PENDAHULUAN
Pemasaran komoditi pertanian Indonesia merupakan bagian yang paling lemah dalam
mata rantai perekonomian. Hal ini berarti efisiensi dibidang pemasaran masih rendah
sehingga kemungkinan untuk mempertinggi tingkat efisiensi masih besar (Mubyarto, 1995).
Pemasaran merupakan faktor yang sangat penting dalam dunia usaha, tanpa adanya suatu
pemasaran maka pendistribusian produksi hasil olahan maupun pertanian akan terhambat
atau tidak sampai pada konsumen ataupun sasaran yang dituju. Untuk itulah pemasaran
sangat penting untuk mewujudkan pembangunan pertanian Indonesia.
Aspek pemasaran memang penting bila mekanisme pemasaran berjalan baik, maka
semua pihak yang terlibat akan diuntungkan. Oleh karena itu peranan lembaga pemasaran
yang biasanya terdiri dari produsen, tengkulak, pedagang pengumpul, eksportir, importir
atau lainnya menjadi amat penting. Lembaga pemasaran ini, khususnya bagi negara
berkembang, yang dicirikan oleh lemahnya pemasaran hasil pertanian, akan menentukan
mekanisme pasar (Soekartawi, 2001).
Mangga adalah buah yang berasal dari India, oleh karena itu bernama latin Mangifera
indica. Tercatat ada 2000 jenis varietas di dunia. Mangga memiliki kandungan Vitamin A, C
dan E yang sangat bagus untuk keremajaan kulit dan mencegah kanker. Mangga
mengandung karotenoid yang disebut crytoxanthin, yaitu bahan penumpas kanker yang baik.
Kandungan asam galat yang ada di mangga, sangat baik untuk pencernaan, selain itu
kandungan riboflavin-nya baik untuk menjaga kesehatan mata, mulut dan tenggorokan
(Pradnyamita, 2008).
Mangga sudah memasuki era perdagangan bebas, status pasarnya sudah mendunia,
persaingan pemasaran tidak terbatas pada Negara ASEAN (AFTA) tetapi secara frontal
sudah masuk ke pasar Internasional. Produk mangga Indonesia harus bersaing dengan
mangga dari Negara lain seperti mangga Thailand, Philipina, India, Meksiko, Brazil dan
Australia. Lebih jauh, arena persaingan tidak saja terjadi di pasar ekspor/luar negeri tetapi
juga terjadi di pasar dalam negeri terutama pasar modern seperti supermarket, hypermarket,
fruitshop, hotel berbintang, dan usaha katering, sejalan dengan terbukanya pintu impor
mangga luar (Sumarno, 2003).
Jumlah mangga di pasaran sangat banyak saat panen raya sehingga harga yang
diterima petani menjadi sangat rendah, hal ini sesuai dengan hukum permintaan dan
penawaran. Perlakuan yang dilakukan ditingkat petani setelah panen meliputi penimbangan,
sortasi dan pencucian. Sedangkan, perlakuan yang ada di tingkat pengepul meliputi;
penimbangan, penyotiran, pencucani, dan pengemasan. Pengepul melakukan pengiriman
buah mangga menggunakan kendaraan roda empat (pick up atau truck) ke pedagang besar
dilokasi tujuan. Rantai pasok mangga untuk ekspor bisa dari petani langsung ke eksportir,
petani melalui Kelompok tani baru ke eksportir dan petani ke pedagang pengumpul baru ke
eksportir.
I.2 Tujuan
Tujuan dari kajian pustaka ini adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat dan
berbobot tentang saat panen, ciri-ciri buah mangga layak panen, serta informasi penanganan
pascapanen buah mangga dan manajemen rantai pasok produk mangga.
I.3 Manfaat Kajian Pustaka
Manfaat dari kajian Pustaka ini diharapkan dapat dipakai sebagai pedoman bagi semua
pihak yang berkecimpung di dalam budidaya buah mangga, sehingga bisa meningkatkan
kualitas produksi buah mangga, yang pada ujungnya adalah terjadi peningkatan kesejahteraan
petani mangga.
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1Mangga
Menurut AAK (1996), sistematika mangga (Mangifera indica L.) adalah sebagai berikut :
Spesies (Jenis) : Mangifera
indica L Genus : Mangifera
Famili : Anacardiaceae
Ordo : Sapindales
Tanaman mangga memiliki toleransi tumbuh yang tinggi, baik di dataran rendah
maupun dataran tinggi dengan keadaan volume curah hujan sedikit atau banyak. Akan
tetapi untuk memperoleh pertumbuhan dan hasil produksi yang optimum sebaiknya mangga
ditanam pada suatu areal yang memiliki ketinggian maksimum 500 m diatas permukaan laut.
Dengan temperatur 24 – 270C. Tanaman mangga sangat cocok ditanam pada tanah ringan,
lempung berpasir dengan perbandingan yang seimbang (Sandy Loams) dengan pH ideal 5,5
– 6,0 (AAK, 1996).
Adapun susunan nilai makanan dan komposisi kimia buah mangga, dapat diuraikan
sebagai berikut :
Mangga segar mengandung air sekitar 90 persen, sedangkan yang sudah masak sekitar
86 persen. Vitamin A sebesar 41 mg pada mangga ranum, dan 38 mg mangga yang sudah
masak, selain itu juga mengandung Vitamin C, B1, dan B2. Unsur gula pada mangga mentah
8,8% dan masak 11,8%. Serat pada mangga mentah tidak ada sedangkan untuk mangga
masak 1,1%. Beberapa bahan mineral yang terkandung pada mangga diantaranya; Kapur,
Fosfor, dan Besi. Nilai kalori dalam setiap 100 gram mangga muda mencapai 39 gram, dan
mangga yang sudah masak 50 – 60 gram. Kalori dalam mangga muda rendah karena lebih
banyak mengandung zat pati, yang akan berubah menjadi gula dalam proses pematangan.
Mangga tergolong kelompok buah “batu” berdaging dengan bentuk, ukuran, warna, dan
citarasa (aroma-rasa-tekstur) beraneka. Bentuk mangga ada yang bulat penuh, seperti mangga
Gedong, dan bulat panjang, seperti mangga Arumanis dan mangga Manalagi, Mangga Kopek
berbentuk bulat pipih, sedang mangga Golek lonjong (Pracaya, 2001).
Penyortiran buah mangga yang berdasarkan keadaan fisik dari buah mangga tersebut,
buah yang kondisi fisiknya rusak dipisahkan dengan buah yang mulus. Setelah sortasi buah
mangga dilap untuk menghilangkan getah yang dapat menurunkan mutu terutama jika buah
akan dipasarkan ke pasar swalayan atau luar negeri. Sebanyak 75 % petani responden sudah
melakukan kegiatan sortasi, buah yang berpenampakkan buruk akan dikonsumsi sendiri,
diberikan kepada tetangga atau dibuang, namun bila ada permintaan dari industri pengolahan
manisan rumahan buah berpenampakkan buruk akan dikumpulkan dan di jual. Pernyotiran
bertujuan untuk memisahkan buah yang layak jual dan tidak layak dijual agar diperoleh buah
yang seragam bentuk, warna, ukuran dan kematangannya sedangkan grading dilakukan
untuk memperoleh buah yang seragam ukurannya (besar, sedang, kecil atau sangat kecil).
Sebagian besar mangga yang didapatkan dari petani oleh pengepul dipasarkan di dalam
negeri, sedangkan Sebagian kecil mangga dpasarkan diluar negeri yang bekerjasama dengan
eksportir. Penggolongan kelas mangga didasarkan atas berat buah (gr/buah) atau ukuran
buah (cm/buah), dan untuk setiap varietas yang berbeda, pasti berbeda pula ukuran kelas
penggolongannya. Petani pengepul menjual mangga untuk pasar lokal/dalam negeri dengan
ukuran sebagai berikut 1) kelas 1 ukuran 250-300 g; 2) kelas 2 ukuran 200-250 dan 3) kelas
3 ukuran 350 g.
d) Pengemasan
Pengemasan buah mangga bertujuan mempermudah distribusi, mempermudah
pemasaran , serta melindungi buah dari kerusakan biologis, fisik, dan kimia. Salah satu faktor
yang menyebabkan terjadinya kerusakan buah mangga adalah penggunaan kemasan yang
kurang sesuai. Kemasan buah harus cukup kuat untuk menahan benturan, gancangan,
gesekan, dan penumpukan. Selain itu, pada pengemasan harus memungkinkan terjadimnya
pendinginan komoditas buah secara cepat setelah pemanenan dan memungkinkan penyaluran
panas yang dihasilkan oleh komoditas buah itu sendiri selama transportasi dan
penyimpanannya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kemasan
kardus pada buah mangga lebih baik dibandingkan dengan kemasan lainnya. Kemasan juga
harus tahan terhadap lingkungan yang lembab dan basah. Salah atu indikator penting untuk
mengontrol daya simpan mangga adalah kadar air. Perubahan kadar air akan menyebabkan
kelunakan atau keriput pada produk. Petani pengepul di lokasi pengkajian mengirim bauh
mangga dalam kemasan kayu dan kertas/karton. Kemasan kayu digunakan untuk mengemas
buah mangga yang dikirim ke pasar lokal/dalam negeri, sedangkan kemasan kertas/karton
digunakan untuk mengemas buah mangga yang dipasarkan dipasar local maupun luar negeri.
Secara umum, terdapat berbagai tingkatan pelaku pemasaran mangga, yang terdiri
dari petani sebagai produsen, pedagang pengumpul/tengkulak, pedagang
besar/bandar,termasuk pedagang antar pulau, pemasok eksportir, pemasok supermarket,
pedagang pasar induk, pedagang eceran (pasar tradisional,toko/kios buah, supermarket), dan
eksportir (Supriatna 2010; Yunita dan Julia 2014; Andrianiet al. 2019). Menurut Anugrah
(2009), tingkat hubungan keterkaitan antar pelaku pemasaran mangga tersebut relatif sudah
terbentuk dalam suatu ikatan/jalur yang jelas dan pada setiap musim panen akan selalu terus
terulang. Diantara pelaku-pelaku tersebut ada juga yang berperan ganda, misalnya petani
sekaligus pedagang pada berbagai tingkatan. Dengan peran ganda tersebut, petani-pedagang
mendapatkan keuntungan jaminan pasar dan harga jual mangga yang lebih tinggi disbanding
petani lainnya. Pedagang besar yang juga berperan sebagai spray trader memperoleh
keuntungan adanya jaminan pasokan mangga dengan kualitas yang lebih baik. Yunita dan
Julia(2014) menunjukkan bahwa para pelaku pasar yang memiliki peran ganda menerima
keuntungan dan nilai tambah yang paling besar,bahkan petani yang memiliki peran ganda
sebagai pengepul dan eksportir memiliki rasio nilai tambah dan nilai keuntungan lebih
dari100%.
a. Pedagang Pengumpul
b. Pedagang Besar
Pedagang besar mengirimkan mangga gradeA dan B kepada pedagang pasar induk
(agen),pedagang besar lain baik dalam satu pulau atau di pulau lain (antarpulau), supermarket
(pemasok supermarket), atau eksportir. Pedagang besar selalu berkomunikasi dengan
pedagang pa sarinduk (agen) untuk mengetahui perkembangan harga jual, kebutuhan pasar
akan jenis dan jumlah mangga. Hal ini dijadikan pedoman oleh pedagang besar untuk
merencanakan pengadaan dan pengiriman mangga ke pasar induk. Mangga grade C dijual
pedagang besar kepara pedagang pasar tradisional sekitar Kabupaten Cirebon seperti
Majalengka,Indramayu, Sumedang, dan Bandung. Cara transaksi yaitu pedagang pasar
tradisional mengambil barang dari pedagang besar, harga beli berdasarkan negoisasi (tawar
menawar) dan pembayaran ke pedagang besar dilakukan melalui sistem Masuk Keluar
Masuk (MKM), yaitu pembayaran pertama dilakukan pada waktu pengambilan kedua.
Agen menerima kiriman mangga dari beberapa pedagang besar di berbagai daerah
penghasil mangga. Agen merupakan pedagang yang tidak memiliki barang. Mereka tidak
melakukan penanganan hasil, hanya menyediakan tempat dan transaksi penjualan mangga
pedagang besar dengan memperoleh balas jasa melalui sistem komisi 10% dari total nilai
penjualan. Agen melakukan pembayaran kepada pedagang besar menggunakan sistem nota
1:5, artinya seluruh pembayaran dilakukan sekaligus setelah pengiriman kelima
terjual.Dengan sistem pembayaran seperti itu, maka pedagang besar harus mempunyai modal
yang kuat karena di satu sisi pembayaran dari agen memerlukan waktu yang lama, sementara
di sisi lain pembayaran kepada petani (melalui pedagang pengumpul) harus dilakukan secara
tunai. Namun, untuk kelancaran hubungan kerja,agen sering memberikan bantuan modal
kepada para pedagang besar berupa uang muka untuk kebutuhan ongkos pengadaan dan
pengiriman mangga. Pengembalian pinjaman dilakukan oleh agen melalui pemotongan dari
total nilai penjualan agen.Agen menjual mangga ke beberapa pedagang toko/kios buah dan ke
supplier dengan harga yang ditetapkan secara negoisasi. Rata-rata satu pedagang agen
mempunyai langganan pembeli tetap sekitar 10 sampai 15 orang. Cara pembayaran ke agen,
yaitu dari toko/kios buah melalui sistem MKM, sedangkan dari supplier melalui sistem nota
1:5 (Supriatna 2010).
d. Pemasok (Supplier)
Pedagang pemasok (supplier) memperoleh mangga dari beberapa pedagang agen.
Harga beli ditetapkan berdasarkan tawar-menawar dan pembayaran dilakukan melalui sistem
nota 1:5.Supplier melakukan transaksi penjualan ke supermarket melalui sistem kontrak
pemasaran (marketing contract), yaitu perjanjian jual beli dimana pengiriman sejumlah
barang dalam waktu,mutu, harga, dan pembayaran disetujui pada waktu membuat perjanjian
sedangkan pelaksanaan pengiriman barang dan pembayaran dilaksanakan pada masa akan
datang. Supplier melakukan sortasi sehingga dihasilkan mangga grade super (80%) yang akan
dikirim ke supermarket dan sisanya nonsuper(20%) yang dijual ke toko/kios buah atau
pasartradisional (Supriatna 2010).
e. Pengecer Toko/Kios Buah
Pedagang toko/kios buah memperoleh mangga dari pedagang agen di pasar induk.
Harga beli merupakan hasil negoisasi (tawar menawar) dan pembayaran menggunakan sistem
MKM. Pengecer melakukan sortasi terutama untuk membuang mangga rusak atau busuk
akibat transportasi pengambilan atau penyimpanan. Selanjutnya, dilakukan pengelompokan
mangga menurut ukuran dan kualitas untuk membedakan harga jual sesuai kemampuan
konsumennya. Pengecer menjual mangga langsung ke konsumen akhir dengan penetapan
harga berdasarkan tawar-menawardan pembayaran dilakukan secara tunai(Supriatna 2010).
f. Pengecer Pasar Modern (Supermarket)
Supermarket memperoleh mangga dari supplier dengan sistem pembayaran nota
1:5(Supriatna 2010) atau dengan tempo hingga 2-4minggu (Awaliyah dan Saefudin 2020).
Mangga yang diterima supermarket kemudian disortasi lagi. Umumnya mangga yang
diterima (95%)yang akan dijual ke konsumen dan sisanya (5%)dikembalikan ke supplier.
Supermarket melakukan penjualan ke konsumen akhir yang umumnya merupakan pembeli
kelas ekonomi menengah ke atas dengan harga yang ditetapkan oleh supermarket (Supriatna
2010).
g. Pengecer Pasar Tradisional
Pedagang pengecer di pasar tradisional memperoleh barang dari pedagang besar dengan
pembayaran menggunakan sistem MKM. Pengecer melakukan penanganan hasil untuk
mengelompokkan kualitas mangga menurut besar dan tingkat cacat fisik untuk membedakan
harga jual sesuai kemampuan konsumennya.Tempat berjualan bisa di pasar tradisional atau
disepanjang jalan/kaki lima, dengan konsumen umumnya merupakan pembeli kelas ekonomi
menengah ke bawah (Supriatna 2010). Dalam penentuan margin, pedagang pengecer
memperhitungkan risiko penjualan, antara lain risiko busuk jika tidak terjual, sehingga mark
up harga ditetapkan cukup tinggi untuk menghindari kerugian tersebut. Hasil kajian Awaliyah
dan Saefudin (2020) mengungkapkan margin keuntungan yang diterima pedagang pengecer
adalah sekitar 35% dari total margin keuntungan di saluran pemasaran terkait.
Gambar . Model rantai pasok mangga
Agus Nurawan dan Waryat. 2022. Keragaan Penanganan Pascapanen Mangga di Kabupaten
Cirebon. Jurnal Ilmiah Respati. Vol.13, No. 1.
Awaliyah F, Saefudin BR. 2020. Efisiensi pemasaran komoditas mangga gedong gincu di
Kabupaten Cirebon. Paradig Agribis. 3(1):1‒11
Anonima. 2002. Penanganan Pasca Panen Mangga. No. 24/1 Mei 2002. Panduan 06-TP2002.
Diakses dari http://agribisnis.deptan.go.id. Pada 03 Juni 2010.
Anugrah IS. 2009. Mendudukkan komoditas mangga sebagai unggulan daerah dalam suatu
kebijakan sistem agribisnis-upaya menyatukan dukungan kelembagaan bagi eksistensi
petani. Anal Kebijak Pertan. 7(2):189−211.
Rizkia H. 2012. Pengembangan sistem persediaan dalam rantai pasok mangga gedong gincu
[Disertasi]. [Bogor (ID)]: Institut Pertanian Bogo
Soekartiwi. 2001. Agribisnis : Teori dan Aplikasinya. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Suhaeni, Karno, Sumekar W. 2014. Rantai nilai agribisnis mangga gedong gincu (Manginfera
indica L) di Kabupaten Majalengka. J Ilm Pertan Peternak. 2(1):6-16
Supriatna A. 2010. Analisis pemasaran mangga “gedong gincu” (studi kasus di Kabupaten
Cirebon, Jawa Barat). Agrin. 14(2):97−113.
Sumarno. 2003. Potensi dan Peluang Usaha Agribisnis Buah Tropika dalam Era Pasar Bebas.
Dalam Prosiding Seminar Prospek Sub-Sektor Pertanian Menghadapi Era AFTA
Tahun 2003. Ed. Roesmijanto. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian
Dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Yunita A, Julia A. 2014. Model rantai nilai pada komoditas mangga gedong gincu di
Kabupaten Majalengka. J Kaji Ekon Pembang. 10(2):89−102