Anda di halaman 1dari 17

BAB I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pada dasarnya pembudidayaan dilakukan agar tanaman dapat


terpelihara.Pemeliharaan tersebut bertujuan untuk mengendalikan suatu
serangan baik dari serangan hama, maupun penyakit. Kegagalan dalam usaha
dibidang pertanian diantaranya disebabkan oleh adanya organisme
pengganggu tanaman. Dalam budidaya tanaman pelaksanaan perlindungan
hama terpadu sangat berpengaruh. Agar mampu menghasilkan produksi yang
maksimal, menguntungkan, dan berkualitas. Pengamatan hama dan penyakit
tanaman merupakan kegiatan utama dalam proses Pengendalian Hama
Terpadu. Kegiatan ini diharapkan dapat mengurangi hambatan tersebut diatas,
sehingga secara bertahap Pengendalian Hama Terpadu dilaksanakan secara
konsekuen. Untuk jangka pendek pengamatan bertujuan untuk mendeteksi
timbulnya hama dan penyakit tanaman pada saat yang paling awal, sehingga
pengendalian dini dapat dilaksanakan dengan baik. Sedangkan untuk jangka
panjang, data pengamatan hama dan penyakit dapat digunakan untuk
menysusn suatu program peramalan hama dan penyakit tanaman. Pengamatan
hama tanaman, untuk skala lapangan pengematan penyakit tanaman masih
ditekankan pada mengamati gejala penyakit. Hal ini disebabkan karena
penyebab penyakit hanya dapat dideteksi dengan alat-alat khusus misalnya
penangkap spora (spore trap) yang sampai saat ini baru digunakan pada skala
penelitian spora yang tertangkap hanya dapat diamati dengan mikroskop.

Komoditas pascapanen yang kaya akan kandungan air dan nutrisi


merupakan substrat yang tepat bagi perkembangan mikroorganisme sehingga
menyebabkan buah menjadi busuk dan tidak layak untuk dijual. Pembusukan
karena infeksi patogen pada saat penyimpanan merupakan penyebab utama
terjadinya deteriorasi pada komoditas hortikultura segar. Deteriorasi sendiri
merupakan faktor pembatas dalam proses penyimpanan produk sayur dan
buah segar. Kerugian ekonomi yang terjadi karena penyakit pascapanen dapat
melebihi kehilangan hasil akibat penyakit di lahan karena besarnya investasi
yang dikeluarkan ketika proses pemanenan hingga produk sampai kepada
konsumen (Barkai-Golan, 2001). Setiap buah dan sayuran segar memiliki
karakteristik yang berbeda. Salah satu karakteristik dari buah dan sayuran
segar adalah mudah mengalami kerusakan. Kerusakan yang terjadi antara lain
kerusakan fisik, mekanik, dan mikrobiologis. Kerusakan ini dapat ditandai
dengan penurunan bobot pada buah dan sayuran, tingginya kadar air yang
mengakibatkan banyaknya jumlah mikroba, dan lain-lain. Kerusakan-
kerusakan yang terjadi dapat mengakibatkan penurunan tingkat konsumen
buah dan sayuran (Jacopo et al. 2015).

Kerusakan yang terjadi pada buah dan sayuran dapat mengakibatkan


penurunan umur simpan pada buah dan sayuran. Selain itu penyimpanan
buah- buahan dan sayuran sangat rentan terhadap berbagai penyakit pasca
panen, sehingga menimbulkan bahaya kesehatan bagi konsumen (Freeman et
al. 1998). Penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum capsici
merupakan penyakit utama yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi besar
besaran di paprika (Than et al. 2008). Penyakit ini merupakan penyakit latent,
dimana spora jamurnya dapat menginfeksi buah paprika di lapang tetapi gejala
nya akan nampak ketika buah masak (Than et al. 2008). Sehingga
pengendalian awal sangat diperlukan untuk mengurangi serangan penyakit
ini. Fungisida sintetik merupakan bahan utama yang digunakan untuk
pengendalian penyakit pascapanen buah-buahan dan sayuran (Bautista-Baños
et al. 2006). Penggunaan fungisida sintetik telah meningkatkan kekhawatiran
konsumen dan penggunaannya menjadi lebih ketat karena efek karsinogenik,
masalah toksisitas, residu, pencemaran lingkungan, terjadinya resistensi
mikroba dan input yang tinggi (Rial-Otero et al, 2005). Efek yang lain adalah
adanya resistensi fungisida terhadap patogen (Rhouma et al. 2009). Oleh
karena itu dituntut pengembangan strategi alternatif untuk perlindungan
tanaman pengganti fungisida kimia (Terry and Joyce 2004; Faoro et al, 2008).

Bahan atau material yang disimpan dalam tempat penyimpanan tidak


luput dari serangan hama dan penyakit. Organisme yang menyerang komoditi
dalam penyimpanan pada umumya terdiri dari golongan serangga, tikus, dan
burung. Serangga merupakan organisme yang paling banyak merusak pada
material yang disimpan. Munro (1966) melaporkan bahwa terdapat beberapa
ordo yang anggotanya berupa hama pasca panen, yakni ordo Coleopetra,
Lepidoptera, dan Hemiptera. Dari sekitar 700.000 Jenis serangga, telah
diketahui 100 Jenis yang berasosiasi dengan komoditas bahan simpanan, dan
sekitar 20 jenis diantaranya merupakan hama yang hidup dan berkembang
biak pada bahan simpanan sehingga dapat merusak bahan simpanan. Jenis
serangga hama pasca panen yang menyerang bahan bij-bijian atau bahan
material lain yang disimpan dalam gudang antara lain Silophilus oryzae,
tribolium Casteneum, Rhizopertha Dominica, Carpophilus dimidiatus,
Criptoplestes Ferrugineus, Oryzaephilus surinamensis, tenebroides
mauritanicus, Sititroga cereallela, Trogoderma granarium, dan Ahasverus
advena (Hill, 1990; Sembel, et al., 2002; Sodiq, 1981).
Di bidang teknologi, hama gudang pada makanan ternak belum banyak
mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun dari peneliti. Selain itu
perhatian pemerintah dan peneliti masi terkosentrasi hama gudang yang
menyerang biji-bijian. Padahal serangan hama gudang pada makanan ternak
sangat penting untuk dikaji. Penelitian hama gudang makanan ternak sudah
dillakukan di Sulawesi Utara namun masih dalam skala kecil. Dari hasil
pemantauan di wilayah peternakan ayam Kakaskasen kota tomohon telah
ditemukan 3 jenis hama gudang pada bahan simpanan dari makanan ternak
ayam. Jenis serangga hama gudang yang ditemukan adalah S. Oryzae, T.
Casteneum, O. Surinamensis (Sambel, et al., 2002).

Berbagai macam kerusakan yang ditimbulkan oleh hama gudang pada


bahan simpanan adalah Terjadinya pengurangan berat, penurunan kualitas
bahan, dan pengurangan daya kecambah biji (Howe and Curie, 1964).
Serangga hama dapat menimbulkan kerusakan dan kehilangan hasil, baik
kualitas maupun kuantitasnya sehingga perlu dilakukan pengelolaan serangan
hama tersebut. Tujuan utama pengelolaan hama pasca panen adalah untuk
mempertahankan atau menjaga kualitas dan kuantitas komoditi pasca panen.
Banyak kendala yang dihadapi dalam penerapan teknologi yang efektif untuk
pengurangan kehilangan komoditi pasca panen. Kendala tersebut antara lain
diidentifikasi oleh Schulten (1982) sebagai berikut. 1. Kurangnya koordinasi
di antara berbagai instansi nasional yang terkait dalam usaha pencegahan
kehilangan pasca panen. 2. Kurangnya tenaga terlatih untuk penelitian,
pengelolaan gudang, pengendalian kualitas dan penyuluhan. 3. Kurangnya
informasi tentang teknologi pengelolaan hama pasca panen yang telah
terbukti efektif dimana-mana. 4. Kurangnya informasi yang akurat tentang
besarnya kehilangan komoditi pasca panen di tingkat operasional yang
berbeda dalam sistem pasca panen. 5. Kurangnya metode penentuan
kehilangan komoditi pasca panen yang sesuai. 6. Kurangnya kapasitas
penyimpanan. 7. Kurangnya sistem transportasi dan distribusi yang efektif. 8.
Kurangnya metode penilaian standar yang dapat digunakan untuk penentuan
kualitas di lapangan. Empat masalah pokok yang berhubungan dengan hama
pasca panen dan pengendaliannya telah di kategorikan oleh Haines (1982)
dan Morallo-Rejesus (1982) yang ditujukan untuk pengembangan
pengelolaan hama terpadu.

Informasi dan pengertian masalah hama di gudang sangat terbatas


Kurang kenal terhadap jenis-jenis hama menyebabkan pencatatan hama
tersebut selama observasi di lapangan tidak akurat. Kurangnya pengetahuan
tentang karakteristik biologis dan ekologis hama serta faktor-faktor penyebab
kerusakan komoditi di gudang menyebabkan kesulitan dalam menentukan
teknik pengendalian yang tepat. Langkanya informasi akurat tentang estimasi
kehilangan suatu komoditi pasca panen akibat serangan hama di berbagai
gudang yang berbeda menyebabkan keterlambatan tindakan pengendalian.
Kerusakan biji atau bentuk komoditi lain selama pengolahan misalnya luka,
memudahkan hama primer dan sekunder serta mikroorganisme menyerang.
Bentuk gudang tradisional sangat bervariasi, ada yang menyatu dengan
tempat tinggal di dalam rumah atau di luar rumah dan terbuka sehingga hama
mudah menginfestasi. Lain halnya dengan gudang permanen yang terbuat
dari beton, baja, seng dan dilengkapi dengan pengaturan ventilasi dan dijaga
kebersihannya maka infestasi hama relatif kurang. Informasi tentang metode
pengendalian yang efektif masih kurang. Fasilitas gudang kurang memadai Di
daerah tropika sekitar 80 -90% biji-bijian disimpan di gudang di daerah
pedesaan dan hanya sekitar 10 – 20% disimpan di gudang perkotaan. Di
Indonesia gudang petani sekitar 60% dan di Filipina sekitar 40 – 60% (Ebron
dkk., 1979).
B. Tujuan Praktikum
1. Mengetahui penyakit pasca panen pada sayur-sayuran
2. Mempelajari pengaruh suhu terhadap perkembangan penyakit
3. Mengetahui tahapan pemeriksaan benih kering
4. Mempelajari metode uji bloter
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Penyakit Pasca Panen Pada Sayur-Sayuran

Buah dan sayur memiliki manfaat kesehatan dan nutrisional karena


mengandung antioksidan dan mikronutrien yang tinggi (Ramos dkk., 2013). Buah
dan sayur kaya akan vitamin, mineral, serat dan senyawa yang baik bagi
kesehatan. Bagi konsumen, buah yang berkualitas baik adalah buah yang memiliki
bentuk, ukuran, warna dan aroma yang baik serta tidak mengalami memar ataupun
kebusukan (Sivakumar dan Bautista-Banos, 2014). Produk segar dapat mengalami
beberapa jenis stres selama dalam penanganan (Mahovic dkk., 2007). Umumnya
gejala stress tidak mempengaruhi keseluruhan kualitas produk, namun akan
semakin jelas terlihat seiring dengan penurunan kualitas produk. Kerugian ini
merupakan dampak dari kerusakan fisik, stres karena pelukaan atau infeksi laten
yang disebabkan oleh jamur atau bakteri yang dimulai sejak masa pra panen (Lee
dan Bostock, 2007). Pada banyak kasus, kerusakan pada komoditi hanya terlihat
jelas pada tahap terakhir dari proses penanganan pasca panen. Kehilangan pasca
panen buah dan sayuran oleh fitopatogen, khususnya fungal patogen selama rantai
pasok dari kebun ke konsumen mengakibatkan kerugian ekonomi (Prusky, 2011;
Liu dkk., 2017) dan akan selalu terjadi meskipun penanganan dilakukan dengan
sangat hati-hati (Antunes dan Cavaco, 2010).

Di negara tropis, sistem penanganan produk hortikultura dipengaruhi oleh


tingginya suhu dan kelembaban. Karena ekstrimnya kondisi lingkungan setempat
dan kurangnya sistem penanganan yang mendukung, pasar lokal produk buah dan
sayur di negara berkembang identik dengan kualitas yang rendah dan tingkat
kehilangan serta resiko kesehatan yang tinggi (Korsten, 2006). Kehilangan pangan
di negara berkembang umumnya terjadi karena keterbatasan finansial, manajemen
dan teknis selama panen, pendinginan dan penyimpanan, infrastruktur,
pengemasan serta sistem pemasaran (Parfitt dkk., 2010; Gustavsson dkk., 2011;
Kaminski dan Christiansen 2014). Faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi kualitas produk segar, seperti pertumbuhan mikrobial yang tidak
diharapkan, pelukaan dan memar pada produk yang disebabkan oleh penanganan
dan transportasi yang kurang memadai, serta tingginya suhu dan kelembaban
selama penanaman dan pemanenan juga mempengaruhi kehilangan pasca panen
(Buys dan Nortje, 1997). Kehilangan pasca panen pada buah-buahan dapat
mencapai 50%, tergantung pada jenis komoditinya (Singh dkk., 2011).

Di Asia Tenggara, kerusakan pasca panen buah dan sayur dapat mencapai
hingga 42% (Kusumaningrum dkk., 2015). Kehilangan pasca panen pada buah
tropis disebabkan karena kurangnya pemahaman mengenai sifat alamiah produk,
seperti tingginya kadar air (30-90%), laju respirasi yang sangat tinggi, jaringan
buah yang lunak sehingga rentan terhadap pelukaan dan sangat mudah rusak
sehingga umur pasca panennya sangat terbatas (Paull dan Chen, 2014). Laju
respirasi buah tropis dan sub tropis sangat bervariasi, tergantung pada jenis dan
ragam produk, tingkat kematangan, tingkat pelukaan dan suhu produk (Yahia
dkk., 2011). Semakin tinggi laju respirasai maka akan semakin singkat umur
simpan produk. Terbatasnya umur simpan produk buah segar dipengaruhi oleh
kombinasi beberapa faktor, antara lain karakteristik produk, kondisi eksternal,
kontaminasi microbial, gangguan fisiologis, kerusakan mekanis dan tingkat
perlakuan pasca panen (Kusumaningrum dkk., 2015). Paparan suhu tinggi secara
terus menerus pada produk segar setelah dipanen dapat mempercepat aktivitas
metabolisme, mendorong pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan
meningkatkan produksi etilen yang mempercepat laju kerusakan (Yahia dkk.,
2011). Buah tropis sangat mudah terkontaminasi oleh mikroorganisme karena
suhu optimum untuk perkembangan mikroorganisme sangat sesuai dengan suhu
rata-rata di negara tropis (Kusumaningrum dkk., 2015). Keterbatasan lahan
pertanian dan ancaman keamanan pangan yang disebabkan oleh perubahan iklim,
penekanan terhadap kehilangan pasca panen menjadi suatu keharusan mengingat
kemungkinan meledaknya permintaan pangan dunia dan resiko kelaparan (Sharma
dan Popngener, 2010).

Penyakit pasca panen merupakan penyebab utama yang mendasari


kehilangan pasca panen pada sebagian besar komoditas hortikultura (Sivakumar
dan Bautista-Banos, 2014). Di antara semua jenis patogen, patogen dari golongan
jamur merupakan penyebab utama kerusakan pasca panen pada sayur dan buah
(Palou dkk., 2016). Penyakit pasca panen dapat terjadi mulai di pertanaman, saat
panen, penanganan pasca panen di lapangan, pengemasan, transportasi dan
penyimpanan (Barth dkk., 2009). Penyakit pasca panen pada buah dan sayur
dipengaruhi oleh jenis komoditas dan kultivarnya, kematangan produk saat
dipanen, kondisi penyimpanan dan transportasi, serta kondisi saat produk
dipasarkan (Sivakumar dan Bautista-Banos, 2014). Kondisi ini menyebabkan
kerugian ekonomi selama pemasaran dan menjadikan produk segar tidak layak
dikonsumsi (Malik dkk., 2016).

Morfologi dan fisiologi pasca panen buah dan sayuran, termasuk


panjangnya rantai penanganan sejak dari lahan hingga ke pemasaran dapat
memicu serangan mikroorganisme pembusuk (Antunes dan Cavaco, 2010). Stres
karena pelukaan dan gangguan fisiologis yang disebabkan oleh ketidakhati-hatian
selama penanganan pra dan pasca panen juga memicu serangan mikroorganisme
(Antunes dan Cavaco, 2010). Pada kondisi yang optimal, agens pembusuk dapat
menyebabkan infeksi dan dampak yang luar biasa, yang mana kondisi ini akan
sangat dipengaruhi oleh pematangan produk segar. Secara alami, produk segar
yang dipanen memiliki dua mekanisme pertahanan, antara lain pertahanan fisik
(oleh kulit buah) dan pertahanan kimia (protein, modifikasi dinding sel, asam
organik, fenol dan fitoaleksin) terhadap mikroba (Wisniewski dkk., 2003). Namun
mekanisme pertahanan ini akan semakin melemah seiring dengan proses
pematangan produk tersebut. Pembusukan oleh mikroorganisme dapat
mempercepat respirasi jaringan produk, produksi panas dan peningkatan produksi
etilen yang secara bersama-sama mempengaruhi kerusakan dan kelayuan produk
segar (Niklis dkk., 1993).

Suhu yang tinggi juga dapat mempercepat penurunan kualitas buah melalui
percepatan proses fisiologis seperti respirasi dan produksi etilen (Thompson dkk.,
2002). Sementara penyebaran mikroorganisme patogen penyebab kerusakan buah
dan sayur dipengaruhi oleh kondisi fisiologis dan penyimpanan selama pasca
panen, khususnya di negara tropis (Kusumaningrum dkk., 2015). Jamur
merupakan kelompok agens penyebab pembusukan pasca panen yang paling
penting, yang menyebabkan penurunan kualitas dan kehilangan ekonomi selama
periode pasca panen (Antunes dan Cavaco, 2010). Kerusakan pasca panen yang
disebabkan oleh jamur tidak hanya menurunkan nutrisi buah, tetapi juga
menyebabkan bahaya bagi kesehatan karena adanya mikotoksin yang diproduksi
oleh golongan jamur tertentu (Sonker, 2016; Kiaya, 2014).

Beberapa spesies jamur patogen dapat menyebabkan infeksi laten yang


terjadi sejak buah masih belum dipanen dalam kondisi komoditas belum optimal
bagi perkembangan mikroorganisme (Lee dan Bostock, 2007). Infeksi laten
merupakan suatu kondisi dimana patogen bersifat dorman pada jaringan
tumbuhan, dan kemudian menjadi aktif menunjukkan gejala penyakit dimana
kondisi ini umum terjadi setelah panen, masa penyimpanan, transportasi dan
pemasaran (Prusky dkk., 2013). Patogen berada pada kondisi laten dalam jaringan
buah yang belum matang dan akan kembali aktif ketika buah mulai matang
sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada buah (Bukar dkk., 2009). Jika
kondisi lingkungan cocok, kejadian infeksi laten akan memperbesar resiko
perkembangan penyakit pascapanen (Michailides dkk., 2009). Beberapa jamur
patogen seperti Colletotrichum gloeosporioides pada alpukat (Miyara dkk., 2012)
dan Botrytis cinerea penyebab busuk pada strawberry juga tergolong ke dalam
pathogen dengan infeksi laten yang menyebabkan kerusakan pasca panen yang
signifikan selama penyimpanan (Moorman, 2014).
1.2. Pengaruh Suhu Terhadap Perkembangan Penyakit
Tanaman Wortel
Wortel (Daucuscarota) termasuk ke dalam famili Umbelliferae yang berasal dari
Asia Tengah yang kemudian tersebar ke berbagai wilayah di seluruh dunia.
Tanaman ini banyak ditanam di daerah beriklim sub tropis atau di dataran tinggi
di daerah tropis. (Subhan, 2015). Tanaman wortel termasuk tanaman semusim
yang berbentuk rumput. Daunnya menyirip ke dalam. Bunganya berupa bunga
majemuk seperti payung berwarna putih dan di bagian tengahnya berwarna
cokelat tua. (Handz, 2015).
Menurut Cahyono (2002), tanaman wortel dalam tata nama atau sistematika
tumbuh-tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisi : Angiospermae (biji berada dalam buah)
Kelas : Dicotyledonae (biji berkeping dua atau biji belah)
Ordo : Umbelliferales
Famili : Umbelliferae/Apiaceae/Ammiaceae
Genus : Daucus
Species : DaucusCarota L
Menurut Makmun (2007) tanaman yang masuk dalam ordo Umbelliferales
berdasarkan bentuk umbinya terdapat tiga tipe. Pertama tipe chantenay, yaitu
bentuk bulat panjang dengan ujung tumpul. Kedua tipe imperator, yaitu berbentuk
bulat panjang dengan ujung runcing serta yang ke tiga tipe nantes, yang
merupakan gabungan dari tipe imperator dan chantenay. Wortel akan tumbuh baik
pada daerah yang mempunyai suhu berkisar antara 16°C – 21°C. Wortel dapat
tumbuh dengan optimal pada tanah yang mempunyai struktur remah, gembur dan
kaya akan humus dengan pH berkisar antara 5,5 – 6,5 (Hukum et al., 1990).
Menurut Brunke (2006), faktor yang mempengaruhi meningkatnya permintaan
komoditi wortel adalah karena adanya rasa dan manfaat kesehatan yang
terkandung di dalamnya karena wortel merupakan sumber vitamin dan mineral
yang dapat mencegah terjadinya kanker.

B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit Tanaman


a. Penyebab Penyakit Faktor Lingkungan
Bila penyebab penyakit adalah faktor lingkungan fisik atau kimia maka biasanya
penyakit menjadi makin berat dengan pertambahan waktu, sedang kecepatan
perkembangan tersebut beragam menurut jenis pohon, jenis faktor penyebab
penyakit serta seberapa jauh penyimpangan kondisi faktor penyebab tersebut dari
kondisi yang cukup baik untuk perkembangan pohon yang bersangkutan. Makin
besar penyimpangan jenis pohon tertentu, makin cepatlah dan mungkin makin
beratlah penyakit yang ditimbulkannya. Tiap jenis pohon memerlukan syarat
mengenai faktor fisik atau kimia tertentu untuk pertumbuhannya yang optimal,
oleh karena itu suatu kondisi lingkungan fisik atau kimia tertentu mungkin sekali
cukup baik untuk pertumbuhan jenis pohon yang satu tetapi tidak baik untuk
pertumbuhan jenis pohon yang lain. Demikian pula pada suatu kondisi lingkungan
fisik atau kimia tertentu, suatu jenis pohon yang semula pada umurumur tertentu
tidak menunjang gejala suatu penyakit, pada umur-umur lebih lanjut dapat
menjadi sakit (Yunasfi,2002).
b. Pengaruh Suhu
Tumbuhan umumnya tumbuh pada kisaran suhu 1 sampai 40 OC, kebanyakan
jenis tumbuhan tumbuh sangat baik antara 15 dan 30 OC. Tumbuhan berbeda
kemampuan bertahannya terhadap suhu ekstrim pada tingkat prtumbuhan yang
berbeda. Misalnya, tumbuhan yang lebih tua, dan lebih keras akan lebih tahan
terhadap suhu rendah dibanding kecambah muda. Jaringan atau organ berbeda
dari tumbuhan yang sama mungkin sangat bervariasi kesensitifannya
(kepekaannya) terhadap suhu rendah yang sama. Tunas jauh lebih sensitif (peka)
dibanding daun dan sebagainya (Yunasfi,2002).
c. Pengaruh Suhu Tinggi
Suhu tinggi biasanya berperan dalam kerusakan sunsclad yang tampak pada
bagian terkena sinar matahari pada buah berdaging dan sayuran, seperti cabe,
apel, tomat, umbi lapis bawang dan umbi kentang. Hari dengan sinar matahari
terik dan panas maka suhu jaringan buah yang terdapat di bawah sinar matahari
langsung mungkin jauh lebih tinggi dibanding dengan jaringan buah dari sisi yang
terlindung dan dikelilingi udara (Yunasfi,2002).
d. Pengaruh Suhu Rendah
Kerusakan tumbuhan yang disebabkan oleh suhu rendah lebih besar dibanding
dengan suhu tinggi. Suhu di bawah tiitik beku menyebabkan berbagai kerusakan
terhadap tumbuhan. Kerusakan tersebut meliputi kerusakan yang disebabkan oleh
late frost (embun upas) terhadap titik meristematik muda atau keseluruhan bagian
tumbuhan herba, embun upas yang membunuh tunas pada persik, cherry, dan
pepohonan lain, dan membunuh bunga, buah muda dan kadangkadang ranting
sukulen sebagian pepohohonan. Kerusakan yang terjadi bervariasi tergantung
pada tingkat penurunan suhu dan lama suhu rendah tersebut berlangsung
(Yunasfi,2002).
e. Pengaruh Kelembaban
Pengaruh Kelembaban Tanah Rendah
Gangguan kelembaban di dalam tanah mungkin bertanggung jawab terhadap
lebih banyaknya tumbuhan yang tumbuh jelek dan menjadi tidak produktif
sepanjang musim. Kekurangan air mungkin juga terjadi secara lokal pada jenis
tanah tertentu, kemiringan tertentu atau lapisan tanah yang tipis yang dibawahnya
terdapat batu atau pasir. Tumbuhan yang menderita karena kekurangan
kelembaban tanah biasanya tetap kerdil, hijau pucat sampai kuning terang,
mempunyai daun, bunga dan buah sedikit, kecil dan jarang, dan jika kekeringan
berlanjut tumbuhan layu dan mati (Yunasfi,2002).
Pengaruh Kelembaban Tanah Tinggi
Akbat kelebihan kelembaban tanah yang disebabkan banjir atau drainase yang
jelek, bulu-bulu akar tumbuhan membusuk, mungkin karena menurunnya suplai
oksigen ke akar. Kekurangan oksigen menyebabkan sel-sel akar mengalami stres,
sesak napas dan kolapsi. Keadaan basah, an-aerob menguntungkan pertumbuhan
mikroorganisme an-aerob, yang selama proses hidupnya membentuk substansi
seperti nitrit, yang beracun bagi tumbuhan. Disamping itu, sel-sel akar yang
dirusak secara langsung oleh kekurangan oksigen akan kehilangan permeabilitas
selektifnya dan dapat memberi peluang terambilnya zat-zat besi atau bahan-bahan
beracun lain oleh tumbuhan (Yunasfi,2002).
1.3. Pemeriksaan Benih Kering
Benih yang bermutu adalah komponen utama dalam usaha meningkatkan
hasil produksi yang optimal pada sebuah komoditas yang dibudidayakan. Benih
dikatakan sehat apabila benih tersebut terbebas dari pathogen baik berupa jamur,
bakteri, cendawa, virus maupun nematoda. Perlakuan yang baik pada benih
berfungsi untuk menghilangkan sumber infeksi benih, melindungi benih dari
berbagai patogen dan hama, dan meningkatkan perkecambahan benih(Situmeang
dkk, 2014).

Pengujian benih ditujukan untuk mengetahui mutu atau kualitas benih.


Pengujian ini dapat dilalukan dengan metode kering, pencucian biji dan inkubasi.
Uji kesehatan benih bertujuan untuk mengetahui adanya inokulum yang
patogenik, mempelajari penyebab dari abnormalitas kecambah dalam uji daya
kecambah, sehingga dapat ditentukan kondisi kesehatan dari kelompok
benih. Benih mempunyai mutu genetik yang baik apabila asli (true to type), dan
diketahui varietasnya. Uji kemurnian benih merupakan tahapan yang harus
dilakukan untuk mengendalikan mutu genetik suatu lot benih (Mulsanti dkk,
2013)

Biji yang terisi penuh adalah biji yang bermutu baik, untuk dapat
memperoleh benih tersebut maka benih padi perlu di uji terlebih dahulu.
Pengujian dilakukan dengan cara pemeriksaan biji secara kering yaitu dengan
membersihkan biji dari kotoran, selain itu dapat mengamati gejala penyakit yang
terlihat seperti bercak. Uji kesehatan biji selanjutnya adalah pencucian biji dengan
memasukan biji kedalam air lalu di goyang goyangkan. Hasil air cucian tersebut
dapat diamati dengan menggunakan mikroskop. Cara ini dapat
mendeterminasikan jamur yang melekat di permukaan biji(Purwasasmita dan
Sutaryat, 2011)

Biji merupakan bagian terbesar benih, Biji mengandung tanaman mini, yang
dilengkapi dengan struktur dan fisiologi yang sesuai dengan perannya sebagai unit
penyebaran atau perbanyakan. Di samping itu telah dilengkapi secara sempurna
dengan cadangan makanan, untuk mendukung tanaman muda sampai dia mampu
memenuhi kebutuhan sendiri sebagai organisme autotrophic. Bibit adalah benih
yang telah berkecambah, pada umumnya sudah berbentuk tanaman muda, ada
akar, batang, dan daun meskipun sangat kecil .(Rusmi dkk, 2014).
Faktor tanaman ditentukan oleh sifat benihnya, baik yang menyangkut sifat
genetis, sifat fisik, dan sifat fisiologisnya.Benih merupakan factor penting
padasuatu pertanaman karena benih merupakan awal kehidupan dari tanaman
yang bersangkutan. Benih adalah biji tanaman yang sengaja diproduksi dengan
teknik-teknik tertentu, sehingga memenuhi persyaratan untuk digunakan sebagai
bahan pertanaman selanjutnya.

Pengujian benih ini berguna sebagai titik awal dalam pengamatan apakah
sebuah biji  layak untuk disemaikan. Parameter penguji benih ditetapkan guna biji
yang telah lulus sortir merupakan biji yang sehat dan tidak berpenyakit sehingga
dalam proses persemaian di media tanam biji dapat tumbuh dengan baik tanpa
adanya kendala. Diketahuinya uji kesehatan benih juga untuk menurunkan
peluang biji yang berpenyakit turut ikut di semaikan yang pada akhirnya hanya
akan merugikan secara meteri dan waktu. pengujian benih juga dapat
mengevaluasi efek dari fungisida untuk keperluan perlakuan benih. Kepentingan
lainnya dalam uji benih ialah mengadakan survey penyakit pada tingkat nasional
sehingga dapat mengetahui penyebaran pathogen.(Rusmi dkk, 2014).

Mutu benih adalah hal yang sangat penting dalam usaha produksi benih.
Produsen atau pedagang benih yang maju menggunakan mutu sebagai suatu
teknik kompetitif sebagaimana harga dan pelayanan. Mutu merangsang
ketertarikan konsumen, membantu produsen dan pedagang benih
mengembangkan reputasi yang positif atau kesan yang baik, dan menghasilkan
konsumen yang puas dan bisnis yang berkelanjutan (Mulsanti, 2013).

Umur simpan benih sangat dipengaruhi oleh sifat benih, kondisi


lingkungan dan perlakuan manusia. Berapa lama benih dapat disimpan sangat
tergantung pada kondisi benih dan lingkungannya sendiri. Beberapa tipe benih
tidak mempunyai ketahanan untuk disimpan dalam jangka waktu yang lama atau
sering disebut benih rekalsitran. Sebaliknya benih ortodoks mempunyai daya
simpan yang relative lama dan dalam kondisi penyimpanan yang sesuai dapat
membentuk cadangan benih yang besar (Mulsanti, 2013).
Benih bermutu tinggi adalah benih yang bermutu genetis, dapat
berkecambah, vigor, tidak rusak, bebas dari kontaminan dan penyakit, berukuran
tepat, dan secara keseluruhan berpenampilan baik. Mutu yang ideal ini jarang
tercapai, dan agar benih memenuhi semua spesifikasi yang ideal, maka ditetapkan
adanya standar mutu minimum. Analisis mutu benih bertujuan untuk memperoleh
keterangan tentang mutu suatu kelompok benih sebelum disalurkan atau ditanam
dan untuk membandingkan status mutu antarkelompok benih. Kegagalan
pertanaman di kalangan petani akibat mutu benih yang jelek.

Benih bermutu dan bersertifikat adalah salah satu komponen utama dalam
peningkatan produksi. Benih dikatakan sehat apabila benih tersebut bebas dari
patogen, baik berupa bakteri, cendawan, virus maupun nematoda. Namun
sayangnya, tidak semua benih bersertifikat bebas dari patogen terbawa benih
karena uji kesehatan benih tidak diwajibkan dalam sertifikasi benih. Hal ini
menyebabkan benih yang berpenyakit dalam proses tumbuhnya menghasilkan
produksi yang tidak maksimal. Produksi yang tidak maksimal ini membuat
seorang petani akan mengalami kerugian. Resiko ini sangat dihindari oleh petani
sehingga pengujian kesehatan dan kualitas benih mutlak dilakukan(Situmean dkk,
2014)

Jamur merupakan penyebab utama kerusakan pada benih dan dapat


mengakibatkan penurunan daya kecambah dan perubahan warna benih, penurunan
kadar nutrisi dan pemanasan benih, serta benih yang terinfeksi dapat menjadi
sangat beracun. Jamur pada benih tidak akan tumbuh apabila kadar air benih di
bawah kadar air minimum. Oleh karena itu kadar air benih berpengaruh terhadap
daya tahan benih terhadap serangan jamur. Selain itu, serangan jamur pada benih
yang disimpan dapat menyebabkan kehilangan viabilitas, peningkatan asam lemak
bebas, penurunan kadar gula, menimbulkan bau apek dan perubahan warna 
(Situmeang dkk. 2014)

Fungi yang sering mengkontaminasi jagung pada masa penyimpanan adalah


kapang Aspergillus sp. Khususnya Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus.
gejala Aspergillus spp. Ditandai cendawan berwarna hitam, (spesies A. Niger) dan
berwarna hijau (A. Flavus). Infeksi A. Flavus pada daun menimbulkan gejala
nekrotik, warna tidak normal, bercak melebar dan memanjang, mengikuti arah
tulang daun. Bila terinfeksi berat, dan berwarna coklat kekuningan seperti
terbakar.

Penyebab adanya benih abnormal adalah kerusakan pada sel di benih yang
sedang berkecambah sehingga pertumbuhan terhambat. Sementara itu, kerusakan
yang parah hingga menyebabkan penurunan fungsi dari area tertentu dalam benih
akan menyebabkan benih tersebut tidak mampu berkecambah (Situmeang dkk.
2014)

Kerusakan-kerusakan yang terjadi dapat berupa kerusakan fisik, kimia,


mekanik, biologis dan mikrobiologis. Penyimpanan merupakan salah satu mata
rantai penanganan pasca panen yang sangat penting, dengan penyimpanan
ketersediaan jagung menjadi kontinyu. Penyimpanan harus memperhatikan
faktor-faktor seperti kadar air jagung, kelembaban relatif udara, suhu digudang
penyimpanan Hingga tata letak dari wadah penyimpanan agar dapat
menghindarkan dari serangan hama gudang dan mempertahankan bahan tetap
kering agar terhindar dari cemaran jamur (Rahardja, 2011).

Peluang pencemaran jamur ini cukup besar karena iklim tropis di Indonesia
yang memliki kelembaban dan temperatur lingkungan yang tinggi sangat
mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya jamur penghasil mikotoksin.
Pencemaran jamur selama penyimpanan ini dapat menyebabkan penurunan mutu
jagung baik secara kualitatif maupun kuantitatif, hal ini akan berpengaruh
terhadap daya jual dari jagung tersebut (Rahardja, 2011).

1.4. Uji Blotter

Peningkatan produksi padi selalu diupayakan terus menerus oleh bermacam


pihak karena merupakan salah satu pangan utama yang jadi komoditas pokok
yang diprioritaskan pemerintah. Selama upaya peningkatan produksinya,
bermacam hambatan kerap dialami hingga menganggu produktifitas padi. Salah
satunya merupakan kurang tersedianya benih padi yang bermutu baik kualitas
fisik, kualitas genetis, kualitas fisiologis, serta status kesehatan benih. Status
kesehatan benih bisa diketahui lewat uji kesehatan benih (Saylendra, 2010). Uji
kesehatan benih bukan merupakan ramalan, lebih pada sesuatu informasi terkait
kemungkinan terdapatnya risiko suatu penyakit dapat meluas melalui benih
(Rahayu, 2016; Saylendra, 2010; Sutopo, 2004).

Risiko tersebut dapat digambarkan melalui terjadinya kerugian jangka


pendek dan jangka panjang. Kerugian jangka pendek dapat berupa turunnya vigor,
perkecambahan, bibit ataupun tanaman muda abnormal hingga mati, dan
terinfeksi berbagai penyakit. Kerugian jangka panjang timbul saat benih
didistribusi ke berbagai areal yang luas, hingga benih tidak sehat menjadi sumber
resiko infeksi baru, paling utama di areal yang belum sempat terkena penyakit
(Rahayu, 2016). Hingga saat ini Indonesia masih mengimpor beberapa benih
untuk memenuhi kebutuhan benih nasional, salah satunya adalah padi. Benih
impor merupakan salah satu media patogen untuk menyebar dari tempat asalnya
ke tempat baru. Patogen jenis cendawan dapat menyebar melalui miselium
dorman yang melekat pada kulit biji maupun kulit buah. Akibatnya dapat
meningkatkan risiko cendawan terbawa dan tersebar ke daerah ataupun negara
lain (Hajihasani et al., 2012; Harahap et al., 2015). Cram & Fraedrich (2010)
mengemukakan bahwa adanya pengujian kesehatan benih dapat menekan risiko
penyebaran patogen terbawa benih khususnya cendawan dari daerah satu ke
daerah yang lain. Menurut IRRI (1987) dan Ora et al. (2011) telah terdeteksi
sebanyak 153 patogen terbawa benih padi. Informasi mengenai kesehatan benih
sangat diperlukan untuk mengetahui status keberadaan cendawan tular benih yang
menginfeksi benih padi. Metode pengujian benih sangat beragam tergantung pada
tipe benih dan patogen sasaran, dalam prosesnya dimaksudkan agar identifikasi
cendawan tular benih berhasil dilakukan secara mudah dan akurat. Pengunaan
metode inkubasi kertas saring (blotter test) telah dilakukan untuk mendeteksi
berbagai macam cendawan tular benih (Budiman et al., 2007; Hajihasani et al.,
2012; Harahap, 2010; Naher et al., 2016; Ramdan & Kalsum, 2017; Singh et al.,
2018).

Setelah masa inkubasi selesai, isolat yang didapat perlu diidentifikasi


melalui mikroskop yang diawali dengan pembuatan preparat setiap cendawan
yang tumbuh. Metode yang biasa digunakan untuk membuat preparat sampel
yaitu dengan mengambil koloni cendawan menggunakan jarum ose steril dan
diletakkan ke permukaan gelas objek lalu ditutup gelas penutup (Ningsih et al.,
2012; Sobianti et al., 2020; Wati et al., 2021). Metode penyiapan preparat tersebut
seringkali terkendala saat proses identifikasi jika tidak hati-hati dalam
pengambilan koloni cendawan sehingga bentuk preparat tidak utuh dan rusak.
Penyiapan preparat kemudian menjadi kunci penting dalam membantu identifikasi
cendawan secara mudah dan praktis.

Menurut Budiman et al. (2007) salah satu metode yang digunakan untuk
penyiapan preparat sampel yang mempermudah dalam identifikasi cendawan
adalah metode selotip. Benih tanaman harus memiliki kemampuan hidup yang
tinggi (viabilitas) sebagai calon penerus generasi dalam produksi tanaman.
Sebagian besar (90%) tanaman pangan untuk alat pembiakannya berupa biji atau
benih. Dengan demikian benih harus memiliki mutu tinggi. Petani tanaman
pangan termasuk aneka kacang seringkali mengalami kerugian yang tidak sedikit
baik dari segi biaya maupun waktu, akibat penggunaan benih bermutu rendah.
Pencapaian produksi tanaman aneka kacang sangat tergantung pada teknologi
maju dalam budidaya dan kondisi iklim atau cuaca yang mendukung, tetapi
penting untuk memperhatikan pemilihan benih bermutu tinggi. Menurut Sutopo
(2004) bahwa mutu benih dapat dilihat dari tiga komponen yaitu mutu genetis
terkait kemurnian varietas, mutu fisiologis yaitu memiliki daya kecambah dan
vigor yang baik, serta mutu fisik seperti bernas, ukuran homogen, tidak tercampur
material lain, dan sehat atau bebas dari hama dan penyakit. Dalam proses produksi
benih bermutu, maka sejak awal bercocok tanam harus digunakan bahan bermutu
tinggi, dengan kriteria sebagai berikut : 1. Benih harus bersih dan bebas dari
segala jenis kotoran yang tercampur dalam lot benih, 2. Murni terdiri satu jenis
varietas, tidak tercampur dengan varietas lainnya, 3. Secara fisik bagus, bernas,
warna tidak kusam, kulit tidak terkelupas, mulus tidak ada bercak, tidak keriput,
dan 4. Sehat tidak membawa hama penyakit yang merugikan. Fokus pada kriteria
keempat, benih sehat memiliki arti bahwa benih harus bebas dari infeksi ataupun
kontaminasi penyakit. Kesehatan benih sangat menentukan kesehatan tanaman
supaya memberikan produksi yang berkualitas (Diaz et al. 1998).

Benih aneka kacang adalah biji yang mngandung nutrisi tinggi. Biji sejak
awal terbentuk pada tanaman induk, sampai periode panen kemudian digunakan
sebagai benih yang tumbuh menjadi tanaman baru tidak lepas dari gangguan
patogen. Semua jenis patogen (jamur, bakteri, dan virus) dapat menyerang benih
dan meng- gunakan nutrisi yang ada dalam benih untuk hidupnya, hal ini
menyebabkan kerusakan pada benih. Pada umumnya benih setelah dipanen, tidak
selalu langsung ditanam oleh petani tetapi sebagian akan disimpan selama jangka
waktu tertentu menunggu musim tanam yang tepat dan pada periode tersebut
dapat terjadi kerusakan akibat penyakit terbawa benih. Untuk itu diperlukan
penanganan benih secara baik agar pada saat ditanam kondisi benih masih
memadai yaitu memiliki viabilitas, kevigoran, kemurnian dan kese- hatan yang
baik. Status kesehatan benih dapat dike- tahui melalui pengujian khusus untuk
mendeteksi adanya patogen yang mungkin terbawa dalam suatu lot benih. Uji
kesehatan benih bukan merupakan ramalan, tetapi suatu metode untuk
mendapatkan informasi tentang kemungkinan adanya suatu resiko penyakit
menular melalui benih.

Anda mungkin juga menyukai