Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Penelitian Terdahulu
Pada penelitian ini memaparkan beberapa penelitian terdahulu sebagai
penunjang yang berhubungan dengan analisis tingkat produksi KIP Timah 11 PT
Timah Tbk.
1. Rianjung (2018), dalam Penelitian yang berjudul Analisis Tingkat Produksi
Bijih Timah Di Kapal Isap Produksi (KIP) Tanah 16 Unit Produksi Laut
Bangka PT Timah Tbk. Tujuan dari penelitian untuk menghitung tingkat
produksi bijih timah dan menganalisis kinerja KIP Timah 16 pada periode 22
Januari hingga 22 Februari 2018. Pengolahan data pada penelitian ini
menggunakan metode pendekatan deskriptif melalui pengumpulan data primer
dan data sekunder. Data yang digunakan yaitu data penggalian bulanan Kapal
Isap Produksi Timah 16, jam jalan dan jam stop, volume tanah yang digali dan
data hasil produksi (konsentrat kadar). Hasil penelitian berdasarkan data aktual
diperoleh persentase jam jalan Bulan Januari 2018 diperoleh sebesar 35,64%
dengan efisiensi kerja 26,34% yaitu 196 jam kerja yang tidak memenuhi target
rencana kerja sebesar 550 jam dikarenakan adanya perbaikan alat yang
mengalami kerusakan, serta laju pemindahan tanah pada KIP Timah 16 sebesar
168,8 m3/jam, tidak mencapai target laju pemindahan tanah sebesar 200
m3/jam dikarenakan jam jalan yang lebih kecil dibandingkan target yang telah
ditentukan, dengan volume pemindahan tanah sebanyak 33.085,56 m3
sehingga diperoleh produksi Sn sebesar 6 ton dengan KH 0,75 dan persentase
produksi 20% dari target produksi yang telah ditentukan.
2. Lucky (2015), Laporan Kerja Praktek Jurusan Teknik Pertambangan Institut
Teknologi Bandung dengan judul Analisa Perbandingan Tingkat Produksi KIP
Timah 15 dan KIP Timah 16 Unit Laut Bangka PT Timah Tbk. Tujuan
penelitian ini untuk membandingkan perbedaan produksi pada Kapal Isap
Produksi 15 dengan Kapal Isap Produksi Timah 16 serta faktor-faktor

4
5

penyebab perbedaan jumlah produksi kedua KIP. Metode penelitian yang


digunakan secara survey lapangan untuk mengumpulkan data primer dan
sekunder. penelitian ini menggunakan data peta rencana kerja (RK), data jam
jalan, jam stop, dan data produksi aktual harian kedua Kapal Isap Produksi
Timah. Hasil dari penelitian ini diperoleh berdasarkan hasil perhitungan secara
aktual, persentase jam jalan produktif KIP Timah 16 yaitu 125,8% dengan
tingkat produksi yang dihasilkan sebesar 156,04% yaitu 629 jam kerja yang
melewati target sebesar 500 jam, untuk produksinya sebesar 46,813 ton
mencapai target yaitu 30 ton. Sedangkan jam jalan produktif KIP Timah 15
yaitu 107,2% dengan tingkat produksi yang dihasilkan sebesar 71,35% yaitu
536 jam kerja mencapai target sebesar 500 jam, untuk produksinya sebesar
21,404 ton tidak mencapai target yaitu 30 ton. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat produksi dan jam jalan produktif memenuhi target, karena pencapaian
yang didapat >100%, nilai ini menunjukkan bahwa tingkat produksi dan jam
jalan produktif memenuhi rencana kerja. Sedangkan untuk KIP Timah 15
hanya memenuhi jam target jam jalan produktif, untuk tingkat produksi tidak
memenuhi target karena pencapaian yang dihasilkan didapat <100%, hal ini
berarti bahwa KIP Timah 15 tidak mencapai tingkat produksi sesuai dengan
rencana kerja. Maka dapat disimpulkan tingkat produksi SnO₂ pada KIP Timah
16 lebih besar dari tingkat produksi SnO₂ pada KIP Timah 15 periode Bulan
Mei 2015. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan tingkat produksi KIP
Timah 15 dan KIP Timah 16, antara lain faktor 5 M (Man, Money, Machine,
Method, dan Material), lokasi kerja, jam kerja, ketidakakuratan lokasi kolong
kerja, kondisi kolong kerja yang sudah kosong, cuaca, dan kondisi lapisan
tanah.
2.1.2 Geologi Timah
Menurut Purnomo (2008), Mineral kasiterit adalah mineral utama timah dan
mampu menghasilkan logam timah, mineral ini berbentuk kristal, mengkilap dan
tampak seperti batu perhiasan yang dapat ditemukan di daratan maupun sepanjang
aliran di kepulauan Bangka Belitung, Singkep dan Kundur, kasiterit merupakan
mineral oksida dari timah SnO2, dengan kandungan timah berkisar 78%. Contoh
6

lain sumber biji timah yang lain dan kurang mendapat perhatian daripada
cassiterite adalah kompleks mineral sulfide yaitu stanite (CuFeSnS4) merupakan
mineral kompleks antara tembaga- besi-timah-belerang dan cylindrite
(PbSn4FeSb2S14) merupakan mineral kompleks dari timbale-timah-besi-antimon-
belerang dua contoh mineral ini biasanya ditemukan bergandengan dengan
mineral logam yang lain seperti perak. Timah merupakan unsur ke-49 yang paling
banyak terdapat di kerak bumi dimana timah memiliki kandungan 2 ppm jika
dibandingkan dengan seng 75 ppm, tembaga 50 ppm, dan 14 ppm untuk timbal.
Cassiterite banyak ditemukan dalam deposit alluvial/alluvium yaitu tanah atau
sediment yang tidak berkonsolidasi membentuk bongkahan batu dimana dapat
dapat mengendap di dasar laut, sungai, atau danau. Endapan aluvial terdiri dari
berbagai macam mineral seperti pasir, tanah liat, dan batu-batuan kecil. Hampir
80% produksi timah diperoleh dari alluvial/alluvium atau istilahnya deposit
sekunder. Diperkirakan untuk mendapatkan 1 kg Cassiterite maka sekitar 7
sampai 8 ton biji timah/alluvial harus ditambang disebabkan konsentrasi
cassiterite yang sangat sangat rendah.
2.1.3 Geologi Daerah Penelitian
Pulau Bangka merupakan daerah dengan stadia erosi tingkat lanjut, hal ini
dicirikan dengan keadaan yang umumnya relatif datar dan adanya bukit-bukit sisa
erosi. Bukit-bukit sisa erosi tersebut tersusun atas batuan beku granit yang
umumnya menempati bagian tepi Pulau Bangka, Menurut Djamal dan Mangga
(1994) ada terdapat beberapa jenis granit di Pulau Bangka, dapat dilihat sebagai
berikut:
1. Di bagian utara: Granit Klabat, yang berorientasi barat-timur melewati Teluk
Klabat, Granit yang ada disekitarnya terdiri atas Granit Pelangas, Granit
Menumbing, Granit Mangkol.
2. Di bagian selatan: Tersusun atas pluton yang lebih kecil yaitu, Pluton Koba,
Pluton Bebuluh, Pluton Permis, dan Granit Toboali, serta pluton yang lain
yang terletak diantaranya.
Pulau Bangka dicirikan oleh daerah berbukit dengan ketinggian batuan
dasar yang membatasi Cekungan Sumatra Selatan di bagian timur dan Cekungan
7

Sunda di bagian utara, Pulau Bangka termasuk Tin Island, terletak pada Lempeng
Eurasia. Daerah pedataran menempati ± 80% luas seluruh daerah. Daerah inilah
yang merupakan tempat endapan alluvial yang mengandung konsentrasi bijih
Timah. Umumnya sungai-sungai yang ada mengalir di atas endapan-endapan
muda (Plistosen/Pliosen), kecuali pada hulu-hulu sungai atau dekat pada daerah
perbukitan. Pada Zaman Paleozoikum Pulau Bangka dan laut disekitarnya
merupakan daratan. Selanjutnya pada Zaman Karbon-Trias berubah menjadi laut
dangkal. Orogenesa kedua terjadi pada masa Mesozoikum, Pulau Bangka dan Riau
muncul ke permukaan. Intrusi granit menerobos batuan sedimen seperti batupasir,
batulempung dan lain-lain pada Trias-Yura Atas. Pada batas diantara sedimen dan
granit terjadi metamorfosa sentuh. Bersamaan intrusi granit ini terjadi proses
pneumotolitik yang menghasilkan cassiterite. Proses ini dengan proses
hidrotermal yang menghasilkan cassiterite yang mengisi rekahan-rekahan pada
granit. Erosi intensif terjadi pada Kenozoikum dimana lapisan yang menutupi
granit terkikis habis sehingga batuan granit tersingkap. Selanjutnya diikuti oleh
proses pelapukan, transportasi dan pengendapan di lembah-lembah. Suasana
daratan Bangka berlanjut sampai Tersier. Pencairan es pada Kala Pliostosen
mengakibatkan beberapa daerah di Bangka menjadi laut dangkal seperti sekarang
ini. Erosi berlanjut membentuk Pulau Bangka menjadi daratanhampir rata seperti
sekarang ini. (Djamal dan Mangga, 1994).
1. Morfologi Regional
Menurut Suntoko (2010), bentang alam Pulau Bangka secara umum
merupakan dataran rendah, kecuali pada daerah-daerah tertentu bergelombang
(berbukit) dengan puncak yang jarang mempunyai ketinggian 500 m. Relief yang
terjadi pada umumnya tidak begitu besar, terdapat sejumlah bukit yang berlereng
landai dan ada juga yang berlereng curam. Yang berlereng landai biasanya terdiri
dari pada batu lempung, kadang juga granit, sedangkan yang berlereng curam
ialah granit bukit Menumbing (700 m) dibagian utara Pulau Bangka, bagian barat
terdapat batu pasir keras bukit Maras (380 m). Laut sekitarnya yang sangat
dangkal dibentuk oleh lembah-lembah dan sungai-sungai yang tenggelam berisi
endapan alluvial yang mengandung bijih timah yang di dalamnya jarang melebihi
8

50 m. Lembah-lembah di daratan diisi oleh endapan aluvial, sebagian merupakan


rawa-rawa dan sebagian lagi terpengaruh oleh pasang surut, lembah sempit yang
lebih tinggi letaknya mempunyai mata air yang tetap.
Menurut Catatan Tentang Geologi Pulau Bangka yang dikemukakan oleh R.
Osberger (1955), pada dasarnya pantai dapat di bedakan menjadi dua jenis:
1. Pantai-pantai dengan singkapan batuan-batuan Pra-Tersier, jadi pantai-pantai
yang terjadi karena adanya pengikisan.
2. Pantai-pantai yang selalu tertutup oleh sedimen-sedimen muda, seperti lumpur
dan pasir. Pantai jenis ini terjadi akibat pengumpulan sedimen-sedimen
tersebut.
Jenis pertama sangat khas di Jebus, bagian barat Mentok, di Belinyu
Sungailiat dan bagian timur Pangkal Pinang. Jenis kedua terutama terdapat
dibagian selatan (sungai jering), dibagian barat yaitu Pangkalpinang (sungai selan)
dan banyak tempat di Toboali dan Koba. Kedua-duanya telah terjadi karena
daratan yang bertopografi bukit serta lembah-lembahnya telah tenggelam
perlahan-lahan. Teluk-teluk yang ada sedikit demi sedikit terisi oleh sedimen
muda seperti lumpur dan pasir, sedangkan bagian-bagian yang tinggi karena
empasan gelombang telah terkikis hingga menimbulkan adanya tepi-tepi yang
terjal.
2. Stratigrafi Pulau Bangka
Menurut Mangga dan Djamal (1994), stratigrafi daratan Utara Pulau Bangka
terdiri dari batuan tertua yang tersingkap merupakan Kompleks Malihan Pemali
(berumur Permo-Karbon) terdiri atas skis dan filit dengan sisipan kuarsit dan
batugamping. Secara tidak selaras di atasnya adalah Formasi Tanjung Genting
(berumur Trias Awal) yang terdiri dari metabatupasir, barupasir, batupasir
lempungan dan batulempung. Satuan-satuan tersebut diterobos oleh Diabas
Panyabung (berumur Perm-Trias Awal) yang umumnya berupa dike, dan Granit
Klabat (berumur Trias Akhir) yang terdiri granit, granodiorit, adamelit, diorit
kuarsa dan korokaplit. Formasi Ranggam (beurumur Plio Pleistosen) yang teridiri
dari lempung tufaan, dengan sisipan tipis lanau dan gambut menutupi secara tidak
selaras batuan yang lebih tua.
9

Gambar 2.1 Kolom Statigrafi Pulau Bangka (Mangga & Jamal, 1994)
Menurut Jamal dan Mangga (1994). Regional Pulau Bangka dibagi menjadi
lima Formasi yang disusun berurutan dari tua ke muda adalah sebagai berikut:
a. Komplek Malihan Pemali
Komplek Malihan Pemali secara umum merupakan komplek batuan
metamorf dengan lithotype di daerah Pemali yang terdiri dari skiss, fillit, dan
kuarsit yang merupakan produk metamorfisme dinamotermal berumur
PraKarbon-Kambrium. Komplek Malihan Pemali ini di interpretasikan
terbentuk pada lingkungan laut dangkal.
b. Formasi Tanjung Genting
Menurut Gumelar (2006), Formasi Tanjung Genting terbentuk tidak selaras
di atas Komplek Malihan Pemali. Formasi ini terdiri dari perselingan batu pasir
10

dan batu lempung. Batu pasir pada formasi ini berwarna abu-abu kecoklatan,
berbutir halus sedang, sortasi baik, tebal lapisan 2–60 cm dengan struktur
sedimen silang siur dan laminasi bergelombang. Pada formasi ini ditemukan
lensa batu gamping setebal 1,5 m, batu lempung abu–abu kecoklatan berlapis
baik dengan tebal 15 m, setempat dijumpai batu pasir halus dan batu gamping.
Formasi ini diduga berumur Trias Awal dan terendapkan di lingkungan laut
dangkal.
c. Formasi Granit Klabat
Formasi Granit Klabat tersebar secara terpisah di Utara hingga Selatan
Pulau Bangka. Pada penyebaran di bagian Utara, pada formasi ini terdiri dari
granit, granodiorit, diorit kuarsa. Pada penyebaran di bagian Selatan Pulau
Bangka, formasi ini terdiri dari Granit biotit, Granodiorit dan Granit genesan.
Granit biotit berwarna kelabu, tekstur porfiritik, dengan butiran kristal-kristal
berukuran sedang-kasar, dimana lapisan yang menutupi granit terkikis habis
sehingga batuan granit tersingkap fenokris felspar panjangnya mencapai 4 cm
dan memperlihatkan struktur foliasi. Granodiorit berwarna putih kotor,
berbintik hitam. Granit genesan berwarna kelabu dan berstruktur perdaunan.
Nama 10 satuan ini berasal dari lokasi tipenya di Teluk Klabat, Bangka Utara.
d. Formasi Ranggam
Menurut Gumelar, (2006) Formasi ini lithotypenya berada di Desa Ranggam
daerah Bangka Barat Laut yang secara umum terendapkan di lingkungan
fluvial, berumur Akhir-Plistosen Awal.
e. Endapan Aluvial
Endapan ini secara umum terdiri dari lumpur, lempung, pasir kerikil dan
kerakal yang mudah ditemukan di dataran rendah dan terendapkan sebagai
endapan sungai, rawa dan pantai endapan aluvial ini terendapkan dan tidak
selaras di atas Formasi Ranggam.
3. Iklim dan Curah Hujan
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota
Pangkalpinang, iklim di Pulau Bangka dipengaruhi oleh iklim tropis, yaitu musim
hujan dan musim kemarau. Periode musim hujan terjadi antara bulan Oktober
11

sampai bulan Maret dan periode musim kemarau terjadi antara bulan April sampai
bulan September.
Kabupaten Bangka Selatan beriklim Tropis Tipe A dengan variasi curah
hujan antara 4,0 hingga 466,2 mm tiap bulan untuk tahun 2012 dengan curah
hujan terendah pada bulan Agustus. Suhu rata-rata daerah Kabupaten Bangka
Selatan berdasarkan data dari Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun
Klimatologi Pangkalpinang menunjukkan variasi antara 26° Celcius hingga 28°
Celcius. Sedangkan kelembaban udara bervariasi antara 74 hingga 88 persen pada
tahun 2012. Sementara, intensitas penyinaran matahari pada tahun 2012 rata-rata
bervariasi antara 27,6 hingga 82,3 persen dan tekanan udara antara 1009,3 hingga
1011,5 mb
Sedangkan di daerah Belinyu memiliki iklim tropis basah (tropical humid
climate) seperti pada daerah lainnya di indonesia. Curah hujannya berkisar antara
1528-2708 mm/tahun, dengan rata-rata 2608 mm/tahun. Sedangkan jumlah dari
hujan setiap tahunnya bekisar antara 80-251 hari, dengan rata-rata 154 hari/tahun.
Berdasarkan data BMKG yang berada di Unit Laut Bangka, suhu rata-rata
tahunan kecamatan Belinyu bekisar antara 20º Celcius hingga 34º Celcius dan
fluktuasi tempratur harian berkisar 3º Celcius hingga 4º Celcius, dengan
kelembapan udara rata-rata 80 persen, dimana kelembapan pagi hari 90 persen
dan sore hari mencapai 79 persen. Faktor alam juga bisa menjadi tantangan
terberat pada industri pertambangan. Dalam hal ini masalah cuaca atau pergantian
musim bisa memberikan dampak yang signifikan dalam proses penambangan
yang dilakukan hingga hasil yang akan diperoleh, diakarenakan cuaca yang susah
untuk diprediksi, siklus bulanan dan pergantian musim bisa berubah secara
mendadak.
Pada musim hujan atau dikenal dengan musim Barat disertai dengan angin
kencang dan gelombang Bangka juga dipengaruhi oleh dua musim angin, yaitu
muson barat dan muson tenggara. Angin muson barat yang basah pada bulan
November, Desember dan Januari banyak mempengaruhi bagian utara Pulau
Bangka. Sedangkan, angin muson tenggara yang datang dari laut Jawa
mempengaruhi cuaca di bagian selatan Pulau Bangka.
12

Tabel 2.2 Suhu dan Curah hujan


Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des

Avg
Temp 26,5 26,8 27,1 27,5 27,9 27,7 27,6 27,7 27,8 27,8 27,2 26,8

(° C)
Min
Temp 23,5 23,6 23,7 23,9 24,3 24,2 24,2 24,1 24,2 24,4 23,8 23,8

(° C)
Max.
Temp 29,5 30 30,6 31,2 31,5 31,2 31 31,4 31,4 31,3 30,7 29,8

(°C)
Avg
Temp 79,7 80,2 80,8 81,5 82,2 82,2 81,9 81,7 81,9 82,0 81,0 80,2

(°F)
Min
Temp 74,3 74,5 74,7 75,0 75,0 75,7 75,6 75,6 75,4 75,6 74,8 74,8

(°F)
Max
Temp 85,1 86,0 87,1 88,2 88,7 88,2 87,8 88,5 88,3 88,5 87,3 85,6

(°F)
Precipit
ation/R
386 241 231 232 248 182 158 128 139 186 306 399
ainfall
(mm)
Sumber: (climate-data.org, 2018)
4. Keadaan Endapan
A. Ganesa Endapan Timah
Secara umum endapan timah yang ada di pulau Bangka berdasarkan
ganesanya terdiri dari timah primer dan endapan sekunder.
a. Endapan Primer
Berdasarkan Teknik Eksplorasi yang dikemukakan oleh Sudarto
Notosiswoyo (2010), endapan primer adalah endapan mineral yang terbentuk
langsung dari magma (segresi dan diferensiasi magma). Disebut endapan
13

singenetik, jika endapan tersebut bersamaan waktunya dengan pembentukan


batuan, dan disebut epigenetik jika endapan tersebut terbentuk tidak bersamaan
waktunya dengan pembentukan batuan.
Endapan timah primer terbentuk sebagai bagian dari proses magmatisme
pembentukan batuan beku granit yang merupakan batuan bersifat asam. Pada saat-
saat akhir pembentukan batuan, yaitu pada suhu sekitar 800-400° Celcius, kondisi
magma banyak mengandung gas sebagai larutan sisa, yang diantarannya adalah
senyawa SnF4. Senyawa tersebut kemudian bereaksi dengan air (H2O) membentuk
mineral SnO2 (Casiterite) dan HF. Mineral casiterite inilah sebagai mineral
pembawa endapan timah di Indonesia.

Gambar 2.2 Jalur Timah Asia Tenggara (Sanitasihat, 2010)


Timah primer terbetuk pada fase pegmatit. Pegmatit adalah batuan beku
yang terbentuk sebagai hasil injeksi magma. Akibat kristalisasi pada magmatit
awal dan tekanan disekeliling magma, maka cairan residual yang mobile akan
terinjeksi dan menerobos batuan disekelilingnya sebagai dike, sill, stockwork.
Kristal dari pegmatit akan berukuran besar karena tidak adanya kontras tekanan
dan temperatur antara magma dengan batuan disekelilingnya, sehingga
pembekuan berjalan lambat.
Timah primer juga bisa terbentuk pada fase hidrotermal. Larutan
hidrotermal adalah larutan sisa magma yang panas dan bersifat aqueous sebagai
hasil deferensiasi magma. Larutan hidrotermal ini kaya akan logam – logam yang
14

relatif ringan, dan merupakan sumber tersebar (90%) dari proses pembentukan
endapan bijih.
Berdasarkan cara pembentukan endapan, dikenal 2 macam endapan
hidrotermal, yaitu endapan cavity filling dan endapan metasomatisme. Endapan
cavity filling adalah endapan yang mengisi rongga – rongga (openings) yang
sudah ada di dalam batuan, sedangkan endapan metasomatisme adalah endapan
pengganti unsur – unsur yang telah ada dalam batuan dengan unsur – unsur baru
dari larutan hidrotermal. Berdasarkan perbedaan suhu pembentukan endapannya
dikenal 3 macam endapan hidrotermal, yaitu epitermal (0 – 200º Celcius),
mesotermal (150 – 350º Celcius), dan hipotermal (300 – 500º Celcius).

Gambar 2.3 Sketsa Pembentukan Endapan Primer (Sanitasihat, 2010)


Akibatnya kontak dengan lapisan tanah penutup yang berupa pasir, lanau
ataupun schist maka terjadilah reaksi kimia yang membentuk endapan bijih timah
primer. Bijih timah tersebut dapat juga terbentuk di sepanjang zona – zona lemah
seperti zona sesar, fissure – fissure dan bidang – bidang perlapisan yang mudah
diterobos oleh magma granitik. Oleh karena itu mineral timah umumnya terdapat
dalam urat hidrotermal suhu tinggi atau fase metasomatik, berada di dalam atau
dekat dengan massa batuan granit.
b. Endapan Sekunder
Pembentukan timah sekunder atau placer deposit didefinisikan sebagai
endapan mineral lerakan yang terbentuk secara konsentrasi mekanis dari sumber-
15

sumber mineral yang berasal dari batuan induk. Endapan timah sekunder akan
terbentuk melalui beberapa proses, sebagai berikut:
1. Pelapukan
Batuan yang berada di didapermukaan akan mengalami pelapukan akibat
adanya proses eksogen baik pelapukan fisik maupun kimia. Faktor-faktor
penyebab pelapukan adalah:
a. Perubahan suhu (temperatur)
b. Air tanah (air tanah dan air permukaan)
c. Unsur organis atau kelebatan vegetasi
d. Komposisi mineral dan batuan
e. Struktur geologi yang terdapat pada batuan atau daerah tersebut, seperti
kemiringan lereng atau permukaan batuan.
Akibat dari pelapukan ini, batuan yang keras dan besar berubah menjadi
batuan kecil, peristiwa ini disebut sebagai pelapukan fisik, sedangkan bila batuan
tersebut dipengaruhi oleh unsur organik atau air sehingga mineral yang terdapat
dalam batuan itu bersenyawa karena proses kimia dan menyebabkan batuan
tersebut berubah menjadi lunak atau menjadi mineral lain, peristiwa ini disebut
dengan pelapukan kimia.
2. Erosi
Erosi merupakan proses pengikisan terhadap batuan atau lapisan tanah
dimanapun berada seperti di pegunungan, daratan, padang pasir, pantai maupun
laut. Media sebagai penyebab terjadinya erosi terdiri dari beberapa macam, yaitu
air mengalir, ombak, angin dan gravitasi hal tersebut diakibatkan oleh
iklim ,vegetasi, karakteristik tanah dan topografi, umumnya erosi ini sangat aktif
pada daerah hulu atau daerah dimana terjadinya intrusi dan memiliki kemiringan
permukaan yang besar. Dengan kecepatan yang tinggi maka mengakibatkan daya
kikis yang akan membawa butiran-butiran tanah yang terkikis. Ada beberapa
istilah yang dikenal berkaitan dengan proses erosi sebagai berikut :
a. Erosi adalah kikisan yang terjadi pada lembah-lembah, bukit-bukit ataupun
pegunungan yang disebabkan oleh air yang mengalir dipermukaan bumi.
b. Abrasi adalah kikisan yang terjadi di pantai yang disebabkan oleh ombak
16

c. Eolin adalah kikisan yang terjadi di gurun-gurun yang disebabkan oleh


angin.
Pada endapan sungai aluvial, maka air sangat berperan utama sebagai media
didalam proses pengikisan terhadap batuan, lalu mengangkut dan
mengendapkannya pada daerah yang jauh dari tempat asalnya, (Lehman, 1990).
3. Transportasi
Material-material yang sudah mengalami pelapukan akan dengan mudah
terlepas dan kemudian terkikis, butiran-butiran hasil erosi ini akan dibawa oleh air
ketempat yang lebih rendah. Daya angkut air untuk mentransport material hasil
rombakan tersebut tergantung pada kecepatan aliran dan besarnya volume air
yang bergerak pada tingkat kekeruhannya. Material atau fragmen batuan yang
berukuran besar tidak akan terangkut jauh dari sumbernya dan sebaliknya untuk
material yang berukuran halus akan tertransportasi sangat jauh bahkan sampai
kelaut. Cara transportasi ada beberapa macam, antara lain:
a. Menggelinding pada dasar sungai
b. Meloncat-loncat didasar sungai
c. Melayang-layang didalam sungai
Material yang ditransportasi sangatlah tergantung pada ukuran dan kekuatan
daya angkut air, sehingga material yang berukuran besar akan menggelinding
didasar sungai, material yang berukuran sedang dan berbentuk pipih akan
meloncat-loncat didasar sungai, material yang berukuran halus akan melayang-
layang di dasar sungai.
4. Pengendapan
Seperti yang telah kita ketahui dari suatu sistem sungai dimana setelah
terjadi pengikisan lalu terbawa oleh air material tersebut akan diendapkan pada
bagian terendah (lembah). Namun demikian, pengendapan juga terjadi pada
daerah hulu atau bagian tengah, ini sangat tergantung pada kecepatan air, jumlah
muatan sedimen dalam sungai serta berat jenis dari mineral yang diendapkan,
umumnya apabila kita menyusuri sungai akan tampak bahwa material yang besar-
besar akan diendapkan pada daerah hulu sehingga dapat dikatakan semakin jauh
17

terendapkannya material dari batuan sumbernya maka butiran atau fragmen


material akan semakin halus.

Gambar 2.4 Sketsa Pengendapan Endapan Sekunder (Sanitasihat, 2010)

Endapan sekunder merupakan endapan primer yang mengalami proses


pelapukan dan tertransportasi ke tempat yang lebih rendah, mineral sekunder
terdiri dari endapan elluvial, kullovial dan endapan alluvial (mican dan kaksa).
Endapan bijih alluvial terjadi karena adanya proses konsentrasi oleh alam
terhadap hasil pelapukan source rock yang telah terangkut lebih dari 100 m dan
sudah sempat diangkut oleh air sungai atau ombak laut. Ciri dari endapan ini
adalah butirannya yang halus (homogen) dan rounded. Endapan alluvial dalam
terminologi penambangan timah dibagi lagi menjadi endapan kulit, endapan kaksa
dan endapan mincan.
Mincan adalah endapan timah yang berada diantara dua over burden dan
membuat seolah-olah orebody melayang. mincan letaknya menggantung diantara
permukaan dan bedrock, hal ini terjadi karena pada endapan mincan proses erosi,
transportasi dan sedimentasi terjadi secara berulang – ulang.
Pada lokasi cadangan lepas pantai (offshore) Laut Penganak, endapan bijih
timah tersebut berasal dari endapan bijih timah primer yang mengalami proses
sedimentasi, sehingga akhirnya berubah bentuk menjadi endapan bijih timah
sekunder yang terdiri dari endapan kollovial, endapan elluvial, endapan alluvial,
endapan mincan dan endapan disseminated.
2.2 Landasan Teori
18

2.2.1 Kapal Isap Produksi


Menurut Kaimi dan Situmorang (2010), Kapal Isap Produksi (KIP) adalah
alat produksi yang dipergunakan PT Timah Tbk untuk menambang bijih timah di
daerah lepas pantai atau juga merupakan suatu alat gali atau pemindahan tanah
yang dipergunakan untuk menggali lapisan tanah bawah air, dimana peralatan
mekanis dan pengolahan materialnya bertumpu pada sebuah ponton. Selanjutnya
material hasil penggalian tersebut di pindahkan ke bagian pengolahan sementara,
yaitu instalasi pencucian. Bagian pengolahan sementara ini berfungsi sebagai
media pemisah antara material yang mengandung endapan bijih timah (Sn)
dengan material pengotor lainya. Material endapan bijih timah (Sn) hasil
pencucian ditampung didalam karung bijih timah, sedangkan material
pengotornya langsung terbuang sebagai tailing.
Pemakaian Kapal Isap Produksi (KIP) oleh PT Timah Tbk dimulai sejak
tahun 2006 dengan memesan langsung KIP dari Thailand sebanyak 2 unit.
Dengan mempelajari bagian-bagian pada unit KIP yang telah dibeli PT Timah
Tbk kemudian berusaha untuk memproduksi sendiri KIP dari dalam negeri
bekerja sama dengan PT DAK.

Gambar 2.5 Kapal isap Produksi (PT Timah, 2016)


2.2.2 Penambangan Menggunakan Kapal Isap Produksi
19

Kapal Isap Produksi merupakan unit peralatan tambang untuk menambang


bijih timah lepas pantai (off shore) yang menggunakan peralatan gali dan isap
(cutter suction dredger), dilengkapi dengan instalasi pencucian. Dimana dalam
kegiatan operasinya, KIP menggunakan alat gali berupa pisau pemotong (cutter)
untuk memberai lapisan tanah di dasar laut. Material yang terberai oleh cutter
kemudian akan dihisap melalui mulut hisap dan pipa yang dilengkapi pompa
hisap menuju tempat instalasi pencucian.
Kemampuan dalam melakukan operasi penggalian kapal isap produksi dapat
dinilai dari kedalaman maksimal yang mampu dilakukan serta jumlah material
yang dapat dihisap per jam nya. Untuk kedalaman maksimal penggalian suatu KIP
dapat ditentukan dari panjang ladder serta sudut kemiringan maksimal ladder.
Material bahan galian yang telah diberai oleh cutter lalu dihisap oleh pompa
hisap yang selanjutnya dialirkan melewati pipa press menuju instalasi pencucian
yang ada pada KIP. Pada umumnya, proses pencucian pada KIP menggunakan
metode gravity concentration, yaitu metode pemisahan bahan galian yang
memanfaatkan perbedaan berat jenis dari tiap bahan galian. Tujuan dari proses
pencucian ini adalah untuk memisahkan mineral pengotor yang tidak diinginkan
dari bahan galian sehingga didapatkan kadar konsentrat timah yang lebih tinggi.
2.2.3 Prinsip Kerja Penggalian Kapal Isap Produksi
Penggalian pada KIP terdiri dari gabungan antara 4 buah gaya yang bekerja
saat proses penggalian dilakukan. Gaya-gaya yang bekerja antara lain sebagai
berikut :
1. Gaya Putar Cutter
Gaya putar cutter berfungsi untuk memberaikan tanah yang akan dihisap
oleh pompa tanah melalui pipa isap. Putaran cutter pada KIP memiliki
kecepatan maksimal 24 rpm
2. Gaya Hisap Pompa Tanah
Tanah hasil dari pemberaian oleh gaya putar cutter akan di hisap oleh
pompa tanah menuju unit pencucian mineral, diungkapkan oleh Selain itu gaya
ini juga dapat memperlemah dinding tanah yang belum digali oleh cutter.
3. Gaya Tekan Ladder
20

Pada saat penggalian ladder memberikan tekanan ke permukaan bidang


galian untuk membantu proses penggalian yang dilakukan oleh cutter.
4. Gaya Dorong Propeller
Tiap KIP memiliki propeller yang berbeda cara kerjanya. Pada KIP 11
memiliki 3 propeler yaitu 2 propeller swing dan satu propeller dorong.
Propeller swing memberikan gaya untuk menggerakkan kapal berputar kiri dan
kanan guna untuk membuat kolong galian berbentuk lingkaran 3600.
2.2.4 Metode Penggalian Kapal Isap Produksi
Metode penggalian yang digunakan pada KIP dibagi menjadi tiga, yaitu
metode rotary, metode spudding, serta metode kombinasi
1. Metode Rotary
Metode ini dilakukan dengan cara memutar KIP hingga 360° pada saat
melakukan penggalian. Biasanya metode ini dilakukan pada saat mengupas
lapisan tanah atas hingga mencapai lapisan kaksa yang mengandung banyak
timah.

Gambar 2.6 Metode Penggalian Rotary (PT Timah, 2014)


2. Metode Spudding
Metode ini dilakukan dengan cara memutar KIP mulai dari 90° hingga 180°.
Metode ini cukup efektif untuk mengantisipasi arus yang kuat, bahkan dapat
digunakan sewaktu menghadapi angin kencang atau gelombang yang agak besar.
21

Gambar 2.7 Metode Penggalian Spudding (PT Timah, 2014)


3. Metode kombinasi
Sistem penggalian kombinasi merupakan gabungan dari sistem rotary
dengan sistem spudding. Metode rotary digunakan untuk mengupas lapisan tanah
atas lalu dilanjutkan dengan metode spudding untuk menggali lapisan kaksa yang
bertimah sambil bergerak maju sesuai dengan arah sebaran timah.
2.2.5 Jenis Lapisan yang Digali
Menurut Sanitasihat (2010), jenis-jenis lapisan tanah pada dasar laut yang
diperoleh dari hasil eksplorasi geologi, dimana data geologi menggambarkan
penampang bor (profil bor). Profil bor inilah yang menjadi acuan penting bagi
operator dalam mencari serta mengidentifikasi keterdapatan endapan timah dan
menentukan metode penggalian yang tepat untuk menggali bijih timah dari dasar
laut. Lapisan tanah yang digali oleh KIP dibagi menjadi 3 macam, antara lain
sebagai berikut:
1. Lapisan Tanah Atas
Lapisan tanah atas merupakan lapisan penutup atau overburden yang tidak
mengandung bijih timah atau mengandung bijih timah yang sangat sedikit sekali
sehingga tidak ekonomis untuk diproses pada instalasi pencucian sementara pada
KIP 11. Lapisan tanah atas ini menutupi lapisan kaksa yang mengandung banyak
bijih timah. Pada umumnya lapisan tanah atas berupa lumpur dan lempung liat,
lapisan ini digali hanya digali agar membuka lapisan kaksa yang dituju dan tidak
diproses menuju instalasi pencucian melainkan dialirkan ke bandar tailing untuk
kemudian dibuang sebagai tailing.
2. Lapisan Kaksa
22

Lapisan kaksa merupakan lapisan tanah yang mengandung banyak bijih


timah. Lapisan ini harus digali secara teliti dan bersih agar semua mineral
ikutannya dapat diproses di instalasi pencucian. Pada umumnya, lapisan kaksa
berupa lempung lemah bercampur pasir halus atau pasir kasar dan kerikil.
Endapan bijih pada dasar laut merupakan endapan sekunder, yaitu endapan
yang telah mengalami perpindahan dari sumber atau tempat asalnya. Pada
umumnya, endapan bijih timah sekunder yang berada pada lapisan kaksa
merupakan endapan aluvial, yaitu endapan yang terjadi karena tertransportasi jauh
dari sumbernya. Semakin jauh dari sumbernya, ukuran dari mineral yang
diendapkan semakin kecil.
3. Lapisan Kong
Lapisan kong merupakan lapisan tanah keras yang terletak di bawah lapisan
kaksa, dimana pada lapisan ini tidak mengandung timah atau hanya sedikit
mengandung timah sehingga tidak ekonomis untuk digali. Penggalian biasanya
hanya dilakukan sampai batas kong, yaitu batas antara lapisan kaksa dan lapisan
kong.

Gambar 2.8 Sketsa Kedudukan Tanah (Sanitasihat, 2010)


2.2.6 Hal yang Mempengaruhi Proses Penggalian
Menurut Kaimi (2010), dalam merencanakan penggalian suatu daerah yang
akan di tambang dengan kapal isap produksi, selain cadangan dan kondisi cuaca
dan hal-hal lainya yang juga perlu di perhatikan dalam penggalian adalah jenis
23

lapisan tanah, kedalaman gali ideal, sudut putaran kapal, tebal lapisan ideal dan
ruang buang tailing.
a. Jenis Lapisan dan Cara Penggaliannya
Untuk jenis lapisan tanah yang gampang terberai, KIP tidak akan
menemukan kesulitan dalam penggalian, sebab dinding tanah yang berada
didepan dinding cutter akan sedikit demi sedikit runtuh dan akan dihisap oleh
pompa isap. Tetapi bila menggali jenis lapisan tanah keras yang susah diberai
seperti lapisan lempung liat, maka KIP harus memperlebar lubang penggalian
untuk menghindari terjadinya runtuhan sekaligus dari dinding tanah yang dapat
berpotensi menimbun ladder. Karena jenis lapisan tersebut liat maka cutter harus
digerakkan secara perlahan.
b. Kedalaman Gali Ideal
Dengan panjang ladder 58 m, kedalaman gali ideal KIP 11 adalah 45 m
dengan asumsi sudut penunjaman ladder maksimum 60º nilai tersebut masih
dianggap aman untuk mencegah agar KIP 11 tidak kandas akibat penimbunan
tanah tailing, dan kedalaman yang ideal untuk digali yaitu 20 m dikarenakan oleh
keterbatasan alat seperti panjang dari ladder itu sendiri.
c. Sudut Putaran KIP
Untuk penggalian lubang awal, KIP terus berputar searah atau berlawanan
arah jarum jam sampai kong (bedrock), untuk memperlebar kolong kerja, KIP
berputar 90° sampai 180º searah jarum jam, lalu dibalas berputar ke 90° sampai
180º berlawanan arah jarum jam mengikuti alur dari penyebaran bijih timah
tersebut.
d. Tebal Lapisan Ideal
Tebal lapisan tanah ideal untuk digali oleh KIP adalah sebesar 0 sampai 20
m. Pada kedalaman itu untuk jenis material lepas kemungkinan terjadi longsoran
yang mengakibatkan ladder tertimbun masih sangat kecil. Apabila tebal lapisan
tanah lebih tebal dari 20 m, kemungkinan ladder tertimbun tanah runtuhan akan
semakin besar, terutama jika jenis tanah yang digali adalah tanah keras yang tidak
mudah runtuh, maka kondisi ini akan sangat berbahaya baik bagi cutter maupun
ladder.
24

e. Ruang Buang Tailing


Ruang buang tailing bergantung pada kedalaman ladder. Semakin dalam
ladder atau semakin besar sudut kemiringan ladder, maka jari-jari ruang buang
tailing akan semakin kecil.
2.1.7 Produksi KIP Timah 11
1. Jam jalan KIP Timah
Menurut P. Situmorang (2015), Jam jalan sangat berpengaruh bagi
efektifitas kerja alat dan hasil yang diperoleh. Jam jalan merupakan jam kerja
produktif yang dapat dicapai dari jam kerja yang tersedia dalam suatu periode
kerja. Jam kerja yang digunakan dapat berkurang akibat adanya hambatan-
hambatan selama jam kerja baik berupa hambatan karena perawatan maupun
hambatan yang tidak terencana seperti kerusakan alat atau faktor alam seperti
cuaca yang mengakibatkan operasi berhenti.
Jam stop merupakan jam pemberhentian proses penggalian pada kapal isap
produksi karena adanya hambatan-hambatan yang terjadi selama jam kerja baik
berupa hambatan perawatan, pemindahan lokasi kerja, pergantian aplus karyawan
maupun hambatan seperti tidak tersedianya alat dan jasa apabila terdapat
kerusakan yang bersifat rumit sehingga yang mengakibatkan jam stop bertambah,
jam stop pada kapal isap produksi terdiri dari:
1. Jam stop terencana
a. Jam stop reparasi mingguan
b. Jam stop reparasi bulanan
c. Jam stop pemindahan lokasi kerja
2. Jam stop tidak terencana
a. Jam stop karena faktor alam yang berupa cuaca buruk, ombak besar, dan
angin kencang.
b. Jam stop karena kerusakan alat pada kapal isap produksi
Untuk menghitung persentase jam jalan pada Kapal Isap Produksi
digunakanlah Persamaan 2.1 sebagai berikut:
25

Total jam jalan


Persentase Jam jalan = x 100%...............................
Waktu kerja tersedia
(2.1)
Untuk menghitung optimalisasi hasil produksi digunakan Persamaan 2.2:
( Hasil produksi X jam jalan setelah optimalisasi)
Optimalisasi Hasil produksi =
Jam jalan(real )
.......(2.2)

Anda mungkin juga menyukai