Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM

RINGKASAN JURNAL-JURNAL PENYAKIT PASCAPANEN


PADA KOMODITAS PENGHASIL MINYAK
Kamis, 24 Agustus 2023

ESTRELITA NABABAN
F1502231008

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PASCAPANEN


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2023
1. Judul : EFIKASI PESTISIDA NABATI MINYAK KEMIRI SUNAN (Reutealis
trisperma (Blanco) Airy Shaw) UNTUK MENGENDALIKAN HAMA
PENGGEREK BUAH KOPI (Hypothenemus hampei Ferrari)

Penulis : Euis Rahmawati, Ida Hodiyah, Fittri Kurniati , Gusti Indriati

Jurnal : Media Pertanian

Ringkasan : Kopi (Coffea sp.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang
memiliki nilai ekonomi tinggi, sebagai penghasil devisa negara, serta salah satu jenis
tanaman yang mendapatkan banyak perhatian dalam pengembangannya karena
mempunyai prospek yang baik dalam permintaan pasar komoditas, juga sebagai
bahan ekspor utama negara Indonesia. Permintaan pasar dunia menghendaki produk
kopi yang bermutu dan berkualitas baik, sehingga dalam budidayanya harus
diperhatikan, terutama faktor-faktor penghambat seperti faktor lingkungan yang tidak
sesuai, sistem pemeliharan yang belum optimal, lahan perkebunan yang kurang
memadai, penanganan panen dan pasca panen serta gangguan hama dan penyakit
tanaman.

Upaya dalam pengendalian PBKo masih bertumpu pada penggunaan


pestisida sintetik, namun seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, gaya hidup yang menuntut untuk back to nature, serta
kesadaran akan bahaya residu racun pada produk kopi, maka tuntutan akan teknologi
pengendali OPT yang ramah lingkungan meningkat, salah satu usaha untuk mengatasi
masalah tersebut yaitu dengan memanfaatkan bahan alami sebagai pestisida nabati
yang lebih selektif dan ramah lingkungan. Salah satu tanaman yang dapat digunakan
sebagai pestisida nabati yaitu kemiri sunan (Reutealis trisperma (Blanco) Airy Shaw)
yang merupakan tanaman perkebunan penghasil minyak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi pestisida nabati minyak


kemiri sunan untuk mengendalikan hama penggerek buah kopi. Metode yang
digunakan adalah Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
perlakuan berbagai konsentrasi minyak kemiri sunan yang diaplikasikan pada buah
kopi, dan diulang sebanyak empat kali. Perlakuan konsentrasi yang dicoba adalah: p0
(kontrol 0%), p1 (kemiri sunan 5,2%), p2 (kemiri sunan 6%), p3 (kemiri sunan 8%),
p4 (kemiri sunan 10%), p5 (kemiri sunan 12%) p6 (Dufon prevathon 0,1%).
Konsentrasi minyak kemiri sunan yang diuji ditentukan berdasaran hasil analisis
probit LC50 minyak kemiri sunan yaitu 5,2%, kemudian dijadikan sebagai acuan
konsentrasi minyak kemiri sunan dalam uji lanjutan.

Buah kopi yang digunakan pada percobaan ini jenis kopi Arabika, yang
berasal dari kebun percobaan Balittri yaitu buah yang sudah berwarna merah atau
warna merah kekuningan, atau merupakan buah kopi yang sudah matang. Minyak
kemiri sunan yang digunakan dalam percobaan ini diperoleh dari Balittri yang telah
disediakan. Perlakuan yang diberikan yaitu dengan cara menyemprotkan larutan
pestisida nabati minyak kemiri sunan (25 ml) yang telah dibuat sesuai dengan
konsentrasi yang telah ditentukan, dengan volume semprot masing-masing 6,25
ml/petridish terhadap seuruh buah pada setiap perlakuan, dalam satu petridish terdapat
20 buah kopi. Mortalitas pada imago PBKo disebabkan karena pestisida nabati
minyak kemiri sunan mengandung senyawa metabolit sekunder yang bersifat racun
bagi serangga, metabolit sekunder sendiri ialah senyawa organik yang berukuran lebih
kecil dan diproduksi dalam sel tumbuhan dengan jumlah yang sangat terbatas,
memiliki fungsi sebagai pelindung tanaman dari gangguan serangga, bakteri,
cendawan, jamur dan patogen (Muta’ali dan Purwani, 2015). Hasil penelitian
menunjukkan konsentrasi minyak kemiri sunan 8% merupakan konsentrasi paling
efektif dalam mengendalikan hama penggerek buah kopi (PBKo) Hypothenemus
hampei Ferr.

2. Judul : Ibm Desa Sausu Torono dalam Penerapan Teknologi Tepat Guna Untuk
Pengelolaan Hama Dan Penyakit Serta Penanganan Pasca Panen pada Perkebunan
Kakao Rakyat Berbasis Kearifan Lokal.

Penulis : Johanis Panggeso, Irwan Lakani

Jurnal : Jurnal Pengabdian pada Masyarakat

Ringkasan : Berdasarkan laporan masyarakat, hama yang sering menyerang pada


pertanaman kakao rakyat di wilayah Kecamatan Sausu adalah hama penggerek buah
(PBK) yang disebabkan oleh Conopomorpha cramerella dan pengisap buah kakao
yang disebabkan oleh Helopelthis sp, sedangkan penyakit yang selalu dijumpai adalah
penyakit busuk buah yang disebabkan oleh Phytophtora palmivora dan penyakit
pembuluh kayu disebut VSD (vascular streak dieback) yang disebabkan oleh
Oncobasidium theobromae. Program IbM ini bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan petani dalam mendesain teknologi pengendalian hama
dan penyakit kakao serta teknologi fermentasi biji kakao berbasis iptek dan kearifan
budaya local. Target Khusus yang akan dicapai adalah meningkatnya pengetahuan dan
ketrampilan masyarakat dalam pelaksanaan pengendalian hama dan penyakit kakao
serta teknologi tepat guna dalam proses fermentasi biji kakako agar nilai jual biji
kakao meningkat. Pada pelaksanaan pelatihan diberikan materi tentang teknik
pengendalian hama PBK menggunakan predator Dolichoderus thoracicus,
pengendalian penyakit busuk buah dan penyakit vascular streak dieback (VSD),
pembuatan pupuk organik berbahan baku limbah kulit buah kakao, dan proses
fermentasi biji kakao pada saat panen dengan teknologi pasca panen. Di Desa Sausu
Torono masyarakat telah melaksanakan berbagai kegiatan yang terkait dengan usaha
budidaya kakao secara intensif yakni pemeliharaan dan aspek budidaya lainnya
(terutama sanitasi dan pemangkasan), pemupukan, dan pengendalian hama dan
penyakit, namun produksi yang diperoleh belum memberikan hasil yang
menggembirakan karena adanya berbagai permasalahan yang terkait dengan hama
dan penyakit seperti serangan hama PBK, pengisap buah, penyakit busuk buah, dan
penyakit pembuluh kayu = VSD (vascular streak dieback). Usaha yang dilakukan
untuk mengendalikan hama dan penyakit yang menyerang tanaman kakao masih
tertuju pada pengendalian dengan cara kimia yaitu dengan melaksanakan
menyemprotan insektisida untuk pengendalian hama PBK dan hama pengisap buah
kakao serta penyemprotan fungisida untuk pengendalian penyakit busuk buah dan
penyakit VSD.

Pengendalian dengan cara kimia yang dilakukan oleh petani tersebut tidak
mampu menekan serangan hama dan penyakit, dan bahkan petani merasa frustasi dan
mengalami kerugian karena besarnya biaya yang dikeluarkan tanpa diimbangi dengan
peningkatan hasil kakao yang diterima. Untuk meningkatkan produktivitas kakao
pada pertanaman rakyat dapat tempuh dengan tindakan budidaya sehat, sedangkan
untuk mengantisipasi kerugian petani akibat gangguan hama dan penyakit maka perlu
dilakukan pengendalian yang berkelanjutan, yakni penggunaan predator hama untuk
PBK (Gassa, 2002; Sulaiman dan Na'im, 2005), patogen hama untuk Helopelthis sp
( Pasaru, 2014) dan penggunaan mikroba antagonis untuk penyakit VSD dan penyakit
busuk buah P. palmivora (Wood dan Fee, 1992). Target Khusus yang akan dicapai
adalah meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan masyarakat dalam pelaksanaan
pengendalian hama dan penyakit kakao serta teknologi tepat guna dalam proses
fermentasi biji kakako agar nilai jual biji kakao meningkat.

Metode Pelaksanaan Untuk mendukung realisasi program, maka dilakukan


kegiatan berupa: penyuluhan, pendidikan dan pelatihan, demplot, rancang bangun
teknologi, dan pelatihan manajemen produksi dan usaha serta pendampingan anggota
kelompok usaha mitra yang dilaksanakan dengan metode partisipatif. a. Kegiatan
penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan dimaksudkan untuk peningkatan pengetahuan,
sikap dan perilaku kelompok sasaran terutama yang berkenaan dengan materi
kegiatan, akan dilakukan pendekatan/metode pembelajaran orang dewasa. b. Kegiatan
rancang bangun (rakitan) teknologi dimaksudkan untuk memperkenalkan teknologi
yang akan diterapkan guna menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh
kelompok mitra sasaran. c. Pelatihan manajemen produksi dan usaha dimaksudkan
untuk menggalakkan partisipasi anggota kelompok dalam meningkatkan kinerja
organisasi dalam mweningkatkan produksi dan usaha sehingga keberadaan organisasi
dapat berdayaguna untuk kesejahteraan anggota kelompok. d. Pendampingan
dimaksudkan untuk memantapkan keterampilan /memudahkan transfer teknologi
kepada anggota kelompok peserta kegiatan dalam alih teknologi yang diterapkan
sehingga pada akhirnya kelompok sasaran dapat mandiri didalam melaksanakan
kegiatannya.

3. Judul : Keanekaragaman serangga hama pala (Myristica fragrans) dan tingkat


kerusakannya di penyimpanan.

Penulis : Okky Setyawati Dharmaputra, Sunjaya, Ina Retnowati, Nijma Nurfadila

Jurnal : Jurnal Entomologi Indonesia, Vol. 15 No. 2, 57–64

Ringkasan : Pala (Myristica fragrans) merupakan komoditas penting dalam


perekonomian nasional karena menjadi penyumbang pendapatan utama bagi petani di
daerah sentra produksi pala. Biji pala tanpa cangkang (kernel) dan fuli atau arillus
merupakan bagian tanaman pala yang memiliki nilai ekonomi tinggi karena
digunakan sebagai bahan industri minuman, makanan, farmasi, dan kosmetik. Bentuk
komoditas pala yang diekspor oleh Indonesia adalah dalam bentuk biji pala dengan
dan tanpa cangkang, serta fuli (Kementerian Pertanian 2012). Salah satu persyaratan
kualitas biji pala, yaitu tidak adanya serangga hidup dan mati (SNI 2015).

Tujuan penelitian ini, yaitu untuk memperoleh informasi mengenai


keanekaragaman spesies serangga hama pada biji pala di penyimpanan akibat
berbagai perlakuan pascapanen. Selain itu, persentase biji rusak biji pala juga diteliti
karena serangga dapat menyebabkan peningkatan persentase biji rusak. Bahan dan
Metode Pengambilan buah pala, pengeringan, dan pengupasan cangkang biji pala.
Pengambilan buah pala dilakukan di perkebunan pala yang terletak di Kecamatan
Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara pada bulan April
2014.

Buah pala masak diperoleh dengan cara dipetik dari pohon menggunakan
sepotong bambu yang ujungnya dibelah dan buah masak jatuh di tanah secara alami,
kemudian dipungut secara manual Selanjutnya, biji pala dipisahkan dari daging buah
dan fuli. Biji pala bercangkang dikeringkan menggunakan dua cara, yaitu dikeringkan
dengan bantuan sinar matahari di atas terpal dan pengasapan sampai mencapai kadar
air biji pala ±10%. Pengeringan dengan bantuan sinar matahari dilakukan selama 16
hari, sedangkan pengeringan dengan pengasapan dilakukan dengan cara biji pala
dikeringkan terlebih dahulu dengan bantuan sinar matahari selama satu hari,
kemudian dilanjutkan dengan pengasapan selama 13 hari Biji tanpa cangkang adalah
biji utuh. Pengemasan dan penyimpanan Biji pala dikemas dalam karung goni
berdasarkan berbagai perlakuan pascapanen. Setiap karung berisi biji pala dengan
perlakuan berdasarkan a: asal buah pala (dipetik dari pohon (P) atau dipungut di tanah
(T)); b: metode pengeringan (bantuan sinar matahari (J) atau pengasapan (A)); dan c:
bercangkang (DC) atau tanpa cangkang (TC) sehingga terdapat delapan perlakuan.
Biji pala disimpan selama empat bulan pada kondisi Gudang. Dengan demikian, unit
eksperimen berjumlah 24, berasal dari 2 asal buah pala x 2 metode pengeringan x 2
biji bercangkang atau tanpa cangkang x 3 ulangan. Pengambilan sampel Pengambilan
sampel biji pala dilakukan setelah empat bulan penyimpanan. Setiap sampel biji pala
terdiri atas seluruh biji pala yang dikemas di dalam setiap karung goni, masing-
masing ditempatkan di dalam kantung plastik (polietilena), kemudian ditempatkan
dalam kantung plastik hermetik sup.
Empat spesies serangga, yaitu A. fasciculatus, C. dimidiatus, O.
surinamensis, dan T. castaneum ditemukan pada biji pala berasal dari buah pala masak
dipetik dari pohon dan buah pala masak jatuh di tanah secara alami, kemudian
dipungut secara manual, selanjutnya dikeringkan, baik dengan bantuan sinar matahari
maupun pengasapan, disimpan beserta cangkang dan tanpa cangkang selama empat
bulan. Serangga yang dominan, yaitu A. fasciculatus. Persentase biji rusak pada biji
pala berasal dari buah pala masak yang jatuh di tanah secara alami, kemudian
dipungut secara manual, baik dikeringkan dengan bantuan sinar matahari maupun
menggunakan pengasapan, bercangkang dan tanpa cangkang lebih tinggi daripada biji
pala berasal dari buah pala masak dipetik dari pohon dengan berbagai perlakuan.
Penanganan pascapanen biji pala yang layak untuk mencegah serangan serangga,
yaitu biji pala berasal dari buah pala dipetik dari pohon, biji pala bercangkang
dikeringkan baik dengan bantuan sinar matahari maupun pengasapan, dan
penyimpanan biji bercangkang.

4. Judul : Analisis Risiko Pasca Panen Tandan Buah Segar (Tbs) Kelapa Sawit Di
Kabupaten Dharmasraya

Penulis : Yulistriani, Cindy Paloma, Hasnah

Jurnal : Jurnal Agrifo, Vol. 3, No. 1

Ringkasan : Pembangunan subsektor kelapa sawit merupakan penyedia lapangan


kerja yang cukup besar dan sebagai sumber pendapatan petani. Kelapa sawit
merupakan salah satu komoditas yang memiliki andil besar dalam menghasilkan
pendapatan asli daerah, produk domestik bruto, dan kesejahteraan masyarakat
(Afifuddin, 2007). Perkebunan kelapa sawit Indonesia meningkat dari sekitar 300 ribu
Ha pada tahun 1980 menjadi sekitar 11,6 juta Ha pada tahun 2016. Perkebunan kelapa
sawit di Indonesia berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan
dikelompokan menjadi 3 jenis, yaitu Perkebunan Rakyat (PR)/smallholder,
Perkebunan Besar Negara (PBN)/Government, 1 Staff Pengajar Prodi Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Andalas Perkebunan Besar Swasta (PBS)/Private.

Pengusahaan kelapa sawit di Sumatera Barat sedikit berbeda dengan


gambaran secara nasional. Secara nasional, pengusahaan kelapa sawit didominasi
oleh perkebunan swasta, sementara di Sumatera Barat sebagian besar lahan sawit
berupa perkebunan rakyatSebesar 51% dari total luas lahan sawit di Sumatera Barat
merupakan perkebunan rakyat, sementara 46% adalah milik perkebunan swasta dan
perkebunan milik pemerintah hanya berkontribusi sebesar 3% (Dirjen Perkebunan,
2014) Karena industri kelapa sawit ini didominasi oleh petani kecil, setiap program
pengembangan kelapa sawit tentunya manfaatnya terutama dapat dinikmati oleh
petani kecil. Produktivitas tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu faktor lingkungan, faktor genetik, dan teknik budidaya tanaman. Faktor genetik
(innate) meliputi varietas bibit yang digunakan dan umur tanaman kelapa sawit.

Salah satu risiko yang sering dihadapi agribisnis kelapa sawit adalah risiko
pasca panen yaitu kehilangan hasil tandan buah segar (TBS) dari setiap rantaipasca
panen yang dilaluinya (loss post-harvest). Di bagian awal pemanenan, aktivitas
pemanenan yang tidak sesuai dengan standar mengakibatkan kurang optimalnya hasil
TBS yang diperoleh seperti brondolan yang terlepas maupun TBS mentah yang
terpanen. Ketika di pabrik, TBS kelapa sawit yang dihasilkan oleh petani akan
diseleksi sesuai dengan standar pabrik sehingga menimbulkan losses berupa
pengurangan hasil produksi akibat TBS tidak sesuai dengan kriteria pabrik.
Berdasarkan uraian yang disampaikan diatas, maka dapat disimpulkan rumusan
masalah dari penelitian ini adalah: 1. Analisa kemampuan manajemen petani dalam
pengelolaan perkebunan kelapa sawit rakyat di Kab. Dharmasraya.

Tandan buah segar kelapa sawit harus diolah dalam waktu 24-48 jam sejak
dipanen agar tidak mengalami penurunan kualiatas. Jika pengolahan tidak berjalan
secara tepat waktu, maka produknya tidak lagi memenuhi persyaratan kelas pangan
yaitu kandungan Asam Lemak Bebas (FFA) sekitar 5-6% (Fricke, 2009). Oleh karena
itu diperlukan kecepatan dan ketepatan dalam menyampaikan hasil panen ke pabrik.
Dipabrik pengolahan kelapa sawit TBS yang akan dijual petani kepabrik akan
dilakukan penyortiran buah terlebih dahulu, penyortiran dilakukan untuk memisahkan
buah yang mentah busuk dan matang. Untuk buah yang matang akan dibeli dan untuk
yang mentah serta busuk tidak diterima atau dipulangkan kepada petani atau pilihan
lainnya ditinggalkan dipabrik. Buah yang mentah mengandung rendemen yang
sedikit, sedangkan yang busuk mengandung minyak yang tidak berkualitas atau
kandungan air dan FFA nya tinggi, serta tangkai TBS yang terlalu panjang juga akan
menguragi rendemen buah kelapa sawit pada saat proses perebusan, sehingga perlu
dilakukan penyortiran buah oleh pihak pabrik agar rendemen yang tinggi dengan
kualitas minyak yang bagus tercapai.

5. Judul : Analisis Risiko Panen Tandan Buah Segar Kelapa Sawit di PT.
Perkebunan Nusantara III Kebun Batang Toru Afdeling II Sipisang Tapanuli Selatan
Sumatera Utara

Penulis : Puja Satria, Roni Afrizal, Fedri Ibnusina

Jurnal : Journal of Agribusiness and Community Empowerment 2018 Vol. 2,


No.1 :hal 33-40
Ringkasan : Perkebunan Nusantara III yang bergerak di bidang perkebunan karet dan
kelapa sawit dengan produk tandan buah segar (TBS) dari kelapa sawit. Kebun
Batang Toru menguasai hak kepemilikan 4.097,37 Ha yang terdiri dari 7 Afdeling
(Karet dan Kelapa Sawit), salah satunya afdeling II Sipisang yang memiliki
komoditas perkebunan kelapa sawit. Afdeling II Sipisang memiliki total luas 518,25
Ha, dengan luas lahan untuk komoditas kelapa sawit adalah 146 Ha. Kegiatan panen
dan pasca panen dilakukan di PT Perkebunan Nusantara III Batang Toru tanaman II
afdeling Sipisang seperti pengurangan buah dan transportasi TBS ke titik
pengumpulan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis seberapa besar


kehilangan hasil dan kemungkinan risiko insiden TBS kelapa sawit pasca panen.
Jumlah kehilangan pascapanen TBS yang diperoleh adalah 7, 05% dari total TBS
yang dihasilkan. Dampak kerugian pasca panen dari total TBS kelapa sawit adalah Rp
2.209.160,53 dengan probabilitas kejadian 4,4 persen.

Sebagian pendapat yang lain justru menyatakan bahwa kelapa sawit berasal
dari Amerika selatan yaitu Brazil. Hal ini karena lebih banyak ditemukan spesies
kelapa sawit dihutan Brazil dibandingkan dengan di Afrika. Tanaman kelapa sawit
hidup subur diluar daerah asalnya seperti, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan
Papua Nugini. Produk utama tanaman kelapa sawit adalah tandan buahnya. Tandan
buah ini akan diolah untuk menghasilkan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO)
dan minyak inti (palm karnel oil/PKO). Pemanfaatan kelapa sawit paling banyak
adalah untuk CPO dan PKO. CPO merupakan daging buah (mesocarp) yang
dikeluarkan melalui perebusan dan pemerasan (pressan) yang dikenal sebagai minyak
sawit kasar. Sedangkan PKO merupakan minyak yang berasal dari inti kelapa sawit
yang dikenal sebagai minyak inti kelapa sawit. PTPN III merupakan penggabungan
kebun-kebun diwilayah Sumatera yang terdiri dari 34 Kebun, salah satunya adalah
Kebun Batang Toru. Salah satu kerugian yang diterima dari pasca panen kelapa sawit
adalah kehilangan hasil Tandan Buah Segar (TBS) dari setiap rantai yang dilalui
sampai ke pengolahan akhir (loss post-harvest). Di bagian awal pemanenan, aktivitas
pemanenan yang tidak sesuai dengan standar mengakibatkan kurang optimalnya hasil
TBS yang diperoleh seperti brondolan yang terlepas maupun TBS mentah yang
terpanen sehingga menimbulkan losses berupa pengurangan hasil produksi.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Menganalisis apa saja tahapan
panen dan sumber-sumber yang mengakibatkan risiko panen TBS kelapa sawit di
setiap rantai pasca panen yang dilalui hingga ke TPH di PT. Perkebunan Nusantara III
Kebun Batang Toru Afdeling II Sipisang, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara.
Analisis deskriptif digunakan untuk mengindentifikasi sumber-sumber risiko dan
faktor yang mempengaruhi kehilangan hasil pasca panen TBS seperti kematangan
buah, TBS restan, Kebersihan piringan dan area lahan, Kehilangan Hasil Produksi di
Tempat Pengumpulan Hasil (TPH).

Analisis deskriptif dilakukan berdasarkan penilaian objektif yang ada pada


aktivitas pemanenan, teknik panen, serta kegiatan pasca panen selanjutnya hingga
TBS menuju ke TPH. Panen merupakan salah satu faktor penting yang menentukan
kualitas dan kuantitas produksi. Pekerjaan panen meliputi persiapan panen
(menghitung angka kerapatan panen), pemotongan tandan TBS, pengutipan
brondolan, pengangkutan ke TPH dan pengawasan panen. Sumber-sumber risiko
kehilangan hasil produksi diketahui dengan cara melakukan pengamatan secara
langsung dilapangan pada saat kegiatan panen dilakukan. Sumber-sumber risiko yang
diamati adalah sumber-sumber yang menyebabkan kehilangan hasil produksi TBS
pada saat panen dlakukan hingga TBS sampai di TPH. Pengukuran kehilangan hasil
TBS ini dihitung sesuai dengan alur yang dilewati oleh TBS dari petani hingga ke
tempat pengolahan akhir (pabrik). Pengukuran ini akan menggambarkan seberapa
besar kehilangan TBS di setiap alur yang dilewatinya dengan menggunakan rumus
berdasarkan referensi jurnal ilmiah Nugraha et al (2007). Pengukuran Kemungkinan
Terjadinya Risiko. Risiko dapat diukur jika diketahui kemungkinan terjadinya risiko
dan besarnya dampak risiko terhadap Perusahaan. Ukuran pertama dari risiko adalah
besarnya kemungkinan terjadinya yang mengacu pada seberapa besar probabilitas
risikoakan terjadi. Metode yang digunakan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
risiko adalah metode nilai standar atau z-score. Metode yang paling efektif digunakan
dalam mengukur dampak risiko adalah VaR (Value at Risk). VaR adalah kerugian
terbesar yang mungkin terjadi dalam rentang waktu tertentu yang diprediksikan
dengan tingkat kepercayaan tertentu. Maka dengan kata lain, TBS akan menuju
ketempat kedua, dimana TBS akan di angkut dan disimpan dan biasanya TBS tersebut
dikumpulkan dan dingkut keesokan harinya. Hasil kerugian yang ditimbulkan oleh
loss post-harvest TBS di PT. Perkebunan Nusantara III Kebun Batang Toru Afdeling
II Sipisang terbilang cukup kecil perbulannya karena pengaruh kegiatan pasca panen
yang relatif lebih singkat. Strategi penanganan mitigasi yaitu berupa menjaga kualitas
panen TBS kelapa sawit, merawat areal lahan kelapa sawit, merawat areal TPH,
pengutipan brondolan yang tetinggal dan menjalankan sistem PAO (panen, angkut,
olah).

6. Judul : Pengendalian Hama Bubuk Kedelai (Callosobruchus Analis F.) Dengan


Biji Sirsak (Annona muricata)

Penulis : Yos Wahyu Harinta, Nugraheni R. dan Agung Setyorini

Jurnal : Jurnal Agrin , Vol. 20, No. 1

Ringkasan : Hama merupakan semua binatang yang aktifitasnya menimbulkan


kerusakan pada tanaman dan menimbulkan kerugian secara ekonomis. Salah satu
jenis hama yang menyerang tanaman adalah hama jenis serangga (insekta). Hama
yang menyerang komoditas simpanan (hama gudang) mempunyai sifat khusus yang
berlainan dengan hama yang menyerang tanaman ketika di lapang. Hama yang
terdapat dalam gudang tidak hanya menyerang produk yang baru saja dipanen
melainkan juga produk industri hasil pertanian. Produk tanaman yang disimpan dalam
gudang yang sering terserang hama tidak hanya terbatas pada produk bebijian saja
melainkan produk yang berupa dedaunan dan kekayuan atau kulit kayu misalnya kayu
manis, kulit kina, dan lainnya (Sunjaya, 2002). Salah satu serangan hama yang sangat
potensial merusak biji kacang-kacangan di gudang adalah Callosobruchus sp.

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh tepung biji sirsak terhadap


pengendalian hama Callosobruchus analis pada biji kedelai. Penelitian ini
dilaksanakan secara eksperimen, yang terdiri dari dua tahap, tahap pertama adalah
mengetahui efektifitas tepung biji sirsak terhadap mortalitas kumbang C. analis dan
peletakan telur sedangkan tahap kedua mengetahui pengaruh tepung biji sirsak
terhadap perkembangan populasi kumbang C. analis. Adapun dosis perlakuan adalah
dosis tepung biji sirsak yang terdiri dari (A) Tepung biji sirsak , dosis 1,50 g /100 g;
(B) Tepung biji sirsak, dosis 1,00 g /100 g; (C) Tepung biji sirsak , dosis 0,50 g /100
g; (O) Kontrol /Tanpa Perlakuan. Parameter pengamatan adalah ; mortalitas dan
perkembangan kumbang C. analis, persentase kerusakan biji dan penyusutan bobot
biji.

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tepung biji sirsak dengan
dosis 1,50 g /100 g biji dapat berpengaruh terhadap peningkatan mortalitas dan
penurunan perkembangan kumbang bubuk Callosobruchus analis F. pada biji kedelai
serta dapat mengurangi kerusakan dan penyusutan bobot biji kedelai akibat serangan
kumbang bubuk Callosobruchus analis F. di penyimpanan, namun belum didapat
dosis tepung biji sirsak yang efektif untuk mengendalikan kumbang C. analis F. Kata
kunci: Tepung biji sirsak (Annona muricata), Kumbang bubuk Callosobruchus analis
F. Untuk menekan kerugian pada biji kacang-kacangan yang disimpan akibat
serangan kumbang. analis maka diperlukan usaha pengendalian. Dari berbagai cara
pengendalian hama pasca panen yang dipakai sampai saat ini adalah dengan
mengunakan zat kimia. Pengendalian hama dengan cara biologi tidak berbahaya bagi
manusia tetapi tidak selalu praktis dan memerlukan keahlian khusus.

Cara pengendalian yang diharapkan adalah yang bersifat praktis, sederhana,


ekonomis dan tidak berbahaya. Salah satu kemungkinan adalah dengan penggunaan
bahan non toksik (seperti abu kayu dan abu sekam) dan pestisida nabati (seperti
tepung daun nimbi, tepung cabai merah, tepung daun kluwih) dan penggunaan tepung
daun sirsak (Annona muricata) untuk pengendalian hama Gudang. Menurut Harinta
(2004), penggunaan abu sekam dengan dosis 1 g/10 g biji kacang hijau, efektif
mengendalikan kumbang bubuk kacang (C. chinensis L) pada biji kacang hijau di
penyimpanan dan efektif mengendalikan kumbang bubuk kedelai (C. analis F.) pada
biji kedelai di penyimpanan (Harinta, 2009), sedangkan mengunakan tepung daun
kluwih (Artocarpus communis F.) dengan dosis 1 g/10 g biji kacang hijau, efektif
mengendalikan kumbang bubuk kacang (C. chinensis L.) (Harinta, 1996), serta
apabila menggunakan tepung cabai merah (Capsicum annum L.) dengan dosis 1g/10 g
biji kedelai, efektif mengendalikan kumbang bubuk kedelai (C. analis F.) di
penyimpanan (Harinta, 2003).

Sirsak juga memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, yaitu
sebagai buah yang syarat dengan gizi dan merupakan bahan obat tradisional yang
memiliki multi khasiat. Dalam industri makanan, sirsak dapat diolah menjadi selai
buah dan sari buah, sirup dan dodol sirsak. Kandungan daun sirsak mengandung
senyawa acetoginin, antara lain asimisin, bulatacin dan squamosin. Dalam hal ini,
serangga hama tidak lagi bergairah untuk melahap bagian tanaman yang disukainya.
Selanjutnya larutan daun sirsak disaring dengan kain halus. Senyawa aktif ini mampu
mematikan larva nyamuk Culex pipiens dan hama kol Crocidolamia binotalis.
Sementara terhadap hama bawang Spodoptera sp. dan penggerek buah tomat
Heliothis sp. Selain untuk pengobatan, daun sirsak berfungsi sebagai bioinsektisida,
caranya dengan mencampurkan hasil ssaringan daun sirsak dengan sabun detergen
lalu disemprotkan ke tanaman untuk mengendalikan kutu daun. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, sudah selayaknya sirsak (baik biji dan daunnya) yang pada
awalnya merupakan limbah tidak berguna dapat dikembangkan dan diolah menjadi
bioinsektisida yang ramah lingkungan serta mempunyai nilai ekonomi (Suranto,
2011)

7. Judul : Dampak Kerusakan Oleh Jamur Kontaminan Pada Biji Kakao Serta
Teknologi Pengendaliannya

Penulis : Widi Amaria, Tajul Iflah, dan Rita Harni

Jurnal : Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao

Ringkasan : Mutu biji kakao harus selalu diperhatikan karena sangat menentukan
tingkat harga di perdagangan pasar internasional. Persyaratan umum dan khusus untuk
memenuhi standar mutu biji kakao tersebut telah diatur dalam Standar Nasional
Indonesia Biji Kakao (SNI 01-2323-1991). Apabila biji kakao yang dihasilkan tidak
memenuhi standar maka penahanan terhadap produk yang dihasilkan (automatic
detention) akan sering terjadi, dan hal ini sangat merugikan karena akan terkena
potongan harga (automatic discount) untuk biaya fumigasi dan gudang. Dampak yang
paling serius karena kejadian tersebut akan dapat menurunkan daya saingnya di pasar
internasional. Mutu biji kakao Indonesia sampai saat ini masih belum memenuhi
persyaratan yang dianjurkan SNI. Mutu biji kakao kering dapat dipengaruhi oleh
beberapa hal di antaranya kerusakan yang disebabkan oleh jamur kontaminan
penghasil toksin (mikotoksin). Keberadaan jamur tersebut dapat dideteksi sejak
kegiatan panen dan pasca panen, seperti sortasi, fermentasi, pencucian, pengeringan,
dan penyimpanan.

Hal ini terutama disebabkan oleh penanganan pasca panen yang belum
dilakukan dengan baik dan benar yang mengacu kepada good handling practices
(GHP) dan good manufacturing practices (GMP), serta adanya infestasi dan infeksi
serangga maupun jamur. Keberadaan jamur merupakan salah satu penentu mutu biji
kakao, dan batas maksimal yang diperkenankan untuk biji kakao grade I adalah 3%,
sedangkan untuk grade II adalah 4%. Kerusakan yang disebabkan oleh jamur dapat
berpotensi sebagai mikotoksin yang mengganggu kesehatan manusia dan hewan.
Jamur dapat ditemukan serta mudah tumbuh dan berkembang pada setiap tahapan
panen dan pasca panen serta pada jalur distrubusi atau rantai perdagangan. Jenis
mikotoksin yang paling banyak ditemukan pada biji kakao adalah okratoksin dan
aflatoksin yang dihasilkan dari jenis Aspergillus dan Penicillium (Copetti, Iamanaka,
Pitt, & Taniwaki, 2014).

Senyawa ini tidak bisa dihilangkan selama proses pengolahan kakao yang
dapat menyebabkan kontaminasi pada produk-produk olahan kakao sehingga
berbahaya bagi kesehatan manusia. Seperti halnya okratoksin, aflatoksin juga dapat
menyebabkan kanker dan kerusakan ginjal pada manusia bila dikonsumsi secara
berlebihan. Sampai saat ini, kerusakan pada biji kakao yang disebabkan oleh
keberadaan jamur kontaminan masih menjadi kendala utama dalam upaya
meningkatkan mutu biji kakao nasional. Sehubungan dengan itu maka perlu diketahui
jamur penyebab kerusakan, faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan jamur,
serta teknologi pengendalian yang dapat dilakukan untuk mencegah maupun
mengendalikan jamur kontaminan serta mikotoksin pada biji kakao. Terjadinya
penolakan terhadap produk biji kakao Indonesia salah satunya karena belum
memenuhi persyaratan yang tertera dalam Standar Nasional Indonesia Biji Kakao SNI
01-2323-1991.

Jenis kerusakan yang ditemukan pada biji kakao di antaranya kerusakan fisik
dan mekanis, biologis, mikrobiologis, serta kimia (Supriyanto, 2012). Kerusakan
mekanis terjadi akibat benturan, gesekan atau goresan selama penanganan pasca
panen, pengemasan, pengangkutan, dan penyimpanan. Laju kerusakan biologis
dipengaruhi oleh kadar air, suhu penyimpanan, dan oksigen. Kondisi iklim di negara
produsen kakao pada umumnya sangat cocok untuk perkembangbiakan dan
pertumbuhan hama gudang yang dapat merusak biji kakao. Serangan hama gudang
tersebut sulit dikendalikan terutama pada biji kakao yang disimpan di karung-karung
dalam jumlah besar. Kerusakan mikrobiologis lebih banyak disebabkan oleh jamur,
yaitu melalui proses hidrolisis (merusak jaringan/makromolekul penyusun bahan
menjadi molekul-molekul kecil). Proses ini menyebabkan penurunan pH,
penyimpangan bau dan rasa, bahkan dapat menghasilkan toksin/racun yang berbahaya
bagi manusia. Kerusakan kimia terjadi karena factor intrinsik/dalam (reaksi biologis
yang masih berlangsung di dalam biji) ataupun factor ekstrinsik/luar.

Jumlah populasi jamur kontaminan penyebab mikotoksin akan mempengaruhi


mutu biji kakao kering, dan dalam waktu yang lama berdampak negatif bagi
kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Mikotoksin yang dihasilkan dari jamur-
jamur yang terdapat pada biji kakao relative tidak berkurang populasinya selama
pengolahan. Oleh karena itu, perlu perhatian dari semua pihak mulai dari tahap on-
farm hingga proses pasca panen untuk meminimalisasi tumbuh dan berkembangnya
jamur tersebut dengan cara pencegahan dan pengendalian serta melakukan tahapan-
tahapan pasca panen yang tepat. Tindakan pencegahan dapat dilakukan melalui
pengawasan secara teliti dan berkala terhadap kondisi fisik biji kakao, demikian juga
halnya dengan monitoring keberadaan jamur kontaminan pada setiap tahapan panen
dan pasca panen. Di samping pencegahan, Tindakan pengendalian dapat dilakukan
dengan menggunakan bahan tanaman yang bersifat anti jamur serta pemanfaatan
mikroorganisme sebagai agens hayati yang aman bagi manusia dan lingkungan

8. Judul : Status resistensi terhadap fosfin pada Tribolium castaneum Herbst


(Coleoptera: Tenebrionidae) dari gudang penyimpanan biji kakao di Makassar
Sulawesi Selatan

Penulis : Sri Widayanti , Dadang, Idham Sakti Harahap

Jurnal : Jurnal Entomologi Indonesia, Maret 2017, Vol. 14 No. 1, 10–19

Ringkasan : Tribolium castaneum Herbst (Coleoptera: Tenebrionidae) merupakan


hama utama produk simpanan di dunia yang secara ekonomi dapat menurunkan
kualitas dan kuantitas makanan (Vojoudi et al. 2012), termasuk pada biji kakao di
Indonesia. Pengendalian yang umum dilakukan untuk mengatasi serangan hama
termasuk T. castaneum di penyimpanan biji kakao adalah fumigasi menggunakan
fosfin. Seiring dengan pembatasan penggunaan metil fosfin menjadi pilihan utama
untuk disinfestasi .ini karena penggunaan fosfin relatif murah, efektif dan bebas
residu (Nayak et al, 2003).

Fosfin bekerja melalui penghambatan proses respirasi sel. Mitokondria sebagai


target peracunan fosfin sangat berpengaruh terhadap berkembangnya resistensi
serangga terhadap fosfin. Penurunan sensitivitas mitokondria dalam proses respirasi
sel dapat mengakibatkan terjadinya resistensi. Faktor-faktor yang dapat berkontribusi
terhadap sensitivitas dan resistensi fosfin di antaranya adalah membran potensial
mitokondria, laju aliran elektron melalui rantai respirasi mitokondria, dan level ATP
(Zuryn et al.2008). T. castaneum dari gudang penyimpanan beras di Probolinggo,
Indramayu, Semarang, dan Tegal telah resisten dengan faktor resistensi berturut-turut
sebesar 5,5, 8,5, 3,3, dan 2,8 kali, sedangkan Rhyzopertha dominica (Fabricius) asal
Probolinggo dan Ciamis telah resisten dengan faktor resistensi berturut-turut sebesar
5,9 dan 6,5 kali (Harahap et al. 2011). Sejak tahun 2005 hingga 2011 Indonesia
merupakan produsen kakao terbesar kedua di dunia dan Sulawesi Selatan merupakan
sentra produksi kakao di Indonesia. Mutu biji kakao perlu dijaga dengan melakukan
pengelolaan hama gudang yang tepat. Oleh karena itu, informasi mengenai status
perkembangan resistensi T. castaneum sangat diperlukan sebagai dasar pengelolaan
hama gudang yang dilakukan sehingga perlu dilakukan pemantauan.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan status resistensi T. castaneum


terhadap fosfin yang dikoleksi dari penyimpanan biji kakao di Makassar, Sulawesi
Selatan dan mengonfirmasi hasil pengujian resistensi melalui pengujian efikasi
lapangan untuk mendapatkan dosis fosfin efektif terhadap serangga resisten. Bahan
dan metode yang digunakan adalah Serangga uji T. castaneum dikumpulkan dari 5
gudang penyimpanan biji kakao di Makassar (PT A, PT B, PT C, PT D, dan PT E),
Sulawesi Selatan diidentifikasi dan dikembangbiakkan di Laboratorium Entomologi,
Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP), Bogor.
Serangga uji yang digunakan adalah F1 dari fase larva, pupa, dan imago T. castaneum.
Umur imago serangga uji yang digunakan adalah 7 hari, umur pupa 1 hari, dan umur
larva 14 hari Sebanyak 50 individu yang dimasukkan ke dalam ruang fumigasi yang
telah diisi magnet batangan pada dasar stoples, yaitu diletakkan di atas kawat kasa
pada bagian tengah stoples selama 20 jam. ika terdapat indikasi resisten berdasarkan
hasil analisis probit maka dilakukan pengujian lanjutan melalui perlakuan fumigasi
selama 48 jam. Pengujian lanjutan ini bertujuan untuk mengonfirmasi terjadinya
resistensi pada serangga uji.

Pengujian efikasi lapangan ini dirancang dengan menggunakan rancangan split


split plot. Masing-masing sebanyak 20 individu imago, pupa, dan larva T. castaneum
keturunan pertama (F1) dimasukkan ke dalam beaker glass (volume 150 ml) berisi biji
kakao (20 butir). Serangga uji dalam beaker glass kemudian diletakkan di antara biji
kakao dalam kantung plastik yang terbuka pada bagian atasnya. Kantung biji kakao
tersebut kemudian dimasukkan ke dalam ruang fumigasi (fumigation chamber)
berukuran 1 m x 1 m x 1 m, dengan kerangka paralon berdiameter 0,5 inchi dan
penutup plastik PVC 150 mikron.

Hasil pengujian deteksi resistensi T. castaneum terhadap fosfin menunjukkan


telah terjadi resistensi serangga T. castaneum pada biji kakao di Makassar meskipun
masih pada tingkat yang rendah. Peningkatan status resistensi pada suatu populasi
serangga dapat berasal dari serangga yang bertahan selama pemaparan fumigan yang
kurang efektif (Manivanna 2015). Aktivitas perdagangan dapat menjadi media
penyebaran serangga resisten. Perpindahan serangga karena perdagangan komoditas
diduga sebagai faktor penyebab penyebaran serangga resisten (Pimentel et al. 2010).
dosis fosfin yang digunakan untuk keperluan perawatan biji kakao di gudang
penyimpanan di Makassar adalah 2–5 g/m3, tetapi dosis yang umum digunakan saat
ini adalah 3 g/m3. Dosis yang digunakan untuk keperluan perlakuan karantina dan
pra-pengapalan (quarantine and pre-shipment [QPS]) adalah 2–5 g/m3. Dosis ini lebih
tinggi dari dosis anjuran penggunaan fosfin untuk biji-bijian di Asia, yaitu 1,5 g/m3
atau 2 g/ton (AFHB & ACIAR 1991). Penggunaan dosis hingga 5 g/m3 merupakan
Upaya pemenuhan permintaan negara tujuan ekspor dan juga digunakan untuk
perawatan biji kakao di penyimpanan dalam jangka panjang akan dapat meningkatkan
level resistensi serangga tersebut.

9. Judul : Optimasi Kualitas Tandan Buah Segar Kelapa Sawit dalam Proses
Panen-Angkut Menggunakan Model Dinamis
Penulis : Andreas Wahyu Krisdiarto , Lilik Sutiarso , Kuncoro Harto Widodo
Jurnal : Jurnal AGRITECH, Vol. 37, No. 1

Ringkasan : Di dalam industri minyak kelapa sawit, ketersediaan TBS kelapa sawit
sebagai bahan baku minyak kelapa sawit harus dipertahankan, kuantitas dan
kualitasnya. Terdapat tiga subsistem utama dalam kegiatan pascapanen, yakni
pemanenan, pengangkutan dan pengolahan. Di antara ketiganya terdapat saling
keterkaitan, satu hambatan di dalam satu subsistem berpengaruh terhadap kinerja
subsitem yang lain. Misalnya hambatan di pengangkutan TBS dari kebun ke pabrik
minyak kelapa sawit (PMKS) menyebabkan keterlambatan, yang kemudian
mengganggu pengolahan minyak, kapasitas pengolahan, dan kualitas akhir minyak
kelapa sawit (Pahan, 2006).

Pemanenan, pemuatan dan pengangkutan TBS sering menjadi tahap kritis


dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit, dan kadang menjadi wilayah manajemen
abu-abu antara manajemen kebun dan manajamen PMKS. Kedua divisi tersebut
kadang saling menyalahkan terkait kualitas TBS, yang kemudian mempengaruhi
kualitas minyak kelapa sawit. Sistem panen dan angkut yang baik diperlukan agar
dapat menyediakan TBS bagi PMKS dalam jumlah maksimum dan penurunan
kualitas minimum. Penurunan kualitas ini akan lebih cepat yang disebabkan oleh
penanganan secara fisik. Sementara itu proses panen dan angkut tidak bisa
sepenuhnya dihindarkan dari perlakuan fisik. Kerusakan buah pada tahap panen-
angkut akan menjadi pemicu penurunan kualitas di tahap berikutnya, karena memar
atau luka yang diderita buah akan mempercepat kenaikan kadar ALB. Kadar ALB
akan meningkat cepat jika struktur sel rusak/pecah, misalnya oleh karena impak fisik
(Yuwana dkk., 2009). Hal ini dikarenakan oleh pecahnya dinding sel dan aktivitas
enzim lipase. Pemanenan dan pengangkutan harus dilakukan dalam kerangka
mencapai produktivitas minyak tertinggi dengan kualitas yang dapat diterima
konsumen dan dengan biaya serendah-rendahnya. Oleh sebab itu keterkaitan antar
faktor perlu dipertimbangkan. Dalam upaya menentukan kebijakan agar dapat
menahan penurunan kualitas selama panen-angkut, dapat dibangun model dinamis
yang dapat merepresentasikan perilaku sistem panen angkut bila ada perubahan
kebijakan.

Penelitian ini bertujuan membangun model dinamis yang diharapkan dapat


menjadi salah satu acuan dalam menentukan waktu dan metode penanganan TBS,
baik pada pemanenan, pemuatan ke truk, dan pengangkutan. Obyek penelitian ini
adalah sistem pemanenan, pemuatan dan pengangkutan TBS di kebun inti perkebunan
kelapa sawit perusahaan swasta di Provinsi Sulawesi Barat. Kondisi pertanaman
kelapa sawit adalah sudah menghasilkan (Tanaman Menghasilkan, TM). Kualitas TBS
diamati berdasarkan pada kerusakan atau memar buah kelapa sawit. Cuplikan diambil
secara acak dari beberapa afdeling yang memenuhi kriteria perlakuan.

Parameter kualitas TBS yang diamati adalah kadar Asam Lemak Bebas
(ALB). Metode yang digunakan adalah mengukur kadar ALB TBS pada setiap tahap
proses penanganan bahan, yaitu pemanenan, pengangkutan di dalam blok kebun,
pemuatan ke bak truk, dan pengangkutan ke pabrik minyak kelapa sawit. Keluaran
dari simulasi model dinamis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kadar ALB antar
kondisi penanganan TBS yang berbeda. Terdapat sedikit perbedaan kadar ALB antara
TBS yang dipanen pada lahan mineral dan lahan gambut dan antara ketinggian pohon
yang berbeda. Tahap penanganan TBS yang berkontribusi paling besar kepada
penurunan kualitas akibat memar adalah pemuatan ke bak truk. TBS yang dimuat di
dasar bak truk mengalami memar lebih banyak sehingga kadar ALB-nya lebih tinggi.
Kadar ALB TBS yang dipanen di lahan mineral dan dimuat pada dasar bak truk 5,5
%, sedangkan yang di lapisan atas 4,5 %. Model menunjukkan bahwa kadar ALB
meningkat pada penanganan bahan berurutan, berbeda dengan penurunan kualitas
secara alami. Proporsi buah utuh dapat digunakan untuk mengendalikan kadar ALB
secara keseluruhan.

Bila seluruh buah memar, kadar ALB dapat mencapai 9,95 %, sedangkan
campuran 20 % buah memar dan 80 % buah utuh, kadar ALB-nya 2,82 %.
Peningkatan proporsi buah memar dari 10 % menjadi 20 % untuk buah yang dipanen
dari lahan mineral menyebabkan penambahan kadar ALB lebih besar daripada buah
yang dipanen dari lahan gambut, yaitu 0,88 % dibanding 0,80 %.

Hal yang sama menyebabkan perbedaan kadar ALB 0,92 % untuk buah yang
dipanen pada fraksi 3 dan 0,72 % untuk buah dipanen pada fraksi 1. Rekomendasi
dari hasil penelitian ini adalah: 1) Pemuatan dengan pelemparan TBS secara manual
sebaiknya dihindari; 2) Bila kondisi bak truk dan jalan buruk, sebaiknya TBS dipanen
pada fraksi 1 atau 2; 3) Titik optimum kualitas TBS saat panen dan angkut adalah
pada fraksi 1 di lahan gambut dan diangkut dengan truk bak kayu, dan 4) Dari sisi
kualitas TBS, penundaan pengangkutan lebih menguntungkan daripada menunggu
proses (mengantri) di pabrik minyak kelapa sawit (PMKS).

Seperti juga bahan hasil pertanian yang lain, waktu merupakan faktor yang
mempengaruhi penurunan kualitas TBS. Salah satu indikator kualitas TBS adalah
kadar ALB. Secara alamiah, kadar ALB setelah TBS dipanen akan meningkat 0,1 %
setiap 24 jam (Lubis, 1992), di sisi lain kadar ini tidak boleh lebih dari 2-3 % pada
saat masuk proses di PMKS (Mangoensoekarjo dan Tojib, 2008). Penurunan kualitas
ini akan lebih cepat yang disebabkan oleh penanganan secara fisik. Sementara itu
proses panen dan angkut tidak bisa sepenuhnya dihindarkan dari perlakuan fisik.
Kerusakan buah pada tahap panen-angkut akan menjadi pemicu penurunan kualitas di
tahap berikutnya, karena memar atau luka yang diderita buah akan mempercepat
kenaikan kadar ALB. Hal ini dikarenakan oleh pecahnya dinding sel dan aktivitas
enzim lipase. Pemanenan dan pengangkutan harus dilakukan dalam kerangka
mencapai produktivitas minyak tertinggi dengan kualitas yang dapat diterima
konsumen dan dengan biaya serendah-rendahnya. Jaringan antar faktor dalam panen-
angkut TBS yang saling terkait dan pengaruhnya terhadap kualitas akhir dari waktu ke
waktu merupakan sebuah sistem dinamis.

10. Judul : Pengaruh Suhu Penyimpanan Daging Buah Kelapa (Cocos Nucifera L.)
Terhadap Karakteristik Kimia Santan Kelapa
Penulis : Sandra, Sandra1, Bambang Susilo, Rizal Nur Alfian dan Nurul Istiqomah
Choirunnisa
Jurnal : Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, 11(1), 125-134

Ringkasan : Kelapa memiliki julukan tree of life karena semua komponen pohonnya
dapat dimanfaatkan oleh manusia, mulai dari batang pohon, buah, dan daunnya.
Produk turunan dari buah kelapa seperti santan, minyak kelapa, dan VCO yang sangat
kaya akan manfaat dan memiliki nilai ekonomis tinggi sehingga perlu untuk
dikembangkan. Masyarakat Indonesia banyak yang memanfaatkan buah kelapa
sebagai bahan baku pembuatan santan. Santan adalah ekstrak dari daging buah kelapa
parut dengan penambahan air atau tanpa air. Pada proses ekstraksi buah kelapa, santan
memerlukan pretreatment homogen geser berkecepatan tinggi karena sistem emulsi
santan sangat mudah untuk tidak stabil setelah pencairan sehingga dapat merusak
kandungan dari santan itu sendiri. Hasil penelitian sebelumnya, emulsi santan yang
baik adalah daging buah kelapa sebelum dilakukan ekstraksi diberi pretreatment suhu
dingin yaitu sebesar -18 'C (Jiang et al., 2016). Kemudian terdapat penelitian yang
mana dilakukan penyimpanan santan pada suhu yaitu 5 'C dan dicairkan selama 6 jam
dengan suhu kamar (29 ± 2 'C), dihasilkan 92% minyak kelapa dengan indeks krim
sebesar 53% (Raghavendra & Raghavarao, 2010). Suhu pretreatment pada
daging buah kelapa menjadi faktor utama yang memberikan pengaruh terhadap mutu
santan dihasilkan. Berdasarkan hal tersebut peneliti melaksanakan penelitian dengan
judul "Pengaruh Suhu Penyimpanan Daging Buah Terhadap Karakteristik Kimia
Santan Kelapa". Penyimpanan daging buah kelapa sebelum diparut dan diperas
menjadi santan yaitu menggunakan suhu dingin (6 'C ± 2 'C) dan suhu beku (-16 'C ±
2 'C) yang disimpan.

Tujuan dari penelitian ini berfokus pada karakterisasi kimia santan kelapa dari
hasil perlakuan pretreatment penyimpanan daging buah kelapa sebelum diparut dan
diperas menjadi santan dengan mengukur nilai kadar protein, kadar lemak, asam
lemak bebas (FFA), dan stabilitas emulsi. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam
menunjang penelitian ini adalah Lemari Pendingin (Electrolux; Elit Cool) dan
Freezer/Cold Storage (GEA; JCW-F99HV) sebagai mesin untuk menyimpan daging
buah kelapa pada suhu rendah (dingin dan beku), Mesin Pemarut Kelapa (Tigershark)
untuk memarut kelapa, Hydraulic Press (Stainless steel) untuk memeras santan,
Thermo-hygrometer (Haar Synth Hygro) untuk mengukur suhu ruang penyimpanan,
Satu set statif dan buret (5 ml) untuk titrasi FFA, Oven (Memmert UFE-400) untuk
mengeringkan sampel pada uji lemak, Laptop (MSI PS42) untuk mengolah data
menggunakan aplikasi SPSS, Erlenmeyer, Gelas Beaker, Pipet Ukur dan Pipet Tetes,
Desikator, Timbangan Analitik, Loyang, Gelas Ukur, Cawan Aluminium Foil¸
Baskom, Sendok, Pisau, Corong Plastik, Spatula Kayu, dan Saringan.

Proses pembuatan santan kelapa dilakukan dengan pemilihan kelapa yang


sudah tua dalam satu tandan langsung dibeli dari petani. Persiapan sampel daging
buah kelapa, pertama kelapa dikupas dari kulit luar (epicarp) dan sabut (mesocarp),
kemudian tempurungnya (endocarp), kulit daging buah (testa) dibuang secara manual
sehingga yang tinggal adalah daging buah (endosperm) yang berwarna putih dan
dibuang airnya. Perlakuan suhu dingin (6 'C ± 2 'C) dan suhu beku (-16 'C ± 2 'C )
disimpan dalam cold storage selama ±24 jam setelah itu di thawing dengan cara
direndam pada air dengan suhu ruang (±27 ' C) selama 2 jam dan setiap 30 menit
dilakukan pergantian air kemudian diparut sedangkan yang suhu kamar (27 °C ± 2
°C) langsung diparut.

Pemberian perlakuan suhu pretreatment penyimpanan daging buah kelapa


dapat menjaga kestabilan emulsi santan (Jiang et al., 2016) serta memperlambat
aktivitas enzim dan pertumbuhan bakteri yang dapat menyebabkan kerusakan pada
daging buah kelapa sehingga akan berpengaruh terhadap santan kelapa yang
dihasilkan (Riyanto et al., 2014). Semakin tinggi suhu perlakuan daging buah kelapa
maka protein yang dihasilkan semakin banyak. Pemberian pretreatment penyimpanan
daging buah kelapa pada suhu beku dapat menurunkan nilai kadar protein santan.
Pada penyimpanan pada suhu rendah mengakibatkan terbentuknya kristal es sehingga
struktur sel yang terdapat pada daging buah kelapa rusak (Estiasih & Ahmadi, 2017).
Selain itu, penyimpanan daging buah kelapa pada suhu rendah dapat mengakibatkan
karakteristik kimia seperti pigmen, cita rasa atau hilangnya kandungan nutrisi.
Semakin tua kelapa, semakin tinggi kandungan lemak buahnya. Lemak merupakan
salah satu kandungan terpenting dalam santan. Lemak dalam santan mempengaruhi
parameter kualitas santan lainnya, seperti jumlah peroksida dan asam lemak bebas
(Ariningsih et al., 2021). Asam lemak bebas adalah salah satu parameter yang
menentukan mutu minyak dan lemak pada bahan pangan. Asam lemak bebas
terbentuk dari hasil hidrolisis lemak yang mengakibatkan bau tengik pada santan
(Ariningsih et al., 2021). Hasil pengujian yang telah dilakukan menunjukkan
penurunan stabilitas emulsi santan kelapa karena pretreatment penyimpanan daging
buah kelapa yang dilakukan.

Pretreatment pada daging buah kelapa memberikan pengaruh terhadap struktur


daging buah kelapa. Pretreatment pada daging buah kelapa membuat sistem emulsi
santan lebih stabil, kemudian daging buah kelapa dengan perlakuan suhu dingin
menyebabkan serat pada buah kelapa akan hancur dan akan terjadi kristalisasi minyak
kelapa. Perubahan struktur daging buah kelapa dapat mempercepat proses pemutusan
ikatan antara minyak dan air, sehingga dapat dihasilkan minyak yang berkualitas baik.
Perlakuan terbaik dalam penelitian ini adalah pretreatment penyimpanan pada suhu
beku (-16 °C ± 2 °C) dengan nilai Kadar Protein (3,263%), Kadar Lemak (55,87%),
Asam Lemak Bebas (0,15%), dan Stabilitas Emulsi (88,38%). Sedangkan
Pretreatment pada daging buah kelapa memberikan pengaruh terhadap struktur daging
buah kelapa.

Anda mungkin juga menyukai