. Lokasi Penelitian

Sesuai dengan judul yang dibuat oleh peneliti maka lokasi penelitian ini

dilakukan di desa Mukusaki, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende.

3.8. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilaksanakan selama 12 (dua belas) bulan yaitu dari bulan mei

sampai juli 2022.

22
BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITAN

4.1.Profil Desa

4. 1. Sejarah Desa

Desa Mukusaki adalah hasil perpecahan struktur pemerintahan dari

zaman pemerintahan Kolonial Belanda dan Jepang. Swapraja yang sekarang

di sebut camat pada waktu itu berkedudukan di Wolowaru (swapraja lio) serta

Hamente (setingkat desa) yang berkedudukan di Boafeo maka desa mukusaki

adalah bagian dari desa Boafeo yang batas hamante Boafeo waktu itu adalah

Ulu Wolo Mari Eko Dero Ria Laka Waka.

Ketika pada zaman orde lama oleh pemerintahan orde lama tepatnya

pada tahun 1963, maka struktur pemerintahan yang lama dibubarkan atau di

hapus dan di ganti dengan struktur yang baru yakni Swapraja diganti dengan

kecamatan. Hamente diganti dengan Desa. Dari hasil penghapusan struktur

yang lama, maka terbentuklah 4 desa baru yakni:

1. Boafeo

2. Desa Ratesuba

3. Desa Nabe

4. Desa Mukusaki

Dengan demikian terbentuklah Desa Mukusaki bersama ketiga desa

lainnya.Sistem pemerintahan pada waktu itu dengan cara ditunjuk langsung

oleh pejabat tertinggi daerah untuk menjadi kepala desa.

23
Adapun wilayah hukum Mukusaki terdiri dari 3 (tiga) dusun yaitu dusun

Mukusaki, dusun Elamelo dan dusun Watubara dengan 12 RT dan 6 RW.

4. 2. Keadaan Geografis

a. Batas Wilayah desa Mukusaki

Utara : Laut Flores

Selatan : Desa Kelitembu, Kecamatan Wewaria

Timur : Desa Ekoae, Kecamatan Wewaria

Barat : Desa Kobaleba, Kecamatan Maukaro

b. Topolografi Desa

Tabel 2
Topografi Desa
Topologi Desa/Kelurahan Pesisir/Nelayan
Klasifikasi Desa/Kelurahan Swadaya
Kategori Desa/Kelurahan Madya
Komoditas Unggulan Berdasarkan Luas Tanam Tidak Ada
Komoditas Unggulan Berdasarkan Nilai Ekonomi Tidak Ada
Sumber data : kantor desa Mukusaki

Berdasarkan Tabel 2 di atas diketahui bahwa topologi desa atau kelurahan

Mukusaki adalah pesisir dengan dominasi masyarakat yang bekerja sebagai

nelayan, dengan klasifikasi desa atau kelurahan swadaya yang berkategori

madya. Pada desa atau kelurahan Mukusaki diketahui tidak ada komoditas

unggulan berdasarkan luas tanam dan nilai ekonomi.

24
c. Luas Wilayah

Tabel. 3

Luas Wilayah

Luas (Ha)
Lahan
Lahan Sawah 53
Lahan Ladang 117
Lahan Perkebunan 22
Hutan 224
Waduk/Danau/Situ 0
Lahan Lainnya 46
Total 461,97
Sumber data : Kantor Desa Mukusaki

Berdasarkan data tabel di atas dapat di lihat bahwa luas hutan 224, luas

ladang 117,maka luas hutan lebih luas dibandingkan luas ladang.

d. Orbitasi (jarak dari pusat pemerintahan)

Tabel. 4

Orbitasi (jarak dari pusat pemerintahan)

Lokasi Jarak (km)


Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan 20
Wewaria
Jarak dari pusat pemerintahan kota Ende 80
Jarak dari ibukota provinsi Jakarta 0
Sumber data : Kantor Desa Mukuski

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa jarak dari pusat pemerintahan

kecamatan Wewariaadalah 20 km sedangkan jarak dari pusat

pemerintahan kota Ende adaah 80 km.

25
4. 3. Keadaan Demografi

Tabel. 5

Jumlah dan Kepadatan Penduduk

Jenis Kelamin
Laki-laki Perempua Kepala keluarga Kepadatan Penduduk
n
766 806 390 KK 1.238 per Km
Sumber data : Kantor Desa Mukusaki

Berdasarkan Tabel 5 diketahui jumlah dan kepadatan penduduk 1.238 per Km

dengan laki-laki sebanyak 766 orang dan perempuan 806 orang dengan jumlah

kepala keluarga 390 KK.

Tabel. 6

Data Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

NO Jenis Kelamin Jumlah Presentase (%)

1 L 766 49
2 P 806 51
Total 1572 100
Sumber data : Kantor Desa Mukusaki

Berdasarkan data tabel 6 dapat disimpulkan bahwa penduduk Desa Mukusaki

memiliki mayoritas kaum perempuan lebih banyak dibandingkan dengan kaum

laki-laki.

26
Tabel. 7

Penduduk menurut Mata pencaharian

Jenis Kelamin Presentase


Jenis Pekerjaan Jumlah
Laki-Laki Perempuan (%)
Petani 294 orang 390 orang 684 44
Pegawai Negri Sipil 11 orang 11 orang 22 1
Pensiunan 3 orang 1 orang 4 0
PNS/TNI/POLRI
Nelayan Perikanan 224 orang 1 orang 225 14
Belum Bekerja 234 orang 403 orang 637 41
Jumlah 766 orang 806 orang 1572 100
Sumber data : Kantor Desa Mukusaki

Berdasarkan data tabel diatas dapat dilihat bahwa petani menduduki tempat

teratas dengan jumlah 684 orang atau 44 persen,sedangkan yang PNS hanya

mencapai 22 orang atau 1 persen.Lebih kurang dari yang belum bekerja yang

jumlahnya 637 orang atau 41 persen.

Tabel. 8

Penduduk Berdasarkan Agama/Aliran Kepercayaan

Agama Jenis Kelamin Presentase


Jumlah
Laki-Laki Perempuan (%)
Islam 272 orang 284 oraang 556 35

Katholik 494 orang 522 orang 1016 65

Jumlah 766 orang 806 orang 1572 100

Sumber data : Kantor Desa Mukusaki

27
Dari data diatas tercatat bahwa di Desa Mukusaki terdapat dua

kepercayaan yaitu Islam dan Katholik.Kepercayaan Katholik berjumlah

1016 orang atau 65 persen lebih banyak dari kepercayaan Islam yang

berjumlah 556 orang atau 35 persen.

Tabel. 9

Data Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Jenis Kelamin Presentase


No Jumlah
Pendidikan L P (%)
1. Buta Huruf 36 20 56 4
2. SD 335 331 666 42
3. SMP 117 92 209 13
4. SMA 143 188 331 21
5. DIPLOMA 76 94 170 11
6. Strata 1 59 81 140 9
Jumlah 766 806 1572 100
Sumber data : Kantor Desa Mukusaki

Berdasarkan data tabel di atas dapat di simpulkan bahwa tingkat pendidikan di

Desa Mukusaki Kecamatan Wewaria Kabupaten Ende cukup baik di lihat dari

jumlah penduduk yang sudah menamatkan sekolahnya di tingkat SD,SMP,SMA,

dan perguruan tinggi.Namun demikian di Desa Mukusaki masih ada sejumlah 8

persen orang yang buta huruf.

4. 4. Keadaan Sosial Budaya

Masyarakat adalah suatu kumpulan dari banyak individu yang

membentuk sebauh kelompok dimana mereka mematuhi setiap peraturan

28
yang telah ditetapkan di lingkungan yang mereka tempati. Manfaat

keberagaman budaya di Indonesia menjadikannya dibagi menjad 2 area yaitu

masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan. Mereka mempunyai ciri

khas dan kepribadian masing-masing yang membedakan satu sama lain.

Masyarakat desa Mukusaki dianggap sebagai orang-orang yang sangat

menjunjung tinggi adat istiadat, kebiasaan para leluhur serta sangat terkenal

dengan kerama tamahannya. Sedangkan, masyarakat di daerah perkotaan

sangat indentik dengan individualisme yang mereka junjung dan terkenal

sebagai pribadi yang jarang bisa mengharagai seseorang.

Desa adalah suatu wilayah ditinggali oleh seseorang dengan memiliki

keunikan geografi, sosial, ekonomi, politik dan budaya dimana wilayah ini

diatur oleh pemerintah desa dibawah naungan Undang-Undang. Oleh

pemerintah, mereka diberikan wewenang untuk mengelola dan mengatur

pemerintahannya sendiri. Masyarakat pedesaan sering berinteraksi langsung

dengan lingkungan alamnya yang masih asli sehingga hal ini memicu hampir

seluruh lapisan masyarakat untuk bekerja dengan bertani, berkebun, ataupun

bisnis perikanan. Selain itu, mereka juga dikenal sangat menjunjung tinggi

adat istiadat. Antara desa yang dengan desa lainnya akan mempunyai

karakteristik aspek budaya dan adat istiadat yang berbeda.

Khususnya masyarakat desa Mukusaki, kondisi sosial masyarakat yang

semakin berkembang dengan kemajuan teknologi. Namun, tak dapat

dipungkiri bahwa masyarakat yang tinggal dan mendiami wilayah desa

Mukusaki cenderung memiliki  nilai sosial yaitu berupa ikatan yang kuat

29
antar sesama sehingga ketika yang satu sedang tertimpa musibah, mereka

juga akan larut dalam kesedihan. Masyarakat desa Mukusaki yang dengan

pembangunan adalah masyarakat, tradisi dari nenek moyang yang mereka

junjung tinggi juga dapat mempengaruhi pembaharuan sehingga terkadang

mereka lebih memilih patuh terhadap ketentuan nenek moyang mereka dan

tak sedikit yang menolak adanya pembaharuan.

30
BAB V

PEMAPARAN DAN ANALISIS DATA

5.1. Pemaparan Data

Pemaparan data penelitian merupakan hasil penelitian yang telah

didapatkan selama proses penelitian. Dalam kaitannya dengan pemaparan

data, peneliti akan mengurai lebih mendalam tentang Pengaruh Ritual Adat

Sewu Api Terhadap Semangat Bertani Masyarakat Penggarap di Desa

Mukusaki, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende (Studi di Desa Mukusaki,

Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende).

Mengingat bahwa jenis data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan deskriptif kualitatif, maka data yang diperoleh berbentuk

kata dan kalimat dari hasil wawancara serta data hasil dokumentasi lainnya.

Setelah mendeskripsikan hasil temuan, dilanjutkan dengan bagian analisis,

analisis yang dilakukan merupakan interpretasi peneliti terhadap temuan-

temuan penelitian yang didukung oleh teori yang dipandang relevan dengan

temuan penelitian.

5.1.1. Pengaruh Ritual Adat Sewu Api Terhadap Semangat Bertani


Masyarakat Penggarap di Desa Mukusaki
Upacara adat adalah salah satu tradisi masyarakat tradisional yang

dianggap memiliki nilai-nilai yang masih cukup relevan bagi kebutuhan hidup

masyarakat. Selain sebagai usaha manusia untuk dapat berhubungan dengan

arwah para leluhur, juga merupakan perwujudan kemampuan manusia untuk

menyesuaikan diri secara aktif terhadap alam atau lingkungannya.

31
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak mosalaki Pu’u di desa

Mukusaki, beliau mengtakan:

“Ritual adat Sewu Api itu terdapat dengan penggarapnya, sewu jeju
(yang panas menjadi dingin) dan yang dingin tetap menjadi dingin.
Dan adat ini dari dulu hingga sekarang tetap sama. Saya mengatakan
sama karena ritual sewu api ini merupakan sebagai bentuk untuk
memberi makan kepada nenek moyang”.

Selain pandangan dari bapak mosalaki, adapun pandangan yang di

utarakan oleh bapak Ferdinandus Jando selaku mosalaki. Dalam wawancara

dengannya beliau mengatakan:

“Ritual dulu caranya berbeda dengan yang sekarang, kalau dulu sistem
seremonial adat khusus sewu api hanya dilakukan oleh tokoh mosalaki
dan keluarganya. Karena kebersamaan dibangun komunikasi bersama
masyarakat sehingga ritual adat sewu api yang sekarang dibuat secara
bersama-sama dengan para penggarap. Jadi kesepakatan dan anggaran
dikumpul bersama-sama untuk menjalankan ritual sewu api yang
sekarang kita kenal”.

Senada dengan pernyataan bapak Thimoteus Tongge selaku

masyarakat yang mengatakan sebagai berikut:

“Yang saya pahami tentang adat sewu api dari dulu sampai sekarang
adalah: kalau dulu upacara adat sewu api dilaksanakan hanya pihak
mosalaki bersama keluarganya, sedangkan sekarang upacara adat
sewu api dilaksanakan bersama penggarap”.

Kemudian bapak Fabianus Sandi Siga selaku masyarakat memberikan

tanggapan perbandingan antara ritual adat yang dulu dengan sekarang:

“Kami sebagai penggarap dengan sejujurnya Tradisi adat sewu api


selalu mengalami perubahan, karena tanggung jawab semua mosalaki
itu berbeda sehingga tidak tetap”.

Hal yang senada juga diungkapkan oleh bapak Sebastianus Ratu

selaku masyarakat yang dalam wawancara beliau mengatakan:

32
“Orang tua dulu mengimani bahwa leluhur menyatu dengan mereka,
beda dengan sekarang karena melihat dengan jaman yang semakin
berkembang. Kami sebagai penggarap mengakui bahwa yang
melakukan upacara ritual sewu api adalah mosalaki pu’u”

Pernyataan dari bapak Sebastianus Ratu selaku masyarakat juga

dibenarkan oleh bapak Fabianus Sandi Siga selaku masyarakat terkait jalanya

ritual adat sewu api hanya dipimpin oleh seorang mosalaki. Dari wawancara

dengannya beliau mengatan:

“Yang memimpin jalannya ritual sewu api ini merupakan mosalaki


pu’u, yang mana setiap tahunnya adalah menjadi tugas mosalaki
membuka rangkaian upacara adat.”.

Bapak Thimoteus Tongge sebagai masyarakat juga menyampaikan

pernyataan yang sama terkait jalannya ritual adat yang dipimpin oleh seorang

mosalaki.

“Yang memimpin jalannya upacara adat sewu api adalah mosalaki


pu’u. Mosalaki pu’u inilah yang menggerakan seluruh penggarapnya
untuk hadir dalam melaksanakan upacara adat sewu api. Peran dan
tugas mosalaki itu adalah memimpin jalannya ritual adat,memberi
makan nenek moyang dan menggerakan penggarap untuk mengikuti
upacara adat”.

Sebagai seorang mosalaki di desa Mukusaki, bapak Frans Maka juga

menyebutkan bahwa di dalam ritual tersebut mereka mempunyai tugas:

“Saya sebagai pimpinan untuk menggerakan masyarakat, boleh


dikatakan sebagai jubir dalam acara ritual adat sewu api”

Lebih lanjut bapak Sebastianus Ratu selaku masyarakat menambahkan

terkait tugas yang dimiliki oleh seorang mosalaki:

“Mosalaki bo’o belak kepada anak kau fai walu (mosalaki


mengumumkan kepada penggarap untuk mengantar seremoni adatnya
setiap tahun). Mosalaki Menyelenggarakan ritual adat sewu api,
memberikan sesajian kepada leluhur dan menetapkan peraturan tahun
berjalan serta larangan setelah ritual adat sewu api dilaksanakan.”

33
Selain itu, bapak Ferdinandus Jando selaku mosalaki menjelaskan

rangkaian ritual adat yang stiap tahun dilaksanakan oleh mosalaki dan

masyarakat desa Mukusaki. Berdasarkan hasil wawancara, beliau mengatakan

sebagai berikut:

“Sebenarnya upacara adat ini sebagai ungkapan rasa syukur atas


kehidupan yang telah diterima dari hasil panen selama setahun.
Syukur menyangkut kesehatan, lancarnya pekerjaan serta sebagai
permohonan dan permintaan kepada para leluhur. Tetapi bukan
leluhur saja yang kita syukuri, tetapi tidak terlepas dengan Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi. Karena leluhur hanya sebagai penjaga
bukan sebagai pencipta alam semesta ini. Menyelenggarakan ritual
adat sewu api, memberikan sesajian kepada leluhur dan menetapkan
peraturan tahun berjalan serta larangan setelah ritual adat sewu api
dilaksanakan”.

Hal ini juga dibenarkan oleh bapak Thimoteus Tongge sebagai

masyarakat yang menjelaskan sebagai berikut:

Berbicara soal implementasi atau penerapan berarti berbicara tentang


bagaimana mosalaki dan penggarap mendalami upacara adat sewu api.
Saya sendiri sebagai masyarakat sangat mendalami upacara adat sewu
api karena melalui upacara ini kita dapat bersama sama memberi
makan nenek moyang dengan hasil panen kita yang kita peroleh.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

ritual adat sewu api merupakan bentuk ucapan syukur atas kehidupan yang

telah diterima dari hasil panen selama setahun. Sehingga syukuran tersebut

dibuat untuk memberi makan kepada nenek moyang atas segala usaha dan

hasil yang telah dicapai selama setahun oleh masyarakat penggarap di desa

Mukusaki.

Seremonial adat hanya bisa dilakukan oleh pemimpin di desa yang

dikenal dengan nama mosalaki. Sehingga mosalaki menyelenggarakan ritual

adat sewu api. Sebelum dimulai ritual tersebut, mosalaki mengumumkan

34
kepada penggarap untuk mengantar persiapan seremonial adat (Mosalaki

bo’o belak kepada anak kau fai walu).

5.1.2. Pengaruh Religius Terhadap Semangat Bertani Masyarakat

Sebagaimana masyarakat petani di desa Mukusaki masih dipengaruhi

keyakinan akan adanya kekuatan di luar diri manusia. Hal ini tentunya

mempunyai tujuan untuk menciptakan keserasian hidup manusia melakukan

ritual upacara yang disebut sewu api. Ikatan budaya yang begitu kental

sehingga keyakinan untuk memberikan sesajian sebagai bentuk ucapan

syukur kepada leluhur maupun Tuhan atas segala hasil yang telah diperoleh.

Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Frans Maka selaku

mosalaki di desa Mukusaki, beliau mengatakan:

“Sewu api hubungannya sangat erat dengan semangat bertani


masyarakat, dengan adanya upacara ini para petani menjadi semangat,
karena setiap tahun petani mempunyai tanggungan. Jika lahan atau
tempat mereka garap di lalaikan maka apa yang harus mereka bayar
untuk ritual adat nanti, sehingga dari itu para penggarap mempunyai
tanggung jawab juga atas ritual adat sewu api di desa mukusaki.
Tujuan ritual ini memberikan kesejahteraan kepada masyarakat desa,
jadi tokoh agama, mosalaki dan pemerintah desa harus sama-sama
bekerja”.

Terkait hubungan antara ritual adat dan semangat masyarakat juga

diterangkan oleh bapak Thimoteus Tongge sebagai masyarakat. Beliau

mengatakan sebagai berikut:

“Hubungan upacara adat sewu api dengan semangat bertani


masyarakat mempunyai kaitan yang erat dimana upacara adat dapat
memberikan hasil yang melimpah kepada masyarakat”

Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Ferdinandus Jando selaku

mosalaki yang mengatakan bahwa pengaruh adat memberikan nilai yang

35
sangat positif. Ketika ritual sewu api dilaksanakan membuat tatanan budaya

dan kehidupan sosial masyarakat menjadi terarah. Dalam wawancara

dengannya beliau mengatakan sebagai berikut:

“Ketika selesai melaksanakan ritual adat sewu api, masyarakat


penggarap menuruti tatanan yang dibangun oleh mosalaki. Sehingga
masyarakat penggarap mengerjakan pekerjaan sesuai dengan harapan
mosalaki maupun penggarap itu sendiri demi kepentingan bersama.
Kemudian ketertiban dan keamanan terjaga, ekonomi pertanian pun
semakin meningkat dengan mosalaki memberikan keleluasaan kepada
penggarap dan itinya mereka jalankan sesuai dengan tatanan budaya
dan tidak melanggar upacara adat”.

Kemudian bapak Frans Maka selaku mosalaki menambahkan yang

berkaitan pelanggaran yang dibuat oleh masyarakat penggarap akan

dikenakan sanksi adat yang berlaku di desa Mukusaki. Berdasarkan hasil

wawancara dengannya beliau mengatakan sebagai berikut:

“Masyarakat penggarap atau ana fai walu melanggar makan akan


dikenakan poi (sanksi) sesuai hukum adat, poi itu dilihat dari berat
ringannya pelanggaran tergantung berat hukuman yang dilanggar.
Hukuman berat dendanya adalah seekor kerbau besar, moke sebanyak
satu guci dan beras sekarung, sedangkan denda untuk langgran yang
ringan adalah seekor babi dan moke sebotol. Ritual Ini untuk
memperingati dan memberi makan kepada nenek moyang sekaligus
mbou bela yang dilarang oleh mosalaki”.

Selain itu, dijelaskan kembali oleh bapak Thimoteus Tongge sebagai

masyarakat menambahkan sebagai berikut:

“Sanksi bagi yang melanggar upacara adat ini adalah jika pelanggaran
yang besar maka akan mendapat sangsi berupa satu ekor kerbau dan
satu kumbang moke,sedangkan jika pelangaran yan kecil maka hanya
membawa babi satu ekor dan moke satu botol”

Hal senada juga disampaikan oleh bapak Ferdinandus Jando selaku

mosalaki yang dalam hasil wawancara, beliau mengatakan sebagai bedrikut:

36
“Karena kebersamaan, membangun persaudaraan dan keakraban
sehingga ritual sewu api tetap dilaksanakan dan tidak boleh terlepas
dengan upacara syukur yang pernah dibuat oleh nenek moyang.
Apabila kita tidak mau melaksankannya lagi maka akan banyak
resiko, terkhusus bagi mereka yang garis keturunan mosalaki”.

Lebih lanjut bapak Sebatianus Ratu selaku masyarakat menambahkan

dan menjelaskan pelanggaran yang dibuat serta denda atau sanksi yang

dikenakan bagi setiap orang yang melanggar. Beliau mengatakan sebagai

berikut:

“Bagi yang melanggar akan diberikan teguran pertama kali dengan


menanyakan alasan tidak melaksanakan ritual adat. Kedua kali maka
sanksi akan berjalan, sanksinya seperti seekor babi, padi sekarung dan
juga moke. Apabila sampai yang ketiga kali maka itu tandanya mau
melaksanakan pengusiran yang sebenarnya (tepo teo)”.

Kemudian bapak Fabianus Sandi Siga selaku masyarakat melanjutkan

pernyataan dari bapak Sebastianus Ratu. Dalam wawancara belau

mengatakan bahwa sanksi yang diberi kepada masyarakat juga dilihat dengan

keyakinan yang dianut, karena mellihat dengan kondisi masyarakat di desa

memiliki dua keyakinan yakni agama katholik dan agama islam. Sehingga

beliau mengatakan sebagai berikut:

“Akan dikenakan poi, akan tetapi karena kami disini terdapat dua
aliran agama yaitu islam dan katholik. Sehingga untuk mereka yang
agama islam akan dikenakan denda kambing, sedangkan untuk yang
beragama katholik akan dikenakan denda seekor babi. Seperti itu
merupakan sanksi yang ringan, sementara untuk sanksi yang besar
dapat berupa seekor kerbau, sanksi tersebut tergantung dengan berat
ringannya pelanggaran yang dibuat oleh masyarakat”.

Bedasarakan hasil wawancara di atas dapat dipahami bahwa dari ritual

sewu api dipercaya menciptakan kesejahtraan kepada masyarakat.

Masyarakat di desa Mukusaki setiap tahun menyelenggarakan ritual sewu api.

37
Yang mana ritual merupakan pemberian sesajian kepada nenek moyang,

sehingga mosalaki mempunyai wewenang dalam memimpin jalannya ritual,

sementara masyarakat menyiapkan segala kebutuhan untuk jalannya ritual

tersebut.

Selain itu pengaruh religius terhadap semangat bertani masyarakat

dengan hasil yang diperoleh, sekaligus menyampaikan Syukur kepada Sang

Ilahi sebagai pemberi kehidupan. Masyarakat desa Mukusaki terus berusaha

dalam kehidupannya untuk mendekatkan diri pada alam semesta seraya

bersyukur ‘’’kepada Sang Ilahi atas hasil yang diperoleh.

5.1.3 Pengaruh Kehidupan Sosial Terhadap Ritual Adat Sewu Api Terhadap

Semangat Bertani Masyarakat Penggarap di Desa Mukusaki

Kehidupan masyarakat desa Mukusaki masih begitu kental dengan

ritual adat yang setiap tahun terus dilaksanakan. Sehingga semua masyarakat

yang mendiami wilayah tersebut tidak terlepas dengan ritual adat sewu api,

hal ini merupakan kewajiban dan tuntutan untuk meneruskan kebiasaan yang

telah dibuat oleh leluhur dan menjadi budaya yang sudah melekat.

Keterlibatan masyarakat menjadi salah satu pendukung jalannya ritual adat

sewu api, jadi bukan hanya mosalaki sebagai pemilik tanah ulayat. Kemudian

tokoh agama, tokoh masyarakat dan pemerintah setempat pun akan

dihadirkan dalam upacara tersebut sesuai dengan waktu yang telah

ditentukan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Thimoteus Tongge selaku

masyarakat mengatakan sebagai berikut:

38
“Yang terlibat di dalam upacara adat sewu api adalah mosalaki,
penggarap, dan pihak pemerintah yang di undang,tokoh adat yang di
undang”.

Kemudian bapak Sebatianus Ratu sebagai masyarakat menjelaskan

sebagai berikut:

“Yang terlibat di dalam ritual tersebut adalah tokoh adat, mosalaki di


wilayah sekitar, tokoh agama, masyarakat sebagai penggarap dan juga
pemerintah di desa. Masyarakat sangat antusias, bahkan mereka juga
partisipasinya penuh. Hal ini entah karena takut dengan mosalaki atau
mungkin karena kesadaran masyarakat akan budaya yang timbul
akibat peradaban”.

Senada dengan hal tersebut, bapak Frans Maka selaku mosalaki yang

mengatakan keikutsertaan masyarakat dalam melaksanakan ritual adat. Beliau

menyatakan sebagai berikut:

“Jadi yang terlibat di dalam acara ini adalah ana fai walu yang dalam
istilahnya penggarap yang bertani di desa. Masyarakat setujuh dan
tidak pernah berkeberatan dengan hal ini karena ritual adat ini sudah
di akui sejak dulu dan merupakan haknya mosalaki”.

Lebih lanjut bapak Ferdinandus Jando selaku mosalaki menjelaskan

hal yang sama sebagai berikut:

Paling pertama adalah para penggarap, kemudian untuk dua tungku


seperti pemerintah dan tokoh adat akan di undang untuk menghadiri
ritual adat, jika memang keduanya tidak mempunyai halangan.Ketiga
tokoh tersebut merupakan tiga tungku yang harus selalu bersatu dalam
jalannya upacara adat yang dijalankan oleh mosalaki.

Meskipun antusias dan partisipasi masyarakat yang tinggi dalam

melaksanakan ritual tersebut, namun ternyata tidak semua masyarakat yang

senang dengan adanya ritual sewu api. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh

bapak Sebatianus Ratu selaku masyarakat yang dalam wawancara beliau

mengungkapkan sebagai berikut:

39
“Sejujur saya pribadi mau mengatakan bahwa ada masyarakat yang
senang dan tidak senang dengan ritual adat ini. Hal ini terjadi karena,
acara adat ini setiap tahun mengalami perubahan. Saya berikan salah
satu contoh terkait anggaran sewu api yang tidak tetap karena saya
sendiri setiap tahun harus mengikuti tiga mosalaki, karena di wilayah
satu desa ketiga mosalaki tersebut menentukan anggaran yang
berbeda-beda, sedangkan di dalam upacara ritual adat ketiga mosalaki
sama saja. Keterlibatan/ peran lembaga adat, pemerintah dan agama
dalam menanggapi ritual ini. Setiap tahun masyarakat selalu terlibat
dan duduk bersama dengan mosalaki, bahkan mosalaki juga meminta
pendapat dari kami sebagai penggarap. Hal ini sudah diketahui untuk
seluruh orang Ende yang dikenal dengan tiga batu tungku, sehingga
tiga batu tungku ini selalu bekerjasama dan berjalan dengan baik.”.

Dari ritual adat itu juga menjadi kesempatan untuk mengenang

kembali masa lalu desa dan membicarakan pembanguna desa kedepannya.

Hal ini diungkapkan oleh bapak Ferdinandus Jando selaku mosalaki, beliau

mengatakan sebagai berikut:

“Ketika duduk bersama disaat itu akan ada sering tentang kejadian di
masa yang lalu dengan yang sekarang. Sehingga dari situ bisa
menemukan perimbangan titik keselarasan untuk membangun tatanan
budaya kedepan agar kita tidak terpatok pada pola yang lama, tetapi
kita juga harus mengikuti perkembangan jaman”.

Bapak Frans Maka selaku mosalaki juga mengatakan bahwa ketegasan

masyarakat untuk mempertahankan tatanan budaya. Dalam wawancara

dengannya beliau mengatakan sebagai berikut:

“Mereka turut simpati dengan memberikan dukungan dan dorongan


supaya tatanan budaya tetap dilaksanakan dan jangan sampai
dihilangkan. Ritual adat ini tetap dipertahankan agar tetap tumbuh
seiring dengan berkembangnya jaman”.

Kemudian bapak Ferdinandus Jando selaku mosalaki menambahkan

bahwa pelaksanaan ritual ini memberikan dampak positif. Beliau mengatakan

sebagai berikut:

40
“Karena dampaknya sangat positif sehingga alur perkembangan baik
kehidupan sosial bermasyarakat di desa mukusaki terarah, terjaga
ketertiban, ketentramannya, tidak ada konflik antar sesama baik
konflik antar agama. Kemudian terjaga juga lahan-lahan kosong masih
tertib, terkhusus lahan yang memiliki mata air, karena orang akan
takut dengan adat disini”

Namun, berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Sebatianus Ratu

selaku masyarakat yang mengatakan tidak merasakan dampak dari ritual.

Beliau mengatakan sebagai berikut:

“Saya sebagai penggarap merasa tidak ada dampak, tetapi ini sudah
menjadi warisan leluhur sehingga mosalaki melanjutkan saja karena
untuk wilayah lain kadang merubah lima tahun sekali, kalau untuk
kami di desa setahun sekali dilakukan ritual ini”.

Berdasarkan hasil wawancara diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

yang terlibat di dalam ritual tersebut adalah tokoh adat, mosalaki di wilayah

sekitar, tokoh agama, masyarakat sebagai penggarap dan juga pemerintah

desa. Partisipasi masyarakat juga sangat tinggi dalam mengikuti rangkaian

acara ritual sewu api, antusias masyarakat muncul karena adanya kesadaran

akan budaya di tengah peradaban jaman yang semakin berkembang.

Dukungan dalam ritual adat ini juga bukan hanya datang dari

masyarakat, namun dukungan juga diberikan dari pemerintah desa, tokoh

agama, dan tokoh masyarakat. Ritual sewu api merupakan rutinitas tahunan

yang setiap tahun harus dilaksankan, karena upacara ini juga dapat menjadi

sebuah momentum kebersamaan untuk memupuk keakraban antara sesama.

41
5.2. Analisis Data

Analisis data merupakan bagian yang penting dalam proses

menganalisis permasalahan yang terjadi di lapangan pada saat penelitian

berlangsung. Sehingga, peneliti menganalisisnya dengan menggunakan teori

Tindakan Sosial yang dikemukakan oleh Max Weber. Ada beberapa

indikator yang menjadi topik temuan peneliti di lapangan yaitu tindakan

tradisional, tindakan instrumental rasional dan tindakan value-rational.

Sesuai dengan pokok pemikiran dari hasil penelitian tersebut, maka

peneliti akan menganalisisnya dengan menggunakan teori yang telah

dikemukakan untuk mengambil kesimpulan penting dalam penelitian ini

terkait judul skripsi yang diangkat terkait Pengaruh Ritual Adat Sewu Api

Terhadap Semangat Bertani Masyarakat Penggarap di Desa Mukusaki,

Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende (Studi di Desa Mukusaki, Kecamatan

Wewaria, Kabupaten Ende). Berikut ini peneliti akan menganalisis lebih

lanjut terkait masalah tersebut.

5.2.1. Pandangan terhadap Adat Budaya di Desa Mukusaki

Ritual adat sewu api merupakan budaya yang masih sangat melekat

dengan kehidupan masyarakat di desa Mukusaki. Keyakinan masyarakat

untuk memberi makan para leluhur atas hasil dan usaha selama setahun yang

mereka peroleh dari bertani. Sewu api sebagai bentuk mengucap syukur dan

penghormatan kepada sang pencipta sehingga bukan hanya kepada leluhur

saja yang diberikan sesajian dengan istilah memberi makan kepada nenek

42
moyang, namun disamping itu juga memberikan ucapan syukur kepada

Tuhan sebagai pencipta alam semesta.

Ritual adat sewu api dipimpin oleh mosalaki pada wilayah tersebut,

karena mosalaki dianggap sebagai pemilik tanah ulayat serta mumpunyai hak

untuk menjalankan ritual adat. Sistem seremonial adat sewu api yang dulu

hanya dilakukan oleh tokoh mosalaki dan keluarganya, namun karena

kebersamaan sehingga mosalaki membangun komunikasi dengan masyarakat

penggarap untuk ikut terlibat dalam ritual adat. Ketika akan dilangsungkan

ritual adat tahunan, maka mosalaki akan mengumumkan seluruh masyarakat

penggarap (Mosalaki bo’o belak anak kau fai walu) dan telah disepakti

bersama terkait dengan anggaran untuk melaksanakan ritual sewu api.

Rutinitas ini dilaksanakan pada setiap akhir tahun setelah semua hasil

pertanian selesai di panen. Hal ini sudah menjadi kebiasaan sejak dulu yang

telah dilaksanakan oleh nenek moyang sehingga ritual ini menjadi sebuah

warisan kepada masyarakat di desa Mukusaki. Ritual ini masih dijunjung oleh

masyarakat bahkan tetap diperthankan meskipun perkembangan jaman yang

semakin maju.

Ritual sendiri merupakan suatu tindakan kebiasaan dari cerita rakyat

yang berulang-ulang. Ritual mempunyai tujuan yang sangat terorganisir dan

dikendalikan secara umum untuk menunjukkan keanggotaan dalam

kelompok. Ritual juga dianggap sebagai suatu tindakan dan otomatis

sehingga membedakannya dari aspek konseptual agama, seperti keyakinan,

simbol dan mitos. Karena itu, ritual ini kemudian digambarkan sebagai suatu

43
tindakan yang dirutinkan atau kebiasaan. Seperti integrasi ritual, kepercayaan

dan perilaku, tradisi dan perubahan, ketertiban dan kekacauan, individu dan

kelompok, alam dan budaya.

5.2.2. Pengaruh Religius bagi Semangat Bertani Masyarakat

Dukungan masyarakat terhadap ritual adat ini tergambar melalui

semangat untuk tetap mempertahankan dan tumbuh seiring dengan

berkembangnya zaman. Kesempatan dalam ritual dimanfaatkan sebagai

momentum duduk bersama, kemudian membicarakan tentang kejadian-

kejadian di masa lampau dan masa depan. Sehingga dari diskusi yang

dibangun memberikan perimbangan titik keselarasan untuk membangun

tatanan budaya kedepan.

Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat penggarap mempunyai peran

penting di dalam ritual adat sewu api, selain itu juga tokoh agama, tokoh adat

serta pemerintah desa turut mengambil bagian dalam melaksanakan ritual

tersebut. Antusias masyarakat yang tinggi dalam ritual adat sewu api yang

ditunjukan dengan partisipasi penuh. Hal ini terjadi karena budaya yang

masih sangat melekat pada diri masyarakat penggarap dan kesadaran akan

budaya yang timbul akibat peradaban zaman yang semakin berkembang.

Syukur atas hasil pertanian selama setahun berjalan, sehingga

masyarakat penggarap dapat meningkatkan perekonomian melalu hasil tani.

Ritual adat sewu api menjadi tanggung jawab masyarakat penggarap yang

mana sesajian dalam ritual di persiapkan oleh para penggarap. Kemudian

44
lahan yang di garap oleh masyarakat merupakan wilayah kekuasaan mosalaki

yang sebagai pemilik ulayat.

Semua warga masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama.

Hidup bersama dapat diartikan sama dengan hidup dalam suatu tatanan

pergaulan dan keadaan ini akan tercipta apabila manusia melakukan

hubungan. Masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan, tata cara, dari

wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok, penggolongan, dan

pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan manusia (Rahman, 2011).

5.2.3. Respon Masyarakat terhadap Kehidupan Sosial

Masyarakat akan selalu merespon setiap perubahan yang muncul,

responnya itu bisa bersifat positif maupun dinamis, atau bisa juga masyarakat

itu bersikap apatis. Dan secara kultural, maka menjadi lumrah belaka jika

masyarakat mempertahankan kultur kebudayaannya, agar ia bisa berdaya dan

bertahan.

Masyarakat di desa Mukusaki masih sangat menjaga adat istiadat

mereka. Makna dalam pelaksanaan ritual sewu api bertujuan untuk

mengenalkan pengetahuan tentang nilai-nilai budaya untuk bisa diwarisi pada

generasi muda, dengan harapan ikut melestarikan dengan kreatif dan sesuai

dengan perubahan zaman.

Upacara ini juga menciptakan kebersamaan dan melahirkan

keakraban, kehidupan masyarakat pun semakin terarah dengan larangan-

larangan setelah selesai dilaksanannya ritual. Masyarakat penggarap harus

menuruti tatanan yang dibangun oleh mosalaki, jika hal itu dilanggar maka

45
akan dikenakan poi (denda/sanksi) kepada mereka. Poi yang kenakan

tergantung dengan kecil atau besarnya larangan yang dilanggar, namun

pemberlakuan sanksi juga melihat kayakinan masyarakat karena di desa

Mukusaki terdapat agama katolik dan muslim. Biasanya untuk pelanggaran

yang besar akan membawa seekor kerbau, moke seguci dan beras sekarung,

kemudian pelanggaran kecil akan membawa seekor kambing, seekor babi dan

moke sebotol.

Ritual adalah seperangkat tindakan yang mencoba melibatkan agama

atau magis, yang diperkuat melalui tradisi. Ritual lebih menekankan pada

bentuk ritual sebagai suatu penguatan ikatan tradisi sosial dan individu

dengan struktur sosial dari kelompok. Intergrasi itu dikuatkan dan diabadikan

melalui simbolisasi ritual. Jadi ritual bisa dikatakan sebagai perwujudan

esensial dari kebudayaan.

46
BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan temuan-temuan di lapangan, maka

penyimpulan akhir tentang pengaruh ritual adat sewu api terhadap semangat

bertani masyarakat penggarap di desa Mukusaki, kecamatan Wewaria,

kabupaten Ende (studi di desa mukusaki, kecamatan Wewaria, kabupaten

Ende) secara umum telah dilakukan oleh para leluhur dari dulu sebagai

bentuk permohonan sekaligus ucapan syukur atas segala hasil pertanian yang

cukup selama setahun, selain itu berdasarkan hasil wawancara dengan

mosalaki setempat dapat disimpulkan bahwa pengaruh ritual adat sewu api

dipercaya dapat memberikan hasil bertani yang melimpah.

Kegiatan ritual adat sewu api menjadi rutinitas masyarakat Mukusaki,

yang mana upacara ini setiap tahun dilaksanakan oleh masyarakat penggarap

dan pada umumnya masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Mosalaki

adalah seorang pemimpin untuk memimpin jalannya ritual serta yang

memiliki wewenang untuk memberikan sesajian, sehingga masyarakat desa

Mukusaki harus ikut berpartisipasi untuk terlaksananya ritual tahunan yang

menjadi salah satu identitas budaya lokal masyarakat. Mosalaki, pemerintah

desa, serta tokoh agama pun akan dilibatkan pada ritual adat karena dari

ketiga merupakan tiga tungkuh dalam mendukung setiap kegiatan di desa.

47
Selain itu juga, terdapat nilai yang sangat bermakna bagi kehidupan

sosial masyarakat setelah dilaksanakannya ritual adat. Nilai-nilai yang

terkandung yakni; menciptakan kebersamaan dan keakraban antar sesama,

melahir larangan-larangan adat atau aturan yang mengikut seluruh

masyarakat yang menetap di desa Mukusaki, melestarikan kreatifan lokal

budaya ditengah perkembangan jaman yang semakin maju sehingga budaya

selalu tetap eksis serta keamanan dan ketentraman masyarakat terjaga dengan

baik. Maka, setiap rangkaian kegiatan ritual adat menjadi tatanan budaya dan

kehidupan sosial masyarakat menjadi terarah.

6.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran yang peneliti ajukan

berupa rekomendasi sebagai berikut:

1. Untuk Melestarikan Ritual Adat Sewu Api maka partisipasi masyarakat

perlu ditingkatkan dan juga keterlibatan dalam ritual harus muncul dari diri

masing-masing individu. Sehingga budaya lokal yang ada tetap terawat

dan selalu dipertahankan untuk anak, cucu serta generasi berikut.

2. Mosalaki sebagai pemimpin adat di desa, maka perlu menjadi pelopor

bagi masyarakat, sehingga interaksi dan komunikasi terjalin baik dalam

menjalankan kehidupan sosial di desa Mukusaki sehingga menjadi salah

satu pemacu semangat Bertani Masyarakat Penggarap di Desa Mukusaki

3. Pemerintah desa dan tokoh agama harus selalu mendukung setiap

rangkaian kegiatan adat yang ada di desa. Keterlibatan bukan saja pada

48
ritual adat sewu api, tetapi juga rangkaian kegiatan adat lain yang ada diah

desa.

49
DAFTAR PUSTAKA

Anggito, Albi. Johan Setiawan. 2018. Metode Penelitian Kualitatif. Jawa Barat:

CV Jejak

Budiardjo, Miriam. 1977. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Da sar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Eriyanto, 2011.Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu

Komunikasi dan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenadmedia Group

Koenjaraningrat, 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Moleong, Lexy J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Rahman, M. Taufiq. 2011. Glosari Teori Sosial. Bandung: Ibnu Sina Press.

Soekanto, Soerjono. 1982.Sosiologi hukum dalam masyarakat. Jakarta: Rajawali

Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: CV

Alfabeta.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: CV

Alfabeta.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: CV

Alfabeta.

Sukandarrrumidi.2004, Metode Penelitian; Petunjuk Praktis Untuk Peneliti

Pemula. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press


Sare, Yuni. 2006. Antropologi SMA/MA kls XII (Diknas). Jakarta: Grasindo

Wolf, Eric R. 1985. PETANI Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: CV. Rajawali.

Jones, Pip. 2003.Pengantar Teori-Teori Social: Dari Teori Fungsionalisme

HinggaPost-Modernisme.Jakarta: Pustaka Obor


L

Anda mungkin juga menyukai