HALAMAN JUDUL............................................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.3 Tujuan................................................................................................................2
BAB IV PENUTUP..............................................................................................................25
4.1 Kesimpulan........................................................................................................25
4.2. Saran.................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................27
i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penilaian dan pelaporan kinerja pemerintah daerah menjadi salah satu kunci untuk
menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, transparan, akuntabel, efisien
dan efektif. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah merupakan bentuk akuntabilitas dari
pelaksanaan tugas dan fungsi yang dipercayakan kepada setiap instansi pemerintah atas
penggunaan anggaran dalam mencapai tujuan/sasaran strategis dan merupakan perwujudan
kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan
kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai sasaran dan tujuan yang telah
ditetapkan melalui Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Sistem Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah pada pokoknya adalah instrument yang digunakan instansi
pemerintah dalam memenuhi kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan
kegagalan pelaksanaan misi organisasi, terdiri dari berbagai komponen yang merupakan satu
kesatuan, yaitu perencanaan strategis, perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, dan
pelaporan kinerja.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor
53 Tahun 2014 tentang Petunjuk teknis perjanjian kinerja, pelaporan kinerja dan Tata cara
reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah mengamanatkan bahwa pemerintah
berkewajiban menyusun Perjanjian Kinerja dan Pelaporan Kinerja yang menggambarkan
tingkat pencapaian kinerja untuk setiap pernyataan kinerja sasaran strategis organisasi sesuai
dengan hasil pengukuran kinerja organisasi. Laporan kinerja yang disusun dan
menyampaikan informasi tentang uraian singkat organisasi, rencana dan target kinerja yang
ditetapkan, pengukuran kinerja, evaluasi dan analisis kinerja untuk setiap sasaran strategis
atau hasil program/kegiatan dan kondisi terakhir yang seharusnya terwujud dan pencapaian
sasaran dilaksanakan dengan membandingkan kinerja aktual dengan rencana atau target dan
membandingkan kinerja aktual dengan tahun – tahun sebelumnya yang berdasarkan pada
target jangka menengah yang terdapat dalam dokumen perencanaan strategis (Renstra).
Laporan Kinerja adalah ikhtiar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang
capaian kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara / Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBN/ APBD). Laporan Kinerja dimaksud merupakan hasil dari proses yang
berupa rencana kinerja tahunan. Sedangkan pengukuran kinerja adalah proses laporan
akuntabilitas kinerja sistematis dan berkesinambungan untuk menilai keberhasilan dan
kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program, kebijakan, sasaran dan tujuan yang
telah ditetapkan dalam mewujudkan visi, misi dan strategi instansi pemerintah. Proses ini
dimaksudkan untuk menilai pencapaian setiap indikator kinerja guna memberikan gambaran
tentang keberhasilan dan kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran.
1.2 Rumusan Masalah :
1. Bagaimana pencapaian kinerja?
2. Bagaimana ?
3. Bagaimana kriteria assessment kinerja?
1
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pelaporan kinerja.
2. Mengetahui metode untuk mengevaluasi kinerja.
3. Mengetahui kriteria assessment kinerja.
2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
3
"Biarkan ada gaji yang berhubungan dengan kinerja, atau manajemen kinerja atau apa pun" dan
duduk untuk menunggu obat mujarab ini melakukan trik, yang tentu saja, mereka tidak akan
melakukannya kecuali jika mereka adalah bagian dari upaya berkelanjutan yang dipimpin oleh
atasan dan didasarkan pada visi tentang apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kinerja.
3. Melampaui batas target. Manajer dapat menetapkan tujuan yang sulit dan bersikeras bahwa
mereka tercapai, tetapi masih gagal untuk menghasilkan rasa akuntabilitas pada bawahan.
Secara umum, responden dari survei IRS (Wolff, 2008) mengemukakan bahwa kunci
untuk menyelesaikan kinerja yang buruk adalah komunikasi, ditambah dengan kejelasan tentang
visi misi dan tujuan, intervensi awal dan memastikan manajer memiliki pandangan yang jelas
tentang masalah mendasar sebelum menerapkan solusi. Penting untuk memastikan bahwa
karyawan yang berkinerja rendah memahami dan mengakui ada masalah ketika itu dapat
dikaitkan dengan mereka dan menerima beberapa tanggung jawab untuk mencapai solusi.
Bergantung pada penyebabnya, penyediaan dukungan melalui pelatihan atau pelatihan dan
kontak rutin dengan manajer lini mungkin juga penting. Namun sejauh ini ukuran yang paling
efektif adalah memiliki manajer yang kompeten dan percaya diri yang siap untuk mengatasi
masalah tersebut. Sebagian besar organisasi menganjurkan rencana perbaikan yang disepakati
sebagai langkah pertama diikuti oleh tinjauan kemajuan rutin namun informal.
Pendekatan spesifik yang diadopsi oleh responden dari survei IRS 2008 adalah:
1. Manajer dan karyawan bersama-sama menyetujui rencana perbaikan dengan rentang
waktu.
2. Manajer dan karyawan lebih sering melakukan peninjauan kinerja atau dilakukan secara
rutin.
3. Kesepakatan bersama tentang diadakannya pelatihan khusus.
4. Manajer setuju untuk memberikan lebih banyak bimbingan atau arahan.
5. Evaluasi ulang bersama atas ekspektasi kinerja.
Ini semua adalah cara yang valid untuk mengelola kinerja yang buruk tetapi itu akan paling
efektif jika dimasukkan dalam prosedur bertahap seperti yang dijelaskan di bawah ini, yang dapat
memberikan kerangka kerja bagi manajer dan dasar untuk bimbingan dan pelatihan.
Lima langkah dasar yang diperlukan untuk mengelola orang yang kinerjanya rendah adalah:
1. Identifikasi dan setujui masalahnya. Analisis umpan balik dan, sejauh mungkin, dapatkan
persetujuan dari individu tentang apa kekurangannya. Umpan balik dapat diberikan oleh manajer
tetapi bisa dalam arti tertentu dimasukkan ke dalam pekerjaan. Ini terjadi ketika individu
menyadari target dan standar mereka, tahu ukuran kinerja apa yang akan digunakan dan
4
menerima umpan balik / informasi kontrol secara otomatis atau memiliki akses mudah ke sana.
Mereka kemudian akan berada dalam posisi untuk mengukur dan menilai kinerja mereka sendiri
dan jika mereka termotivasi dan terlatih dengan baik, mengambil tindakan korektif mereka
sendiri. Dengan kata lain, ada mekanisme umpan balik yang mengatur sendiri. Ini adalah situasi
yang manajer harus berusaha untuk menciptakan alasan bahwa pencegahan lebih baik daripada
penyembuhan.
2. Tetapkan alasan untuk kekurangan itu. Ketika mencari alasan untuk kekurangan apa pun,
manajer tidak boleh dengan kasar mencoba menyalahkan. Tujuannya harus bagi manajer dan
individu secara bersama untuk mengidentifikasi fakta-fakta yang telah berkontribusi pada
masalah. Berdasarkan analisis faktual inilah keputusan dapat dibuat tentang apa yang harus
dilakukan tentang hal itu oleh individu, manajer atau keduanya bekerja bersama.
Pertama-tama perlu untuk mengidentifikasi penyebab yang disebabkan oleh kelemahan dalam
sistem atau di luar kendali manajer atau individu. Faktor apa pun yang berada dalam kendali
individu dan / atau manajer kemudian dapat dipertimbangkan. Apa yang perlu ditentukan adalah
pertama sejauh mana masalah disebabkan oleh kesalahan dalam sistem itu sendiri atau cara di
mana sistem telah dikelola. Jika ditetapkan bahwa individu setidaknya sebagian bertanggung
jawab atas kinerja yang buruk, maka dapat disepakati apakah ini karena dia:
- tidak menerima dukungan atau bimbingan yang memadai dari manajernya;
- tidak sepenuhnya mengerti apa yang diharapkan untuk dilakukannya;
- tidak bisa melakukannya yaitu kemampuan;
- tidak tahu bagaimana melakukannya yaitu keterampilan;
- tidak akan melakukannya yaitu sikap.
3. Putuskan dan sepakati tindakan yang diperlukan. Tindakan dapat diambil oleh individu,
manajer atau kedua belah pihak. Ini dapat mencakup:
- Mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan keterampilan atau mengubah perilaku -
individu.
- Mengubah sikap; ini tergantung pada individu selama mereka menerima bahwa mereka perlu
merubah sikap. Tantangan bagi para manajer adalah bahwa orang tidak akan mengubah sikap
mereka hanya karena mereka disuruh melakukannya - mereka hanya dapat dibantu untuk
memahami bahwa perubahan tertentu pada perilaku mereka dapat bermanfaat tidak hanya bagi
organisasi tetapi juga bagi diri mereka sendiri.
- Memberikan lebih banyak dukungan atau panduan oleh manajer.
- Klarifikasi harapan bersama.
- Mengembangkan kemampuan dan keterampilan - bersama, dalam arti bahwa individu mungkin
diharapkan
untuk mengambil langkah-langkah untuk mengembangkan diri mereka sendiri tetapi manajer
dapat memberikan bantuan dalam bentuk pelatihan, pengalaman tambahan atau pelatihan.
Apapun tindakan yang disepakati kedua belah pihak harus memahami bagaimana mereka akan
5
tahu bahwa itu telah berhasil. Pengaturan umpan balik dapat dibuat tetapi individu harus
didorong untuk memantau kinerja mereka sendiri dan mengambil tindakan lebih lanjut sesuai
kebutuhan.
4. Sumber daya tindakan. Berikan pelatihan, pelatihan, bimbingan, pengalaman atau fasilitas
yang
diperlukan untuk memungkinkan tindakan yang disepakati terjadi.
5. Monitor dan berikan umpan balik. Baik manajer dan individu memantau kinerja, memastikan
bahwa umpan balik disediakan atau diperoleh dan dianalisis, dan menyepakati tindakan
lebih lanjut yang mungkin diperlukan.
BAB III
6
PEMBAHASAN
2.1 Capaian Kinerja Organisasi Publik bidang Ekonomi
Capaian kinerja organisasi dimaksudkan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan
pelaksanaan kegiatan yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis dan Rencana Kinerja
Tahunan. Pengukuran kinerja mencakup penilaian indikator kinerja sasaran yang tertuang dalam
formulir Pengukuran Kinerja. Pengukuran Kinerja didasarkan pada target dan realisasi dengan
satuan pengukuran dalam bentuk presentase, indek, rata-rata, angka dan jumlah.
Presentase pencapaian rencana tingkat capaian, dihitung dengan rumus bahwa semakin tinggi
realisasi menggambarkan pencapaian rencana tingkat capaian yang semakin baik.
Penghitungan prosentase pencapaian rencana tingkat capaian (Formulir Pengukuran
Kinerja), perlu memperhatikan karakteristik komponen realisasi, dalam kondisi :
1) Semakin tinggi realisasi menunjukkan pencapaian kinerja yang semakin baik, maka
digunakan rumus :
2) Semakin tinggi realisasi menunjukkan semakin rendah pencapaian kinerja, maka digunakan
rumus :
Capaian kinerja dalam organisasi didasarkan pada masalah atau kondisi dari target yang
ingin dicapai di awal. Terlebih capaian kinerja dari organisasi publik, setiap instansi pasti
memiliki kriteria sendiri dalam menyusun capaian kinerja seperti halnya dalam bidang ekonomi.
Untuk mencapai tujuan tersebut ditetapkanlah sasaran-sasaran strategis, seperti Capaian
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, mereka menyusun capaian kinerja di bidang ekonomi
yang menjadi sasaran utamanya adalah
1. Pengelolaan Ekonomi Makro (meliputi: meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkualitas,
menjaga dan mengandalikan harga serta daya beli masyarakat, merelokasi subsidi energy
untuk belanja yang produktif, menurunkan defisit dan meningkatkan anggaran mandiri,
memaksimalkan penerimaan pajak untuk berkomitmen membangun daerah, utang
pemerintah dapat dikelola dengan hati-hati, serta moneter dan keuangan negara dapat
dikendalikan dengan baik)
2. Mewujudkan Kemandirian Ekonomi dengan Menggerakkan Strategis Ekonomi Domestik
(meliputi: meningkatkan ekonomi kreatif dan pariwisata, mengembangkan ekonomi
digital agar semakin berkembang pesat, melakukan pembangunan ekonomi maritim)
Lalu, dengan adanya capaian sasaran dari pemerintah itu organisasi-organisasi publik
dibawahnya menyesuaikan capaian sasaran tersebut sesuai dengan bidangnya seperti halnya,
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, mereka mengatur capaian
7
sasaran ekonomi seperti :
1. Terwujudnya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan di bidang ekonomi makro dan
keuangan
2. Terwujudnya pengendalian pelaksanaan kebijakan di bidang ekonomi makro dan
keuangan
3. Terwujudnya perluasan akses pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK)
Mereka mengatur capaian kinerja organisasi dalam bidang ekonomi ini sesuai dengan
tujuan yang ingin mereka capai diawal. Dengan adanya capaian hasil kinerja ditujukan untuk
meminimalisir resiko-resiko yang menjadi penghalang tercapainya tujuan sehingga sebagai
acuan untuk memudahkan dalam keberhasilan tujuan.
Pelayanan publik adalah basis utama Pemerintah dalam menjalankan program yang telah
disusun sebagai konsep untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kemajemukan masyarakat Indonesia,
tentunya berbanding lurus dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian jika kita salah
dalam melakukan pemetaan dan penyusunan prioritas utama kebutuhan rakyat tersebut, maka kegagalan
sudah di depan mata.
Di sektor kesehatan, pemetaan dan identifikasi kebutuhan ini sangatlah penting. Karena tak bisa
dipungkiri bahwa kesehatan adalah kebutuhan utama selain pendidikan dan ekonomi. Suatu bangsa yang
masyarakatnya sakit, baik secara mental psikologis maupun jasmani, maka otomatis akan membawa
kemunduran bagi bangsa itu sendiri. Bahkan jika hal ini berlangsung lama tanpa perbaikan, maka tentu
saja kehancuran bangsa sudah dekat.
Hal yang harus dilakukan adalah terus bekerja dan terus memperbaiki konsep dan cara melakukan
pelayanan kepada masyarakat. Banyak cara yang bisa di lakukan untuk membantu, bisa dengan
melakukan pengukuran indeks kepuasan pengguna pelayanan ("customer satisfaction index"/CSI),
setelah itu mengidentifikasi hal-hal sebaliknya yaitu ketidakpuasani.
Adapun sebenarnya ketidakpuasan masyarakat, seringkali hanyalah hal yang sepele, akan tetapi
sering diabaikan oleh para stakeholder pelayanan publik. Hal-hal sederhana itu antara lain, seringkali
penjelasan dan informasi tidak lengkap dan jelas, petugas kadang bersifat sebagai "tuan" dan bukan
pelayan rakyat, pelayanan hanya sekedarnya, tidak tulus dan terkesan dibuat-buat, bahkan sampai
memarahi dan membentak masyarakat, tidak tertib dan disiplin dalam melayani sehingga terkesan
amburadul dan asal-asalan, prosedur yang berbelit-belit dan masih banyak lagi.
Padahal prinsip utama pelayanan prima atau "service exellent" adalah mengutamakan pelanggan
dalam hal ini rakyat yang membutuhkan pelayanan kita. Sebagai pelayan masyarakat haruslah berusaha
mewujudkan apa yang diharapkan masyarakat dari kerja kita dengan apa yang nyata mereka rasakan.
Mewujudkan harapan mereka tentang lancar dan baiknya pelayanan kesehatan yang tentunya dapat
mereka rasakan langsung. Itulah tujuan utama pelayanan publik. Hal yang paling penting juga adalah
melakukan monitoring dan ovaluasi (monev). Dengan melakukan monev, maka akan dapat terus menerus
memperbaiki apa kekurangan dan apa yang harus segera diperbaiki. Tidak hanya sampai di sini. Kita juga
harus mempelajari tentang dampak dari hasil pelayanan, baik dampak jangka pendek maupun jangka
panjang. Dengan demikian maka dapat mengumpulkan berbagai informasi yang berharga tentang kinerja
yang sudah dilakukan dan aakan bisa mendapatkan gambaran tentang efektifitas dan efisiensi dari konsep
yang telah diterapkan. Dapat memformulasikan tentang kebutuhan apa yang masih kurang termasuk
kebutuhan anggaran. Juga bisa menjadikan kemajuan dan prestasi kerja sebagai bahan promosi kepada
masyarakat dengan tujuan menggalang peran serta masyarakat supaya lebih intens lagi. Tentu saja juga
8
bisa menyusun prioritas untuk program selanjutnya, termasuk merancang konsep yang lebih baik lagi
berikutnya. Dengan demikian maka dapat mengharapkan adanya reformasi atau perbaikan yang mendasar
dari pelayanan publik kita. Hal ini tentunya sangat menentukan akuntabilitas dan kepercayaan masyarakat
terhadap apa yang telah dilakukan dan kerjakan oleh pelayanan masyarakat. Hal ini sangat penting,
karena tanpa kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap kita, maka apapun yang kita lakukan akan
menimbulkan keragu-raguan yang tentu saja berujung kepada ketidakpuasan
Beberapa faktor yang dibutuhkan dalam hal reformasi pelayanan publik di bidang kesehatan,
antara lain:
1) Komitmen kepemimpinan dalam mencapai kinerja organisasi yang lebih baik. "Political will" ini
sangat penting.
2) Pemenuhan dan penempatan sumber daya yang tepat dalam membangun sistem pelayanan. Jangan
memilih orang yang salah, harus mengutamakan "right man in the right place".
3) Adanya anggaran yang cukup dan proporsional dalam hal meningkatkan performa dan sarana
pelayanan.
4) Pengawasan terhadap jalannya pelayanan. Apakah sesuai konsep atau telah menyimpang. Harus selalu
dilakukan pengawalan agar supaya selalu "on the track".
5) Segera melakukan perubahan dan perbaikan jika ditemukan pelayanannya macet atau terhenti. Jadi
"diagnosis and assessment" yang cepat dan tepat untuk melancarkan hambatan dan rintangan. Hal ini
harus diimbangi dengan memberikan kewenangan langsung untuk melakukan "decision".
6) Membuka ruang informasi dan keluhan yang jelas tempat dan mekanismenya.
7) Bekerjasama dengan instansi lain yang terkait dan saling membantu. Ini memerlukan regulasi khusus
dalam hal "lintas batas atau lintas sektoral pelayanan".
8) Terbuka dan jujur mengakui jika ada kekurangan atau hal yang tidak dilakukan dan jangan
disembunyikan. Ini sangat berbahaya, karena hanya akan melaporkan hasil yang palsu atau fiktif tentang
keberhasilan kerja.
9) Meminta aparat hukum dan organisasi pengawasan eksternal untuk ikut mengawal berjalannya semua
proses di atas. Sehingga tidak ada lagi kolusi, korupsi dan nepotisme.
Secara umum juga dapat dikatakan krisis ekonomi yang menyebabkan penurunan kinerja
pelayanan kesehatan masyarakat khususnya puskesmas, BDD dan posyandu.
2.2.1 Puskesmas
Pengaruh krisis ekonomi terhadap kinerja puskesmas secara umum dapat dibedakan atas dua macam yaitu
:
a. Penurunan kemampuan Puskesmas
Penurunan kemampuan Puskesmas ini disebabkan antara lain :
- Menurunnya persediaan obat, sebagian besar bahan baku obat masih diimport. Dengan kenaikan nilai
mata uang asing sebesar 3 kali lipat berarti menurunnya penyediaan obat sebanyak 1/3 kali.
- Menurunnya penyediaan alat kesehatan dan reagensia, walaupun sebagian besar alat kesehatan dan
reagensia sudah diproduksi di dalam negeri, tetapi akibat inflasi menyebabkan kenaikan harga alat
9
kesehatan/reagensia sulit dihindari.
- Menurunnya kemampuan pembiayaan program/pelayanan kesehatan, inflasi mengakibatkan kenaikan
harga barang dan jasa yang diperlukan untuk mendukung pelayanan kesehatan masyarakat. Misalnya
transportasi, bahan habis pakai, alat tulis kantor dan lain-lain. Akibatnya kemampuan pelayanan misalnya
pelayanan di luar gedung, kunjungan ke rumah dan surveillans menurun dengan tajam.
- Menurunnya produktivitas kerja, perhatian dan kegiatan petugas yang terpecah untuk mengatasi
kesulitan hidup menyebabkan menurunnya disiplin, motivasi dan dedikasi sehingga produktivitas
menurun.
10
2.3 Capaian Kinerja Organisasi Sektor Publik bidang Kesejahteraan
Kementerian Sosial telah menetapkan Indikator Kinerja Utama yang tertuang dalam Peraturan
Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2017 tentang Perubahan Rencana Strategis
Kementerian Sosial tahun 2015-2019. Indikator tersebut digunakan sebagai ukuran
keberhasilan/kegagalan dalam penyusunan perencanaan, penganggaran kinerja, pengukuran kinerja, dan
evaluasi kinerja oleh masing-masing unit kerja di lingkungan Kementerian Sosial. Pengukuran capaian
kinerja dilakukan dengan membandingkan realisasi dengan target yang ditetapkan dalam setiap indikator
kinerja.
Salah satu capaian kerja yang berhasil dilakukan oleh Kementrian Sosial Republik Indonesia adalah
Berkontribusi dalam Menurunkan Jumlah Penduduk Miskin dan Rentan. Sejalan dengan
pencapaian tujuan negara, yaitu mewujudkan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia,
Kementerian Sosial melalui penyelenggaraan kesejahteraan sosial bertujuan untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan masyarakat miskin dan rentan, sehingga dampaknya adalah menurunnya angka kemiskinan
dan kerentanan. Sasaran strategis ini, diukur melalui 2 indikator, yaitu persentase penurunan jumlah
penduduk miskin dan persentase penurunan jumlah penduduk rentan.
11
diharapkan dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan KPM PKH. Oleh karenanya, capaian KPM
PKH graduasi sejatinya merupakan kontribusi dari berbagai program/kegiatan. Hal tersebut sesuai dengan
strategi nasional penanggulangan kemiskinan dalam RPJMN 20152019, bahwa penanggulangan
kemiskinan dilakukan dengan 3 pilar utama, yaitu sistem perlindungan sosial yang komprehensif,
peningkatan pelayanan dasar, dan pengembangan penghidupan (penguatan penghidupan ekonomi).
Angka realisasi persentase penurunan penduduk miskin didapatkan dengan membandingkan KPM
PKH komplementaritas dengan 40% penduduk dengan status sosial ekonomi terendah, dan didapatkan
angka realisasi 1.58%. Angka ini melebihi dari target sebesar 0,8% sehingga didapatkan angka capaian
197,50%.
Penurunan penduduk miskin juga ditunjukkan dengan penurunan angka kemiskinan makro
sebagaimana data yang dikeluarkan oleh BPS, yaitu persentase penduduk miskin per September 2018
sebesar 9.66%. Persentase angka kemiskinan untuk pertama kalinya mencapai 1 angka (1 digit), dan
apabila dibandingkan dengan tahun 2017 terdapat penurunan 0,46%. Sementara itu, apabila dibandingkan
dengan tahun 2015 penurunannya mencapai 1,47%. Mengingat di akhir RPJMN 2015-2019, pemerintah
menargetkan penurunan angka ke- miskinan sebesar 8,5-9,5%, maka apabila di tahun 2019 ditargetkan
angka kemiskinan menjadi 9,5% maka untuk mencapai target harus terdapat pengurangan sebesar 0,16%.
2. Perluasan KPM PKH dan BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai) yang mendukung inklusi
keuangan
Sesuai dengan arahan presiden, pada tahun 2018 dilakukan perluasan KPM PKH dari semula 6 juta
menjadi 10 juta KPM, yang merupakan strategi pemerintah untuk me-nurunkan angka kemiskinan.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa PKH membawa dampak positif bagi kehidupan keluarga
miskin. Dalam upaya pengentasan kemiskinan, inklusi keuangan menjadi salah satu strategi yang diambil
pemerintah yaitu dengan memperluas akses masyarakat, khususnya masyarakat miskin terhadap
keuangan formal. Penelitian dariSanjaya dan Nursechafia (2016) yang berjudul “Inklusi
Keuangan dan Pertumbuhan Inklusif: Analisis Antar Provinsi di Indonesia” menunjukkan bahwa terdapat
12
korelasi positif antara keuangan inklusif dengan pertumbuhan inklusif, yang muaranya adalah penurunan
penduduk miskin. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa inklusi keuangan di Indonesia sangat
ditentukan oleh dimensi aksesibilitas, yang berarti kelompok miskin cukup terbatas dalam memanfaatkan
layanan jasa sektor keuangan. Upaya mendukung inklusi keuangan telah dilakukan sejak tahun 2017
dimana penyaluran PKH telah dilakukan secara non tunai melalui perbankan. Selain itu pada tahun 2017
dilakukan transformasi subsidi pangan menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di 44 kota. Pada
tahun 2018, ditargetkan perluasan penerima PKH dan BPNT menjadi 10 juta KPM, dan terealisasi
10.000.232 KPM untuk PKH dan 10.093.866 KPM untuk BPNT.
2.3.2 Persentase Penurunan penduduk Rentan
Ketentuan mengenai penduduk rentan telah diatur dalam dua undang-undang, yaitu Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 (telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013) tentang
Administrasi Kependudukan dan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006,
Pasal 25 ayat (1), disebutkan bahwa yang dimaksud Penduduk rentan administrasi kependudukan
meliputi: (a) penduduk korban bencana alam; (b) penduduk korban bencana sosial; (c) orang terlantar;
dan (d) ko- munitas terpencil. Pada pasal tersebut, definisi penduduk rentan
yang dimaksud adalah Penduduk yang mengalami hambatan dalam memperoleh Dokumen
Kependudukan yang disebabkan oleh bencana alam dan kerusuhan sosial. Pada Pasal 1 ayat (13) Undang-
Undang Nomor 52 Tahun 2009 dijelaskan bahwa yang dimaksud Penduduk rentan adalah penduduk
yang dalam berbagai matranya tidak atau kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan
potensinya sebagai akibat dari keadaan fisik dan/atau non fisiknya. Pasal 5 disebutkan
Penduduk rentan memilki hak untuk memperoleh bantuan khusus atas biaya negara.
Dari uraian penjelasan regulasi di atas, dapat disimpulkan bahwa penduduk rentan adalah penduduk
rentan kesejahteraan sosial, yang terdiri dari anak telantar, penyandang disabilitas, lanjut usia telantar,
tuna sosial dan korban perdagangan orang, Komunitas Adat Terpencil/KAT, serta korban bencana. Oleh
karenanya capaian dari indikator ini didukung pada pelaksanaan program Rehabilitasi Sosial, kegiatan
pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, serta Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam dan Sosial.
Realisasi penurunan penduduk rentan pada tahun 2018 adalah 2,59 atau melebihi target yang ditetapkan
sebesar 0,8. Apabila dibandingkan dengan target, didapatkan angka capaian 323,75%, dan realisasi
tersebut sudah melebihi target tahun 2019 sebesar 1,00. Indikator ini merupakan indikator baru, sehingga
tidak dapat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Program/Kegiatan yang diupayakan
Kementrian Sosial dalam penurunan penduduk rentan yaitu:
1. Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi sosial bertujuan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan se- seorang yang
mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Rehabilitasi sosial
dilaksanakan dalam kerangka meningkatkan keberfungsian sosial PMKS, sehingga dapat berfungsi sosial
secara wajar di masyarakat dan selanjutnya berkontribusi dalam penurunan penduduk rentan. Penurunan
penduduk rentan melalui pelaksanaan rehabilitasi sosial dilihat dari PMKS yang mampu berfungsi sosial
secara wajar pada level berkembang, yang memiliki parameter:
(1) mampu melakukan aktivitas pokok sehari-hari (activity daily living)
(2) mengatasi permasalahan sehari-hari baik oleh sendiri ataupun dengan cara meminta tolong
kepada orang lain
(3) menampilkan peran sesuai status sosialnya baik dalam kelompok, keluarga, maupun komunitas
yang lebih luas,
(4) mampu menjalin relasi dan berinteraksi sosial secara harmonis dan produktif sesuai tugas dan
13
peran sosialnya.
Program rehabilitasi sosial dilaksanakan melalui kegiatan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan
Napza, rehabilitasi sosial penyandang disabilitas, rehabilitasi sosial tuna sosial dan korban perdagangan
orang, rehabilitasi sosial anak, serta rehabilitasi sosial lanjut usia.
2. Perlindungan Sosial Korban Bencana
Perlindungan sosial korban bencana bertujuan mengurangi resiko sosial dan menangani
permasalahan sosial yang diakibatkan oleh guncangan akibat bencana, baik bencana alam maupun
bencana sosial. Melalui pelaksanaan ke-giatan ini, diharapkan pada kondisi rentan tersebut, warga
penyintas mampu bertahan hidup dan dapat kembali memulihkan kondisi sosialnya. Perlindungan sosial
korban bencana alam dilaksanakan pada saat terjadinya bencana serta pasca bencana. Tugas Kementerian
Sosial dalam Perlindungan Sosial Korban Bencana lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar (logistic
management), penyiapan penampungan pengungsi (shelter management), dan pemberian bantuan
psikososial bagi korban bencana. Pengurangan kerentanan masyarakat terdampak bencana dapat dilihat,
melalui parameter berikut:
a. Terpenuhinya Kebutuhan Dasar (Pangan, Sandang, Papan)
Penyediaandapur umum lapangan untuk memenuhi kebutuhan makanan korban terdampak serta
bantuan peralatan dapur.
Penyediaansandang bagi korban terdampak sesuai dengan kebutuhan.
Penyediaanshelter pada masa tanggap darurat, hunian sementara pada masa transisi darurat, dan
hunian tetap pada saat bencana.
b. Terpenuhinya Kebutuhan Layanan Dukungan Psikososial
Pemulihan kondisi psiko- sosial korban terdampak bencana.
c. Peningkatan kemampuan bertahan hidup
Bantuan stimulasi pemu- lihan sosial bantuan
untuk perbaikan rumah korban bencana atau relokasi rumah korban bencana alam dan yang bermukim di
daerah terancam bencana.
Pemberian bantuan san- tunan kepada ahli waris korban bencana yang meninggal.
Capaian pada pelaksanaan kegiatan perlindungan sosial korban bencana untuk menurunkan
kerentanan korban terdampak bencana, tidak lepas dari upaya-upaya berikut:
a. Peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana Peningkatan
kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana akan berpengaruh terhadap pengurangan
kerentanan masyarakat. Upaya ini dilakukan melalui fasilitasi pembentukkan Kampung Siaga Bencana
(KSB) serta peningkatan kapasitas petugas penanggulangan bencana. Sementara itu, pencegahan bencana
sosial dilakukan melalui penguatan kearifan lokal, penguatan kapasitas tenaga pelopor perdamaian, dan
social peace camp.
b. Penggunaan dana hibah dalam negeri
Frekuensi kejadian bencana dan dampaknya tidak sebanding dengan penyiapan anggaran yang memadai,
selain itu kemampuan penanganan bencana dari masing-masing daerah masih rendah, karenanya
14
digunakan juga dana hibah dalam negeri untuk pemberian bantuan sosial bagi korban terdampak bencana.
3. Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat Terpencil (KAT)
Pelaksanaan pemberdayaan sosial KAT bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup warga KAT,
sehingga dapat mandiri memenuhi kebutuhan dasarnya. KAT yang meningkat kualitas hidupnya adalah
warga KAT purna bina atau telah mendapatkan pemberdayaan sosial. Melalui proses pemberdayaan yang
dilakukan hasil akhir (outcome) yang diharapkan adalah warga KAT memperoleh perlindungan dan hak
sebagai warga negara, terpenuhi kebutuhan dasarnya, terintegrasi dengan sistem sosial yang lebih luas
serta mandiri sebagai warga negara. Pemberdayaan KAT dilakukan melalui serangkaian kegiatan, yang
dimulai dari tahap persiapan hingga pemberdayaan, yang dilakukan secara berkesinambungan. Pada fase
pemberdayaan, kegiatan yang dilakukan didasarkan pada kategorisasi KAT, dengan tetap berbasis pada
kearifan lokal masyarakat. Upaya meningkatkan kualitas hidup warga KAT dilakukan melalui pemberian
bantuan stimulan permukiman sosial, jaminan hidup, bibit, peralatan kerja, peralatan rumah tangga,
peningkatan kapasitas warga KAT melalui ketrampilan kerja, bantuan UEP, pendampingan sosial; serta
pemenuhan hak-hak sipil warga KAT. Pelaksanaan pemberdayaan KAT Realisasi dari indikator
penurunan penduduk rentan (KAT) dilakukan dengan membandingkan warga KAT yang meningkat
kualitas hidupnya dengan populasi KAT. Warga KAT yang meningkat kualitas hidupnya, merupakan
warga KAT yang sudah mendapatkan pemberdayaan sosial. Berdasarkan data dari Direktorat PKAT,
warga KAT yang meningkat kualitas hidupnya pada tahun 2018 sebanyak 1.785 KK atau 7.140 orang.
Dengan angka populasi warga KAT sebanyak 141.819 KK atau 589.432 jiwa maka didapatkan angka
realisasi penurunan penduduk rentan (KAT) sebesar 0,67%. Faktor pendukung keberhasilan kinerja dalam
penurunan penduduk rentan (KAT) adalah sebagai berikut:
a) Adanya regulasi khusus yang mengatur tentang pemberdayaan KAT, yaitu Peraturan Presiden
Nomor 186 tahun 2014 tentang Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat Terpencil dan Peraturan
Menteri Sosial Nomor 12 tahun 2015 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 186 tahun
2014 tentang Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat Terpencil.
b) Peran dan komitmen pemerintah daerah dalam pelaksanaan pemberdayaan
KAT.
c) Pendampingan warga KAT, baik oleh pendamping lokal ataupun pendamping
profesional.
d) Sinergi dengan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Pengumpulan Uang dan Barang
(PUB) dalam pelaksanaan pemberdayaan KAT, yaitu Petrochina International Companies, PT
Indomarco Primatama dan PT Grandia Primatama Sentosa.
15
2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005—2025.
Penyelarasan tema dan fokus pembangunan pendidikan tiap tahap kemudian dirumuskan dalam Rencana
Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang (RPPNJP) 2005—2025.
Periode pertama dalam RPPNJP, pembangunan pendidikan difokuskan pada peningkatan
kapasitas satuan pendidikan sebagai penyelenggara pendidikan dalam memperluas layanan dan
meningkatkan modernisasi penyelenggaraan proses pembelajaran. Pada periode kedua, pemerintah
mendorong penguatan layanan sehingga pendidikan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pada periode ketiga, saat ini pembangunan pendidikan direncanakan sebagai tahap pendidikan yang
menyiapkan manusia Indonesia untuk memiliki daya saing regional. Pada periode ketiga, saat ini
pembangunan pendidikan direncanakan sebagai tahap pendidikan yang menyiapkan manusia Indonesia
untuk memiliki daya saing regional.
Sementara itu, keterkaitan yang amat erat antara pembangunan pendidikan dan pembangunan
kebudayaan sudah diamanatkan oleh konstitusi. Selain pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945 yang
disebut terdahulu, Pasal 32 menyatakan bahwa negara berperan dalam memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya serta menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai
kekayaan budaya nasional. RPJMN 2015—2019 menegaskan bahwa ideologi pemersatu bangsa adalah
Pancasila 1 Juni 1945 dan Trisakti yang diwujudkan antara lain dalam bentuk kepribadian dalam
kebudayaan melalui pembangunan karakter dan kegotongroyongan yang berdasar pada realitas
kebinekaan.
Pembangunan kebudayaan selama ini juga telah mengacu pada RPJPN Tahun 2005— 2025.
Meskipun undang-undang khusus tentang pembangunan kebudayaan masih dalam proses, berbagai
dokumen kebijakan berulang kali menyebutkan delapan pilarnya, yaitu (1) hak-hak berkebudayaan; (2)
jati diri dan karakter bangsa; (3) multikulturalisme; (4) sejarah dan warisan budaya; (5) industri budaya;
(6) diplomasi budaya; (7) pranata dan insan kebudayaan; serta (8) sarana dan prasarana budaya.
Pembangunan pendidikan merupakan salah satu andalan bagi upaya meningkatkan kualitas hidup
manusia Indonesia. Pembangunan pendidikan periode ini dilakukan, terutama melalui pelaksanaan
Program Indonesia Pintar (PIP). Sasaran yang ingin dicapai dalam Program Indonesia Pintar melalui
pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun pada RPJMN 2015—2019 yaitu sebagai berikut.
1. meningkatnya angka partisipasi pendidikan dasar dan menengah,
2. meningkatnya angka keberlanjutan pendidikan yang ditandai dengan menurunnya angka putus
sekolah dan meningkatnya angka melanjutkan;
16
3. menurunnya kesenjangan partisipasi pendidikan antarkelompok masyarakat, terutama antara
penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk lakilaki dan penduduk perempuan, antara
wilayah perkotaan dan perdesaan, serta antardaerah;
4. meningkatnya kesiapan siswa pendidikan menengah untuk memasuki pasar kerja atau
melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi;
5. meningkatnya jaminan kualitas pelayanan pendidikan, tersedianya kurikulum yang andal, dan
tersedianya sistem penilaian pendidikan yang komprehensif;
6. meningkatnya proporsi siswa SMK yang dapat mengikuti program pemagangan di industri;
7. meningkatnya kualitas pengelolaan guru dengan memperbaiki distribusi dan memenuhi beban
mengajar;
8. meningkatnya jaminan hidup dan fasilitas pengembangan ilmu pengetahuan dan karier bagi guru
yang ditugaskan di daerah khusus;
9. meningkatnya dan meratanya ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan sesuai
dengan standar pelayanan minimal;
10. tersusunnya peraturan perundang-undangan terkait Wajib Belajar 12 Tahun.
Jika mengacu pada sasaran pokok yang hendak dicapai serta mempertimbangkan lingkungan strategis
dan tantangan yang akan dihadapi bangsa Indonesia ke depan, arah kebijakan umum pembangunan
nasional yang terkait dengan tugas dan fungsi organisasi pendidikan yaitu sebagai berikut.
1. Meningkatkan Kualitas Insan yang Berkeadilan.
Insan yang berkualitas tercermin dari meningkatnya akses pendidikan yang berkualitas pada
semua jenjang pendidikan dengan memberikan perhatian lebih pada penduduk miskin dan daerah
3T, serta meningkatnya kompetensi siswa Indonesia dalam bidang matematika, sains, dan literasi.
2. Menyiapkan Landasan Pembangunan yang Kokoh.
Landasan pembangunan yang kokoh dicirikan oleh meningkatnya kualitas pelayanan publik yang
antara lain, didukung oleh birokrasi yang bersih, transparan, efektif, dan efisien.
3. Mengembangkan dan Memeratakan Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan di Daerah.
Pembangunan pendidikan dan kebudayaan di daerah diarahkan menjamin pemenuhan pelayanan
dasar, termasuk pelayanan pendidikan dan kebudayaan di seluruh wilayah bagi seluruh lapisan
masyarakat; dan mempercepat pembangunan pendidikan dan kebudayaan di daerah tertinggal dan
kawasan perbatasan.
17
DAFTAR PUSTAKA
18
https://www.kemsos.go.id/laporan-kinerja-kementerian-sosial-tahun-2018. Diakses tanggal 8 Maret 2020.
Kementerian Sosial Republik Indonesi. 2019. Perubahan Rencana Strategis Kementerian Sosial
2015-2019. https://www.kemsos.go.id/renstra-perubahan-kemensos-2015-2019. Diakses tanggal 8 Maret
2020.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015. Rencana strategis Kementerian pendidikan dan
kebudayaan 2015-2019. https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/RenstraKemdikbud2015-2019.pdf. Diakses
tanggal 8 Maret 2020.
19