Anda di halaman 1dari 145

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mendialogkan pendidikan dalam trem demokrasi sama artiya kita

membicarakan mengenai nilai esensial pendidikan, esensi pendidikan terketak

pada nilai dasar pada kemanusiaan dalam menghasilkan konsep. Fisik, psikis,

fisis, nilai spirutalualitas sebagai “katildon” pendewasaan dan memanusiakan

manusia.1 Pada esensinya pendidikan “merupaka hal yang sangat mendasar

dalam aspek kehidupan, di seluruh Dunia, terkhusus bahkan di Indonesia karena

itu, penciptaan manusia di Bumi dan di angkat sebagai Khaifah mengharuskan

manusia memahami tugas dan fungsinya di bumi. Menurut Deni Hermawan dan

Irawan dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Nilai: Nilai di Balik Pesan

Kritis Spritualitas Islam” Bahwa.2 “Manusia satu-satunya mahkluk paling

sempurna yang dijadikan Allah Swt dibandingkan mahkluk cipptaan lainnya.

Kesempurnaan manusia yang diciptkan oleh sang pencipta” Menurut Abdul

Munip dalam bukunya yang berjudul “Merekonstruksi dalam budaya jawa”

1
Deni Hermawan dan Irawan, Pendidikan nilai : Nilai di Balik Pesan Kritis Spritualitas
Islam (Serang : Yayasan dan Pendidikan Sosial Indonesia Maju, 2020), Cet. Ke-1, h. 19
2
Deni Hermawan dan Irawan, Pendidikan Nilai : Nilai di Balik Pesan Kritis Spiritualitas
Islam (Serang : Yayasan Pendidikan dan Sosial Indonesia Maju, 2020), Cet. Ke-1, h. 2-3. Lihat juga
sebagai perbandingan Ahmad Haromaini, ‘Manusia Makhluk Pembelajar : Studi Tafsir Tarbawi’,
Islamika : Jurnal Agama, Pendidikan dan Sosial Budaya, vol.12 no.1 (2018), h. 24

1
2

tentang sistem pendidikan orang jawa, menurutnya bahwa.3

“Tujuan pendidikan dalam tradisi jawa adalah mencapai manusia yang


sempurna. Pandangan tentang manusia jawa yang sempurna tergambar
dalam pribadi yang memiliki karakteristik antara lain: menayu hayuning
pribadi, memayu hayuning bawaaan, dan Manunggaling Kaula Gusti.
Manusia yang sudah mencapai mamyu hayuning pribadi adalah mereka
yang memiliki keperibadian mulia, berbudi pekerti luhur dan mampu
menjaga harmoni dengan anggota masyarakat. Hirarki tujuan pendidikan
tertinggi dalam masyarakat jawa adalah untuk mencapai kesampurnaning
urip atau kehidupan yang sempurna. Yakni manusia yang sudah bisa mati
mati sajeroning urip (mati dalam hidup), dan urip sajeroning mati (hidup
dalam kehidupan). Konsep mati sajeronig urip mengandung makna bahwa
meskipun secara fisik seseorang dianggap masih hidup dan bernafas, namun
sejatinya nafsu duniawinya telah “mati”. Dia bisa menghayati “kematian”
meskipun masih berada dalam dunia. Sebaliknya, ketika nafsu dunia telah
“mati” maka yang hidup adalah “ruh suci” yang selalu berusah untuk
“bertemu” dan “menyatu” dengan penciptaannya. Di sini konsep
Manunggaling Kaula-Gusti memperoleh pijakan.”

Penejelasan yang telah disampaikan oleh Abdul Munip diatas sangat lah

dalam esensinya secara esoteris maupun aksetorik untuk menjadi manusia yang

sempurna atau dalam Islam “disebut Insan ulil abab dengan menjunjung tinggi

budi luhur dan mengontrol akan hawa nafsunya dengan tujuan untuk mendapatkan

kehidupan yang sempurna.” Menurut Marbangun Hardjowirogo dalam bukunya

yang berjudul “manusia jawa” menerangkan bahwa. 4 ”Berusaha untuk tidak

melakukan perbuatan buruk saja sudah merupakan suatu pengendalian hawa nafsu

yang sering sekali susah “sukar” bisa diwujudkan. Keberhasilan dalam

merealisasikannya belum lagi mengantar orang untuk menjadi manusia berbudi

luhur.” Seperti prespektif Achmad Chodjim dalam bukunya yang berjudul “Serat

3
Abdul Munip, Merekonstruksi Teori Pendidikan dalam Budaya Jawa (Yogyakarta :
Pascasarjana Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2018), Cet. Ke-1, h. 75-76
4
Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1989), Cet.
Ke-3, h. 63
5
Achmad Chodjim, Serat Wedhatama For our Time: Membangun Kesadaran Untuk
Kembali ke Jati Diri, ( Tangerang Selatan : Bentara Aksara Cahaya, 2016), cet-.ke-1, h. 15-16
3

Wedhatama For Our Time” menadeskripsikan bahwa. 5 “Wedhatama adalah

pengetahuan utama tentang budi luhur, vudi pekerti yang baik. ahklak mulia dana

Budi pekerti yang mulia itu merupakan kearifan yang lokal. Wedhatama

mengajarkan kesucian batin dalam hidup, kehidupan manausia di Dunia ini sangat

berharga oleh karena itu kita haarus berusaha hidup sebagai manusia yang mulia,

“Insan Kamil” atau manusia sempurna agar kita bisa kembali kepada-Nya.”

Hal yang mendasar dalam pendidikan agama islam adalah Iman dan Tauhid

manusia terhdap Tuhan-Nya sebagaimana yang di kemukakan oleh: “Tirto

Suwando, et.al. dalam bukunya yang berjudul “Nilai-Nilai Budaya Susastra Jawa”

mengatakan bahwa. 6 “Nilai keimanan tauhid dan Manusia terhadap Tuhan, adalah

nilai keperacayaan dan keyakinan manusia terhadap Tuhan dengan penuh

kesadaran melalui hati nurani (rasa) ucapan cipta, dan perbuatan (karsa).”

Hal ini juga yang disampaikan oleh: Muhammad Riza Zainudin dalam

jurnalnya yang berjudul “Eksistensi Tauhid Dalam Pemikiran Pendidikan Islam”.

Menurutnya. 7 “Salah satu implementasi tauhid, ialah pemuatan kesucian hanya

kepada Allah Swt ..., pendidikan keimanan kepada kesucian Allah dapat di

rangkaikan dan bertujuan untuk menanamkan asas keimanan, keislaman dan asas

syari’at islam.

6
Tirto Suwondo DKK Nilai-Nilai Budaya Susastra Jaqa, (Jakarta : Pusat Pembinaan dan
pengembangan Bahasa Dapertemen Pendidikan dan kebudayaan, 19994) h-66
7
Muchtar Adan dan Fadululah Muh Said : Ma’Rifatullah, Membangun Kecerdasan
Spritual Intelektual : Emosional, Sosial dan Ahklak Karimah ( Pesantren Al-Qur’an Babussalam,
Bandung ). Cet. Juni 200, h -52
Menurut Muchtar Adam dan Fadlullah Muh dalam bukunya yang berjudul

“Ma’Rifatullah” mengatakan bahwa.8 “Dalam pendidikan Islam aksetorik ibadah

yang diajarkan Isalam adalah ibadah yang melingkupi seluruh aspek kehidupan

dan bersifat umum, baik ibadah mahdhah seperti ibadah-ibadah wajib, Shalat,

Zakat, Puasa, dan Haji maupun Ghoiru Madhah”.

Akan tetapi berbeda dengan pendidikan Islam secara esoteris menurut nilai-

nilai pendidikan Jawa-Islam yang mengacu kepada esensi nilai-nilai pendidikan

islam esoteris Jawa-Islam. Menurut Kanjeng Gusti Pangeran Adhi Pati Arya

(Mangkunegara IV) dalam bukunya yang berjudul “Serat Wedhatama” yang

penulis terjamahkan menurut buku “Serat Wedhatama For Out Time” mengatakan

bawah. 9 “Ada empat Tingkatan sembah yang harus dilakukam agar seseorang

dapat Manunggal jati atau yang dalam bahasaa Al-Qur’an disebut: Liqa’ Allah(

‫للا‬
ّ ‫ ) لقاء‬yang dalam bahasa indonesia artinya bertemu dengan Allah Swt. Empat

tingkatan sembah itu adalah Sembah Raga, Sembah Cipta, Sembah Jiwa, dan

Sembah rasa”.

Salah satu yang dijelaskan dalam kitab Serat Wedhatama adalah tentang

konsep “sembah Catur supaya lumuntur” (emat sembah supaya dipahami ) dalam

bait ke-48 pupuh gembuh sebagai berikut:10

8
Muhammad Riza Zainudin, “Eksistensi Tauhid Dalam Pemikiran Pendidikan Islaam”,
(jurnal : Of Islamica Education). Vol.1, No. 1, h. 21
9
Achmad Chodjim, Serat Wedhatama For Our Time : Membangun Kesadaran Untuk
Kembali ke Jati Diri…, h. 280
10
Acmad Chodjim, Serat Wedhatama For Our Time: Membangun Kecerdasan Untuk
Kembali ke Jati Diri..., h. 282

4
5

“Samengko ingsun tutur


sembah catur supaya lumuntur
dhihinin raga cipta jiwa rasa kaki
ing kono lamun tinemu
tandha nugrahaning manom
Kini aku bertutur
Empat sembah supaya di lestarikan
Raga cipta rasa anakku
Di situ bila bertemu
Pertanda anugrah Hyang melihat”.

Konsep ini dapat dijadikan untuk memahami konsep Manunggaling Kaula-

Gusti yang selanjutnya menjaadi bahan ilmu untuk memahami tentang

kerohaniayaan yang tinggi yang haarus dipahami sebagai pintu pembuka, yaitu

sangkan Paraning dumadi.11 Bagi siapa saja yang sudah mengerti dan memahami

akan selalua ajaran Serat Wedhatama secara tidak langsung ia akan merasakan

bahwa dia bukanlah siapa-siapa, bukanlah apa-apa dan tidak memiliki apa-apa,

sehingga memiliki adab budi luhur yang baik, memiliki sifat zuhud dan tawdhu

terhadap semua mahkluk. “Agama adalah tongkat penuntun jalan oleh karena itu

kita tak perlu merebutkan jenis tongkatnya, tetapi yang lebih penting dan utama

adalah bisa menggunakan tongkat itu secara benar.12”

Di karenakan ketertarikan penulis terhadap Serat Wedhatama Karya

Mangkunegara IV ( Kanjeng Gusti Pangeren Adhi Pati Arya) tentang bagaimana

perjalanan hidupnya sehingga menjadi seorang raja, priyai dan pujangga Agung

ditanah Jawa sekaligus menjadi penutup pujaangga jawa dan pemikirannya

11
Nur Kholis, Ilmu Makrifat Jawa Sangkan Paraning Dumadi: Eksplorasi Sufistik
Konsep Mengenal Diri Dari Dalam Pustaka Islam kejawen Kunci Swarga Miftahul Djanti, (T.t.p:
CV.Nata Karya, 2018), cet. Ke -1 h. 1-2
12
Ahhmad Chodjim, Serat Wedhatama For Our time: Membangun Kesadaran Untuk
Kembali Kejati Diri…, h. 137
6

tentang nilai-nilai pendidikan islam dan budi luhur yang sangat mendalam dan di

bawa oleh para Wali Sanga untuk mengislamkan tanah Jawa serta pengaruhnya

terhadap kehidupan masyarakat jawa. Oleh karena itu, akhirnya penulis dapat

meneliti Skripsi yang berjudul KONSEP PENDIDIKAN TAUHID

PRESPEKTIF MANGKUNEGARA IV TERHADAP NILAI-NILAI

AJARAN SEMBAH CATUR DALAM KITAB SERAT WEDHATAMA.

1.2 Pembatasan dan perumusan masalah

1.2.1 Pembatasan masalah

Mengingat pentingnya sebuah pembatasan masalah dalam penulisan maka,

penulis memberi pembatasan masalah untuk memperjelas permasalahan agar

penelitian ini lebih terarah, serta mengingat banyaknya persoalan yang

mengelilingi tentang teori ini, maka penulis memfokuskan batasan masalah yang

akan diteliti sebagai berikut :

a. Pengertian Konsep Pendidikan Tauhid dan Nilai-nilai Ajaran Sembah Catur

dalam penulisan ini bermakna segala sesuatu yang bersifat abstrak dan

tertanam disetiap diri manusia.”

b. Pendidikan Konsep Tauhid dan Nilai-nilai Ajaran Sembah Catur yang

dimaksud ialah Konsep Pendidikan Tauhid Prespektif Mangkunegara IV

Terhadap Nilai-nilai Ajaran Sembah Catur Dalam Kitab Serat Wedhatama,

tentang bagaimana menjadi manusia yang berbudi luhur, tahu akan esensi

sembah catur serta menjadi manusia yang sempurna (insan kamil). “Karena
7

sejatinya agama adalah untuk meperbaiki ahklak, budi luhur dalam bersosial,

yang tua menyayangi yang kecil dan yang kecil menghormati yang besar itulah

nilai moral dalam sosial.”

1.2.2 Perumusan Masalah

Berangkat dari masalah sebelumnya, maka penulis merumuskan masaah

dalam bentuk kalimat tanya sebagai berikut :

a. Bagaimana Konsep Pendidikan tauhid Prespektif Mangkunegara IV Terhadap

Nilai-Nilai Ajaran Sembah Catur Dalam Kitab Serat Wedhatama?

b. Bagaimana masa pendidikan dan perjalanan hidip (suluk) Mangkunegara IV

(Kanjeng Gusti Pangeran Adhi Arya)?

c. Bagaimana implementasi Serat Wedhatama sebagai sarana menjadi

manusia yang berbudi luhur serta menjadi manusia yang sempurna dalam

mengaplikasikan Sembah Catur dalam kehidupan?

1.3 Tujuan Penelitian

Penulis dalam melaukakan penelitian ini mengambil ruang lingkup Konsep

Pendidikan Tauhid Prespektif Mangkunegara IV Terhadap Nilai-Nilai Ajaran

Sembah Catur Dalam Kitab Serat Wedhatama sebagai sarana menjadi manusia

yang berbudi luhur serta menjadi manusia yang sempurna, melalui jalan (Suluk),

serta seleksi pengambilan sumber data maka penulis menfokuskan pada literasi

dan literatur-literatur Mangkunegara IV (Kanjeng Gusti Pangeran Adhipati Arya)

maupun pihak lain yang menulis tentang prihal konsep pendidikan tauhid dan
8

pemikiran-pemikiran Mangkunegara IV (Kanjeng Gusti Pangeran Adhi Arya)

yang dipandang representatif oleh penulis. Sehingga penelitian dilakukakan untuk

memenuhi beberapa tujuan ialah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui Konsep Pendidikan Tauhid Prespektif Mangkunegara IV

Terhadap Nilai-Nilai Ajaran Sembah Catur dalam Kitab Serat Wedhatama

b. Untuk mengetaui riwayat sejarah hidup serta perjalanan (suluk) Mangkunegara

IV (Kanjeng Gusti Pangeran Adhi Arya)

c. Bagaimana implementasi Serat Wedhatama sebagai sarana menjadi manusia

yang berbudi luhur serta menjadi manusia yang sempurna melalui jalan (Suluk)

Sembah Catur

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini sebagai berikut :

a. Bagi Program Studi Sarjana (S-1) PendidikanAgama Islam Fakultas Agama

Islam Universitas Islam Syehk Yusuf Tangerang, berguna untuk menambah

pengetahuan dan juga menjadi tambahan referensi tentang Konpsep Pendidikan

Tauhid Prespektif Mangkunegara IV Terhadap Ajaran Nilai-Nilai Sembah

Catur yang di implementasikan sebagai sarana agar menjadi manusia yang

berbudi luhur, beradab dan menjadi manusia yang sempurna melalui jalan

(Suluk) dalam Kitab Serat Wedhatama

b. Bagi Lembaga dan masyarakat sebagai kajian penelitian terhadap konsep

pendidikan tauhid Prespektif Mangkunegara IV diluar kelembagaan atau


9

Institusi, agar supaya sadar untuk menjadi manusia yang berbudi luhur,

beradab dan menjadi manusia yang sempurna melalui jalan ajaran Sembah

Catur (pemikiran Mangkunegara IV)

c. Bagi penulis, menambah pengetauan dan penulis juga menjadi motivasi untuk

lebih mengetahui akan pemikiran dan ajaran Islam-Jawa yang telah diajarkan

oleh para Wali-wali dan Mangkunegara IV ditanah Jawa

d. Bagi pembaca, menambah akan pengetahuan juga sejarah akan ajaran dan

pemikiran Mangkunegara IV dalam konsep Pendidikan Tauhid Presfektif

Mangkunnegara IV Terhadap Nilai-Nilai ajaran Sembah Catur dalam Kitab

Serat Wedhatama dalam upaya menjadikan Manusia yang sempurna.

1.5 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil pencarian dan penelusuran kepustakaan yang telah

peneliti lakukakn terkait tentang pemikiran dan ajaran Mangkunegara IV terhdap

Nilai-nilai ajaran Sembahaa Catur dalam Kitab Serat Wedhatama, di tinjau bahwa

pengamatan yang dilakukan peneliti belum ada yang mengkaji hal ini baik dalam

bentuk kajian, seminar atau skripsi dan hal yang serupa, terutama di Universitas

Islam syekh Yusuf Tangerang, maka dari itu penulis tetap mencari guna unutk

mengkomparasikan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang penulis

buat adapaun penelitian-penelitian terdahulu sebagai berikut :

a. Reni Astuti penelitian tentang “Nilai-Nilai Pendidikan Ahklak Dalam Serat

Wedhatama Karya Kanjeng Gusti Pangeran Adhipati Arya Mangkunegara IV”


10

mahasiswa pasca sarjana Universitas Islam Negri Raden Intan Lampung tahun

2018 menjelaskan tentang perilaku ahklak dan juga larangan akan berbuat riya,

hasad, dengki, iri hati dan akun yag lebih terobjek kepada anak-anak, Reni

Astuti dalam skripsinya juga mencatat bahwasannya.13 “Pendidikan anak

terletak pada sikap, tabi’at dan perilaku yang menggambarkan nilai-nilai

kebaikan yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak dalam

kehidupan sehari-hari.” Dengan ini Reni mengajarkan kepada kita para

membaca agar senantiasa berperilaku baik dan menghilakan rasa iri hati,

dengki, angkuh dan lain sebagainya, guna untuk menjadikan hati kita tetap

bersih agar tak melakukan perbuatan yang tercela.

b. Jurnal “Ajaran Tasawuf dalam Serat Wedhatama karya K.G.P.A.A (Kanjeng

Gusti Pangeran Adhipati Arya) Mangkunegara IV” oleh Siswo Aris Munandar

dan Atika Afifah, Jurnal Kaca Jurusan Ushuludin STAI Fithrah. Beliau lebih

menekankan membahas akan Pupu Sinom dan Pupuh Pangkur yang

didalamnya terdapat ajaran-ajaran adhiluhung (ilmu tingkat tinggi) yang lebih

terobjektif kepada tasawuf dalam ranah ahklak serta kedalam ilmu tasawuf

yaitu berserah diri kepada Allah SWT dengan bertakwa dan bertawakal.

Menurut Siswo Aris Munandar dalam Jurnalnya mencatat bahwa. 14

“Dalam Pupuh Sinom yang menekankan harus tawdhu dan tidak boleh angkuh

atau tinggi hati karena orang yang tawadhu akan dimuliakan oleh Allah,

ditinggikan drajatnya karena dengan seseorang bertawadhu akan mengantarkan

13
Reni Astuti, Nilai-Nilai Pendidikan Ahklak Dalam Serat Wedhatama karya Kanjeng
Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV, (Lampung : Fakultas Tarbiyah dan Keguruan,
2018), h.
14
Siswo Aris Munanadar, Ajaran Tasawuf Dalam Serat Wedhatama Karya K.G.P.A.A
Mangkunegara IV, (Ushuludin STAI Al Fitrah: Jurnal Kaca, 2020) Vol 10, No. 1, h. 86
11

seseorang pada Husnul Khotimah.” Karena dalam sifat-sifat yang baik adalah

mencerminkan diri kita tidak ada daya dan upaya serta merta merasa manjadi

manusia yang bodoh akan haus akan ilmu, selanjutnya Siwo Aris Munandar

dalam serat Wedhatama pada pupuh sinom yang menjelakan berserah diri

kepada Allah SWT mengatakan bahwa.15 “Orang yang bertawakal kepada

Allah merupakan ciri yang dapat membuktikan keimanannya, karena salah satu

ciri orang yang beriman adalah dengan bertawakal kepada Allah serta

menerima qodha dan qodharnya Allah SWT.” Dengan adanya jurnal ini kita

para pembaca di ajarkan dari menjalankan sifat tawadhu dan berserah diri

kepada Allah agar tujuan menjadi khusnul khotimah serta mendekatan ridho

Allah SWT di akhir hayatnya.

c. Jurnal “Filsafat Jawa dalam Serat Wedhatama” oleh Sutrisna Wibawa, Jurnal

Universitas Negeri Jakarta. “Dalam pembahasan ini Sutrisna lebih cenderung

mengarah kepada arah filsafar jawa dalam era K.G.P.A.A dalam Serat

Wedhatamanya guna untuk bisa menggapai kesempurnaan dalam hidup bahwa

filsafat Jawa yang menekankan pentingnya kesempurnaan hidup (ngubdi

kesempurnaan), bahwa manusia itu selalu berada dalam lingkungan,

berbangsa-bangsa, bersuku-suku dan berkelompok dengan lingkungan yaitu

Tuhan, alam, hewan dan tumbuhan serta meyakini” akan kesatuannya yang

bisa disebut (manunggaling kawula gusti).”

Sutrisna wibawa mengatakan bahwa.16 “Mangkunegara IV menguraikan

ajaran kesempurnaan hidup dengan kalimat mingkir mingkuring angkara

15
Siswo Ari Munandar, Ajaran Tasawf Dalam Serat Wedhatama ..., h. 88
16
Sutrisna Wibawa, Filsafat Jawa Dalam Serat Wedhatama, (Univerisitas Negri
Yogyakarta: Jurnal Ikabudi, 2013), Vol.2
12

(menjaukan diri dari nafsu angkara), dengan cara mensucikan diri agar apa yang

disapaikan dapat meresap kedalam hati sebagai ilmu yang luhur.” Bagi orang jawa

ajaran kesempurnaan hidup itu harus berdasarkan pada ajaran agama karena

dalam kesempurnaan hidup itu harus dengan mengetahui esensi hidup ini untuk

apa dan kembali kesiapa, selanjutnya Sutrisna Wibawa mengatakan bahwa.17

“Pada orang Jawa tanpa mengenal usia agar mengolah rasa, kalau tidak peka

rasa-nya, maka akan memalukan (gonyak-gonyuk nglelisemi).” Orang yang

menuruti kehendak dirinya sendiri dan tidak menggunakan perhitungan “hanya

ingin dipuja, hanya wasapada secara samar-samar selalu ingin dipuja dan semakin

menjadi-manjadi.” Berbeda dengan orang yang pandai/cerdas dalam mencari

ilmu, akan selalu merasa bodoh dan kurang akan ilmu serta tawadhu dalam

prilakunya apa yang dikerjakannya pun memiliki perhitungan dan pertimbangan,

tidak ingin dipuja dan selalu merendahkan diri kepadaa orang lain.”

Serta mengajarkan baik dari kalangan muda dan kalangan tua, jika

kalangan muda lebih menkankan akan ibadah yang menekuni dahulu nilai-nilai

ketauhidan serta dapat mengendalikan hawa nafsu dan belajar mengontrol akan

cinta dunia karena sesungguhnya masa muda kelak akan menempuh masa tua.”

Sedangkan untuk golongan tua yang diajarkan adalah dengan cara mainkan rasa,

rasa disini adalah hati, lebih kepada nilai-nilai ketauhidan yang mendalam secara

esoteris dengan cara berdzikir, beriyadhoh dan betakawa kepada Gusti Allah SWT

dengan tujuan agar bisa mencapai manusia yang sempurna serta mendapatkan

ridhonya Allah SWT.”

17
Sutrisna Wibawa, Filsafat jawa Dalam Serat Wedhatama, ..., h. 45
13

Dari junal tersebut bisa penulis mengambil kesimpulan bahwa dalam jurnal

Sutrina Wibawa mengajarkan kepada kita untuk bagaimana caranya menjadi

manusia yang sempurna, dalam jurnal ini ada kesamaan dengan yang penulis teliti

yaitu menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).”

1.2 Persamaan dan Perbedaan

Dalam penelitian yang akan penulis lakukan, tentunya terdapat akan

kesamaan dan perbedaan dengan penelitian yang lain. Persamaannya dengan yang

lain adalah sama-sama meneliti Kitab Serat Wedhatama dan pemikiran nilai-nilai

yang terkandung dalam kitab Serat Wedhatama, sedangkan perbedaan dengan

penelitian yang sebelumnya jika dikomparasikan adalah :

a. Reni Astuti.

Penelitiannya terfokus terhadap Nilai-Nilai Pendidikan Ahklak untuk anak

didik yang Termaktub Dalam Serat wedhatama Karya K.G.P.A.A Mangkunegara

IV, seperti halnya: sifat Sabar, sifat Ikhlas, menjadi manusia yang jujur dan benar

dan nilai-nilai adab dan ahkal kepada seseama manusia yang sudah penulis

jelaskan diatas.

b. Siwo Aris Munandar

Penelitiannya berfokus kepada Ajaran Tasawuf terhadap kitab Serat

Wedhatama Karya K.G.P.A.A Mangkunegara IV yang mengajarkan akan

kehidupn serta ajaran untuk kalangan muda maupun tua dalam Serat Wedhatama
14

yang menyerukan agar tidak terpedaya oleh dunia yang fatamorgana, untuk

kalangan muda agar selalu rendah hati (tawadhu) mencari guru (mursyid) baik,

tidak mabuk keduniaan (zuhud), mengontrol diri (mujahadah) dan uzlah, berserah

diri kepada Tuhan (tawakal) agar bisa merasa cukup dengan nikmat (qan’ah) dan

Makrifat, sedangkan untuk kalangan tua, yaitu harus betakwa dan lain sebagainya

sebagaimana yang sudah penulis jelaskan diatas,

c. Sutrisna Wibawa

Penelitiannya berfokus terhadap beberapa ajaran kesempurnaan dalam

hidup dan juga dalam pengajaran untuk kalangan muda dan juga kalangan tua,

untuk kalangan muda yaitu harus lebih dapat mengontrol akan hawa nafs dan juga

bisa mengendalikan diri agar tidak cinta dunia, sedangkan kalangan tua harus

lebih bisa memepertajam rasa, guna untuk mencapai kesempurnaan hidup dan

menggapai ridhonya Allah SWT, seperti yang sudah penulis jelaskan diatas.

Sedangkan penelitian saya ini mengkaji serta meneliti kitab Serat

Wedhatama dengan semua tembang-tembang se yang didalam Kitab Serat

Wedhatama dan Sembah Catur supaya lumuntur (empat sembah agar dapat

dipahami) bagi kehidupan agar menjadikan manusia yang berbudi luhur serta

menjadi manusia yang semurna (Insan kamil). Oleh karena itu yang menjadi fokus

akan penelitian ini adalah bagaimana Konsep Pendidika Tauhid Terhadap Ajaran

Sembah Catur Dalam Kitab Serat Wedhatama, yang bisa dipakai untuk semua

golongan karena penelitian ini bertujuan untuk mebuka mata seseorang akan

pentingnya ajaran-ajaran esoteris yang harus ditepmpuh dengan sabar serta jangka

waktu yang panjang karena dalam adanya pelajaran tauhid seseorang akan belajar
15

yang namanya akan tau hidup, sadar diri serta mandiri dalam menjalani perilaku.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian pada umumnya mengacu megarah kepada pengetahuan. Sekali

juga dapat didefenisikan sebagai penelitian sebagai pencarian ilmiah secara

sistematis. Secara umum metode penelitiann di artikan sebagai cara Ilmiah untuk

mendapatkan data dan tujuan serta kegunaan tertentu18. Penelitian ini juga masih

bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti memasuki lapangan atau

study kepustakaan dalam konteks sosial. 19 Sedangkan metode penelitian adalah

tentang cara bagaimana mendapatkan data valid dengan tujuannya, untuk

menemukan, mengembangkan dan membuktikan prihal yang diteliti. Teori yang

digunakan sebagai landasan dalam penelitian yaitu : relavansi, kemutakakhiran

dan keaslian. 20

Dalam penelitian yang berjudul “Konsep Pendidikan Tauhid Prespektif

Mangkunegara IV Terhadap Nilai-Nilai Ajaran Sembah Catur dalam Kitab Serat

Wedhatama” penulis menggunakan penelitian deskriptif dengan jenis penelitian

studi kepustakaan (libray reasearch). Penelitian deskeriptif bertujuan untuk

menjelaskan fenemoena secara konkrit melalui pengumpulan data yang valid dari

literatur yang ada, namun penelitian ini tidak memerlukan populasi ataupun

samling, karena yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas)

data, bukan banyaknya (kuantitas) data.21

18
Sugiyono, metode penelitian pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D
(Bandung: Alfabeta, 2015). Cet.ke- 11, h. 3
19
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan ..., h. 295
20
Sugiono, Metodo Penelitian Pendidikan ..., h. 398
21
Racmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2014). Cet. Ke -7, h. 56-57
16

Peneliti menggunakan penelitian Sejarah ( historis research ) untuk

mengimbau penelitian untuk lebih fokus dan terarah juga dikarenakan penelitian

berkenaan dengan analisis yang logis terhadap peristiwa-peristiwa yang telah

terjadi dimasa lalu, tujuannya untuk merekonstruksi peristiwa-peristiwa ataupun

kejadian dimasa lalu secata tersistemtis dan juga obyektif. 22

Data adalah suatu yang belum mempunyai arti bagi penerimanya dan masih

memerlukan adanya suatu pengolahan data. Dilihat dari sumbernya dapat

dibedakan menjadi dua sumber data yaitu data sumber primrer dan data sumber

sekunder.23

Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada

pengumpulan data, data sumber sekunder merupakan data yang tidak langsung

memberikan data kepada pengumpul data.24

a. Sumber data primer adalah adalah data yang diperoleh atau dikumpulakn oleh

peneliti secara langsung dari sumber datanya dan untuk mendapatkan data

primer peneliti harus mengumpulkannya secara langsung. Metode yang

digunakan penulis untuk mengumpulkan data primer antara lain, Buku, Jurnal,

Diskusi Terpokus.25 Sumber data primer yang dipakai oleh penulis adalah

karya Mangkunegara IV (Kanjeng Guti Pangeran Adhipati Arya) yang berjudul

“Serat Wedhatama” yang ditulis oleh para peneliti Jawa Tengah(Purwekerto)

Serat Wedhatama K.G.P.A.A (Kanjeng Gusti Pangeran Adhipati Arya)

22
Futasan Ali Yusuf, Metodologi Penellitian: modul mata kuliah metodologi penelitian
(Serang: STIE Bina Bangsa, 2012), h. 0, t,d.
23
Sandu Siyoto dan M.Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Literasi
Media Publising, 2015). Cet ke-1 h, 67-68
24
Sugiono, “Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D “, ( Bandung : Alfabeta
2013), Cet. Ke -13. H. 225
25
Sandu Siyoto dan M.Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian ..., h. 67-68
17

Mangkunegara IV.

b. Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak diperoleh langsung dari

pihak atau sumber data pokok yang diperlukakan datanya, dan sumber data

sekunder dijadikan penunjang data primer yang menjelaskan tentang data

primer tersebut. Seperti arsip atau dokumen yang menjelaskan data primer dan

buku-buku yang berkaitan dengan dara primer.26

1.7 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan Skripsi yang berjudul Konsep Pendidikan Tauhid

Prespektif Mangkunegara IV Terhadap Nilai-Nilai Ajaran Sembah Catur Dalam

Kitab Serat Wedhatama, ini tersusun atas 5 (lima) BAB dan pada setiap BAB

terdiri dari beberapa BAB ?;

BAB I pendahuluan menguraikan akan latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalag, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penelitian

terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II kajian konsep pendidikan tauhid menguraikan tentang pengertian

pendidikan tauhid, nilai-nilai pendidikan islam dan tauhid Internalisasi nilai Islam

dan Jawa (Purwekoerto).

BAB III riwayat hidup dan konsep pendidikan tauhid Mangkunegara IV,

menguraikan riwayat hidup Kanjeng Gusti Pangeran Adhipati Arya

(Mangkunegara IV), masa pendidikan dan perjalanan hidup (suluk)

26
Mamik, Metodologi Kualitatif, (Sidoarjo : Zifatama, 2015). Cet. Ke-1, h. 71
18

MangkunegaraIV.

BAB IV Esensi Pendidikan Tauhid Terhadap Nilai-Nilai Ajaran Sembah

Catur Dalam Serat Wedhatam Dalam Kitab Serat wedharama serta

implementasinya, megupas secara terperinci tentang esensi Tauhid Prespektif

Mangkunegara IV Terhadap Ajaran Nilai-Nilai Sembah Catur sebagai sarana

untuk untuk menjadikan manusia yang berbudi luhur, beradab dan

mengimplementasikan Sembah Catur dalam kehidupan agar menjadi manusia

yang sempurna.

BAB V PENUTUP menguraikan akan kesimpulan dan saran. Kesimpulan

adalah rangkuman, pernyataan singkat, jelas dan tersistematis dari hasil

penulisan/pengetikan ini. Saran adalah memasukan dari penulis yang bersifat

membangun motivasi sebagai acuan bagi para penulis-penulis selanjutnya.


BAB II
KAJIAN KONSEP PENDIDIKAN TAUHID

2.1 Pengertian Pendidikan Tauhid

Pendidikan dalah suatu ilmu yang harus ditempuh dan dipelajari oleh

seluruh manusia, baik dari kalangan anak-anak, kalangan remaja, dewasa maupun

kalangan orang tua, karena dengan adanya pendidikan, manusia akan lebih

mengetahui apa-apa yang belum diketahuinya dan lebih bijaksana dalam

melakukakan segela sesuatu, baik dari etika, moral dan ahklak.”

Pendidikan kontekstual berkaitan dengan hakikat manusia untuk tujuan

hidupnya. Kontekstual utama pendidikan menjadikan manusia sebagai proses

yang menegakan tiga nilai utama yaitu: pemenuhan kebutuhan dasar, realisasi diri,

dan bebas dari ketertundukan apapun sebagai esensi serta eksistensi manusia. 27

Manusia “dalam mencari hubungan sebab akibat ataupun asal mula dari

suatu materi ataupun esensi serta renungan terhadap sesuatu wujud, baik materi

ataupun esensinya, asal mula kejadiannya serta substansi dari wujud atau

eksistensinya sesuatu yang menjadi objek pemikiran.”

Tauhid secara bahasa berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhidan

(‫توحيدا‬ – ‫(وحد – يوحد‬ berarti menjadikan sesuatu hanya satu ..., yaitu meng-
Esakan Allah SWT, menururt Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, Tauhid
adalah mengesakan Allah atas apa yang dikhususkan kepadanya.28

27
Deni hermawan an Irawan, Pendidikan nilai : nilai ..., h. 8
28
Unang Setiana, et.al., Dampak Pemikiran tauhid Muhammad bin Abdul Wahab dan
Abdul Hasan Al-Asy’ari Terhadap Dakwah Kontemporer, komunica: jurnal of communication
sciene and islamic Da’wah, Vol. 2, 146-162 (2018) , h. 148

19
20

Secara etimolgi, Tauhid berarti ke-Esaan. Maksudnya adalah, keyakinan

bahwa Allah SWT adalah Esa, Maha Tunggal, ...mentauhidkan berarti

“mengakuai akan keesaan Allah dan mengesakan Allah. Jubaran Mas’ud

berpendaat bahwa Tauhid bermakna “beriman keada Allah, Tuhan yang Maha

Esa” yang sering juga disamakan dengan kalimat ‫ آلاله االّهللا‬tiada tuhan

selain Allah”. 29

Secara terminologi, Tauhid artinya mengetahui dengan sebenarnya bahwa

Allah itu adalah Esa.30 Menurut istilah, Tauhid ialah suatu ilmu yang

membentagkan wujudullah (adanya Alah) dengan sifat-Nya yang wajib, mustahil,

dan zaij (mustahil), dan membuktikan kerasulan para rasul-Nya dengan sifat-sifat

mereka yang wajib, mustahil, dan jaiz, serta membahas segala hujah terhadap

keimanan yang berkaitan dengan perkara-perkara Sam’iat, yaitu perkara yang

diambil dari Al-Qur’an dan Hadist dengan penuh keyakinan.

Surat Al-anbiya [21] ayat ke- 25 :

‫ُون‬ ٓ ‫َّل ِإ َٰلَهَ ِإ‬


ِ ‫َّل أَن َ۠ا فَٱ ْعبُد‬ ٓ َ ُ‫وح ٓى ِإلَ ْي ِه أَن ۥه‬ ُ ‫س ْلنَا ِمن قَ ْبلِكَ ِمن ر‬
ِ ُ‫سو ٍل ِإَّل ن‬ َ ‫َو َما ٓ أَ ْر‬
Artinya: “Dan kami mengutus seseorang Rasul pun sebelum kamu (Muhammad)
melainkan kamu wahyukan kepadanya, “Bahwasannya tidak ada tuhan
yang berhak disembah melainkan aku, maka sembahlah aku”.

Begitulah firman Allah tentang ketauhidan dimana manusia harus

bertauhid mengesakan Allah SWT, tanpa menyekutukan dari apapun, Allah-Lah

Tuhan seluruh alam, Dia-lah yang menciptakan Alam semesta ini beserta isinya.

Karena ayat diatas menjelaskan semua Rasul bahkan sebelum Nabi Muhammad

SAW, itu diutus oleh Allah SWT untuk menegakan kalimat Tauhid dan tidak

29
Yana Sutiana, Ilmu Tauhid, (Bandung: Pustaka Setia, 2019), Cet. Ke -1, h.36
30
Yana Sutiana, Ilmu Tauhid ..., cet. Ke -1, h.37
21

boleh menduakan Allah dengan apapun, seperti halnya kisah Luqman yang

mengajari anaknya untuk bertauhid yang diabadikan oleh Allah SWT didalam

Al’Qur’an.

Surat Luqman [31] ayat ke- 13:

‫ظ ْل ٌم َع ِظي ٌم‬
ُ َ‫ش ِْركَ ل‬ ُ ‫َو ِإ ْذ قَا َل لُ ْق َٰ َمنُ ِلِ ْبنِِۦه َوه َُو يَ ِع‬
ّ ‫ظ ۥهُ َٰيَبُنَى ََّل ت ُ ْش ِر ْك ِبٱَّللِ ۖ ِإن ٱل‬
Artinya : “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, “Hai anakku,
jangan lah kamu mempersekutukan Allah” sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar”.

Ayat diatass menjelaskan pengajaran dasar pendidikan tauhid yang

melarang akan berbuat syikir (menduakan Allah) “karena sesugguhnya syirik itu

adalah perbuatan yang sangat dzalim, sesungguhnya Allah maha pengampun dan

penuh kasih sayang kepada hamba-Nya terkecuali Syirik, maka tidak ada

ampunan dan pertolongan dari Allah bagi hambanya yang Syirik mendukan

Allah.”

Dalam buku yang berjudul “Ma’rifatullah: Membangun Kecerdasan

Spritual, Intelektual, Emosional, dan Ahklak Karimah” menurutnya.31 “Dari

aspek dasarnya tauhid terdiri dari:

Pertama: Tauhid al-ilmi, yaitu mengesakan pemahaman yang bersifat


berita yang diyakini. Keyakinan ini mencangkup penetapan sifat-sifat
kesempurnaan Allah Swt. Dan mensucikannya dari penyerupaan dan
penyetaraan dengan selain-Nya dan sifat-sifat kekurangan. Tauhid ini
tergambar dengan jelass dalam Al-Qur’an surah Al-Tauhid (Al-
Ikhlas). Tauhid tingkat ini adalah bentuk teoritis.
Kedua: Tauhid al-amali, yaitu, mengesakan Allah dalam beribadah,
maksudnya hanya menghamba dan beribadah kepada-Nya, seperti
firman Allah dalam Surat Ad-Dzariat ayat 56 perintah Allah
kepada Jin dan Manusia agar beribdah kepada-Nya.”

31
Muctar Adam dan fadlullah muh. Said, Ma’rifatullah : Membangun Kecerdasan
Spiritual, Intelektual, Esmosial, Sosial, dan Ahklak Karimah, ( bandung : Pesantren Al-Qur’an
Babussalam 2008). Cet. Ke- 1, h. 16-17
22

‫ُون‬
ِ ‫نس ِإَّل ِل َي ْعبُد‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْٱل ِجن َو‬
َ ‫ٱْل‬
Artinya: “Tidaklah aku ciptakan Jin dan Manusia melainkan agar meka
beribadah kepadaku”

Tauhid al-amali disini ditekankan pada bidang praktis.

Tauhid berasaal dari kata “ahada” dan “wahid” yang keduanya

merupakan nama Allah Swt yang menunjukan Keesaan-Nya.” Seperti terdapat

dalam ayat-ayata Al-Qur’an sebagai berikut :

Surat Al-ikhlas ayat 1 :

)1( ‫قٌ ْل ه َُو هللا‬


Artinya: Katakanlah : “Dia-Lah Allah Yang Maha Esa”

Surat Al-Baqoroh ayat 163 :

)163( ‫احد ٌ ۖ ََّل ِإ َٰلَهَ ِإَّل ه َُو الر ْح َٰ َمنُ الر ِحي ُم‬
ِ ‫َو ِإ َٰلَ ُه ُك ْم ِإ َٰلَهٌ َو‬
Artinya: “Dan Tuhanmu Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan Melainkan Dia Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”

Surat An-Nahl ayat 51 :

)51( ‫ُون‬ ْ َ‫اي ف‬


ِ ‫ار َهب‬ ِ ‫َوقَا َل للاُ ََّل ت َت ِخذُوا إِ َٰلَ َهي ِْن اثْنَي ِْن ۖ إِن َما ه َُو إِ َٰلَهٌ َو‬
َ ‫احد ٌ ۖ فَإِي‬
Artinya: “Allah Berfirman: Janganlah kamu menyembah dua Tuhan;
sesungguhnya Dia Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepadaku
takut saja.”

Dengan demikian secara bahasa ilmu tauhid artinya Adalah ilmu tentang

Allah Swt yang Mahsa Esa. Ilmu tauhid juga disebut dengan ; Ilmu Ma’rifat ,

Ilmu Aqo’id, (Aqidah), Ilmu Kalam, Ilmu Ushuluddin dan Fiqhul Akbar.

Allah Dzat yang Maha mutlak itu, menurut ajaran islam adalah Tuhan yang

Masa ESA. Segala sesuatu mengenai Tuhan disebut dengan Ketuhanan.”

Ketuhanan yang Maha ESA menjadi dasar Negara Republik Indonesia. Menurut
23

pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 negara berdasarkan ketuhanan yang

maha Esa.”

Didalam kitab ketauhidan tak lepas dari Iman dan Islam, dikarenakan tauhid

adalah pengetahuan yang meyakini bahwa segala sesuatu itu satu.” Didalam

ajaran Islam apapun yang berkaitan dengan sifat ke-Esaan Allah, bahwa Allah

satu dan tidak boleh menyekutukan-Nya dan ilmu tauhid juga disebut ilmu ushul

(dasar agama) atau juga disebut ilmu Aqidah.

Didalam Kitab Tauhid At-Tauhid Li ash-Shaff ats-Tsani Al-‘Ali.

Mengatakan bahwa32 “Menurut bahasa Iman adalah pembenaran hati. Sedangkan

menurut istilah, Iman adalah

.‫ وعم ٌل باألركان‬،‫وإقراربا للّسان‬


ٌ ،‫تَصد يق با لقلب‬
Artinya: “Membenarkan Dengan Hati, mengikrarkan dengan lisan dan
mengamalkan dengan anggota badan.”

“Membenarkan dengan hati” maksudnya ialah, menerima segala sesuatu yang

dibawa oleh Nabi Muhammad Rasullah ‫ﷺ‬. “mengikrarkan dengan denga lisan”

makasudnya ialah, mengucapkan dua kalimat syahadah, La ilaha illallah wa anna

Muhammad Rasullah “Mengamalkan dengan anggota badan” maksudnya ialah,

hati mengamalkan dengan bentuk keyakinan, dan anggota badan dalam bentuk

ibadah-ibadah yang telah Allah Swt perintahkan.”

Menurut Musthafa Husaein Harahap, dalam bukunya yang berjudul

“Risalah Tauhid: Ahli Sunnah Wal Jam’ah” mangatakan bahwa. 33 “Ilmu tauhid

32
Tim Ahli Ilmu Tauhid, Kitab Tauhid :At-Tauhid Li ash-Shaff ats-Tsani al-‘Ali,
penerjamah Agus Hasan Bashori., (Jakarta : Daarul Haq 2019). Cet ke-21, h,2
33
Musyhafa Husein Harahap, Risalah Tauhid :Ahli Sunnah wal Jam’ah, (Bekasi Barat:
Maheda Utama Jaya, 2012), Cet. 1, h. -2
24

adalah ilmu yang membahas keteguahan ikatan hati (I’tiqad), untuk mengimani

segala rukun iman serta hal-hal yang berkaitan dengan-Nya, berdasarkan dalil-

dalil yang kuat” ilmu tauhid adalah ilmu pengetahuan yang paling tinggi drjatnya

dalam agama Islam dan merupakan induk/pokok dari segala ilmu pengetahuan

dalam agam Islam.

Perlu kiranya kita mengkaji makna kata “Tauhid” ini, sebagaimana yang

didefeniskan oleh para ulama bahasa, ulama kalam, dan filsafat, serta ulama tafsir

dan hadist, secara lafadz kata “Tauhid” ini, tidak ditemukan didalam Al-Qur’an

tetapi ada terdapat didalam hadist Nabi SAW dalam bentuk kata kerja dan

masdar.34

Sebagaimana terdapat dalam kitab Al-Zakah karangan Ibnu Abu Al-Hasan ‘Ali

bin ‘Umar al-Daraqutni yang di kutip oleh Lulu Heri Afrizal dalam Jurnal

“Tafsiah: Pendidikan Islam” Nabi Muhammad Saw bersabda:

َ‫ع ْوهُ ْم ِإلَى أَ ْن يُ َوحدُوهللا‬


ُ ‫ فَ ْل َي ُك ْن أَو َل َماتَ ْد‬,‫ب‬
ِ َ ‫ِإن ّك تَ ْقدَ ُم َعلَى قَ ْو ٍم َم ْن أَ ْه ِل ال َكتا‬
‫تَعَالَى‬
Artinya: “Sesungguhnya engkau (wahai Mu’adz) akan mendatangi kaum Ahlul
Kitab, maka hendaklah dakwahmu yang pertama kali kepada mereka
adalah mentauhidkan Allah.”

Dalam hadist diatas sudah sangat jelas akan pentingnya bertauhid

mengesakan Allah yang sudah di bahas diatas oleh karena nya ketauhidan adalah

keImanan dan keIslaman yang harus melekat di hati sanubari orang-orang muslim

dengan ini kita memiliki arah dan tujuan yang jelas, yaitu mengharapkan Ridha-

Nya Allah SWT.

34
Lulu Heri Afrizal, “Rububiyah dan Uluhiyyah sebagai konsep Tauhid: Tinjauan Tafsir,
Hadist dan Bahasa”. Institut Agama Islam Nurul Hakim, Tafsiyah : Jurnal Pendidikan Islam, vol.
2, No. 1, Februari (2018), h. 28
25

Dalam kitab Tauhid karya Muhammad bin Abdul Wahab yang

diterjamahkan oleh M. Yusuf Harun mengatakan bahwa35 “Mu’ad bin Jabal

berkata:

ٍ ‫علَى ِح َم‬
‫ار‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫سل َم‬ َ ُ‫صلى هللا‬ َ ‫ي‬ َ ‫ ُك ْنتُ ِرد‬:َ‫ قَال‬،ُ‫ي للاُ َع ْنه‬
ِّ ِ‫ْف النب‬ َ ‫ض‬ ِ ‫َو َع ْن ُمعَا ٍذ َر‬
، »‫للا؟‬ِ ‫ َو َما َح ُّق ال ِع َبا ِد َعلَى‬،ِ‫للا َعلَى ِع َبا ِده‬ ِ ‫ أَ تَد ِْري َما َحق‬،ُ‫ « َيا ُم َعاذ‬:‫فَقَا َل ِل ْي‬
َ ‫ « َح ُّق للاِ َعلَى ال ِعبَا ِد أَ ْن يَ ْعبُدُوهُ َوَّلَ يُ ْش ِر ُكوا ِب ِه‬:َ‫ قَال‬،‫ للاُ َو َرسُولُهُ أَ ْعلَ ُم‬: ُ‫قُ ْلت‬
،‫ش ْيئًا‬
َ‫سو َل للاِ أَفَال‬ ُ ‫ َيا َر‬: ُ‫ قُ ْلت‬، »‫ش ْيئًا‬ َ ‫ب َم ْن َّلَ يُ ْش ِركُ ِب ِه‬ َ ّ‫َو َحق ال ِع َبا ِد َعلَى للاِ أَ ْن َّلَ يُ َع ِذ‬
‫ فَيَت ِكلُوا‬،‫ش ْرهُ ْم‬ ّ ِ َ‫ «َّلَ تُب‬:َ‫اس؟ قَال‬
َ ‫ش ُر الن‬ ّ ِ َ‫أُب‬
Artinya: “Dari Mu’ad Radhiyaallahu anhu ia berkata “aku pernah dibonceng
oleh Nabi Muhammad SAW, diatas seekor keledai, lalu Beliau
bersabda “wahau Mu’adz tahukah kamu apa yang Hak Allah SWT
dipenuhi hamba-hamba-Nya, dan Hak hamba yang pasti dipenuhi oleh
Allah? “Aku (Mu’adz) berkata “Allah dan Rasulnya lebih mengetaui,
“Nabi bersabada, “Hak Allah yang wajib dipenuhi bagi para hamba
adalah hendaknya mereka menyembah-Nya saja dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuat apapun, dan Hak para hamba yang
pasti dipenuhi Allah SWT adalah bahwa, dia tidak akan mengaazab
orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan segala apapun. Aku
(Mu’adz) berkata, wahai Rasullah SAW, booleh kah aku menyampaikan
kabar gembira ini kepada manusia, Nabi bersabda, “jangan engaku
sampaikan wahai Mu’adz kepada mereka (manusia) karena akan
membuat (manusia) bersandar (sehingga tidak beramal).” (HR.
Bukhori dan Muslim).

Penulis beramsumsi bahwasannya hadist diatas adalah suatau hadist yang

bersifat rahasia yang disampaikan oleh oleh Rasullah Saw kepada sahabat

Mu’adz, agar tidak memberi tahu kepada yag lain karena dikhawatirkan

menjadikan manusia tidak melakukan kebaikan. Khwatir dikarenakan adanya

hadist diatas menjadi sandaran tidak melakukan kebaikan kepada sesama manusia

dan hanya bertakwa kepada Allah SWT, karena sesungguhnya manusia harus

35
Muhammad bin Abdul Wahab Kitab Tauhid, Penerjamah Yusuf Harun, Islamic
Propagation Office in Rabwah, Islamhause (2007), h. 18-20
26

saling berbagi, saling membantu dan saling berbuat kebaikan satu dengan yang

lainnya.

Tetapi ketika konsep tauhid dikaitkan dengan Teologi (pengetahuan

ketuhanan) Islam sebagai istilah asing yang sering pula dikenal untuk ilmu tauhid

ini, Teologi terdiri dari perkataan “theo” artinya tuhan, dan “Logos” yang berarti

ilmu (sciene, study, discaurse), jadi Teologi berarti ilmu tentang tuhan atau ilmu

ketuhanan.36

Sedangkan bila konsep Tauhid di korelasikan dengan dalam ilmu tasawuf

bukan dengan Teologi maka akan berbeda pemahamannya. Maka dalam Tauhid

dan dalam ilmu tasawuf adalah, memandang bahwa kewajiban pertama yang

harus dilakukan oleh seorag mukmin ialah mengucapkan Syahadah Tauhid atas

ke-Esaan Allah SWT. Tauhid dalam tasawuf merupakan totalitas aktivitas nyata

kesaksian (Syahdah) melalui refleksi dan perasaan.37

Maka secara garis besar Tauhid dibagi menjadi tiga macam bagian, yaitu

Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asm’ wa sifat:

dasar konsep tauhid Rububiyah (ketuhanan) dalam Al-Qur’an yaitu kata


Rabb sebagaimana yang disampaikan oleh Muhammad Ismail Ibrahim di dalam
Kitab Mu’jam al-Fazah wa al-A’lam Al-Qur’aniyah, yang dikutip oleh Firdaus
dalam jurnalnya yang berjuduk “Diskursus Islam” menyebutkan bahwa.38

“terdapat arti kata )‫( َرب‬, di antara nya rabb al-walad )ُ‫الولَد‬
َ ‫(رب‬
َ artinya

“memlihara anak dengan memberi makanan dan mengassuhnya” )‫( َرب الش ْيء‬

36
Saidul Amin, “Eksistensi Tauhid Dalam Keilmuan Ushuludin” Majalah Ilmu
Pengetahuan dan Pemikiran Keagamaan Tajidi, Vol, 22 no. 1,. (juni 2019), h. 73
37
Muhammad Alift, “tauhid dalam Tasawuf: antara Ittihat dan Ittisal” Aqlania, vol, 08.
No. 02. (juli-desember 2017), h. 11
38
Firdaus “Konsep Rububiyah (Ketuhanan) dalam Al’Qur’an”, Jurnal : Diskursus Islam,
Vol. 3, No. 1 (2015), h. 109
27

“memperbaikinya” adapun Ar-rabb) ُّ‫الّ َرب‬ ) adalah tuhan yang merupakan salah
satu dari nama Allah yang jamaknya arbab.

2.1.1 Tauhid Rububiyah

Menurut Ibnu Tamimiyah yang dikutip oleh Muhammad Hambal dalam

Jurnalnya yang berjudul “Tadarus: Pendidikan Islam” bahwasannya pengertian

Tauhid ialah. 39 “Mempercayai bahwa pencipta alam semesta ini adalah Esa, tidak

sekutu baginya. Kemudian keesaan Allah Swt disamping masalah kholaq

(penciptaan) juga dalan masalah Al-mulk (kekuasaan) dan Tadbir (pengaturan)

alam beserta isinya”.

Dinamakan tauhid rububiyah karena “memiliki makna ketuhanan serta

mengesakan Allah, karena Allah-Lah sang pecipta alam semesta ini beserta isinya,

dan Allah-lah Maha raja dari segala raja, oleh sebab itu kita harus juga memiliki

sifat ketuhan dalam arti yaitu ‘sabar, tidak boleh sombong, rendah hati, dan serta

bisa mengasihi dan menyangi serta mencintai sesama manusia, dalam konteks ini

dinamakan hablu minnallah (cinta karena Allah).”

2.1.2 Tauhid Uluhiyyah

Tauhid Uluhiyyah adalah tauhid yang mengarahkan seseorang muslim

untukhanya untuk menyembah kepada Allah Swt saja dan tidak menyembah

selainnya.40 Mengharap ampunan dan ridha Allah Swt agar dihindari dari

kemusyrikan dan kesesatan seperti yang difirmankan oleh Allah Swt dalam surat

Al-bayyinah ayat: 5

39
Muhammad Hambal, “Pendidikan Tauhid dan urgensinya bagi Kehidupan Muslim” ,
Tadarus : Jurnal Pendidikan Islam, vol. 9, no. 1 (2020), h. 22
40
Muhammad Hambal, “Pendidikan Tauhid dan urgensinya ..., h. 29
28

۟ ُ ‫وا ٱلصلَ َٰوة َ َويُؤْ ت‬


‫وا‬ ۟ ‫صينَ لَهُ ٱلدِّينَ ُحنَفَا ٓ َء َويُ ِقي ُم‬ ِ ‫ٱَّلل ُم ْخ ِل‬
َ ‫ُوا‬۟ ‫َو َما ٓ أ ُ ِم ُر ٓو ۟ا ِإَّل ِل َي ْعبُد‬
‫) )ٱلز َك َٰوةَ ۚ َو َٰذَلِكَ دِين‬5: ‫ْٱلقَ ِيّ َم ِة (البينة‬
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus” Q.S Al-Bayyinah : 5

Dinamakan tauhid Uluhiyah adalah konsistensi serta komitmen dalam

keyakinan iman seseorang muslim untuk selalu beribadah semata-mata karena

Allah Swt, sesungguhnya shalat ku, ibadahku, dan matiku hanya karena “Allah

Swt, seluruh yang ada didalam dirinya nafas yang keluar dari hidungnya adalah

dzikir, langkag kakinya menuju kebaikan, dan tangannya selalu memberi kepada

yang membuthkan, tauhid Uluhiyyah dikatagorikan adalah Ma’rifatullah, untuk

bertakwa kepada Allah tanpa menyekutukannya dalam hal apapun itu.”

2.1.3 Tauhid Asma wa Sifat

Tauhid Asma wa Sifat adalah dengan mempercayai bahwa hanya Allah-

Lah yang mempunyai asama dan sifat-sifat yang yang maha sempurna. 41 Diantara

sekian banyaknya sifat-sifat Allah yang berkenana dengan Aqidahm ada 20 sifat

yang wajib kita letahui, 20 sifat mustahil dan 1 sifat Zaij.42 Jadi, ada tiga pondasi

utama dalam kaidah-kaidah global assma wa sifat,... Pertama, al-tanzih

(mensucikan Allah), kedua, al-itsbat (menetapkan nama-nama dan sifat Allah),

ketiga, Qoth’ al-tama’ min idrak al-kaifiyah yaitu mengisolasi secara total

keinginan untuk mengetahui hakikat visualisasi nama dan sifat Allah Swt.43

Dinamakan Tauhid asma wa sifat adalah penetapan akan sifat-sifat “Allah

Swt baik 20 nama-nama sifat Allah ataupun Asmahul Husna ( sembilan puluh
41
Muhammad Hambal, “Pendidikan tauhid dan urgensinya ..., h. 30
42
Musyhafa Husein Harahap, Risalah Tauhid ..., h. 16
43
Ade wahidin, “Kurikulum Pendidikan Islam berbasih Tauhid Asma wa Sifat”, Edukasi
jurnal pendidikan agama islam, vol. 3, (2014),
29

sembilan nama Allah), dengan mengimani Asma wa sifat Allah, maka seseorang

sudah bertauhida kepada allah Swt.”

Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas tiga garis besar tauhid, Tauhid

Rububiyah, Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid Asma wa Sam’iat. Masing-masing

memiliki kedudukan yang berbeda tetapi memiliki esensi yang sama, Yaitu

mengeskan Allah tanpa menyekutukannya dari apapun. Dalam Jurnal: Tadarus

Pendidikan Islam yang berjudul “Pendidikan Tauhid dan Urgensinya Bagi

Kehidupan Muslim, menurutnya bahwa. 44

Maka hubungan antara ketiga jenis Tauhid ini bersifat korelatif dan
komprehensif, di mana ia saling menyempurnakan antara satu dengan
yang lainnya, dan tidak ada manfaat salah satunya kecuali ada yang
lain. Oleh karena itu, tidakak ada manfaat Tauhid Rububiyah tanpa
Tauhid Tauhid Uluhiyyah, demikian juga sebaliknya Tauhid
Uluhiyyah tidak dapat dibenarkan tanpa Tauhid Rububiyah, maka
tidak akan sempurna salah satu Tauhid tersebut kecuali kesemua jenis
Tauhid tersebut tergabung antara satu sama lain.

Ketiga tauhid saling memiliki memenuhi satu sama lainnya oleh sebab itu

seseorang hendaknya mengetahui tingkatan tauhid serta mengimplementasikannya

unttuk dirinya agar hidupnya terarah dan menuju jalan keridhoan Allah Swt,”

sungguh al-Qur’an dan al-Hadist adalah kunci serta pedoman bagi umat manusia

untuk kehidupan baik berhubungan sesama manusia dan berhubungan dengan

sang pecipta agar dirinya tidak merasa ragu, bisa mengontrol akan hawa nafsu

serta harus yakin akan keesaan Allah untuk dapat mencapai kesempurnaan hidup.”

Ketiga tauhid diatas yang sudah penulis kemukakan sesui dengan isi serat

serat wedhatama dalam dalam pupuh pangkur pada bait ke-12 dengan

44
Muhammad Hambal, “Pendidikan tauhid dan urgensinya ..., h. 31
30

menyampiakan ngelmu kesempurnaan (ilmu kesempurnaan hidup) adapaun bait

tersebut sebagai berikut :

“Sapantuk wahyuning Allah,


Gyadumillah mangulah ngelmu bangkit,
Bangkit mikat reh mangkut,
Kukatang jiwangga,
Yen mengkonona kena sinebut wong sepuh,
Lire sepuh sepi hawa,
Awas roroning atunggil.
(siapapun yang menerima wahyuilahi,lalu dapat mencerna dan
meguasai ilmu, mampu menguasai ilmu kesempurnaan, kesempurnaan
diri pribadi, orang yang demikian itu pantas disebut “orang tua” yang
dapat menjauhkan diri dari hawa nafsu, dapat memahami dwi
tunggal”).45

Dari bahasan kutipan diatas menjelaskan akan kesempurnaan hidup yaitu

dengan menahan segala hawa nafsu dunia dan semata-mata untuk beribadah

kepada Allah menjalani laku kebaikan berbuat baik dan memiliki adab baik, kata

“orang tua” bukan lah orang tau pada umurnya malinkan tua akan budi luhurnta,

tua akan keilmuannya maka dengan itu Allah kirimkan wahyu, wahyu yang

dimaksud adalah hidayah yaitu jalan menggapai keridhoan Allah ST karena

hakikat hidup didunia ini bukan memperkaya diri malainkan untuk mendapat

ridho Allah dan ditempat nanti di sisi Allah, inilah tujuan hidup yang

sesungguhnya.

2.2 Nilai-Nilai Pendidikan Islam dan Tauhid

Ajaran Islam mengajak manusia untuk meyakini bahwa semesta dunia ini

dan seisinya ada yang menciptakannya. Karena pada dasanya sesuatu ini ada

karena ada yang merancangnya (menciptakannya) maka secara rasional akal sehat

Sutrisna Wibawa. “Filsafat Jawa Dalam Serat Wedhatama” (Jurnal Ikabdi : Universitas
45

Islam Negri Yogyakarta), Vol. 2 Desember 2013,


31

manusia, tidak mungkin sesuatu ini ada dengan sendirinya. Meyakini bahwa

hanya Allah Swt yang yang menciptakan seluruh alam semesta ini dari ketidak

adaan menjadi ada itulah yang disebut dengan tauhid.46 Pendidikan islam berarti

sessuatu proses membina seluruh potensi manusia sebagai mahkluk yang beriman,

bertakwa, berfikir dan berkarya untuk kemaslahatan untuk dirinya dan orang lain.

Menurut Ahmad Hawassy dalam bukunya yang berjudul “Kajian Tauhid

dalam Bingkai Aswasa” menyatakan bahwa.47

“Pengertian Islam yang pertama adalah secara umum (aksetorik yang


memiliki makna: Berserah diri kepada Allah dengan Tauhid dan
tunduk serta patuh pada Allah dengan menjalankan ketaatan
kepadanya dan berlepas diri dari perbuatan menyekutukan Allah
(Syirik) dan berlepas diri dari orang-orang yang menyekutukan Allah
(Musyrik).
Pengertian yang kedua makna islam secara khusus (esoteris) yaitu :
Agama Islam yang dibawa oleh Rasullah Muhammad Saw yang
didalamnya mencangkup Syari’at dan seluruh ajaran yang dibawa oleh
Rassullah SWT.

Asas agama Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan

pijakan yang jelas tentang tujuan dan hakikat pendidikan, yakni memperdayakan

potensi fitrah manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebijakan

agar ia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba.48

Mengenai nilai-nilain pendidikan islam dan tauhid Allah Swt berfirman

dalam surat zz-Zariyat [51] ayat 56-58 :

‫ق َو َما ٓ أ ُ ِريدُ أَن‬


ٍ ‫ ) َما ٓ أ ُ ِريدُ ِم ْن ُهم ِّمن ِ ّر ْز‬56 ( ‫ُون‬ ِ ‫نس ِإَّل ِل َي ْعبُد‬
َ ‫ٱْل‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْٱل ِجن َو‬
) 58 ( ‫ون‬ ْ ُ‫ق َو َما ٓ أ ُ ِريدُ أَن ي‬
ِ ‫ط ِع ُم‬ ٍ ‫) َما ٓ أ ُ ِريد ُ ِم ْن ُهم ِّمن ِ ّر ْز‬58( ‫ون‬ ِ ‫ط ِع ُم‬ ْ ُ‫ي‬
46
Muthoifin dan Fahrurozi, “Nilai-Nilai Pendidikan Tauhid dalam kisah Ashabul Ukhdud
surat al-Buruj prespektif Ibn Katsir dan Hamka, Profetika : jurnal Studi Islam, Vol. 19, No. 2
(2018) h. 164
47
Ahmad Hawassy, “kajian Tauhid Dalam Bingkai Aswaja” (Jakarta : Naraya Elaborium
Optima, 2020), Cet. Ke-1, h. 24
48
Fu’ad Arif Noor, “Islam Dalam Prespektif pendidikan”, Quality : Jurnal pendidika
Islam”, Vol. 3, No. 2 (2015), h. 412
32

Artinya: “Dan aku tidak menciptakam jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribdah kepada ku ( 56). Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari
mereka dan aku tidak menghendaki supaya memberi aku makan (57).
Sesungguhnya Allah Dia-Lah maha pemberi rizki yang mempunyai
kekuatan lagi sangat kokoh (58)".)Q.S az-dzariyat [51] 56-58).

Dalam surat al-Baqoroh [2] ayat 21-22 :

‫) ٱلذِى‬21( َ‫ُوا َرب ُك ُم ٱلذِى َخلَقَ ُك ْم َوٱلذِينَ ِمن قَ ْب ِل ُك ْم لَعَل ُك ْم تَتقُون‬ ۟ ‫س ٱ ْعبُد‬ ُ ‫َٰيَٓأَيُّ َها ٱلنا‬
ِ ‫شا َوٱلس َما ٓ َء ِبنَا ٓ ًء َوأَنزَ َل ِمنَ ٱلس َما ٓ ِء َما ٓ ًء فَأ َ ْخ َر َج ِبِۦه ِمنَ ٱلث َم َٰ َر‬
‫ت‬ ً ‫ض فِ َٰ َر‬َ ‫َج َع َل لَ ُك ُم ْٱأل َ ْر‬
)22( َ‫َّلل أَندَادًا َوأَنت ُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬ ۟ ُ‫ِر ْزقًا ل ُك ْم ۖ فَ َال تَ ْجعَل‬
ِ ِ ‫وا‬
Artinya: “Wahai manusia, beribadahlah kepada Rabbmu yanag telah
menciptakanmu dan orang-oranag yang sebelummu, agar kamu
bertakwa (61). Dia-Lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan
bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari
langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu sebagai buah-buahan
sebagai rizki untukmu, karena itulah janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui (22). (Q.S al-
Baqoroh [2] : 21-22).

Dari sudut pandang Al-Qur’an, seseorang moneteis (satu agama Islam)

adalah orang yang percaya pada lima tahapan tauhid ini. Lima tahapan tauhid itu

dirumuskan dalam slogan yang indah, la ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah

SWT).49 Hadaist yang menjelaskan tentang keutamaan tauhid adalah sebagai

berikut : Nabi Muhammad Saw. Bersabda :

ُ‫ضه‬
َ ‫تر‬ َ ‫َي ٌءأَ ْف‬
َ ‫ض ُل ِم ْنهُ َّلَ ْف‬ ْ ‫ولَ ْو َكانَ ش‬,
َ ُ ‫ض ُل ِم ْن تَ ْو ِح ْيد َِوالصالَة‬ َ ‫شيْأًأَ ْف‬
َ ‫ض‬ ُ ‫هللا لَ ْم َي ْف ِر‬
َ ‫ا ِِّن‬
‫اجد ٌز‬ ِ ‫س‬َ ‫َع َال َمالَ ئِ َكتِ ِه ِم ْن ُه ْم َرا ِك ٌع َو ِم ْن ُه ْم‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan sesuatu yang lebih utama dari
Tauhid dan Shalat, jika ada sesuatu yang lebih utama darinya, maka
pasti Allah akan mewajibkan kepada para malaikatnya, dianatara
mereka ada yang rukuk dan ada pula yang sujud.

Nabi Muhmmad Saw. Bersabda :

ِ ‫ص ُم ْو ِامنِّ ْي ِد ّمائَ ُه ْم َوأَ ْم َوالَ ُه ْم اِ َِّلّ ِب َح ِقّ َه َاو ِحسا َبُ ُه ْم َعلَى‬
} ‫هللا { متفق عيه‬ َ ‫َع‬

49
Muhammad Taqi Mishbah yazdi, Filsafat Tauhid ..., h. 125
33

Artinya: “Aku (Muhammad) di perintahkan untuk memerangi manusia hingga


mereka mengatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, tatkala
merekamengatakannya maka mereka telah menjaga dan darah mereka
dan harta mereka dariku, dan hisab mereka tanggung jawab Allah,” (
H.R. Bukhari Muslim).50

Sebagaiana yag telah disebutkan pada ayat-ayat Al-Quran dan al-Hadist

sebelumnya menjelaskan tentang beberapa nilai-nilai pendidikan dan tauhid.

Tentang bagaimana kita mentauhidkan (meng-Esakan Allah), dengan tidak sama

sekali mempersekutukan Allah SWT dengan apapun. Tentang bagaimana kita

beribadah semata-mata karena Allah SWT dan berserah diri kepada Allah dengan

harapan mendapatkam ridha-Nya Alla SWT, lalu bagaimana Rasullah Saw diutus

oleh Allah SWT untuk menyempurnakan Ahklak dan menegakan Tauhid serta

harus di implementasikan untuk seluruh manusia alam semesta ini, dan bagaimana

kita menjadi manusia yang percaya lagi mengimani akan segala sesuatu itu ada

karena ada yang menciptakan, yaitu Allah SWT, dan bagaimana kita menjadi

manusia yang bertakwa menjalankan segala apa yang Allah perintahkan kepada

kita serta tidak berbuat dzhalim apa yang allah larang kepada kita. Melakukan

amar ma’ruf nahi munkar serta kita harus mencintai segalal sesuatu karena Allah

hablu minallah serta nilai-nilai pendidikan islam dan tauhid ini mengarahkan

semua manusia untuk menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).

Secara etimologi, nilai berasal dari kata “valere”, yang berasal dari bahasa

latin, yang artinya, berguna, berperilaku dan kuat, sedangkan dalam bahsa

inggeris “value” dan secara terminologi mengenai nilai yaitu: harkat

50
Yana Sutiana, Ilmu Tauhid ..., h. 48
34

keistimewaan, dan ilmu ekonomi. 51 Qiqi yuliani Zakiyah dan A. Rusdiana dalam

bukunya mengutip beberapa tokoh yang mendefenisikan nilia, berikut inilah

penjelasannya :52

a. Max Scheler mengatakan bahwa nilai merupakan kualitas yang


tidak bergantung dan tidak berubah seiring dengan perubahan
barang.”
b. Immanuel kant mengatakan bahwa nilai tidak bergantung pada
materi, murni sebagai nilai tanpa bergantung pada pengalaman.
c. Menurut Kartono Kartini dan Dali Guno, nilai sebagai hal yang
dianggap penting dan baik. Semacam keyakina seseorang terhadap
yang seharusnya atau tidak yang seharusnya dilakukan (misalnya
kebahagian, kebiasaan).”
d. Ahmad Tafsir melakukan pembahasan nilai setelah membahas
teori pengetahan dan teori hakikat yang merupakan sistematika
dalam pembahasan filsafat.”
e. Menurut H.M Risjidi, penilaian seseorang dipengaruhi oleh fakta-
fakta. Artinya, jika fakta-fakta atau keadaan berubah, penilian juga
bisa berubah, hal ini berarti juga bahwa pertimbangan nilai
seseorang bergantung pada fakta.”
f. Ngalim Purwanto menyatakan bahwa nilai yang ada pada
seseorang dipengaruhi oleh adanya adat istiadat, etika,
kepercayaan, dan agama yang dianutnya.”

Pendidikan Tauhid menurut Chabib Thoha yang dikutip oleh Muhammad

Khoirudin dalam buku nya yang berjudul “ Pendidikan Berbasis Tauhid prespektif

Al’Qur’an” Menurutnya.53 “Untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah Yang

Maha Esa dan untuk menginternalisasikan nilai ketuhanan sehingga dapat

menjiwai lahirnya nilai etika insani”.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan

bahwa Nilai-Nilai Pendidikan Tauhid adalah segala bentuk mengesakan Allah

51
Saifullah Idris, Internalisasi Nilai dalam Pendidikan : Konsep dan Kerangka
Pembelajaran dalam Pendidikan Islam (Yogyakarta : Darussalam Publishing, 2017), Cet. Ke-1, h.
17-18
52
Qiqi Yuliati Zakiyah dan A. Rusdiana, Pendidikan Nilai : Kajian Teori dan Praktik di
Sekolah (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2014), Cet. Ke-1, h. 14
53
Muhmmad Khoirudin, “Pendidikan Berbasis Tauhid Prespektif Al-Qur’an”, (Bogor :
Unida Pres : 2016), Cet. Ke-1, h. 36
35

Swt tanpa menyekutukannya dalam bentuk apapun serta memiliki hubungan

dengan seluruh tingkah laku manusia yang mengenai hal baik ataupun buruk

selanjutnya diukur oleh agama, adab, tradisi, etika, estetika kehidupan, moral dan

kebudayaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.

Sikap dan tingkah lakunya benar-benar mereflesikan nilai-nilai keIslaman

yang mantap dan teguh, didalam nilia-nilai ketauhidan dalam pembinaan iman.

Takwa dan ahklak mulia pada asaanya meliputi pembinaan tentang keyakinan,

sikap, perilaku dan ahklak mulia serta nilai-nilai luhur budaya bangsa.54

Menurut Qiqi Yulianti dan A. Rusdiana mengemukakan dalam bukunya

yang berjudul “Pendidikan Nilai: Kajiaan Teori dan Praktek di Sekolah”

mengatakan bawa.55 “Terdapat dua nilai yang ingin dinamakan melalui peroses

pendidikan dalam ajaran agam Islam, yaitu nilai tentang ketaatan kepada Allah

Swt (taqwa) , dan nilai yang mengatur hubungan sesama manusia (hablu

minannas).”

Nilai-nilai yang termuat didalam sistem nilai Islami dijelaskan oleh Saiful

Idris dalam bukunya yang berjudul “Internalisasi Nilai dalam Pendidikan: Konsep

dan Kerangka Pembelajaran Dalam Pendidikan Islam menjelaskan beberapa

kompenen atau sub-sistem, sebagai berikut.56

a. Sistem nilai kultural yang senada dan senafas dengan Islam.”


b. Sistem nilai sosial yang memiliki mekanisme gerak yang berorientasi
kepada kehidupan sejahtera di dunia dan bahgia di akhirat nanti.”

54
Muhammad Riza Zainudin, “eksistensi Tauhid Pemikiran Pendidikan Islam”, Jurnal Of
islamic Eduvation, Vol. 1, No. 1 (2016), h. 22
55
Qiqi Yuliati Zakiyah dan A. Rusdiana, Pendidikan Nilai : Kajian ..., h. 144
56
Saifullah Idris, Internalisasi Nilai dalam ..., h. 30
36

c. Sistem nilai bersifat psikologis dari massing-masing induvidu yang


didorng oleh fungsi-fungsi psikologinya untuk berperilaku secara
terkontrol oleh nilai yang menjadi sumber rujukan, yaitu Islam.”
d. Sistem nilai tingkah laku (perbuatan) dari mahkluk (manusia) yang
mengandung interelasi atau interkomunikasi dengan yang lainnya.
Tingkah laku ini timbul karena adanya tuntutan dari kebutuhan
mempertahanka hidup yang banyak diwarnai oleh nilai-nilai yang
motifatif dalam peribadinya.”

Jika mengorientasikan pengertian Nilai-Nilai Pendidika dalam Tauhid,

menurut Rama Yulis yang dikutip oleh Qiqi Yuliani dan A. Rusdiana dalam

bukunya yang berjudul “Pendidikan Nilai: Kajian Teori dan Pratik di Sekolah”,

terdapat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai berikut :57

a. Nilai Aqidah (keyakina kepada Allah Swt) berhubugan secara vartikal


dengan Allah Swt. (Hablu min Alah)
b. Nilai Syari’ah implementasi dari aqidah, hubungan horizontal dengan
manusia (hablu min an-ans)
c. Nilai Ahklak (etika vertikal horizontal) yang merupakan
pengaplikasian dari aqidah dan muamalah ( hablu min-alam)

Berdasarkan prepektif penulis, pandangan tentang kajian pengertian

pendidikan nilai-nilaia dalam tauhid tersebeut. Terjadilah dua katagori

pemerolehan nilai. Ada nilia yang diperoleh atau lahir yang disebabkan realitis

konkrit yang dipahami dengan belajar menggunakan akal pikiran, dan ada nilai

yang diperoleh dengan dengaan sepiritual. kedua nilai tersebut dengan nilia

Insaniah dan Ilahiyah.

Dikarenakan nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan tauhid adalah

sebagai pondasi awal untuk menuju pada pondasi selanjutnya yaitu Islam, Iman

dan Ihsan, Iman merupakan bagian sangat terpenting dalam kehidupan manusia

sebagai bentuk percaya dan yakin adanya wujud Allah Tuhan Sang Maha Kuasa

57
iqi Yuliati Zakiyah dan A. Rusdiana, Pendidikan Nilai : Kajian ..., h. 144
37

dan bentuk keyakinan bahwa tidak ada sesuatu apapun didunia ini menyektukan

Allah. 58

Saiful Idris mengutip pendapat Hasan langgulung tentang beberapa nilai

yang harus diaplikasikan kepada manusia dalam pendidikan Islam. Nilai-nilai

tersebut adalah sebagai berikut :59

a. Nilai-Nilai tentang Hakikat Manusia


Nilai yang berkenaan dengan hakikat manusia disini adalah berkenaan
dengan kedudukan dan fungsi manusia dimuka bumi sebagai salah
satu mahkluk Allah Swt yang paling sempurna ciptaannya
dibandingkan dengan mahkluk-mahkluk ciptaan Allah lainnya. Denga
demikian seseorang yang dituntun harus memahami dan menghayati
terhdap makna semua ini karena sudah menjadi kewajiban bagi
manusia.”
b. Nilai-Nilai Tentang Tujuan Hidup Manusia Didunia Ini
Tujuan hidup adalah tujuan akhir yang ingin dicapai oleh setiap
manusia dalam konteks pembelajaran. Dengan demikian, internalisasi
nilai-nilai luhur dan nilai-nilai universal yang ingin dicapai tersebut
merupakan seseutau yang paling penting. Seperti ma’rifatullah dan
taqwa kepada Allah Swt.”
c. Nilai Ahklak Terpuji
Abdullah Darazz, membagi nilai-nilai ahklak kepada lima jenis, yaitu
diantaranya : nilai-nilai ahklak perseorangan, nilai-nilai ahklak dalam
keluarga, nilai-nilai ahklak sosial, nilai-nilai ahklak dalam negara, dan
nilai-nilai ahklak dalam agama.”

Demikianlah penjelasan mengenai nilai-nilai pendidikan Islam dan tauhid

yang secara eksoterik membahas perbuatan, moral, adab dan perilaku berbuat

baik kepada manusia dan bermanfaat sesama manusia karena sebaik-baiknya

manusia adalah yang memberi manfaat kepada orang banyak, sedangkan secara

esoteris nilai-nilai pendidikan islam dan tauhid mengarah kepada mengesakan

Allah mengimani dan mempercayai bahwasannya segala sesuatu milik Allah dan

tidak boleh menyekutukannya dalam bentuk apapun, berserah diri kepada allah

58
Muhammad Khoirudin, Pendidikan berbasis Tauhid ..., h. 16
59
Saifullah Idris, Internalisasi Nilai dalam ..., h. 36
38

dan selalu tunduk patuh kepada Allah SWT, semata-mata mengharapkan ridha

Allah SWT, bertaqwa kepada Allah dan menerima semua ketetapan dari Allah

dan berserah diri kepada Allah, karena sesungguhnya Allah menciptakan jin dan

manusia semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah SWT.

Sesungguhnya kesempurnaan manusia terletak dalam sikap dan sifat

rendah hatinya dihadapan Allah, tidak beloh seorang pun yang menonjolkan diri

dihdapan-Nya dan tidak ada ibdah yang mungkin tanpa menunjukan kerendahan

hati kepada Allah SWT.60 Tak lain dan tak bukan esensi dari Islam adalah perilaku

seseorang untuk rendah hati, berbuat baik akan semata-mata karena Allah SWT.

Oleh sebab itu kita senantiasa rendah hati (tawadhu) dan beradab karean

sesungguhnya Allah lebih sangat mencinai hambanya yang beradab dan rendah

hati dibandingkan dengan kepintaran tetapi angkuh, seperti layaknya Iblis yang

pintar dari segala pengetahuan bahkan lebih tinggi drajatnya dibandingkan dengan

para malaikat dan pada akhirnya Iblis di usir oleh Allah kedunia dikarenakan sifat

dan sikapnya yang angkuh kepada sesama mahkluk Allah (Adam). Karena

sesungguhnya esensi dari ketauhidan adalah adalah impelementasi perbuatan dan

ketaatan, kepatuhan untuk menuju manusia yang sempurna (insan kamil).

Menurut Benny Prasetiya dkk dalam jurnal Islamic mengatakan bahwa. 61

“Islam memandang bahwa pendidikan adalah tarekat oleh nilai ketuhanan,

pemaknaan pendidikan merupakan perpaduan antara keungguluan spiritual dan

kultural.” Nilai-nilai dalam aspek teolgi (yang sudah penulis jelaskan dimuka), tak

60
Muhammad Taqi Mishbah yazdi, “Filsafat Tauhid : Mengenal Tuhan Melalui Nalar
dan Firman”, ( Bandung : Arasy : 2003 ), Cet. Ke-1, h. 74
61
Benny Prasetiya et all, “Penguatan Nilai Ketauhidan Dalam Prakis Pendidikan Islam”
(Jurnal : Of Islamic Education), Vol. 3, No. 1 mei 2018, h.
39

pernah mengalami perubahan karena memang lebih bersifat statis dan pasti,

sebalaiknya nilai insaniyah selamanya mengalami perkembangan dan perubahan.

Oleh sebab itu pentingnya akan ilmu ketauhidan terutama kepada peserta

didik sebagai pondasi agar tidak terpengaruh oleh perubahan jaman dan

terpengaruh oleh lingkungan serta menjadi bekal untuknya nanti meperdalam ilmu

agama karena sesungguhnya kehidupan didunia ini hanya sementara saja sejatinya

kehidupan yang nyata adalah akhirat kelak, oleh karen itu memperlajari ilmu

tauhid dengan menamkan nilai-nilai keimanan dan keIslaman dari dalam hati,yang

bisa menahan diri dari hawa nafsu, beperilaku baik, berahklak serta beradab

karena sesungguhnya agama mengajarkan akan nilai-nilai kebaikan. Baik

kalangan muda, remaja dewasa maupun orang tua harus meekuni ketauhidan

karena tujuan akhir dari hidup adalah semata-mata untuk menggapai ridho Allah

serta mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad SAW.

2.3 Internalisasi Nilai Islam dan Jawa

Internalisasi nilai Islam dan Jawa adalah berbagai kultur orang-orang Jawa

dalam bentuk perilaku, tata kerama, etikaa dan adab sopan santun serta

menjunjung tinggi nilai kemanusian dalam budi pekerti seperti yang disampaikan

oleh Nisa A’rafiyah Tri Wulandari dalam jurnalnya yang berjudul “Filosofi Jawa

Nromo di Tinjau Dari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa” mengatakan bahwa:62

“Masyarakat jawa adalah alon-alon waton kalakon, artinya: dalam


menjalani hidup itu harus pelan tetapi pasti, tidak gerasah-gerusuh
atau gegabah, ojo gumenan, ojo gutenan, ojo kagetan, ojo aleman,

Nisa A’rafiyah Tri Wulandarai “Filosofi Jawa Nrimo Ditinjau Dari Sila Keetuhanan
62

Yang Maha Esa”, Jurnal2.um.ac.id/index.php/jppk. Vol. 2 No. 2 hal. 133


40

artinya ; jangan mudah heran, jangan mudah menyesal, jangan mudah


kaget, dan jangan mudah manja, sopo mundur, bakalam ngunduh,
artinya : setiap hal yang dilakukan akan kembali kepada diri sendiri ,
urip iku urup, artinya: hidup itu artinya adalah berusaha berbuat baik
sehingga membuat dunia menjadi terang, ojo kuminter mundhal
keblinger, ojo cidra mundhak cilok, artinya: dalam hidup itu jangan
lah mengaggungkan diri sendiri dan jangan pula meremehkan orang
lain, karena akan membuat diri sendiri celaka, ngluruk tanpa bala,
menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanppa bundha,
artinya :menjadi hidup itu harus rendah hati layaknya padi dan
menolang tanpa pamrih”

Oleh sebab itu kultur orang Jawa adalah menamkan nilai-nilai berbuat

baik, memprioritaskan akan ahklak dan adab yang dijunjung tinggi, serta rendah

hati kepada kepada orang lain tak lepas dari ketauhidan untuk selalu bertauhid

mengesakan Gusti Allah yang Maha Tunggal.

Menurut Daryoni dalam bukunya yang berjudul “percikan Filsafat” yang

dikutip oleh Daryono , menurutnya bahwa.63

“Nilai” bukan suatu “Substansi” atau sesuatu yang berdiri sendiri, juga
bukan ide (konsep), ia adalah perjumpaan pengalaman manusia
dengan apa yang dirasakan dengan arti positif baginya, pengalaman
nilai yang positif dihayati dalam perasaan, bukan pada rasio saja
melainkan kepadaa keperibadiannya (cipta, rasa. Dan karsa).

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwasannya esensi nilai

adalah dilihat dari segi laku manusia kepada sesama manusia dan ditinjau dari

segi pengalaman secara esotris (khusus) bukan hanya ditinjau dari segi eksoterik

(umum) melalui jati diri keperibadiannya, Objektivitaasi dan transpormasi sosial

tersebut melahirkan karakteristik nilai-nilai secara moral kultur orang jawa yang

63
Daryono, “Etos Dagang Orang Jawa : Pengalaman Raja Mangkunegara IV”,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), Cet ke-1, h. 83
41

baru (moderm) yaitu dalam pemahaman tiga sistem. Nilai-nilai moral kultur Jawa

: Harmonis, Struktural, Fungsional, dan Transedental.64”

Internalisasi nilai islam dan jawa adalah tak lepas dari kultur Jawa dan

Islam Nusantara yang mengedepankan kepada kultural yang telah ada jauh

sebelum Islam ada ditanah Jawa seperti halnya Isalam Nusantara, dalam Isalam

Nusantara dikesankan sebagai Islam yang ramah, moderat, luwes, anti kekerasan,

toleran, menghargai nilaai-nilai kemanusiaan, membelaa tegak berdirinya bangsa

dan negara, Pancasila, mengapresiasi tradisi setempat, hidup dalam kehidupan

multikultur dan hal yang lainnya yang berkaitan dengan kultural ditanah Jawa. 65”

Karena dilihat dari penilaian perilaku bahwasannya orang-orang jawa sangat

bermoral dan santun dalam segala aspek karena yang sudah melekat dihati orang-

orang jawa adalah bagaimana cara untuk bisa menjadi manusia yang sempurna

(insan kamil).

Said Ramadhan al-Buthy dalam bukunya yang berjudul “The Great

Episodes of Muhammad Saw: Menghayati Islam dari Fregmen Kehidupan

Rasasullah Saw, yang diterjamahkan oleh Ferdian Hasmand, et.al. menjelaskan

tentang salah satu peroses tentang seseorang yang ingin memahami hakikat

penciptaan, salah satu peroses itu adalah merenungi dalam menyendiri,

menurutnya: 66

64
Daryano, “Etos Dagang Orang Jawa ..., h. 84
65
Achmad Syahid, “Islam Nusantara : Relai Agama-Budaya dan Tendensi Kuasa
Ulama”, ( Deppok : Rajawali Perinting 2019), Cet, 1, h. 56
66
Said Ramadhan al-Buthy, The Great Episodes of Muhammad SAW : Menghayati Islam
dari Fragmen Kehidupan Rasulullah Saw, Penerjemah Fedrian Hasmand, et.al. (Jakarta : Noura
Books, 2015), Cet. Ke-1, h. 88
42

“Rasullah Saw sering kali menyendiri dan dilakukan mejelang


kenabiannya. Hal ini merupakan pertanda yang sangat agung dan
memiliki nilai penting bagi kehidupan kaum muslimin secara umum
dan para juru dakwah secara khusus. Aktivis nabi Muhammad Saw
menjelaskan bahwa seseorang muslim tidak akan sempurna Ke-
Islamannya, meskipun dia telah menghiasi diri dengan berbagai
ibadah, sebelum melakukan kegiatan menyendiri selama beberapa
lama untuk menghisab diri dan merasakan pengawasan Allah Swt
serta memikirkan fenomena alam berikut bukti-bukti keagungan Allah
Swt. (habluminallah)”

Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Said Ramadhan al-Buthy,

menyendiri menjadi bagian yang penting untuk dilakukan oleh orang-orang

muslim (Jawa) pada saat itu yang ingin memahami dan mencapai Ke-Islaman

yang benar, lebih lagi orang-orang muslim yang ingin memahamai menjadi

manusia yang sempurna (insan kamil). “Serta menyeru kepada oarang-oarang

muslim lainnya untuk mengikuti jalan yang benar dengan cara yang bijak guna

untuk menjadi orang yang bijaksana.” Diantara hikmah menyendiri penulis

berpersepsi, menyendiri adalah bahwa sesungguhnya dalam diri kita ada

kerusakan yang hanya dapat diobati dengan cara menyendiri dari keramaian serta

mengevaluasi diri sendiri dari suasana yang hening dari patamorgananya dunia

ini.” Semua iti adalah sebab dan akibat terjadinya yang merusak jiwa manusia dan

mengotori hati didalam dirinya dengan cara ngalamun, ngalaman, ngalamin.67

Dengan cara seperti itiulah (menyendiri) seseorang bisa mengurangi

bahkan menghilangkan sifat dan sikap sombong kepada oang lain, ujub

(mengagumi diri sendiri) dengki, riya dan cinta dunia, semua itu merupakan

67
Ngalamun, ngalaman dan ngalamin di sini, maksud penulis adalah sama dengan
melamun (menyendiri dan merenung) ngalaman sama halnya dengan pengalaman, dan ngalamin
sama halnya dengan apa yang sudah kita alami yang kita lakukan
43

penyakit yang akan merusak hati jiwa manusia dan menodai dirinya sendiri, maka

Allah akan menutup hatinya, menutup pendengarannya dan pengelihatannya

kepada kebenaran yang Haq dikarenakan sudah hancur batinnya karena

perbuatannya sendiri. Meskipun seseorang itu dia banyak memberi amal, ibadah

yang apik, tetapi semua itu juga akan merusak dikarenakan niat dan tujuannya

hanya kepada kebendaan duniawi bukan mengharapkan ridho Ilahi.”

Oleh karena itu menyendiri dari bagian pendidikan Islam serta kultur bagi

orang-orang Jawa, tetapi orag Jawa jika menyendiri maka disebut dengan

meditasi, sedangkan orang muslim menyendiri adalah beri’tikap tentang

bagaimana seseorang bisa menjadi manusia yang berbudi luhur, beradab, beretika

mengerti akan estetika kehidupan serta bersikap bijak dalam setiap perjalanan

(suluk), dengan melakukan penyendirian. 68

Salah satu falsafah jawa yang terkandung dalam Serat Wedhatama pupuh

pangkur, yaitu serat yang berisikan tentang ajaran ajaran-ajaran orang-orang Jawa

untuk tidak terpengaruh kepada keduniawian serta memerangi hawa nafsu yang

ada didalam dirinya, Serat Wedhatama karangan Kanjeng Gusti Pangeran

Adhipati Aryam (KGPAA) yang mendapatkan gelar Sri Mangkunegara IV. Pada

bait ke 14 pupuh pangkur yang berbunyi.69

“Sejatine kang mangkono


Wus kakenan nugrahning Hyang widhi
Bali alaming asuwung
Tan karem karamayan
Ingkang sifat wisesa winisesa wus
Mulih mula-mulanira

68
Said Ramadhan al-Buthy, As-Sîrah an-Nabawiyyah Ma’a ..., h. 89
69
Ki Sabdacarakatama,”Serat Wedhatama : Karya Sastra K,G,P,A,A Mangkunegara IV
“Serat wedhatama”, (Yogyakarta : Narassi, 2010 ), Cet .ke-1, h.27
44

Mulane wong anom

Sesungguhnya bagi insan yang telah mengalaminya.


Berarti telah mendapatkan perkenaan anugrah Tuhan Yang Maha
Kuasa
Kembali kealam yang sunyi (hampa)
Tanpa tertarik terhadap keduniawian
Sifat awal yang menguasainya secara mutlaq (hawa nafsu)
Telah dapat di kuassainya dengan sempurna
Untuk kembali kepada fitrahnya, demikian adanya wahai anak
muda.70

Dari bait pangkur ke-14 diatas sangat jelas nasihat yang terkandung Serat

Wedhatama kepada kalangan anak muda, untuk senantiasa menjauhi dunia dan

bisa mengendalikan hawa nafsu guna untuk bisa kembali secara fitrah (suci) agar

bisa menjadi manusia yang sempurna dan berbudi luhur demi menggapai menjadi

manusia yang sempurna (insan kamil).”

Bahkan sebelum Islam masuk ketanah Jawa. Sehingga pada saat

penyebaran agama Islam di tanah Jawa para Walisngo hanya mengubah pola

dakwah dengan cara menyesuaikan dengan masyarakat di tanah Jawa melalui

budaya dan tradisi Jawa, dan mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk dengan aturan

atau kaidah-kaidah ketauhidan ke-Islaman.”

Deni Hermawan dan Irawan dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan

Nilai: Nilai di Balik Pesan Kritis Spiritualitas Islam” mengungkapkan bahwa. 71

“warisan atau tradisi pendidikan yang begitu kental sampai sekarang. Sebagai

bentuk internalisasi dalam budaya pendidikan, sangat jelas terlihat pada praktek di

pesantren.” Selanjutnya Deni Hermawan dan Irawan mengutip pendapat

70
Ki Sabdacarakatama, “Serat Wedhatama ..., h. 27
71
Deni Hermawan dan Irawan, Pendidikan Nilai : Nilai ..., h. 145
45

Kuntowijoyo dalam buku yang sama, bahwa.72 “ Sistem dan modal pendidikan

yang di terapkan didalam manusia Jawa melekat kuat pada pada sistem nilai

dengan sistem simbolik dan juga sistem budaya. Ketiga varian yakni tata nilai,

simbol dan budaya sangatat kental seakan menjadi dasar yang harus di genggam

dan di emban oleh setiap manusia.” Karena itulah ketiganya merupakan bentuk

kepangabdian total kepada Allah Swt dengana Bertuhid, dan berdampak lamgsung

pada manusia (humanisasi) dalam bentuk laku amal dan perbuatan. Makna tauhid

(godhead) ini dalam prakteknya tidak tertuju kepada penghabatan diri kepada

Allah Swt, tetapi semakin memperikat manusia dalam satu kesatuan dalam

berbangsa-bangsa bersuku-suku, berkelompok dan berpasangan, satu kesatuan

tujuan hidup ( unity of purpose of life), yaitu satuu kesatuan bimbingan hidup

(unity of guidence).

Berasaskan penjelsan sebelumnya, bahwa dalam peroses pembentukan

budaya pendidikan yang dibaluti oleh nilai-nilai ketauhidan tidak lah mudah ada

beberapa tahap yang harus dilakukan setiap manusia yang belajar. Budaya

pendidikan merupakan hal yang haus di jaga di lestarikan dan di pertahankan serta

harus dapat dipahami oleh setiap manusia, agar terbentuk didalam diri semua

manusia karakter yang baik dan uggul, memperiorotaskan anak nilai-nilai ahklak,

adab etika dan estetika dalam kehidupan, baik dalam pendidikan eksetorik

maupun pendidikan secara esoteris harus di pelajari dengan komitmen dan

konsistensi didalam diri manusia dengan tujuan menjadi manusia yang baik dan

unggul, sehingga setiap manusia akan memahmi esensi hakikat manusia untuk apa

72
Deni Hermawan dan Irawan, Pendidikan Nilai : Nilai ..., h. 145-146
46

manusia diciptakan dan harus bagaimana manusia menjalani peroses kehidupan

sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan dan diatur oleh Gusti Allah SWT.

“Dengan tujuan mengharapkan ridho Ilahi dan mencapai titik menjadi manusia

yang sempurna (insan kamil).”

Sejak dahulu orang Jawa mengakui akan keesaan Tuhan sehingga menjadi

inti dari ajaran kejawen, yaitu mengarahkan manusia; sangkan paraning dumadhi

(manunggal kaula Gusti). Bukan sejatinya orang jawa dulu tidak mengenal istilah

“relijius” dan “non-relijius”. Apa yang muncul menjadi pedoman dalam ajaran

kejawen dimasa lampau terjadinya integralisasi antara manusia dengan

lingkungan sekitarnya.73

Akan tetapi kejawen dengan agama itu jelas berbeda karena kajawen

adalah kulturisasi orang-orang jawa sedangkan agama sudah ada sebelum kejawen

itu agama, maka dari sinilah penulis ingin meluruskan bahwasannya kajawen itu

bukanlah agama, melainkan adalah budaya sebagai orang jawa yang kental

akan adat istiadatnya dan menganut serta patuh kepada leluhurnya sebelum agama

Islam itu datang ditanah jawa. 74

Menurut Ali Musthofa Kamal dalam jurnalnya yang berjudul “Internalisasi

Jawa dalam dan Islam Dalam Berbagai Aspel kehidupan” menurutnya bawhwa. 75

“Masyarakat jawa atau Wong Jowo, adalah masyarakat yang mengidentifasikan

73
Sri Harini, Tasawuf Jawa : Kesalhean Spiritual Jawa, (Yogyakarta: Araska, 20199),
Cet. Ke -1, h. 69

74
Menurut penulis adanya agama Islam dan kajawen esensinya adalah sama yaitu; laku
kebaikan, hanya saja tata cara dan doa kajawen itu berbeda dengan ajaran Islam yang dibawa oleh
para wali songo ketanah Jawa
75
Muhamad Ali Musthofa Kamal, “Internalisasi Nilai Jawa dan Islam Dalam Berbagai
Aspel Kehidupan” (Jurnal : Kalam Studi Agama dan Pemikiran Islam), Vol. 10 No. 1, Juni 2016,
h.28
47

diri mereka sebagao orang-orang yang menjunjung tinggi sifat-sifat luhur dan

kultur.” (yang berbagai macam seni, adat sitiadat, tapa berta, dan kepercayaan

kepada leluhur) yang demikian adalah baik secara geografikal maupun

antropologikal. Dalam filsafat jawa dikenal dengan tiga macam kodrat

kemampuan manusia untuk menangkap kesanyutan yaitu: cipta (akal, rasio, fakir

atau penalaran), rasa (intuisi rasajati), dan karsa (khendak), kesanyutan yang

dimaksud mengandung unsur-unsur suweng, temen, nyata (bener, hampa). 76

Jadi kesunyataan tiada lain adalah kebenaran dan kenyataan, ukran

kemajuan Jawa ketika potensi yang tiga diatas disatukan, maka akan mencapai

kesadaran tingkat tertinggi dari emapat kesadaran yang dilalui yaitu: kesadaran

panca indrawi, kesadaran hening, kesadaraan pribadi, dan puncaknya adalah

kesadaran ilahi.” Dari empat kesadaran itu bila disamakan dalam nilai-nilai

ketauhidan maka sama halnya dengan bentuk syari’at, thorikot, hakikat dan

makrifat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Moh. Shoheh dalam Jurnalnya yang

berrjudul “Karakteristik Pendidikan tasawuf Menurut Lois Masignon”

menurutnya bhawa.77

“Syari’at adalah awal dan ancang-acncang dalam melangkah, thorikit


melanjutkan dari syari’at berikrar seorang hamba untuk mendekatkan
diri kepada Allah, ‘kemudian hakikat (melanjutkan dari syri’at dan
thorikot) adalah langkah mencintai kepada Allah akal dan ruhnya dan
keselurhannya mencapi secara perebial, kemudian makrifat ( bagian
akhir langkah dari syari’at, thorikot dan hakikat), seseorang yang
mengantarkan kepada hidup yang mencapai kebeningan ruh, hati dan
jiwa. Sehingga ketenteraman serta ketenangan keperibadiannya sifat,
karakter, watak dan tabi’atnya yang dilakukan semata-mata karena
Allah SWT, perumpamaan hamba yang mencapai tingkat makrifat ini

76
Muhammad Ali Mushtifa Kamal, “Internalisasi Nilai Jawa dan Islam ...,” h.29
77
Moh. Shohe,”Karakteristik Pendidikan Tasawuf Menurut Lois Masignon” (Ahsan
media junal: pemikiran, pendidikan dan penelitian ke-islaman), Vol. 4, No.2 Juli 2018, h.
48

laksana dedaunan yang semakin lama akan semakin layu dan


mengering”.

Menurut defenisi penulis internalisasi orang Jawa dalam laku kehidupan

adalah lebih mengedepankan nilai-nilai budi yang baik yang menjunjung tinggi

akan etika serta estetika akan tauhidup dan tau hidup, yang dimana bisa dikatakan

ajarannya adalah kejawawen, kejawen dalam arti adalah kultur dan nilai-nilai

orang jawa dalam keyakinan meraka, seperti yang dikatakan oleh Phlip Winn

yang dikutip oleh S. Bayu Wahyoni dalam Jurnalnya yang berjudul “Kejawen

Dalam ke-Islaman: Suatu Pertarungan Identitas” mengatakan bahwa.78

“Sinkretisme sebagai sebuah teri pendektan daam melihay hubungan kajawaan

dalam Islam, bahwa terminologi sinkritisme dan Agama sinskretik tidak

bermanfaat dalam memahami proses yang begitu kompeleks dalama masyrakat”.

Sedangkan pengertian sinkritisme sebagai jalan keluar oleh penganut sebuah

agama tertentu agar mereka tetap menjalankan agamanya tetatpi juga melakukan

tradisi adat istiadat tertentu dari kulturnya.”

Dari pengertian diatas bisa dikatakan agama dan kajawen adalah hal yang

berbeda, agama adalah kepercayaan kepada Tuhan tanpa mengubah akan budaya,

sedangkan kajawen adalah kultur adat istiadat yang telah ada dari leluhur-leluhur

sebelumnya karena itu agama tidak mengubah budaya tetapi meluruskannya.”

Menurut Agus Wahyudi dalam bukunya yang berjudul “Zaman Edan

Ranggawarsita: Menaklukan Hawa Nafsu Di Zaman Yang Tak Menentu”

78
S. Bayu Wahyono, “Kajawen Dan ke-Islaman : Suatu Pertarungan iddentitas”, (Jurna :
Ilmu Sosial dan Politik), Vol. 5, No. 1, Juli 2001, h.
49

menurutnya bahwa. 79 “Serat Wirid Hidayat Jati karangan oleh Raden Ngabehi

Ranggawarsita mengajarkan untuk manusia untuk menjalani tiga tahap dzikir,

adapaun tiga tahay yaitu; pertama wurid untuk mencapai kesempurnaan, kedua

wirid ajaran ma’rifat ketiga wirid tenatang hakikat hidup.”

Itu adalah tata cara untuk mencapai kesempurnaan dalam hidup agar hidup

menjadi tenang, berkah serta mendapatkan kebahagian lahir maupun batin, karena

kedekatan Ranggawarsito dengan K.G.P.A.A Mangkunegara IV sangatlah dekat

seperti yang sudah penulis jelaskan diatas, adapaun kesamaan dengan Serat

Wedhatama karangan K.G.P.A.A Mangkunegara IV dengan Ranggawarsita

adalah sama, yakni menjadi manusia yang sempurna. 80 Esesni Tuhan di antara

Ada dan tidak Ada, dikatakan tidak ada karena Tuhan tidak terindikasi oleh panca

indra, dan diyakini Ada jika seseorang meyakini akan Wujud-Nya Tuhan.81

79
Agus Wahyudi, Zaman Edan Ranggawarsita: menaklukan Hawa Nafsu Di Zaman
Yang Tak Menentu, (Yogyakarta: Penerbit Narasii, 2014), Cet, ke-1 h. 141
80
Menurut penulis, karena Ranggawarsita dengan Mangkunegara Iv adalah sahabat dan
keduanya sama-sama sahabat, oleh sebab itu ilmu yang diajarkan dalam serat wdhatama dengan
wirid hidayat jati esensinya adalah sama, yakni mentauhidkan Allah agar mengetahui esensi hidup
dengan tujuan mendapatkan ridha Allah Swt.
81
Agus Wahyudi, Zaman Edan ..., h. 117
BAB III

RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN DAN,

KONSEP PENDIDIKAN TAUHID MANGKUNEGARA IV

3.1 Riwayat Hidup Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya

Mangkunegara IV

“Kanjeng Gutsti Pangeran Adiati Arya Mangkunegara IV dengan nama

aslinya Raden Mas Sudiro, ia hidup di era yang mana pada saat itu ada

peperangan Mangkunegaraan dengan VOC dan Belanda. Serta “juga minat

terhadap kesusastraan Jawa, baik dari masa Hindu-Budha maupun masa awal

penyebaran Islam bangkit secara meluas di Nusantara. Pujangga-pujangga seperti,

Mangkubuwono IX, Ranggawarsito, dan Yosodipuro, sekaligus R.M. Suidra

adalah seorang negarawan yang memperoleh gelar Satria Pinandita, Ia dari

Pasangan Kanjeng Pangeran Adiwijaya I dengan Raden Ajeng Sekeli adalah

orang “tua R.M. Sudira, yang kemudian menjadi Sri Mangkuengara IV. Sebutan

Kata Sri. Menurut R.O’G Anderson yang dikutip Oleh Daryono dalam bukunya

yang berjudul “Etos dagang Orang Jawa” mengatakan bahwa. 162 “Sri merupakan

salah satu panggilan kehormatan bagi seorang raja.” dan kata ini pula yang

Menurut Soetomo Siswokartono dalam buku yang berjudul “Sri Mangkunegara

162
Daryono, Etos Dagang Orang Jawa : Pengalaman Raja Mangkunegara IV (
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), Cet. Ke- 1, h. 36

49
50

IV: Sebagai Penguasa dan Pujangga 1853 – 1881” menjelaskan bahwa.163

“Mangkunegara IV Ia di lahirkan pada hari Ahad dirumah Adiwijayan pada

pukul 23:00 ( 11 malam), tanggal 8 sapar, tahun Jumakir, Windu Sancaya, 1738

atau tanggal 3 Maret 1811 di Surakart dengan nama Raden Mas Sudira”. Putra

Kanjeng Pangeran Adiwijata I semuanya ada 12 orang, akan tetapi, ada 3 (tiga)

orang yang telah meninggal ketika mereka masih kecil, sehingga yang mash hidup

ada 9 (sembilan) orang, yang lima orang laki-laki dan 4 (empat) orang

peremuan. 164”

Oleh karena Kanjeng Pangeran Adiwijaya I adalah putra Raden Mas

Tumenggung Kusumadaningrat yang “menjadi menantu Sri Susuhan Pakubana II,

sedangkan Raden Mas Sekeli adalah putri Sri Mangkunegara II”, maka secara

garis besar keturunan Raden Mas Sudira seil-silahnya adalah :

a. Dari garis ibundanya (garis putri), ia adalah cucu Sri Mangkunegara II,

b. Dari garis ayahandanya (garis laki-laki) ia adalah cucu Raden Mas

Tumenggung, dan buyut atau cicit Sri Suhaan Pakubuwona III, selain ia

juga cicit Seda Ing Lepen Abu atau Pangeran yang wafat ditepi sungai Abu

di wilayah Kedu, yang gugur ketika melawan Kompeni Belanda. 165

c. Ayahnya bernama hadiwijaya I adalah keturunan ketiga (cicit) dari

Pangeran Hadiwijaya, Puta sunan Amangkurat IV.166

163
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV : Sebagai Penguasa dan Pujangga
1853 – 1881, ( Semarang : CV Aneka Ilmu, 2006), Cet. Ke- 1, h.76
164
Adapun saudara-saudaranya yang masih hidup ketika itu adalah : (1) Raden Ayu
Mangkujaya, (2) Kanjeng Pangeran Arya Adiwijaya II, (3) Kanjeng Pangeran arya
Kusumadaningrat, (4) Raden ayu Mertadamije, (5) Raden Ayu Surawijaya, (6) Raden Mas
Gandawardaya, (7) Raden Ayu Tumanggung, dan (8) Raden Ayu Panca Wardaya I.
165
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara ..., h. 77
166
Daryono, Etos dagang Orang jawa : Pengalaman raja mangkuneara IV, mengenai
sislsilah dinasti Mangkunegaraan, lhat : Soemohatmoko, “ Pratelan Para Dalam Kanjeng Gusti
51

Selanjutnya Babad Mangkunegara IV Mnejelaskan yang dikutip oleh

Soetomo Siswokartono, dalam buku yang sama, begitu jabang bayi Raden mas

Sudira lahir, lalu di minta kakeknya, yaitu Sri Mangkunegara II, untuk dijadikan

putra angkatnya, jadi sejak lahir Raden Mas Sudira di asuh oleh dengan seorang

selirnya yang bernama Mbok Ajeng Dayaningsih untuk diasuhnya, “dalam asuhan

Mbok ini dangat mengasihinya karena merasa” “terhormat diberi kepercayaan

oleh sang “Raja”, untuk mengasuh anaknya, Raden Mas Sudira pun tumbuh

menjadi menjadi anak yang sehat dan juga cerdas.””

“Sedangkan menurut Ardani yang di kutip oleh Adityo Jatmiko dalam

bukunya yang berjudul “Tafsir Ajaran Serat Wedhatama ” menjelaskan bahwa.167

Pangeran Hadiwijaya I yang menikah dengan Putri Mangkunegara II, melahirkan

jabang bayi yang di beri nama Sudiro, anak ke-7, pada hari sabtu bertepatan

dengan Ahad legi, 1 Sapar Jimakir 1736 tahun jawa atau, 3 maret 1811, di

Surakarta.”

“Eyang Sudiro dari pihak Ayah gugur dalam pertempuran melawan

kompeni Belanda dikalibu, maka terkenal dengan sebutan Hadiwijaya Seda

Kalibu, Eyang dari pihak Ibunya adalah Mangkunegara II, anak kandung

Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Raden Mas Sahid/Said, atau yang

lebih di kenal dengan sebutan Pangeran Sumber Nyowo.” Pendidikan Raden Mas

Sudira tidak formal oleh sebab itu pendidikan Raden Mas Sudira diberikan secara

Pangeran Adipati Arya Managkunegara IV”, Manuskrip No. 1 ( Surakarta : reksa Pustaka
Mangkunegaraan, 1923), h. 1. Lihat juga dalam Kamajaya, pilihan Anggitan KGPAA
Mangkunegara IV isi Serat-Serat Anggitan-Dalam KGPAA Mangkunegara IV, ( Yogyakarta :
yayasan Centini, 1992), h. 2.
167
Adityo Jatmiko, Tafsir Ajaran : Serat Wedhatama, (Yogyakarta : Pura Pustaka,
2012), Cet. Ke- 1, h. 6-7
52

privat, yaitu dengan didatangkan para guru-guru untuk mengajarkan Raden Mas

Sudira kecil ilmu-ilmu membaca, menulis serta sastra dalam bahasa jawa, ia didik

oleh Eyang Mangkunegra II. Pelajaran yang berupa pencerminan filsafat

kejawaan yang pengaruhnya besar sekali pada alam pikiraan jawa.168

Menurut Subardi, Prince Mangkunegara IV Ruler and A t Century Java,

yang dikutip oleh Soetomo dalam buku yang sama, mengemukakan bahwa. 169

“Oleh orang-orang Belanda yang di datangkan oleh Sri Mangkunegara


II, yang selain untuk menuntun Pangeran Riya, yang sengaja di
siapkan sebagai calon penggantinya, juga di tugasi untuk mendidik
dan mengajar Raden Mas Sudira, dalam pengajaran bahasa belanda,
tulisan latin, dan pengetahuan lainnya, dianatara orang-orang Belanda
antara lain: J.F.C Dr. Gericke dan C.F Winter, disamping itu Sri
Mangkunegara II juga ikut serta menangani dan mendidik Rade Mas
Sudira. Dalam pengajaran Ilmu Kanuragan (kebathinan), pengajaran
serta pengawasan Sri Mangkunegara II lamanya samapai Raden Mas
Sudira berusia 10 tahun.”

Setelah berusia 10 tahun, oleh Sri Mangkunegata II (Kakeknya), Ia

diserahkan kepada kanjeng Pangeran Riya/Riyo (yang kelak naik tahta

K.G.P.A.A, Mangkunegara II). Yang sebenernya masih saudara sepupunya atau

kaka sepupu, untuk di ambil sebagai putra sulungnya, karena pada saat itu

Kanjeng Pangeran Riya walaupun sudah menikah tetapi belum dikaruniai buah

hati (anak), oleh sebab itulah Kanjeng Pangeran Riya mengngakat Raden Mas

Sudira sebagai Putra sulungnya (angkatnya),” Raden Mas Sudira, kala itu

langusung diajari oleh Kanjeng Pangeran Riyo yang berlangsung cukup lama,

“yaitu kurang lebih lima tahun masa pendidikan dan pengawasan oleh Kanjeng

Pangeran Riya.”

168
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara ..., h.78
169
Soetomo Siswokartono, Sri mangkunegara ..., h. 79
53

“Karena sudah menjadi kulturisasi para putra Mangkunegaraan apabila

tela cukup umur harus mengikuti pendidikan militer, nah, demikian pula berlaku

kepada Raden Mas Sudira, karena sudah mencapi umur 15 tahun, ia dimasukan

untuk mengikuti pendidikan kadet pada” “Leguin Mangkunegaraan”, seperti

yang disampaikan oleh Letnan Kolonel H.F Aukes yang dikutip oleh Soetomo

Siwokartono dalam buku yang sama bahwa. 170 “perbedaan pendidikan kadet

antara kesatuan tentara Hindia Belada dengan dengan kesatuan Legion

Mangkunegaraan, mereka ditugasi untuk membantu memberikan pendidikan dan

pelajaran, selebihnya dilatih sendiri oleh perwira Legion Mangkunegaraan”.

Versi selanjutnya menurut Susilianti et.al., didalam Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan: “Konsep Sentral Kepengarangan K.G.P.A.A.

(Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya) Mangkunegara IV menurutnya bahwa.171

“Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) “Mangkunegara IV lahir di

Surakarta pada tanggal 1 Sapar jumakir tahun 1736 Jawa atau Tahun 1809 M,”

dengan nama kecil Raden Mas Sudiro”. Beliau adalah cicit dari dari

Mangkunegara I yang lebih di kenal dengan nama Raden mas Sahid atau” bisa di

sebut Pangeran Sembarnyawa.”” dan cucu mendiang dari Mangkunegara II,

dengan Mangkunegara III.

R.M. Sudira kala itu di asuh dengan cara di titippkan, karena merupakan

kulturisasi langkah “pendidikan pada semua pola tingkat keluarga

Mangkunegaraan bagi masyarakat Jawa, langkah tersebut merupakan tiga proses

sebagai jenjang pendidikan yang menyatu dalam pola kekeluargaan

170
Soetomo Siswokartono, Sri mangkunegara ..., h.79
171
Susilianti et.al., Konsep Sentral Kepengarangan Mangkunegara IV, ( jakarta : CV.Eka
Dharma, 1997), h. 7
54

Mangkunegaraan, tiga pola tersebut yaitu : pertama, melalui Ngengar atau

Nyewita” (mengabdi), kedua, melalui Magang (membantu), ketiga, adalah

Wisuda ( diwisuda untuk menduduki suatu jabatan atau ketika naik pangkat).172

Selanjutnya Soetomo Siwokartono membuat struktur silsilah

Mangkunegara IV dengan mengutip Padmoso, Sulur Galur (Sarasilah) Trah

Mangkunegaraan Sampai Sri Mangkunegara III dan Sri Mangkunegara IV,

Sejarah Dalam Pangiwa Ian Panengan, dalam laporan penelitiannya yaitu sebagai

berikut :

Sekedar sebagai batas bahasan, pola identifikasi eksistensi birokrasi

pemerintahan kerajaan Mangkunegaraan pada masa Sri Mangkunegara IV dengan

pola pembaharuan tersebut adalah setelah berakhirnya perang Jawa (1830),

sampai dengan menjelang akhir masa pemerintahannya. 173 Alasannya karena,

pertama, karena ia berperan sebagai perajuritnya pemerintah Belanda. Keddua,

dengan berakhirnya perang Jawa, para Cendikiawan menyebutnya sebagai masa

tenang dan kekuasaan Raja Jawa dalam kontrol Pemerintahan Belanda.174 Ketiga,

saat awal di mulainya perang itu selain menjelang akhir masa pemerintahan

Mangkunegara II juga sebagai awal hidup Sri Mangkunegara IV yang dilahirkan

pada 1811. Mengenai latar belakang atau penyebab perang itu tetap lah penting

untuk diulas sebtas memperjelas pemahaman untuk bisa di kaji. 175

172
Daryono, Etos Dagang Orang Jawa : Penglaman Raja Mangkunegara IV, (
Semarang: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. Ke- 1, h. 37
173
Daryono, Etos Dagang Orang Jawa ..., h. 54
174
Daryono, Etos Dagang Orang Jawa ..., h. 54, lihat juga M.C Ricklefs, A Historis of
Java, h. 114
175
Daryono, Etos Dagang Orang Jawa ..., h. 55
55

Gambar 3.1

Silsilah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV.176

PAKU BUWANA I
1705 - 1719

AMANGKURAT IV (SUNAN PRABU)


(1719 - 1727)

MANGKUNEGARA PAKU BUWANA II


(KERTASURA) (1729-1749)

R.M. SAID (SRI MANGKUNEGARA I)


(1757-1795)

PRABU WIJAYA + PUTRI PRABU BUWANA III

SRI MANGKUNAGARA II

PUTRI + P. NATAKUSUMA
PUTRI + P. ADI WIJAYA I
(CUCU P.B. III)

SRI MANGKUNAGARA III SRI MANGKUNAGARA IV

176
Soetomo Siwokartono, Sri Mangkunegara ..., h. 357
56

Selanjutnya Suoetomo mengutip kembali dari Padmosoestro, sejarah

dalam pangwia lan panengan, menjelaskn Sulur Galur Sarasilah (silsilah) Trah

Mangkunegaran dari keturunan Sultan Agung sebagai berikut :

Untuk sekedar pembatasan, menurut Anjar dalam bukunya yang berjudul

“Mengingkap Sera Wehatomo” mengatakan bahwa. 177 “Pada waktu syukuram

lahirnya seorang bayi, didalamnya merayakan atau mensyukuri karunia Tuhan

atas lahirnya seorang putra/putri sudah menjadi adat atau kultur yang diadaka

yaitu Lek-lekan (tidak tidur semalaman suntuk) selama lima hari”. Sebagai

penegah rasa ngantuk dan untuk menghangatkan suasana biasanya dibacakan serat

atau syair-syair dari para pujangga yang berisikan tembang serta ilmu dan nasihat-

nasihat didalammnya.”

Tetapi dieran modern saat ini ternyata sama hanya saja berbeda tata

caranya, jika dijaman dulu membacakan serat dan tambang diera modern ini

dibacakan tahlil, marhaban dan tasakuran, atau bisa di sebut tuju bulanan dengan

mengharap doa dari para tamu sekaligus menyambung ikatan persaudaraan, atau

juga acara cukur rambut agar cabang bayi mendapatkan doa dengan harapan bisa

berguna bagi dirinya, orang tua, orang lain dan bangsa Indonesia. Ini lah tata cara

yang dari dulu hingga sekarang tetap ada meskipun berbeda caranya tetapi

menandakan kulturisasi itu masih ada dan hidup sampai sekarang, indahnya akan

toleransi dan macam beragama, rass dan budaya semuanya sama rasa tanpa

adanya diskriminasi dan rasis dalam sudut pandang saling membantu sama lain.”

177
Anjar, Menyingkap Serat Wedhotomo, ( Semarang: Aneka Ilmu, 1983), h. 11
57

Gambar 3.2

Silsilah Trah Mangkunegaran dari Sultan Agung.178

Sultan Agung (1613-1645)

Amungkarat I (1645-1677)

Paku Buwono I (1703-1719)

Amangkurat IV ( 1719 – 1727 )

Mangkunegara Paku Buwana II P. Adiwijaya P. Mangkubumi


(Kali Abu

Sri Mangkunegara + Paku Buawan III


I
+

Prabu Wijaya K. Ratu Alit

Sri Mangkunegara II

O + R.Ay. Kusumadaningrat

O + R.Ay. Natakusuma O + R.Ay. Adiwijaya I

Sri Mangkunegara III

R.Aj. Dhunuk + Sri Mangkunegara IV


( Menantu Mangkunegara III )

Mangkunegara IV adalah sosok keteurunan dari raja Mataram oleh karena

itu menurut Ardani dalam bukunya yang berjudul “ Al-Qur’an Dan Sufime

178
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara ..., h.358
58

Mangkunegara IV : Studi Serat-Serat Piwulang” beliau membuat struktur raja-raja

jawa dari kerajaan Mataram samapai kepada Mangkunegaraa sebagai berikut :

Gambar 3.3

Silsilah Thata Raja-raja Jawa.179

Kjai Gede Pemenahan of Matraman

m. Ng. Soeta Widjaja (Senapati) 1575-1601

Rd. Djolang Pan Seda Krapjak Pg. Pogoer V. Demak Pg. Poerbaja + 1675
1601 + 13

M. Rangsang Soeltan Agung Raloe Pandansari X Pg. Pekik V. Den. M. Martaporea (ujdelijk
1613 + 45 Soera - Baja vorst 1613

Mangkoerat I Rd. M. Alit Pg. Danoe-Redjaa


- 1546

M. R II Karta-Soera Pakoe-Boena I Poeger Pg. Singasari - 1678 Pg. Mataram + 1719


1677-1703 1703 + 19

M. R III Mas (Poen M. R IV Djawa Pg. PoerBaja Pg. Blitar Pg. Dipanagara
Kentja) 1703-8 (+ 1733) 1719-27 + 1726 + 1721 Eroe-Tjakarta +
1720

P. B II Komboel 1726 - 49 Mangkoe-Boena I Swarga P. g mankoe-Nagara


( Mangkubumi ) 1755 - 92

Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV : Studi Serat-Serat Piwulang,


179

(Yogyakarta:Dana Bakti Wakaf, 1995), h. 20


59

Mangkoe-Negara I ( M. Said)
1757-96

Pg. Praboe Widjaja

Mangkunegara II Prang-
Wedana 1796-1835

Dochter Dochter

Mangkunegara III Mangkunegara IV


1835-53 1835-81

Mangkunegara V 1881-96 Mangkunegara VI 1896-1916

Mangkunegara VII1969-44

Mangkunegara VIII 1944-


60

3.2 Masa Pendidikan dan Perjalanan Hidup (Suluk) Mangkunegara IV

Mangkunegara IV semasa kecil, maasih memakai nama (R.M. Sudira)

Raden Mas Sudira, “ketika baru lahir langsung di asuh oleh kakeknya yaitu Sri

Mangkunegara II, untuk di jadikan Putra angkatnya, R.M Sudira kecil di asuh dan

dibesarkan oleh Mbok Ajeng atas perintah Sri Mangkunegara II. Karena R.M.

Sudira terlahir dari keluarga kerjaan yaitu kerajaan Surakarta yang biasa disebut

Mangkunegaran.”

pada tahun 1833, yaitu pada “saat R.M Sudira mencapai usia 22 tahun, Sri

Mangkunegara III menikahkan R.M Sudira dengan K.P Suryamatraman putri

kedua pada hari sabtu Pahing, Tanggal 20 Rajeb, tahun Dal 1759 atau tahun 1833

M. Pada saat itu pula R.M Sudira dan saat itu pula” Sri Mangkunegara III nama

R.M Sudira di ganti dengan nama Raden Mas Arya Kusuma. 180

Mangkunegara hidup sezaman dengan Pujangga Ranggawarsita dan sunan

pakubuwana IX.181 Dalam memperdalam ilmu agama dan khsusunya ilmu batin,

bersama-sama dengan pimpinan Dewan Ahli Sastra Jawa seperti Paku Buwana

IX, Wira Kusuma, dan Joyo Saroso, semuanya masing-masing memperdalam

Ilmu Agama dan Ilmu Sastra, seni dan lainnya melingkup Agama dan ajaran

ketauhidan menurut Nabi Muhammad SAW.

Semasa “muda Mangkunegara IV telah masuk kedalam Dinas Militer, dan

menjadi taruna Infentari Leguin Mangkunegaraan, 3 tahun kemudian

Mangkunegara IV di angkat menjadi kapten, karena mendapat kepercayaa” oleh

Mangkuenara III yaitu Pangeran Riya/Rio, karena melihat mangkunegara IV

180
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara ..., h. 87
181
Adityo jatmiko, Tafsir Ajaran Serat ..., h. 10
61

memiliki bobot kepepimpinan yang tingggi, oleh karen itu Mangkunegara IV

diangkat menjadi Pepatih Dalam (patih raja yang mengurus dalam kerjaan). 182

Sebagai Patih, Mangkuegara IV mampu membantu Sri Mangkunegara III

sebagai rajanya dengan malakukan tugas dengan tekun dan yang dikendalikan

oleh Patih yaitu Mangkunegara IV, pada era Sri Mangkunegara III yang dikenal

sebagai penata Raja Mangkunrgaraan Kados Satataning Praja, atau sebagai

penata Mangkunegaraan. Ketekunan mangkunegara IV sebagai Patih terlukis pada

Pupuh Sinom, yang menjelaskan Mankunegara IV harus memilih menjadi abdi

negara atau belajar Agama.

Dalam bukunya Achmad Chodjim yang berjudul “Serat Wedhatama : For

Our Time” halaman pupuh sinom bait ke 12, 13 dan 14 sebagai berikut: 183

“Saking duk making taruna,


Sadhela wus anglakoni,
Maguru anggering kaji,
Sawedine tyas mami,
Banget wedine ing besuk,
Pratanan ngakir jaman,
Naro kober sembahyang gya tinimbalan,
Marang Ingkang asung pangan,
Yen kesuwen den dukani,
Abubrah bawur tyas ingwang,
Lis kiamat saben hari,
Bot Allah apa Gusti,
Tambah-tambuh solahimgsun,
Rehne ta suta priyayi,
Yen mamriha dadi kaum temah nistha
Tuwun katib suragama,
Pan ingsun nora winaris
Angur baya ngantepana ,
Pranatan wajibing urip ,
Lampahan angluluri,
aluraning pra leluhur,

182
Adityo Jatmiko, Tafsir Ajaran Serat ..., h.11
183
Achmad Chodjim, Serat Wedhatama ..., h. 94-95
62

Kuna-kumanira,
Kongsi tumengkeng samangkin,
Kikisane tumegkeng samakin,
Kikisane tan lyan amung ngupa boga”.

Yang diterjamahkana bebas oleh Soetomo Siswokartno, dalam bukunya

yang berjudul “Mangkunehara IV: Sebagai Penguasa dan Pujangga (1853-1881),

terjamahan pupuh sinom bait ke 12, 13 dan 14 sebagai berikut: 184

“Dari saat masih muda, Sebentar pernah menjelankan, Asik belajar


agama, Berguru tata aturan, seperti halnya kaji (menjelankan
sembahyang lima waktu), Seluruh hatinya sangat takut akan siksaan
neraka di akhirat nnati, Sehingga tidak sempat sembahyang, karena
selalu di panggil (dalam dinak milirer).
Kepada yang memberi makan, Kalau tidak segara datang dimarahi,
Menyebabkan hatinya tak tentram, Rasanya seperti kiamat tiada hari,
Berat kepada tuhan (menjadi santri), Atau setia pada Raja, Was-was
segala langkahku Lama-lama menyadari karena anak priyayi, Kalau
memilih menjadi santri akan terlihat nista.
Apalagi menjadi katib ahli agama, Saya merasaa tidak mampu, lebih
baik melakukan pilihan aturan kewajiban orang hidup, Dengan cara
meniru yang pernah dijalankan leluhurnya sejak zaman dahulu sampai
sekarang, Yang tidak lain adalah bagaimana bekerja dengan baik
(mencari makan)”.

Dari pupuh sinom diatas sangat jelas bahwa Mangkunegara IV, secara

konsukuen meengabdi kepada rajanya (negara) dengan sementara, dengan

meninggalkan kesukaan yag lain, yang dianggap dapat mengganggu tugas nya

sebagau abdi Negara, akan tetapi sesibuk apapun mangkunegara IV dalam

menjadi abdi negara, beliau tetap mencari cara lain dalam beribadah sembahyang

lima waktu, melakukan sembahyang dengan di jama (menggambungkan shalat

yang tertinggal).185

184
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 90-91
185
Adityo jatmiko, Tafsir ajaran serat ..., h. 9
63

Selama 17 tahun R.M Sudira mengabdi sebagai patih, R.M. Sudira

mengenal seluruh pelosok Mangkunegaraan degana segala kelebihan dan

kekurangannya, selanjutnya upacara penghargaan kepada R.M. Sudira dilakuan

pada tanggal 12 Januari 1831 yaitu pada saat R.M. Suidra berumur 22 tahun,

karena berakhirnya perang jawa, lebih lanjut Dr. Th. Pigeud yang d kutip oleh

Soetomo Siswokartono dalam bukunya yang berjudur “Sri Mangkunegara

sebagai penguasa dan pujangga : 1853-1881” menegaskan bawah “R.M. Sudira

yang kemudian namanya menjadi Raden Mas Arya Gandakusuma, mencapai

kesusksesan menjadi penguasa di kemudian hari”.186

Selanjutnya oleh Babad Mangkunegara yang di kutip oleh Soetomo

Siswokartono dalam buku yang sama mencatat bahwa.187 “ Pada hari sabtu Pahing,

tanggal 20 Rajeb, tahun Dal 1759 atau tahun 1833 M. Yang bermula R.M Sudira

diganti menjadi nama R.M. Arya Gandakusuma”. Selanjutnya perisiwa yang

penting ialah satu tahun kemudian setelah ia memperoleh penghargaan, yaitu pada

tahaun 1853, Sri Mangkunegara III mangkat (wafat). Barulah pada bulan Maret

1853, tiga bulan lamanya setelah mangkatnya Sri Mangkunegara III, residen

Surkarta H.F. Buschkens, mengambil alih kekusaan kadiaten Mangkunegara, ia

mendapat perintah dari gubernur Kakancing tertanggal 7 Maret 1853, yang

menetapkan era residen Surakarta menunjuk R.M Said atau R.M Arya

Gandakusuma, menggantikan Sri Mangkunegara III.188

Karena sudah menjadi kulturisasi Mangkunegaraan, bahwa siapa calon

Mangkunegaraan sebelum diresmikannya menjadi Mangkunegara IV, harus lebih

186
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 86
187
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 87
188
Soetomo Sisiwokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 94
64

dahulu memakai gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Prabu Prangwadana

IV, maka dengan demikian, P. Arya Gandakusma atau R.M Sudira, harus lebih

dahulu memakai nama gelar K.P.A.A.P Prangwadana IV, ia juga kemudian di

berikan pangkat serta dinaikan pangkatnya dai mayor menjadi Letnan Kolonel

Komandan Legioen Mangkunegaraan.189

Setelah itu diadakanlah seremonial peresmian tanggal 24 Maret 1853,

maka secara resmi R.M. Sudira atau Pangeran Arya Gandakusuma di angkatlah

menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipatiarya Prabu Prangwadana IV, pada saat

diangkat, usia P. Arya Gandakusuma itu telah mencapai umur 43 tahun, di lihat

dari waktu mangkatnya Sri Mangkunegara III sampai diangkatnya P. Arya

Gandakusuma sebagai penggantinya memakan waktu 19 hari.

Karena banyaknya kecemburuan sosial pada saat itu karena telah

diangkatnya P. Arya Gandakusuma sebagai K.G.P.A.A. Prangwadana IV, dan

untuk meredam itu semua, karena bila di lihat dari sisi lain banyak yang ingin

mendapatkan tahta itu oleh sebab itu residen Surakarta mengirim surat kepada

Gubernur Jendral dengan surat tertanggal 6 April 1853, tentang gagasan

perwkawinan, P.A Gandakusuma yang telah diangkat menjadi K.G.P.A.A

Prangwadana IV, dengan Putri Pertama Almarhum Sri Mangkunegara III,

sehingga akhirnya residen Surakarta Melamar Bandara Raden Ajeng Dhanuk putri

sulung Sri Mangkunegara III almarhum, melalui Sri Susuhan Paku Buwana VII. 190

Dari pernikahan K.G.P.A.A.P Prangwadana IV dengan B.R. Ajeng

Dhanuk maka dengan itu tidak ada lagi kecemburuan sosial karena dalam

189
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 94, lihat juga Surat Kakancing
tanggal 7 Maret 1853,
190
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 98
65

kulturisasi Mangkunegaraan harus menikahi salah satu putri Mangkunegaraan

oleh sebab itu jelas lah pernikahan K.G.P.A.A.P Prangwadana IV dengan B.R.

Ajeng Dhunk untuk meredam kecemburuan sosial atau ketidaksukaan para

Pangeran Pura Mangkunegaraan.

Ketika telah Sah menjadi K.G.P.A.A.P Prangwadana IV, beliau berusaha

meneladeni Raja-raja Jawa yang baik salah satu Raja Jawa yang di teladani

sebagai raja yang baik itu, yang di jelaskan oleh Soetomo Siswokartono dalam

bukunya yang berjuduk “Sri Mankunegara IV : Sebagai Penguasa dan Pujangga

(1853-1881)” mengatakan bahwa.191 Dijumpai dalam Serat Witaradya karya

Pujangga sahabat dekatnya, yaitu Raden Ngabehi Ranggawarsito, didalam Serat

Witaradya ada sifat-sifat Ratu Binatharu Utama atau Raja yang besar dan baik

serta bijaksana, harus memenuhi kelima hal yang baik itu adalah :

1. Mulat yang artiya : melihat, mawas atau waspada dalam segala hal
apapun.
2. Amilala yang artinya : yang memanjakan, memelihara dengan baik
hal-hal yang telah ada.
3. Amiluta yang artinya : hendak berbuat baik agar supaya setiap
orang atau kawula atau rakyat suka kepadanya.
4. Miladarama yang artinya : melaksanakan darma yang baik, agar
supaya tercipta kesejahtraan bagai rakyatnya lahir maupun batin.
5. Palimarama yang artinya : belas kasihan, suka memaafkan kepada
orang yang bersalah kepadanya, (pemaaf).

Dengan melihat sekaligus membaca Serat Weraradya milik sahabatnyaa

itu R.Ng. Ranggawarsita maka K.G.P.A.A.P Prangwadana menteladani dan

menerapkannya serta-merta menata pemerintahaannya dengan memalukan

gebrakan yang bersifat Ragawai dan Rohani, karena dirinya menyadari posisi

akan awal pemerintahannya. Hal itu terbukti dari ucapannya. Yang di tulis oleh

191
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 99
66

Babad Mangkunegara II, Yang di kutip oleh Soetomo Siswokartono dalam

bukunya yang berjudul “ Sri Mangkunegara IV : Sebagai Penguasa dan Pujangga

(11851-1881)” beliau mencatat bahwa.192

Penguasa iku sinambung tebung kang tansah gumunggung ana


gunung. Tan sinelek panguasa iku ugaa nugraha, hamung cak-cakan
kang kapacaak, gumuntung pakarti kang kapiji.
Yen tan panguwasa iku dadaai panguripan, yekti lumebune mring
angkara, andel sora, lan sora.
Naging yen ta dadi Kahuripan, yekti lumbune mring darma, andel
rasa, lan rumangsa.
Samengko keh-kehe wes kuwasa, kalimput lali, tan lila kelangan
kalungguhan.
Hamung yen wus gauk king rasa, candhak ing tata, aja wedi nampi
panguwasa.

Penguasa (raja) itu selalu dihubungkan dengan ucapannya yang


dianggap setinggi gunung. Tidak dapat dibantah, bahwa menjadi
penguasa (raja) itu adalah berkat karunia Tuhan, hanya cara-caranya
yang digunakan bergantung pada keperibadian yang dimiliki.
Kalau jadi penguasa (raja) itu untuk memenuhi kebutuhan hidup
(mencari kekayaan), maka yang di tampilkan adalah keserakahan,
berbuat kekerasaan, dan menggunakan kekuatan.
Akan tetapi kalau menjadi penguasa (raja) untuk kepentingan
kehidupan (kesejahteraan umum), maka yang di tampilkan adalah
drama (tugas), belas kasihan, dan tanggung jawab.
Sekarang kebanyakan yang sudah menjadi penguasa (raja) menjadi
lupa, tidak rela kehilangan kedudukan.
Seseorang yang sudah dalam berpikir, bijaksana dan memahami
peraturan, jangan takut kalai ditawari menjadi penguasa (raja).

Selanjutnya Soetomo Siswokartono dalam buku yang sama menjelaskan

kembali. Peristiwa penting ditahun itu adalah dirinya sebagai K.G.P.A.A.P

Prangwadana IV ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi Kanjeng

Gusti Pangeran Adipati Arya IV, serta diwisudakan menjadi Kolenel Komandan

Legion Mangkunegaraan (yang sebelumnya menjadi Infenteri dan kolonel), pada

192
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 100
67

tanggal 16 Agustus 1857.193 Selanjutnya peresmiannya di selenggerakan di

Karesiden Suakarta, oleh Babad Siangkalan : Rasaning Pangesthi Sarira Tunggal

atau 1786 Jawa, yaitu empat tahun setelah ia menjadi K.G.P.A.A.P Prangwadana

IV serta bersamaan dengan pelantikannya menjadi Sri Mangkunegara IV.

Karena kehigihan K.G.P.A.A Mangkunegara IV dalam menatanan

Mangunegaraan dan kegemarannya dalam belajar bahasa Sastra dan budaya oleh

sahabatnya R.Ng. Ranggawarsita dan yang lainnya, serta pemikiran K.G.P.A.A

Mangkunegara IV jauh kedepan maka dengan itu beliau juga memperoleh gelar

sebagai Pujangga.

Karya-karya sastra itu diciptakan biak ketika ia masih menjadi Kapten,

samapai menjadi Mayor, dan kemudian menjadi Patih Praja Mangkunegaraan,

maupun sampai ketika ia menjadi Penguasa (raja) dan banyak dibaca oleh

masyarakat Jawa, oleh sebab itu masyarakat Jawa seringkali menyembut

K.G.P.A.A Mangkunegara IV menyebut dirinya dengan julukan Satriya

Pinandita.194 Ternyata gelar Satria Pinandita itu di sandang ia masih bernama R.M.

Sudira karena banyaknya karya-karya Sastra yang mengandung ajaran morala

etika.

Karena K.G.P.A.A.P Prangwadan IV terkenal akan kemampuannya yang

cerdas dan sterategis dalam bidang kemiliteran pada eri Sri Mangkunegara IV

dengan maklumatnya tertanggal 10 Rabiul Akhir, Tahun Ehe 1796, atau pada

tanggal 11 Agustus 1876, ia menetapkan Steruktur organisasi birokrasi adapun

193
Soetomo Siswokartono, Sri mangkunegara IV ..., h. 102
194
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h.107
68

gambaran Steruktur baru yang diperkenalkan oleh Sri Mangkunegara IV dapat

dilihat pada gambar berikut :

Gamba 3.3.195

Struktur Kadipaten Mangkunegaraan

Sri Mangkunegara IV

Patih

Jaba – Jero

Kapiten Ajudan Kapiten Ajudan

Kawedanan Kawedanan Kawedanan Kawedanan


Reksapraja Reksapraja Reksapraja Reksapraja

Kawedanan Kawedanan Kawedanan Kawedanan


Reksapraja Reksapraja Reksapraja Reksapraja

Kabupaten Anom Kabupaten Anom Kabupaten Anom


Karanganyar Karanganyar Karanganyar

Para Penawu

Para Penawu

Para Penawu

Mangkunegara IV adalah seorang Raja, sekalipun hanya seorang Raja

kecil untuk kekuasaan Nagari Mangkunegaraan, yang di beri Pamgeran Miji,

karena Ia seorang Raja maka banyak masyarakat selain memberi gelar Pujangga,

195
Soetomo Siswokartoono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 143
69

juga masyarakat memberi gelar Satria Pinandita ( yang sudah dibahas sebelumya)

Sri mangkunegara IV menciptakan banyak karya-karya budaya dan sastra,

khususnya karya-karya sastranya yang mengandung pendidikan moral, etika,

kerohanian, dan sebagainya, yang semuanya itu menunjukan kadarnya sebagai

pujangga atau sebagau Satria Pinandita. 196

Karya sastra Mangkunegara IV yang berhasil dibekukan oleh Ki

Padmasusastra, Th. Pigeud dan D.A Rinkes yang dikutip oleh Soetomo

Siswokartono dalam bukunya yang berjudul “Sri Mangkunegara IV : Sebagai

Penguasa dan Pujangga (1853 – 1881)” mencatat bahwa. 197 Karya-karya sastra Sri

Mangkunegara IV berjumlah 35 buah. Oleh mereka karya sastra itu dikelompokan

menjadi :

a) Serat-serat Piwulang atau ajaran.


b) Serat-serat iber atay surat undangan.
c) Serat-serat Rerepen dan Manuhara atau pepatah, teka-teki, ucappan
cinta dan sebagainya.
d) Dan serat Wedhatama mengandung ajaran ngelmu Luhung atau ajaran
Esoteris yang tingi.( Sembah Raga, Sembah Cipta, Sembaha Jiwa dan
Sembah Rasa.

Maka disini penulis memfokuskan akan mengupas Serat Wedhatama yang

mengandung unsur ajaran Ngelmu Luhung atau ajaran esoteris yang membahas

akan sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa. Karena serat

Wedhatama ini bernialai esoteris yang membahas akan etika, moral dan batin agar

bisa menjadikan manusia yang sempurna dengan ahklak dan budi pekertinya,

karena ajaran sembah catur bisa dipelajari untuk kalangan muda maupun kalangan

orang tua dengan sabar dan istiqomah.

196
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara ..., h. 256
197
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara ..., h. 257
70

3.3 Konsep Pendidikan Tauhid Mangkunegara IV Dalam Ajaran Sembah

Catur Dalam Serat Wedhatama

Mangkunegara IV adalah Tokoh yang “sangat berpengaruh di masa

kejayaan Nagari Mangkunegaraan, ia adalah tokoh yang melampaui di zaman

Mangkunegaraan, dari era Mangkunegara I yang bernama Raden Mas said yang

mendapat julukan K.G.P.A.A Mangkunegara I, “kemudian di era Mangkunegara

II, yang bernama Kanjeng Pangeran Arya Prabu Prangwadan II, selanjutnya di era

mangkunegara III, yang bernama Raden Mas Sarengat atau Kanjeng Pangeran

Riya, yang mendapat julukan K.G.P.A.A Mangkunegara III, Mangkunegara IV

telah melampaui semua dan menjadikan Mangkunegaraan di era jaman ke-

Emasan.”

Dari era Mangkengara I hingga “Mangkunegara III belum menghasilkan

karya-karya budaya yang adiluhung (tinggi), karena disibukannya menjaga

integritas wilayah Mangkunegaraan peninggalan pendahulunya, barulah di era

Mangkunegara IV ada hasil karya nyata yaitu ilmu adiluhung (ilmu tinggi).

Karena dari itu A.K Pringgodigdo berpendapat yang di kutip oleh Soetomo

Siswokartono dalam buku yang berjudul “Sri Mangkunegara IV Sebagai

Penguasa dan Pujangga : 1853-1881” Pringgodigdo berpendapat bahwa.198

Mangkunegara IV memang jauh melebihi dari pendahulu kadipaten

Mangkunegara sebelumnya, ia mampu menata ekonomi mangkunegaraan dengan

baik ke arah yang lebih modern dan banyak karya-karya sastra bidaya yang

198
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara ..., h.220
71

adiluhung maka pada dirinya banyak masyarakat jawa yang adanya kombinasi

sebagau penguasa” dan pujangga.

sebetulnya karya-karya sastra “Mangkunegara IV untuk membangun tata

krama untuk kadipaten dan masyarakat Jawa di lakukan oleh Mangkunegara IV

sejak masih bergelar Pangeran “Gandakusuma samapai ia menjdi Raja

Mangkunegara IV, Serat tripama adalah Serat yang pertama kali di tulis oleh

Mangkunegara IV adanya Serat ini karena banyak para Pangeran yang

berangassumsi bahwa Mangkunegaraan adalah Anak Kompeni. Maka dari itu lah

Mangkunegara IV menciptakan Serat Tripama atau tiga contoh utama, dengan

menciptakan Serat Tripama sebagai ajaran moral yang dijadikan acuan rasional

bagi pihak-pihak yang menantangnya. 199”

Sebelum mengupas Serat Wedhatama, sebetulnya banyak karya-karya

Mangkunegara IV, karya-karya nya sudah mulai di ciptakan ketika Mangkunegara

IV ketika Mangkunegara IV masih “memakai nama R.M. Sudira yang kemudian

di beri julukan oleh masyaratakat jawa menyebut dirinya sebagai Satria

Pinandita.

Purwadi dalam buku nyayag berjudul “The Historis Of Javanese Kings :

Sejarah Raja-Raja Jawa” yang di “kutip oleh Iwan Santaso dalam bukunya yang

berjdul “Legiun Mangkunegaraan (1808-1942) : Tentara Jawa – Prancis Warisan

Napoleon Bonaparte” yang mengatakan bahwa. 200”

Saat masih muda, R.M.A Gondokusumo hingga menjadi raja telah


menghasilkan puluhan kaarya sastra yakni sebagai berikut : Serat
Wedhatama, Sendhon Langen Swara, Babad Wanagiri, Babad

199
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkungera IV ..., h. 129
200
Iawan Santaso, Leguin Mangkunegaraan (1808-1942) : Tentara Jawa – Prancis
Warisan Napoleon Bonaparte, ( Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2011 ), Cet. Ke – 1, h. 47
72

Giripura, “Babad Tegalgada, Babad Tasikmadu, Babad Ngalamat,


Babad Serenan, Werdining Bangsal Tosan, Bendungan Tmabak
Agung, Bendungan Tirtaswara, Srikaton Tawangmangu, Nyanjata
Sangsam, Wanagiri Prangwadanan, Werdinig Panel Mangkunegara,
Pasanggarahan Lamgenharja, Piwulang Warayagnya, Piwulang
Wirawiyata, Piwulang Sriyatna, Piwulang Nayakawara, Piwulang
Palitama, Piwulang Salokatama, Piwulang Darmawisata, “Piwulang
Salokantara, Serat Tripama, Serat Yogatama, Serat “Paraminata, Serat
Paliwara, Serat Pariwara, Rerepan Manuhara, Pralambang Rara
Kenya, Pralambang KenyaCendhala, Jaka Lala, Prayangkara,
Prayasmara, Rerepan, Dhalang, Namining Ringgit Semarang,
Sendhon Langen Sawara, Sekar Ageng Citra Mengeng, Langen Gita,
Sekar Ageng Kumudasmara, Gendhing Walagitaa, Sekar Ageng
Pamulasarih, Gendhing Rajaswala, Sekar Ageng Kusumastuti, Sita
Maradewa, Sekar Ageng Minta Jiawa, Gendhing Puspawarna, Sekar
Tengahan, Palungan, Gendhing Puspanjala, Sekar Tengahan
Pranasmara, Gendhing Tarupala, Sekar Tengahan Pangajabsih,
Gendhing puspa giwang, Kinanthi Sekar Gadhung, Gendhing
Lebdasari, Sekar Sar Gading, dan Ladrang Manis Widra Kuning.”

Kasrya “Sri Mangkunegara IV berhasil di bekukan oleh Ki Padmasusastra,

Th. Pigeaud, dan D.A. Rinkes, berjumlah sekitar 35 buah yang di kutip oleh

Soetomo Siswokartini dalam bukunya yang berjudul “Sri Mangkunegara IV

sebagai Penguasa dan Pujangga (1853-1881) mengungkapkan bahwa.201 karya

sastra itu di kelompokan menjadi” :

a) Serta- Serat piwulang atau ajaran

b) Serat – Serat Iber atau surat-surat undangan

c) Serat – Serat Rerepen dan Manuhara atau pepatah, teak – teki ungkapan

cinta dan lain sebagainya.

Adapaun karya sastra yang di maksud adalah sebagai berikut:

201
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h.257
73

1. Serat Warayagnya

Serat warayagnya “dikarang pada tahun 1874 jawa atau 1856 Masehi,

serat ini dibuat untuk para anak-anaknya dan kalaman muda dalam mencari

jodohnya, Serat Warayagnya di buay dalam Pupuh Dhandhanggula, dan teriri dari

10 bait.202”

2. Serat Wirawiyata

Serat “Wirawiyata terdiri atas dua Pupuh, yaitu Pupuh Sinom yang terdiri

dari 42 pada (bait), dan Pupuh Pangkur yang terdiri atas 14 pada (bait), karya

Sastra ini dibuat pada tahun 1788 jawa atas 1850 Masehi, di buat tiga tahun seteah

ia dilegalkan sebagai Sri Mangkunegara IV.203 “Serat ini mengajarkan kepada

Mangkuegaran agar selalu bersikap, jujur, adil, melalukan perbuatan baik, dan

selalu waspada.”

3. Serat Nayawakara

Serat naywakara di tulis pada tahun 1791 jawa atau 1852 Masehi, pada

saat menulis Serat Nayawakara ini Sri Mangkunegara IV, Ia masih bergelar P.A

Gandakusuma serta menjabat sebagai Pepatih dalam Sri “Mangkunegara III.204

Serat ini sifatnya mengajarkan kepada Punggawa Mangkunegaraan dari Serat

Nayawakara ini hendaknya memiliki sifat-sifat : (a) menjunjug tinggi martabat,

(b) mentaati peraturan yang ada, dan (c) memiliki watak yang baik.”

202
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 257
203
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 258
204
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 259
74

4. Serat Darmawasita205

Serat ini di tulis paa “tahun 1807 Jawa atau 1878 Masehi.206 Serat

Darmawasita adalah petunjuk untuk melakukan hal-hal baik menurut Sri

Mangkunegara untuk dapat mencapai cita-cita maka orang itu harus memahami

Astagina atau dalam faedah, kedelapan faedah itu di antaranya” :

1. Sugih Ing Pamudi, artinya ; banyak usaha sesuai dengan kemajuan


zaman.
2. Rigen, artinya ; banyak akal.
3. Gemi, artinya ; hemat.”
4. Nastiti, artinya ; teliti dalam menghitung.
5. Wruh Ing Petung, artinya ; tahu tentang hitung-menghitung.
6. Taberi, artinya ; tidak pemboros.
7. Nyegah Kayun, artinya ; seseorang mampu menahan diri (nafsu).
8. Ramen Ing Sadya, artinya ; suka mencapai cita-cita.207”

5. Serat Solakatama. 208

Serat Solakatama hanya terdiri dari Pupuh Mijil. Yang jumlahnya 31 pada

atau bait.209 “Serat ini di tunjukan bagi golongan muda, agar tidak sombong karena

pemuda yang sombong itu tidak akan di hormati dan tidak di percaya oleh orang

lain, serta mengajarkan kepada golongan muda untuk memberanikan meminta

maaf.”

6. Serat Paliatama. 210

Serat Paliatama terdiri atas Pupuh Dandanggula sebanyak 18 “pada atau

bait. Serat Paliatama di buat pada tahu 1799 Jawa atau 1870 Masehi. 211 Serat ini

205
Darmawassita dari kata darma = sea, padhang, langkung, ngelmu keutamaan atau baik.
Wassita = tutur = ajaran, jadi Darmawasita artinya ajaran yang baik.
206
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 259
207
Soetomo Siwokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 259
208
Solakatama berasal dari kata Saloka = upami = pasemon = perumpamaan. Tama = sea
= becik. Jadi solakatama = pasemon kang becik = perumpamaan yang baik,
209
Soetomo Siswkartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 260
210
Paliatama dari kata pali = pepali = awisan = larangan, atma = putra = anak =. Jadi
Paliatama = awisan tumpra pura atau larangan terhdap anak.
75

mengajarkan larangan bagi keturunan Sri Mangkunegara IV agar hidup rukum

baik kalangan muda atau kalangan tua senantiasa mengingat akan Allah.”

7. Serat Sriyatna.212

Karya sastra ini dibuat pada tahun 1790 Jawa atau pada bulan Desember

1861 Masehi. 213 “serat ini dibuat tepat tiga tahaun setelah ia diangkat menjadi Sri

Mangkunegara IV, “serat mengajarkan kepada para putra-putri dan

Mangkunegaraan terutama yang memegang amanah, agar selalu bertanggung

jawab. Serat ini juga mengingatkan agar jangan suka menyakaiti hati orang lain

dan menjauahkan diri dari sikap takabur (sombong)”

8. Serat Tripama. 214

Serat Tripama “artinya tiga ketaladanan, karya sastra itu hanya terdiri atas

tujuh pada (bait) Dhandanggula, serat ini mengajarkan akan moral dan pendidikan

dan ajaran etika di dalamnya menjadi salah satu serat Adiluhung.215”

9. Serat Wedhatama

Serat Wedhatama rtinya Pepathokaning putra atau “persayaratan seorang

anak, karya sastra ini adalah karya sastra Sri Mangkunegara IV yang paling

terkenal, karena didalam nya mengajarkan ilmu Adiluhung (ilmu tinggi), inilah

yang akan penulis kupas di Bab dan pembahasaan selanjutnya, “agar penelitian ini

lebih terarah. Belum di ketahui Serat Wedhatama ada yang mengatakan 72 bait

211
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 260
212
Sriyatna dari kata Sri = asri sae, ayu, = pantas;yatna = Priyatna = penget = peringatan.
Jadi Sriyatna = panget lan priyatna murih rahayu atau peringatan agar berlaku hati-hati supaya
selamat
213
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 261
214
Tripama dari kata tri = tiga, pama = pani = upami = ketuladanan atau ketauladanan.
Jadi arti tripama = tiga ketauladanan
215
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 262
76

dan adapula yang mengatakan 100 bait berdasarkan serat yang di himpun oleh Ki

padmasusastra dalam bukunya yang berjdul “Serat Piwulang “Warna-Warni

Anggitan Dalam Swargi KGPAA Mangkunegara IV” dan naskah koleksi museum

purwakarta di Jakarta yang dikutip oleh Achmad Chodjim dalam bukunya yang

berjudul “Serat Wedhatama For Our Time : Membangun Kesadaran Untuk

Kembali ke Jati Diri” menyatakan bahwa serat Wedhatama terdiri dari 72 bait. 216”

Menurut Setyapranowo dan Sarjono yang di kutip oleh Soetomo

Siswokartono dalam bukunya yang berjudul “Sri Mangkunegara IV : Sebagai

Penguasa dan Pujangga (1853-1881), menurut mereka bahwa. 217 “Serat

Wedhatama terdiri atas Pupuh Pangkur terdiri dari 14 pada (bait), Pupuh Sinom

terdiri dari 18 pada (bait), Pupuh Pocung (Pocong) terdiri dari 15 pada (bait),

Pupuh Gambuh terdiri dari 25 pada (bait), dan jumlahnya terdiri dari “72 pada

(bait). Sementara itu kemudian dikuti oleh Kamajaya, adanya tambahan lagi, yaitu

pada Pupuh Gambuh sebanyak 10 pada (bait), dan tambahan pada pada “Pupuh

Khinanti sebanyak 18 pada (bait), sehingga jumlah pada (bait) menurut versi

Kamajya dan banyak pada buku-buku juga yang menyempurnakan termasuk

“penulis untuk lebih jelas maka menjadi 100 pada (bait).”

Serat Wedhatama “adalah serat yang sangat Esoteris di bandingkan

dengan serat-serat sebelumnya, “karena serat ini memgandung ajaran ngelmu

luhung atau ilmu yang tinggi, Wedhatama adalah pengetahuan utama tentang

216
Achmad Chodjim, Serat Wedhatam ..., h.14
217
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 263
77

budu luhur, budi pekerti yang baik, ahklak yang mulia, mengontrol hawa nafsu

angkara. 218”

10. Babad Sinawung Sekar

Selain “karya-karya sastra di atas yang sudah penulis sebutkan,

Mangkunegara IV juga mengarang karya-karya sastra lainnya yang menjadi salah

satu yang ditengahkan adalah Babad Sinawung Sekar yang artiya cerita atau

sejarah.219 Untuk memahami karya-karya sastra ini beberapa yang di anggap

penting antara lain sebagai berikut” :

a. Serat Wanagiri

Syair ini di buat era Sri Mangkunegara III, Serat Wanagiri di ciptakan

pada saat Sri “Mangkunegara IV masih bernama P.A. Gandakusuma jabatan nya

sebagai Pepatih dalam Sri Mangkunegara III, Serat Wanagiri terdiri atas : Pupuh

Khinanti ada 32 pada (bait), Pupuh Mijil terdiri atas 23 pada (bait), dan Pupuh

Sinom terdiri dari 19 pada (bait), Serat Wanagiri dibuat pada tahun 1771 Jawa

atau tahun 1844 Masehi. 220”

b. Serat Gripura

Syair dari Serat Gripura terdiri atas Pupuh Dhandhanggula 36 bait, Pupuh

Sinom 16 bait, dan Pupuh Khinanti 34 bait. 221 “Serat ini menceritakan akan

keindahan pesanggarahan Gripura yang sering di gunakan oleh Mangkunegara III

untuk berduka cita dan bercengkerama, Pesenggerahan ini terletak di atas

pegunungan.”

218
Achmad Chodjim, Serat Wedhatama ..., h. 15
219
Soetomo Siswokartoni, Sri Mangkunegara IV ..., h. 264
220
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 265
221
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 266
78

c. Serat Tegalganda

Serat Tegalganada terdiri atas Pupuh Dhandhanggula terdiri atas 21 bait,

dan Pupuh Khinanti terdiri atas 31 bait, Serat Tegalganda dimuat pada tahun 1784

Jawa atau pada tahun 1855 Masehi, atau dua tahun setelah Mangkunegara sebagai

K.G.P.A.A Prangwadana IV.222 “Serat Tegalganda menceritakan akan

pesenggarahan yang terletak di Kartassuara dibuat oleh Sri Pakubuwana VII,

bangunannya menghadap jalan raya arah Yogyakarta.”

d. Serat Ngadani Pabrik Tasikmadu

Serat Ngadani Tasikmadu menceritakan pada tahu 1793 Jawa atau pada

tahun 1871 Masehi, Mangkunegara IV membuat pabrik gula yang berada di

kawasan Kabupaten Karang Anyar, dan di beri nama pabrik gula tasikmadu. 223

11. Karya-karya lain

Sebelum karya-karya seperti yang sudah penulis sebutkan, ternyata

Mangkunegara IV juga masih menciptakan atau mengarang karya-karya sastra

yag lain diantaranya sebagai berikut :

a. Ngalamat : karya sastra ini menggambarkan suasana yang


mencemaskan sebagai akibat dari bencana alam seperti gempa bumi,
gunung meletus, dan tsunamni.
b. Babad Sarenan : karya sastra ini melukiskan akan perjalanan
Mangkunegara IV beserta putra mahkota, naik perahu menyusuri
bengawan sala, dalam pelayarannya itu, ia singgah di Desa Serenan
yang sekarang terkenal sebagai penghasil ukiran gaya Serenan.
c. Werdining Bangsal Tosan atau artinya : dari bangsal besi, karya sastra
ini menceritakan arti cungkup atau bangsal yang dibuat dari besi,
bangsal itu di bangun oleh Mangkunegara IV dalam rangka
meperindah Pendapa Ageng Mangkunegaraan.
d. Ngadani Bendungan Tirta Swara ; karya sastra ini menggambarkan
pembangunan bendungan yang di beri nama Bendungan Tirta Swara

222
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 266
223
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 267
79

guna untuk mensejahtrakan Rakyat Mangkunegaraan dengan tujuan


untuk mrngairi sawah-sawah bendungan ini dibuat pada tahun 1800
Jawa atau pada tahun 1878 Masehi.
e. Ngadeni Bendungan Tambak Agung ; karya sastra ini
menggambarkan pemasangan batu pertama pembangunan bendungan
yang dibuat di Desa Mangun, Tanah Sembuyan, dekat Gritantra,
Kabupaten Wanagiri.
f. Srikaton atau Tawangmangu adalah karya sastra yang
menggambarkan keindahan pemandangan du Tawangmangu, di
wilayah Karang Anyar. 224

Selain dari pada penulis sebutkan, sebetulnya masih banyak lagi karya-

karya sastra Mangkunegara IV antara lain yaitu : Nyanjata sangsam, Wanagiri

Prangwadana, Werdining Pandhel, Mangkunegaraan, Pasenggarahan Langenharja,

serta rerepan atau nyayain yang sampai sekarang masih bertahan di daerah pulau

Jawa (Surakarta) dan dinyanyikan oleh para filsafat dan seninaman.

Baik dari Raja Mangkunegara IV yang sangat baik dalam memenej nagari

yang telah penulis jelaskan di atas, serta sebagai pujangga Mangkunegara IV

mampu menciptakan karya-karya sastra yang samapai saat ini karya nya banyak di

kagumi oleh masyarakat Jawa. Maka dengan demikian maka patutlah

Mangkunegara IV di beri gelar sebagai Penguasa dan Raja Pujangga. 225

Dari banyakya karya-karya Mangkunegara IV ada 2 karya sastra

Mangkunegara IV yang esoteris serta monumental, monumental berarti tugu

peringatan, sehingga karya Mangkunegara IV sebagai peringatan dan bersifat

eseoteris, karena hanya pada keluarga Mangkunegaraan saja yang mengetahuinya,

adapun 2 karya Mangkunegara yang bersifat esoteris serta monumental adalah

Serat Tripama dan Serat Wedhatama. Karena di sini penulus memfokuskan Serat

224
Soetomo Siswokatono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 269
225
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV ..., h. 270
80

Wedhataa, maka penulis akan menjelaskan akan Serat Wedhatama nya tersebut

bukan kepada Serat Tripamanya.

Arti Wedha menurut kamus kawi – indonesia buatan Prof .Drs.

Wojowasito yang di kutip oleh Anjar Any dalam bukunya yang berjudul

“Menyingkap Serat Wedhatomo” mengatakan bahwa Wedha adalah : “Ilmu

Pengetahuan” sedangkan kata Tama dari asal kata utama yang berarti : “Baik” jadi

Wedhataa berarti ilmu pengetahuan tentang kebaikan. Menjadikan ilmu yang lahir

dan batin.226

Serat Wedhatama mengajarkan kepada manusia aagar mampu

mengendalikan diri dan hawa nafsu, agar manusia dapat menjauhkan diri nafsu

angkara, karena Serat Wedhatama ini dalam mendidik bagi kalangan muda dan

kalangan tua dalam bentuk Syair dan lagu, dihiasi penuh dengan variasi agar

menjiwai ilmu luhur yang dituju, di tanah Jawa(Indonesia) ini yang hakiki itu

adalah agama sebagai ageming aji. 227

Serat Wedhatama ini terdiri dari 72 bait dan satu lagi berupa lima Pupuh

yang menganding 100 bait, naskaah yang berupa 4 Pupuh terdiri dari Pupuh

pangkur 14 bait, Pupuh Sinom terdiri dari 18 bait, Pupuh Pucung atau Pocongt

terdiri dari 15 bait, dan Pupuh Gambuh terdiri dari 25 bait.228 Naskah yang lima

Pupuh berbeda dengan yang empat Pupuh, yaitu Pupuh Gambuh terdiri dari 35

bait, dan Pupuh yang kelima, yaitu Pupuh Khinanti terdiri atas 18 bait, yang

dikupas adalah naskah yang megandung 100 bait, karena akan lebih jelas guna

menjadikan manusia yang sempurna (Insan kamil).

226
Anajar Any, Menyingkap Serat Wedhatomo ( Semarang : aneka ilmu), h. 3
227
Adiyta Jatmiko , Tafsir Ajaran : Serat Wedhaama, ..., h. 43
228
Achmad Chodjim, Serat Wedhatama ..., h.12
81

Diantara banyaknya karya-karya Mangkengara IV yang sudah penulis

jelaskan diatas tetapi yang paling termashur (terkenal) adalah karya kitab Serat

Wedhatama yang menjadikan harum nya nama Mangkunegara IV, baik sebagai

Penguasa dan Pujangga serta Filsuf besar dalam Estetika kehidupan, sebagai

seorang pujangga dan filsuf besar dapat dibuktikan dengan beberapa cukilan,

seperti yang dikatakan oleh Ki Sabdacarakatama dalam bukunya yang berjudul

“Serat Wedhatama” beliau menjelaskan bahwa.229 Mangkenegara IV sebagai

Pujangga dan filsup besar dapat dibuktikan dengan sebagai berikut :

a) Meskipun Serat Wedhatama itu kecil dan tipis, namun isinya padat
dan lengkap serta luas jangkauannya. Tutur katanya katanya
mengandung makna yang dalam, dan susunan kalimat yang baik,
karena karya asli serat Wedhatama ini menggunakan bahasa Jawa
Aksara, tetapi terjamahannya memang sangat menarik dan membuat
hati bergetar.
b) Seluruh ciptaan Mangkunegara IV menyangkut kebutuhan manusia,
estetika kehidupan serta filosofi laku dalam berperilaku, sebagai asas
pengetahuan kodrat Ilahi, sebagai tuntutan dalam kehidupan
pendidikan, kesusilaan, keluhuran budi, adab, ahklak etika serta moral
keagamaan dan kesempurnaan hidup, agar menjadi manusia yang
sempurna.
c) Dalam deretan pujangga jaman baru K.G.P.A.A Mangkunegara IV
termasuk yang paling unggul dala bidang bahasa, serta termashurnya
tata kalimatnya, oleh karena itu dalam kelompok para pecinta Puisi
tingkat tinggi, beliau menduduki tempat yang pertama.
Oleh karena itulah karangan Mangkunegara IV dalam sejarah kesusteraan

Jawa, Mangkunegara IV mendapat tempat utama dan hingga kini dan seterusnya

akan diingat dan di kenang banyak orang, terutama bagi para pecinta Filsafat,

Puisi ,dan Ilmu Sastra.

229
Ki Sabdacarakatama, Serat Wedhatama, ( Yogyakarta : Perum Tembak Mas, 2010),
Cet. Ke- 1, h. 11
82

Kemashuran dan keharuaman nama K.G.P.A.A Mangkunegara IV,

sebenernya tidak “hanya terletak dalam Karya-Karya sestra sematanya saja, akan

tetapi ada karya-karya lainnya, seperti Wayang Kulit Pusaka Mangkunegaraan,

seperti yang dikatakan oleh Ki Sabdacarakata dalam buku yang sama”,

menjelaskan bahwa.230

a. Kyai Sebet.
b. Pagelaran Wayang Madya.
c. Operaa Langendriyan.
d. Pementasan Faragmen. Dan
e. Mahabharata.
Serta nama yang lainnya yang terkenal dengan nama Beksan Wireng
dan masih ada beberapa macam tarian kreasi baru khass
Mangkunegaran, model jelas disebut Jas Langenharjan, yang hingga
kini menjadi perlengkapkan mutlak bagi busana kebesarann mempelai
pria terrutama di daerah Suarakarta, dan semua itu hasil dari karya
Mangkunegara IV.

Mangkunegara IV adalah seorang penguasa dan pujang serta juga ahli

dalam bidang kemiliteran, sosok yang sangat cerdas dalam mengatur sterategi

peperangan dan menjadi pengusaha yang “mempu mengelola sendiri tanpa

campur tangan dengan orang lain yang hanya di kelola oleh keluaraga

Mangkunegaraan, karena hal ini lah beliau menjadi panutan masyakarat Jawa kala

itu hingga sekarang dalam mengurus serta menjalakan nagari pemerintahan”

Leguin Mangkunegaraan.

Mangkunegara IV adalah sosok yang “madiri penuh dengan inisiatif,

inovatif, kreatif serta mampu menciptakan gagasan-gagasan yang luas biasa,

karena dari itu masa Mangkunegara IV menjadi masa jaya keemasan dan juga

mampu membuat karya-karya yang adhi luhung, dalam hal ini Ki sabda

230
Ki Sabdacarakata, Serat Wedhatama ..., h. 12
83

Carakatama menjelaskan karya dan jasa-jasa K.G.P.A.A Mangkunegara IV dalam

bukunya yang bejudul “Serat Wedhata” beliau menyebutkan bahwa.231 karya dan

jasa-jasa Mangkunegara IV sebagai berikut :

I. Di bidang pemerintahan: Mangkunegara IV meneliti dan mempertegas


kembali batas-batas wilayah antara Kadipaten Mangkuenagaraan
dengan milik kasunanan Surakarta dan kasultabab Yogyakarta ( desa-
desa Ngawen di dalam wilayah Kasultanan Yogyakarta, adalah milik
Kadipaten Mangkunegara waktu itu)
II. Di bidang kemiliteran: Mangkunegara IV mewajibkan kepada setiap
kerabat Mangkunegaraan yang telah dewasa, dan mereka yang hendak
menjadi pendidikan militer selam 6-9 bulan lamanya.
III. Di bidang sosial ekonomi : diciptakanlah berbagai usaha komersil
yang menjadi sumber pendapatan Kadipaten Mangkunegaraan
seisinya, di samping memberikan lapangan kerja sebanyak mungkin
dan seluass-luasnya bagi rakyat daerah mangkunegaraan. Usaha-usaha
tersebut anatara lain : mendirikan pabrik-pabrik gula di Tasikmadu,
Colomadu, Gembongan, Pabrik Sisal di desa Mentotulakan, pabrik
bungkil di desa Polokarta, pabrik bata dan genteng di desa Kemiri,
peerkebunan-perkebunan karet, teh, kopi, tebu, kina di lereng gunung
Lawu sebelah barat, kehutanan di derah Wonogiri, serta mendirikan
perumahan-perumahan untuk disewakan baikdallam kota Suratakrta
sendiri, maupun di luar kota anatara lain Semarang (daerah
pendikaran).
IV. Di bidang sosial budaya : sebagai manifestasi daripada keluhuran-
keluhuran dan layaknya suatu kerajaan yang berdikari ( walaupun
kecil ), pemerintahan dilengkapi dengan segala macam perlalatan
kerjaan, seperti ; perhiasan-perhiasaan ( rijkssieraden ), meja kursi
berukiran, berbagai jenis lampu duduk bergantung, arca-arca
permadani-permadani sampai pada perlalatan kebutuhan rumah
tangga, kesemuanya itu disepan dan dibelinya dari luar negr yakni ;
Italia, Jerman, Persia, dan negara-begara lainnya.
Dari sini lah penulis berpendapat bahwa Mangkunegara adalah sosok yang

sangat luar biasa yang mempunyai gagasan seperti orang medern dan

layak untuk ditiru unruk jaman sekarang, kecerdasannya dalam memenej

Kadipaten, serta karya-karya pujangganya “yang sangat bermakna bagi

kehidupan, Mangkunegara IV adalah sealiran dengan pujangga besar seperti ; Sri

231
Ki Sabda Carakatama, Serat Wedhataa ..., h. 12-14
84

susuhan, Pamgkubuwana IX, Raden Ranggawarsita, sebenernya K.G.P.A.A

Mangkunegara IV juga sebagai pujangga besar yang terakhir, namun karena

beliau naik takhta sehingga Mangkunegara IV tidak diberi julukan pujangga

besar, malainkan sebagai Raja penguasa.232”

Sembah catur supaya lumuntur dalam kitab serat Wedhatama karangan

Mangkunegara IV memperlihatkan sistematika yang beruntun secara teratur ada

emapat macam yaitu : sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa.

Dengan sempat sembah itulah yang membuat penulis tertarik untuk mengupasnya,

jika di komparasikan dalam dengan Tauhid islam maka sama persislah

sistematikanya dalam Sayri’at Thorikot, Hakikat dan Ma’rifat itu semua

mencangkup ilmu lahir dan ilmu batin ( eksotorik dan esoteris), karena dari

sinilah kita akan mengetahui siapa jati dir kita dan terbuklah hijab anatara diri kita

dengan Tuhan.

Dalam pembahasan in akan penulis jelaskan di BAB IV yang lebih

menjelaskan akan sembah catur secara detail dan terperinci, karena dipembahasan

selanjutnya menyatukan antara sembah catur menurut Mangkunegara IV dalam

kitab sembah catur dan dalam ilmu ketauhidan dalam tinkatan syari’at, thorikot,

hakikat dan makrifat, dalam bahasa jawa yang disebut manungaling kawula gusti.

Bahwa sesungguhnya tujuan beragama di Dunia iini adalah untuk

membngun ahklak yang mulia (Ahklakul karimah). Dan untuk membangun

ahklak yang mulia itu seseorang itu harus menempuhnya dengan cara

232
Soetomo Sisswokartono, Sri Mangkunegara ..., h. 256
85

menjalankan ajaran-ajaran syrai’at lalu melengkapinya dengan ajaran tasawuf.233

Jika dalam kultur Jawa ada yang namanya semedi, maka didalam Islam terutama

ranah tasawuf, terdapat yang namanya khalawat alias menyepi untuk bermunajat

riyadhoh kepada Allah WT karena semedi maupun khalawat sesungguhnya sama-

sama laku spiritual dalam ranah tasawuf. 234 Dari sini sudah jelas bahwa perbedaan

hanya didalam perkataan saja, akan tetapi laku implementasinya sama satu dengan

yang lain, oleh sebab Islam datang bukan untuk mengubah budaya tetapi Islam

datang untuk membawa kerahmatan dan keselaman untuk Dunia

233
Sri Rahani, Tawawuf Jawa : Kesalehan Spiritual Muslim Jawa (Yogyakarta : Araska.
2019), Cet. Ke -1, h. 13
234
Sri Rahani, Tasawuf Jawa ..., h. 42
BAB IV

ESENSI PENDIDIKAN TAUHID TAUHID TERHADAP

AJARAN SEMBAH CATUR DALAM SERAT WEDHATAMA

SERTA IMPLEMENTASINYA

4.1 Esensi Pendidikan Tauhid Dalam kitab Serat Wedhatama

Mengenai esensi pendidikan Tauhid adalah mengakar kepada kehidupan

agar bisa tahu hidup, seperti yang sudah di firmankan oleh Gusti Pangesan sejati

Allah Swt. Dalam surat Al-Ikhlas [122] ayat 1-4 sebagai berikut:

‫َّلل ٱلر ْح َٰ َم ِن ٱلر ِح ِيم‬


ِ ‫ِبس ِْم ٱ‬
)4 ( ٌ‫ ) َولَ ْم يَ ُكن لهۥُ ُكفُ ًوا أَ َحد‬3 ( ‫) لَ ْم يَ ِلدْ َولَ ْم يُولَ ْد‬2 ( ُ‫قُ ْل ه َُو ٱَّللُ أَ َحدٌ ٱَّللُ ٱلص َمد‬
)1 (
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang
Artinya: “Katakanlah (Muhammad). ‘Dia-Lah Allah. Yang maha Esa (1) Allah
tempat meminta segala sesuatu (2) (Allah) tidak beranak dan tidak pula
diperanakan (3) dan tiada sesuatu yang setara dengan ia (4)”. (Q.S
al-Ikhlas [112]:1-4)
Sebagaimana surah al-Ikhlas sebelumnya yang di muka, penulis hanya

membahas secara khusus pada kata (‫( أحد‬, presfektif M. Quraish Shihab dalam

bukunya “Tafsir Al-Misbah”, mengatakan bawah:308

“Kata ahad ( ‫ ( أحد‬diambil dari awal kata wahdah (‫ ( وحدة‬yang seperti


juga kata dengan kata waahid (‫ ) واحد‬yang memiliki arti kata
“satu” kata ahad ( ‫ ) أحد‬bisa berpungsi sebagai asma (nama)
dan juga bisa berfungsi seperti sifat bagi sesuatu, apabila kata ahad (
308
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol.
15, (Jakarta: Lentara Hati, 2005), Cet. Ke-4, h. 609

85
86

‫ ) أحد‬beresensi sebagai sifat, maka kata ( ‫ ) أحد‬tersebut digunakan


semata-mata hanya kepada Allah Swt.
M. Quraish Shihab kembali menambahkan bahwa ke-Esaan Allah Swt

mencangkup keesaan Dzat, keesaan sifat, keesaan perbuatan, serta keesaan dalam

beribadah dan bermuamalah kepada Allah dan kepada sesama manusia (hablu min

Allah dan hablu min nas), berikut inilah penjabarannya :309

Pertama: keesaan dzat yang mengandung pengertian bahwa seseorang


harus percaya bahwa Allah Swt, tidak terdiri dari unsur-unsur atau
bagian-bagian. Karena apabila dzat Allah Swt yang maha kuasa itu
terbagi ke dalam unsur-unsur maka Allah Swt berarti membutuhkan
unsur tersebut, sedangkan Allah Swt tidak membutuhkan kepada
segala unsur.
Kedua: keesaan sifat mengandung pengertian bahwa Allah Swt
memiliki sifat yang tidak sama dalam substansi dan kapasitas-Nya
dengan sifat mahkluk.
Ketiga: keesaan perbuatan (af’al) mengandung pengertian bahwa
segala sesuatu yang ada didalam semesta adalah hasil perbuatan Allah
Swt semata, keesaan perbuatan-Nya dikorelasikan dengan hukum-
hukum, atau takdir dan sunatullah yang ditetapkan-Nya.
Ketiaga keesaan sebelumnya, merupakan hal-hal yang harus diketahui
dan diyakini.
Selanjutnya yang keemapat: keesaan beribadah kepada-Nya
mengandung pengertian bahwa keesaan perbuatan kepada-Nya adalah
bentuk perwujudan dari ketiga makna keesaan sebelumnya.

Pemaknaan kata ahad ( ‫ ) أحد‬dengan kaidah tafsir sangatlah berbeda

keesaan Gusti Pangean Allah Swt, yang meliputi af’al, asma sifat maupun Dzat

dan tidak ada satupun yang menyamai ataupun yang menyerupai diri-Nya, hal ini

akan berbeda jika memaknainya dengan presfektif tasawuf, bahwa seluruh mahkul

hidup (manusia) terdapat sesuatu yang tersembunyi yaitu Allah Swt.

Secara syari’at lebih umum bertumpu pada ilmu fiqh maka bisa disebut

silmu lahiriah (eksoterik) dari agama, sedangkan jika lebih jauh maka akan adalah

ilmu tarekat, hakikat dan ma’rifat karena representasi dari ilmu tasawuf, maka

309
M. Quraish Shihab, Tafsur al-Misbah : Pesan ..., h. 610 -612
87

bisa disebut dimensi ilmu batiniyah (esoteris) dari agama agar bisa menjadi

manusia yang sempurna (insan kamil). Maka tarekat, hakikat dan ma’riatlah yang

akan menjadi objek utama dalam penulisan ini.

Kembali kemuka, bahwasannya didalam diri manusia terdapat sesuatu

yang tersembunyi dari Allah Swt, tempat yang tersembunyi itu adalah tempat

mengenal dirinya dan mengenal siapa tuhannya, sebagaimana yang dikatakan oleh

Imam Nawawi yang di kutip oleh Badrudin dalam bukunya yang berjudul

“Ahklak Tasawuf” memaknai hubungan antara tuhan dengan manusia, seperti

dalam hadist:310

,‫من عرف نفسه فقد عرف ربّه‬


Artinya: “orang-orang yang mengetahui dirinya, itulah orang-orang
yang mengetahui siapa tahuanya”311

Oleh sebab itu manusia mengetahui siapa sejatinya manusia itu untuk lebih

mengenal siapa tuhannya dan untuk apa diciptakan didunia ini dengan mengetahui

siapa dirinya guna untuk mendekatkan diri kepada Dzat yang maha tunggal yaitu

Allah Swt agar mencapai manusia yang berahklak dan menjadi manusia yang

sempurna (insan kamil).

Seperti pendapat Abdul karim bin Ibrahim al-Jili yang memaknai insan

kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, dan al-Jili mengutip sebuah hadist :312

ُ ‫علَى‬
َ‫ص ْو َرتِه‬ َ ‫َخلَقَ هللا آدَ َم‬
Artinya : “Allah menciptakan adam dengan bentuk dirinya”

310
Badrudin, Ahklak Tasawuf (Serang : IAIB Press, 2015), Cet ke-2, h. 71
311
Menurut Imam Nawawi (W 676 H) bahwa hadist itu “Laisa hua bi tsabitin” (tidak
dijadikan penerapan hukum). Sedangkan menurut Ibnu Hajar “La asla lahu” (tidak punya dasar)
312
Rosihon Anwar, Ahklak Tasawuf (Bandung : Pustaka setia, 2010), Cet. Ke-10, h.288
88

Hadist sebelumnya dimaknai oleh al-Jili sebaimana yang dikutip oleh

Rosihon Anwar, bahwa.313 Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai,

mampu berkhendak, mendengar dan sebagainya. Begitu pula Adam (manusia)

pun memiliki sifat-sifat itu, melalui konsep ini. Kita memahami bahwa Adam

dilihat dari sisi penciptaannya merupakn salah seorang insan kamil dengan segala

kesempurnaannya. Sebab pada dirinya terdapat sifat Allah nama asama Allah.

Rosihon Anwar juga mengutip dari perkataan Abu Mansur al-Hallaj :314 yang

didalamnya syairnya berkata :

‫ص ْو َرةِ أل َ ِك ِل‬ َ ‫ ثُم بَدَا ِلخ َْل ِق ِه‬# ‫ب‬


ُ ‫ فِى‬# ‫ظا ِه ًرا‬ ِ ِ‫ست َاَّلَه ُْوت َهُ الثاق‬ ْ َ ‫سُبْحا َنَ َم ْن أ‬
َ ‫ ِسر‬# ُ‫ظ َه ِر نَاسُ ْوت َه‬

‫ب‬
ِ ‫والشا َر‬

Artinya : “Maha suci Dzat yang sifat kemanusian-Nya, membuka rahasia cahaya
ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi mahkluk-Nya.
Dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum”.

Melalui syairnya sebelumnya, al-Hallaj sebagaimana yang dikutip oleh

Rosihin Anwar, mengatakan bahwa.315 ”Tuhan memiliki dua sifat dasar. Pertama

sifat ketuhan (lahut), artinya Allah Swt tidak dapat bersatu dengan manusia,

kecuali dengan cara menempati tubuh manusia setelah sifat-sifat kemanusiaan itu

hilang. Kemudian yang kedua, sifat kemanusian (nasut) artinya Allah Swt,

mengandung tabi’at seperti manusa, yang terdiri dari ruh dan jasad.”

313
Rosihon Anwar, Ahklak Tasawuf ..., h. 288
314
Penurut penulis Abu Mansur al-hallaj adalah salah satu sufi yang sangat radikal.
Sebagaimana Rosihon Anwar dalam bukunya mengatakan bahwa al-Hallaj sangat amat
mempertahankan pendapatnya terkait ucapannya “Ana al-Haqq” bahkan hingga akhirnya ia
dipenjear dan dihukum mati. Karena keteguhan hati al-Hallaj nampak pada saat dia akan dihukum
mati, ketika ia meminta untuk melaksanakan shalat dua rakaat terlebih dahulu, hingga selesai
shalat, ia dicambuk sebanyak seribu kali. Kepala kaki dan tangannya di potong, badannya di bakar
dan kepalanya dibawa ke khurasan untuk di pertontonkan
315
Rasihon Anwar. Ahklak Tasaawuf ..., h. 272-273
89

Sebagaimana syair al-Hallaj yang dimuka, maka dapat dipahami bahwa,

tuhan dapat memilih tubuh-tubuh manusia tertentu setelah sifat-sifat kemanusiaan

itu didalam dirinya telah sirna. Al-Hallaj pun menakwilkan bahwa dalam QS. Al-

Baqoroh [2] ayat 34 yang menjelaskan bahwa bahwa dalam diri manusia terdapat

sifat-sifat ketuhanan, berikut adalah ayatnya:

َ‫يس أَبَ َٰى َوٱ ْستَ ْكبَ َر َو َكانَ ِمنَ ٱ ْل َٰ َك ِف ِرين‬


َ ‫س َجد ُٓو ۟ا ِإَّلٓ ِإ ْب ِل‬ ۟ ‫َو ِإ ْذ قُ ْلنَا ِل ْل َم َٰلَٓئِ َك ِة ٱ ْس ُجد‬
َ َ‫ُوا ِل َءادَ َم ف‬
Artinya : “Dan (ingatlah) ketika kami berfiman kepada para malaikat : “Sujudlah
kamu kepad Adam.” Maka sujudlah merek, kecuali Iblis; ia enggan dan
takabur (sombong) dan dia adalah termasuk golongan orang-orang
kafir.” (QS. Al-Baqoroh [2] : 34).

Al-Halaj sebagaimana yan dikutip oleh Roshin Anwar, memahami bahwa

didalam diri Nabi Adam sebenernya ada unsur ketuhanan yang disebut sifat

ruhaniyah, karena yang berhak untuk diberi hanyalah Allah Swt semata. Sebelum

Allah Swt menjadikan mahkluk, Allah Swt melihat akan Dzat-Nya dan Allah

sangat amat mencinytai Dzat-Nya, maka dari cinta inilah yang menjadi sebab

akibat wujud dan sebab dari yang banyak, maka Allah Swt, mengeluarkan sesuatu

dari tiada dalam bentuk copy dari (Dzat) diri-Nya. Yang mempunyai segala sifat

dan nama Allah Swt, bentuk copy ini adalah Nabi Adam, maka pada diri Nabi

Adam-lah Allah Swt itu muncul. 316

Pendapat al-hallaj juga diikuti oleh banyak tokoh, salah satunya adalah

Ibnu al-Arafbi. Sebagaimana yang kembali dikutip oleh Rasihon Anwar, Ibnu al-

Arabi berpendapat bahwa.317 “Ketika Allah Swt meciptakan alam ini, Allah Swt

juga memberikan sifat-sifat ketuhanan kepada segala sesuatu. Alam ini seperti

cermin yang buram dan seperti badan yang tak bernyawa, oleh karena itu Allah
316
Rosihon Anwar, Ahklak Tasawuf ..., h. 271-273
317
Rosihon Anwar, Ahklak Tasawuf ..., h. 284
90

Swt mencipkan Adam (manusia) untuk memperjelas cermin tersebut.” Maka

dengan kata lain alam ini merupakan penampakan (ta’jalli) dari asama dan sifat

Allah Swt, yang secara terus menerus. Maka hal tersebut, seperti ungkapan dalam

salah satu karya Ibnu al-Arabi yaitu Fushush al-Hikam, Ibnu al-Arabi juga

mengungkapkan dalam syairnya tentang bagaimana Allah Swt, bagaimana Allah

beremanasi kesetiap mahkluknya , berikut ini adalah syairnya:

‫ إَذّاأَ ْنتَ أَ ْعدَدْتَ ْال َم َرايَا تَ َعد ِدا‬# ُ‫الو ْجه ْالذَالِكَ إَّل َو ِحدٌ َغيْرأَنّه‬
َ
Artinya: “Wajah itu sebenernya hanya satu, tetapi jika anda perbanyak cermin,
maka ia menjadi banyak.

Ibnu Arabi diatas, diperkuaat dengan hadist qudsi , sebagai berikut :

‫ف فَ َخ َل ْقتُ ا ْلخ َْل ُق فَ ْي ِه َع ْرفُ ْو ِن‬


َ ‫ُك ْنتُ َك ْن ًزا َم ْخ ِفيا فَأ َ ْحبَبْتُ أَ ْن أَع َْر‬
Artinya: “Aku mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian aku
ingin di kenal, maka aku menciptakan mahkluk. Lalu dengan itulah,
mereka mengenal-Ku”.

Dalam hal ini maka tasawuf adalah cara kita mengenal kepada Gusti Allah

Swt, oleh sebab itu maka dalam presfektif tasawuf terdiri atas ahwal dan

maqomat, ahwal, sebaai bentuk jamak dari kata hal, yang memiliki arrti sebuah

kondisi mental atau situasi kejiwaan yang di capai seorang hamba kepada Allah.

Terkait ahwal atau hal ini, Imam al-Ghaazali menjelasskan yang di kutip oleh Sri

Harini dalam bukunya yang berjudul “Tasawuf Jawa: Kesalehan Spiritual Muslim

Jawa” menjelaskan bawah. 318

“hal merupakan satu waktu dimana seorang hamba berubah karena


ada sesuat yang lain didalam hatinya. Hati seorang hamba pada
saat tertentu namun pada saat yang lain kondisi hatinya itu

318
Sri Harini, Tasawuf Jawa : Kesalehan spiritual Muslim Jawa (Yogyakarta : Araska,
2019), Cet. Ke-1, h.29
91

berubah. Maka ini disebut dengan Hal. Hal di dalam tasawuf


jenisnya sangat beragama, yakni sebagai berikut :
1. Waspada dan mawass diri (musahabah dan muraqobah)
2. Cinta ( Mahabbah)
3. Berharap (Raja)
4. Takut (khauf)
5. Rindu (Syauq)
6. Intim (Uns)”.

Selanjutnya Imam al-Ghazali juga menjelskan yang namanya maqomat

yang di kutip oleh Sri harini dalam buku yang sama mengatakan bahwa :319

“maqoma merupakan beragam jenis interaksi (mu’amalat) dan


perjuangan rohani (mujahadah) yang dilakukan seorang hamba yang
mempu menjalankan salah satu dari maqam dan tasawuf dengan
sempurna, maka itulah maqamnya hingga dirinya berpindah dari
maqam itu menuju yag lebih tinggi, berbeda dengan atau ahwal yang
murni pemberian atau anugrah dari Tuhan, maka maqomat merupakan
hasil kerja kerass dan perjuangan manusia yang memang sungguh-
sungguh menekuni laku tasawuf.

Dengan adanya Hal dan maqomat di sini penulis memberi definisi,

bahwasannya hal dan maqomat adalah cara kita mendekatkan diri kepada Gusti

Allah Maka jelaslah. Seperti yang sudah jelaskan di muka, jika ingin mengenal

siapa Tuhan-Nya terlebih dia harus mengenal siapa dirinya, maka harus

memperdalami tasawuf dengan cara yang bersungguh-sungguh maka disitu lah

seseorang akan menemukan sejatinya jati diri yang membuka hijab antara dirinya

dan Tuhan-Nya.

Penjelaskan sebelumnya merupakan sebuah pembelajaran yang sangat

berharga untuk umat islam, karena kita diperintahkan mengenal siapa diri kita

sebenernya, untuk itu utuk apa kita diciptakan dan apa tujuan kita dan apakah kita

kembali kepada Gusti Allah Swt. Maka tak jauh berbeda dengan dengan

319
Sri Harini, Tasawuf jawa : Kesalehan ..., h. 29-30
92

pemikiran dan keberadaan Dzat Allah Swt, para wali ditanah Jawa juga

melestarikan dengan cara tersebut hanya saja berbeda dari segi bahasa dan

budaya, salah satunya yang tertuang dalam kitab serat Wedhatama yang

diciptakan oleh Mangkunegara IV yang menjelaskan secata terperinci untuk

menjadi sosok manusia yang sempurna (insan kamil).320

Adityo jatmiko dalam bukunya yang berjudul “Tafsir ajaran : Serat

Wedhatama” mengatakan bahwa. 321 “Serat Wedhama mempertajam perbedaan

orang yang hanya menekankan syari’at lahir batin, dengan orang yang

meningkatkan ilmu batiniyah ( hakikat dan ma’rifat)”. Perbedaan dari keduanya

terlihat dari budi luhur dan menekankan pentingnya catur sembah kepada Allah

Swt. Sebagai perjalanan untuk sampai kepada Gusti allah Swt.

Seperti yang sudah penulis jelaskan dimuka bahwasannya Serat

Wedhatama ini terdiri dari 72 bait, naskah yang berupa 4 pupuh terdiri pupuh

pangkur 14 bait, pupuh sinom 18 bait, pupuh pucung 15 bait, dan pupuh gambuh

25 bait. Maka keseluruhan 72 bait, dan adapula yang mengatakan 100 bait dengan

ditambahkannya pupuh gambuh (lanjutan 10 bait dan pupuh khinanti, lanjutan 18

bait, maka jumlah keselurannya 100 bait).322

Serat wedhatama ini berisi pelajaran dan petunjuk bagi golongan tua dan

golongan muda artinya bisa untuk siapa saja asal memiliki niat, kesungguhan,

ketabahan dan istiqomah dalam mempelajarinya, bagi orang yang ingin menuntut

320
Insan kamil yang dimaksud penulis adalah mereka yang memiliki adab, etika, budi
luhur dan tau akan jati dirinya sebagai manusia sejati, yang mengetahui siapa dirinya dengan siapa
tuhannya, maka disini penulis menguraikan insan kamil dalam senbah catur (empat sembah) yaitu
: sembah raga, sembah cipa (qalbu), sembah jiwa dan sembah rasa
321
Adityo Jatmiko, tafsir ajaran ..., h.17
322
Ardani, al-Aqur’an dan Sufisme : mangkunegara ..., h.14
93

ilmu lahir batin, orang yang ingin mendapat limpahan anugrah Tuhan harusnya

mengetahui esensi dari kitab Serat Wedhatama ini yang mencangkup sembah

catur supaya lumuntr (empat sembah agar bisa dipahami yaitu : sembah raga,

sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa). 323

Karena sesugguhnya dalam Serat Wedhata ini menyangkum semua

pelajaran baik dari segi eksoterik maupun dalam segi esoteris, baik kalangan

muda maupun kalangan tua bagi yang ingin mempelajarinya karena Serat

Wedhata adalah suatu pendidikan yang harus ditekuni dengan kesabaran serta

ketabahan dan juga harus dibimbing, didampingi oleh guru agar tidak salah paham

dan tepeleset dari ajaran Al-Qur’an dan Hadist. Karena Serat Wedhata ini

menyingkap esensi akan kehidupan yang sesungguhnya yang akan kita jalani

nanti yakni dihari akhir.

Sebelum mengupas isi Serat Wedhatama maka disini penulis akan

mencatat ke-100 bait serat Wedhatama yang berupa pupuh pangkur, pupuh

sinom, pupuh pacung, pupuh gambuh dan pupuh khinanti, akan tetapi disini

penulis hanya mengupas inti dari Serat Wedhatama yaitu pada pupuh gambuh

yang terdapat ajaran-ajaran adhi luhung atau ilmu tinggi yang berupa empat

sembah yaitu : sembah raga, sembah cipta (Qlabu), sembah jiwa dan sembah rasa.

akan tetapi disini penulis akan memberikan 100 bait meski penulis sendiri hanya

mengupas pupuh gambuhnya saja, dengan tujuan para pembaca bisa mengetahui

keseluruhan pada isi serat wedhatama. Adapaun keseluruhan 100 bait pada Serat

Wedhatama sebagai berikut:

323
Menurut penulis sembah catur ( sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah
rasa ) sama halnya dengan syari’at, tarikat, hakikat dan ma’rifat. Untuk menjadi manusia yang
sempurna harusnya menempuh langkah-langkah itu.
94

Tabel 1.1.324

Pupuh pungkur

Pupuh Pangkur dan arti yang terdiri dari 14 bait

Mingkir mingkuring angkara,


Angkarana karenan mardi siwi, Mencegah perbuatan angkara,
Sinawung resmining kidung Sebab cinta untuk mendidik anak bangsa,
1. Sinuba sinukarta , Di rangkai dalam kidung yang indah,
Mrih kretarta pakartining ngelmu Di perindah dan di gubah dengan baik,
luhung, Agar terlaksana pekerti dilandasi ilmu luhur,
Kang tumrap neng tanah jawa, Agama ageming aji.
Agama ageming aji.
Jinejar neng Wedhatama,
Mirh tan kemba kembenganing Di bukukan dalam Wedhatama,
pamudi Agar tidak kehilangan landasan budi,
Mangka nadyan tuwa pikun, Padahal meski sudah tua sekali,
2.
Yen ten nikmati rasa, Bilamana tak memahami rasa,
Yekti sepi asepa lir sepah samun Pasti kosong melompong bak sampah habis
Samangsane pasamuan, di perras,
Gonyol ganyuk nglilingsemi. Tiada kesusilaan memalukan.

Nggugu karsane priyangga ,


Percaya pada keinginan abdi,
Naro ngganggo peperah lamun
Tanpa pertimbangan bilamana berbicara,
angling
Tak mau disebut bodoh,
Lumuh ingkaran balilu.
3. Selalu mengharapkan pujian,
Uger guru aleman,
Tetapi manusua yang t’lah waspada akan
Nangging janma ingkang wus ,
rasa,
Waspadeng semu,
Tersembunyi dimuka manis,
Sanimun ing samudane,
Tampil berperilaku manis.
Sesadon ingadu manis.
Si pengung naro nglegawa,
Orang yang bodoh tiada peduli,
Sangsayarda denira cacriwis,
Semakin berkepanjangan berbicara,
Ngandhar-andhar angendhukur,
4. Meluas melantur,
Kandhane naro kaprah,
Bicara yang bukan-bukan,
Saya elok alangka longkanganipun,
Yang wasis dan waskita mengalah,
Si wasis waskhita ngalah,
Menutupi kekurangan si bodoh.
Ngalingi marang si pingging.

324
Achmad Chodjim, Serat Wedhatama ..., h. 17-21
95

Mangkono ngelmu kang nyata, Itulah ilmu yang nyata,


Sanyatane mung weh reseping ati, Kenyataan hanya membuat hati senang,
Bungah ingaranan ubluk, Gembira bilamana dikatakan bodoh,
5. Sukeng tyas yen deninan Bila dihina dengan senang hati diterimanya,
Naro kaya si punngung anggung Tak seperti orang yang bodoh senang
gumrunggung, disanjung dan dipuja saban hari,
Ungunan sadina dina, Orang hidup hendaknya tidak berbuat
Aja mangkono waong urip. seperti iitu.
Uripe sepisa rusak, Hidup sekali saja berantakan,
Naro mulur nalre ting saluwir, Tidak berkembang pola pikirnya karut-
Kadi ta guwa kang sirung marut,
6. Sinerang ing maruta . Umpa goa menyeramkamkan yang
Gumarengeng anggereng anggung dihembus angin,
gumrunggung. Suaranya gemuruh mengeram nan
Pindha padhane si mudha . berdengung,
Prandene paksa kumaki, Masih pula berlagak congkak.
Kikisame mung sapala, Tujuan hidupnya begitu remeh,
Palayune ngendelekn yayah wibi, Maunya mengandalkan orang tua,
Bangkit tur bangsaning luhur, Yang terpandag lagi bangsawan,
7.
Lha ia ingkang rama, Itu kan ayahnya,
Balik sira sarawungan bae durung, Sedangkan kamu kenal saja belum,
Mring atining tat krama, Akan hakikatnya tata krama,
Nggon anggon agama suci. Dalam ajaran yang suci.
Socaning jiwagannira, Cerminan diri dalam jiwa ragamu,
Jer katara lamun pocapan psthi, Tampak jelas walau tutur kata,
Lumuh asor kudu unggul, Tak mau kalah, maunya menang sendiri,
8.
Yen mengokono kena ingaran Penuh dengan kesombongan,
katungkul, Bila demikian dapat disebut kalah,
Karem ing reh kaprawiran, Puas tinggi berlagak tinggi,
Nora enak itu kaki. Maka itu tidak baik nak.
Kekerane ilmu karang, Didalam ilmu karang,
Kakaranagn saking bangsaning ghaib, Rekayasa dari hal-hal ghaib,
9. Ikun boreh paminipun, Tidak meresap kedalam jasad,
Amung aneng ajabning daging kulup, Hanya ada kulitnya saja nak,
Yen kapengkok pancabaya, Bila terbentur marabahaya,
Ubayen mbalenjani. Biasanya menghindari.
Karana sebisa-bisanya,
Marma ing sabisa bisa,
Upayakan selalu berhati-hati,
Bebasane muriha tyas basuki,
Bergurulah secara tepat,
Paruitaa kang patut,
10. Yang sesuai dengan dirimu,
Lan traping angganira,
Ada juga peraturan dan pedoman
Ana uga angger ugering kaprabun,
bernegaraa,
Abon abroning panembah,
Menjadi syarat bagi yang berbakti,
Kang kambah ing siyang ratri.
Yang berlaku siang nan malam.
96

Iku kaki takokena,


Marang para sarjanakang martapi Itulah nak, tanyakan,
mring tapaking tapa tulus, Kepada para sarjana yang menimba ilmu,
Kawawa nahen hawa, Kepada jejak hidup para suri tauladan yang
11.
Wiruhanira mungguh sanyataning benar,
ngelmu, Ketahuilah perihal senyatanya ilmu,
Tan mestineng janma wredha, Yang tidak harus dikusasai orang tua,
Tuwin mudha sudra kaki. Bisa juga bagi muda atau miskin nak.

Sapantuk wahyuning Allah,


Gya dumilah mangulah ngelmu Siapapun yang menrima wahyu Tuhan,
bangkit, Akan memiliki kemampuan mempelajari
Bangkit mikat reh mangukut, ilmu
Mampu mengusasi ilmu menghentikan,
12. Kukutaning jiwangga,
Yen mengkono kena senebut wong Pekerti jiwa raga,
sepuh, Bila demikian pantas disebut orang tua,
Lire sepuh sepi hawa, Arti “orang tua” adlah tidak dikusai hawa
Awas roroning atunggil. nafsu,
Paham akan Dwi tunggal.

Tan samar pamoring sukma, Tidaklah samar suka menyatu,


Sinuksmaya Winahya ing ngasepi, Diresapkan dijelmakan dalam sepi,
Sinempen telengging kalbu, Diendappkan dalam sanubari (hati),
13.
Pambukanin warana, Berawal dari keadaan anatara sadar dan
Tarlen saking liyep layaping aluyup, tiada,
Pindha pesating sumpena, Seperti terlepasnya mimpi,
Sumusuping rasa jati. Merasuknya rasa yang sejati.
Sejatine kang mangkana, Sebenernya ke-ada-an itu,
Wus kekenan ngrahaning hyang Merupakan anugra Tuhan,
widhi, Kembali ke alam kosong,
14. Bali alaming ngasuwung, Tidak mengumbar nafsu duniawi,
Tan karem karemeyan, Yang bersifat kuasa menguasai
Ingkang sifat wisesa winisesa wus, Kembali ke asal muasalmu,
Mulih mula mulanira, Demikianlah adanya, wahai anak muda.
Mulane wong anom sami.

Pupuh pangkur berasal dari kata “kur” yang membentuk kata pangkur

(yang telah lalu, yang lampau), singkur (belakang, nyingkur berarti

membelakangi), mingkur (menyisih, menyingkur).325 Pangkur juga digunakan

untuk membingkai wacana yang mengandung nasihat yang sungguh-sungguh atau

325
Achmad Chodjim, Serat Wedhatama ..., h.12
97

bisa juga dengan puncak kerinduan dendam asmara. Dapat dikatakan pupuh

pangkur digunakan sebagai latar belakang suatu serat, oleh sebab ini pupuh

pangkur ditempatkan sebagai pupuh pertama.

Tabel 1.2.326

Halaman Pupuh Sinom

Pupuh sinom dan artinya yang terdiri dari 18 bait

Nulada laku utama,


Contohlah perilaku utama,
Tumrape wong tanah Jawi,
Bagai masyarakat nusantara,
Wong agung ing ngeksidana,
Sosok orang mulia dari Mataram,
Penembahan senpati,
Penembahan Senopati,
Kepati amarsudi,
1. Yang tekun,
Sudane hawa lan nepsu,
Mengurangi (mengontrol) hawa nafsu,
Pinepsu tapa brata,
Dengan jalan tapa nan brata
Tanapi ing siyang ratri,
Di siang dan di malam hari,
Amamangun karyenak tyasing
Membangun kebahagian hidup sesama.
sesama.
Samangsana pasamuan, Dalam satu pertemuan,
Mamangun marta martani, Membangun sikap rendah hati (tawdhu),
Sinambi ing saben mangsa, Setiap ada kesempatan,
Kala kalening asepi, Disaat waktu longgar,
Lelana teka teki, Mngembara untuk bertapa,
2.
Nggayuh geyoyaning kayun, Menggapai cita-cita hati,
Kayungun eninging tyas, Hanyut dalam keheningan sanubari (qalbu),
Sanitiyasa pertemuan, Senantisa prihatin,
Puguh panggah cegah dhahar lawan Dengan tekad kuat membatasi makanan dan
mendra. tidur.
Saben mendra saking wisma, Setiap pagi dari istana,
Lelana lalding sepi, Berkelana ketempat yang sunyi,
Ngingsep sepuhing supana, Menghirup kedalaman ilmu,
Mrih pana pranaweng kapti, Agar jelas apa yang menjadi tujuan,
Titising tyas marsudi, Maksud hati untuk menanggapi,
3. Mardawaning budaya tulus, Kelembutan hati yang tulus,
Mesu reh kasdarman, Menempa diri untuk mencapai keutamaan
Neng tepining jalanidhi, hidup
Sruning brta kataman wahyu Ditepi samudra,
dyatmika. Berkat kerasnya bertapa dia mendapatkan
wahyu agung.
4. Wikan wakoning samodra, Memahamu kekuasaan di dalam samudra,

326
Achmad chodjim, Serat Wedhatama ..., h.90-97
98

Kederan wus den ideri, Seluruhnya sudah dijelajahi,


Kinemat kamoy hingga driya, Direnungkan dan dimasukan ke dalam hati,
Rinegem sesegeran dadi, Satu genggaman jadi,
Dumadya angrotani, Berhasil berkuasa,
Neggih kangjeng ratu kidul, Kangjeng ratu kidul,
Ndedel nggayuh nggegena, Naik tinggi ke angkasa,
Umara marak maripih, Datang menghadap penuh hormat,
Sor prabawa lan wong agung Kalah wibawa dengan tokoh Agung Mataram.
ngeksiganda.
Dahat denira aminta, Memohon dengan sangat,
Sinapuket pangkat khanti, Agar diakaui sebagai sahabat setia,
Jroning dalam palimunan, Di dalam alam ghaib,
Ing pasaban saben sepi, Di saat berkelana di tempat sunyi,
5. Sumanggem anyanggemi, Ia bersedia, meyanggupi,
Ing karsa kang wus tinamtu, Sesuai dengan ketentuan,
Supangate mung aminta, Harapannya hanyalah meminta,
Pamrihe teki-teki, Restu dalam bertapa
Nora ketang taken jangut suku jaja. Meski dengan susah payah.
Pranjanjine abipraya, Perjanjian sangat mulia,
Saturun turuning wuri, Selururuh keturunannya di kemudian hari,
Mangkono trahing ngawirya, Begitulah keturunan orang luhur,
Yen amasah mesu budhi, Bila mengasah diri untuk kesempurnaan budi,
Dumadya glis dumungi, Akan cepat berhasil,
6.
Iya ing sakarsanipun, Apa yang di khendaki,
Wong agung Ngeksiganda, Tokoh Agung Mataram,
Nugrahane prepteng mangkin, Anugrahnya tampak hingga kini,
Trah tumerah dharahe padha Keturunannya mulia lagi wibawa.
wibawa.
Ambaawani tanah Jawa, Menguasai tanah Jawa,
Kang padha jumeneng aji, Yang menjadi raja,
Satria dibya sumbaga, Kesatraia sakti termashur,
Tan iyan trahing senopati, Tak lain keturunan senopati,
7. Kan iku pantes ugi, Hal ini pantas pula,
Tinelada labetipun, Sebagai teladan budi pekertinya,
Ing sakuwasanira, Sebisamu terapkan di zaman nanti,
Enake lan jaman mungkin, Walaupun tidak bisa,
Sayaktine tan bisa ngepleki kuna. Persis sama seperti di masa silam.
Lawong kalamun tinimbang, Mending bila di banding,
Ngaurip tanpa prihatin, Orang hidup tanpa prihatin,
Nanging ta ing jaman mangkya, Namun dimasa yang akan datang,
Pra mudha kang den karemi, Yang digemari anak muda,
8. Manulad nelad nabi, Meniru-niru Nabi,
Nayekengrat Gusti Rasul, Pemuka jagad Gusti Rasul,
Anggung ginawe umbag, Yang hanya di pakai untuk menyombongkan
Saben seba mampir masjid, diri
Ngajab-ajab tibaning ukjijat drajat. Setiap akan bekerja singgah dulu di masjid,
99

Mengharap mukjizat agar medapat drajat.


Anggung anggubel sarengat, Hanya memahami syaroat saja,
Saringane tan den wruhi, Sedangkan hakikatnya tidak dikusasi,
Dalil dalaning ijemak, Dalil jalan ijmak,
Kiyase nora mikani, Tidak paham akan kias,
Katungkul mungkul sumi, Mereka lupa diri,
9.
Bengkrakan mring masjid agung, Bersikap berlebih-leihan dimasjid besar,
Kalamunmaca kutbah, Bila membaca khutbah,
Lelagone dandanggendis, Berirama dandanggula,
Swara arum ngumandhang cengkok Suara merdu bergema gaya palaran.
palaran.
Lamun siara paksa murad, Jika kamu memaksa meniru,
Tuladhaning kanjengNabi, Tingkah laku kanjeng Nabi,
O’ngger kadonan panjangkah, Oh nak terlalu jauh,
Wateke tan betah kaki, Biasanya tak akan mampu nak,
Rejme ta sira Jawi, Karena kamu itu orang jawa,
10.
Sathithik bae wus cukup, Sedikit saja sudah cukup,
Aywa guru aleman Jangan sekedar mencari sanjungan,
Neled kas ngepleki pekih, Mencontoh-contoh mengikuti fiqih,
Lamun pangkuh pangakah yekti Apabila mampu,
larahmat. Memang ada harapan akan mendapatan rahmat,
Nanging enak ngupa boga, Tetapi seyogyanya mencari nafkah,
Rehne ta tinitah langip, Karena di ciptakan sebagai mahkliklemah,
Apata sewuteng Nata, Apakah mau mengabdi kepada raja,
Tani tanpa Agami, Bercocok tanam atau berdagang,
11. Mangkono mungguh mami, Begitulah menurut pemahamanku,
Padung wong dahat cubuk, Sebagai seorang yang sangat bodoh,
Durung wruhcara arab, Belum paham cara arab,
Jawaku bae tan ngenting, Tata cara jawa sejati tidak mengerti,
Parandene paripaksa mulang puta. Namun memaksa diri mendidik anak.
Saking duk makasih taruna, Sejak masih muda,
Sadhela wus anglakoni, Sebentar sudah menjalani,
Aberag marang Agama, Mempelajari akan Agama,
Maguru anggeringkaji, Berguru tentang aturan Haji,
Sawadine tyass mami, Rahasia terpendam dalam hatiku,
12.
Banget widine ing mbsuk Menjadi sangat takut dikemudian hari,
Pranatan angkir jaman, Tatanan di akhir zaman,
Tan tutug kaselak ngabdi, Tidak tuntas tergasa-gesa ngabdi,
Nora kober sembahyang gya Tidak sempat sembahyang terlanjur di panggil.
tinimbalan.
Marang ingkang asung pasang, Kepada yang memberi mkan,
Yeh kesuweh den dukani, Jika kelaman dimarahi,
Abubrah kawur tyas ingwang, Menjadi kalau balau perrasaanku,
13.
Lir kiyamat saben ari, Seperti kiamat saban hari,
Bot Alloh apa Gusti, Berat Allah atau Gusti,
Tambuh tambuh solahingsun, Bimbinglah sikapku,
100

Lawas lawas nggaraita, Berlama-laa berpikir,


Rehne ta suta priyayi, Karena anak turun priyayi,
Yen mamriha didi kaum temah Bila ingin menjadi penghulu agama tentu nista.
nistha.
Tuwin ketip suragama, Dan jika kita mengurus,
Pan ingsun nora winaris, Kaena aku bukan ahli waris,
Angur baya ngantepana, Lebih baik memegang teguh,
Pranatan wajibing urip, Aturan dan kewajiban hidup,
Langpahan angluluri, Menjalankan pedoman hidup,
14.
Aluraning pra leluhur, Jalan hidup leluhur,
Kuna kumanira, Zaman kuna makuna,
Kongsu tumengkeng samangkin, Hingga zaman sekarang,
Kikisane tan lyan amung mgua Ujugnya tidak lain hanyalah mencari nafkah.
boga.
Bonggan kang tan merlokana, Salahnya sendiri yang tidak memerlukan,
Mungguh ungering ngaurip, Sepatutnya pedoman hidupp itu,
Uripan lan tri prakara, Hidup dengan tiga hal,
Witaya arta tri winasis, Kekuasaan harta ketiga ilmu pengetahuan,
Kalamungn kongsi sepi, Bila sampai sepi,
15.
Suka wilangan tetelu, Dari ketiga hal itu,
Telas tilasing jenma, Habis harga diri manusia,
Aji gadhong jati aking, Lebih berhatga daun jati kering,
Temah papa papariman ngulandara. Akhirnya menderita jadi pengemis pergi tanpa
arah.
Kang wus waspadha ing patrap, Yang sudah menguasi tata caranya,
Menganyut ayat winasis, Menghayati ajaran utama,
Wasana wasing jiwangga, Akhirnya inti jiwanya,
Melok tanp aling-aling, Akan terlihat tanpa penghalang,
Kang nagalingi kalinging, Yang menghalangi akan tersingkir,
16.
Wenganing rasa tumalawung, Terbukalah rasa sayup menggema,
Keksi saliring jaman, Tampaklah seluruh perederan zaman,
Angelangut tanpa tepi, Sepi tiada bertepi,
Yeku ingaran tapa tapiking Hyang Yaitu disebut tapak Hyang Sukma.
Sukma.
Mangkono janma utama, Demikianlah manusia utama,
Tuman tumanen ing sepi, Gemar terbenam dalam sepi,
Ing saben rikala mangsa, Di saat-saat tertentu,
Masaah amemasuh budi, Mempertajam dan membersihkan budi,
17. Laire anetepi, Bermaksud memenuhi,
Ing reh kesatriyanipun, Tugasnya sebagai satria,
Susilo onor raga, Berbuat susila rendah hati,
Wignya met tyasing sesami, Pandai menyejukan hati sesama,
Yeku aran wong barek berag agama. Itulah yang disebut menghati agama.
Ing jaman mengkono pan ora, Di zaman kelak tiada kebaikan,
18. Arehe para taruni, Gerak anak muda,
Yen antuk tuduh kang nyata, Bila mendapat petunjuk nyata,
101

Nora pisan den lakoni, Tidak pernah di jalani,


Banjur njujurken kapti, Lalu hanya menuruti khendaknya,
Kekekne arsa winuruk, Kakeknya pun hendak di gurui,
Ngandelken gurunira, Dengan mengandalkan gurunya,
Panditane prja sidik, Yang dianggap pendita negara yang pandai,
Tur wus manggon pamucunge Serta sudah samppai dipuncak,
Miring makrifat Menguasai akan makrifat.

Pupuh sinom, adalah kosokata “sinom” berdasarkan kamus jawa

mempunyai arti daun muda atau daun pucuk pohon asam, dalam dunia sastra

pupuh sinom memberikan makna keadaan yang masih muda. Sedangkan metrum

sinom mengandung ajaran yang bersifat menyenangkan, ramah, dan ceria.327

Metrum sinom merupakan persajakan yang bersahabat, melahirkan cinta kasih,

dan bersifat nasihat.

Table 1.3.328

Halaman Pupuh Pucung

Pupuh pucung beserta artinya terdiri dari 15 bait


Ngelmu iku,
Ngelmu itu,
Kalakone kanthi laku,
Diwujudkan dengn laku,
Lekase lawan ks,
1. Dimulai dengan kemauan,
Tegase kas nyantosani,
Arttinya kemauan yang kuat,
Setya budaya pangekese dur
Setya budaya untk menaklukan dur angkoro.
angkara.
Angkara gung,
Nafsu angkar yang besar,
Neng angga anggung gumulung,
Ada didalam diri selalu menggulung,
Geloganira,
2. Golongannya,
Triloka lekeri kongsi,
Menjaukau hingga tiga alam,
Yen den umbar ambabar dadi
Jika dibiaarkan berkembang menjadi gangguan.
rubeda.
Beda lamun,
Berbeda dengan,
Kang weus sengsem reh
Yag sudaha terpikat pada kesunyian,
ngasammun,
3. Air mukanya mencerminkan diri prmaaf,
Semune ngaksama,
Terhadap sesama yang bersalah,
Semune bangsa sisip,
Sarwa sabar akibat melatih hidup rendah hati.
Sarwa sareh saking maradi

327
Achmad Chodjim, Serat Wedhatam ..., h. 12-13
328
Achmad Chodjim, Serat Wedhatama ..., h. 182-185
102

martatama.
Tidak tertutup,
Taman limut,
Gangguan hati yang melingkupi,
Durmageng tyas kang weh limat,
Larut dalam kemulian,
Karem ing karamat,
4. Karena temggelam dalam ssamodra kasih
Karena karoban ing sih,
sayang,
Sihing sukma ngrebda saardi
Kkasih sayang sukma berkembang sebesar
gengira.
gunung.
Itulah yang pantas ditiru,
Yeku patut tinulat tulat tinurut,
Semua petunjuknya,
Sapituduhira,
Jangan seperti zaman nanti,
5. Aja kaya jaman mangkin,
Banayak anak muda yang menyombongkan
Keh prah mudha mundhi diri,
diri,
Rapal makna.
Sekedar hapal dapat.
Durung becus kesusus selak becus, Belum mumpuni sudah berlagak pinter.
Amaknani rapal, Menerangkan ayat,
6. Kaya sayid weton mesir, Seperti sayid dari mesir,
Pendhak pendhak angendhak, Setiap saat meremehkan,
Gunaning jalma. Kemampuan orang lain.
Kang yedyeku,
Kalebu wong ngaku aku, Yang seperti itu,
Akal alangka, Termasuk orang mengaku-aku,
7.
Elok jawane den mohi, Kemampuan ilmu jawa malah ditolak,
Paksa langkah ngangkah met Memaksa diri mengejar ilmu di mekah.
kawruh ing mekah
Nora weruh, Tidak memahami,
Rosing rasa kang rimuruh, Hakekat ilmu yang dicari,
8. Lumeketing angga, Sebenernya ada didalam diri,
Anggere padha marsudi, Asal mau berusaha,
Kana kene kaanane nora beda. Sana sini tidak berbeda.
Uger lugu, Asal tidak banyak tingkah,
Den ta mrih pralebdeng kalbu, Agar supaya masuk kedalam hati,
Yen kabul kabuka, Bila berhasil akan terbuka,
9.
Ing drajat kajating urip, Drajat tujuan hidup yang sebenernya,
Kaya kang wus winahya sekar Seperti yang telah tersurat dalam tembang
srinata. srinata.
Basa ngelmu, Yang namanya ngelmu,
Mupakat lan panemune, Mufakat bila sesuai dengan penemuan,
10. Pasahe lan tapa, Dicapai dengan tapa,
Yen satria tanahJawi, Bagi kesatria tanah Jawaa,
Kuna kuna kang ginilut tripakara, Dahulu yang menjadi pegenagan tiga perkara.
Lila lamun, Ikhlas bila,
Kalangan nora gegetun, Kehilangan tanpa menyesal,
11. Trima yen ketaman, Sabar jika terkena,
Sakserik sameng dumadi, Sakit hati oleh sesama,
Tri legawa nalangsa srah ing Ketiga lapang dada sambil,
103

bathara, Berserah diri kepada Tuhan.


Bathara agung,
Tuhan Maha Agung,
Inggung graning jajantung,
Ditempatkan di dalam jantung,
Jenek Hyang wisesa,
12. Asyik dengan Hyang Mahakuasa,
Sana pesantrean suci,
Ditempat suci nan suci,
Nora kaya si mudha mudhar
Tidak seperti anak muda mengumbar angkara.
angkara.
Tidak henti-hentinya,
Nora uwes,
Gemar mencaci maki,
Karema anguwus uwus,
Tanpa ada isinya,
13. Uwose tan ana,
Hanya bisa-marah-marah,
Mung janjine muring muring,
Seperti reksasa mudah marah senang
Kaya buta buteng betah anganiaya.
menganiaya.
Sakeh luput, Semua kesalahan,
Ing angga tansah linimput, Dalam diri selalu ditutupi,
14. Linempet ing sabda, Ditutup dengan kata-kata,
Narka tan ana udani, Mengira tak ada yang tahu,
Lumuh ala ardane ginawang gada. Enggan berbuat jahat murkanya dipakai senjata.
15. Durung punjul Belum lebih,
Ing kawruh kaselak juul, Dalam ilmu terjadi penuh,
Kaseselan hawa, Terisi hawa nafsu,
Cupek kapepetan pamrih, Selalu merasa kurang dan tertutup pamrih,
Tangeh nedya anggambuh mring Tak mungkin manunggal dengan Hyang
Hyang Wisesa. Mahakuasa.

Pupuh pucung, atau bisa juga ditulis pocung/pocong, makana harfiyahnya

adalah kaluak (jawa: keluwek).329 Ini adalah buah yang digunakan sebagai bumbu

masakan, misalnya masakan rawon, di Sumaatra keluak disebut kepayamg, dan

karena ada yang mabuk karena makan keluak yang masih belum kering dan masih

mengandung racun yang membuatya mabuk; maka dikenal juga dalam bahasa

Indonesia mabuk kepayang. Hal ini dimaksudkan sebagai bumbu dialog,

percakapan, bercengkrama, atau nasihat, agar suasan menjadi santai, menurunkan

akan ketegangan dalam forum permusyawarahan maka hilanglah suasana keras.

Selanjutnya adalah pembahsan penulis yaitu sembah catur, empat semabah

yang terdaat dalam pupuh gambuh, karena pupuh gambuh ini yang paling banyak

329
Achmad Chodjim, Serat Wedhatama ..., h. 13
104

diantara semua pupuh dalam serat wedhatama. karena dalam pupuh inilah esensi

dari hakikat dan makrifat dalam sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan

sembah rasa, tujuan konkerit yaitu manjadi manusia yang mampu kembali kepada

Tuhan-Nya kala masih hidup bukan setelah mati. 330

Table 1.4.331

Halaman Pupuh Gambuh

Pupuh Gambuh beserta artinya terdiri dari 35 bait


Samengko ingsun tutur, Kini aku bertutur,
Semabah catur supaya lumuntur, Emapat sembah supaya dilestarikan,
1. Dhihin raga cipta jiwa rasa kaki, Raga cipta jiwa rasa anakku,
Ing kono lamun tinemu, Di situ bila bertemu,
Tandha nugrahaning Manon. Pertanda anugrah Hyang Melihat.
Sembah raga punika, Sembah raga adalah,
Pakartine wong amagung laku, Perbuatan orang lagi megang laku,
2. Susucine asarana saking warih, Mensucikan diri dengan sarana air,
Kang wus lumrah limang wektu, Yang sudah lumrah misalnya lima waktu,
Wantu wataking weweton. Sebagai rasa menghormati waktu.
Zaman dahulu belum,
Inguni uni durung,
Dikenal ajaran yang dipaksakan,
Sinarawung wulang kang sinerung,
Baru ini ada orang bener-bener keluarkan
3. Lagi iki bangsa kas ngetokken anggit,
gagasan,
Mintokken kawignyanipun,
Memperlihatkan keahlian,
Sarengate elok-elok.
Syariatnya seribu aneh,
Thithik kaya santri Dul Agak mirip santri Dul,
Gejeg kaya santri brai kidul, Seingatku seperti santri birahi di selatan,
4. Saurute pacitan pinggir pasisir, Sepanjang pacitan tepi pantai,
Ewon wong kang padha nggugu, Ribuan orang yang percaya,
Anggere padha nyalemong. Apapun yang diucapkan.
Keburu ingin tahu,
Kasusu arsa weruh,
Cahaya Tuhan dikira mudah dikenal,
Cahyaning Hyang kinira yen karuh,
Berharap ditangannya cahaya akan
5. Ngarep arep urub arsa den kurebe,
dimuliakan,
Tan wruh kang mangkono iku,
Tidak paham yang demikian itu,
Akale kaliru enggon,
Akalnya sudah keliru,
Yen ta jaman rumuhun, Bila zaman dahulu,
6. Tata titi tumrah tumaruntun, Tertib cermat teratur turun temurun,
Bangsa srengat tan winor lan laku Syariat tidak dicampur aduk dengan olah

330
Achamd Chodjim, Serat Wedhatama ..., h. 280
331
Achmad chodjim, Serat Wedhatama For Our Time ..., h. 270-278
105

batin, batin,
Dadi noraa gawe bingung, Sehingga tidak membuat bingung,
Kang padha nembah Hyang Manon. Bagi yang menyembah Tuhan.
Lire sarengat iku, Sesungguhnya syariat itu,
Kena iga ingaran laku, Dapat juga dinamakan laku,
7. Dhingin ajeg kapindone ataberi, Pertama dilakukan teratur, kedua rajin,
Pakolehe putra ningsun, Anakku hassilnya dapat,
Nyenyengger badan mrih kaot. Menyegarakan badan agar sehat dan kuat.
Orang yang seger badannya,
Wong seger badanipun,
Otot, daging, kulit dan batim sumsumnya,
Otot daging kulit balung sungsun,
Mempengaruhi darah membuat tenang
8. Tumrah ing rah memarah antenging ati,
hati,
Antenging ati nunungku,
Ketenangan hati memadukan,
Angruwat ruweding batos.
Menghilangkan kekusutan batin.
Mengkono mungguh ingsun,
Begitulah menurutku,
Ananging ta sarehne asnapun,
Tetapi karena keadaannya berbeda-beda,
Beda beda pandhuk pandhuhuning
9. Beda pula kodrat dan iradat atass manusia,
dumadi,
Sebenernya tidak sama,
Sayaktine nora jumbuh,
Tekad orang yang melaksanakan.
Tekad kang padha linakon.
Namun terpaksa mengajarka,
Nanging ta paksa tutur, Sebagai orang ua gantinya berupa kata,
Rehne tuwa tuwase mung catur, Siapa tahu dapat lestari pedoman laku
10. Bok lumuntur lantaraning reh utami, utama,
Sing sapa temen tinemu, Barang siapa bersungguh-sungguh akan
Nugraha geming kaprabon. menemukan,
Anugrah pakaikan kaprabon.
Semangko sembah kalbu, Sekarang sembah kalbu/cipta,
Yen lumintu uga dadi laku, Jika berkesinambungan menjadi laku,
11. Laku agung kang kagungan Narapati, Laku agung yang dimiliki Raja,
Patitis tetep ing kawaruh, Tetap dan tetap dalam kawaruh,
Meruhi marang kan mamong. Akan mengetahui yang mengasuh diri.
Sucine tanpa banyu, Bersunyinya tanpa air,
Mung nyunyuda mring hardaning Hanya menahan hawa nafsu,
kalbu, Dimulai dari perilaku teratur cermat serta
12.
Pambukane tata titi ngati ati, hati-hati,
Atetep telaten atul, Teguh, sabar dan betuk
Tuladan marang waspaos. Teladan bagi yang waspada.
Mring jatineng pandulu, Pada pengelihatan yang sejati,
Panduk ing ndon dedelan satuhu, Tercapai tujuan yang sebenernya,
13. Lamun lugu legutaning reh maligi, Bila bener-bener taat dalam berkonsentrasi,
Lageane tumalang, Sampai terbiasa dalam kekosongan,
Wenaganing alam kinaot. Terbukalah alam yang lebih tinggi.
Yen wus kambah kadyeku, Bila telah tercapai seperti iu,
14. Surat sareh saniskareng laku, Syaratnya sabar segala tingkah laku,
Kalakone saka eneng ening eling, Berhasilnya dengan cara heneng heningn
106

Ilanging rasa tumalang, sadar,


Kano adiling Hyang manon. Dengan hilangnya rasa sayup-sayup,
Disitulah keadilan Hyang melihat.
Gagalnya bila menuruti hati,
Gagare ngunggar kayun,
Tidak peduli keagungan tujuan,
Tan kayungyun mring ayuning kayun,
Keinginan yang bila dipenuhi
15. Bangsa anggit yen ginigit nora dadi,
menyebabkan gagal,
Marma den awas den emut,
Maka harus awas dan sadar,
Mring pamurunggung kalakon.
Terhadap penghalang perjalanan.
Sekarang yang diajarkan,
Samengko kang tinutur,
Sembah ketiga yang sebenernya
Sembah katri kang sayekti katur,
diperentukan,
16. Mring Hyang Sukma sukmanen saari
Kepada Hyang Sukma hayatilah saban
ari,
hari,
Sembahing jiwa sutenggong.
Sembah jiwa ini anakku.
Sayketi luwih perlu,
Sungguh lebih penitng,
Ingaranan pupuntonging laku,
Yang disebut sebagai ujung jalan spiritual,
Kelakuwan tumrap lam kang
17. Tingkah laku ola batin,
bangsaning batin,
Bersuci dengan awas dan selalu ingat,
Sucine lan awas emut,
Akan alam nan abdi kelak.
Mring alaming lama amot.
Cara menjaganya dengan cipta hening,
Ruktine ngangkah ngukut,
Mengingat merangkul erat tiga jagad
Ngiket ngruket triloka kakukut,
dikuasai,
18. Jagad agung ginulung lan jagad alit,
Jagad besar digulung dan jagad kecil,
Den kendel kumandel kulup,
Pertebel keyakinanmu, anakku,
Mring kelaping alam kano.
Akan kilauannya alam tersebut.
Tenggelamnya rasa dalam keadaan gelap
Kaleme mawi limut,
berkabut,
Kalamatan jroning alam kanyut,
Mendapat firasat dalam alam yang
19. Sanyatane iku kenyataan kaki,
menghanyutkan,
Sajatine yen tan emut,
Sebenernya hal itu kenyataan, annku,
Syektitan bisa awor,
Sungguh tak bisa bertemu dan menyatu.
Jalan keluarnya dari kuyut,
Pameta saka luyut,
Tetap sabar mengikuti alam yang
Sarwah sareh saliring panganut,i,
menghanyutkan,
20. Lamun yitna kayitnan kang mitayani,
Asal hati-hati dan bener-bener waspada,
Tarlen mung pribadinepun,
Tidak lain hanyakah diri pribadinya,
Kang katon tinonton kono.
Yang tampal terlihat di situ.
Tetapi jangan salah mengerti,
Nging aywa salah surup,
Di situ ada cahaya sejati,
Kano ana sajatinign urub,
Ialah cahaya membimbing hidupnya
21. Yeku urub pangareb uriping budhi,
sanubari,
Sumirat sirat narawung,
Bersinar lebih terang dan cemerlang,
Kadya kartika katonton.
Tampai bagaikan bintang.
22. Yeku wanganing kalbu, Yaitu terbukanya hati,
107

Kabukane kang wengku winengku, Terbukanya yang kuasa yang mengkuasai,


Wewengkone wis kawengku neng Zona itu sudah kau kuasai,
sireki, Tapi kau juga dikuasai,
Nging sira uga kawungku, Oleh cahaya yang seperti bintang
Mring kang pindha kartika byor. cemerlang.
Samengoko ingsun tutur, Selanjutnya saya akan ajarkan,
Gantya sembah ingkang kaping catur, Beralih sembah yang keempat,
23. Sembah rasa karsa wasing dumadi, Sembah rasa terasalah hakekat kehidupan,
Dadine wis tanpa tuduh, Terjadinya sudah tanpa petunjuk,
Mung kalawan kasing batos. Hanya dengan kesentosaan.
Apabila belum benar-benar menghayati,
Kalangan durung lugu,
Jangan sekali-kali berani megaku aku,
Aja pisan wani ngaku aku,
Mendapat laknat yang demikian itu
Ngantukmsiku kang mangkono iku
24. anakku,
kaki,
Maka berhak mengatakan,
Kena uga wenang muluk,
Apabila sudah menghayati kenyataan.
Kalamun wus padha melok.
Meloke ujar iku, Menghayati ajaran ini,,
Yen wus ilang sumelanging kalbu, Bila sudah hilang keragu-raguan hati,
Amung kandhel kumandel, Hanya percaya dengan sungguh-sungguh,
25.
Amarang ing takdir, Kepada akan takdir (qodha dan qodhar),
Iku den awas den emut, Itu harus diwaspadai dam diingat,
Den memet yen arsa moot. Dicermati bila berkhendak menguasainya.
Pamoting ujar iku, Menguasai ajaran itu,
Kudu santosa ing budi teguh, Harus kokoh budi pekertinya,
26. Sarta sabar tawekal lagaweng ati, Serta sabar tawakal tulus hati,
Trima lila ambeg sadu, Menerima dam ikhlas apa adanya,
Weruh wekasing dumados. Mengeerti akhir ciptaan.
Sabarang tindak tunduk, Segala tindak tunduk,
Tumindak lan sakadaripun, Dilakukan dengan ala kadarnya,
27. Den ngaksama kasisipaning sesami, Memberi maaf atas kesalahan sesama,
Sumimpanga ing laku dur, Mengindari perbuatan tercela,
Hardaning budi kang ngrodon. Karena itu dorongan hawa nafsi.
Dadya weruh iya dudu, Ketahuilah baik dan buruk,
Yeku minangka pandaming kalbu, Demikian itu sebagai pelita hati,
28. Ingkang buka ing kijabulloh agaib, Yang membuka penghalang yang Ghaib,
Sesengkeram kang sinerung, Tersimpan terpagari,
Dumunung telenging batos. Terletak didalam batin.
Rasaning urip laku,
Rasa hidup itu,
Krana momor pamoring sawujud,
Dengan cara manunggal satu wujud,
Wujudulloh sumrambah ngalam
29. Wujud Tuhan meliputi alam semesta,
sakalir,
Bagaikan rasa manis dengan madu,
Lir manis kalawan madu,
Mana namany yang sebenernya.
Endi arane ing kono.
Endi manis endi madu, Mana manis mana madu,
30.
Yen wis bisa nuksmeng pasang semu, Bila sudah menghayati gambaran semu,
108

Pasamoning heb ingkang mahasuci, Pengertian tersembunyi Hyang Maha suci,


Kasikep ing tyas kacakup, Hendaklah digenggam dalam hati,
Kasat mata lahr batos. Jelas dipahami secara lahir dan batin.
Dalam batin tak keliru (nampak),
Ing batain tan kaliru,
Segala cahaya indah dicermati didalam
Kedhap kilap linling ing kalbu,
hati,
Kang minangka colok calaking Hyang
31. Yang menjadi obr untuk mendekat kepada
widhi,
Tuhan,
Widadaning budi sadu,
Selamatnya karena budi yang suci,
Pandhak panduking liru nggon.
Dapat bertindak k
Nggonira mroh tulus, Agar usahamu berhasil,
Kalaksinating reh kang rinuruh, Tercapai apa yang dicari,
Nggyanira mrih wiwal warananing Upayamu agar lepas penghalang ke
32.
Ghaib, Ghaiban,
Paranta lamun tan weruh, Bagaimana bila kamu tidak mengetahui,
Sasmita jatining endhog. Pertanda kenyatan telur
Putih lan kuningpun, Putih dn kuningnya,
Lamun arsa titah teka mangsul, Kalau akan meneta berbalik
33. Dene nora mantra-mantra yen ing lair, Meski tidak sama kenyataannya,
Bisa aliru wujud, Dapat berganti wujud,
Kadadeyane ing kono, Kejadiannya disiru.
Dipasstikan tidak keluar,
Istingarah tan metu,
Juga dipastikan tidak masuk,
Lawan istingarah tan lumebu,
Kenyataannya yang didalamnya akhirnya
34. Dene ing njro wekasane dadi njawi,
diluar,
Rasakna kang tawajuh,
Rasakan dengan sungguh-sungguh,
Aja kongsi kebesturon.
Jangn sampai lengah.
Karana yen kebanjur, Sebab bila sudah terlanjur,
Kajantaka tumekeng saumur, Akan tak tenang sepanjang hidup,
35. Tanpa tuwass yen tiwasa ing dumadi, Ta ada gunanya bila mati,
Dadi wong ina tan weruh, Menjadi orang hina yang bodoh,
Dheweke den anggep dayoh. Dirinya dianggap tamu.

Pupuh gambuh yang mengandung wacana tematik yang bersifat

keakraban, biasanya metrum gambuh digunakan untuk serat atau sastra yang

bersifat nasihat terhadap teman atau keluarga dekat sehingga tak ada lagi perasaan

segan, dan bisa diberikan dalam suasana terbuka. Jiwa dari mertrum gambuh

adalah terus terang dan santai serta sebagai nasihat untuk menjalani laku.332

332
Achmad Chodjim, Serat Wedhatama for Our Time ..., h.13
109

Yang terakhir ini adalah pupuh khinanti ya, meskipun ini tidak menjadi

pembahsan peneliti akan tetapi disini penulis akan memasukan pupuh khinanti

agar melengkapi dalam serat wedhatama ini, maka menjadi genap lah 100 bait

(seratus bait), seperti yang sudah penulis jelaskan dimuka, Pupuh khinanti terdiri

dari dari 18 bait sebagai penutup dari serat wedha tama ini, adapun bait pupuh

khinanti adalah sebagai berikut:

Table 1.5.333

Halaman Pupuh Khinanti

Pupuh Khinanti terdiri dari 18 bait beserta artinya


Mangka kanthining tumuwuh, Padahal bekal hidup,
Salami mung awas eling, Selama waspada dalam sadar,
Eling lukinating alam, Sadar akan pertanda hidup ini,
1.
Dadi wiryaning dumadi, Menjadi kekuatan hidup,
Supadi nir ing sangsaya, Supaya lepas dari kesengsaraan,
Yeku pangreksaning urip. Begitulah meraway hidup.
Marma den taberi kulup, Maka rajinlah anak-anankku,
Anglung lantiping ati, Belajar menajamkan hati,
Rina wengi den anedya, Siang malam berusaha,
2.
Pandak panduking pambudi, Bisa menguasai tata cara berbudi,
Bengkas kehardaning driya, Melenyapkan hawa nafsu,
Supaya dadya utami. Agar menjadi menusia utama.
Pangasahe sepi samun, Mengasahnya dalam kedaan sepi,
Aywa esah ing salami, Jangan berhenti selamanya,
Samangsa wis ing salami, Apabila sudah kelihatan,
3.
Lalandhepe mingis mingis, Tajamnya luar biasa,
Pasah wukir reksamuka, Bisa memotong penghalang sebasar apapun,
Kekes srabedaning budi. Lenyap semua keinginan buruk.
Dene awas tegesipun, Awas itu artinya,
Weruh warananing urip, Tahu penghalang kehidupan,
Miwah wisesaning tunggal, Serta kekuasaan yang tunggal,
4.
Kang atunggil rina wengi, Yang bersatu siang malam,
Kang mukitan ing sakarsa, Yang mengabulkan segela khendak,
Gemelar ngelam sakalir. Terhampar disemesta alam.
Aywa sembrana ing kalbu, Hati jangan lengah,
5.
Wawasen wuwus sireki, Perhatikan kata-katamu,

333
Achmad chodjim, Serat Wedhatama For Our Time ..., h.406-411
110

Ing kono yekti karasa, Di situ tentu terasa,


Dudu uacape pribadi, Bukan ucapan pribadi,
Marma den sembadeng sedya, Maka perkuatlah tekad,
Wesesan praptaning uwis. Kuasai sampai tuntas.
Sirnakna semanging kalbu, Sirnakan keraguan hati,
Den wespada ing pangeksi, Waspadalah terhadap pandangan,
Yeku dalaning kasidan, Itulah jawaban kematian,
6.
Sinuda suka sethithik, Berkurang sedikit demi sedikit,
Pamothing nafsu hawa, Gejolak hawa nafsu,
Linalantih mamrih titih. Lihatlah agar menguasai.
Aywa mamatuh nalutuh, Jangan terbiasa berbuat aib,
Tanpa tuwas tanpa kassil, Tiada guna tiada hasil,
Kasalibuk ing srabeda, Terjerat oleh keinginan buruk,
7.
Merma dipun ngatu-ngati, Maka berhati-hatilah,
Urip keh rencananira, Hidup ini banyak rintangan,
Sambekala den kaliling. Halangan harus diwaspadai.
Umpamane wong lumaku, Seumpaan dengan berjalan,
Marga gawat den liwati, Jalan berbahaya dilalui,
Lamun kurang ing pangarah, Apabila kurang berhati-hati,
8.
Sayketi kasandhung padhas, Tetntulah tertusuk duri,
Apese kasandhung padhas, Sialnya terantuk batu,
Babak bundhas anemahi. Babak belur akhirmya.
Lumrah bae yen kadyeku, Biasa jika seperti itu,
Atetamba yen wus bucik, Berobat setelah terluka,
Duweya kawruh sabodhang, Biarpun punya ilmu segudang,
9.
Yen tan nartani ing kapti, Bila tak sesuai tujuannya,
Dadi kawruh kinarya, Ilmunya hanya diapaki,
Ngupaya kasil lan melik. Mencari nafkah dan pamrih.
Meloke yen arsa muluk, Kelihatan jika akan bericara,
Muluk ujare lir wali, Bicaranya seperti wali,
Wola wali nora nyata, Berkali-kali terbukti,
10.
Anggeppe pandhita luwih, Merasa diri pendeta hebat,
Kaluwihane tan ana, Kelebihannya tak ada,
Kaben tandha tandha sepi. Semuanya bikti tiada.
Kawruhe mung ana wuwus, Ilmunya sebatas kata-kata,
Wuwuse gumaib gaib, Kata-kata di ghaib-ghaibkan,
Kasliring thinik tan kena, Beda sedikit pun tidak mau,
11.
Mencereng alise gathik, Mata membeledak aslinya bertemu,
Apa pandhita antiga, Apakah petanda palsu,
Kang mangkono iku kaki. Yang seperti itu anakku?.
Mangka ta kang aran laku, Padahal yang disebut laku,
Lakune ngelmu sejati, Menjalankan ilmu sejati,
Tan dahwen pati openan, Tidak mencampuri urusan orang lain,
12.
Tan panasten nora jail, Tidak iri hati dan jail,
Tan njurungi ing kahardan, Tidak melampiaskan hawa nafsu,
Amung eneng mamrih ening. Hanya tenang agar hening.
111

Kaunanging budi luhung, Luhurnya budi pekerti


Bangkit ajur ajer kaki, Padai bergaul anakku,
Yen mengkono bakal cikal, Demikianlah itulah awal muda,
13.
Thukul wijining utami, Tumbuhnya benih keutamaan,
Nadyan bener kawruhira, Walaupun benar pengetahuanmu,
Yen ana kang nyulayani. Bila ada yang menentang.
Tur kang nyulayani iku, walau orang yang menentang itu,
Wus wus yen kawruhe nempil, sudah diketahui ilmunya dangkal,
Nanging laire angalah, tetapi secara lahir kita mengalah,
14.
Katingala angemori, agar berkesan menyatu,
Mung ngenaki tyasing liyan, sekedar menggembirakan hati orang lain,
Aywa esak aywa serik. jangan sakit hati dan benci
Demikianlah sarat turunnya wahyu,
Yeku lipating wahyu,
Bila teguh selamanya,
Yen yuwana ing salami,
Jalan menambah anugrah,
Marga wimbuh ing nugraha,
15. Dari tuhan yang maha suci,
Saking heb kang mahasuci,
Terikat di ujung cipta
Cinancang puvuking cipta,
Tiada kunjung lepass anakku.
Nora ucul ucul kaki.
Begitulah yang digariskan,
Mangkono ingkang tinamnu,
Mendapat anugrah Tuhan,
Tamppa nigrahaning widhi,
Maka dari itu anakku agar bisa,
Marma tan kulup den bisa,
16, Pura-pura menjadi bodoh terhadap perkataan
Mbusuki ujaring janmi,
orang lain,
Pakoleh lair batinnya,
Hasilnya lahir batinnya,
Iyeku budi premati,
Yakni budi yang benar-benar baik.
Pantes tinulat tinurt, Pamtas sebagai teladan yang ditiru,
Laldaen mrih utama, Patrap agar hidup utama,
Utama kembanging mulya, Keutamaan bunga kemuliaan,
17.
Kamulyan jiwa dhiri, Kemuliaan jiwa raga,
Ora te yen ngeplekana, Walaupun tifak persis,
Lir leluhur nguni-uni. Seperti nenek moyang dahulu.
Tetapi harus giat berupaya,
Ananging ta kudu kudu,
Sesuai dengan kemampuan diri,
Sakadarira pribadi,
Janga merupakan suri tauladan,
Aywa tinggal tutuladan,
18. Bila tak demikian anakku,
Lamun tan mangkono kaki,
Pasti merugi hdup ini,
Yekti tuna ing tumitah,
Maka lakukan dengan sungguh-sungguh
Poma kaestokna kaki.
ankku.

Yang terakhir serat wedhatama ini adalah pupuh khinanti. Kosa-kata

khinanti berasal dari kata dasar khanti yang artinya gandeng. Dengan demikian,

khinanti bermakna yang digandeng. Tentunya metrum ini mengandung makna


112

kemesraan.334 Dengan metrum ini digunakan oleh penulis sebagai penutup agar

dapat orang membacanya atau yang mendapat nasihat menjadi jelas serta tidak

keliru dalam memahaminya.

Dari selurh bait yang sudah penulis sampaikan hanya pupiuh gambuh saja

yang akan penulis jelaskan agar penelitian ini lebih terarah dan terobjek kepada

sembah catur yakni sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa.

yang akan peneliti jelaskan sesuai dengan ajaran Kanjeng gusti Pangeran Adhipati

Arya Mangkunegara IV. Yang direlevansikan kepada katauhidan dalam islam

yakni; syari’at, thorikot, hakikat dan ma’rifat, bertujuan untuk mengajarkan

manuia eling cara hidup dan bisa menjadi manusia yang sempurna.

Menurut Purwadi dalam Jurnalnya yang berjudul “Nilai Thoelogis Dalam

Serat Wedhatama” mengatakan bahwa. 335 “Pemikiran religius Mangkunegara IV

pada dasarnya sesuai dengan konsep Musyahadah Al Qusyairi yakni melihat

Allah dengan mata hati. Nilai theologis dalam wedhatama dijelaskan dengan

idiom sinepen telenging kalbu, yakni alat untuk melihat Tuhan setelah terlebih

dahulu terbuka hijab anatra hamba dengan Tuhan-Nya.” Hijab yang dimaksud

adalah kedekatan seorang hamba kepada Allah Swt menempuh ketakwaan.

Rudi Pernomo, et all juga menambahkan dalam Jurnalnya yang berjudul

“Religius Islam Dalam serat Wedhatama Pupuh Gambuh” mereka mengatakan

334
Achmad chodjim, Serat Wedhatama For Our Time ..., h. 13
335
Purwadi, Nilai Theologis Dalam Serat Wedhatama, (Jurnal: Universitas Negri Jakarta,
Diksi Vol. 14, No. 1 Januari 2007), h. 82
113

bahwa. 336 “Religiusitas Islam dalam serat wedhatama pupuh gambuh (SWPG)

terbagi atas lima dimensi sipiritual. Pertama, dimensi keyakinan, kedua, dimensi

praktik agama, ketiga, dimensi penghayatan, keempat, dimensi pengetahuan

agama dan kelima, dimensi pengalamana.” Sama seperti hal nya islam yang

menekankan seeorang harus memiliki keyakinan kepada Allah Swt,

mengimplementasikan nilai-nilai agama, kemudian dengan penghayatan diri

dengan merenungkan diri kepada sang pecipta, selanjutnya pengetahuan agama

baik berupa agama secara esoteris maupun eksoterik, dan pengalaman, untuk

menadikan hamba sebagai mawas diri dan waspada agar tidak melakukan

kesalahan apa yang dilakukannya.

Selanjutnya penulis akan membahas sembah catur yakni sembah raga,

sembah cipta , sembah jiwa dan sembah rasa pembahasan yang sedemikian rupa

bisa dikatakan juga ilmu esoteris. 337 Tetapi tidak lepas juga dengan ilmu

eksoterik. 338 karena didalam nya terdapat pelajaran ilmu adahiluhung, yang

mengupas empat macam tingakatan yakni syari’at, tharekat, hakekat dan ma’rifat.

Bila seseorang mengusai ke-empat macam tingkatan itu maka ia akan menemukan

Rab-Nya terbukalah hijab (penghalang) anatara dirinya dengan Tuhan-Nya.

Kemudian Nur Kholis mengutip dari Bratakesawa dalam bukunya yang

berjudul “Ilmu Makrifat Jawa sangkan Paraning Dumadi: Eksplorasi Sufistik

336
Rudi Pernomo, et all, Religius Islam Dalam Serat Wedhataa Pupuh Gabuh, (Jurnal
Smart: semarang, Vol. 7, No. 1 Juni 2021), h. 78
337
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), esoteris adalah pendidikan secara
khusus.
338 338
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) eksoterik adalah pendidikan secara
umum
114

Konsep Mengenal Diri dalam Pustaka Islam Kajawen Kunci surga Miftahul

Djanati” belai mengatakan dalam hidup makrifat bahwa. 339

Seseorang harus melakukan shalat ma’rifat (penyembahan sukma) ada


empat jenis shalat men menurut Bratakesawa :
a. Shalat Syar’i, yaitu penyembahan badan yang didahului bersuci
dengan air.
b. Shalat Tariqa, yaitu penyembahan budi atau hati yang
penyuciannya terjadi melalui perantaraan pergumulan dengan nafsu atau
keinginannya.
c. Shalat Haqiqa, yaitu penyembahan dengan perantaraan rasa jati
dimana penyucian terjadi melalui ketenangan batin dan kejernihan,
keawasan, dan ingat (eneng, ening awa dan eling).
d. Shalat Ma’rifa; penyembuhan sukma, yaitu jiwa yang kuassa tanpa
alat. Maka inilah yang disebut penyembahan sang halus atau purusa atau
penyembahan Allah perorangan saja.

Dengan penjelasan oleh Bratakesawa sama ini sama halnya dengan

pembahasan penelitian yakti sembah catur (empat sembah, sembah raga, sembah

cipta, sembah jiwa dan sembah rasa) pengertian semba yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah sebagai ibadat yang dilakukan manusia dalam menjalin

hubungan dirinya dengan Tuhan-Nya. Konsep sembah oleh Mangkunegara IV

dalam serat wedhatama ia mengajarkan sembah kepada Tuhan Yang Maha Esa

dan kemulian budi luhur.340 Disini penulis pertama sebagai permulaan akan

menjelaskan sembah catur sebagau berikut;

A. Sembah Raga

Sembah raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak laku

badaniah, atau amal perbuatan yang berisifat lahiriyah. Cara bersunyinya sama

339
Nur Kholis, Ilmu Makrifat Jawa sangkan Paraning Dumadi: Eksplorasi Sufistik
Konsep Mengenal Diri dalam Pustaka Islam Kajawen Kunci surga Miftahul Djanati, (Ponorogo:
Perpustakaan Nasional, 2018), Cet, ke- 1, h.221-222
340
Ardani, al-Qur’an dan Sufisme ..., h.55
115

dengan sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan air (wudhu). Sembah

yang deemikian dikerjakan lima kali dalam sehari yakni shalat subuh, shalat

dzohor, shalat ashar, shalat magrib dan shlat isya. Dengan mengidahkan pedoman

al-Qur’an, hadist, ijma dan qiyas, seperti bait sebagai berikut :

Sembah raga puniku


Pakartinignwong amagang laku
Sesucine asarana saking warih
Kang wus lumrah limang wektu
Wantu wataking wawaton.341

Sembah raga sebagai bagian pertama dari empat yang merupakan

perjalanan hidup yang panjang ditamsilkan sebagai oranag yang magang laku

(calon pelaku).342 Karena ini merupakan ajaran atau semabah bagi pemula, karena

pada jaman dahulu orang-orang jawa menjadi kebiasaan dalam mengajarkan

agama melalui kultul orang jawa, ada tingkatan-tingkatannya sendiri-sendiri soal

seranget (sembah raga). Itu tidak dicampur dengan tarikat (sembah cipta),

mempelajari ilmu ini tahap demi tahap dari sembah raga samppai nanti mencapai

sembah rasa agar tidak membingunkan bagi yang mempelajari serat wedhatama

ini. 343

Dalam islam shalat adalah tiang agama,bilamana tiang agama itu tak

kokoh maka pondasi itu akan roboh, tetapi bila pondasi itu kokoh maka pondasi

keimanan akan menjadi kokoh. Karena apabila shalatnya baik maka baik pula

perbuatannya, bilamana shalatnya tak benar maka tak benar juga perilakunya.

Menurut Astuti dalam jurnalnya yang berjudul “Bimbingan Shalat Sebagai

341
Achmad Chodjim, serat Wedhatama for our Time ..., h.270 (Table 1.4 bait ke 2)
342
Ardani, al-Qur’an dan Sufisme ..., h. 57
343
Anjar any, Menyingkap Serat wedhotomo ..., h. 74
116

Media Perubahan Perilaku”mengatakan bahwa.344 shalat adalah untuk

menghidupkan kesadaran tauhid serta memantapkannya di dalam hati, menghapus

keyakinan serta ketergantungan pada berbagai macam kekuasaan ghaib(musyrik).

Menurut muhyidin yang dikutip oleh Astuti dalam jurnal yang sama mengatakan

bahwa. 345 Dalam shalat ada hakikat dari tujuan sgalat itu sendiri yaitu :

1. Shalat sebagai puncak ibdah, karena shalatlah yang merupakan


cara, proses, sarana untuk menghadap kepada Allah Swt untuk
bertemu dengan-Nya serta untuk berdialog dengan-Nya
2. Shalat sebagai Dzikir sebagaimana firman Allah pada surat Tha-ha
ayat ke-14 yang berbunyi :
‫ى‬ ٓ ‫َّل ِإ َٰلَهَ ِإ‬
ٓ ‫َّل أَن َ۠ا فَٱ ْعبُ ْدنِى َوأَقِ ِم ٱلصلَ َٰوةَ ِل ِذ ْك ِر‬ ٓ َ ُ‫إ ِِننِ ٓى أَنَا ٱَّلل‬
Artinnya: “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang
Hak) selain aku, maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk
menginatku” (Q.S. Tho-ha: 14
3. Shalat sebagai do’a karena shalat merupakan cara, sarana, media
atau proses untuk bertemu dengan Allah, untuk berjumpa kepada
Allah, dan untuk berdialog kepada Allah, maka secara radikal
shalat adalah dengan seorang hamba merasakan adanya Dzat Allah.
4. Shalat sebagai cara untuk memohon pertolongan kepada Allah,
sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Baqoroh ayat ke-45:
َ‫يرة ٌ ِإَّل َعلَى ٱ ْل َٰ َخ ِشعِين‬ ۟ ُ‫َوٱ ْستَ ِعين‬
َ ‫وا ِبٱلصب ِْر َوٱلصلَ َٰوةِ ۚ َو ِإن َها لَ َك ِب‬
Artinya: “jadikanlah sabar dan shalat sebgai penolongmu. Dan
sesungguhnya yang denikian itu sungguh berat, kecuali orang-orang
yang khusu” (Q.S al-Baqoroh: 45).
5. Shalat sebagai cara mencegah perbuatan mencegah dari perbuatan
keji dan munkar. Sebagaimana dalam friman Allah dalam suarat al-
Ankabut ayat 45 yang berbunyi:
ِ َ‫ى ِإلَيْكَ ِمنَ ٱ ْل ِك َٰت‬
َ ‫ب َوأَقِ ِم ٱلصلَ َٰوة َ ۖ ِإن ٱلصلَ َٰوةَ تَ ْن َه َٰى َع ِن ٱ ْلفَ ْح‬
‫شا ٓ ِء‬ َ ‫وح‬ ِ ُ ‫ٱتْ ُل َما ٓ أ‬
ْ َ‫َوٱ ْل ُمن َك ِر ۗ َولَ ِذ ْك ُر ٱَّللِ أَ ْكبَ ُر ۗ َوٱَّللُ يَ ْعلَ ُم َما ت‬
َ‫صنَعُون‬
Artinya: “bacalah apa yang telah diwahyuhkan kepadamu, yaitu al-
kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Dan
sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadah-ibadah yanag lain). Dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S al-Ankabut: 45).

344
Astuti, Bimbingan Shalat Sebagai Media Perubahan Prilaku, (Jurnal: Syarif
Hidayatullah Jakarta, Vol. 6, No. 2, Desember 2015), h. 305
345
Astuti, Bimbingan Shalat Sebagai Media Perubahan Prilaku .., h.307
117

Dalam sembah raga ada dua bahaya yang mengancam cara hidup manusia

yaitu hawa nafsu dan rasa pamrih kepada manusia.346 Maka sembah raga yang

diajarkan oleh Mangkunegara IV sesuai dengan ketentuan Islam dalam fiqih.

Tetapi agaknya berdaba sembah raga dalam presfektif R.Soenarto dalam serat

Sangsaka Djati yang dikutip oleh Ardani dalam bukunya yang berjudul “Al-

Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV: Studi Serat-Serat Piwulang” menurutnya

bahwa. 347 “Penyembahan raga (hamba) kepada roh suci yang merupakan

menyembuhan suatu jiwa yang massih muda. Roh Suci uga sipating Pangeran

kang ngwasani nafsu kang patang prakara (penjelamaan sifat Tuhan yang

menguassai empat nafsu, lawamah, amarah, sufi’ah dan mutmainah.” Jika serat

wedhata tama menyebutkan sembah raga yang sudah dijelaskan dimuka yang

dilakukan dengan gerak badan dan menggunakan air untuk berwudhu dan

dikerjakan lima kali dalam sehari. Maka menurut Sangsaka Djati oleh Soenarto

yang dikutip oleh Adityi jamika dalam bukunya yang berjudul “Tafsir Ajaran

Serat Wedhatama” menerangkan bahwa. 348 Sembah raha itu ditujukan kepada Roh

yang perlu dilakukan dua kali pada waktu terbenam matahari dan waktu fajar,”

disini Sangsaka Djati tanpa menyebutkan tentang bersuci, pedoman serta cara

berkesinambungannya.

Maka dengan demikian sembah raga dalam serat wedhatama jauh berbeda,

karena wedhatama menyebutkan sembah raga ditujukan kepada Tuhan Yang

Maha Esa (Hyang Manon) yang mengajari sembah raga seperti syariat Islam

dengan memakai air, dan disiplin dalam waktu sehari lima kali yang tiada berbeda

346
Adityo jatmiko, tafsir Ajaran Serat Wedhatama ..., h.64
347
Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV ..., h.57
348
Adityo Jatmiko, Tafsir Ajaran Serat Wedhatama ..., h.81
118

dengan shalat fardhu.349 Dengan demikian sembah raga wedhata jauh berbeda

dengan sembah Raga Sangsaka Djati dan tampak lebih sesuai denan sgalat lima

fardhu dalam fiqih yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Sembah raga adalah

ilmu syari’at kenapa bisa dikatakan ilmu syari’at karena menyangkup ilmu

eksoteris dalam bahasa islam adalah dhohir karena disamakan dengan amalan-

amalan perbauatan ibadah atau ritual secara fisik. 350

Menurut Anjar dalam bukunya yang berjudul “Menyingkap Serat

Wedhotomo” mengatakan bahwa. 351 “Yang disebut sarengat itu merupakan laku

(hal yang harus dikerjakan dengan wajib agar mendapatkan pahala) untuk

melaksanakan yang pertama dilakukan dengan tetap. Sedangkan yang kedua

dilakukan dengan tekun” jika dalam istilah Islam sama halnya dengan sabar dan

istiqomah melakukan ibda ini dan apabila dikerjakan kedua-duanya akan

menyegarkan/menyehatkan badan jasmani, sehat jasamani membuat jasmani

sehat: urat, daging, tulang dan sumsum. Hal ini akan mempengaruhi sehatnya

peredaran darah. Apabila peredaran darah sehat menjadikan tenang hati.

Sedangkan ketenangan hati itu dapat melenyapkan pikriran yang kusut.352

Ini semua dengan islam yang dimana shalat adalah untuk menyebatkan

badan membuat prilaku lebih baik dan mendekatkan diri kepada Allah

menjauhkan sifat dengki, hasad, ujub dan angkuh kepada orang lain karena yang

sudah penulis kemukan diatas dengan shalat menjauhkan dari sifat keji dan

munkar. Karena sembah raga sama halnya dengan syariat yakni rukun Islam yaitu,

349
Ardani, Al-Qur’an dan sufisme ..., h.58
350
Sri Harini, Tasawuf Jawa ..., h. 120
351
Anjar Any, menyingkap Serat wedhotamo ..., h. 75
352
Anjar Any, Menyingkap serat Wedhotomo ..., h. 75
119

Syhadat, Shalat, Puasa, Zakat dan Pergi Haji (bila mampu), merupakan ajaran

ketauhidan mendekatkan diri kepada Allah Swt, kemudian kepada tingkat

selanjtnya yakni sembah cipta(kalbu).

B. Sembah Cipta (kalbu)

Sembah ini kadang-kadang disebut sembah cipta dan kadang pula disebut

sembah kalbu, karena terungkap dalam pupuh gambuh pada bait ke 11 (yang

sudah penulis buatkan table diatas) sebagai berikut:

Semangko sembah kalnu,


Yen lumentu uga dadi laku,
Laku agung kang kagungan narapati,
Meruhi marang kang mamong.
Sekarang sembah kalbu.
Jika berkesinambungan menjadi juga kaku,
Laku agung yang dimiliki raja,
Tetap dan tetap dalam karwuh,
Akan mengetahui yang mengasuh diri. 353

Karena dari bait itulah sembah cipta bisa dikatakan juga sebagai sembah

kalbu memiliki nama yang berbeda tetapi memiliki esensi makna yang sama.

Sembah cipta atau sembah kalbu ialah menyembah Tuhan dengan lebih

mengutakan peranan kalbu. Sembah ini lanjutan dengan sembah raga apabila

dilakukan dengan sabar istiqomahh terus menerus secara teratur juga dapat

menjadi jalan yang mengantarkan kepada tujuan, bahkan merupakan jalan raya

sang raja kerohanian yang telah mejalani tarekat dan suluk dalam perjalanan

kerohanian (yen uga dadi laku, laku agung kang kagungan narapati).354

Karena dengan sembah cipta ini adalah perjalana seoseorang dengan

medekatkan diri kepada Allah sungguh amat panjang dan tak mudah untuk dilalui

353
Achmad Chodjim, Serat Wedhatam For Our Time ..., h.272 (table 1.4)
354
Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme ..., h. 69
120

buah dari ujung perjalanan ini akan mengenal siapa pamongnya dan bertemu dan

dapat melihat yang mamong dirinya selama ini yang menjaga dan mengawasinya

(meruhi marang kang mamong), sebagai ma’rifat dalam bentuk kasyaf yang akan

dibahas disleanjutnya.

Sembah cipta ini berlainan dengan sembah raga yang telah dibahas diatas,

sembah cipta/kalbu ini lebih memperioritas titik beratkan kebersihan dan kesucian

kalbu dar sifat-sifat yang mengotori hati.355 Jika sembah raga mensucikan diri

dengan air (wudhu) dengan cara berthoharahdalam bentuk jasmaniah yang sudah

penulis kemukakan diatas, maka berbeda dengan sembah kalbu ini, sembah kalbu

ini mensucikan diri dengan memperkecil dengan keinginan hawa nafsu dalam

bentuk thaharoh batiniyah seperti terlihat dalam pupuh gambuh bait selanjutnya

sebagai berikut:

Sunyine tanpa banyu,


Amung anyunyuda hardaning kalbu,
Pambukane tata titi ngati-ati,
Atetetp telaten atul,
Tuladan marang waspaos.
Bersucinya tanpa air,
Hanya menahan hawa nafsu,
Dimulai dari prilaku teratur cermat hati-hati,
Teguh, sabar dan atul,
Teladan bagi yang waspada.356

Apabila sembah raga menggunakan air untuk membersihkan kotoran

hadast menggunaka air untuk membasuh segala kotoran najis lahriyah, maka

sembah kalbu menekankan kepada pengekangan hawa nafsu untuk membasuh

355
Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme ..., h. 69
356
Achmad Chodjim, Serat Wedhatama For Our Time ..., h.272-273 (table 1.4)
121

noda dan dosa yang disebabkan karena pengaruh dari dorongan nafsu yang

mengaakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran dan dosa.357

Sekalipun sembah kalbu ini lebih memperiorotaskan kesucian batin yaitu

hati, namun bukan berarti meniadakan peranan kebersihan dan kesucian lahir

artinya sembah kalbu ini harus tetap menjaga akan sembah rasa karena dalam

sembah kalbu ini harus bersih dan suci baik lahir maupun batin. Karena sembah

kalbu bila relevansikan dengan Islam adalah jalan seorang hamba kepada sang

pecipta menurut Imam al-Ghazali yang dikutip oleh Zulkifli dan Jamaludin dalam

bukunya yang berjudul; “Ahklak Tasawuf: Jalan Lurus Mensucikan Diri”

mengatakan bahwa. 358

Ada tiga langkah jalan menuju Allah Swt, yaitu pensuciyan hati,
konsentrasi dalam dzikir pada Allah Swt dan fana fi ilah. Pensuciyan
hati (tathhir al-Qolbi) merupakan langkah pertama dalam bertareqat,
ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
a. Mawas diri dan penguasaan serta pengendalian nafsu-nafu
b. Membersihkan diri dari ikatan pengaruh keduniaan.
Segala sesuatu yang tersebut diatas sesungguhnya terhubung dengan
pensuciyan hati yang dalam ajaran tasawuf dipercayai mempunyai
kemampuan rohani menjadi alat serta satu-satunya yang bertujuan
untuk ma’rifat (kepada sembah jiwa dan sembah rasa) kepada Allah
swt.

Dalam pengertian Imam al-Ghazali ini sama seperti sembah kalbu dalam

ajaran serat wedhatama untuk menyempurnakannya dalam pengertian tasawuf

kepada Allah Swt. Dan apbila membicarakan tentang dasar amalan bertiraqat,

maka sebenernya esensinyasama dalam sudut pandang Islam, seperti kepada

peraktek sembah kalbu yaitu mensucikan hati dengan wirid, dzikir dan tahlil,

sebagaimana dalam firman Allah dalam surat al-Ahzab: 41-42:

357
Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme ..., h.70
358
Zulkifli dan Jamaludin, Ahklak Tasawuf: Jalan Lurus Mensucikan Diri, (Yogyakarta:
Kalimedia, 2018), Cet. Ke-1, h.125
122

ً ‫ص‬
)32( ‫يال‬ ِ َ‫س ِّب ُحوهُ بُ ْك َرةً َوأ‬ ً ‫َّلل ِذ ْك ًرا َك ِث‬
َ ‫) َو‬41( ‫يرا‬ ۟ ‫وا ٱ ْذ ُك ُر‬
َ ‫وا ٱ‬ ۟ ُ‫يأ َ ُّي َها ٱلذِينَ َءا َمن‬

Artinya: “wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut


nama)Allah Swt. Dzikir yang sebanyak-banyaknya. Bertasbihlah
kepadanya diwaktu pagi dan petang.”

Dari ayat diatas membawa maksud perintah kepada orang-orang beriman

supaya berzikikir dengan menyebut nama Allah Swt serta bertasbih menyeru

namanya baik diwaktu pagi dan diwaktu petang. Karena berdzikir adalah

mengingat Allah Swt dengan mengingat Allah senantiasa hati menjadi tenang,

damai dan tentram karena seorang hamba yang berthoriqat itu disebut dengan

salik.

Menurut zulkifli dan Jamaludin dalam bukunya yang berjudl “Ahklak

Tasawuf: Jalan Lurus Mensucikan Diri” mengatakan bahwa. 359 perkataan tareqat,

kata jamaknya tara’iq dan turuq berasal dari kata kerja taraqa yutriqu atau tariqa

yutraqu yang membawa berbagai perbedaan bentuk dan kontek penggunaannya

dalam suatu percakapan dalam suatu ayat. Karena tareqat itu adalah suatu

perbuatan amalah yang dilakukan dengan hati mensucikan hati tidak boleh ada

keragu-raguan, iri hati, dendam,iri, dengki, hasad angkuh dan lain sebagainya.

Karena seorang yang bertharekat adalah cara seorang hamba mempersipakan

untuk berjumpa dengan Gusti Allah Swt. Menurut Zulkifli dan Jamaludin dalam

buku yang sama mengatakan bahwa.360 adal hal-hal yang harus dipahami dalam

bertharekat, hal-hal itu sebagai berikut:

 Pengalaman syari’at.
 Menghayati hakekat ibdah.
 Tidak mempermudah dalam ibadah.

359
Zulkifli dan Jamaludin, Ahklak Tasawuf ..., h.17
360
Zulkifli dan Jamaludin, Ahklak Tasawuf ..., h.122
123

 Menjauh segala yang dilarang baik zohir maupun batin.


 Menjunjung tinggi perintah-perintah ilahi dengan kadar
kemampuan.
 Melaksanakan amalan-amalan sunnah sebatas kemampuan
Menghindari segala yang haram, makru dan berlebih-lebihan dalam
hal yang mubah.
 Dibawa bimbingan oleh soorang musryid (guru)

Dari hal-hal yang diatas adalah sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan hadist,

ini sebagaimana yang jelaskan oleh Asmail Azmi dalam bukunya yang berjudul

“Ahklak Tasawuf: Sebuah Pengantar” menjelaskan bawa.361

Pada masa permulaa Islam hanya terdapat dua macam tharekat yaitu:
a. Tharekat Nabawiyah, yaitu amalan yang berlaku dimasa Rasullah,
dan dilaksanakan secara murni. Tharekat ini juga dinamakan dengan
tharekat Muhammadiyah atau syari’at
b. Tharekat Salafiyah, yaitu cara beramal dan beribah pada masa
Sahabat, Tabi’in dan Tab’i al-Tabi’in, dengan maskud memelihara
dan mengembangkan syari’at Rasullah SAW Tharekat ini dinamakan
juga dengan tharekat Salaf al-Shalih.

Dengan adanya penjelasan diatas maka sembah kalbu ini sama dengan

ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang membedakan hanya

narasinya saja, tetapi isi dan maknanya adalah sama, yaitu mentauhidkan Allah

untuk mendapatkan ridho Allah Swt sebagai sarana untuk menjadi manusia yang

sempurna. Karena sembah raga dengan sembah cipta adalah satu dalam kesatuan

keduanya saling berkesinambungan seperti al-Qur’an dan Hadist yang

mengandung ilmu lahir batin, bila sembah raga menekankan kepada hal yang

zohir maka sembah cipta lebih kepada hal yang batin, tetapi sembah cipta lebih

memperioritaskan kepada perbuatan amaliah yang mencegah seorang hamba

untuk memiliki sifat-sifat tercela menjaga dirinya serta juga hatinya.

361
Asmail Azmy, Ahklak Tasawuf: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: K-Media, 2018),
Cet, ke- 1, h. 104
124

selanjutnya naik tahap atau level selanjutnya yang berfokus kepada

esoterisme seorang hamba yang mengabdikan dirinya semata-mata karena Allah

Swt dengan penuh khidmat dan kesabara yang teguh sebar karena ini adalah ilmu

pegangan hidup. Seperti yang dikatakan oleh Susiyonto dalam dalam Jurnalnya

yang berjudul “Konsep Tri Ugering Mangkunegara IV sebagai motivassi

pengembangan kewirausahaan: Presfektif Islam” mengatakan bahwa. 362 “Tri

Ugering Urip adlah ajaran yang dikembangkan oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara

IV yang berisi tiga pegagan hidup yang harus dimiliki orang jawa.

C. Sembah Jiwa

Sembah Jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma (Allah) dengan

mengutamakan peran jiwa. Jika sembah raga adalah menyangkut dengan syari’at

kemudian sembah cipta(kalbu) sama seperti tharekat, maka sembah jiwa lebih

luas mendalam dengan menggunakan jiwa atau ar-ruh.363 Sama seperti sembah

raga, sembah cipta, sembah jiwa ini juga tidak boleh lepas dari kedua sembah

yang sebelumnya harus sabar serta istiqomah dalam menjalankannya secara terus-

menerus seperti terlihat pada bait 16 seberikut ini:

Samengko kang tutur,


Sembah katri kang sayekti katur,
Mring Hyang Sukma suksmanen saari ari,
Arahen dipun kacakup,
Sembahing jiwa sutengong.
Sekarang yang diajarkan,
Sembah ketiga yang sebnernya,
Kepada Hyang Sukma hayatilah saban hari,
Usahakan agar mencapai,
Sembah jiwa ini anakku.364

362
Susiyonto, Konsep Tri Ugering Mangkunegara IV sebagai motivassi pengembangan
kewirausahaan: Presfektif Islam (Jurnal: Al-Fikri, Vol.3, No.1, 2020), h. 79
363
Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme ..., h. 84
364
Achmad Chodjim, Serat Wedhatama For Our Tim ..., h. 273-274 (table 1.4)
125

Pada bait diatas ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebutkan

sebelumnya, maka sembah jiwa ini menempati kedudukan yang amat penting,

sembah jiwa disebut pepuntoning laku (pokok tujuan akhir perjalanan suluk)

inilah akhir perjalanan hidup batiniyah, cara bersunyinya tidak seperti sembah

raga denga air wudhu atau mandi, tidak pula seperti sembah cipta dengan

menundukan hawa nafsu, tetapi sembah jiwa ini dengan awas emut (selalu

waspada dan ingat kepada Allah) kepada keadaan alam baka (langgeng), alam

ilahi.

Selanjutnya Ardani menjelaskan dalam buku yang sama mengatakan

bahwa. 365 “Berbeda dengan sembah raga dan sebah cipta, ditinjau dari segi

perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat akhir perjalanan tersebut, sedangkan

sembah raga adalah tingkatan pertama atau permulaan (wong amagang laku), dan

sembah cipta adalah tingkat lanjutan yang disebut dengan sembah cipta

(tharekat).” Berbeda dengan sembah jiwa ini seorang bener-bener senantiasa

mengingat Allah baik hati maupun pikirannya karena pelaksaan sembah jiwa

harus siap lahir maupun batin, dengan demikian keseluruhannya itu triloka (alam

semesta) tergulung menjadi ssatu begitu pula jagad besar dan jagad kecil digulung

disatu padukan.366 Karena sembah jiwa ini lebih mentitik beratkan seseorang untuk

senantiasa berdzikir/mengingat Allah dalam keadaan apapun sepanjang waktu,

hatinya, pikirannya serta selurh anggota badannya hanya untuk mengabdi dan

berzikir kepadanya.

365
Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme ..., h.85
366
Ardani, Al-Qur’an danSufisme ..., h. 85
126

Karena dalam sembah jiwa ini memiliki godaan dan rintangan untuk

seorang yang sedang menempuhnya yang disebut suluk tingkat akhir, karena

harus tetap mempertahankan sembah yang sebelumnya yakni sembah raga dan

sembah cipta, karena sembah jiwa ini akan banyaknya kejadian aneh yang

dialaminya serta godaan dunia yang lebih menggiurkan dari sembah yang

sebelumnya.367

Menurut al-Halim Mahmud yang mengutuip pengalaman Al-Arif bi Allah

Abu Al-Abbas Al-Mursi kemudian kembali dikutip oleh ardani dalam buku yang

sama mengatakan bahwa.368

“Cara bersunyi dalam sembah jiwa ini ialah dengan mensucikan hati
secara keseluruhan dari segala sesuatu selain Allah Swt. Kuncinya
yang mula-mula ialah dengan menghabsi (memenuhi) segenap sudut
ruang hati dengan mengingat Allah (dzikir) kepada Allah dengan
berakhirnya dengan fana (hancur atau lebur) dari segala keseluruhan
dalam keagungan Allah SSwt.”

Apabila sembah jiwa ini direlavansikan dengan tauhid yakni hakikat maka

kedua-duanya adalah sama, bila dalam sembah jiwa menurut Mangkunegara IV

adalah dengan berdzikir maka sama seperti dengan hakikat yaitu berdzikir kepada

Allah. Seperti yang dikatakan oleh Badrudin dalam bukunya yang berjudul

“Ahklak Tasawuf” mengatakan bahwa. 369

“Ilmu hakikat itu pada dasarnya dapat disimpulka dalam tiga jenis
pembahasan pertama, hakikat tasawuf, ini diarahkan untuk
membicarakan usaha-usaha membatasi syahwat dan mengendalikan

367
Menurut penulis sembah jiwa ini sangat jarang sekali tercapai karena belajar esensi
esoterisme yang sebenarnya dari ilmu kerohanian yang akan menyelimuti dirinya bilamana tetap
konsisten dalam menjalankan ke semua sembah tersebut
368
Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme ..., h.87
369
Badrudin, Ahklak Tasawuf, (Serang: IAIB Press, 2015), cet ke- 2, h.
127

duniawi dengan segala keindahan dan tipu dayanya. 370 Kedua, hakikat
ma’rifat yaitu mengenal nama-nama Allah dengan sifat-sifat-Nya
dengan sungguh-sungguh dalam perjalanan sehari-hari, serta menjaga
kesucian Ahklak. Ketiga, hakikat al-haq, yaitu puncak hakikat yang
dinamakan hadrat al-wujud.

Apa yang dikatakan oleh Badrudin maka sesusi dengan apa yang diajarkan

oleh Mangkunegara IV dalam serat wedhatamanya yakni sembah jiwa, memiliki

redaksi yang berbeda akan tetapi memiliki esnsi dan makna yang sama.

Ilmu hakekat bagian dariilmu batin yang kondisinya adalah terbaik bagi

seorang salik yang menjalaninya yang di manifestasikan dalam waspada

(muhassabah), mawas dari (muraqobah), cinta (mahabbah), roja, khouf, rindu (al-

syauqu), dan intim (al-Uns), oleh karena itu syari’at (sembah raga) tharekat

(sembah cipta) dan hakekat (sembah jiwa) merupakan satu kesatuan yang tidak

dapat dipisahkan satu denga yang lainnya merupakan mata rantai dalam

menjadikan manusia yang sempurna.371

Dengaan hakikat ini seseorang harus menjalankan dengan secara tertib,

teratur, sabar serta istiqomah demi mengapai menjadi manusia yang sempurna,

karema sembah jiwa (hakekat) ini lebih mengutamakan dzikir kepada Allah dari

pada hal yang lainnya maka dengan dzikir kepada tujuan akhir perjalanan ini,

370
Hakikat merupakan kebenaran sejati sebagai akhir dari perjalanan, sehingga tercapai
musyahadat nur ak-tajalli atau terbukanya nur yang ghaib bagi hati seseorang. Lihat juga Labib
MZ, Memahami Ajaran Tasawuf, h. 128
371
Badrudin, Ahklak Tasawuf ..., h. 102
128

sebagaimana dalam firman Allah Swt dalam surat al-Baqoroh ayat 152 sebagai

berikut:

۟ ‫فَٱ ْذ ُك ُرونِى أَ ْذ ُك ْركُ ْم َوٱ ْش ُك ُر‬


ِ ‫وا ِلى َو ََّل تَ ْكفُ ُر‬
)152 :‫ون (البقرة‬ ٓ
Artinya: “Maka ingatlah kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadamu dan
bersyukurlah kepadaKU dan janganlah kamu mengingkari ni’matku”

Dari ayat diatas dijelaskan untuk seorang hamba harus senantiassa

bersyukur dan menysukuri ni’mat Allah yang telah diberikan kepadanya da jangan

sekali-kali untuk menyekutukan-Nya. Karena inilah yang diimplementasikan oleh

seorang yang berhakikat yaitu senantiasa berdzikir dan selalu mensyukuri ni’mat

Allah yang telah diberikan kepadanya, karena dengan berdzikir itulah cara

seorang yang berhakikat dalam sembah raga ini untuk cara berkomunikasi dengan

Tuhan-Nya.

Demikian pula firman Allah Swt dalam ayat 41-42 surah al-Ahzab yang

berisi perintah kepada orang mukmin untuk berdzikir kepada-Nya firman Allah

sebagai berikut:

ً ‫ص‬
)42( ‫يال‬ ِ َ ‫س ِبّ ُحوهُ بُ ْك َرة ً َوأ‬
َ ‫) َو‬41( ‫َّلل ِذ ْك ًرا َكثِي ًرا‬ ۟ ‫وا ٱ ْذكُ ُر‬
َ ‫وا ٱ‬ ۟ ُ‫يأ َيُّ َها ٱلذِينَ َءا َمن‬

Artinya: “Wahai sekalian orang-orang yang beriman, berdzikirlah (ingatlah)


kamu kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyak. Dan
bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang”

Dari ayat diatas memang sama seperti pada sembah sebelumnya yakni

sembah cipta tetapi yang membedakan disini sembah jiawa lebih berat
129

berdzikirnya dan lebih tekun serta menjauhi sifat-sifat yang mengotori hati agar

hatinya menjadi sehat dan berisih dari goresan-goresan keduniawian.372

Untuk memperoleh pancaran ma’rifat Ilahi, seorang salik dalam sembah

jiwa ini (hakikat) harus mengosngkan dirinya dari segala urusan duniawi, lalu

berkhalawat disatu tempat (zawiyah) dan secara terus menurus mengucapkan

lafadz Allah Allah dengan hati tanpa henti. 373 Dan yang selanjutnya adalah tahap

berikutnya buah dari menjalankan ketiga sembah tersebut yakni sembah raga,

sembah cipta, sembah jiwa dari seluruh penghayatan rohaniyah yang demikian itu,

amat besar artinya untuk laku sembah rasa.

D. Sembah Rasa

Sembah rasa ini adalah punca buah dari keseluruhan sembah yang sudah

penulis jelaskan dimuka, karena sembah rasa ini bermian dengan rasa, rasa yang

dimaksud dengan hati rasa, karena rasa tidak bisa berbohong karena rasa mutlaq

berasal dari hati oleh sebab itu dinamkan sembah rasa karena bermain dengan hati

rasa. sembah yang terakhir ini adalah sembah yang dihayati dengan merasakan

intisari kehidupan mahkluk semesta alam. 374

Jika sembah raga mengandung arti syriat yang bersucinya menggunakan

air (wudhu) kemudian sembah cipta mengandung arti thoriqoh yang bersucinya

dengan perilaku serta budi luhur dengan alat batin atau hati, selanjutnya sembah

jiwa yang mengandung arti hakikat yang cara bersucinya dengan alat batin jiwa

atau ruh, maka berbeda pulalah sembah rasa berarti menyembah tuhan dengan

manggunakan alat batin yaitu inti ruh yang paling halus yang disebut dengan

372
Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme ..., h.89
373
Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme ..., h. 93
374
Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme ..., h.94
130

Fuad. Yang menurut Mangkunegara IV disebut telenging kalbu (lubuk inti hati

yang paling dalam) atau bisa juga disebut wosing jiwangga (inti ruh yang paling

halus).375

Konsep pertama yang Mangkunegara IV ungkapkan dalam serat

wedhatama pada pupuh pangkur bait ke 13-14 sebagai berikut:

Tan samar pamoring sukma,


Tidaklah samar suka menyatu,
Sinuksmaya Winahya ing ngasepi,
Diresapkan dijelmakan dalam sepi,
Sinempen telengging kalbu,
Diendappkan dalam sanubari (hati),
Pambukanin warana,
Berawal dari keadaan anatara sadar dan tiada,
Tarlen saking liyep layaping aluyup,
Seperti terlepasnya mimpi,
Pindha pesating sumpena,
Merasuknya rasa yang sejati.
Sumusuping rasa jati.
Sebenernya ke-ada-an itu,
Sejatine kang mangkana,
Merupakan anugra Tuhan,
Wus kekenan ngrahaning hyang widhi,
Kembali ke alam kosong,
Bali alaming ngasuwung,
Tidak mengumbar nafsu duniawi,
Tan karem karemeyan,
Yang bersifat kuasa menguasai
Ingkang sifat wisesa winisesa wus,
Kembali ke asal muasalmu,
Mulih mula mulanira,
Demikianlah adanya, wahai anak muda. 376
Mulane wong anom sami.
Dalam pupuh tersebut begitulah orang yang benar-benar matang

rohaninya, memiliki kemampuan bukan saja menguasai segenap aspek prilaku

raga jiwanya, melainkan juga bermakrifat dengan fuad hati sanubarinya. Karena

pelaksanaan sembah rasa ini tidak lagi memerlukan seorang mursyid (guru)

seperti sembah yang ketiga, tetapi sembah rasa ini harus dilakukan dengan sendiri

secara mandiri dengan kekuatan batin fuad hatinya, seperti ungkapan

Mangkunegara Iv dalam pupuh gambuh bait ke 13 sebagai berikut:

“Samengko ingsun tutur,


Gentya sembah ingkang kaping catur,
Sembah rasa karsa wosing dumadi,
Dadine wus tanpa tuduh,

375
Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme ..., h. 94
376
Achmad Chodjim, Serat Wedhatama For Our Time ...,h. 21 (table 1.1)
131

Mung klawan kassing batos.377

Sembah rasa adalah sembah yang dilakukan bukan dalam perjalan suluk

seperti pada sembah sebelumnya, melainkan sembah yang dilakukan ditenpat

tujuan yang ingin dituju yaitu dapat melihat Tuhan-Nya dengan fuad hati rasanya

yang bisa juga disebut mata hati karena ini sudah mengarah kepada esoteris ilmu

tasawuf yaitu sama dengan ma’rifatullah (bermakrifat kepada Allah) yaitu dengan

mempertajam mata hatinya, rasa hatinya serta keseluruhannya menggunakan

dengan hati fuadnya berlainan karena ma’rifatullah menyangkut ajaran

esoterisme.

Menurut Husein Bahreis yang dikutip Murni dalam Jurnalnya yang

berjudul “Konsep Ma’rifatullah Menurut Al-Ghzali: Suatu kajian Tentang

Imlementasi Nilai-Nilai Ahklak al-Karimah” mengatakan bahwa.378 “Ma’rifat

dalam kosep Al-Ghazli adalah berupaya untuk mengenal Tuhan sedekat-dekatnya

yang diawali dengan pensucian jiwa dan dzikir kepad Allah secara terus menerus-

menerus sehingga pada ahkirnya akan mampu melihat Tuhan dengan fuad (hati)

sanubarinya.” Karena sesungguhnya seseorang selayaknya memahami bahwa

esensi cinta yang paling hakiki adalah seseorang muslim yang dapat menggapai

esensi cinta kepada Allah dengan tujuan dapat mengenal Allah.

Karena berma’rifat adalah ilmu para Nabi dan rasul yang dimana hatinya

selalu menyebut nama Allah maka dengan dengan begitu segala perbuatannya

yang baik-baik semata-mata karena Allah dengan itulah Allah mengisi hatinya

dengan Nur-Allah, karena para Nabi dan Rasul memperoleh Nur didalam hatinya

377
Acdmad Chodjim, Serat Wedhatama For Our Time ...,h. 275 (table 1.3)
378
Murni, Konsep Ma’rifatullah Menurut Al-Ghzali: Suatu kajian Tentang Imlementasi
Nilai-Nilai Ahklak al-Karimah (Jurnal: of islamic Studies, Vol, 2, No. 1 juni 2014), h. 138
132

serta pengetahuan tanpa belajat dan membaca, tetapi dengan zuhud dialam

semesta serta membebaskan diri dari cinta keduniawian serta mengosngkan hati

dari perbuatan dan sifat keji seraya menghadap secara utuh kepada Allah.

Sebagaimana firman Allah dalam surat Az-Zumar ayat 22 sebagai berikut:

‫ور ِّمن ربِّ ِهۦ ۚ فَ َو ْي ٌل ِلّ ْل َٰقَ ِسيَ ِة قُلُوبُ ُهم ِّمن ِذ ْك ِر‬ َٰ ْ ‫أَفَمن شَر َح ٱَّللُ صدْرهۥُ ِل‬
ٍ ُ‫ْل ْسلَ ِم فَ ُه َو َعلَ َٰى ن‬
ِ َ َ َٓ َ
‫ين‬ َ َٰ َ ‫ٱَّللِ ۚ أ ُ ۟و َٰلَئِكَ فِى‬
ٍ ِ‫ضل ٍل ُّمب‬
Artinya: “Maka apakah orang-orang yang dibukakan pintu hatinya oleh Allah
untuk (menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Tuhan-
Nya (sama dengan orang yang hatinya membatu)? Maka celaklah
mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu
dalam kesesatan yang nyata.”

Dari firman Allah diatas menurut definsi penulis disana Allah firmankan

adalah untuk senantiasa mengingat Allah dengan dzikir maka dengan dzikir itu

allah ancarkan Nur kedalam hati. Akan tetapi Allah firmankan pula maka

celakalah bagi seseorang yang tak mengingatnya mak hati laksana mengeras

layaknya batu. Inilah esesni dari ma’rifat yaitu hatinya dipenuhi dengan asma

Allah dengan demikian ajatan ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi dalam sudut

pandang Islam.

bila mengorientasikan sembah rasa menurut Mangkunegara IV dengan

ma’rifat menurut Imam Al-Ghzali kedua-duanya memiliki makna yang smaa,

kedudukan yang sama serta ajaran yang sama yaitu mengajarkan manusia agar

dapat melihat Tuhan-Nya dengan rasa mata hatinya dalam hal inilah ma’rifat

medapat pijakan sebagai ilmu sufi.

Sedangkan ma’rifat berasal dari kata Arafa yang berarti mengetahui atau

mengenal sesuatu. Dan apabila dikorelasikan dengan ilmu tasawuf kesufi-an maka
133

istilah ma’rifat disini mengenal arti mengenal Allah. Maka dalam ilmu ma’rifat

ada yang dimaksud dengan wahdatul wujud ialah adalah ungkapan yang terdiri

dari dua kata, yaitu wahdat dan al-Wujud. Wahdat artinya adalah penyatuan, satu

atau sendiri, sedangkan al-wujud artinya ada (eksistens). Wahdatul wujud

mempunyai pengertian bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai

hakiki atau dipercaya telah suci lahir batinnya.379

Menurut Burhanapuri yang dikutip oleh Ardani dalam bukunya yang

berjudul “Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV: Studi Serat-Serat Piwulang”

mengatakan bahwa. 380

Seorang hamba perlu menjalani syari’at lahiriah dengan alat raga dan
menjalani penghayatan batiniya: dengan menjalani ahklak terpuji dan
menjauhi ahklak tercela dengan mengutamakan peran alat qalbu dan
menalani maqomat guna meriah kesucian hati menurut tharekat
tertentu: dengan dzikir yang mendalam guna meriah mahabbah Allah
dengan jiwa (Ruh) hingga mencapai tingkat hakikat: dan akhirnya
menjalani penghayatan batiniah yang paling dalam dan paling halus
dengan alat rasa (Sirr) hingga mencapai musyahadah (menyaksikan)
Allah dengan mata hati pada tingkat ma’rifat.

Dari situlah seorang hamba yang menjalani dengan tekun kesabaran akan

mendapatkan buah dari apa yang dijalaninya karena pepatah mengatakan “usaha

itu tak mengkhinatai hasil” dari situ Allah juga melihat hambanya yang

bersungguh-sungguh maka hamba itu pula dizinkan untuk melihat Allah dengan

mata hatinya

Sebagaimana yang sudah penulis jelaskan keseluruhan, bahwa

implementasi Serat Wedhatama untuk bisa menjadi sejatinya manusia harus

dilalui dengan rangkaian yang sangat panjang yang pastinya akan mendapat

379
Badrudin, Ahklak Tasawuf ...,h. 159
380
Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme ..., h.125-126
134

hambatan dan cobaan. Lebih dari, itu seorang harus siap lahir batin ketika ia

berusungguh-sungguh untuk menjalani dalam Serat Wedhatama karena ia harus

siap meninggalkan segala kehidupan yang berupa ke duniawian. Dengan tidak

mengharapkan apa-apa di dunia, dengan meninggalkan kehidupan duni bukan

berarti kita anti akan dunia, tetapi kita sudah tidak mengharapkan apa-apa di dunia

dan hanya menjalaninya sebagai lakon layaknya wayang yang sedang dijalankan

oleh dalang (Allah). Tetapi seseorang yang sudah masuk tahap ini ia bisa

menjalani kehidupan sebagaimana khendak dirinya, tetapi khendaknya ini ia tidak

pernah meneharapkan kenikmatan dunia atau mengharapkan dari orang lain.

Disini mengapa penulis menggunakan kata implementasi (menjalani), karena

Serat Wedhatama ini sungguh bukanlah ilmu teori malainkan bentuk praktek laku

yang harus dijalani oleh semua orang muslim sepanjang hidupnya didunia. Oleh

karena itulah, Serat Wedhatama adalah jalan menuju kepada kematian, dengan

kembali kepada Dzat yang maha suci sesuai dengan Innanilahi Wa Innalilahi

Roji’un.

Karena bukankah kita ketika lahir dalam keaadaan suci oleh sebab itu

maka kita matipun harus dalam keadaan suci, karena sesungguhnya kematian itu

pasti dan nyata. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Jum’ah ayat ke 8

sebagai berikut:

ِ ‫قُ ْل إِن ٱ ْل َم ْوتَ ٱلذِى تَ ِف ُّرونَ ِم ْنهُ فَإِنهۥُ ُم َٰلَ ِقي ُك ْم ۖ ثُم ت ُ َردُّونَ إِلَ َٰى َٰ َع ِل ِم ٱ ْلغَ ْي‬
ِ‫ب َوٱلش َٰ َهدَة‬
‫فَيُنَ ِبّئ ُ ُكم ِب َما ُكنت ُ ْم‬
َ‫تَ ْع َملُون‬
Artinya: “sesungguhnya kematian yang lari dari padanya, sesunggunya kematian
itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada
135

allah, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu dia beritakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjaan”

Demikianlah pula Serat Wedhatama dalam sembah catur menurut

Mangkunegara IV adalah uapa manusia mempersipkan kematian agar nanti di

akhir hayatnya skaratul mautnya bisa menyebut kata Lailla Ha illallah

Muhammad Rasullah. Maka sungguh ia telah samapai kepada Tuhannya bagaikan

seorang menarik rambut dari adonan roti


BAB V

Penutup

5.1 Kesimpulan

Sebagaimana paparan latar belakang dan pula berdasarkan kepada analisis

yang telah penulis lalukan, penulis akhirnya menemukan akan adanya Nilai-Nilai

Konsep Pendidikan Tauhid Presfektif Mangkunegara IV Terhadap Nilai-Nilai

Ajaran Sembah Catur Dalam Kitab Serat Wedhatam, berikut ini adadlah beberapa

kesimpulan yang akan penulis paparkan, diantaranya:

5.1.1 Nilai-nilai pendidikan pendidikan tauhid yang terkandung dalam Serat

Wedhatama sangatlah besar, karena dalam Serat Wedhatama menjelaskan

tentang lebih dalam tentang esensi keesaan Allah Swt. Mengajarkan

tenantang kita harus memahami bahwa dalam sejatinya diri manusia

terdapat rahsia dibalaik rahasia ke Tuhanan yang harus dipahami oleh

setiap manusia. Dalam konsp pendidikan tauhid dalam Serat Wedhatama

dijelaskan secara selektif tentang bagaimana ahkal dan berbudi luhur serta

menjadi manusia yang tahu akan dirinya agar dapat mengetahui siapa

tuhannya demi mencapai manusia yang sempurna.

5.1.2 Mangkunegara IV dengan nama aslinya yang bernama Raden Sudira

dilahirkan pada 1 Sapar Jimakir 1736 Jawa, atau 1809 dalam penanggalan

kalender masei. Mangkunegara IV pada usia muda dia dijadikan prajurit di

Legiun Mangkunegaraan, dan ditugaskan oleh kakenya Mangkunegara II

136
137

untuk terjun dalam peperangan melaawan VOC, setelah mencapai pangkat

Mayor Infantari, ia diangkat menjadi Pepatih II dalam urusan

Mangkunegaraan. Tak lama kemudian dia diangkat menjadi Pangeran

dengan nama KPH (Kanjeng Pangeran Harya) Gandakusuma, dan

akhirnya menggantikan Pangeran Riyo yang saat itu menjadi

Mangkunegara III. Mangkunegara IV wafat pada hari Jumat, 6 Sawal

Jimakir 1810 Jawa, atau 8 September 1881 pada hitungan kalender

masehi.

5.1.3 Implementasi konsep sembah catur dalam Serat Wedhatama adalah

menjalaninya dengan pratik bukan hanya sebatas pengetahuan teori

belaka. Dalam implementsinya menjelaskan tentang proses sembah raga,

sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa yang harus dijalani oleh setiap

orang muslim yang eling akan esensi ketuhanan serta memahami proses

kembalinya kepada Hyang Sukma (Allah Swt)

5.2 Saran

Sebagaimana kesimpulan berdasarkan penelitian skripsi yang telah penulis

susun, penulis akan memberikan saran sebagai berikut:

5.2.1 Bagi pembaca pada umumya, penelitian skripsi ini dapat menambah

khazanah pengetahuan Mangkunegara IV, yang merupakan salah satu

tokoh besar yang sebagai Raja dan Pujangga yang dimilki oleh Indonesia.
138

Dengan itu pula kita bisa mencontoh segala perjuangan dan kebaikan

beliau ntuk kita praktekan dalam kehidupan sehari-hari.

5.2.2 Bagi pendidik, penulisan skripsi ini dapat menambah referensi akan proses

transfer of knowledge. Bahwa proses pendidikan tidak hanya berulang

didalam kelas tetapi juga bisa dilingkungan dan tempat apapun itu,

sebagaimana dalam skripsi ini bahwa pendidikan Islam ialah menyeluruh

kepada setiap aspek kehidupan dan tentu saja harus diamalkan dan dijalani

agar bisa menjadi contoh bagi orang lain.

5.2.3 Bagi penulis selanjutnya, penulisan ini masih banyak sekali kekurangan-

kekurangan baik dalam bahan penyajian guna sumber penelitian penulisan

ataupun gagasan penulis sendiri. Karena itulah, harus bisa menemukan

manuskrip-manuskrip yang Serat Wedhatama maupun sosok

Mangkunegara, oleh karena itu penulis menyarankan bagi yang ingin

membahas Serat Wedhatama ini atau mengamalkan isi dari Serat

wedhatama ini harus didampingi oleh guru.


139

DAFTAR PUSTAKA

Afrizal, Lulu Heri. “Rububiyah dan Uluhiyyah sebagai konsep Tauhid: Tinjauan
Tafsir, Hadist dan Bahasa”. Institut Agama Islam Nurul Hakim, Tafsiyah
: Jurnal Pendidikan Islam, vol. 2, No. 1, Februari (2018)

Alif Muhammad Alif. “tauhid dalam Tasawuf: antara Ittihat dan Ittisal” Aqlania,
vol, 08. No. 02. (juli-desember 2017)

Al-Buthy Said Ramadhan. The Great Episodes of Muhammad SAW : Menghayati


Islam dari Fragmen Kehidupan Rasulullah Saw, Penerjemah Fedrian
Hasmand, et.al. (Jakarta : Noura Books, 2015)

Amin Saidul. “Eksistensi Tauhid Dalam Keilmuan Ushuludin” Majalah Ilmu


Pengetahuan dan Pemikiran Keagamaan Tajidi, Vol, 22 no. 1,. (juni
2019)

Anjar. Menyingkap Serat Wedhotomo.(Semarang: Aneka Ilmu, 1983)

Any Anajar. Menyingkap Serat Wedhatomo.(Semarang: Aneka Ilmu)

Anwar Rosihon. Ahklak Tasawuf.(Bandung: Pustaka setia, 2010)

Ardani. Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV : Studi Serat-Serat


Piwulang.(Yogyakarta:Dana Bakti Wakaf, 1995)

Astuti. Bimbingan Shalat Sebagai Media Perubahan Prilaku.(Jurnal: Syarif


Hidayatullah Jakarta, Vol. 6, No. 2, Desember 2015)

Astuti Reni. Nilai-Nilai Pendidikan Ahklak Dalam Serat Wedhatama karya


Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV.(Lampung :
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, 2018)

Azmy Asmail. Ahklak Tasawuf: Sebuah Pengantar.(Yogyakarta: K-Media, 2018)

Badrudin. Ahklak Tasawuf.(Serang : IAIB Press, 2015).

Chodjim Achmad. Serat Wedhatama For our Time: Membangun Kesadaran


Untuk Kembali ke Jati Diri. (Tangerang Selatan: Bentara Aksara Cahaya,
2016)
140

Daryono, “Etos Dagang Orang Jawa: Pengalaman Raja Mangkunegara


IV”.(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007)

Et.all, Unang Setiana. Dampak Pemikiran tauhid Muhammad bin Abdul Wahab
dan Abdul Hasan Al-Asy’ari Terhadap Dakwah Kontemporer.(Komunica:
Jurnal of Communication Sciene and Islamic Da’wah, Vol. 2, 146-162,
2018)

Et.all, Purnomo Rudi. Religius Islam Dalam Serat Wedhataa Pupuh


Gabuh.(Jurnal Smart: semarang, Vol. 7, No. 1 Juni 2021)

Et.all, Prasetiya Benny. “Penguatan Nilai Ketauhidan Dalam Prakis Pendidikan


Islam” (Jurnal : Of Islamic Education), Vol. 3, No. 1 mei 2018

Et.al, Susilianti. Konsep Sentral Kepengarangan Mangkunegara IV.(Jakarta:


CV.Eka Dharma, 1997)

Firdaus. “Konsep Rububiyah (Ketuhanan) dalam Al’Qur’an”, Jurnal: Diskursus


Islam, Vol. 3, No. 1 (2015)

Hambal Muhammad. “Pendidikan Tauhid dan urgensinya bagi Kehidupan


Muslim” , Tadarus : Jurnal Pendidikan Islam, vol. 9, no. 1 (2020)

Harahap, Musyhafa Husein. Risalah Tauhid :Ahli Sunnah wal Jam’ah, (Bekasi
Barat: Maheda Utama Jaya, 2012)

Hardjowirogo Marbangun, Manusia Jawa, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1989)

Harini Sri. Tasawuf Jawa : Kesalhean Spiritual Jawa, (Yogyakarta: Araska,


2019)

Harun Yusuf penerjemah Kitab Tauhid Muhammad bin Abdul Wahab Islamic
Propagation Office in Rabwah, Islamhause (2007)

Hawasy Ahmad. “kajian Tauhid Dalam Bingkai Aswaja” (Jakarta : Naraya


Elaborium Optima, 2020), Cet. Ke-1, h. 24

Hermawan Deni dan Irawan. Pendidikan nilai: Nilai di Balik Pesan Kritis
Spritualitas Islam. (Serang: Yayasan dan Pendidikan Sosial Indonesia
Maju, 2020)
Jatmiko Adityo. Tafsir Ajaran: Serat Wedhatama.(Yogyakarta: Pura Pustaka,
2012)

Kamal, Muhamad Ali Musthofa. “Internalisasi Nilai Jawa dan Islam Dalam
Berbagai Aspel Kehidupan” (Jurnal : Kalam Studi Agama dan Pemikiran
Islam), Vol. 10 No. 1, Juni 2016
141

Khoirudin Muhmmad. “Pendidikan Berbasis Tauhid Prespektif Al-Qur’an”,


(Bogor : Unida Pres : 2016)

Kholis Nur. Ilmu Makrifat Jawa Sangkan Paraning Dumadi: Eksplorasi Sufistik
Konsep Mengenal Diri Dari Dalam Pustaka Islam kejawen Kunci Swarga
Miftahul Djanti. (Jakarta: CV.Nata Karya, 2018).

Kriyanton Racmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi. (Jakarta: Kencana Prenada


Media Group, 2014).

Mamik. Metodologi Kualitatif. (Sidoarjo : Zifatama, 2015).

Muchtar Adam dan Said, Muh. Fadlulah. Ma’Rifatullah: Membangun Kecerdasan


Spiritual, Intelektual, Emosional, Sosial dan Ahkalak Karimah. (Bandung:
Pesantren Al-Qur;an babussalam)

Munandar, Siswo Aris. Ajaran Tasawuf Dalam Serat Wedhatama Karya


K.G.P.A.A Mangkunegara IV.(Jurnal kaca : Ushuludin STAI Al Fitrah Vol
10, No. 1, Februari, 2020)

Munip Abdul. Merekonstruksi Teori Pendidikan dalam Budaya Jawa.


(Yogyakarta: Pascasarjana Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018).
Murni, Konsep Ma’rifatullah Menurut Al-Ghzali: Suatu kajian Tentang
Imlementasi Nilai-Nilai Ahklak al-Karimah (Jurnal: of islamic Studies,
Vol, 2, No. 1 juni 2014)
Muthoifin dan Fahrurozi. “Nilai-Nilai Pendidikan Tauhid dalam kisah Ashabul
Ukhdud surat al-Buruj prespektif Ibn Katsir dan Hamka, Profetika : jurnal
Studi Islam, Vol. 19, No. 2 (2018)

Noor, Fu’ad Arif. “Islam Dalam Prespektif pendidikan”, Quality: Jurnal


pendidika Islam”, Vol. 3, No. 2 (2015)

Purwadi. Nilai Theologis Dalam Serat Wedhatama.(Jurnal: Universitas Negri


Jakarta, Diksi Vol. 14, No. 1 Januari 2007)

Rahani Sri. Tawawuf Jawa: Kesalehan Spiritual Muslim Jawa.(Yogyakarta:


Araska. 2019).

Sabdacarakatama Ki. ”Serat Wedhatama : Karya Sastra K,G,P,A,A


Mangkunegara IV “Serat wedhatama”.(Yogyakarta: Narassi, 2010)

Saifullah Idris. Internalisasi Nilai dalam Pendidikan: Konsep dan Kerangka


Pembelajaran dalam Pendidikan Islam.(Yogyakarta: Darussalam
Publishing, 2017)
142

Santaso Iwan. Leguin Mangkunegaraan (1808-1942) : Tentara Jawa – Prancis


Warisan Napoleon Bonaparte.( Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2011).

Setiana Yana. Ilmu Tauhid,(Bandung: Pustaka Setia, 2019)

Shihab, M. Qurais. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an


Vol. 15.(Jakarta: Lentara Hati, 2005)

Shohe Moh.”Karakteristik Pendidikan Tasawuf Menurut Lois Masignon” (Ahsan


media junal: pemikiran, pendidikan dan penelitian ke-islaman).Vol. 4,
No.2 Juli 2018

Siswokartono Soetomo. Sri Mangkunegara IV: Sebagai Penguasa dan Pujangga


1853 – 1881, (Semarang: CV Aneka Ilmu, 2006)

Siyoto Sandu dan Sodik, M. Ali. Dasar Metodologi Penelitian. (Yogyakarta:


Literasi Media Publising, 2015).

Sugiyono. metode penelitian pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan


R&D. (Bandung: Alfabeta, 2015).

Susiyonto. Konsep Tri Ugering Mangkunegara IV sebagai motivassi


pengembangan kewirausahaan: Presfektif Islam.(Jurnal: Al-Fikri, Vol.3,
No.1, 2020)

Suwando Tirto dkk. Nilai-Nilai Budaya Susastra Jawa. (Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Dapertemen Pendidikan dan kebudayaan,
1994)

Syahid Achmad. “Islam Nusantara: Relai Agama-Budaya dan Tendensi Kuasa


Ulama”.(Deppok: Rajawali Perinting 2019)

Tim Ahli Ilmu Tauhid, Kitab Tauhid :At-Tauhid Li ash-Shaff ats-Tsani al-‘Ali,
penerjamah Agus Hasan Bashori., (Jakarta : Daarul Haq 2019).

Triwulandari, Nisa A’rafiyah. “Filosofi Jawa Nrimo Ditinjau Dari Sila


Keetuhanan Yang Maha Esa”, Jurnal2.um.ac.id/index.php/jppk. Vol. 2 No.
2.
Wahidin Ade. “Kurikulum Pendidikan Islam berbasih Tauhid Asma wa Sifat”,
Edukasi jurnal pendidikan agama islam, vol. 3, (2014)
Wahyudi Agus. Zaman Edan Ranggawarsita: menaklukan Hawa Nafsu Di Zaman
Yang Tak Menentu.(Yogyakarta: Penerbit Narasii, 2014)
Wahyono, S. Bayu. “Kajawen Dan ke-Islaman : Suatu Pertarungan iddentitas”,
(Jurna : Ilmu Sosial dan Politik), Vol. 5, No. 1, Juli 2001
Wibawa Sutrisna. Filsafat Jawa Dalam Serat Wedhatama.(Jurnal Ikabudi:
Univerisitas Negri Yogyakarta, 2013)
143

Yazdi, Muhammad Taqi Mishbah. Filsafat Tauhid: Mengenal Tuhan Melalui


Nalar dan Firman.( Bandung : Arasy : 2003 )

Yusuf, Ali Futasan. Metodologi Penellitian: modul mata kuliah metodologi


penelitian. (Serang: STIE Bina Bangsa, 2012)

Zainudin, Muhammad Riza. Eksistensi Tauhid Dalam Pemikiran Pendidikan


Islaam.(jurnal: Of IslamicaEducation)

Zakiyah, Qiqi Yuliati dan Rusdiana A. Pendidikan Nilai : Kajian Teori dan
Praktik di Sekolah (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2014)

Zulkifli dan Jamaludin. Ahklak Tasawuf: Jalan Lurus Mensucikan


Diri.(Yogyakarta: Kalimedia, 2018)

Anda mungkin juga menyukai