Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit pascapanen merupakan salah satu masalah penting di dalam
proses pascapanen. Penyakit pascapanen dapat muncul di semua bagian
penanganan pascapanen bahkan dapat muncul sejak produk masih di lahan
atau belum dipanen. Munculnya gejala penyakit pascapanen sering terlambat
diketahui sehingga dapat mengakibatkan kehilangan pascapanen yang besar.
Gejala penyakit pascapanen muncul akibat adanya infeksi oleh patogen.
Apabila infeksi patogen pascapanen dapat diketahui sejak awal maka dapat
dilakukan usaha pencegahan terhadap infeksi patogen (Soesanto, Loekas.
2006).
Infeksi patogen pascapanen memegang peranan penting bagi
kehilangan produk di semua tahap pascapanen, baik selama proses
pengangkutan, penyimpanan, maupun pemasaran. Apabila patogen tidak
mampu melakukan infeksi karena adanya hambatan struktur, fisiologi, dan
biokimia, maka produk pascapanen akan terhindar dari serangan patogen dan
kehilangan produk dapat diperkecil. Secara umum patogen pascapanen dapat
menginfeksi produk melalui tiga cara yaitu melalui lubang alami (lentisel),
melalui luka, dan dengan menginfeksi langsung ke dalam produk. Oleh
karena itu, infeksi patogen pascapanen perlu diketahui dengan harapan dapat
dicari cara pencegahan yang tepat sehingga dapat menekan losses atau
kehilangan produk.
Kegiatan pengelolaan organisme pengganggu tanaman (OPT) pasca
panen dan pasca penyimpanan perlu dilakukan agar kualitas produk tetap
terjaga. Komoditas pangan pascapanen merupakan produk yang masih aktif
melakukan aktifitas metabolismenya. Berbagai kondisi fisik morfologis
mencirikan kepekaannya terhadap kerusakan mekanis dan patologis.
Kerusakan patologis dapat disebabkan adanya serangan mikroorganisme
patogenik (cendawan dan bakteri). Kondisi fisik morfologis produk juga
berpengaruh terhadap transpirasi air dari produk itu sendiri. Proses penularan
atau terjadinya infeksi dimulai dari tanaman yang tertular cendawan patogen

1
yang menembus kutikula yang masih utuh. Gejala penyakit pascapanen
dimulai dari luka pada komoditi selama dan setelah pemanenan atau selama
penanganan dan pengangkutan (Sulistiyono, Fitria Dewi., dkk. 2020).
Keberadaan cendawan pascapanen menyebabkan penurunan kuantitas
dan kualitas pada umbi-umbian yang dapat berpengaruh pada nilai jual.
Beberapa spesies cendawan dapat menghasilkan toksin yang berpotensi
membahayakan kesehatan manusia dan hewan. Kerusakan ataupun penurunan
kualitas produk yang disebabkan oleh cendawan gudang telah dimulai sejak
produk masih di lahan sampai masuk ke dalam gudang penyimpanan
(Dharmaputra, Okky Setyawati., dkk. 2018). Kondisi yang penting untuk
menghasilkan toksin adalah strain atau jenis cendawan, substrat yang cocok,
suhu, dan RH lingkungan. Faktor suhu sangat mempengaruhi aktivitas
metabolisme dari cendawan. Suhu minimum, optimum, dan maksimum untuk
memproduksi toksin dari suatu cendawan berbeda-beda tergantung dari jenis
atau strain cendawan tersebut (Chailani, Siti Rasminah. 2010).

2.1 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui dan
mempelajari tentang penyakit-penyakit pascapanen pada komoditas umbi-
umbian, patogen penyebab penyakit tersebut maupun cara pengendaliannya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Patogen pada Umbi-Umbian

Komoditas pangan pascapanen adalah produk yang masih aktif melakukan


aktifitas metabolismenya. Berbagai kondisi fisikmorfologis mencirikan
kepekaannya terhadap kerusakan mekanis dan patologis (David & Kilmanun,
2016). Kerusakan patologis dapat disebabkan adanya serangan mikroorganisme
patogenik (jamur dan bakteri). Kondisi fisik morfologis produk juga berpengaruh
terhadap transpirasi air dari produk itu sendiri. Kehilangan berat 10% pada umbi-
umbian berakibat pada berkurangnya nilai komersial (Abbas dan Suhaeti, 2016).
Adanya jamur dan bakteri pada umbi dapat membahayakan kesehatan
manusia. Proses penularan (infeksi) dimulai dari tanaman yang tertular jamur
patogen yang menembus kutikula yang masih utuh. Gejala penyakit pasca panen
dimulai dari luka pada komoditi selama dan setelah pemanenan atau selama
penanganan dan pengangkutan. Menurut Rahayu dan Saleh (2013) beberapa
patogen penyebab kerusakan terhadap umbi-umbian yaitu kelompok jamur
(Alternaria, Botrytis, Diplodia, Monilinia, Phomopsis, Rhizopus, Pencilliumdan
Fusarium) dan bakteri (Erwinia, Pseudomonas dan lain-lain).

2.1. Berbagai Jenis Tanaman Umbi-Umbian


2.1.1. Umbi bit
Umbi bit merah (Beta vulgaris L.) adalah jenis spesies lokal Mediterania dan
Afrika Utara. Kemudian menyebar ke arah timur menuju wilayah barat India dan
dari barat ke Kepulauan Kanary dan pantai barat Eropa, tepatnya Kepulauan
Inggris dan Denmark. Pada mulanya umbi bit merah dikenal sebagai sayuran
daun sehingga pada tahun 1500 masyarakat mulai tertarik untuk menggunakan
umbinya (Rubatzky, 1998). Dalam pengertian plantae merupakan tumbuhan,
Trachebionta merupakan tumbuhan yang memiliki pembuluh, Magnoliophyta
atau tumbuhan berbunga, Spermatophyta tumbuhan yang dapat menghasilkan
biji, dan Magnoliapsida merupakan tumbuhan berkeping dua/dikotil (Widhiana,
2000). Umbi bit merah dipanen saat berumur 2,5 – 3 bulan setelah tanam. Ciri
khas dari umbi bit merah yaitu memiliki warna merah ungu gelap dan pekat,

3
memiliki rasa dan aromanya yang dikenal sebagai bau tanah (earthy taste). Ciri
fisik umbi bit merah yaitu berbentuk bulat mirip kentang, apabila di belah
dalamnya terlihat garis-garis putih dan merah muda.

Umbi bit kaya akan kandungan yang baik sehingga bermanfaat bagi kesehatan
manusia dan biasanya dijadikan bahan pengobatan. Kandungan pada bit merah
berupa betasianin yang memiliki manfaat yang sangat banyak contohnya sebagai
zat anti kanker, dapat mencegah tumor, dapat mengeluarkan racun dalam tubuh,
stroke, mencegah penyakit jantung, memperkuat daya tahan tubuh, mengobati
infeksi, radang, dapat menurunkan kadar kolesterol, sebagai penghasil energi
bagi tubuh, juga dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh.

2.1.2. Sisal (Agave sisalana)

Sisal (Agave Sisalana) merupakan tanaman penghasil serat alam yang


sangat potensial dengan keunggulan serat kuat, tahan terhadap kadar garam tinggi,
dapat diperbaharui serta ramah lingkungan (Gambar 1). Serat alam sisal banyak
dimanfaatkan antara lain dalam industri rumah tangga, bahan interior mobil dan
tali-temali.
Daun agave dapat diproses untuk diambil seratnya setelah tanaman
berumur 2 tahun. Serat yang dihasilkan dari daun Agave sp dikenal juga dengan
sebutan serat sisal. Serat sisal pada awalnya hanya dimanfaatkan sebagai bahan
baku tali-temali seperti tali pengikat daun tembakau di Madura dan karung goni
untuk kemasan produk-produk pertanian

Pada tahun 2017, Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas)
sebagai pendamping, PT. Sumbawa Bangkit Sejahtera berhasil melepas satu
varietas sisal intoduksi dari china dengan nama varietas H 11648 berdasarkan SK
kementan No.109/Kpts/KB.010/2/2017 Keunggulan varietas H 11648 : potensi
produksi serat kering 4.728-5.964,763 kg/ha/tahun, rendemen serat 4-5,298 %,
serat berwarna putih kekuningan mengkilap dengan kekuatan 31,363 ± 1,849
g/tex, memiliki umur satu siklus tanaman 8-13 tahun dengan umur panen pertama
36-48 bulan setelah tanam. Selain itu varietas juga memiliki keunggulan
morfologi tidak terdapat duri pada tepi daun. Keberadaan duri pada tepi daun
sangat tidak diinginkan karena menyulitkan pada saat panen dan proses penyertan

4
dengan mesin desikator dapat menimbulkan kecelakaan kerja yaitu luka pada
tangan. Kelemahan varietas H 11648 diantaranya peka terhadap serangan penyakit
Fusarium. Namun demikian tetap aman dikembangkan dengan perlakuan
fungisida serta teknik budidaya yang baik.

2.1.3. Talas

Talas (Colocasia Escuienta (L.) Schott) merupakan anggota penting dari


keluarga Araceae dan merupakan tanaman pangan pokok yang terdapat di banyak
negara daerah tropis dan subtropis lembab. Sebelum dimulainya perdagangan
global dan transportasi komoditas pertanian, talas merupakan tanaman pati yang
paling banyak dibudidayakan di dunia, tersebar mulai dari India dan Asia
Tenggara hingga Asia Timur Laut, Kepulauan Pasifik, Madagaskar, Afrika, dan
Mediterania. Produksi talas global mencapai 10,1 juta ton yang dipanen dari 1,5
juta hektar pada tahun 2014, dengan menghasilkan hasil rata-rata 6.945 ton per
hektar. Salah satu negara, Nigeria adalah produsen terbesar dengan pangsa global
sebesar 32,4%, diikuti oleh Tiongkok, Kamerun, Ghana, dan Papua Nugini. Di
antara lima negara produsen terbesar, Tiongkok, dengan 19,3 ton per hektar,
merupakan negara dengan produktivitas tertinggi.
Meskipun umbi merupakan bagian tanaman yang paling banyak
dikonsumsi, helaian daun, tangkai daun, stolon, dan bunga juga dimakan,
tergantung pada kultivar dan kebiasaan pangan setempat. Tetapi, untuk dapat
memproduksi umbi yang efisien, maka dipanen pada usia muda dan ini
merupakan saat yang terbaik untuk dikonsumsi. Jenis-jenis talas beradaptasi
dengan baik pada berbagai lingkungan, mulai dari ladang berpindah, pertanian
tadah hujan, pekarangan rumah, hingga sawah dan rawa. Seperti pada tanaman
umbi-umbian, talas yang dibudidayakan diperbanyak secara vegetatif melalui
tunas (anakan) dari umbi tengah atau dengan set yang terdiri dari sebagian
tangkai daun dan sebagian umbi pengisap (Andreas, dkk. 2018).

2.1.4. Ubi Jalar

Ubi jalar atau sering disebut dengan ketela rambat (Ipomoea batatas)
adalah sejenis tanaman budidaya. Bagian yang dimanfaatkan adalah akarnya yang
membentuk umbi dengan kadar gizi (karbohidrat) yang tinggi. Di Afrika, umbi
5
dari ubi jalar menjadi salah satu sumber makanan pokok yang penting. Di Asia,
selain dimanfaatkan umbinya, daun muda ubi jalar juga dibuat sayuran. Terdapat
pula ubi jalar yang dijadikan tanaman hias karena keindahan daunnya. Ubi jalar
berasal dari daerah beriklim tropis.
Di dunia ubi jalar menjadi salah satu tanaman yang sangat penting,
khususnya di negara-negara berkembang, Saat ini menduduki peringkat ketujuh di
antara tanaman pangan terpenting di dunia dalam produksinya (FAOSTAT 2009).
Ubi jalar memiliki kandungan vitamin A dan nutrisi penting lainnya yang sangat
tinggi (Woolfe 1992), akarnya digunakan untuk memerangi gangguan nutrisi di
beberapa negara di Afrika dan Asia. Akar ubi jalar juga merupakan pakan ternak
yang penting di negara-negara seperti Tiongkok dan makanan hewan di Amerika
Serikat (Bickers 2015).
Peningkatan pesat konsumsi ubi jalar di AS baru-baru ini menunjukkan
semakin pentingnya tanaman ini di seluruh negeri, terutama melalui produk
bernilai tambah seperti kentang goreng dan keripik (Johnson dkk. 2015). North
Carolina adalah produsen ubi jalar terkemuka di Amerika Serikat dan bertanggung
jawab atas lebih dari 40% produksi nasional, yang bernilai lebih dari $260 juta
(NCDA&CS 2015). Meskipun produksi ubi jalar dibatasi oleh berbagai faktor
abiotik dan biotik, penyakit tanaman merupakan ancaman yang signifikan
terhadap industri di seluruh dunia (Clark et al. 2013). Penyakit ini berkembang
relatif lambat dan sebagian besar terjadi selama penyimpanan jangka panjang.

2.1.5. Umbi Porang

Tanaman Porang (Amorphophallus muelleri Blume) merupakan komoditas


umbi asli tropis yang memiliki potensi untuk dikembangkan dalam industri
pangan hingga manfaatnya di bidang medis. Kandungan glukomanan yang tinggi
terdapat dalam Umbi porang berkisar antara 50‒70% (Wigoeno et al. 2013).
Glukomanan ini merupakan karbohidrat yang sulit dicerna (low digester) dan
banyak digunakan sebagai pengemulsi, makanan, dan minuman rendah kalori
(Zhang et al. 2005). Tepung murni yang diekstraksi dari umbi, umumnya dikenal
sebagai konjac glukomanan (KGM), juga dapat dimanfaatkan sebagai obat anti-
obesitas, anti-hiperglikemik, dan anti-hiperkolesterol (Chua et al. 2010). Selain
itu, olahan tepung porang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pangan
alternatif pengganti karbohidrat.
6
Sama halnya dengan jenis umbi-umbian yang lain, umbi porang juga
memiliki kandungan seperti pati sebanyak 76.5%, protein sebanyak 9.20%, serat
sebanyak 20%, dan lemak sebanyak 0.2% (Novita dan Indriyani, 2013).
Kandungan karbohidrat porang terdiri dari pati, gula pereduksi, serat kasar, dan
glukomanan. Angka kandungan glukomannan dalam porang relatif tinggi, yaitu
sekitar 40 – 55% (tergantung dengan jenis porangnya), sehingga menjadikan
glukomannan sebagai ciri khas umbi porang (Saleh et al., 2015). Glukomanan,
yang dikenal dengan nama Konjac Glucomannan (KGM), memiliki karakteristik
yang unik. Viskositas atau sifat kekentalan yang diberikan 1% larutan
glukomanan sangatlah tinggi, yaitu sekitar 30,000 cP. Hal tersebut disebabkan
karena glukomanan memiliki sifat penyerapan atau pengikatan air yang tinggi, di
mana 1 gram glukomanan dapat menyerap 100 gram air. Maka dari itu, KGM
dapat dijadikan sebagai alternatif dari penggunaan agar-agar dan gelatin (Aryanti
dan Abidin, 2015).

2.1.6. Singkong
Singkong (Manihot esculenta Crantz) adalah makanan pokok bagi jutaan
orang di seluruh dunia dan menjadi sumber energi utama bagi lebih dari 200 juta
orang di Afrika (Hahn & Toole 1988). Singkong diolah menjadi berbagai bentuk
jenis makanan bagi manusia (Satin 1988; IITA 1990) dan ternak (Okeke & Oti
1988) dan sangat bernilai guna dalam industri (Cock, 1985). Singkong memiliki
kandungan gizi yang cukup tinggi dengan kandungan total karbohidrat dan serat
32,4gram, 1 gram protein, dan 0,2 gram lemak. Hal ini juga ditambah dengan
berbagai vitamin termasuk vitamin C, niasin, riboflavin, tiamin, askorbat dan
asam folat (Oyenuga, 1968). Singkong sebagai komponen pakan ternak telah
meningkatkan kualitas susu sapi dan produksinya (Oyenuga, 1968). Karena
manfaatnya tersebut Pati singkong telah banyak digunakan sebagai salah satu
bahan baku dasar industri tekstil, farmasi dan kertas.
Singkong mengalami kehilangan hasil yang parah akibat serangan hama dan
penyakit. Tingkat kerugian yang disebabkan oleh satu penyakit seperti busuk bisa
mencapai 90% atau bahkan mengakibatkan kegagalan panen. Beberapa tindakan
fisik dan kimia telah dilakukan dalam pengendalian penyakit umbi singkong.
Selain penggunaan bahan kimia secara terus-menerus karena menekankan

7
kerugiannya termasuk racun sisa dalam bahan yang diolah, polusi lingkungan dan
meningkatnya resistensi pestisida (Kumar, 1984).

2.1.7. Kentang
Kentang (Solanum tuberosum L) terkenal sebagai salah satu makanan
pokok di luar negeri terutama di Eropa karena memiliki kandungan karbohidrat di
dalamnya. Menurut (Rahayu, 2015) kentang adalah satu dari lima makanan pokok
di dunia sebagai sumber karbohidrat. Kelima makanan pokok tersebut yaitu
beras, gandum, kentang, sorgum, dan jagung. Di Indonesia, kentang masih
dianggap sebagai salah satu sayuran. Namun demikian, kentang merupakan
makanan yang enak serta sangat bernutrisi dan juga dikenal memiliki kandungan
vitamin A, B-kompleks, C, hingga asam folat. Selain itu juga memiliki
kandungan mineral, protein, karbohidrat, karotenoid, dan polifenol. Pada kentang,
juga terdapat zat solanin yang dikenal sebagai obat penenang, antikejang,
antijamur, dan pestisida. Vitamin C yang terkandung di dalamnya setiap 100 g
adalah 17 mg. Selain terkandung karbohidrat dan serat-serat, mineral yang ada
padanya antara lain adalah zat besi, fosfor, dan kalium. Komoditas kentang
merupakan bahan pangan yang penting di Indonesia dan dibutuhkan hampir
sepanjang tahun. Secara statistik, potensi pasar kentang dapat dilihat dari analisis
bank dunia tahun 1998-2010 yang memproyeksikan permintaan sayuran yang
meingkat rata-rata 3,6-4% pertahun.
Kentang merupakan tanaman umbi-umbian bernilai ekonomis tinggi dan
memberikan keuntungan lebih untuk petani karena harga umbi yang relatif stabil
serta umbi kentang dapat disimpan lebih lama daripada sayuran lainnya (Ridwan,
2010). Rendahnya produktivitas kentang di Indonesia disebabkan oleh teknik
budidaya yang masih belum cukup optimal, kurangnya ketersediaan bibit yang
bermutu dan bersertifikat, serta serangan organisme pengganggu tanaman. Salah
satu penyakit yang terdapat pada kentang adalah penyakit layu yang
disebabkan bakteri Ralstonia solanacearum dan cendawan Fusarium oxysporum.

2.1.8. Umbi gembili


Gembili (Dioscorea esculenta L.) merupakan umbi dari keluarga
Dioscoreacea. Keluarga Dioscoreacea mempunyai keunggulan dapat tumbuh di
bawah tegakan hutan tetapi sampai saat ini masih merupakan tanaman subsiten,
8
yaitu bukan tanaman pokok yang dibudidayakan, karena pemanfaatannya masih
terbatas. Keunggulan dari kelompok Dioscorea adalah mengandung senyawa
bioaktif atau senyawa fungsional, selain komponen yang berperan sebagai bahan
pangan. Gembili merupakan jenis tumbuhan yang berbuah di bawah tanah. Jenis
umbi ini tumbuh merambat dan dapat mencapai tinggi antara 3-5 m dengan daun
berwarna hijau dan batang berduri di sekitar umbi serta terdapat duri berwarna
hitam. Kulit kupasan umbi dan umbi hasil buangan atau sisa juga dapat digunakan
sebagai pakan ternak atau bahkan cadangan makanan saat terjadi paceklik. Umbi
tanaman gembili umumnya digunakan sebagai sumber karbohidrat setelah
dimasak atau dibakar. Umbi tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
campuran sayuran setelah dimasak, direbus atau digoreng, dan dijadikan makanan
pokok pengganti beras (Prabowo, Aditya Yoga., dkk, 2014).

9
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyakit pascapanen adalah proses fisiologis yang merugikan yang


disebabkan oleh gangguan yang terus- menerus oleh penyebab primer yang
disebabkan langsung oleh bakteri, cendawan dan virus. Proses abiotik sendiri
dinyatakan oleh adanya aktivitas sel yang abnormal dan ditunjukkan dalam
keadaan patologis (tidak dapat ditularkan) sifatnya khas yang disebut gejala.
Gejala merupakan ekspresi dari inang terhadap kondisi patologik dimana satu
penyakit tertentu dapat dibedakan dengan penyakit lain. Akan tetapi gejala
mempunyai arti luas yang mengikutsertakan respon terhadap infeksi yang bisa
diukur dan berubah dengan berkembangnya suatu penyakit yang kondisinya
tergantung kepada lingkungan, varietas inang dan ras dari patogen. Keadaan
abnormal ini bisa ditunjukkan dengan perubahan perubahan berat, kehilangan
berat, perubahan yang tidak dapat dilihat, misalnya menurunnya atau naiknya
respirasi, suhu dan kelembaban.
Penyakit pascapanen dibagi menjadi tiga yaitu: a) Penyakit yang nyata
terlihat pada suatu komoditi pascapanen yaitu infeksi biasanya terjadi sebelum
panen, namun komoditi masih tetap dapat dipasarkan (marketable). Misalnya
penyakit kudis pada jeruk/pisang. b) Penyakit yang bersifat infeksi laten yaitu
komoditi pascapanen nampak sehat tapi membawa infeksi laten dan penyakit yang
akan nampak bila komoditi mulai matang. Misalnya antraknosa pada mangga. c)
Penyakit yang terjadi setelah panen yaitu komoditi yang bebas infeksi pada waktu
panen, tetapi kemudian terinfeksi setelah panen, baik di ladang, waktu
pengangkutan, di gudang atau di pasar. Misalnya, akibat panen atau pengangkutan
yang kasar menimbulkan luka pada buah, sayur, biji-bijian sehingga patogen
dapat dengan mudah masuk (Hasbullah, 2016).
Periode prapanen (preharvest period), periode lapangan (field period),
atau fase I (first phase) adalah rentang waktu antara benih disebar sampai saat
hasil tanaman dipanen, meliputi beberapa tahap yang jumlah dan macamnya
sangat dipengaruhi oleh komoditasnya. Periode pascapanen (postharvest pe-riod)
adalah rentang waktu antara saat dipanennya hasil tanaman sampai hasil tanaman
tersebut dikonsumsi. Oleh karena itu, penyakit yang terdapat pada periode
prapanen disebut penyakit prapanen (preharvest disease), penyakit lapangan (field
10
disease), atau penyakit fase pertama (first phase disease), sedangkan penyakit
periode pascapanen disebut penyakit pascapanen (postharvest disease) atau
penyakit fase kedua (second phase disease). Di luar negeri ada yang menyebut
penyakit pascapanen dengan penyakit gudang atau simpanan (storage disease)
atau penyakit pasar (market disease), tetapi istilah ini kurang tepat karena tidak
mencakup seluruh penyakit pascapanen yang seharusnya, sebab periode
pascapanen tidak hanya selama di gudang atau simpanan dan selama di pasar saja,
tetapi juga masih mencakup rentang waktu yang lain.
Periode prapanen (preharvest period), periode lapangan (field period),
atau fase I (first phase) adalah rentang waktu antara benih disebar sampai saat
hasil tanaman dipanen, meliputi beberapa tahap yang jumlah dan macamnya
sangat dipengaruhi oleh komoditasnya. Periode pascapanen (postharvest period)
adalah rentang waktu antara saat dipanennya hasil tanaman sampai hasil tanaman
tersebut dikonsumsi. Oleh karena itu, penyakit yang terdapat pada periode
prapanen disebut penyakit prapanen (preharvest disease), penyakit lapangan (field
disease), atau penyakit fase pertama (first phase disease), sedangkan penyakit
periode pascapanen disebut penyakit pascapanen (postharvest disease) atau
penyakit fase kedua (second phase disease). Di luar negeri ada yang menyebut
penyakit pascapanen dengan penyakit gudang atau simpanan (storage disease)
atau penyakit pasar (market disease), tetapi istilah ini kurang tepat karena tidak
mencakup seluruh penyakit pascapanen yang seharusnya, sebab periode
pascapanen tidak hanya selama di gudang atau simpanan dan selama di pasar saja,
tetapi juga masih mencakup rentang waktu yang lain.
Pengurangan kehilangan hasil yang dapat disebabkan oleh Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) yang berupa hama, penyakit, dan gulma inilah yang
langsung berkaitan dengan penyakit pascapanen, sebab penyakit pascapanen
adalah bagian dari penyakit secara umum. Dalam rangka pengurangan kehilangan
hasil ini dilaksanakan dengan pengelolaan penyakit terpadu (PHT) untuk
menghindarkan timbulnya dampak negatif pengendalian yang didominasi oleh
penggunaan fungisida sintetik berupa 1) pencemaran lingkungan, 2) timbulnya
resistensi OPT terhadap fungisida, dan 3) keracunan konsumen. Agar konsep PHT
yang menegaskan penggunaan pestisida sintetik secara bijaksana benar-benar
dapat dilaksanakan oleh masyarakat (petani) maka PHT harus dipahami dan

11
diamalkan oleh masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut pemasyarakatan PHT
dilaksanakan dengan Sekolah Lapangan Pengelolaan Hama Terpadu (SLPHT),
yang prinsipnya mengajak petani untuk mengendalikan OPT berdasarkan hasil
monitoring OPT, sehingga pengendalian menjadi lebih efisien dan tidak
menimbulkan dampak negatif. Cara itu nantinya juga harus diberlakukan untuk
penyakit pascapanen.
Manfaat umbi-umbian bagi kehidupan manusia yang secara ilmiah
dibuktikan telah menjadi perhatian penting dalam berbagai studi dan penelitian.
Dalam konteks penulisan jurnal ilmiah, kita dapat merinci manfaat-manfaat ini
dengan lebih lengkap dan struktural. Selain itu, umbi-umbian juga memberikan
kontribusi penting dalam asupan serat pangan. Serat dalam wortel dan bawang,
sebagai contoh, memiliki peran dalam meningkatkan pencernaan dan memelihara
kesehatan usus. Mereka juga berperan dalam pengendalian berat badan dan dapat
membantu dalam pencegahan penyakit non-menular, seperti diabetes tipe 2 dan
penyakit kardiovaskular.
Umbi-umbian juga adalah sumber vitamin dan mineral yang sangat
beragam. Kentang, misalnya, mengandung vitamin C dan B6, sementara wortel
kaya akan vitamin A dalam bentuk beta-karoten. Kehadiran folat dalam umbi-
umbian seperti kentang juga mendukung pertumbuhan dan perkembangan sel-sel
tubuh. Selain itu, kandungan mineral seperti potassium dalam singkong
mendukung fungsi keseimbangan elektrolit dalam tubuh.
Manfaat lainnya adalah ketersediaan dan ketahanan umbi-umbian dalam
penyimpanan yang lama, menjadikannya sebagai sumber makanan yang dapat
diandalkan di berbagai kondisi lingkungan dan musiman. Ini penting dalam aspek
ketahanan pangan. Selain itu, kemampuan beradaptasi umbi-umbian dengan
berbagai kondisi pertanian membuat mereka menjadi tanaman yang dapat ditanam
dengan relatif mudah di berbagai wilayah.
Terakhir, aspek lingkungan juga perlu diperhatikan. Umbi-umbian seperti
singkong dan ubi rata-rata memerlukan lebih sedikit air dalam pertumbuhan
mereka dibandingkan dengan beberapa tanaman lain, serta memiliki kemampuan
dalam mempertahankan kualitas tanah. Ini membantu dalam menjaga
keberlanjutan lingkungan dan pengurangan erosi tanah.

12
Adapun macam-macam umbi-umbian beserta penyakit pascapanennya
adalah sebagai berikut:

3.1 Umbi gula bit (Beta vulgaris L)

Adapun penyakit pasca panen pada umbi bit adalah Penyakit kuning Fusarium
(Fusarium Yellow Desease). Penyakit ini disebabkan oleh cendawan patogen
Fusarium oxysporum Schlecht yang ditularkan melalui tanah pada gula bit (Beta
vulgaris L.) yang dapat menyebabkan penurunan hasil pada akar atau umbi,
persentase sukrosa, kemurnian sari, dan umur penyimpanan secara signifikan.
Epidemi penyakit akar yang disebabkan oleh jamur tular tanah secara langsung
bergantung pada interaksi antara pertumbuhan jamur, heterogenitas spasial dan
temporal lingkungan tanah (termasuk faktor fisik dan lingkungan tanah), dan
tahap pertumbuhan atau pertumbuhan akar tanaman. Cendawan F. oksysporum f.
sp. betae memasuki inang melalui akar atau umbi, terutama tumbuh di jaringan
vaskular atau pembuluh angkut. Ketika ikatan jaringan angkut tersumbat dapat
menyebabkan daun tua menjadi layu dan antar vena terlihat menguning. Adapun
isolat dari penyakit terkait, busuk akar Fusarium (disebabkan oleh F. oxysporum f.
sp. radicis betae), tumbuh lebih baik pada suhu 20°C dibandingkan pada suhu
30°C secara in vitro (Webb, Kimberley L., et al, 2015)

3.2 Sisal (Agave sisalana)

Tumbuhan Sisal atau Agave Sisalana adalah tanaman penghasil serat alami
yang cukup populer di Indonesia. Seratnya tidak cuma berguna sebagai bahan
baku pembuat benang, namun juga bermanfaat sebagai material bangunan,
konstruksi hingga otomotif. Menurut sejarah, tumbuhan endemik asal Meksiko ini
pertama kali dibawa ke Indonesia pada abad ke-17. Flora tersebut bangsa Spanyol
perkenalkan sebelum menjadi objek budi daya. Tingginya permintaan material
serat pada saat itu, turut melambungkan nama tanaman sisal. Tak ayal pada abad
ke-20, tumbuhan ini resmi menjadi komoditi ekspor yang berasal dari Indonesia.
Di tanah air, peta persebaran Agave sisalana terbilang cukup luas. Mereka dapat
kita temukan menyebar di sekitar Pulau Jawa, Madura, hingga Nusa Tenggara
Barat (NTB).

13
Gambar 1. Tanaman Agave
Tumbuhan sisal memang tergolong cukup kuat. Jika kita tinjau dari
habitatnya, tanaman ini dapat berbiak secara baik pada lingkungan yang tandus,
panas dengan karakteristik tanah yang kering. Salah satu syarat
pertumbuhan Agave di habitatnya adalah sinar matahari penuh dengan tingkat
kelempaban udara 70-80% (moderate), serta curah hujan berkisar 1.000-1.250
mm per tahunnya.
Agar dapat tumbuh secara sempurna, mereka juga memerlukan lingkungan
dengan suhu maksimal antara 27-28 C, kadar pH tanah berkisar 5,5-75, dengan
kandungan Ca yang cukup di dalamnya. Mirip seperti kaktus, spesies Agave tidak
memerlukan air yang banyak saat pembudidayaannya. Mereka justru tidak suka
lingkungan yang basah maupun tanah dengan genangan air yang banyak. Melihat
karakteristik habitat dari tumbuhan yang satu ini, tidak salah jika mereka berasal
dari kawasan tropis-sub tropis seperti Meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika
Selatan.
Namun tanaman ini juga tak terlepas dari serangan pathogen. Pathogen
yang biasanya menyerang Sisal adalah Fusarium oxysporum.

Gambar 2. Fusarium Sp
14
Sisal (Agave sisalana) dapat terkena berbagai patogen, termasuk jamur
seperti Fusarium, yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman. Beberapa ciri-
ciri umum yang menunjukkan bahwa sisal telah terinfeksi oleh patogen seperti
Fusarium atau penyakit lainnya meliputi: Pembusukan Batang dan Akar: Patogen
seperti Fusarium seringkali menyerang bagian batang dan akar sisal. akan terlihat
pembusukan, kerusakan, atau bintik-bintik coklat gelap pada batang dan akar
tanaman.

Gambar 3. Fusarium menyerang tanaman Agave

Pengendalian Agave sisalana untuk mencegah serangan penyakit


Fusarium dapat melibatkan sejumlah tindakan budidaya dan pengelolaan yaitu
Pemilihan Varietas Tahan dengan dengan memilih varietas Agave sisalana yang
memiliki ketahanan terhadap serangan Fusarium jika varietas tersebut tersedia.
Varietas yang tahan biasanya lebih sulit diserang oleh patogen. selain itu sanitasi
yang baik dengan menjaga kebersihan area pertanaman. Hapus dan hancurkan
semua sisa-sisa tanaman yang terinfeksi. Ini dapat membantu mengurangi sumber
infeksi di lapangan.

3.3 Kentang
Penyakit pada kentang menjadi salah satu kendala dalam budidaya
tanaman pangan ini. Penyakit tanaman kentang bisa disebabkan oleh jamur,
bakteri, bahkan virus. Serangan patogen tersebut bisa menyebabkan tanaman
rusak hingga mati. Tak hanya itu, kualitas dan kuantitas umbi kentang yang
dihasilkan juga akan terganggu dengan adanya serangan patogen tersebut. Dikutip
dari Cybext Kementerian Pertanian, Minggu (8/1/2023), berikut ini beberapa
penyakit pada kentang dan cara pengendaliannya.
15
Adapun penyakit pasacapanen pada kentang adalah sebagai berikut:

a. Busuk umbi kentang disebabkan oleh Cendawan Colletotrichum coccodes.

Gejala penyakit ini yaitu daun menggulung dan menguning. Kemudian


lama kelamaan layu dan mengering. Selain itu, terdapat juga bercak warna coklat
pada bagian tanaman yang ada di dalam tanah. Penyakit ini bisa menyebabkan
akar dan umbi kentang yang masih muda busuk. Cara mengendalikan penyakit ini
dengan melakukan pergiliran tanaman, menjaga kebersihan kebun, dan
menggunakan bibit unggul.

Gambar 4. Cendawan Colletotrichum coccodes

Gambar 5. Kentang yang terinfeksi cendawan Colletotrichum coccodes

b. Gejala layu fusarium

16
Gejala layu Fusarium pada kentang bisa dilihat dari umbu yang mulai
busuk dan menyebabkan tanaman layu. Penyakit ini juga bisa dijumpai pada
kentang yang sudah dipanen dan disimpan di gudang.
Cara mengendalikan penyakit ini bisa dengan menghindari luka pada umbi
atau tanaman saat penyiangan dan dengan mengaplikasikan agensia hayati
sebelum atau di awal penanaman.

c. penyakit busuk kering atau Dry Rot


Jamur Fusarium coeruleum ini masuk ke dalam umbi kentang umumnya
melalui luka yang terjadi selama panen, sortasi, atau yang terjadi di lapangan yang
disebabkan oleh jamur Phytophthora infestans. Selain lewat luka, jamur ini juga
dapat masuk ke dalam jaringan umbi kentang melalui lenti sel atau jaringan yang
lemah di sekitar bakal tunas.

Gambar 6. Fusarium pada kentang

Gejala: berupa bercak cokelat tua berlekuk yang mula-mula kecil dan
kemudian dapat membesar dan meluas. Pada permukaan bercak terbentuklah
bantal-bantal yang berwarna putih, oranye, atau merah jambu yang terdiri atas
miselium dan konidi jamur. Bagian umbi yang sakit menjadi kering berkerut dan
keras seperti mumi (mumifikasi), hingga sukar dipotong dengan pisau. Bagian
dalam umbi yang sakit berubah menjadi massa seperti tepung yang kering.
Penyebab: jamur Fusarium coeruleum (Lib.) Sacc. ini mempunyai dua
macam konidi yang disebut makro dan mikrokonidi. Mikrokonidi berbentuk bulat
atau lonjong, sedangkan makrokonidi berbentuk seperti sabit dengan kedua
ujungnya runcing, bersekat lebih dari 2. Selain jamur ini ada jamur lain yang
dapat menimbulkan gejala penyakit yang sama, yaitu F. sambucinum Fuckel, E

17
solani (Mart.) Appel & Wr. f.sp. martii, F. oxysporum Schlecht., dan F. culmorum
(W. GSm.) Sacc.
Pengendalian: penyakit ini dapat dicegah atau dikurangi dengan desinfeksi
gudang serta alat yang digunakan dalam periode pascapanen. Penanganan
pascapanen dengan hati-hati agar tidak menimbulkan luka. Bahkan kalau perlu
dengan pengendalian nematoda di lapangan, karena nematoda dapat menimbulkan
luka pada umbi. Dengan menyimpan umbi yang utuh saja, jadi yang luka harus
disimpan di ruang yang lain atau langsung dikonsumsi atau dipasarkan.
Penyerbukan (dusting) dengan menggunakan tetrachloronitrobenzol selain dapat
mencegah pembusukan juga dapat mencegah berkecambahnya umbi.

d. Penyakit Busuk Umbi Bakteri

Penyakit ini sebenarnya lanjutan dari penyakit lapangan yang dikenal


dengan penyakit layu bakteri, tetapi serangannya ternyata dapat juga mencapai
umbinya dan perkembangannya dilanjutkan selama periode pascapanen.

Gambar 7. Busuk Umbi Kentang

Gejala: di lapangan hanya berupa bercak berwarna hitam melekuk


(mengendap). Jika umbi dipotong pada jaringan umbi yang sakit terlihat pem-
busukan dengan warna cokelat dan pada lingkaran berkas pembuluhnya terdapat
lendir warna krem (cokelat muda) sampai kelabu. Pada periode pascapanen,
penyakit dapat berkembang hingga pembusukan meluas, bahkan umbi dapat
busuk basah, dan bila umbi terkena sesuatu tekanan hingga pecah dapat
mengeluarkan air yang mengandung massa bakteri yang dapat menular ke umbi
lain yang sehat.
Penyebab: Pseudomonas solanacearum yang sekarang lebih dikenal
dengan Ralstonia solanaceraum, dengan bentuk batang dan bulu satu atau
18
beberapa buah (monotriklopotrik). Bacterium solanacearum (E.F. Sm) E.F.Sm.
dahulu pernah dikenal sebagai bakteri kurang terkenal, selanjutnya dimasukkan ke
Xanthomonas solanacearum (E.F.Sm) Dowson dan juga Phytomonas
solanacearum E.F.Sm,.) Bergey et al.
Pengendalian: karena penyakit ini hanya lanjutan dari penyakit lapangan
maka pengendalian yang dilakukan adalah di lapangan, antara lain sanitasi
lingkungan, pengolahan tanah yang baik, drainasi yang baik, dan hanya menanam
umbi yang sehat kalau perlu benihnya direndam dahulu dalam larutan Agrimycin
15/1.5 WP dengan kadar 200-400 ppm selama 5 menit. Di negara tertentu
dilakukan dengan menurunkan pH tanah dengan pemberian serbuk belerang ke
dalam tanah sebanyak 500-1500 (rata-rata 900) kg/hektar tanah beberapa minggu
sebelum tanam.

e. Penyakit Kudis

Gejala: berupa bercak-bercak kecil yang kemudian menjadi kasar karena


pada permukaannya terbentuk lapisan gabus, yang sudah dimulai gejalanya sejak
di lapangan (prapanen). Bercak-bercak tersebut satu sama lain sering menjadi satu
hingga membentuk bercak baru yang ukurannya cukup besar, bahkan karena
banyaknya sering kali seluruh permukaan umbi tertutup oleh bercak berwarna
cokelat dan keras. Oleh karena itu, selain penampilannya menjadi jelek, juga
menyebabkan kulit sukar dikupas. Penyakit ini dapat dikendalikan dengan
pengairan secara teratur di lapangan.

f. Penyakit Nekrosis Jala (Net Necrosis) oleh virus Corium Solani Holmes

Penyakit ini di lapangan dikenal dengan penyakit daun menggulung (leaf


roll) dan apakah gejala daun menggulung disertai oleh nekrosis jala atau tidak
dipengaruhi oleh kultivar kentang yang ditanam. Virus ini dapat ditularkan oleh
vektornya, yaitu Myzus persicae. Penyakit ini pada kultivar tertentu, misalnya
Green Mountain berupa nekrosis pada berkas pembuluh floem yang berupa jala
yang berwarna cokelat sampai hitam. Penyakit ini dapat dikurangi dengan jalan
pemotongan bagian atas tanaman di atas permukaan tanah 10-20 hari sebelum
panen, sebab pada saat itu virus masih berada di batang (umbi). Selain itu,
pemotongan ini dapat merangsang pembentukan lapisan gabus pada kulit umbi.
19
Penyimpanan umbi pada suhu 4°C dapat juga mengurangi perkembangan gejala
penyakit ini.

3.4 Talas

a. Busuk Lunak Umbi, Pythium spp.

Penyakit busuk akar merupakan penyakit yang paling merusak pada


tanaman cocoyam saat ini. Penyakit dan dapat menyebabkan hilangnya hasil
secara total. Beberapa patogen berbeda telah dilaporkan berhubungan dengan
RRD termasuk Rhizoctonia, Sclerotium rolfsii, Aspergillus niger, Fusarium
solani, oxysporum, Botryodiplodia theobromae, Corticium rolfsii, dan
Geotrichum candida. Namun patogen yang tampaknya menjadi agen penyebab
utama adalah Pythium myriotylum.
Pembusukan umbi biasanya dimulai dari pangkal dan berlanjut ke atas
sehingga pada akhirnya seluruh umbi dapat terkena dampaknya. Jaringan yang
membusuk bersifat keras dan mungkin berwarna kuning keputihan hingga abu-
abu dan biru atau ungu tua. Jaringan yang sehat dan yang sakit jelas terbagi. Pada
tahap selanjutnya, jaringan yang sakit akan hancur seperti keju dan mengeluarkan
bau yang tidak sedap. Akar membusuk jika berasosiasi dengan umbi. Dalam
beberapa kasus, hanya terdapat sedikit kerusakan pada umbi namun banyak akar
yang mati sehingga tanaman lepas begitu saja di dalam tanah. Pembusukan juga
dapat menyebar dari umbi utama ke umbi pengisap lateral.
Kerusakan akar yang disebabkan oleh Pythium mengganggu penyerapan
air dan unsur hara, dan tanaman menunjukkan produksi daun melambat, warna
buruk, dan daun luar layu. Tanaman yang tidak dibunuh sebelum dipanen
biasanya kerdil dan menghasilkan umbi kecil. Busuk akar dapat memasuki umbi
dari pangkal atau samping dan mengubah bagian dalamnya menjadi jaringan
busuk yang berbau busuk dan lembek. Jika busuk umbi naik ke titik tumbuh,
tanaman akan mati.

20
Gambar 8. Kerusakan Umbi Talas oleh Pythium

b. Busuk Umbi, Athelia rolfsii

Athelia rolfsii merupakan jamur tular tanah yang menginfeksi talas di


permukaan tanah, menyebabkan umbi dan akar membusuk serta daun layu.
Infeksi dimulai di permukaan tanah, di pangkal tangkai daun. Penggemar miselia
putih tumbuh di area yang terinfeksi dan kadang-kadang pada bahan organik di
dekatnya. Daun sering layu. Penyakit ini ditandai dengan jumlah daun mati yang
lebih banyak dari biasanya. Sklerotia berwarna krem pucat hingga coklat
kemerahan dengan diameter 1-2 mm biasanya terdapat di lokasi infeksi. Jamur ini
juga menyebabkan pembusukan umbi berwarna merah muda pascapanen,
sehingga menginfeksi umbi secara menyeluruh.

21
Gambar 9. Athelia rolfsii

c. Busuk Hitam Spons, Lasiodiplodia theobromae

Lasiodiplodia theobromae pada umbi talas menyebabkan penyakit busuk


pascapanen yang awalnya berwarna krem keputihan, menjadi biru/hitam.
Lasiodiplodia theobromae kemudian sering diisolasi pada jaringan umbi yang
membusuk di balik pembusukan yang disebabkan oleh Phytophthora colocasiae
dan Pythium splendens. Meskipun tidak ada jamur lain, jamur ini masuk ke umbi
melalui luka yang dibuat saat panen dan menyebabkan pembusukan total dalam
10-14 hari. Lasiodiplodia theobromae menyebabkan pembusukan bunga karang,
yang kadang-kadang menjadi kering dan berbentuk tepung, dengan batas yang
tidak jelas antara jaringan yang sehat dan yang sakit. Busuk hitam spons dapat
dideteksi dengan memotong umbi untuk memperlihatkan bagian dalam yang
hitam. ia memiliki bau yang kuat dan asam dan massa spora hitam terbentuk di
permukaan umbi.

Gambar 10. Kerusakan pada umbi

22
Gambar 11. Cendawan Lasiodiplodia theobromae pada umbi

3.4 Ubi Jalar

Penyakit pascapanen pada ubi jalar adalah:

a. Penyakit busuk lunak


Penyakit ini disebabkan oleh cendawan patogen Rhizopus stolonifer,
cendawan ini sangat merusak pada umbi ubi jalar (Ipomoea batatas (L.)
Lam) pada masa pascapanen. Cendawan ini dapat menyerang ubi jalar
segera setelah disimpan dalam gudang dan dilanjutkan selama masa
penyimpanan. Gejala penyakit busuk lunak adalah umbi mula-mula
menjadi lunak, berair, dan berjamur. Setelah kehilangan air, umbi secara
bertahap menjadi keras, berkerut, dan mudah rusak. Apabila sewaktu
masih basah kulit umbi pecah, muncul jamur seperti kumis pada
permukaan umbi dan apabila pembusukan dimulai dari bagian tengah
umbi, maka gejala busuk berupa gelang yang melingkar (Chailani, Siti
Rasminah, 2010). Koloni cendawan pada media PDA pada suhu 25°C
mula-mula berwarna putih seperti kapas kemudian menjadi hitam
kecoklat-coklatan. Miselium cendawan Rhizopus stolonifer berwarna
hitam dan berkembang banyak dan cepat pada kulit yang luka. Cendawan
ini melakukan infeksi melalui kerusakan mekanis atau luka pada ubi jalar
dan pembusukan umbi berlangsung 4-5 hari pada suhu ruang. Adapun
suhu optimum untuk pertumbuhan miselium, spora, dan perkecambahan
spora adalah pada suhu 23-28°C.

23
Gambar 12. cendawan Rhizopus stolonifera

b. Penyakit busuk hitam


Strain Cerotocystis fimbriata dilaporkan menyebabkan busuk hitam pada
ubi jalar dan menyebabkan kerusakan selama penyimpanan pascapanen.
Penyakit tanaman pascapanen menyebabkan kerugian besar, dan penyakit-
penyakit ini biasanya dikendalikan melalui penggunaan fungisida sintetik.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, resistensi C. fimbriata terhadap
fungisida sintetik telah meningkat secara drastis karena penggunaan bahan
sintetis dalam pertanian secara luas dan berjangka panjang. Penyakit yang
disebabkan oleh cendawan pada ubi jalar dapat mengurangi kualitas akar
penyimpanan. Periderm ubi jalar lebih tipis sehingga meningkatkan risiko
penyakit penyimpanan dan menyebabkan kerugian besar selama
penyimpanan. Selain itu, keberadaan patogen pascapanen mempengaruhi
penampilan dan rasa produk (Zhang, Man et al, 2018).

Gambar 13. Strain Cerotocystis fimbriata


Cendawan ini mulai melakukan penentrasi di lapangan dan apabila
disimpan pada suhu dan kelembaban yang cukup tinggi maka secara

24
bertahap penyakit ini mulai berkembang. Menurut Chailani, Siti Rasminah
(2010) selama sebulan atau dua bulan penyimpanan maka pada ubi jalar
akan terbentuk bercak yang mengendap berbentuk bulat dan berwarna
hitam dan bagian yang busuk biasanya dekat dengan permukaan tetapi
kadang-kadang masuk ke dalam umbi sampai mencapai pusatnya. Ciri-ciri
morfologi cendawan patogen Cerotocystis fimbriata yaitu mempunyai hifa
berwarna hitam kecoklatan, cendawan ini membentuk tubuh buah yaitu
peritesium yang bulat dengan leher panjang, konidia tidak berwarna
berukuran 20,8x 5,3 µm, dan klamidospora berbentuk bulat berwarna
coklat tua berukuran 15,9-13,1 µm. Pengendaliannya dapat dilakukan
dengan sanitasi ruang penyimpanan dan sanitasi kebun.
c. Penyakit Busuk permukaan atau surface root
Penyakit ini disebabkan oleh cendawan patogen Fusarium oxysporum.
Gejala awal dapat dilihat dengan adanya bercak hampir bulat pada
permukaan umbi. Bagian yang busuk hanya dangkal jarang berkembang
lebih dari seperempat atau setengah inci di bawah permukaan. Selanjutnya
umbi mengerut, terutama pada tepi bercak akhirnya mengering dan seperti
mumi. Biasanya penetrasi terjadi pda pangkal rambut akar saat pemanenan
atau permulaan penyimpanan. Menurut penelitian Siti Rasminah dkk
(2008) bahwa serangan jamur F. oxysporum pada permukaan ubi jalar
dapat menunjukkan gejala bercak tidak teratur berwarna kelabu dan
memiliki ukuran yang bervariasi. Apabila ubi jalar dibelah melintang,
bagian daging umbi berwarna coklat yang muncul dari bagian tepi umbi
akan meluas ke tengah. Cendawan patogen Fusarium oxysporum
membentuk tiga macam spora, yaitu mikrokonidium, makrokonidium, dan
klamidospora. Dari hasil penelitian tersebut bahwa pengamatan diameter
koloni jamur dapat mencapai 9 cm pada hari ke-8 setelah inokulasi dan
koloni berwarna putih tebal, pada bagian dasar koloni warna berubah
menjadi kuning muda. Konidia cendawan berbentuk bulan sabit memiliki
sekat 3-5 dan terdapat makrokonidia yang bersekat dan mikrokonidia yang
tidak bersekat.

25
Gambar 14. Fusarium oxysporum pada umbi

3.5 Umbi Porang

Penyakit pascapanen pada umbi porang (Amorphophallus muelleri)

a. Penyakit Busuk Lunak pada umbi


Mikroorganisme patogen yang umum menyerang umbi porang adalah
adalah Erwinia carotovora atau Pectobacterium carotovorum. Patogen ini
menyerang bagian umbi, baik pada masa tanam maupun pada saat
pascapanen. Penyakit busuk lunak yang menyerang pada masa
penyimpanan dapat menurunkan kualitas umbi porang. Busuk lunak
merupakan salah satu penyakit perusak pada umbi yang disebabkan oleh
mikroorganisme patogen, salah satunya adalah infeksi bakteri (Maghfiroh,
Ely Lailatul., dkk, 2022).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ely Lailatul Maghfiroh, dkk
(2022) adapun gejala penyakit pada umbi porang yang terinfeksi oleh
bakteri patogen diantaranya umbi mengalami perubahan warna pada hari
ke-2 dari kuning menjadi kecokelatan. Tekstur mengalami pelunakan serta
mengeluarkan bau busuk pada akhir pengamatan. Warna umbi berubah
menjadi cokelat kehitaman, kulit umbi yang terserang patogen mudah
mengelupas, Umbi porang yang bergejala busuk lunak berwarna cokelat
kehitaman, bertekstur lunak, disertai bau yang tidak sedap.

26
Gambar 15. Busuk lunak pada umbi porang

b. Penyakit busuk permukaan atau surface rot pada umbi


Umbi porang sering terinfeksi cendawan dari strain Fusarium, sp yang
merupakan penyebab pembusukan pada umbi dan tangkai daun. Adapun
cendawan Fusarium solani dapat menginfeksi akar atau batang tanaman
yang dapat menyebabkan busuk, kerdil, dan layu dengan derajat nekrosis
berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit (Gao, Penghua et al, 2023).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Penghua Gao et al (2023) umbi
porang (A. muelleri) yang memiliki gejala penyakit dikumpulkan
kemudian isolat dari sampel ditumbuhkan pada pada media PDA pada
suhu 27 °C. Pengamatan morfologi pada media PDA menunjukkan padat
dengan miselia putih. Konidia kecil berbentuk ginjal atau bulat telur, dan
konidia besar berbentuk hampir sabit dan ujungnya membulat tumpul.
Berdasarkan hasil pengamatan morfologi tersebut, maka cendawan yang
menginfeksi umbi porang tersebut teridentifikasi sebagai F. solani. Selain
itu penyakit busuk permukaan atau surface rot dapat juga disebabkan oleh
jamur Fusarium oxysporum. Gejala awal dapat dilihat dengan adanya
bercak hampir bulat pada permukaan umbi, dan bercak ini dapat bervariasi
baik jumlah maupun ukurannya pada permukaan umbi. Umbi akan
mengkerut terutama pada tepi bercak dan penetrasi cendawan biasanya
terjadi pada saat pemanenan atau permulaan penyimpanan.

27
3.7 Singkong

Penyakit pascapanen pada singkong diantaranya sebagai berikut:

a. Busuk Akar
Ini merupakan salah satu penyakit yang menyerang pada singkong yaitu
busuk akar yang disebabkan oleh berbagai jenis jamur didalam permukaan
tanah. Jamur yang menyerang akar ini adalah Fusarium spp, Phythoptora
spp, dan Phytium spp. Umbi yang terserang penyakit busuk ini akan
membuat umbi membengkak dan terjadi perubahan waran menjadi coklat
terang yang terlihat pada bagian dalam apabila umbi dipotong dan
menyebabkan umbi berbau tidak sedap.

Gambar 16. Fusarium oxysporum pada singkong

b. Polyporus Root Rot


Selanjutnya Jamur parasit (Polyporus sulphureus), yang awalnya diduga
bersifat patogen pada tanaman berkayu, ditemukan menyerang tanaman
singkong dan menyebabkan busuk akar yang parah di Ghana. Jamur
parasit ini mampu menyebabkan 100 % kehilangan hasil di lahan pertanian
dimana kultivar rentan ditanam. Gejala umum penyakit ini meliputi akar
yang busuk lunak dan mengeluarkan bau yang tidak sedap (hal ini sering
dikaitkan dengan pembusukan yang disebabkan oleh bakteri). Tunas atau
batang mati merupakan ciri tumbuhan yang akarnya busuk di bawah tanah.
Penyakit busuk akar pada akhirnya dapat menyebabkan kematian tanaman
yang terinfeksi.

28
Gambar 17. Jamur parasit (Polyporus sulphureus) pada singkong

c. Busuk Umbi
Busuk Umbi, Phytophthora palmivora pnyakit ini terutama disebabkan
oleh Phytophthora palmivora. Busuk umbi yang disebabkan oleh
Phytophthora lazim terjadi hingga 80%. Penyakit ini ditandai dengan
munculnya lesi-lesi berwarna gelap, bulat, dan tidak beraturan, basah
kuyup karena air (diameter 15-30 mm) pada umbi-umbian dewasa di
lahan. Lapisan miselium putih pada jamur berkembang di sekitar lesi ini.
Ketika infeksi berkembang, lesi membesar sehingga menyebabkan bagian
dalam menjadi coklat, cairan dalam keluar, dan umbi menyusut. Umbi
yang terinfeksi mengeluarkan bau busuk yang khas dan membusuk dalam
waktu 5-7 hari tergantung kondisi tanah. Namun gejala luar tidak terlihat
pada daun dan batang tanaman yang terinfeksi.

3.8 Umbi Gembili

a. Busuk Umbi

Jaringan yang terinfeksi akan mengalami pembusukan kering berwarna


coklat. Seringkali infeksi tidak diketahui sampai setelah panen atau sampai umbi
dibelah. Jika umbi dipotong melintang, zonasi infeksi akan terlihat. Busuk coklat
kering yang disebabkan oleh Fusarium terjadi di bagian tengah, dan mungkin
terdapat zona kehitaman disekitarnya dimana terdapat kerusakan parah dan infeksi
bakteri sekunder.

b. Busuk Lunak

Rhizopus nodosus menyebabkan busuk lunak yang terutama menyerang D.


esculenta; hanya infeksi lemah yang terjadi pada D. alata. Umbi menyusut hingga
tiga perempat volumenya dan kulit menjadi keriput. Ketika umbi dipotong,
29
jaringan menjadi coklat dan cairan berwarna kental dapat keluar dari jaringan
yang terinfeksi. Infeksi menyebar ke seluruh umbi, hanya bagian pembuluh darah
yang tidak terinfeksi.

c. Busuk Basah
Botryodiplodia theobromae adalah salah satu agen penyebab busuk umbi
yang paling penting dan dapat dikaitkan dengan busuk basah, busuk lunak, dan
busuk coklat kering. Infeksi sering terjadi bersamaan dengan serangan
nematoda atau serangga. Lesi akibat nematoda pada umbi bengkuang
memudahkan invasi patogen penyakit. Proses pembusukan yang
diakibatkannya seringkali menghancurkan seluruh umbi di dalam tanah dan
khususnya selama penyimpanan.

Gambar. Umbi Gembili

Gambar 18. Umbi Gembili

30
BAB IV
KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan dalam penulisan paper ini, umbi-umbian memiliki
manfaat signifikan dalam aspek nutrisi, ketersediaan makanan, dan lingkungan.
Penelitian lebih lanjut terus mendukung peran penting terhadap komoditas umbi-
umbian dalam memastikan pangan yang cukup, gizi yang seimbang, dan
keberlanjutan lingkungan yang berkelanjutan bagi populasi manusia. Manfaat
umbi-umbian bagi kehidupan manusia yang secara ilmiah dibuktikan telah
menjadi perhatian penting dalam berbagai studi dan penelitian.
Penanganan pascapanen produk umbi-umbian perlu diperhatikan dalam
upaya untuk mempertahankan umur simpan dan mencegah kerusakan agar bahan
pascapanen dapat dikonsumsi dalam keadaan baik. Hal ini tidak terlepas dari daya
infeksi patogen baik berupa jamur maupun bakteri yang menyebabkan
pembusukan pada komoditas pascapanen umbi-umbian.
Terakhir, aspek lingkungan juga perlu diperhatikan. Umbi-umbian seperti
singkong dan ubi rata-rata memerlukan lebih sedikit air dalam pertumbuhan
mereka dibandingkan dengan beberapa tanaman lain, serta memiliki kemampuan
dalam mempertahankan kualitas tanah. Ini membantu dalam menjaga
keberlanjutan lingkungan dan pengurangan erosi tanah.

31
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A., & Suhaeti, R.N. 2016. Pemanfaatan Teknologi Pascapanen untuk
PengembanganAgroindustri Perdesaan di Indonesia. Forum Penelitian Agro
Ekonomi,34(1): 21-34.

Andreas WE, Logotonu M, Waqainabete. 2018. Conserving and Sharing Taro


Genetic Resources for the Benefit of Global Taro Cultivation: A Core
Contribution of the Centre for Pacific Crops and Trees. Biopreservation
AND Biobanking 16(5), 361-367.

Anonym. 2023. https://agri.kompas.com/read/2023/01/08/145800684/6-penyakit-


pada-kentang-dan-cara-mengendalikannya
Aryanti N, Abidin KY. 2015. Ekstraksi Glukomannan dari Porang Lokal
(Amorphophallus oncophyllus dan Amorphophallus muerelli
blume). METANA 11(1): 21-30.

Badan Pusat Statistika. 2015. Produksi cabai besar, cabai rawit dan bawang merah
Tahun 2014.

Baroroh HN, Nugroho AE, Lukitaningsih E, Nurrochmad A. 2020. Water-


soluble fiber from bengkoang (Pachyrhizus erosus L. Urban) tuber
modulates immune system J Pharm Sci Clin Res.

Chailani, Siti Raminah., Saleh, Nasir., A.L. Abadi, Irianti. 2008. Identifikasi
jamur patogen Penyebab Penyakit Pascapanen pada Ubi Jalar di
Kabupaten Bangkalan dan Sampang. Agrivita Jurnal Ilmu Pertanian
3(30): 280-287.

Chailani, Siti Rasminah. 2010. Penyakit Pascapanen Tanaman Pangan. Cetakan


Pertama. Malang: UB Press.
Chua M, Baldwin TC, Hocking TJ, Chan K. 2010. Traditional uses and potential
health benefits of Amorphophallus konjac K. Koch ex N.E.Br. Journal
of Ethnopharmacology 128(2): 268–278.

Clark C, A Ferrin, D ST and Holmes G. 2013. Compendium of Sweetpotato


Diseases, Pests, and Disorders. American Phytopathological Society,
St. Paul, MN.

David, J.H. & Kilmanun, J.C. (2016). Penanganan pasca panen penyimpanan
untukkomoditas hortikultura. Prosiding Seminar Nasional Inovasi
Teknologi
Pertanian.http://kalsel.litbang.pertanian.go.id/ind/images/pdf/
Semnas2016/127_jhon_david.pdf.

32
Dharmaputra, Okky Setyawati., Listiyowati, Sri., Nurwulansari, Ira Zahara. 2018.
Keragaman Cendawan Pascapanen pada Umbi Bawang Merah
Varietas Bima Brebes. Jurnal Fitopatologi Indonesia 5(14) :175-182.
Gao, Penghua., Ying Qi., Lifang Li., Shaowu Yang., Jiani Liu., Huanyu Wei.,
Feiyan Huang., Lei Yu. 2023. Amorphophallus muelleri activates
ferulic acid and phenylpropane biosynthesis pathways to defend
against Fusarium solani infection. Frontiers in Plant Science.
14:1207970.

Hahn ND, Toole D. 1988. An introductory speech to the proceedings on


Interregional experts. Group meeting on the exchange of
technologies for cassava processing equipment and food products.
International Institute of Tropical Agriculture. Ibadan, Nigeria.

IITA. 1990. Cassava in tropical Africa (A reference manual). Ibadan,


Nigeria: IITA. p 83.

Johnson, T, Wilson N, Worosz, MR, Fields, D, and Bond, JK. 2015. Commodity
highlight: Sweet potatoes. Vegetables and Pulses Outlook VGS-355-
SA1. Online publication. United States Department of Agriculture–
Economic Research Service.
http://www.ers.usda.gov/media/1834605/vgs-355- sa1.pdf

Kumalasari ID, Nishi K, Harmayani E, Raharjo S, dan Sugahara T. 2013. Effect


of bengkoang (Pachyrhizus erosus) fiber extract on murine
macrophage-like J774.1 cells and mouse peritoneal macrophages.
Journal of Functional Foods 5(2): 582–589.

Kumar R. 1984. Insect pest control with special reference to African


Agriculture, 1st ed. London: ELBS:186 – 188.

Lukitaningsih E, dan Holzgrabe U. 2014. Bioactive Compounds in Bengkoang


(Pachyrhizus erosus) as Antioxidant and Tyrosinase Inhibiting
Agents. Indonesian Journal of Pharmacy 25(2): 68.

Maghfiroh, Ely Lailatul., Munif, Abdul., Nawangsih, Abdjad Asih., Akhdiya,


Alina. 2022. Karakterisasi Bakteri Penyebab Busuk Lunak pada Umbi
Porang (Amorphophallus muelleri) Menggunakan Primer PCR
Spesifik. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). Vol. 27 (3) 463−471.

NCDA & CS. 2015. Marketing North Carolina Sweetpotatoes. Federal-State


Market News Service, Raleigh, NC.

33
Noman ASM, Hoque MA, Haque MM, Pervin F, dan Karim MR. 2007. Food
chemistry nutritional and anti-nutritional components in Pachyrhizus
erosus L. tuber. 102, 1112–1118.

Novita MD, & Indriyani S. 2013. Kerapatan dan Bentuk Kristal Kalsium
Oksalat Umbi Porang (Amorphophallus muelleri Blume) pada Fase
Pertengahan Pertumbuhan Hasil Penanaman dengan Perlakuan Pupuk
P dan K. Jurnal Biotropika, 1(2): 66-70.

Nurrochmad A, Leviana F, Wulancarsari CG, dan Lukitaningsih E. 2010.


Phytoestrogens of Pachyrhizus erosus prevent bone loss in an
ovariectomized rat model of osteoporosis. International Journal of
Phytomedicine 2(4): 363–372.

Nurrochmad A, Lukitaningsih E, Monikawati A, Septhea DB, dan Meiyanto E.


2013. Combination of low-concentration of novel phytoestrogen (8,9)-
furanyl-pterocarpan-3-ol from Pachyrhizus erosus attenuated
tamoxifen-associated growth inhibition on breast cancer T47D cells.
Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine 3(11): 847–852.

Okeke JE, Oti E. 1988. Producing sweet cassava. Proceedings of


Interregional EXperts’ Group Meeting on the exchange of
technologies for cassava processing equipment and food
products. IITA, Ibadan, Nigeria. 76 – 87.

Park CJ, dan Han JS. 2015. Hypoglycemic effect of jicama (Pachyrhizus
erosus) extract on streptozotocin-induced diabetic mice. Preventive
Nutrition and Food Science 20(2): 88–93.

Prabowo, Aditya Yoga., Estiasih, Teti., Purwantiningrum, Indria. 2014. UMBI


GEMBILI (Dioscorea esculenta L.) SEBAGAI BAHAN PANGAN
MENGANDUNG SENYAWA BIOAKTIF: KAJIAN PUSTAKA.
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.2 No.3 p.129-135.

Rahayu S, et al. 2015. Jamur Kontaminasi Pada Umbi Kentang. Jurnal Ilmiah
Biologi 3(1): 28-32

Rahayu, M., & Saleh, N. (2013). Penyakit “Leles” pada Tanaman Ubi kayu
Bioekologi DanCara Pengendaliannya. Buletin Palawija,26, 83-90.

RiaAsnita.2019.http://www.cybex.pertanian.go.id/mobile/artikel/73899/penyakit
-bawang-merah-allium-cepa-l-dan-cara-mengatasinya/
Ridwan HK, Nurmalinda. 2010. Analisis Financial Penggunan Benih
Kentang G4 Bersertifikat dalam Meningkatkan Pendapatan Usaha
tani Kentang. Jurnal Hortikultura 20(2):196-206

34
Saleh N, Rahayuningsih A, Radjit BS, Ginting E, Harnowo D, Mejaya IMJ.
2015. Tanaman Porang: Pengenalan, Budidaya, dan
Pemanfaatannya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan.

Satin M. 1988. Bread without wheat. Proceedings of International


EXperts’ Group Meeting on the exchange technologies for
cassava processing equipment and food product. Hahn ND,
editor. IITA, Ibadan, Nigeria. pp 1 – 10.

Soesanto, Loekas. 2006. Penyakit Pascapanen: Sebuah Pengantar. Cetakan ke-5.


Yogyakarta: Kanisius.
Sulistiyono, Fitria Dewi., Haryani, Tri Saptari. 2020. Isolasi dan Identifikasi
Cendawan yang Berasosiasi dengan Busuk Penyimpanan pada Umbi
Talas (Colocasia esculenta (L.) Schot. Jurnal Mikologi Indonesia 2(4)
: 211-217.
Webb, KIMBERLY M.,Brenner, Tammy., Jacobsenn, Berry J. 2015.
Temperature effects on the interactions of sugar beet with Fusarium
yellows caused by Fusarium oxysporum f. sp. Betae. Journal Plant
Phatology Vol. 37, No. 3, 353–362
Widyatmoko A, Hastutik D, Sudarmanto A, Lukitaningsih E. 2016. Vitamin C,
Vitamin A and Apha Hydroxy Acid in Bengkoang (Pachyrhizus
erosus). Trad. Med. J, 21(1): 48–54.

Wigoeno YA, Azrianingsih R, Roosdiana A. 2013. Analisis kadar glukomanan


pada umbi porang (Amorphophallus muelleri Blume) menggunakan
refluks kondensor. Biotropika: Journal of Tropical Biology 1(5):
231–235.

Zhang Y, Xie B, Gan X. 2005. Advance in the applications of konjac


glucomannan and its derivatives. Carbohydrate Polymers 60(1): 27–
31.
Zhang, Man., Liu, Man., Pan, Shenyuan., Li, Yingxin. 2018. Perillaldehyde
Controls Postharvest Black Rot Caused by Ceratocystis fimbriata in
sweet Potatoes. Frontiers in Microbiology. 9:1102

35

Anda mungkin juga menyukai