E. Pengukuran Kinerja
Salah satu fondasi utama dalam menerapkan manajemen kinerja adalah pengukuran kinerja dalam
rangka menjamin adanya peningkatan dalam pelayanan publik dan meningkatkan akuntabilitas
dengan melakukan klarifikasi output dan outcome yang akan dan seharusnya dicapai untuk
memudahkan terwujudnya organisasi yang akuntabel.
Pengukuran kinerja dilakukan dengan membandingkan antara kinerja yang (seharusnya) terjadi
dengan kinerja yang diharapkan. Pengukuran kinerja ini dilakukan secara berkala (triwulan) dan
tahunan.
Pengukuran dan pembandingan kinerja dalam laporan kinerja harus cukup menggambarkan posisi
kinerja instansi pemerintah.
F. Indikator Kinerja
Indikator kinerja adalah ukuran keberhasilan yang menggambarkan tewujudnya kinerja, tercapainya
hasil program dan hasil kegiatan. Indikator kinerja instansi pemerintah harus selaras antar tingkatan
unit organisasi.
Indikator kinerja yang digunakan harus memenuhi kriteria spesifik, dapat diukur, dapat dicapai,
relevan, dan sesuai dengan kurun waktu tertentu.
Pengumpulan dan perangkuman harus memperhatikan indikator kinerja yang digunakan, frekuensi
pengumpulan data, penanggungjawab, mekanisme perhitungan dan media yang digunakan.
CONTOH FORMAT LAPORAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH
Bab I Pendahuluan
Pada bab ini disajikan penjelasan umum organisasi, dengan penekanan kepada aspek strategis
organisasi serta permasalahan utama (strategic issued) yang sedang dihadapi organisasi.
B. Realisasi Anggaran
Pada sub bab ini diuraikan realisasi anggaran yang digunakan dan yang telah digunakan untuk
mewujudkan kinerja organisasi sesuai dengan dokumen Perjanjian Kinerja.
Bab IV Penutup
Pada bab ini diuraikan simpulan umum atas capaian kinerja organisasi serta langkah di masa
mendatang yang akan dilakukan organisasi untuk meningkatkan kinerjanya.
Lampiran:
1) Perjanjian Kinerja
2) Lain-lain yang dianggap perlu
Integrasi Antar Dokumen Perencanaan
N/a
Kamis, 18 Agustus 2016 pukul 13:23:10 | 2471 kali
Dokumen perencanaan yang dimiliki oleh DJKN ternyata cukup beragam, mulai dari 1) rencana strategis, 2) kontrak kinerja, 3)
rencana kerja (renja), 4) dokumen penganggaran (RKAKL), 5) profil risiko, dan 6) inisiatif strategis transfomasi kelembagaan.
Beragamnya dokumen perencanaan ini disebabkan oleh proses perencanaan yang tidak dilakukan oleh satu unit. Hal ini sejatinya
tidak menjadi masalah, apabila proses perencanaan dilakukan secara terintegrasi diantara unit yang berkaitan. Namun dalam
perjalanannya, ternyata perencanaan yang tidak terintegrasi dalam satu unit dapat memicu adanya standar ganda dalam eksekusi
strategi sehingga arah organisasi menjadi tidak konsisten. Kemudian dari sisi penganggaran, kondisi ini tentu akan berdampak pada
adanya strategi-strategi yang tidak didanai atau terdapat kegiatan yang dianggarkan namun tidak selaras dengan visi dan misi
organisasi.
Sebagaimana hasil Evaluasi Laporan Kinerja Tahun 2015 yang dilaksanakan oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi, salah satunya ditemukan adanya ketidakselarasan antara rencana strategis dan kontrak kinerja dari sisi
penentuan indikator kinerja dan target. Rencana strategis merupakan rencana yang disusun untuk periode lima tahunan. Penyusunan
rencana strategis dilakukan di bawah koordinasi Biro Perencanaan dan Keuangan. Sementara kontrak kinerja merupakan rencana
kinerja tahunan yang penyusunannya dilakukan di bawah koordinasi Pusat Harmonisasi dan Analisis Kebijakan. Kontrak kinerja
yang disusun setiap tahunnya seharusnya mengacu pada rencana strategis yang telah ditetapkan. Namun pada kenyataannya, proses
penyusunan kontrak kinerja seolah-olah menjadi hal yang terpisah dan berdiri sendiri. Beberapa indikator dan target yang ditetapkan
terbukti tidak selaras dengan rencana strategis.
Hasil evaluasi lainnya, seperti Survei Kesehatan Organisasi pada tahun 2014, juga ditemukan adanya ketidaksinergian antara kinerja
(Indikator Kinerja Utama/IKU) dan anggaran. IKU-IKU yang didefinisikan dalam sistem manajemen kinerja internal kementerian
tidak sesuai dengan IKU-IKU dalam dokumen anggaran. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh timeline yang berbeda antara
proses anggaran dan proses penetapan IKU internal. Timeline dari proses-proses ini harus diselaraskan jika ingin mengoptimalkan
pencapaian output. (Hasil Survei Mc Kinsey, 2014). Penyusunan anggaran berbasis kinerja menjadi tidak terlihat. Sebagai contoh
adalah adanya "pemaksaaan" satu indikator kinerja untuk beberapa output. Hal ini justru akan mengurangi tingkat korelasi antara
kinerja dengan output anggaran. Ouput satu dengan yang lain memiliki karakteristik yang berbeda. Tentunya akan menjadi bias
ketika beberapa output tersebut harus diukur dengan satu indikator. Kemudian ketidakselarasan juga terjadi antara penyusunan
profil risiko dan rencana mitigasi dengan perencanaan anggaran. Mitigasi-mitigasi risiko pada umumnya tidak dijadikan sebagai
acuan dan pertimbangan dalam penyusunan anggaran. Pada tahun berjalan tentu ini akan menjadi masalah, karena mitigasi yang
direncanakan menjadi tidak optimal akibat terbatasnya alokasi anggaran.
Salah satu hal logis yang seharusnya diterapkan dalam perencanaan strategis adalah integrasi seluruh unit yang bertanggung jawab
pada bidang perencanaan (strategic planning team) (Bryson dan Roering, 1988). Pada level kementerian, hal ini telah dilakukan
pada tahun 2015, yaitu melalui penyatuan antara Biro Perencanaan dan Keuangan, Pusat Harmonisasi dan Analisis Kebijakan
(khusus yang menangani pengelolaan kinerja), dan Inspektorat VII (khusus yang menangani pengelolaan risiko). Penyatuan ini
diharapkan dapat berdampak pada peningkatan sinergi dan kualitas perencanaan strategis. Sayangnya, penyatuan ini hanya terjadi
pada level kementerian dan belum dilaksanakan pada level eselon I. Di DJKN, bidang perencanaan ditangani oleh dua unit, yaitu
Subbagian Perencanaan Anggaran (Bagian Keuangan) dan Subbagian Organisasi dan Perencanaan Kinerja (Bagian Organisasi dan
Kepatuhan Internal). Namun demikian, isu penyatuan pada internal eselon I memang masih debatable, karena –bisa jadi- pada skala
organisasi kecil, pemisahan unit tidak akan terlalu menjadi masalah karena proses pengendalian koordinasi yang masih mudah
dilakukan.
Oleh karena itu, salah satu hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan sinergi perencanaan di DJKN adalah dengan memperbaiki
alur dan prosedur perencanaan. Hal ini bisa dilakukan tanpa penyatuan unit, mengingat skala organisasi DJKN tidak terlalu besar.
Penyusunan rencana yang selama ini seolah-olah terpisah harus diintegrasikan kembali. Bryson (1988) memberikan panduan
tentang bagaimana melakukan perencanaan strategis dengan lebih komprehensif dan terintegrasi. Hal pertama yang harus dilakukan
adalah penetapan persetujuan awal (initial agreement) untuk menyepakati hal apa saja yang harus disiapkan dan siapa saja yang
terlibat dalam perencanaan. Kemudian, langkah kedua adalah mengidentifikasi dan menetapkan mandat, visi, misi, dan nilai
organisasi. Hal ini dilakukan dengan memetakan apa-apa yang menjadi harapan-harapan dari para pemangku kepentingan.
Selanjutnya, langkah ketiga adalah memetakan kondisi eksternal dan internal yang mungkin dapat menjadi peluang, tantangan, atau
bahkan ancaman bagi organisasi. Kondisi-kondisi tersebut diantaranya seperti, sumber daya yang dimiliki, riwayat kinerja, potensi
eksternal, dan lainnya. Kondisi-kondisi ini kemudian diseleksi untuk dijadikan pertimbangan dalam proses perencanaan selanjutnya.
Langkah keempat adalah penerjemahan strategi ke dalam terminologi operasional, yaitu mulai dari penurunan mandat, visi, dan misi
menjadi sasaran strategis sekaligus pengukurannya (dhi. IKU), kemudian penyusunan langkah/inisiatif strategis dalam rangka
mempercepat pencapaian target IKU. Langkah kelima adalah penyusunan profil dan rencana mitigasi risiko berdasarkan sasaran dan
inisiatif strategis yang telah disusun. Kemudian, langkah yang terakhir adalah menentukan prioritas penganggaran berdasarkan
inisiatif strategis, profil risiko, dan rencana mitigasi yang disusun.
Namun demikian, proses integrasi perencanaan tersebut masih terbentur dengan adanya perbedaan periode ( timeline) pada masing-
masing proses. Penyusunan dan refinement Sasaran Strategis (SS), Inisiatif Strategis (IS), dan IKU dilakukan pada bulan November
s.d. Desember tahun berjalan, dan ditetapkan pada bulan Januari tahun berikutnya. Sementara, penyusunan profil dan rencana
mitigasi risiko dilakukan pada bulan Desember tahun berjalan, dan ditetapkan pada bulan Januari tahun berikutnya. Kemudian
untuk penyusunan anggaran (indikatif s.d. definitif) dilaksanakan mulai Bulan Maret s.d. Desember tahun berjalan, dan ditetapkan
Desember tahun berjalan.
Perbedaan periode penyusunan sebenarnya hanya terletak pada waktu mulainya penyusunan, adapun untuk penetapannya kurang
lebih sama, yaitu pada bulan Desember atau Januari. Perbedaan ini dapat diantisipasi dengan menyamakan waktu mulainya
penyusunan sehingga prosesnya pun dapat berjalan seiringan. Penyusunan anggaran lebih dahulu dimulai daripada penyusunan
rencana kinerja dan profil risiko. Oleh karena itu, tidak ada salahnya apabila proses penyusunan rencana kinerja ( refinement SS, IS,
dan IKU) serta profil risiko juga mulai dilakukan pada bulan Maret. Perencanaan yang lebih matang tentu juga akan didapatkan jika
prosesnya dilakukan dengan waktu yang cukup. Dengan adanya penyamaan waktu mulai dan penetapan akan meningkatkan
koherensi dan integrasi perencanaan dari sisi kinerja, risiko, dan anggaran.
Selain itu, implementasi konsep Arsitektur dan Informasi Kinerja (ADIK) yang dicanangkan oleh DJA akan semakin memperkuat
korelasi antara kinerja dan anggaran. Pengukuran output anggaran tidak lagi semata-mata didasarkan pada jumlah fisik barang/jasa
yang hasilkan, namun lebih didasarkan pada kualitas atas barang/jasa yang dihasilkan dengan dilihat dari ketercapaian indikator
kinerja. Hal ini mengindikasikan bahwa output yang dirumuskan dalam penganggaran harus benar-benar efektif dalam menstimulus
dan mendorong tercapainya sasaran-sasaran strategis (outcomes).
Dalam proses penyusunannya, baik dari sisi kinerja, risiko, maupun anggaran pasti akan terus mengalami perubahan sampai dengan
waktu penetapan. Secara teknis, penyelerasan antar proses perencanaan tersebut juga memerlukan tingkat kedetailan yang tinggi
baik dari sisi waktu, materi, dan penanggung jawab. Hal inilah yang justru akan menjadi tantangan sekaligus menguji seberapa baik
tingkat koordinasi antar unit dalam menghasilkan dokumen perencanaan yang terintegrasi.
Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.