Anda di halaman 1dari 16

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kakao merupakan salah satu tanaman perkebunan penting di Indonesia,


karena kakao sebagai penghasil devisa Negara, sebagai sumber penghasilan bagi
petani maupun masyarakat lainnya. Indonesia merupakan salah satu produsen
kakao utama di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Indonesia mempunyai
tanaman kakao paling luas di dunia yaitu sekitar 1.462.000 ha. yang terdiri dari
90% perkebunan rakyat dan sisanya perkebunan swasta dan negara, dengan
produksi mencapai 1.315.800 ton/th. (Karmawati et al., 2010).

Produktivitas kakao Indonesia hingga saat ini rata-rata masih rendah yaitu
sekitar 900 kg/ha. Beberapa penyebabnya adalah bahan tanaman yang kurang baik,
teknologi budidaya yang kurang optimal, tanaman sudah berumur tua, serta
masalah serangan organism pengganggu tanaman (OPT). Diperkirakan rata-rata
kehilangan hasil akibat OPT mencapai 30% setiap tahunnya bahkan ada penyakit
penting yang dapat mengakibatkan kematian tanaman (karmawati, et. al, 2010),
sehingga dalam budidaya kakao pada umumnya sekitar 40 % dari biaya produksi
dialokasikan untuk biaya pengendalian OPT (Sulistyowati et al, 2003). Beberapa
hama dan penyakit banyak ditemukan pada tanaman kakao diantaranya hama
Penggerek Buah Kakao (Conopomopha cramerella) dan kepik pengisap buah
(Helopeltis spp.), merupakan hama utama pada tanaman kakao.

Pengendalian hama pada tanaman kakao pada umumnya petani masih


menggunakan insektisida kimiawi. Penggunaan insektisida kimiawi yang tidak
tepat akan membawa dampak yang buruk, lebih merugikan dibanding manfaat
yang dihasilkan antara lain dapat menyebabkan timbulnya resistensi hama,
munculnya hama sekunder, pencemaran lingkungan dan ditolaknya produk karena
masalah residu yang melebihi ambang batas toleransi. Penggunaan insektisida
kimiawi secara intensif, juga memberikan berbagai dampak yang tidak diinginkan,
terkait dengan kerusakan ekosistem lahan pertanian, terganggunya eksistensi flora
dan fauna di sekitar lahan pertanian dan kesehatan petani pekerja (Regnault-Roger,
2005). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa di seluruh dunia
setiap tahunnya terjadi keracunan pestisida antara 44.000 - 2.000.000 orang dan
dari angka tersebut yang terbanyak terjadi di negara berkembang (Sintia, 2006).

PHT atau yang dikenal dengan Integrated Pest Management (IPM),


merupakan suatu konsep atau paradigma yang dinamis, tidak statis, yang selalu
menyesuaikan dengan dinamika ekosistem pertanian dan sistem sosial ekonomi
dan budaya masyarakat setempat. PHT mendorong kemandirian dan keberdayaan
dalam pengambilan keputusan daripada ketergantungan pada pihak-pihak lain
(Untung, 2003). Berdasarkan hal tersebut maka petani yang langsung berhubungan
dengan kegiatan pertanian tersebut diharapkan dapat berperan sebagai manager di
kebunnya sendiri , yang mampu mengambil keputusan dan melakukan tindakan
untuk mengatasi masalah OPT . Untuk itu petani harus mempunyai bekal
pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk dapat mengelola kebunnya
dengan baik yang dapat diperoleh melalui pelatihan atau pembelajaran di lapangan.

Umumnya petani kakao masih mengandalkan penggunaan insektisida


kimiawi untuk pengendalian hama dan penyakit tersebut. Berbagai cara
pengendalian telah diketahui dan diuji pada kedua jenis hama tersebut termasuk
cara pengendalian yang sederhana, murah dan ramah lingkungan, antara lain
dengan penggunaan pestisida nabati yang memanfaatkan tumbuhan, penggunaan
musuh alami seperti parasitoid, predator dan patogen serangga, serta penggunaan
senyawa/bahan penolak serangga. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk
menguraikan aspek-aspek penting terkait dengan hama utama tanaman kakao yaitu
C. cramerella dan Helopeltis spp. serta upaya pengendaliannya yang berwawasan
lingkungan.

Beberapa paket teknologi budidaya kakao yang benar telah dihasilkan dan
disampaikan kepada petani, tetapi belum sepenuhnya diadopsi oleh petani.
Demikian juga dalam pengendalian hama dan penyakit, petani belum sepenuhnya
mengadopsi teknologi yang telah dihasilkan untuk pengendalian hama dan
penyakit. Umumnya petani kakao masih mengandalkan penggunaan insektisida
kimiawi untuk pengendalian hama dan penyakit tersebut. Berbagai cara
pengendalian telah diketahui dan diuji pada kedua jenis hama tersebut termasuk
cara pengendalian yang sederhana, murah dan ramah lingkungan, antara lain
dengan penggunaan pestisida nabati yang memanfaatkan tumbuhan, penggunaan
musuh alami seperti parasitoid, predator dan patogen serangga, serta penggunaan
senyawa/bahan penolak serangga. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk
menguraikan aspek-aspek penting terkait dengan hama utama tanaman kakao yaitu
C. cramerella serta upaya pengendaliannya yang berwawasan lingkungan.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan pembuatan makalah ini adalah :

1. Sebagai tugas kelompok dalam mata kuliah dasar-dasar perlindungan


tanaman
2. Menambah wawasan pengetahuan tentang hama utama pada tanaman
kakao
3. Mengetahui jenis dan spesies hama utama pada tanaman kakao
4. Mengetahui teknik pengendalian hama utama pada tanaman kakao.

1.3. Manfaat

Adapun manfaat yang diharapkan dari makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat pembuatan makalah ini adalah agar dapat digunakan sebagai


bahan pembelajaran
2. Memberikan informasi mengenai hama utama pada tanaman kakao
3. Sebagai salah satu referensi mengenai hama utama pada tanaman
kakao.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Di Indonesia, budidaya kakao (Theobroma cacao L.) terus dikembangkan


seiring dengan meningkatnya permintaan konsumsi dalam negeri maupun ekspor.
Namun demikian pengembangan kakao mengalami hal-hal yang kurang
menguntungkan seperti rendahnya mutu biji dan produktivitas yang disebabkan
oleh Penggerek Buah Kakao, Conopomorpha cramerella. C. cramerella adalah
hama yang sangat merusak pada tanaman kakao dan dapat menurunkan produksi
hingga 90% (Lim, 1992; dan Anshary, 2002).

Kakao berbunga sepanjang tahun dan bunganya tumbuh secara


berkelompok pada bantalan bunga yang menempel pada batang, cabang atau
ranting. Bunga kakao tergolong bunga sempurna, terdiri dari daun kelopak
sebanyak 5 helai dan benang sari sebanyak 10 helai. Jumlahnya dapat mencapai
5.000–12.000 bunga per pohon per tahun, tetapi jumlah buah matang yang
dihasilkan hanya berkisar satu persen. Dalam setiap buah terdapat 30-50 biji,
tergantung pada jenis kakao. Variasi produksi buah antara pohon dipengaruhi
banyak faktor, antara lain jumlah bunga yang dihasilkan, sifat compatible dan
incompatible dari masing-masing klon, pengaruh layu buah muda, dan tingkat
serangan hama dan penyakit sejak pertumbuhan hingga panen (Sulistyowati 2003).

Serangga dewasa PBK meletakkan telur pada permukaan buah kakao,


biasanya diletakkan pada lekukan buah. Telur– telur tersebut diletakkan secara
individu maupun berkelompok antara 50–300 butir. Buah kakao yang paling
disukai untuk meletakkan telur adalah buah yang memiliki alur kulit yang dalam
serta ukuran panjang buah kurang lebih 9 cm pada umur 60-75 hari. Saat ini petani
banyak menanam kakao dari jenis Forastero yang memiliki kulit buah kasar dan
alur dalam sehingga disenangi oleh hama PBK untuk meletakkan telur.
(Wiryadiputra 1996).

Hama penting yang menyerang tanaman kakao adalah hama penggerek


buah kakao (Conopomorpha cramerella), pengisap buah kakao (Helopeltis sp,),
penggerek kulit batang kakao (Glenea sp.), dan penggerek batang (Zeuzera sp). Di
antara hama penting tersebut hama PBK merupakan hama yang tertinggi intensitas
serangannya di Sulawesi Tenggara yaitu mencapai 70–84% bila 11 dibandingkan
dengan hama penting lainnya (Dishutbun Sultra 2006). Hama lain yang ditemukan
pada tanaman kakao adalah ulat kilan (Hyposidra talaca), kumbang (Apogonia sp.)
dan ulat api (Darna trima) (Hindayana et al. 2002).

PBK (Penggerek Buah Kakao), Conopomorpha cramerella (Famili


Gracillariidae: Ordo Lepidoptera) menyerang tanaman kakao hampir di seluruh
daerah utama penghasil kakao di Indonesia. Secara ekonomis hama penggerek
buah kakao merupakan serangga hama penting, karena hama ini menggerek dan
memakan daging buah, dan biji buah. Pada serangan berat, biji sulit dikeluarkan
karena saling lengket dengan kulit buah. Akibat serangan hama penggerek buah
kakao dapat menurunkan produksi sampai 80% (Wiryadiputra dan Atawinata,
1998).

Selain menurunkan produksi serangan hama ini juga menyebabkan kualitas


biji menjadi rendah (Lim, 1992; Anshary, 2003). Pada tahun 2000 dilaporkan
bahwa serangan hama ini mencapai 60.000 ha dengan kehilangan hasil sebesar Rp
405.643.680.000,-/tahun (Ditjenbun, 2000). Penyebaran hama PBK di Sulawesi
dimulai di Sulawesi Tengah pada tahun 1991 kemudian menyebar ke seluruh areal
pertanaman kakao di Sulawesi (Mardy, 1994). Tahun 1995, hama ini mulai
ditemukan di Sulawesi Tenggara (Suwondo, 2001).

Penelitian oleh Tulung (2000) melaporkan bahwa aplikasi insektisida


Azodrin, Gusadrin, Tamaron, dan Lannate melalui infus akar, batang, dan
penyemprotan langsung pada pertanaman kakao dapat menekan serangan hama
penggerek buah kakao sampai 4,60% pada infus akar. Kelemahan dalam aplikasi
insektisida adanya residu produk yang dihasilkan Kombinasi pengendalian dengan
panen sering, pemangkasan, pumupukan dan sanitasi hanya mampu menekan
serangan penggerek buah kakao di bawah 5% (Wahyudi dan Rahardjo, 2008).

Serangan hama penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella


(Snellen) (Lepidoptera: Gracillariidae) merupakan salah satu faktor penyebab
turunnya produksi kakao nasional (Goenadi et al., 2005). Kehilangan hasil akibat
serangan PBK secara nasional sejak tahun 80-an tidak pernah turun, yaitu: 60-84%
(Wardojo, 1980), 75-80% (Wiryadiputra et al., 1994) dan 65-82% (Lala et
al.,2005).Menurut Goenadi et al.(2005) serangan PBK secara nasional telah
mencapai 40% lebih dari total areal kakao dengan kerugian sekitar US$150 juta per
tahun. Asrul (2004) menyatakan bahwa selain menurunkan produksi dan mutu biji
kakao, PBK berpotensi menjadi ancaman terhadap keberlanjutan perkakaoan
nasional, karena serangan hama ini terus meluas ke daerah sentral komoditas kakao
di Indonesia.

Menurut Sulistyowati et al., (2003) C. cramerella menyerang buah kakao


yang masih muda sampai dengan buah panen dan cenderung lebih menyukai buah
kakao yang panjangnya ± 9 cm. Serangan hama ini dapat menyebabkan penurunan
produksi buah kakao sampai > 80% dan relatif sulit dikendalikan. Lim (1992)
menambahkan bahwa selain menurunkan produksi, serangan hama ini juga
menyebabkan kualitas biji menjadi rendah. Pada tahun 2000 dilaporkan bahwa
serangan hama ini mencapai 60.000 ha dengan kehilangan hasil sebesar
Rp.405.643.680.000,-/tahun (Ditjenbun, 2008). Larva berwarna putih kekuningan
atau kehijauan dengan panjang maksimum 11 mm terdiri dari 5 instar. Lama stadia
larva berkisar antara 14 – 18 hari. Menjelang berpupa, larva keluar dari buah dan
berpupa pada permukaan buah, pada daun, serasah atau di tempat lain yang agak
tersembunyi, bahkan pada kendaraan yang digunakan untuk mengangkut hasil
panen (Wardojo, 1980). Hasil penelitian Anshary, Wahid dan La’lang (2004)
menunjukkan bahwa predator D. thoracicus ditemukan pada ekosistem pertanaman
kakao dan dapat dipelihara dengan memberi pakan larutan madu. Selain itu
Anshary dan Pasaru (2006) melaporkan bahwa D. thoracicus mempunyai potensi
dalam memangsa larva instar akhir C. cramerella.

Pengendalian hama PBK sulit dilakukan, karena saat telur menetas menjadi
larva langsung masuk dan berkembang di dalam buah kakao (Wardojo,
1981).Pengendalian dengan menggunakan insektisida sintetik yang selama ini
dilakukan oleh petani kakao terbukti belum efektif. Hasil penelitian Sulistyowati et
al.(2002) menunjukkan bahwa penggunaan fipronil dengan konsentrasi 0,2-0,4%
hanya menurunkan persentase serangan sebesar 40,72% sampai 66,82%,
sedangkan deltametrin hanya mampu menurunkan persentase serangan sebesar
43,94% sampai 52,93%. Berbagai metode pengendalian alternatif yang telah
diteliti dan sebagian telah diaplikasikan dalam skala terbatas adalah sistem pangkas
eradikasi (Lala et al., 2005), pengendalian secara biologi dengan parasitoid
Trichogramma bactrae fumata, entomopatogen Beauveria bassiana(Mustafa, 2005),
semut hitam Dolichodeus thoracicus(Anshary, 2009),nematoda Steinernemasp.
(Rosmana et al., 2009),secara fisik dengan penyarungan buah (Mustafa, 2005;
Suwitra et al., 2010) dan pengendalian dengan pestisida nabati (Sjam, 2006; Asaad
dan Willis, 2012). Teknologi pengendalian tersebut dapat menurunkan intensitas
serangan PBK dan tingkat kerusakan biji kakao, akan tetapi belum mampu
mengendalikan larva yang sudah masuk ke dalam buah.
III. MENGENAL HAMA UTAMA PADA TANAMAN KAKAO

3.1. Pengertian Hama Penggerek Buah Kakao (PBK)

Gambar 3.1.1. Hama Penggerek Buah Kakao (PBK)

Hama penggerek buah kakao atau sering disebut PBK merupakan salah
satu hama yang paling sering dijumpai dalam budidaya kakao. Hama ini
menyerang buah dan menyebabkan turunnya kuantitas dan kualitas hasil. Hampir
semua wilayah penanaman kakao di Indonesia mengenal hama penggerek buah
kakao. Nama ilmiah hama ini adalah Conophomorpa cramerella.
Hama penggerek buah merupakan salah satu OPT (Organisme
Pengganggu Tanaman) yang cukup berbahaya pada tanaman kakao. Hama ini
menyerang buah kakao dan menyebabkan kerusakan pada buah, sehingga
berakibat pada penurunan produksi dan penurunan kualitas kakao. Hama
penggerek buah kakao (PBK) dapat menyebabkan penurunan produksi hingga
80%, oleh karena itu hama ini dianggap hama paling penting yang perlu
diwaspadai. Hama perusak buah kakao ini sering ditemukan pada hampir seluruh
perkebunan kakao di Indonesia. Harga kakao yang rendah ini selalu dihubungkan
dengan adanya serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK). Serangan PBK
pada buah mengakibatkan biji gagak berkembang, biji di dalam buah akan saling
melekat, bentuknya kecil dan ringan. Buah muda yang terserang mengalami
perubahan warna sebelum matang. Serangan PBK menyebabkan persentase biji
cacat meningkat sehinga biaya pemanenannya pun bertambah. Kulit buah yang
terserang akan sangat mudah ditumbuhi jamur. Bila buah matang terserang maka
biji-biji tidak akan berbunyi pada waktu diguncang karena sudah saling melekat.
Hama penggerek buah kakao (PBK) adalah Conopomorpha cramerella,
yaitu salah satu jenis serangga perusak pada tanaman kakao. Hama ini menyerang
buah kakao muda hingga buah yang hampir matang. Serangga C. cramerella
merusak buah kakao dengan cara meletakkan telur-telurnya pada permukaan buah
kakao, setelah beberapa hari telur-telur tersebut akan menetas. Kemudian larva
atau ulat yang telah menetas langsung menggerek kulit buah hingga kedalam
daging buah. Sehingga akan mengakibatkan kerusakan pada buah, tertama biji
kakao. Selanjutnya larva keluar dari dalam buah kakao dan membentuk pupa,
setelah itu berubah menjadi serangga dewasa (imago).

3.2. Siklus Hidup Hama Penggerek Buah Kakao (PBK)

Gambar 3.2.1. Siklus Hidup Hama Penggerek Buah Kakao (PBK)

Hama penggerek buah kakao adalah serangga yang bermetamorfosis


sempurna. Siklus hidupnya dimulai dari telur yang berubah menjadi larva. Dari
larva menjadi imago (serangga dewasa) yang akan berkembang biak untuk
memulai siklus hidup lagi. Lamanya waktu yang dibutuhkan dalam satu siklus
kurang dari 35 hari.

1. Telur

Telur berwarna orange pada saat diletakkan dan menjadi kehitaman bila
akan menetas, berbentuk oval, berukuran sangat kecil (0,5 mm) dan lebar 0,2-0,3
mm, sehingga sulit dilihat, Telur diletakkan pada permukaan kulit buah pada
lekukan buah. Hama ini meletakkan telurnya di permukaan buah kakao yang
berusia 3 – 4 bulan. Setelah menetas larva menggerek masuk ke dalam buah.
Masa telur diperkirakan 3 – 7 hari. Serangga betina dapat menghasilkan 100 – 200
telur.

2. Larva (ulat)

Larva berwarna putih kekuningan atau kehijauan dengan panjang


maksimum 11 mm terdiri dari 5 instar. Larva (Ulat) adalah tahap yang paling
merusak. Setelah telur menetas menjadi larva, langsung menggerek kedalam buah
dan memakan plasenta. Meninggalkan kotoran berwarna coklat. Larva
membutuhkan 14 – 18 hari untuk menjadi dewasa dan keluar dari dalam buah.
Berukuran panjang 1,2 cm berwarna hijau keputihan. Larva keluar membentuk
pupa pada daun, kulit buah.

3. Pupa (kepompong)

Biasanya larva berkepompong pada daun atau alur buah, dan larva
membuat lubang keluar dengan benang-benang sutra yang keluar dari mulutnya.
Melalui benang tersebut, larva turun ke tanah dan menggulung menjadi
kepompong. Pupa biasanya menempel pada bagian bawah daun kering dan hijau
dan kulit buah yang aman dari sinar matahari, pemangsa dan genangan air. Pupa
berwarna abu-abu yang terbungkus dengan “lapisan lilin” (membran) berwarna
orange, berukuran ± 0,8 cm. Setelah 5 – 7 hari kemudian berubah menjadi
serangga (imago).

4. Imago

Serangga ini berukuran panjang ± 0,7 cm dan lebar ± 0,2 cm dengan


bentangan sayap ± 1,2 cm, memiliki antena yang lebih panjang daripada tubuhnya
dan gelang disepanjang tubuhnya, berwarna coklat keabu-abuan, pada bagian
sayap terdapat garis berwarna putih berbentuk zig-zag, berwarna kuning-orange
pada ujung sayap, hidup dalam masa 3 – 7 hari. Imago aktif mulai senja sampai
malam hari, pada pukul 18.00 – 20.30, pada siang hari serangga ini beristirahat
dibawah dahan yang horizontal, aman dari sinar matahari dan angin. Setelah
bertelur akan mati. Berikut adalah taksonomi hama penggerek buah kakao (PBK).
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Family : Gracillariidae
Genus : Conopomorpha
Spesies : C. Cramerella

3.3 Gejala Serangan Hama Penggerek Buah Kakao (PBK)

Gambar 3.3.1 Gejala Serangan Hama Penggerek Buah Kakao

Serangan hama penggerek buah kakao dapat dikenali dari perubahan warna
kulit buah menjadi belang hijau-kuning atau tampak seperti matang sebelum
waktunya. Buah ini bila dibuka, bagian dalamnya akan berwarna coklat kehitaman.
Pada kulit buah yang terserang juga terdapat garis hitam yang merupakan bekas
liang gerekan larva penggerek buah kakao. Biji dari buah yang terserang biasanya
berukuran kecil dan saling berdempetan satu sama lain. Biji ini sulit dikeluarkan
karena melekat kuat pada kulit buah. Biji dari buah yang terserang penggerek buah
kakao umumnya memiliki kadar lemak yang rendah sehingga harga jualnya pun
rendah.
Terdapat lubang bekas telur serangga/lubang bekas keluarnya larva pada
permukaan kulit buah yang terinfeksi, buah masak sebelum waktunya, buah rontok
/ jatuh ke tanah sebelum matang, buah yang terserang berwarna belang kuning
hijau atau kuning jingga, perkembangan buah lambat dan tidak normal, kulit buah
mengeras dan sulit dibelah, jika dibelah biji saling berdempet dan berwarna hitam,
biji kakao berukuran kecil karena perkembangannya tidak sempurna, jika dikocok
buah kakao tidak berbunyi karena biji saling melekat.

Hama penghisap buah dapat menyerang buah kakao saat pagi dan sore hari.
Karena ia tidak menyukai keberadaan cahaya, ketika siang hari hama ini biasanya
bersembunyi di bagian tanaman yang gelap seperti sela-sela atau bagian daun yang
menghadap ke bawah.

Hama penghisap buah dapat menyerang saat masih dalam fase nimfa dan
imago. Serangan dilakukan dengan cara menusuk kulit buah muda maupun yang
sudah tua menggunakan mulutnya yang menyerupai jarum. Mulutnya itu kemudian
menghisap cairan manis yang ada di dalam kulit buah, lalu bersama dengan
tusukan tersebut mulutnya mengeluarkan cairan racun yang dapat mematikan sel
dan jaringan yang terdapat disekitar lubang tusukan.

Serangan pada buah muda menyebabkan kulit buah menjadi retak dan
terjadinya pertumbuhan buah yang abnormal (malformasi). Karena
pertumbuhannya abnormal, perkembangan bijipun akan terhambat dan
mengakibatkan penurunan produktivitas hasil panen.Pada intensitas serangan yang
tinggi, buah muda yang terserang bisa mati, mengering, dan gugur.

Serangan pada buah tua menyebabkan kulit buah dipenuh dengan bintik-
bintik hitam yang merupakan luka bekas tusukan. Namun serangan pada buah tua
biasanya jarang terjadi karena kulit buah sudah terlalu keras dan tidak mengandung
cairan yang bisa dimakan oleh hama penghisap. Serangan dapat pula terjadi pada
pucuk daun muda. Daun muda yang terserang biasanya dalam beberapa hari
langsung layu, mengering, dan akhirnya mati. Daun-daun tersebut pada akhirnya
akan gugur dan ranting akan merangas kering dan akan menjadi seperti lidi.
3.4. Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao (PBK)

Gambar 3.4.1 Pengendalian Hama PBK Secara Sarungisasi

Secara umum, pengendalian serangan hama penggerek buah kakao dapat


dilakukan dengan cara kultur teknis, biologis, dan kimiawi. Pengendalian hama
PBK dapat dilakukan dengan cara kultur teknis antara lain dengan sanitasi,
pemangkasan, panen sering, pemupukan dan sarungisasi. Sanitasi dilakukan pada
buah terserang yang baru dipanen dengan cara menimbun buah–buah terserang
tersebut ke dalam lobang tanah kemudian ditutup tanah setebal 20 cm. Hal ini
dilakukan agar PBK yang ada pada buah tersebut mati. Pemangkasan dilakukan
untuk mengatur kondisi lingkungan pertanaman kakao agar tidak terlalu lembab
sehingga tidak mendukung perkembangan populasi PBK. Pemangkasan dilakukan
terhadap tanaman kakao maupun tanaman penaung pada awal musim hujan.
Pemotongan cabang tanaman kakao dilakukan terhadap cabang yang arahnya ke
atas, diluar batas 3-4 m. Luka bekas potongan harus ditutupi dengan obat penutup
luka. Panen sering dilakukan dengan tujuan untuk memutus siklus perkembangan
hama PBK. Panen dilakukan seminggu sekali terhadap buah yang sudah masak
baik masak sempurna maupun masak awal, kemudian segera dipecah atau diproses.
Pemupukan dilakukan setelah pemangkasan, untuk meningkatkan ketahanan
tanaman terhadap serangan PBK dengan jenis, dosis dan waktu yang tepat.
Sarungisasi dilakukan untuk mencegah serangan PBK, dengan menggunakan
kantong plastik yang dilobangi bagian bawahnya agar air bisa keluar dan tidak
lembab sehingga tidak terjadi pembusukan. Penyarungan dilakukan pada saat buah
berukuran 8-10 cm.

Gambar 3.4.2 Pemberian Semut Hitam dan Bokashi

Pengendalian secara biologi dapat dilakukan dengan menggunakan semut


predator, jamur Beauveria bassiana dan parasitoid telur Trichogrammatoidea spp.
Peningkatan populasi semut khususnya semut hitam dapat dilakukan dengan
memasang lipatan daun kelapa kering atau daun kakao kering dan koloni kutu
putih. Semut hitam bersimbiose dengan kutu putih yang menghasilkan cairan yang
mengandung banyak gula. Kutu sendiri mengisap cairan dari tanaman yang
mengandung gula dan mengeluarkan sebagian gula tersebut bersama kotorannya.
Semut memerlukan gula yang dihasilkan kutu tersebut sehingga melindungi kutu
dari serangan serangga lain. Populasi semut hitam dapat dipelihara dan
ditingkatkan dengan menempatkan lipatan daun kelapa kering dan dapat ditambah
dengan gula merah dalam sepotong bambu. Untuk memindahkan kolon semut dari
satu pohon ke pohon lainnya dapat dilakukan dengan memindahkan bambu yang
telah berisi semut. Koloni semut tersebut akan menetap dan berkembang jika ada
kutu putih. Penempatan kutu putih dapat dilakukan dengan memindahkan dari
tanaman lain. Semut rangrang berwarna coklat ke merahmerahan, panjang 5 -10
mm. Biasanya membuat sarang di antara daun pohon yang ditempelkan dengan
selaput lilin. Semut ini sangat ganas, menyerang siapa saja yang mengganggunya,
sehingga serangga hama seperti PBK dan Helopeltis tidak dapat mendekat. Untuk
menarik kehadiran semut rangrang pada tanaman dapat dilakukan dengan
meletakkan bangkai binatang atau serangga pada tanaman tersebut. Selanjutnya
setelah semut tersebut menetap, dapat disebar ke tanaman lainnya dengan
meletakkan sepotong bambu, kayu atau tali sebagai jembatan diantara tanaman-
tanaman tersebut. Penyemprotan jamur B. bassiana sebaiknya dilakukan pada buah
kakao muda dengan dosis 50-100 gram spora/ha sebanyak 5 kali. Beberapa
Keunggulan cendawan B. bassiana sebagai pestisida alami yaitu :

1. Selektif terhadap hama sasaran, sehingga tidak membahayakan serangga lain


bukan sasaran seperti predator, parasitoid, serangga penyerbuk dan serangga
berguna lebah madu

2. Tidak meninggalkan residu beracun pada hasil pertanian, dalam tanah maupun
pada aliran air alami

3. Tidak menyebabkan fitotoksik (keracunan) pada tanaman

4. Mudah diproduksi dengan teknik sederhana

5. Untuk memperoleh hasil pengendalian yang efektif, penyemprotan sebaiknya


dilakukan sore hari (pukul 15.00 – 18.00) untuk mengurangi kerusakan oleh sinar
matahari

6. Formulasi B. bassiana sebaiknya disimpan di tempat sejuk untuk


mempertahankan efektifitasnya dan sedapat mungkin dihindarkan dari pengaruh
panas secara langsung

Pengendalian kimiawi dilakukan bila serangan hama penggerek buah


kakao di kebun sudah dalam intensitas yang tinggi. Pengendalian kimiawi
sebaiknya dilakukan setelah teknik pengendalian kultur teknis dan pengendalian
biologi usai dilakukan. Pengendalian kimiawi hama penggerek buah kakao dapat
dilakukan dengan aplikasi insektisida kontak maupun sistemik dari bahan aktif
seperti Propoxar 0,1% dan Deltametrin 0,0015% .
DAFTAR PUSTAKA

Anshary, Alam. 2009. Penggerek buah kakao, Conopormopha cramerella Snellen


(Teknik pengendaliannya yang ramah lingkungan). Jurnal Agroland. Vol
16, No 4, 258-264.

Azzamy. 2016. Teknik pengendalian hama penggerek buah kakao. Dikutip dari
https://mitalom.com/teknik-pengendalian-hama-penggerek-buah-kakao-
hama-pbk/. (Diakses pada tanggal 22 Oktober 2019 jam 09.46 WIB).

Samsudin. 2013. Sinergisme heterorhabditis sp. dengan penyaringan buah dalam


mengendalikan penggerek buah kakao Conopomorpha cramerella. Jurnal
Tanaman Industri dan Penyegar. Vol 4, No.1, 1-8.

Siswanto. 2012. Pengendalian hama utama kakao (Conopomorpha cramerella dan


Helopeltis spp.) dengan pestisida nabati dan agens hayati. Dikutip dari
http://perkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbasebun/Pene
rbitan-20141207121322.pdf. Jurnal Perkebunan Litbang Pertanian . Vol
11, No.2, 103-112.

Sulhan, Agus Andi. 2015. Penggerk buah kakao. Dikutip dari


https://agusandisulhan.blogspot.com/2015/12/penggerek-buah-
kakao.html. (Diakses pada tanggal 22 Oktober 2019 jam 10.00 WIB).

Syarkawi. 2015. Pengaruh tinggi tempat terhadap tingkat serangan hama


penggerak buah kakao (Conopomorpha cramerella Snellen) di kabupaten
pidie. Jurnal Floratek. Vol 10, No.2, 52-60.

Anda mungkin juga menyukai