Residu Pestisida Kakao
Residu Pestisida Kakao
Soekadar Wiryadiputra1*)
1)
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman No. 90, Jember, Indonesia
*)
Alamat penulis (Corresponding Author) : soekadar@yahoo.com
Naskah diterima (received) 18 September 2012, disetujui (accepted) 25 Oktober 2012
Abstrak
Saat ini Jepang telah memberlakukan batas maksimum residu pestisida pada
bahan makanan sangat ketat, termasuk yang bahan bakunya berasal dari biji kopi
maupun kakao. Pada komoditas kakao dan produk-produknya hendaknya hal ini
diantisipasi agar kakao Indonesia mampu bersaing di pasar global. Salah satu
keunggulan itu adalah terbebasnya biji kakao Indonesia dari residu pestisida.
Banyaknya jenis pestisida di Indonesia yang diperbolehkan untuk digunakan
pada komoditas kakao sangat mengkhawatirkan. Sampai dengan tahun 2011,
sebanyak lebih dari 290 nama dagang pestisida dengan jumlah bahan aktif sekitar
70 jenis, diijinkan untuk digunakan pada pertanaman kakao. Hal ini belum termasuk
jenis pestisida yang digunakan di dalam gudang untuk tujuan fumigasi dan
sterilisasi gudang. Keadaan ini akan memberi peluang penggunaan pestisida yang
tidak rasional dan pada gilirannya akan menimbulkan dampak negatif, termasuk
residunya dalam biji dan produk kakao. Kasus ditemukannya residu pestisida
2,4-D pada biji kakao yang diekspor ke Jepang memberikan peringatan dini akan
munculnya residu pestisida pada biji kakao Indonesia, sehingga harus diantisipasi
cara penanggulangannya. Beberapa cara menanggulangi terjadinya residu pestisida
pada biji dan produk kakao diuraikan dalam tulisan ini.
Kata kunci: kakao, residu pestisida, batas maksimum residu, LD-50, sertifikasi kakao, biji
kakao.
Abstract
At the moment, Japan has implemented a stricter new rule for maximum
residue limits of pesticides for food and beverages, including for coffee and
cocoa. For cocoa and its products, it should be anticipated that Indonesian
cocoa must be able to compete in global market, and free from pesticide
residue was one of superior characters which is one of consumers demand.
A lot of pesticides permitted to be used on cocoa in Indonesia is worrying.
In 2011, more than 290 trade names of pesticide belonging to about 70 active
ingredients have been registered for cocoa. It excluded several pesticides used
in the warehouse for fumigation and sterilization. This fact will give chance
to apply pesticides irrationally and furthermore will cause negative side effect
on environment as well as on cocoa product. A case on 2,4-D residue which
reaches to maximum residue limits in cocoa bean and its products exported
to Japan was early warning for Indonesian cocoa and should be responded
39
Wiryadiputra
Key words: cocoa, pesticide residue, maximum residue limits, LD-50, cocoa certification,
cocoa bean.
40
Residu pestisida pada biji kakao di Indonesia dan produk serta upaya penanggulangannya
Jepang yang merupakan salah satu buku hijau terbitan terakhir (2011). Hasil
pengimpor produk kakao dari Indonesia, penelitian survei pestisida pada kakao yang
sangat ketat memberlakukan residu bahan dilaksana-kan pada tahun 2011 di semua
berbahaya, khususnya dari bahan agrokimia sentra produksi kakao di Indonesia
pestisida. Tulisan ini mengulas masalah residu menunjukkan bahwa mayoritas (95%) petani
pestisida pada produk kakao di Indonesia dan kakao di Indonesia menggunakan pestisida
alternatif solusi mengatasinya. Hal ini sangat dalam budidaya kakaonya. Jenis insektisida
penting bagi prospek pasar kakao Indone- (racun hama) dan herbisida (racun rumput/
sia di pasar global mengingat berbagai negara gulma) adalah yang paling banyak digunakan
pengimpor kakao saat ini sangat peduli oleh pekebun (Rutherford et al., 2011).
terhadap masalah residu petisida, karena Kondisi ini diduga disebabkan belum
berkaitan dengan kesehatan konsumen di tersedianya cara pengendalian lain non-
negara tersebut. pestisida untuk hama kakao yang efektif dan
efisien serta mudah terjangkau oleh pekebun
kakao. Sementara itu masalah hama
Pestisida yang Digunakan pada Kakao merupakan faktor pembatas produksi yang
di Indonesia sangat dirasakan. Kehilangan produksi kakao
Pestisida yang diperbolehkan untuk karena serangan hama sangat tinggi, terutama
digunakan pada suatu jenis tanaman atau oleh hama penggerek buah kakao, yang dapat
produk di Indonesia harus didaftarkan dan mencapai lebih dari 80% (Wardoyo, 1981;
dimintakan ijin kepada Kementerian Pertanian Wiryadiputra, 2000).
Republik Indonesia, dalam hal ini pada Penggunaan herbisida yang berlebihan
Direktorat Pupuk dan Pestisida, Direktorat di beberapa kebun kakao diduga berkaitan
Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. dengan kebutuhan tenaga kerja yang cukup
Hanya pestisida yang telah terdaftar dan atau banyak untuk mengendalikan gulma secara
memperoleh izin Menteri Pertanian yang konvensional, yang dilakukan dengan cara
boleh diedarkan, disimpan dan digunakan mekanis menggunakan cangkul maupun sabit.
dalam wilayah Republik Indonesia. Pestisida Prestasi kerja petani untuk menyiang gulma
yang telah terdaftar dan memperoleh izin dari secara mekanis sangat rendah dibanding
Menteri Pertanian disusun dalam ‘Buku kepemilikan lahan kakao mereka, sehingga
Pestisida Pertanian’, yang lazim dikenal pekebun mencari cara yang lebih efisien
dengan ‘buku hijau’ dan diperbaharui setiap dengan aplikasi herbisida. Kajian yang
tahun (Kementerian Pertanian, 2011). dilakukan di kebun petani kakao Sulawesi
Pada komoditas kakao, cukup banyak menunjukkan penggunan herbisida yang
jenis pestisida yang terdaftar dan diijinkan cukup tinggi, yaitu mencapai 94% dari jumlah
untuk digunakan. Bahkan cukup sulit untuk petani kakao yang disurvei (Anonim, 2009).
memilih beberapa pestisida yang paling Hal ini juga terjadi pada petani kopi rakyat,
efektif dan efisien untuk digunakan yang sebagian besar mengandalkan herbisida
dalam mengendalikan OPT utama. Pada untuk menanggulangi masalah gulma di
lampiran 1 memaparkan jenis-jenis pestisida kebun kopinya (Wiryadiputra, 2005).
yang terdaftar dan diijinkan untuk digunakan Di dalam daftar nama pestisida yang
dalam pengendalian hama, penyakit, dan terdiri 294 nama dagang sebagaimana dirinci
gulma pada kakao, serta sebagai bahan dalam buku hijau (Kementerian Pertanian,
perangsang tumbuh buah kakao, menurut 2011) belum tercantum jenis-jenis pestisida
Kementerian Pertanian yang tercantum pada yang biasa digunakan pada gudang penyim-
41
Wiryadiputra
panan kakao, baik pada perusahaan cylindrica), dan untuk meningkatkan hasil
pengekspor maupun pada pedagang besar. buah (Zat Pengatur Tumbuh). Padahal hasil
Beberapa pestisida yang tercantum dalam survei menunjukkan bahwa dalam gudang
buku hijau tersebut untuk mengendalikan biasanya pengekspor maupun pedagang
Penyakit Busuk Buah (Phytophthora besar mengaplikasikan pestisida untuk tujuan
palmivora), Penyakit Cendawan Akar Putih fumigasi maupun sterilisasi gudang. Adapun
(Rigidophorus lignosus), Jamur Upas jenis-jenis pestisida yang banyak digunakan
(Upasia salmonicolor), Penyakit Pembuluh di gudang penyimpanan kakao sebagaimana
Kayu (Vascular Streak Dieback = VSD = tercantum pada Tabel 1 (Rutherford et al.,
Oncobasidium theobromae), Hama pengisap 2011). Dijelaskan lebih lanjut bahwa untuk
buah dan pucuk (Helopeltis spp.), Hama tujuan fumigasi produk kakao, khususnya
Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha untuk biji kakao kering yang akan diekspor,
cramerella), Hama Ulat Kilan (Hyposidra jenis pestisida yang digunakan adalah fumigan
talaca), Gulma berdaun lebar (Broad leaves), aluminium phosphid dan methyl bromide.
Gulma Berdaun Sempit (Grasses), Gulma Pada Tabel 1 belum tercantum jenis-
Teki (Sedges), Gulma Alang-alang (Imperata jenis pestisida yang biasa digunakan pada
Tabel 1. Jenis pestisida yang digunakan pada gudang penyimpanan kakao pada perusahaan eksportir maupun pedagang besar
kakao di Indonesia
Table 1. Pesticides used in cocoa warehouses of cocoa exporters and cocoa big traders in Indonesia
Jenis Pestisida Nilai LD-50
No Kind of pesticide Kategori Pestisida menurut GHS
LD-50 value
Nama Dagang Bahan Aktif Category of pesticide based on GHS
(mg/kg = ppm)
Trade name Active ingredients
1 Baygon Propoksur 50 Kategori 2
2 Bestacin 300 EC Diklorfos 50 Kategori 2
3 Beta-Cypermetrin Beta Sipermetrin 166 Kategori 3
4 Brodifakoum Brodifakum 0.28 Kategori 1
5 Concord 15 EC Alfa Sipermetrin 274 Kategori 3
6 “Desinfectant” Diduga berbahan aktif Amonium ??? ??
7 Klerat RMB Brodifakum 0.005% 0.28 Kategori 1
8 Lamda Sihalotrin Lamda Sihalotrin 56 Kategori 3
9 Leman 100 EC Sipermetrin 100 g/L 274 Kategori 3
10 Methybrom 98 LG Metil bromide 214 Kategori 3
11 Metil Bromide Metil bromide 98% 214 Kategori 3
12 Metil-Gas 98 LG Metil bromide 98% 214 Kategori 3
13 Mustang 25 EC Zeta Sipermetrin25 g/L 86 Kategori 3
14 Nuvet 200 EC Diklorfos 200 g/L 50 Kategori 2
15 Pengkes 25 EC Alfa Sipermetrin 79-400 Kategori 3/4
16 Phostoxin Aluminium fosfit 8.7 Kategori 2
17 Phostoxin 56 T Aluminium fosfit 56% 8.7 Kategori 2
18 Phostoxin 57 AP Aluminium fosfit 56% 8.7 Kategori 2
19 Premise 200 SL Imidakoprid 200 g/L 450 Kategori 4
20 Sitogard 25 WSC Lamda Sihalotrin 25 g/L 56 Kategori 3
21 Trap Feromon Trap untuk Tidak beracun —
hama Ephestia spp.
*) GHS = The Globally Harmonized System of Classification and Labeling of Chemicals.
42
Residu pestisida pada biji kakao di Indonesia dan produk serta upaya penanggulangannya
43
Wiryadiputra
44
Residu pestisida pada biji kakao di Indonesia dan produk serta upaya penanggulangannya
Batas Maksimum Residu Pestisida beberapa negara penghasil kakao dunia, yaitu
pada Kakao Ghana, Ecuador, Venezuela, Mexico,
Cameroon, dan termasuk Indonesia terkena
Batas maksimum residu pestisida atau peraturan residu pestisida yang diberlakukan
maximum residue limits (RML) yang di Jepang (Tabel 4).
diperbolehkan terkandung dalam biji maupun
produk cokelat telah dikeluarkan oleh berbagai Berdasarkan hasil pemeriksaan di Jepang
negara pengimpor kakao atau produk cokelat sebagaimana diuraikan dalam Tabel 4
di dunia. Namun dari banyak referensi, negara diketahui bahwa dalam biji kakao Indo-
Jepang boleh dikatakan paling ketat dalam nesia juga pernah terdeteksi mengandung
memberlakukan batas maksimum residu pestisida yang melampaui nilai BRM yang
pestisida pada kakao dan komoditas lainnya. ditetapkan, khususnya untuk pestisida
Jepang telah mengeluarkan batas residu 2,4-D. Pestisida ini merupakan racun rumput
maksimum (BRM) bahan kimia berbahaya (herbisida) yang bersifat sistemik. Hasil
pada biji kakao yang diperbolehkan, yaitu survei menunjukkan bahwa herbisida ini
sebanyak 137 jenis bahan kimia pertanian. memang banyak digunakan secara meluas
oleh petani kakao di berbagai daerah di
Berdasarkan batas residu maksimum Indonesia.
(BRM) yang diberlakukan pemerintah Jepang
pada biji kakao yang diimpor ke Jepang,
telihat bahwa nilai batas residu pestisida yang Langkah Antisipasi Penanggulangan
ditetapkan Jepang untuk biji kakao cukup
rendah, sebagian besar pada nilai di bawah Penggunaan pestisida pada komoditas
1 ppm (part per million, atau satu per sejuta). kakao tampaknya sulit untuk ditiadakan
Keadaan ini harusnya menjadi perhatian sama sekali, karena di samping banyaknya
masyarakat perkakaoan Indonesia apabila kita organisme pengganggu tumbuhan (OPT)
masih berkeinginan menjual kakao ke Jepang. pada budidaya kakao yang sangat me-
Beberapa jenis pestisida bahkan nilai ngancam produksi, juga belum adanya teknik
MRL-nya sangat rendah yaitu mencapai per pengendalian lain non-pestisida yang sama
seribu ppm, yaitu untuk pestisida berbahan efektifnya dengan penggunaan pestisida. Di
aktif abamektin (insektisida, 0,008 ppm), samping itu penggunaan pestisida tertentu,
bilanafos (herbisida, 0,004 ppm), brodifakum misalnya aplikasi herbisida, sangat mengun-
(rodentisida, 0,001 ppm), diflufenican tungkan bagi petani dibanding cara pengen-
(herbisida, 0,002 ppm), etoprofos (insek- dalian lainnya. Upaya untuk menanggulangi
tisida, nematisida, 0,005 ppm), pindone adanya residu pestisida pada kakao, antara
(rodentisida, 0,001 ppm), dan warwarin lain adalah :
(rodentisida, 0,001 ppm). Insektisida
berbahan aktif abamektin bahkan telah 1. Penggunaan pestisida yang rasional
direkomendasikan untuk mengendalikan
Penggunaan pestisida dilakukan secara
hama Helopeltis di Indonesia dengan nama
dagang Promectin 18 EC (Anonim, 2011). rasional, baik rasional dari segi OPT yang
akan dikendalikan maupun rasional dalam hal
aplikasi pestisidanya. Bateman (2008)
Kasus Residu Pestisida pada Biji
menyatakan bahwa penggunaan pestisida
Kakao yang Diekspor
secara rasional lebih menitikberatkan
Berkenaan dengan kasus residu pestisida penggunaan pestisida yang tepat sasaran pada
pada biji kakao yang diekspor ke Jepang, OPT yang dituju sebagai bagian dari strategi
45
Wiryadiputra
Tabel 4. Beberapa kasus residu pestisida pada biji kakao yang melampaui nilai Batas Residu Maksimum atau hampir melampaui
batas tersebut yang diekspor ke Jepang, akhir-akhir ini
Table 4. Several cases of pesticide residue on cocoa exported to Japan exceeded Maximum Residue Limits value or almost
reach that value in last decade
Asal Negara Kasus residu terdeteksi/bahan aktif Batas residu maksimum Sifat pemeriksaan Kisaran nilai terdeteksi
Country origin pestisida Maximum residue limits Test category Range of detection value
Residue case detection/active ppm ppm
ingredient
46
Residu pestisida pada biji kakao di Indonesia dan produk serta upaya penanggulangannya
50% buah terserang, sehingga apabila banyak yang diketahui. Petani rata-rata masih
serangannya masih di bawah angka tersebut menganggap bahwa pestisida sebagai “obat”
maka belum perlu untuk pengendalian dengan pertanian dibanding sebagai “racun”.
pestisida (Day, 1989; Wiryadiputra, 1996). Penyuluhan kepada petani sangat diperlukan
Aplikasi pestisida berdasarkan tingkat terutama pada aspek penggunaan pestisida
serangan hama ini juga telah lama di- secara rasional dan dampak negatifnya
praktekkan pada perkebunan besar kakao terhadap produk yang dihasilkan, keselamatan
milik negara di Indonesia maupun pada petani sendiri dan terhadap kerusakan
perkebunan besar di Malaysia (Wills, 1986; lingkungan. Juga perlu diinformasikan bahwa
Wardoyo,1992). Metode pengendalian ini komoditas kakao mayoritas diekspor ke luar
dikenal dengan pengendalian secara Early negeri yang pembelinya mayoritas negara-
Warning System (EWS) atau Sistem negara maju yang sangat peduli terhadap
Peringatan Dini, yaitu pengendalian dengan kesehatan dan lingkungan. Akibatnya residu
cara mendeteksi serangan hama/penyakit pestisida atau bahan kimia berbahaya pada
seawal mungkin dan setelah serangan hama/ biji dan produk kakao serta kerusakan
penyakit melampaui ambang kendali. Hasil lingkungan kebun kakao menjadi hal yang
yang diperoleh, penggunaan pestisida turun sangat sensitif.
drastis dan areal yang diaplikasi sangat
terbatas. Sehingga di samping dari segi biaya 3. Mempercepat pengembangan cara
pengendalian lebih murah, produk kakao yang pengendalian non-pestisida
dihasilkan juga terbebas dari masalah residu,
serta yang lebih penting lagi kondisi Cara pengendalian non-pestisida pada
lingkungan sangat minim dari dampak perkebunan kakao saat ini telah banyak
pencemaran. Wills (1986) menyatakan dikembangkan, meskipun hanya berapa yang
keuntungan yang diperoleh dari pengendalian dapat diimplementasikan di lapangan dalam
dengan sistim ini, antara lain : 1) Metode sekala praktek. Suatu slogan pada zaman pra
ini merupakan pengendalian hama terpadu kemerdekaan mengenai penanganan hama di
(PHT), 2) Kondisi lingkungan yang perkebunan kakao di Jawa Tengah bisa
berdampak negatif akibat penggunaan menjadi contohnya. Slogan tersebut berbunyi
pestisida sangat kecil, karena rata-rata “ZONDER ZWARTEMIEREN GEEN CA-
areal yang diaplikasi kurang dari 10% dari CAO” atau “ WITHOUT BLACK ANTS NO
total area, 3) Sangat kecil kemungkinannya COCOA” atau “ TANPA SEMUT HITAM
terjadi ledakan hama/penyakit karena TIDAK ADA KAKAO”. Slogan ini
pengamatan dilakukan terus-menerus, menunjukkan keberhasilan pengendalian
4) Sistem ini memungkinkan untuk fluktuasi hayati menggunakan musuh alami hama
panen sehingga juga bermanfaat untuk kakao, terutama Helopeltis spp. dan
pengelolaan aplikasi pemupukan. penggerek buah kakao menggunakan
semut hitam (Dolichoderus bituberculatus
= D. thoracicus) (Giesberger, 1983).
2. Penyuluhan kepada petani yang intensif
Sayangnya setelah era pengunaan
Pengetahuan petani terhadap peng- pestisida dimulai sekitar tahun 1945 dengan
gunaan pestisida pada kebun kakao rata-rata ditemukannya pestisida DDT, maka
masih relatif belum cukup. Meskipun petani penggunaan musuh alami semut hitam
kakao di Indonesia rata-rata mengetahui tersebut dilupakan. Penggunaan semut hitam
tentang pestisida, tetapi tentang cara aplikasi pada perkebunan kakao baru dikembangkan
dan dampak negatif penggunaannya belum lagi setelah tahun 1980-an (Bakri &
47
Wiryadiputra
Redshaw, 1986; Hutauruk, 1988; Ho & 5. Monitoring tingkat residu pestisida pada
Khoo, 1992; Ho, 1994; Khoo & Chung, biji dan produk kakao
1989; Khoo & Ho, 1992; See & Khoo, 1996;
Negara penghasil kakao hendaknya
Way & Khoo, 1989; Wiryadiputra, 2007).
memiliki institusi atau laboratorium untuk
Selain penggunaan musuh alami berupa menganalisis residu pestisida pada biji kakao
semut hitam, agens hayati lain yang potensial atau produk-produk kakao. Laboratorium ini
untuk menanggulangi OPT kakao adalah hendaknya juga sudah terakreditasi secara
jamur Beauveria bassiana untuk hama nasional maupun internasional sehingga hasil
Helopeltis spp. dan PBK, jamur Trichoderma analisanya diakui pihak internasional. Hal ini
spp. untuk penyakit busuk buah Phytoph- sangat penting untuk mengetahui kandungan
thora palmivora (Sri-Sukamto & bahan aktif pestisida yang mungkin tertinggal
D. Pujiastuti, 2004). pada biji maupun produk kakao. Pihak
eksportir, sebelum mengekpor biji atau
produk kakaonya disarankan untuk meng-
4. Sosialisasi bahaya pestisida
analisis residu pestisida sehingga bisa
Semua jenis pestisida yang digunakan diketahui lebih awal apakah kakao yang
untuk mengendalikan OPT kakao adalah diekspor mengandung residu pestisida atau
senyawa kimia yang bersifat racun, hanya tidak. Hal yang memberatkan untuk analisis
tingkat daya racunnya berbeda-beda. Oleh ini kemungkinan adalah dari segi biaya. Biaya
karena itu dalam penggunaannya apabila analisis residu umumnya cukup mahal,
tidak dilakukan secara benar dan hati-hati demikian pula untuk mendirikan laboratorium
akan berakibat pada kesehatan pengguna dan analisis residu yang telah terakreditasi.
tertinggal pada produk kakao yang diaplikasi. Namun hal ini akan lebih menguntungkan
Tingkat bahaya pestisida pada kesehatan apabila difikirkan untuk jangka panjang dan
manusia maupun efek negatifnya terhadap untuk prospek pasar kakao di tingkat
lingkungan biasanya tidak bisa langsung global. Apabila biji kakao atau produk kakao
kelihatan, kecuali pestisida tersebut terhirup suatu negara produsen telah mengandung
atau termakan dengan dosis yang cukup residu pestisida, dan terjadi secara berulang-
banyak. Efek jangka panjang ini yang ulang, maka akan berpengaruh besar
kebanyakan kurang disadari oleh manusia, terhadap dayasaing biji kakao tersebut di
lebih-lebih tingkat pengetahuannya tentang pasaran global. Demikian pula apabila ekspor
pestisida minim. Keadaan ini telah disadari kakao tersebut ditolak oleh negara importir,
oleh konsumen produk kakao di negara- maka kerugiannya akan lebih besar.
negara pengimpor yang mayoritas adalah
negara maju. 6. Penerapan sertifikasi pada perkebunan
Beberapa dampak negatif terhadap kakao
kesehatan manusia antara lain menyebabkan Saat ini telah berkembang cukup banyak
penyakit asma, leukemia, alergi, menyebabkan lembaga sertifikasi pada perkebunan kakao,
kanker, dan gangguan pada organ reproduksi antara lain Rainforest Alliance, Fairtrade,
(menyebabkan mandul, dll.). Data dari WHO UTZ Certified dan Organic Certification.
menyebutkan bahwa setiap tahun terdapat Sertifikasi bertujuan untuk menjamin bahwa
3 juta orang keracunan pestisida dan 220.000 produk kakao yang dihasilkan oleh pekebun
orang meninggal, terutama di negara-negara kakao dapat berlangsung secara ber-
berkembang (Lah, 2011). kelanjutan dengan memelihara dan menjaga
48
Residu pestisida pada biji kakao di Indonesia dan produk serta upaya penanggulangannya
49
Wiryadiputra
50
Residu pestisida pada biji kakao di Indonesia dan produk serta upaya penanggulangannya
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao ....................... (2009). Control of cocoa pod
Indonesia, 21, 104-119. borer (Conopomorpha cramerella)
using botanical pesticides. 16th Inter-
....................... (2007). Pemapanan semut
national Cocoa Research Conference,
hitam (Dolichoderus thoracicus) pada
Denpasar, Bali, Indonesia, 16-21
perkebunan kakao dan pengaruhnya
November 2010.
terhadap serangan hama Helopeltis
spp. (Establishment of balack ant World Health Organization (2009). The WHO
(Dolichoderus thoracicus) on cocoa recommended classification of pesti-
plantation and its effects on cides by hazard and guidelines to clas-
Helopeltis spp. infestation). Pelita sification. International Programme on
Perkebunan, 23, 57-71. Chemicals Safety. 78 pp.
*********
51
Wiryadiputra
LAMPIRAN (APPENDIX): 1.
Pestisida yang telah didaftarkan dan disarankan untuk digunakan pada tanaman kakao sampai dengan tahun 2011, menurut
Kementerian Pertanian Republik Indonesia
Pesticides registered and recommended for cocoa in Indonesia until 2011, according to Department of Agriculture, Republic
of Indonesia
52
Residu pestisida pada biji kakao di Indonesia dan produk serta upaya penanggulangannya
53
Wiryadiputra
54
Residu pestisida pada biji kakao di Indonesia dan produk serta upaya penanggulangannya
55
Wiryadiputra
56
Residu pestisida pada biji kakao di Indonesia dan produk serta upaya penanggulangannya
57
Wiryadiputra
58
Residu pestisida pada biji kakao di Indonesia dan produk serta upaya penanggulangannya
59
Wiryadiputra
60
Residu pestisida pada biji kakao di Indonesia dan produk serta upaya penanggulangannya
61