ESTRELITA NABABAN
F1502231008
Ringkasan : Kopi (Coffea sp.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang
memiliki nilai ekonomi tinggi, sebagai penghasil devisa negara, serta salah satu jenis
tanaman yang mendapatkan banyak perhatian dalam pengembangannya karena
mempunyai prospek yang baik dalam permintaan pasar komoditas, juga sebagai
bahan ekspor utama negara Indonesia. Permintaan pasar dunia menghendaki produk
kopi yang bermutu dan berkualitas baik, sehingga dalam budidayanya harus
diperhatikan, terutama faktor-faktor penghambat seperti faktor lingkungan yang tidak
sesuai, sistem pemeliharan yang belum optimal, lahan perkebunan yang kurang
memadai, penanganan panen dan pasca panen serta gangguan hama dan penyakit
tanaman.
Buah kopi yang digunakan pada percobaan ini jenis kopi Arabika, yang
berasal dari kebun percobaan Balittri yaitu buah yang sudah berwarna merah atau
warna merah kekuningan, atau merupakan buah kopi yang sudah matang. Minyak
kemiri sunan yang digunakan dalam percobaan ini diperoleh dari Balittri yang telah
disediakan. Perlakuan yang diberikan yaitu dengan cara menyemprotkan larutan
pestisida nabati minyak kemiri sunan (25 ml) yang telah dibuat sesuai dengan
konsentrasi yang telah ditentukan, dengan volume semprot masing-masing 6,25
ml/petridish terhadap seuruh buah pada setiap perlakuan, dalam satu petridish terdapat
20 buah kopi. Mortalitas pada imago PBKo disebabkan karena pestisida nabati
minyak kemiri sunan mengandung senyawa metabolit sekunder yang bersifat racun
bagi serangga, metabolit sekunder sendiri ialah senyawa organik yang berukuran lebih
kecil dan diproduksi dalam sel tumbuhan dengan jumlah yang sangat terbatas,
memiliki fungsi sebagai pelindung tanaman dari gangguan serangga, bakteri,
cendawan, jamur dan patogen (Muta’ali dan Purwani, 2015). Hasil penelitian
menunjukkan konsentrasi minyak kemiri sunan 8% merupakan konsentrasi paling
efektif dalam mengendalikan hama penggerek buah kopi (PBKo) Hypothenemus
hampei Ferr.
2. Judul : Ibm Desa Sausu Torono dalam Penerapan Teknologi Tepat Guna Untuk
Pengelolaan Hama Dan Penyakit Serta Penanganan Pasca Panen pada Perkebunan
Kakao Rakyat Berbasis Kearifan Lokal.
Pengendalian dengan cara kimia yang dilakukan oleh petani tersebut tidak
mampu menekan serangan hama dan penyakit, dan bahkan petani merasa frustasi dan
mengalami kerugian karena besarnya biaya yang dikeluarkan tanpa diimbangi dengan
peningkatan hasil kakao yang diterima. Untuk meningkatkan produktivitas kakao
pada pertanaman rakyat dapat tempuh dengan tindakan budidaya sehat, sedangkan
untuk mengantisipasi kerugian petani akibat gangguan hama dan penyakit maka perlu
dilakukan pengendalian yang berkelanjutan, yakni penggunaan predator hama untuk
PBK (Gassa, 2002; Sulaiman dan Na'im, 2005), patogen hama untuk Helopelthis sp
( Pasaru, 2014) dan penggunaan mikroba antagonis untuk penyakit VSD dan penyakit
busuk buah P. palmivora (Wood dan Fee, 1992). Target Khusus yang akan dicapai
adalah meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan masyarakat dalam pelaksanaan
pengendalian hama dan penyakit kakao serta teknologi tepat guna dalam proses
fermentasi biji kakako agar nilai jual biji kakao meningkat.
Buah pala masak diperoleh dengan cara dipetik dari pohon menggunakan
sepotong bambu yang ujungnya dibelah dan buah masak jatuh di tanah secara alami,
kemudian dipungut secara manual Selanjutnya, biji pala dipisahkan dari daging buah
dan fuli. Biji pala bercangkang dikeringkan menggunakan dua cara, yaitu dikeringkan
dengan bantuan sinar matahari di atas terpal dan pengasapan sampai mencapai kadar
air biji pala ±10%. Pengeringan dengan bantuan sinar matahari dilakukan selama 16
hari, sedangkan pengeringan dengan pengasapan dilakukan dengan cara biji pala
dikeringkan terlebih dahulu dengan bantuan sinar matahari selama satu hari,
kemudian dilanjutkan dengan pengasapan selama 13 hari Biji tanpa cangkang adalah
biji utuh. Pengemasan dan penyimpanan Biji pala dikemas dalam karung goni
berdasarkan berbagai perlakuan pascapanen. Setiap karung berisi biji pala dengan
perlakuan berdasarkan a: asal buah pala (dipetik dari pohon (P) atau dipungut di tanah
(T)); b: metode pengeringan (bantuan sinar matahari (J) atau pengasapan (A)); dan c:
bercangkang (DC) atau tanpa cangkang (TC) sehingga terdapat delapan perlakuan.
Biji pala disimpan selama empat bulan pada kondisi Gudang. Dengan demikian, unit
eksperimen berjumlah 24, berasal dari 2 asal buah pala x 2 metode pengeringan x 2
biji bercangkang atau tanpa cangkang x 3 ulangan. Pengambilan sampel Pengambilan
sampel biji pala dilakukan setelah empat bulan penyimpanan. Setiap sampel biji pala
terdiri atas seluruh biji pala yang dikemas di dalam setiap karung goni, masing-
masing ditempatkan di dalam kantung plastik (polietilena), kemudian ditempatkan
dalam kantung plastik hermetik sup.
Empat spesies serangga, yaitu A. fasciculatus, C. dimidiatus, O.
surinamensis, dan T. castaneum ditemukan pada biji pala berasal dari buah pala masak
dipetik dari pohon dan buah pala masak jatuh di tanah secara alami, kemudian
dipungut secara manual, selanjutnya dikeringkan, baik dengan bantuan sinar matahari
maupun pengasapan, disimpan beserta cangkang dan tanpa cangkang selama empat
bulan. Serangga yang dominan, yaitu A. fasciculatus. Persentase biji rusak pada biji
pala berasal dari buah pala masak yang jatuh di tanah secara alami, kemudian
dipungut secara manual, baik dikeringkan dengan bantuan sinar matahari maupun
menggunakan pengasapan, bercangkang dan tanpa cangkang lebih tinggi daripada biji
pala berasal dari buah pala masak dipetik dari pohon dengan berbagai perlakuan.
Penanganan pascapanen biji pala yang layak untuk mencegah serangan serangga,
yaitu biji pala berasal dari buah pala dipetik dari pohon, biji pala bercangkang
dikeringkan baik dengan bantuan sinar matahari maupun pengasapan, dan
penyimpanan biji bercangkang.
4. Judul : Analisis Risiko Pasca Panen Tandan Buah Segar (Tbs) Kelapa Sawit Di
Kabupaten Dharmasraya
Salah satu risiko yang sering dihadapi agribisnis kelapa sawit adalah risiko
pasca panen yaitu kehilangan hasil tandan buah segar (TBS) dari setiap rantaipasca
panen yang dilaluinya (loss post-harvest). Di bagian awal pemanenan, aktivitas
pemanenan yang tidak sesuai dengan standar mengakibatkan kurang optimalnya hasil
TBS yang diperoleh seperti brondolan yang terlepas maupun TBS mentah yang
terpanen. Ketika di pabrik, TBS kelapa sawit yang dihasilkan oleh petani akan
diseleksi sesuai dengan standar pabrik sehingga menimbulkan losses berupa
pengurangan hasil produksi akibat TBS tidak sesuai dengan kriteria pabrik.
Berdasarkan uraian yang disampaikan diatas, maka dapat disimpulkan rumusan
masalah dari penelitian ini adalah: 1. Analisa kemampuan manajemen petani dalam
pengelolaan perkebunan kelapa sawit rakyat di Kab. Dharmasraya.
Tandan buah segar kelapa sawit harus diolah dalam waktu 24-48 jam sejak
dipanen agar tidak mengalami penurunan kualiatas. Jika pengolahan tidak berjalan
secara tepat waktu, maka produknya tidak lagi memenuhi persyaratan kelas pangan
yaitu kandungan Asam Lemak Bebas (FFA) sekitar 5-6% (Fricke, 2009). Oleh karena
itu diperlukan kecepatan dan ketepatan dalam menyampaikan hasil panen ke pabrik.
Dipabrik pengolahan kelapa sawit TBS yang akan dijual petani kepabrik akan
dilakukan penyortiran buah terlebih dahulu, penyortiran dilakukan untuk memisahkan
buah yang mentah busuk dan matang. Untuk buah yang matang akan dibeli dan untuk
yang mentah serta busuk tidak diterima atau dipulangkan kepada petani atau pilihan
lainnya ditinggalkan dipabrik. Buah yang mentah mengandung rendemen yang
sedikit, sedangkan yang busuk mengandung minyak yang tidak berkualitas atau
kandungan air dan FFA nya tinggi, serta tangkai TBS yang terlalu panjang juga akan
menguragi rendemen buah kelapa sawit pada saat proses perebusan, sehingga perlu
dilakukan penyortiran buah oleh pihak pabrik agar rendemen yang tinggi dengan
kualitas minyak yang bagus tercapai.
5. Judul : Analisis Risiko Panen Tandan Buah Segar Kelapa Sawit di PT.
Perkebunan Nusantara III Kebun Batang Toru Afdeling II Sipisang Tapanuli Selatan
Sumatera Utara
Sebagian pendapat yang lain justru menyatakan bahwa kelapa sawit berasal
dari Amerika selatan yaitu Brazil. Hal ini karena lebih banyak ditemukan spesies
kelapa sawit dihutan Brazil dibandingkan dengan di Afrika. Tanaman kelapa sawit
hidup subur diluar daerah asalnya seperti, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan
Papua Nugini. Produk utama tanaman kelapa sawit adalah tandan buahnya. Tandan
buah ini akan diolah untuk menghasilkan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO)
dan minyak inti (palm karnel oil/PKO). Pemanfaatan kelapa sawit paling banyak
adalah untuk CPO dan PKO. CPO merupakan daging buah (mesocarp) yang
dikeluarkan melalui perebusan dan pemerasan (pressan) yang dikenal sebagai minyak
sawit kasar. Sedangkan PKO merupakan minyak yang berasal dari inti kelapa sawit
yang dikenal sebagai minyak inti kelapa sawit. PTPN III merupakan penggabungan
kebun-kebun diwilayah Sumatera yang terdiri dari 34 Kebun, salah satunya adalah
Kebun Batang Toru. Salah satu kerugian yang diterima dari pasca panen kelapa sawit
adalah kehilangan hasil Tandan Buah Segar (TBS) dari setiap rantai yang dilalui
sampai ke pengolahan akhir (loss post-harvest). Di bagian awal pemanenan, aktivitas
pemanenan yang tidak sesuai dengan standar mengakibatkan kurang optimalnya hasil
TBS yang diperoleh seperti brondolan yang terlepas maupun TBS mentah yang
terpanen sehingga menimbulkan losses berupa pengurangan hasil produksi.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Menganalisis apa saja tahapan
panen dan sumber-sumber yang mengakibatkan risiko panen TBS kelapa sawit di
setiap rantai pasca panen yang dilalui hingga ke TPH di PT. Perkebunan Nusantara III
Kebun Batang Toru Afdeling II Sipisang, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara.
Analisis deskriptif digunakan untuk mengindentifikasi sumber-sumber risiko dan
faktor yang mempengaruhi kehilangan hasil pasca panen TBS seperti kematangan
buah, TBS restan, Kebersihan piringan dan area lahan, Kehilangan Hasil Produksi di
Tempat Pengumpulan Hasil (TPH).
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tepung biji sirsak dengan
dosis 1,50 g /100 g biji dapat berpengaruh terhadap peningkatan mortalitas dan
penurunan perkembangan kumbang bubuk Callosobruchus analis F. pada biji kedelai
serta dapat mengurangi kerusakan dan penyusutan bobot biji kedelai akibat serangan
kumbang bubuk Callosobruchus analis F. di penyimpanan, namun belum didapat
dosis tepung biji sirsak yang efektif untuk mengendalikan kumbang C. analis F. Kata
kunci: Tepung biji sirsak (Annona muricata), Kumbang bubuk Callosobruchus analis
F. Untuk menekan kerugian pada biji kacang-kacangan yang disimpan akibat
serangan kumbang. analis maka diperlukan usaha pengendalian. Dari berbagai cara
pengendalian hama pasca panen yang dipakai sampai saat ini adalah dengan
mengunakan zat kimia. Pengendalian hama dengan cara biologi tidak berbahaya bagi
manusia tetapi tidak selalu praktis dan memerlukan keahlian khusus.
Sirsak juga memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, yaitu
sebagai buah yang syarat dengan gizi dan merupakan bahan obat tradisional yang
memiliki multi khasiat. Dalam industri makanan, sirsak dapat diolah menjadi selai
buah dan sari buah, sirup dan dodol sirsak. Kandungan daun sirsak mengandung
senyawa acetoginin, antara lain asimisin, bulatacin dan squamosin. Dalam hal ini,
serangga hama tidak lagi bergairah untuk melahap bagian tanaman yang disukainya.
Selanjutnya larutan daun sirsak disaring dengan kain halus. Senyawa aktif ini mampu
mematikan larva nyamuk Culex pipiens dan hama kol Crocidolamia binotalis.
Sementara terhadap hama bawang Spodoptera sp. dan penggerek buah tomat
Heliothis sp. Selain untuk pengobatan, daun sirsak berfungsi sebagai bioinsektisida,
caranya dengan mencampurkan hasil ssaringan daun sirsak dengan sabun detergen
lalu disemprotkan ke tanaman untuk mengendalikan kutu daun. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, sudah selayaknya sirsak (baik biji dan daunnya) yang pada
awalnya merupakan limbah tidak berguna dapat dikembangkan dan diolah menjadi
bioinsektisida yang ramah lingkungan serta mempunyai nilai ekonomi (Suranto,
2011)
7. Judul : Dampak Kerusakan Oleh Jamur Kontaminan Pada Biji Kakao Serta
Teknologi Pengendaliannya
Ringkasan : Mutu biji kakao harus selalu diperhatikan karena sangat menentukan
tingkat harga di perdagangan pasar internasional. Persyaratan umum dan khusus untuk
memenuhi standar mutu biji kakao tersebut telah diatur dalam Standar Nasional
Indonesia Biji Kakao (SNI 01-2323-1991). Apabila biji kakao yang dihasilkan tidak
memenuhi standar maka penahanan terhadap produk yang dihasilkan (automatic
detention) akan sering terjadi, dan hal ini sangat merugikan karena akan terkena
potongan harga (automatic discount) untuk biaya fumigasi dan gudang. Dampak yang
paling serius karena kejadian tersebut akan dapat menurunkan daya saingnya di pasar
internasional. Mutu biji kakao Indonesia sampai saat ini masih belum memenuhi
persyaratan yang dianjurkan SNI. Mutu biji kakao kering dapat dipengaruhi oleh
beberapa hal di antaranya kerusakan yang disebabkan oleh jamur kontaminan
penghasil toksin (mikotoksin). Keberadaan jamur tersebut dapat dideteksi sejak
kegiatan panen dan pasca panen, seperti sortasi, fermentasi, pencucian, pengeringan,
dan penyimpanan.
Hal ini terutama disebabkan oleh penanganan pasca panen yang belum
dilakukan dengan baik dan benar yang mengacu kepada good handling practices
(GHP) dan good manufacturing practices (GMP), serta adanya infestasi dan infeksi
serangga maupun jamur. Keberadaan jamur merupakan salah satu penentu mutu biji
kakao, dan batas maksimal yang diperkenankan untuk biji kakao grade I adalah 3%,
sedangkan untuk grade II adalah 4%. Kerusakan yang disebabkan oleh jamur dapat
berpotensi sebagai mikotoksin yang mengganggu kesehatan manusia dan hewan.
Jamur dapat ditemukan serta mudah tumbuh dan berkembang pada setiap tahapan
panen dan pasca panen serta pada jalur distrubusi atau rantai perdagangan. Jenis
mikotoksin yang paling banyak ditemukan pada biji kakao adalah okratoksin dan
aflatoksin yang dihasilkan dari jenis Aspergillus dan Penicillium (Copetti, Iamanaka,
Pitt, & Taniwaki, 2014).
Senyawa ini tidak bisa dihilangkan selama proses pengolahan kakao yang
dapat menyebabkan kontaminasi pada produk-produk olahan kakao sehingga
berbahaya bagi kesehatan manusia. Seperti halnya okratoksin, aflatoksin juga dapat
menyebabkan kanker dan kerusakan ginjal pada manusia bila dikonsumsi secara
berlebihan. Sampai saat ini, kerusakan pada biji kakao yang disebabkan oleh
keberadaan jamur kontaminan masih menjadi kendala utama dalam upaya
meningkatkan mutu biji kakao nasional. Sehubungan dengan itu maka perlu diketahui
jamur penyebab kerusakan, faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan jamur,
serta teknologi pengendalian yang dapat dilakukan untuk mencegah maupun
mengendalikan jamur kontaminan serta mikotoksin pada biji kakao. Terjadinya
penolakan terhadap produk biji kakao Indonesia salah satunya karena belum
memenuhi persyaratan yang tertera dalam Standar Nasional Indonesia Biji Kakao SNI
01-2323-1991.
Jenis kerusakan yang ditemukan pada biji kakao di antaranya kerusakan fisik
dan mekanis, biologis, mikrobiologis, serta kimia (Supriyanto, 2012). Kerusakan
mekanis terjadi akibat benturan, gesekan atau goresan selama penanganan pasca
panen, pengemasan, pengangkutan, dan penyimpanan. Laju kerusakan biologis
dipengaruhi oleh kadar air, suhu penyimpanan, dan oksigen. Kondisi iklim di negara
produsen kakao pada umumnya sangat cocok untuk perkembangbiakan dan
pertumbuhan hama gudang yang dapat merusak biji kakao. Serangan hama gudang
tersebut sulit dikendalikan terutama pada biji kakao yang disimpan di karung-karung
dalam jumlah besar. Kerusakan mikrobiologis lebih banyak disebabkan oleh jamur,
yaitu melalui proses hidrolisis (merusak jaringan/makromolekul penyusun bahan
menjadi molekul-molekul kecil). Proses ini menyebabkan penurunan pH,
penyimpangan bau dan rasa, bahkan dapat menghasilkan toksin/racun yang berbahaya
bagi manusia. Kerusakan kimia terjadi karena factor intrinsik/dalam (reaksi biologis
yang masih berlangsung di dalam biji) ataupun factor ekstrinsik/luar.
9. Judul : Optimasi Kualitas Tandan Buah Segar Kelapa Sawit dalam Proses
Panen-Angkut Menggunakan Model Dinamis
Penulis : Andreas Wahyu Krisdiarto , Lilik Sutiarso , Kuncoro Harto Widodo
Jurnal : Jurnal AGRITECH, Vol. 37, No. 1
Ringkasan : Di dalam industri minyak kelapa sawit, ketersediaan TBS kelapa sawit
sebagai bahan baku minyak kelapa sawit harus dipertahankan, kuantitas dan
kualitasnya. Terdapat tiga subsistem utama dalam kegiatan pascapanen, yakni
pemanenan, pengangkutan dan pengolahan. Di antara ketiganya terdapat saling
keterkaitan, satu hambatan di dalam satu subsistem berpengaruh terhadap kinerja
subsitem yang lain. Misalnya hambatan di pengangkutan TBS dari kebun ke pabrik
minyak kelapa sawit (PMKS) menyebabkan keterlambatan, yang kemudian
mengganggu pengolahan minyak, kapasitas pengolahan, dan kualitas akhir minyak
kelapa sawit (Pahan, 2006).
Parameter kualitas TBS yang diamati adalah kadar Asam Lemak Bebas
(ALB). Metode yang digunakan adalah mengukur kadar ALB TBS pada setiap tahap
proses penanganan bahan, yaitu pemanenan, pengangkutan di dalam blok kebun,
pemuatan ke bak truk, dan pengangkutan ke pabrik minyak kelapa sawit. Keluaran
dari simulasi model dinamis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kadar ALB antar
kondisi penanganan TBS yang berbeda. Terdapat sedikit perbedaan kadar ALB antara
TBS yang dipanen pada lahan mineral dan lahan gambut dan antara ketinggian pohon
yang berbeda. Tahap penanganan TBS yang berkontribusi paling besar kepada
penurunan kualitas akibat memar adalah pemuatan ke bak truk. TBS yang dimuat di
dasar bak truk mengalami memar lebih banyak sehingga kadar ALB-nya lebih tinggi.
Kadar ALB TBS yang dipanen di lahan mineral dan dimuat pada dasar bak truk 5,5
%, sedangkan yang di lapisan atas 4,5 %. Model menunjukkan bahwa kadar ALB
meningkat pada penanganan bahan berurutan, berbeda dengan penurunan kualitas
secara alami. Proporsi buah utuh dapat digunakan untuk mengendalikan kadar ALB
secara keseluruhan.
Bila seluruh buah memar, kadar ALB dapat mencapai 9,95 %, sedangkan
campuran 20 % buah memar dan 80 % buah utuh, kadar ALB-nya 2,82 %.
Peningkatan proporsi buah memar dari 10 % menjadi 20 % untuk buah yang dipanen
dari lahan mineral menyebabkan penambahan kadar ALB lebih besar daripada buah
yang dipanen dari lahan gambut, yaitu 0,88 % dibanding 0,80 %.
Hal yang sama menyebabkan perbedaan kadar ALB 0,92 % untuk buah yang
dipanen pada fraksi 3 dan 0,72 % untuk buah dipanen pada fraksi 1. Rekomendasi
dari hasil penelitian ini adalah: 1) Pemuatan dengan pelemparan TBS secara manual
sebaiknya dihindari; 2) Bila kondisi bak truk dan jalan buruk, sebaiknya TBS dipanen
pada fraksi 1 atau 2; 3) Titik optimum kualitas TBS saat panen dan angkut adalah
pada fraksi 1 di lahan gambut dan diangkut dengan truk bak kayu, dan 4) Dari sisi
kualitas TBS, penundaan pengangkutan lebih menguntungkan daripada menunggu
proses (mengantri) di pabrik minyak kelapa sawit (PMKS).
Seperti juga bahan hasil pertanian yang lain, waktu merupakan faktor yang
mempengaruhi penurunan kualitas TBS. Salah satu indikator kualitas TBS adalah
kadar ALB. Secara alamiah, kadar ALB setelah TBS dipanen akan meningkat 0,1 %
setiap 24 jam (Lubis, 1992), di sisi lain kadar ini tidak boleh lebih dari 2-3 % pada
saat masuk proses di PMKS (Mangoensoekarjo dan Tojib, 2008). Penurunan kualitas
ini akan lebih cepat yang disebabkan oleh penanganan secara fisik. Sementara itu
proses panen dan angkut tidak bisa sepenuhnya dihindarkan dari perlakuan fisik.
Kerusakan buah pada tahap panen-angkut akan menjadi pemicu penurunan kualitas di
tahap berikutnya, karena memar atau luka yang diderita buah akan mempercepat
kenaikan kadar ALB. Hal ini dikarenakan oleh pecahnya dinding sel dan aktivitas
enzim lipase. Pemanenan dan pengangkutan harus dilakukan dalam kerangka
mencapai produktivitas minyak tertinggi dengan kualitas yang dapat diterima
konsumen dan dengan biaya serendah-rendahnya. Jaringan antar faktor dalam panen-
angkut TBS yang saling terkait dan pengaruhnya terhadap kualitas akhir dari waktu ke
waktu merupakan sebuah sistem dinamis.
10. Judul : Pengaruh Suhu Penyimpanan Daging Buah Kelapa (Cocos Nucifera L.)
Terhadap Karakteristik Kimia Santan Kelapa
Penulis : Sandra, Sandra1, Bambang Susilo, Rizal Nur Alfian dan Nurul Istiqomah
Choirunnisa
Jurnal : Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, 11(1), 125-134
Ringkasan : Kelapa memiliki julukan tree of life karena semua komponen pohonnya
dapat dimanfaatkan oleh manusia, mulai dari batang pohon, buah, dan daunnya.
Produk turunan dari buah kelapa seperti santan, minyak kelapa, dan VCO yang sangat
kaya akan manfaat dan memiliki nilai ekonomis tinggi sehingga perlu untuk
dikembangkan. Masyarakat Indonesia banyak yang memanfaatkan buah kelapa
sebagai bahan baku pembuatan santan. Santan adalah ekstrak dari daging buah kelapa
parut dengan penambahan air atau tanpa air. Pada proses ekstraksi buah kelapa, santan
memerlukan pretreatment homogen geser berkecepatan tinggi karena sistem emulsi
santan sangat mudah untuk tidak stabil setelah pencairan sehingga dapat merusak
kandungan dari santan itu sendiri. Hasil penelitian sebelumnya, emulsi santan yang
baik adalah daging buah kelapa sebelum dilakukan ekstraksi diberi pretreatment suhu
dingin yaitu sebesar -18 'C (Jiang et al., 2016). Kemudian terdapat penelitian yang
mana dilakukan penyimpanan santan pada suhu yaitu 5 'C dan dicairkan selama 6 jam
dengan suhu kamar (29 ± 2 'C), dihasilkan 92% minyak kelapa dengan indeks krim
sebesar 53% (Raghavendra & Raghavarao, 2010). Suhu pretreatment pada
daging buah kelapa menjadi faktor utama yang memberikan pengaruh terhadap mutu
santan dihasilkan. Berdasarkan hal tersebut peneliti melaksanakan penelitian dengan
judul "Pengaruh Suhu Penyimpanan Daging Buah Terhadap Karakteristik Kimia
Santan Kelapa". Penyimpanan daging buah kelapa sebelum diparut dan diperas
menjadi santan yaitu menggunakan suhu dingin (6 'C ± 2 'C) dan suhu beku (-16 'C ±
2 'C) yang disimpan.
Tujuan dari penelitian ini berfokus pada karakterisasi kimia santan kelapa dari
hasil perlakuan pretreatment penyimpanan daging buah kelapa sebelum diparut dan
diperas menjadi santan dengan mengukur nilai kadar protein, kadar lemak, asam
lemak bebas (FFA), dan stabilitas emulsi. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam
menunjang penelitian ini adalah Lemari Pendingin (Electrolux; Elit Cool) dan
Freezer/Cold Storage (GEA; JCW-F99HV) sebagai mesin untuk menyimpan daging
buah kelapa pada suhu rendah (dingin dan beku), Mesin Pemarut Kelapa (Tigershark)
untuk memarut kelapa, Hydraulic Press (Stainless steel) untuk memeras santan,
Thermo-hygrometer (Haar Synth Hygro) untuk mengukur suhu ruang penyimpanan,
Satu set statif dan buret (5 ml) untuk titrasi FFA, Oven (Memmert UFE-400) untuk
mengeringkan sampel pada uji lemak, Laptop (MSI PS42) untuk mengolah data
menggunakan aplikasi SPSS, Erlenmeyer, Gelas Beaker, Pipet Ukur dan Pipet Tetes,
Desikator, Timbangan Analitik, Loyang, Gelas Ukur, Cawan Aluminium Foil¸
Baskom, Sendok, Pisau, Corong Plastik, Spatula Kayu, dan Saringan.