Anda di halaman 1dari 15

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanaman kakao merupakan salah satu komoditas unggulan yang sedang

diusahakan perluasan, peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi untuk

meningkatkan produksi serta perbaikan mutu hasil kakao (Robiyan et al., 2014).

Aspek yang paling diperhatikan dalam usaha peningkatan jumlah produksi dan

mutu hasil kakao adalah pengendalian hama dan penyakit. Serangan hama dan

penyakit merupakan hambatan terbesar dalam peningkatan hasil produksi dan

mutu hasil kakao.

Petani dalam mengendalikan hama dan penyakit pada kakao umumnya

masih menggunakan pestisida kimia. Penggunaan pestisida kimia sangat cepat

berkembang dibandingkan dengan teknologi pengendalian lain karena mempunyai

efek cepat dilihat hasilnya dan mudah dalam aplikasi. Pestisida kimia mempunyai

dampak yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan juga menyebabkan

ketidakseimbangan agroekositem yang menguntungkan bagi perkembangan hama

dan penyakit akibat matinya musuh alami.

Upaya terbaik untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit pada buah

kakao yaitu dengan menerapkan konsep PHT. Konsep PHT merupakan rekayasa

teknologi yang berwawasan lingkungan, setiap pelaksanaan pembangunan

khususnya petani dituntut memahami elemen dasar PHT yang meliputi: penepatan

ambang ekonomis pengendalian hama, dan penguasaan teknik pemantauan

populasi hama (Abdullah, 2012). Komponen PHT yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya serangan hama pada kakao yaitu dengan cara sanitasi,

pemangkasan, pembubunan dan pemupukan, penyelubungan (kondomisasi),

penggunaan agen hayati, dan panen satu minggu sekali. Penerapan komponen

PHT ini menjadi satu cara yang dapat dilakukan agar produk pertanian bebas

residu pestisida.

A. Tujuan

Tujuan dilaksanakan praktikum ini yaitu sebagai berikut:

1. Praktikan dapat mengetahui jenis hama dan penyakit pada tanaman kakao.

2. Praktikan dapat menerapkan beberapa komponen PHT pada tanaman kakao.

3. Praktikan dapat mengetahui keuntungan penerapan masing-masing komponen

PHT pada tanaman kakao.


II. TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman kakao merupakan tanaman yang berasal dari daerah tropis di

Amerika Selatan. Tanaman kakao menghendaki lahan dengan keadaan tanah dan

iklim tertentu untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik,. Iklim yang

sesuai untuk tanaman kakao adalah iklim dengan curah hujan cukup dan hujan

yang terdistribusi merata sepanjang tahun (curah hujan rata-rata antara 1500-2500

mm/tahun), dengan bulan kering kurang dari 3 bulan/tahun, suhu rata-rata antara

15-30°C, tidak ada angin yang bertiup kencang. Sejumlah faktor iklim dan tanah

menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. (Safuan et al.,

2013).

Tanaman kakao membutuhkan naungan untuk pertumbuhan atau sering

disebut shade loving tree. Meskipun tanaman kakao adalah tanaman yang

membutuhkan naungan, tanaman kakao tetap membutuhkan intensitas cahaya

tertentu untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Regazzoni et al., 2014).

Tanaman kakao muda membutuhkan intensitas cahaya sekitar 25–60% dari

intensitas cahaya penuh untuk pertumbuhan yang terbaik. Intensitas 50–70%

dilaporkan memberikan produksi tertinggi untuk kakao dewasa (Prawoto, 2012).

Hama utama tanaman kakao di Indonesia antara lain penggerek buah kakao

(Conopomorpha cramerella) dan kepik pengisap buah (Helopeltis spp.).

Penggerek buah kakao (PBK) (Conopomorpha cramerella Snell.) adalah salah

satu hama penting yang dapat menimbulkan kehilangan hasil hingga 80-90%.

Larva serangga hama ini memakan plasenta buah yang merupakan saluran
makanan menuju biji sehingga mengakibatkan penurunan hasil dan mutu biji

kakao. Kehilangan hasil terjadi karena buah kakao yang terserang PBK bijinya

menjadi lengket dan kandungan lemaknya menurun. Serangan pada buah kakao

muda mengakibatkan kehilangan hasil yang lebih besar karena buah akan

mengalami kerusakan dini dan tidak dapat dipanen (Limbongan, 2011).

Stadium yang merusak dari hama kepik Helopeltis spp adalah nimfa

(serangga muda) dan imagonya yang menyerang buah muda dengan cara

menusukkan alat mulutnya. Kepik tersebut juga mengeluarkan cairan yang

bersifat racun yang dapat mematikan sel-sel jaringan yang ada di sekitar tusukan.

Selain buah, hama ini juga menyerang pucuk dan daun muda. Hama ini dapat

menyebakan penurunan hasil 50-60% (Ramlan, 2010).

Penyakit utama yang menyerang tanaman kakao adalah penyakit busuk

buah. Penyakit busuk buah merupakan penyakit yang disebabkan oleh patogen

Phytopthora palmivora. Gejala pertama yang ditimbulkan oleh adanya serangan

patogen ini yaitu umumnya di mulai dari titik pertemuan antara tangkai buah

dengan buah atau ujung buah yang berupa bercak berwarna cokelat. Bercak

cokelat ini akan meluas dengan cepat ke seluruh buah pada udara yang lembab

dan menyebabkan buah menjadi hitam. Gejala yang muncul pada buah muda yaitu

biji akan mengkerut dan terhambat pertumbuhannya, tetapi jika biji sudah masak

biasanya tidak akan terganggu (Suananto, 1992).

Menyadari akan manfaat dan kelemahan pengendalian hama penyakit

menggunakan pestisida kimia maka perlu upaya pengendalian yang efektif dan

efisien dan pemerintah mengintroduksikan program Pengendalian Hama Terpadu


(PHT) pada tanaman perkebunan kakao. Tujuan penerapan PHT di perkebunan

kakao adalah untuk mendorong pendekatan pengendalian OPT yang dinamis dan

aman terhadap lingkungan oleh petani perkebunan melalui pemberdayaan

kelompok tani dengan dukungan perangkat pemerintah terkait. Program PHT

diharapkan berpengaruh terhadap peningkatan produktifitas hasil dan pendapatan

petani, pengurangan penggunaan pestisida, meningkatkan mutu hasil dan

menghasilkan produk perkebunan bebas residu pestisida serta mempertahankan

dan melindungi kelestarian lingkungan (Meilin, 2011).

Konsep PHT pada dasarnya masih menggunakan peran pestisida dalam

membantu pengendalian. Namun, penggunaan pestisida ini hanya dilakukan bila

populasi hama berada di atas aras populasi hama yang dinamakan Ambang

Ekonomi (AE). Bila populasi hama masih di bawah AE, pengendalian dengan

pestisida tidak perlu dilakukan karena proses pengendalian hama secara alami

masih berjalan efektif (Untung, 2013).


III. PEMBAHASAN

Kakao merupakan satu-satunya dari 22 jenis marga Theobroma, suku

Sterculiaceae, yang diusahakan secara komersial. Tjitrosoepomo (1988)

menjelaskan bahwa sistematika tanaman ini sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub-divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Famili : Sterculiaceae

Genus : Theobroma

Spesies : Theobroma cacao L.

Produktivitas kakao Indonesia hingga saat ini masih rendah. Penyebabnya

yaitu bahan tanaman yang kurang baik, teknologi budidaya yang kurang optimal,

tanaman sudah berumur tua, serta masalah serangan organisme pengganggu

tanaman (OPT). Rata-rata kehilangan hasil akibat OPT diperkirakan mencapai

30% setiap tahunnya bahkan ada penyakit penting yang dapat mengakibatkan

kematian tanaman, sehingga dalam budidaya kakao pada umumnya sekitar 40%

dari biaya produksi dialokasikan untuk biaya pengendalian OPT (Karmawati et

al., 2010). Beberapa hama dan penyakit banyak ditemukan pada tanaman kakao

diantaranya hama penggerek buah kakao (Conopomopha cramerella) dan kepik

pengisap buah (Helopeltis spp.) (Siswanto dan Karmawati, 2012).

Penggerek batang kakao (Conopomorpha cramerella) (Famili

Gracillariidae; Ordo Lepidoptera) menyerang tanaman kakao hampir di seluruh


daerah utama penghasil kakao di Indonesia. Hama ini menyerang buah yang

masih muda sampai dengan buah yang sudah masak. Serangan hama ini dapat

menyebabkan penurunan produksi buah kakao hingga lebih dari 80% dan relatif

sulit dikendalikan (Sulistyowati et al., 2003). Stadia yang menimbulkan kerusakan

yaitu larva yang menyerang buah kakao berukuran 3 cm sampai menjelang masak.

Larva merusak buah dengan memakan daging buah, membuat saluran ke biji

menyebabkan biji saling melekat, berwarna kehitaman, ukuran mengecil dan

berukuran kecil sehingga kualitas biji menjadi rendah. Buah yang terserang

ditandai dengan memudarnya warna kulit buah, muncul warna belang hijau

kuning atau merah jingga. Buah yang sudah tua apabila diguncang tidak berbunyi

karena bijinya saling melekat (Siswanto dan Karmawati, 2012).

Kepik penghisap buah Helopeltis spp (Famili Miridae; Ordo Hemiptera)

merupakan salah satu hama utama kakao yang banyak dijumpai hampir di seluruh

provinsi di Indonesia. Jenis Helopeltis yang menyerang tanaman kakao diketahui

lebih dari satu spesies, yaitu H. antonii, H. theivora dan H. claviver (Karmawati et

al., 2010). Stadia yang merusak dari hama ini adalah nimfa (serangga muda) dan

imagonya. Nimfa dan imago menyerang buah muda dengan cara menusukkan alat

mulutnya ke dalam jaringan, kemudian mengisap cairan di dalamnya. Kepik

tersebut juga mengeluarkan cairan yang bersifat racun yang dapat mematikan sel-

sel jaringan yang ada di sekitar tusukan. Selain buah, hama ini juga menyerang

pucuk dan daun muda (Siswanto dan Karmawati, 2012).


Menerapkan komponen PHT tanaman kakao secara bertahap untuk

pencegahan dan pengendalian hama dan penyakit. Penerapan komponen PHT

yang dilakukan yaitu:

1. Sanitasi Lingkungan

Sanitasi dilakukan dengan membersihkan areal pertanaman kakao dari

seresah daun, cabang atau ranting kering, gulma, buah kakao yang busuk

serta apapun yang dikhawatirkan akan menjadi sarang atau sumber

berkembangbiaknya hama dan penyakit. Sanitasi akan mengurangi

kelembaban di sekitar pertanaman sehingga memutus siklus hidup hama dan

berkembangnya penyakit. Abdullah (2012) menyatakan bahwa sanitasi buah

busuk terbukti sangat penting kerena dapat memutus siklus hidup dengan

membunuh larva PBK. Sanitasi yang dilakukan yaitu membelah buah busuk

dan membenamkan kulit buah, plasenta dan sisa panen lainnya yang bergejala

ke dalam lubang tanah kemudian ditutup tanah setebal 20-30 cm.

Seresah daun kering di sekitar tanaman kakao merupakan sumber bahan

organik potensial yang bisa dihasilkan dengan langsung membenamkannya

atau mencampurkan dengan pupuk lainnya. Seresah daun kakao banyak

mengandung hara mineral khususnya nitrogen, kalium serta serat, lemak dan

sejumlah asam organik yang dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak maupun

kompos. Seresah dapat menjaga keseimbangan suhu tanah dengan lapisan

udara dekat tanah, menjaga tekstur tanah agar tetap remah dan tidak cepat

padat, mencegah timbulnya penyakit tanaman akibat percikan tanah oleh air

hujan serta menjadi sumber humus (Agusta et al., 2016). Ikbal et al (2014)
menyatakan bahwa seresah daun kakao merupakan kondisi habitat yang

paling disukai oleh semut untuk beraktivitas dan bersarang, sehingga dapat

digunakan juga untuk pembuatan sarang semut.

2. Pemangkasan

Bagian tanaman kakao yang dilakukan pemangkasan yaitu cabang tunas

air, cabang yang paling banyak terkena sinar matahari, cabang yang sangat

berdekatan, cabang yang tidak normal, cabang sakit, cabang mati, cabang

rusak dan cabang tidak produktif. Pemangkasan merupakan proses

pemeliharaan tanaman kakao yang bertujuan untuk memperoleh produksi

tinggi dan optimum. Hal ini seseuai dengan pernyataan Prawoto (2008)

bahwa pemeliharaan tanaman kakao dengan cara membuang tunas-tunas liar

seperti cabang-cabang yang tidak produktif, cabang sakit, cabang kering, dan

cabang overlapping terutama dalam mengatur iklim mikro yang tepat bagi

pertumbuhan bunga dan buah atau untuk mengatur jumlah dan sebaran daun.

Pemangkasan bertujuan untuk memelihara tanaman kakao sehingga

pertumbuhannya tidak terganggu dan terpacu untuk membentuk organ-organ

tanaman seperti daun, bunga, dan buah


Pemupukan dilakukan dengan cara memberikan pupuk pada sekitar areal

pertanaman kakao sejauh tajuk tanaman yang terbentuk. Hal itu disebabkan

agar pemupukan yang diberikan efektif mengingat bahwa jarak akar yang

terbentuk tergambarkan sejauh jarak tajuknya.

3. Pembungkusan Buah

Pembungkusan buah kakao dengan kantong plastik bertujuan untuk

menghindari serangan hama PBK dan kepik Helopeltis spp sehingga kualitas

buah terjaga. Pengendalian dengan pembungkusan buah cukup efektif

mencegah peletakan telur pada kulit buah, akan tetapi memerlukan tenaga

serta biaya yang sangat banyak dan ketepatan waktu penyarungan (Rosmana

et al., 2010). Pembungkusan kakao saat buah masih muda dapat

mempengaruhi pertumbuhan tanaman kakao, hal ini karena buah masih muda

masih dalam fase pertumbuhan dan perkembangan apabila dibungkus maka

pertumbuhan dan perkembangannya akan terhambat. Pembungkusan kakao

paling tepat dilakukan saat buah berukuran 8 cm, karena pada saat ukuran

buah ini respirasinya sudah sedikit dibandingkan dengan yang masih muda

(Suwitra, et al., 2010).

4. Penggunaan Musuh Alami

Pengendalian PHT secara hayati dilakukan dengan predator semut

hitam. Sarang buatan pada tanaman kakao dibuat dengan menggunakan tas

kresek berwarna hitam yang diisi dengan seresah daun kakao serta gula

merah, kemudian diletakkan di percabangan. Fungsi gula merah yang

diletakkan pada saat pembrongkosan untuk menarik datangnya semut ke


dalam tempat tersebut sehingga populasi semut akan meningkat dan

menyebar ke ranting dan buah untuk mencari makanan.

Semut hitam merupakan salah satu musuh alami dari hama pertanaman

kakao yaitu pengerek buah, semut hitam memakan larva-larva dari si

pengerek. Adanya populasi semut yang tinggi dan berjalan-jalan

menyebabkan kepik Helopeltis spp tidak memiliki ruang untuk mengisap

buah. Mekanisme pembrongkosan yaitu perbanyakan populasi semut dengan

cara penempatan sarang semut yang sudah diberi gula pada cabang primer

tanaman kakao. Adanya gula akan menarik semut untuk datang dan

selanjutnya akan berkembangbiak dan menjadi musuh dari hama PBK dan

kepik Helopeltis spp. Peletakan sarang semut pada cabang primer akan

mendatangkan semut hitam lebih banyak dibandingkan pada pangkal batang

dan pada batang bagian tengah (Anshary, 2009).

Perbanyakan semut hitam pada kakao sebagai musuh alami dapat

dilakukan juga dengan memasang lipatan daun kelapa kering atau daun kakao

kering dan koloni kutu putih. Kutu sendiri mengisap cairan dari tanaman yang

mengandung gula dan mengeluarkan sebagian gula tersebut bersama

kotorannya. Baik disengaja ataupun tidak disengaja semut hitam turut

membantu dalam menyebarkan nimfa kutu putih serta melindunginya dari

serangga lain karena adanya manfaat yang dirasakan oleh semut hitam

(Siswanto dan Karmawati, 2012).


III. PENUTUP

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penerapan komponen PHT pada

tanaman kakao yaitu:

1. Hama dan penyakit utama tanaman kakao di Indonesia saat ini yaitu hama

penggerek buah kakao (Conopomorpha cramerella), kepik pengisap buah

(Helopeltis spp.) dan penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora Bult.).

2. Komponen PHT yang diterapkan pada tanaman kakao sebagai upaya

pengendalian dari hama dan penyakit adalah sanitasi, pemupukan

pembrangkasan atau pembuatan sarang semut, pembungkusan buah, dan

pemangkasan.

3. Masing-masing komponen PHT yang diterapkan mempunyai keuntungan.

Sanitasi dilakukan agar sekitar tanaman bersih dari seresah daun ataupun

buah kakao yang busuk, sehingga kelembaban terjaga dan tidak menjadi

inang bagi hama atau penyakit. Pemupukan dilakukan untuk menambah dan

mengganti unsur hara yang hilang agar tanaman tidak mudah terserang hama

dan penyakit serta pertumbuhan dan perkembangan tanaman tidak terganggu.

Pembuatan sarang semut dilakukan agar semut datang dan membuat sarang

sehingga dapat menjadi musuh alami bagi hama kakao. Pembungkusan buah

dilakukan agar buah terhindar dari serangan hama penggerek buah kakao.

Pemangkasan dilakukan agar hasil fotosintat secara maksimal ke cabang-

cabang produktif tanaman kakao dan semua cabang mendapat sinar matahari.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T. 2012. Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Kakao:


Pengetahuan Sikap dan Tindakan Petani. Jurnal Agroplantae. Vol
1(2): 95-102.

Agusta, P. T. B., S. Y. Tyasmoro., dan H. T. Sebayang. 2016. Respon


Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma cacao L.) Pada Berbagai Jenis
Media Tanam. Jurnal Produksi Tanaman. Vol 4 (4): 276-282.

Anshary, A. 2009. Penggerek Buah Kakao Conopomorpha cramerella Snellen


(Teknik Pengendaliannya yang Ramah Lingkungan). Jurnal Agroland.
Vol 16(4).

Danial, D., Y. Fiana., F. Handayani., M. Hidayanto. 2015. Peningkatan produksi


dan mutu kakao melalui kegiatan Gernas di Kalimantan Timur.
Prosiding Seminas Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. Vol
1(5): 1203-1210.

Ikbal, M., N. S. Putra., E. Martono. 2014. Keragaman Semut pada Ekosistem


Tanaman Kakao di Desa Banjaroya Kecamatan Kalibawang
Yogyakarta. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. Vol 18(2): 79-
88.

Karmawati, E., Z. Mahmud., M. Syakir., J. Munarso., K. Ardana., dan Rubiyo.


2010. Budidaya dan Pasca Panen Kakao. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan, Jakarta.

Limbongan, J. 2011. Karakteristik Morfologis dan Anatomis Klon Harapan Tahan


Penggerek Buah Kakao sebagai Bahan Tanam. Jurnal Litbang
Pertanian. Vol 31(1): 14-20.

Lukito., Mulyono., Tety, Y., H. Iswanto., dan N. Riawan. 2010. Buku Pintar
Budidaya Kakao. Agro Media Pustaka, Jakarta.

Meilin, A. 2011. Perkembangan Implementasi dan Teknologi Pengendalian Hama


Terpadu pada Tanaman Kakao di Indonesia. Jurnal Ilmiah Universitas
Batanghari Jambi. Vol 11(3): 1-11.

Prawoto, A. A. 2008. Kakao:Tali Okulasi Kakao. Penebar Swadaya, Jakarta.

Prawoto, A. A. 2012. Impact of Teak (Tectona grandis Linn.) Thinning Out and
Peacockplume [Paraserianthes falcataria L. (I. Nielsen)] Harvesting
on Mineral Cycle, Pod Rot Incidence, Changing of Cocoa Yield, and
Land Productivity in Indonesia. Journal of Agricultural Science and
Technology. Vol 2: 438–448.

Ramlan, 2010. Pengelolaan Penyakit Busuk Buah Kakao. Prosiding Seminar


Ilmiah PEI dan PFI XX Komisariat Daerah: Sulawesi Selatan.

Regazzoni, O., Y. Sugito., A. S., dan Prawoto, A. A. 2014. Karakteristik Fisiologi


Klon-Klon Kakao (Theobroma cacao L.) di Bawah Tiga Spesies
Tanaman Penaung. Jurnal Pelita Perkebunan. Vol 30(3): 198-207.

Robiyan, R., T. Hasanuddin., dan H. Yanfika. 2014. Persepsi Petani Terhadap


Program SL-PHT dalam Meningkatkan Produktivitas dan Pendapatan
Usahatani Kakao (Studi Kasus Petani Kakao di Desa Sukoharjo 1
Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu). Jurnal Ilmu-Ilmu
Agribisnis. Vol 2(3): 301-308.

Rosmana, A., Shepard, M., Hebbar, P., dan Mustari, A. 2010. Control of Cocoa
Pod Borer and Phytophthora Pod Rot Using Degradable Plastic Pod
Sleeves and a Nemathode, Steinernema carpocapsae. Indon J Agric
Sci. Vol 11: 41-47.

Safuan, L. O., A. M. Kandari., dan M. Natsir. Evaluasi Kesesuaian Lahan


Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) Berdasarkan Analisis Data
Iklim Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografi. Jurnal
Agroteknos. Vol 3(2): 80-85.

Siswanto., dan E. Karmawati. 2012. Pengendalian Hama Utama Kakao


(Conopomorpha cramerella dan Helopeltis spp.) dengan Pestisida
Nabati da Agens Hayati. Jurnal Perspektif. Vol 11(2): 103-99.

Suananto, H. 1992. Cokelat: Budidaya, Pengolahan Hasil dan Aspek


Ekonominya. Kanisius, Yogyakarta.

Sulistyowati, E., Y. D. Junianto., S. Sukamto., S. Wiryadiputra., L. Winarto., dan


N. Primawati. 2003. Analisis Status Penelitian dan Pengembangan
PHT Pada Pertanaman Kakao. Risalah Simposium Nasional
Penelitian PHT Perkebunan Rakyat, Bogor.

Suwitra, I. K., Mamesah, D., dan Ahdar. 2010. Pengendalian Hama Penggerek
Buah Kakao Conopomorpha cramerella dengan Metode Sarungisasi
Pada Ukuran Buah Kakao yang Berbeda. Seminar Regional Inovasi
Teknologi Pertanian Mendukung Program Pertanian Provinsi
Sulawesi Utara.

Tjitrosoepomo, S. 1988. Budidaya Kakao. Kansius, Yogyakarta.


Untung, K. 2013. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu (Edisi Kedua). Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai