Anda di halaman 1dari 18

REVOLUSI PERANCIS

Revolusi Prancis (bahasa Prancis: Révolution française; 1789–1799),

adalah suatu periode sosial radikal dan pergolakan politik di Prancis yang memiliki dampak abadi
terhadap sejarah Prancis, dan lebih luas lagi, terhadap Eropa secara keseluruhan. Revolusi ini
merupakan salah satu dari revolusi besar dunia yang mampu mengubah tatanan kehidupan
masyarakat.[1] Monarki absolut yang telah memerintah Prancis selama berabad-abad runtuh
dalam waktu tiga tahun. Rakyat Prancis mengalami transformasi sosial politik yang epik; feodalisme,
aristokrasi, dan monarki mutlak diruntuhkan oleh kelompok politik radikal sayap kiri, oleh massa di
jalan-jalan, dan oleh masyarakat petani di perdesaan.[2] Ide-ide lama yang berhubungan dengan
tradisi dan hierarki monarki, aristokrat, dan Gereja Katolik digulingkan secara tiba-tiba dan
digantikan oleh prinsip-prinsip baru; Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan
persaudaraan). Ketakutan terhadap penggulingan menyebar pada monarki lainnya di seluruh Eropa,
yang berupaya mengembalikan tradisi-tradisi monarki lama untuk mencegah pemberontakan rakyat.
Pertentangan antara pendukung dan penentang Revolusi terus terjadi selama dua abad berikutnya.

Di tengah-tengah krisis keuangan yang melanda Prancis, Louis XVI naik takhta pada tahun 1774.
Pemerintahan Louis XVI yang tidak kompeten semakin menambah kebencian rakyat terhadap
monarki. Didorong oleh sedang berkembangnya ide Pencerahan dan sentimen radikal, Revolusi
Prancis pun dimulai pada tahun 1789 dengan diadakannya pertemuan Etats-Généraux pada bulan
Mei. Tahun-tahun pertama Revolusi Prancis diawali dengan diproklamirkannya Sumpah Lapangan
Tenis pada bulan Juni oleh Etats Ketiga, diikuti dengan serangan terhadap Bastille pada bulan Juli,
Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara pada bulan Agustus, dan mars kaum wanita di
Versailles yang memaksa istana kerajaan pindah kembali ke Paris pada bulan Oktober. Beberapa
tahun kedepannya, Revolusi Prancis didominasi oleh perjuangan kaum liberal dan sayap kiri
pendukung monarki yang berupaya menggagalkan reformasi.

Sebuah negara republik didirikan pada bulan Desember 1792 dan Raja Louis XVI dieksekusi setahun
kemudian. Perang Revolusi Prancis dimulai pada tahun 1792 dan berakhir dengan kemenangan
Prancis secara spektakuler. Prancis berhasil menaklukkan Semenanjung Italia, Negara-Negara
Rendah, dan sebagian besar wilayah di sebelah barat Rhine – prestasi terbesar Prancis selama
berabad-abad.

Secara internal, sentimen radikal Revolusi berpuncak pada naiknya kekuasaan Maximilien
Robespierre, Jacobin, dan kediktatoran virtual oleh Komite Keamanan Publik selama Pemerintahan
Teror dari tahun 1793 hingga 1794. Selama periode ini, antara 16.000 hingga 40.000 rakyat Prancis
tewas.[3] Setelah jatuhnya Jacobin dan pengeksekusian Robespierre, Direktori mengambilalih
kendali negara pada 1795 hingga 1799, lalu ia digantikan oleh Konsulat di bawah pimpinan Napoleon
Bonaparte pada tahun 1799.

Revolusi Prancis telah menimbulkan dampak yang mendalam terhadap perkembangan sejarah
Modern. Pertumbuhan republik dan demokrasi liberal, menyebarnya sekularisme, perkembangan
ideologi modern, dan penemuan gagasan perang total adalah beberapa warisan Revolusi Prancis.[4]
Peristiwa berikutnya yang juga terkait dengan Revolusi ini adalah Perang Napoleon, dua peristiwa
restorasi monarki terpisah; Restorasi Bourbon dan Monarki Juli, serta dua revolusi lainnya pada
tahun 1834 dan 1848 yang melahirkan Prancis modern.
Penyebab
Pemerintah Prancis menghadapi krisis keuangan pada tahun 1780-an, dan Louis XVI dikritik karena
tidak mampu menangani masalah ini.

Sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa sebab utama Revolusi Prancis adalah
ketidakpuasan terhadap Ancien Régime. Lebih khusus, para sejarawan juga menekankan adanya
konflik kelas dari perspektif Marxis; hal yang umum terjadi pada akhir abad ke-19. Perekonomian
yang tidak sehat, panen yang buruk, kenaikan harga pangan, dan sistem transportasi yang tidak
memadai adalah hal-hal yang memicu kebencian rakyat terhadap pemerintah. Rentetan peristiwa
yang mengarah ke revolusi dipicu oleh kebangkrutan pemerintah karena sistem pajak yang buruk
dan utang yang besar akibat keterlibatan Prancis dalam berbagai perang besar. Upaya Prancis dalam
menantang Inggris – kekuatan militer utama di dunia pada saat itu – dalam Perang Tujuh Tahun
berakhir dengan bencana, menyebabkan hilangnya jajahan Prancis di Amerika Utara dan hancurnya
Angkatan Laut Prancis. Tentara Prancis dibangun kembali dan kemudian berhasil menang dalam
Perang Revolusi Amerika, tetapi perang ini sangat mahal dan secara khusus tidak menghasilkan
keuntungan yang nyata bagi Prancis. Sistem keuangan Prancis terpuruk dan kerajaan tidak mampu
menangani utang negara yang besar. Karena dihadapkan pada krisis keuangan ini, raja lalu
memanggil Majelis Bangsawan pada tahun 1787, pertama kalinya selama lebih dari satu abad.

Sementara itu, keluarga kerajaan hidup nyaman di Versailles dan terkesan acuh tak acuh terhadap
krisis yang semakin meningkat. Meskipun secara teori pemerintahan Raja Louis XVI berbentuk
monarki absolut, tetapi dalam praktiknya ia sering ragu-ragu dan akan mundur jika menghadapi
oposisi yang kuat. Louis XVI memang berusaha mengurangi pengeluaran pemerintah, tetapi
lawannya di parlement berhasil menggagalkan upayanya untuk memberlakukan reformasi yang lebih
luas. Penentang kebijakan Louis semakin banyak dan berupaya menjatuhkan kerajaan dengan
berbagai cara, misalnya dengan membagikan pamflet yang melaporkan informasi palsu dan dilebih-
lebihkan untuk mengkritik pemerintah dan aparatnya, yang semakin memperkuat opini publik dalam
melawan monarki.[5]

Faktor lainnya yang dianggap sebagai penyebab Revolusi Prancis adalah kebencian terhadap
pemerintah, yang muncul seiring dengan berkembangnya cita-cita Pencerahan. Ini termasuk
kebencian terhadap absolutisme kerajaan; kebencian oleh masyarakat petani, buruh, dan kaum
borjuis terhadap hak-hak istimewa yang dimiliki oleh kaum bangsawan; kebencian terhadap Gereja
Katolik atas pengaruhnya dalam kebijakan publik dan di lembaga-lembaga negara; keinginan untuk
memperjuangkan kebebasan beragama; kebencian para pendeta perdesaan miskin terhadap uskup
aristokrat; keinginan untuk mewujudkan kesetaraan sosial, politik, ekonomi, serta (khususnya saat
Revolusi berlangsung) republikanisme; kebencian terhadap Ratu Marie Antoinette, yang dituduh
sebagai seorang pemboros dan mata-mata Austria; serta kemarahan terhadap Raja karena memecat
bendahara keuangan Jacques Necker, salah satu orang yang dianggap sebagai wakil rakyat di
kerajaan.[6]
Pra-revolusi
 Krisis keuangan
Karikatur Etats Ketiga yang membawa Etats Pertama (pendeta) dan Etats Kedua (bangsawan) di
punggungnya.

Louis XVI naik takhta menjadi raja Prancis di tengah-tengah krisis keuangan; negara sudah hampir
bangkrut dan pengeluaran negara melebihi pendapatan.[7] Krisis ini terutama sekali disebabkan oleh
keterlibatan Prancis dalam Perang Tujuh Tahun dan Perang Revolusi Amerika.[8] Pada bulan Mei
1776, menteri keuangan Turgot dipecat setelah ia gagal melaksanakan reformasi keuangan. Setahun
kemudian, seorang warga asing bernama Jacques Necker ditunjuk menjadi Bendahara Keuangan.
Necker tidak bisa menjadi menteri keuangan resmi karena ia adalah seorang Protestan.

Necker menyadari bahwa sistem pajak di Prancis sangat regresif; masyarakat kelas bawah dikenakan
pajak yang lebih besar,[9] sementara kaum bangsawan dan pendeta diberikan banyak pengecualian.
[10] Necker beranggapan bahwa pembebasan pajak untuk kaum bangsawan dan pendeta harus
dikurangi, dan mengusulkan untuk meminjam lebih banyak uang agar permasalahan keuangan
negara bisa teratasi. Necker menerbitkan sebuah laporan untuk mendukung anggapannya ini, yang
menunjukkan bahwa defisit negara menembus angka 36 juta livre. Necker juga mengusulkan
pembatasan kekuasaan parlement.[9]

Usulan Necker ini tidak diterima dengan baik oleh para menteri Raja, dan Necker, yang berharap bisa
memperkuat posisinya, berpendapat bahwa ia harus diangkat sebagai menteri, tetapi Raja
menolaknya. Necker dipecat dan Charles Alexandre de Calonne ditunjuk menjadi bendahara yang
baru.[9] Calonne dengan cepat menyadari situasi keuangan negara yang sedang kritis dan
mengusulkan pembentukan kode pajak yang baru.[11]

Usulan Calonne ini termasuk penarikan pajak bumi yang konsisten, yang juga dipungut pada kaum
bangsawan dan pendeta. Karena ditentang oleh parlement, Calonne mengadakan pertemuan
dengan Majelis Bangsawan, berharap mendapat dukungan. Namun bukannya mendukung rencana
Calonne, Majelis malah melemahkan posisi Calonne dengan mengkritiknya. Sebagai tanggapan,
untuk pertama kalinya sejak 1614, Raja memanggil Etats-Généraux pada bulan Mei 1789.
Pemanggilan ini sekaligus menjadi pertanda bahwa monarki Bourbon sedang dalam keadaan lemah
dan tunduk pada tuntutan rakyatnya.[12]

 Etats-Généraux 1789
Artikel utama: Etats-Généraux 1789

Etats-Généraux (wakil rakyat dari berbagai golongan) terbagi menjadi tiga golongan (etats): pendeta
(Etats Pertama), kaum bangsawan (Etats Kedua), dan sisanya adalah rakyat biasa Prancis (Etats
Ketiga).[13] Dalam pertemuan terakhir Etats-Généraux pada tahun 1614, masing-masing golongan
memiliki satu suara, dan dua diantaranya bisa membatalkan suara ketiga. Parlement Paris khawatir
bahwa pemerintah akan berusaha meng-gerrymander majelis untuk mencurangi hasil. Oleh sebab
itu, mereka memutuskan bahwa susunan Etats harus sama dengan susunan 1614.[14] Aturan Etats
1614 ini berbeda dengan praktik pada majelis daerah; di daerah-daerah, masing-masing anggota
memiliki satu suara dan Etats Ketiga memiliki anggota dua kali lipat lebih banyak dari Etats lainnya.
Sebagai contoh, di Dauphiné, majelis provinsi sepakat untuk menggandakan jumlah anggota Etats
Ketiga, mengadakan pemilihan keanggotaan, dan memperbolehkan satu suara per anggota,
bukannya satu suara per etats.[15]
Sebelum pertemuan berlangsung, "Komite Tiga Puluh", sebuah kelompok liberal yang
beranggotakan warga Paris, mulai melakukan agitasi terhadap suara etats. Kelompok ini sebagian
besarnya terdiri dari orang-orang kaya, dan mereka berpendapat bahwa sistem suara di Etats-
Généraux harus sama dengan sistem yang berlaku di Dauphiné. Kelompok ini beranggapan bahwa
sistem lama sudah tidak efisien karena "rakyatlah yang berdaulat".[16] Necker lalu menggelar Sidang
Kedua Majelis, yang menghasilkan keputusan penolakan terhadap usulan perwakilan ganda, dengan
suara 111-333.[16][17]

Pemilihan diadakan pada musim semi 1789; persyaratan hak pilih untuk Etats Ketiga adalah harus
laki-laki kelahiran Prancis atau naturalisasi, setidaknya berusia 25 tahun, berkediaman di lokasi
tempat pemilihan berlangsung, dan membayar pajak.

Pour être électeur du tiers état, il faut avoir 25 ans, être français ou naturalisé, être domicilié au lieu
de vote et compris au rôle des impositions.[18]

Pemilihan menghasilkan 1.201 delegasi, yang terdiri dari: 291 bangsawan, 300 pendeta, dan 610
anggota Etats Ketiga.[17] Untuk mengarahkan delegasi, "Dokumen Keluhan" (Cahiers de Doléances)
disusun sebagai pengarah yang memuat daftar permasalahan yang dihadapi negara.[13][14][19]

Pamflet yang disebarkan oleh para bangsawan dan pendeta liberal semakin merebak setelah
dicabutnya penyensoran pers.[16] Abbé Sieyès, seorang teoretikus dan pendeta Katolik,
berpendapat mengenai betapa pentingnya keberadaan Etats Ketiga dalam pamflet Qu'est-ce que le
tiers état? (bahasa Inggris: "What is the Third Estate?"), yang diterbitkan pada bulan Januari 1789. Ia
menegaskan: "Apa itu Etats Ketiga? Segalanya. Apa posisinya dalam tatanan politik? Tidak ada. Ia
ingin menjadi apa? Sesuatu."[14][20]

Pertemuan Etats-Généraux pada tanggal 5 Mei 1789 di Versailles.

Etats-Généraux kembali menggelar pertemuan di Grands Salles des Menus-Plaisirs, Versailles, pada
tanggal 5 Mei 1789. Pertemuan ini dibuka dengan pidato tiga jam oleh Necker. Etats Ketiga
menuntut agar verifikasi deputi secara kredensial harus dilakukan bersama oleh semua deputi,
bukannya masing-masing etats memverifikasi anggotanya secara internal; negosiasi dengan etats
lainnya gagal mewujudkan hal ini.[19] Golongan rakyat jelata bersitegang dengan kaum pendeta
yang menjawab kalau mereka membutuhkan lebih banyak waktu untuk memutuskan. Necker pada
akhirnya memutuskan bahwa setiap etats harus memverifikasi anggotanya masing-masing dan "Raja
bertindak sebagai penengah".[21] Namun, negosiasi dengan dua etats lainnya tetap tidak berhasil.
[22]

 Majelis Nasional (1789)


Majelis Nasional mengambil Sumpah Lapangan Tenis (sketsa oleh Jacques-Louis David).

Pada 10 Juni 1789, Abbé Sieyès pindah keanggotaan menjadi Etats Ketiga, dan sekarang mengikuti
pertemuan sebagai Communes (Rakyat Biasa). Ia mengajak dua etats lainnya untuk ikut serta, tetapi
ajakannya ini tidak diindahkan.[23] Etats Ketiga yang sekarang menjadi lebih radikal
mendeklarasikan diri sebagai Majelis Nasional, majelis yang bukan berasal dari etats, tetapi dari
golongan "Rakyat". Mereka mengajak yang lainnya untuk bergabung, tetapi menegaskan bahwa
"dengan atau tanpa bantuan, mereka tetap akan mengatasi permasalahan bangsa."[24]

Dalam upayanya untuk tetap mengontrol dan mencegah Majelis mengadakan pertemuan, Louis XVI
memerintahkan penutupan Salle des États, tempat Majelis biasanya mengadakan pertemuan. Di
saat yang bersamaan, cuaca tidak memungkinkan Majelis untuk menggelar pertemuan di luar
ruangan, sehingga Majelis pada akhirnya memindahkan pertemuan mereka ke sebuah lapangan
tenis dalam ruangan. Di tempat ini, mereka mengambil Sumpah Lapangan Tenis pada 20 Juni 1789,
yang menyatakan bahwa Majelis tidak akan berpisah hingga mereka bisa memberikan sebuah
konstitusi bagi Prancis.[25]

Mayoritas perwakilan pendeta segera bergabung dengan Majelis, serta 47 orang dari kaum
bangsawan. Pada tanggal 27 Juni, pihak kerajaan secara terang-terangan telah menunjukkan
penentangannya terhadap Majelis, dan sejumlah besar pasukan militer mulai diterjunkan ke
seantero Paris dan Versailles. Dukungan bagi Majelis juga mengalir dari warga Paris dan dari kota-
kota lainnya di Prancis. Pada tanggal 9 Juli, majelis itu disusun kembali menjadi Majelis Konstituante
Nasional.[25]
Majelis Konstituante Nasional (1789–1791)
 Penyerbuan Bastille
Penyerbuan Bastille menjadi pertanda dimulainya Revolusi Perancis.[26] Setelah sidang parlemen,
Louis XVI justru melakukan blunder dengan memecat Menteri Keuangan Jacques Necker. Sementara
itu, Necker semakin dimusuhi oleh keluarga kerajaan Prancis karena dianggap memanipulasi opini
publik secara terang-terangan. Ratu Marie Antoinette, adik Raja Comte d'Artois, dan anggota
konservatif lainnya dari dewan privy mendesak Raja agar memecat Necker sebagai penasihat
keuangan. Pada 11 Juli 1789, setelah Necker menerbitkan laporan keuangan pemerintah kepada
publik, Raja memecatnya, dan segera merestrukturisasi kementerian keuangan tidak lama berselang.
[27]

Kebanyakan warga Paris menganggap bahwa tindakan Louis secara tak langsung ditujukan pada
Majelis dan segera memulai pemberontakan terbuka setelah mereka mendengar kabar tersebut
pada keesokan harinya. Mereka juga khawatir terhadap banyaknya tentara – kebanyakan tentara
asing – yang ditugaskan untuk menutup Majelis Konstituante Nasional. Dalam sebuah pertemuan di
Versailles, Majelis bersidang secara non-stop untuk berjaga-jaga jika nanti tempat pertemuan
digusur secara tiba-tiba. Paris dengan cepat dipenuhi oleh berbagai kerusuhan, kekacauan, dan
penjarahan. Massa juga mendapat dukungan dari beberapa Garda Prancis yang dipersenjatai dan
dilatih sebagai tentara.[28]

Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara, 26 Agustus 1789.

Pada tanggal 14 Juli, para pemberontak mengincar sejumlah besar senjata dan amunisi di benteng
dan penjara Bastille, yang juga dianggap sebagai simbol kekuasaan monarki. Setelah beberapa jam
pertempuran, benteng jatuh ke tangan pemberontak pada sore harinya. Meskipun terjadi gencatan
senjata untuk mencegah pembantaian massal, Gubernur Marquis Bernard de Launay dipukuli,
ditusuk, dan dipenggal, kepalanya diletakkan di ujung tombak dan diarak ke sekeliling kota.
Walaupun hanya menahan tujuh tahanan (empat pencuri, dua bangsawan yang ditahan karena
tindakan tak bermoral, dan seorang tersangka pembunuhan), Bastille telah menjadi simbol
kebencian terhadap Ancien Régime. Di Hôtel de Ville (balai kota), massa menuduh prévôt des
marchands (setara dengan wali kota) Jacques de Flesselles sebagai pengkhianat, dan membantainya.
[29]

Raja Louis yang khawatir dengan tindak kekerasan terhadapnya mundur untuk sementara waktu.
Marquis de la Fayette mengambilalih komando Garda Nasional di Paris. Jean-Sylvain Bailly, presiden
Majelis pada saat Sumpah Lapangan Tenis, menjadi wali kota di bawah struktur pemerintahan baru
yang dikenal dengan komune. Raja mengunjungi Paris pada tanggal 17 Juli dan menerima sebuah
simpul pita triwarna, diiringi dengan teriakan Vive la Nation ("Hidup Bangsa") dan Vive le Roi ("Hidup
Raja").[30]

Necker kembali menduduki jabatannya, tetapi kejayaannya berumur pendek. Necker memang
seorang ahli keuangan yang cerdik, tetapi sebagai politisi, ia kurang terampil. Necker dengan cepat
kehilangan dukungan rakyat setelah menuntut amnesti umum.[31]
Setelah kemenangan Majelis, situasi di Prancis masih tetap memburuk. Kekerasan dan penjarahan
terjadi di seantero negeri. Kaum bangsawan yang mengkhawatirkan keselamatan mereka
berbondong-bondong pindah ke negara tetangga. Dari negara-negara tersebut, para émigré ini
mendanai kelompok-kelompok kontra-revolusi di Prancis dan mendesak monarki asing untuk
memberikan dukungan pada kontra-revolusi.[32]

Pada akhir Juli, semangat kedaulatan rakyat telah menyebar di seluruh Prancis. Di daerah pedesaan,
rakyat jelata mulai membentuk milisi dan mempersenjatai diri melawan invasi asing: beberapa di
antaranya menyerang châteaux kaum bangsawan sebagai bagian dari pemberontakan agraria umum
yang dikenal dengan "la Grande Peur" ("Ketakutan Besar"). Selain itu, rumor liar dan paranoia
kolektif menyebabkan meluasnya kerusuhan dan kekacauan sipil yang berkontribusi terhadap
runtuhnya hukum dan kacaunya ketertiban.[33]

 Perumusan konstitusi baru


Pada tanggal 4 Agustus 1789, Majelis Konstituante Nasional menghapuskan feodalisme (meskipun
pada saat itu telah terjadi pemberontakan petani yang hampir mengakhiri feodalisme). Keputusan
ini dituangkan dalam dokumen yang dikenal dengan Dekret Agustus, yang menghapuskan seluruh
hak istimewa kaum Estate Kedua dan hak dîme (menerima zakat) yang dimiliki oleh Estate Pertama.
Hanya dalam waktu beberapa jam, bangsawan, pendeta, kota, provinsi, dan perusahaan kehilangan
hak-hak istimewanya.

Pada tanggal 26 Agustus 1789, Majelis menerbitkan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara,
yang memuat pernyataan prinsip, bukannya konstitusi dengan efek hukum. Majelis Konstituante
Nasional tidak hanya berfungsi sebagai legislatif, tetapi juga sebagai badan untuk menyusun
konstitusi baru.

Necker, Mounier, Lally-Tollendal dan yang lainnya tidak berhasil mencapai kesepakatan dengan
senat, yang keanggotaannya ditunjuk oleh Raja dan dicalonkan oleh rakyat. Sebagian besar
bangsawan mengusulkan agar majelis tinggi dipilih oleh kaum bangsawan. Sidang segera dilakukan
pada hari itu, yaang memutuskan bahwa Prancis akan memiliki majelis tunggal dan unikameral.
Kekuasaan Raja terbatas hanya untuk "menangguhkan veto"; ia bisa menunda implementasi
undang-undang, tetapi tidak bisa membatalkannya. Pada akhirnya, Majelis menggantikan provinsi
bersejarah di Prancis dengan 83 départements, yang dikelola secara seragam menurut daerah dan
jumlah penduduk.

Di tengah kegiatan Majelis yang disibukkan dengan urusan konstitusional, krisis keuangan terus
berlanjut, sebagian besarnya belum terselesaikan, dan defisit negara semakin meningkat. Honoré
Mirabeau kemudian memimpin gerakan untuk mengatasi permasalahan ini, dan Majelis memberi
Necker hak penuh untuk mengelola keuangan negara.

 Mars perempuan di Versailles


Dipicu oleh rumor telah diinjak-injaknya simpul pita nasional saat penerimaan pengawal Raja pada
tanggal 1 Oktober 1789, kerumunan perempuan mulai berkumpul di pasar Paris pada tanggal 5
Oktober 1789. Kerumunan pertama berbaris menuju Hôtel de Ville, menuntut agar pejabat kota
segera menindak permasalahan mereka.[34] Para perempuan ini mencurahkan segala permasalahan
ekonomi yang mereka hadapi, terutama masalah kekurangan roti. Mereka juga menuntut agar
kerajaan menghentikan upayanya dalam memblokir Majelis Nasional, dan menyerukan agar Raja
dan keluarganya segera pindah ke Paris sebagai bentuk itikad baik dalam mengatasi kemiskinan yang
semakin meluas.

Karena mendapatkan respon yang tidak memuaskan dari pejabat kota, sebanyak 7.000 wanita
bergerak menuju Versailles dengan membawa meriam dan berbagai senjata ringan. Sekitar 20.000
pasukan Garda Nasional di bawah komando La Fayette ditugaskan untuk mengawasi jalannya protes,
tetapi situasi menjadi tidak terkendali. Massa yang marah menyerbu istana, membunuh beberapa
penjaga. La Fayette akhirnya berhasil membujuk Raja untuk menyetujui permintaan massa, dan Raja
beserta keluarganya bersedia untuk kembali ke Paris. Pada tanggal 6 Oktober 1789, Raja dan
keluarga kerajaan pindah dari Versailles ke Paris di bawah "perlindungan" dari Garda Nasional.[35]

 Revolusi dan Gereja


Dalam karikatur ini, biarawan dan biarawati menikmati kebebasan mereka setelah dekret 16
Februari 1790.

Revolusi ini menyebabkan perubahan besar kekuasaan, dari yang sebelumnya dikuasai oleh Gereja
Katolik Roma menjadi dikuasai negara. Berdasarkan Ancien Régime, Gereja menjadi pemilik tanah
terbesar di Prancis, memiliki sekitar 10% tanah kerajaan.[36] Gereja dibebaskan dari kewajiban
membayar pajak kepada pemerintah, dan juga berhak menerima dîme (zakat) 10% dari pajak
penghasilan, sering kali dikumpulkan dalam bentuk bahan pangan, dan hanya sebagian kecil dari
dîme tersebut yang diberikan kepada masyarakat miskin.[36] Kekuatan dan kekayaan Gereja yang
begitu besar telah menimbulkan kebencian dari beberapa kelompok. Kelompok minoritas penganut
Protestan yang tinggal di Prancis seperti Huguenots, menginginkan rezim yang anti-Katolik dan
berhasrat untuk membalas dendam kepada para pendeta yang melakukan diskriminasi terhadap
mereka. Pemikir Pencerahan seperti Voltaire membantu mengobarkan semangat anti-Katolik
dengan merendahkan Gereja Katolik dan mendestabilisasi monarki Prancis.[37] Menurut sejarawan
John McManners, "Pada abad kedelapan belas, takhta Prancis dan altar berhubungan erat; dan
hubungan ini runtuh..."[38]

Kebencian terhadap Gereja melemah kekuatannya saat dibukanya pertemuan Etats-Généraux pada
bulan Mei 1789. Gereja memiliki sekitar 130.000 anggota pendeta dalam Etats Pertama. Ketika
Majelis Nasional didirikan pada bulan Juni 1789 oleh Etats Ketiga, para pendeta memilih untuk
bergabung dengan Majelis.[39] Majelis Nasional mulai memberlakukan reformasi sosial dan
ekonomi. Undang-undang baru pada tanggal 4 Juli 1789 menghapuskan kewenangan gereja untuk
memungut zakat. Dalam upayanya untuk mengatasi krisis keuangan, pada tanggal 2 November 1789,
Majelis memutuskan bahwa properti Gereja menjadi "milik negara".[40] Properti ini digunakan
untuk mendukung peredaran mata uang baru, assignats. Dengan demikian, mulai saat itu
keberlangsungan Gereja juga menjadi tanggungjawab negara, termasuk membayar para pendeta
untuk merawat orang-orang miskin, orang sakit, dan yatim piatu.[41] Pada bulan Desember, Majelis
mulai menjual tanah-tanah milik Gereja kepada penawar tertinggi untuk meningkatkan pendapatan
negara. Hal ini efektif menaikkan nilai assignats sebesar 25% dalam waktu dua tahun.[42] Pada
musim gugur 1789, undang-undang baru yang menghapuskan sumpah monastik dirumuskan, dan
pada 13 Februari 1790, semua ordo keagamaan dibubarkan.[43] Para biarawan dan biarawati
disarankan untuk kembali ke kehidupan pribadi mereka, dan beberapa di antaranya akhirnya
menikah.[44]

Konstitusi Sipil Pendeta, yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790, menetapkan bahwa pendeta
adalah pekerja negara. Keputusan ini membentuk sistem pemilihan pastor dan uskup paroki, serta
menetapkan upah bagi para pendeta. Sebagian besar pendeta Katolik keberatan dengan sistem
pemilihan ini karena hal itu berarti bahwa mereka secara efektif menolak otoritas Paus di Roma atas
Gereja Prancis. Akhirnya, pada bulan November 1790, Majelis Nasional mulai mewajibkan "sumpah
setia pada Konstitusi Sipil" bagi semua pendeta Katolik.[44] Hal ini menyebabkan timbulnya
perpecahan antara pendeta yang mengambil sumpah dengan pendeta yang tetap setia kepada Paus.
Secara keseluruhan, 24% dari semua pendeta di Prancis telah mengambil sumpah.[45] Pendeta yang
menolak bersumpah setia pada konstitusi akan "dibuang, dideportasi secara paksa, atau dieksekusi
dengan tuduhan pengkhianat."[42] Paus Pius VI tidak pernah mengakui Konstitusi Sipil Pendeta ini,
yang berakibat pada semakin terisolasinya Gereja Prancis. Selama Pemerintahan Teror, upaya besar-
besaran de-Kristianisasi di Prancis terjadi, termasuk memenjarakan dan membantai para pendeta,
serta pengrusakan Gereja dan gambar-gambar relijius di seluruh Prancis. Upaya untuk menggantikan
kedudukan Gereja Katolik dilakukan, misalnya dengan mengganti festival agama dengan festival sipil.
Pembentukan Kultus Akal Budi adalah langkah terakhir dalam de-Kristenisasi radikal di Prancis.
Peristiwa ini menyebabkan munculnya kekecewaan dan penentangan terhadap Revolusi di seluruh
Prancis. Warga sering kali menolak de-Kristenisasi dengan cara menyerang agen revolusioner dan
menyembunyikan pendeta yang sedang diburu. Pada akhirnya, Robespierre dan Komite Keamanan
Publik dipaksa untuk menentang kampanye dengan menggantikan Kultus Akal Budi yang bersifat
deistik, walaupun masih non-Kristen.[46] Konkordat 1801 antara Napoleon dan Gereja mengakhiri
periode de-Kristenisasi dan mulai membentuk aturan-aturan yang mengatur mengenai hubungan
antara Gereja Katolik dengan negara, yang tetap berlaku hingga tahun 1905, kemudian diubah oleh
Republik Ketiga dengan memisahkan urusan Gereja dengan urusan negara pada tanggal 11
Desember 1905. Penganiayaan terhadap pendeta menyebabkan munculnya gerakan-gerakan
kontra-revolusi, yang berpuncak dalam Pemberontakan Vendee.

Kemunculan berbagai faksi

Untuk diskusi lebih jelas, lihat Majelis Konstituante Nasional.

Faksi-faksi dalam majelis tersebut mulai bermunculan. Kaum ningrat Jacques Antoine Marie Cazalès
dan pendeta Jean-Sifrein Maury memimpin yang kelak dikenal sebagai sayap kanan yang menentang
revolusi. "Royalis Demokrat" atau Monarchien, bersekutu dengan Necker, cenderung mengorganisir
Prancis sejajar garis yang mirip dengan model Konstitusi Inggris: mereka termasuk Jean Joseph
Mounier, Comte de Lally-Tollendal, Comte de Clermont-Tonnerre, dan Pierre Victor Malouet, Comte
de Virieu.

"Partai Nasional" yang mewakili faksi tengah atau kiri-tengah majelis tersebut termasuk Honoré
Mirabeau, Lafayette, dan Bailly; sedangkan Adrien Duport, Barnave dan Alexander Lameth mewakili
pandangan yang lebih ekstrem. Yang hampir sendiri dalam radikalismenya di sisi kiri adalah
pengacara Arras Maximilien Robespierre.

Sieyès memimpin pengusulan legislasi pada masa ini dan berhasil menempa konsensus selama
beberapa waktu antara pusat politik dan pihak kiri.

Di Paris, sejumlah komite, wali kota, majelis perwakilan, dan distrik-distrik perseorangan mengklaim
otoritas yang bebas dari yang. Kelas menengah Garda Nasional yang juga naik pamornya di bawah
Lafayette juga perlahan-lahan muncul sebagai kekuatan dalam haknya sendiri, begitupun majelis
yang didirikan sendiri lainnya.

Melihat model Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, pada tanggal 26 Agustus 1789, majelis
mendirikan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warganegara. Seperti Deklarasi AS, deklarasi ini terdiri
atas pernyataan asas daripada konstitusi dengan pengaruh resmi.
Ke arah konstitusi

Majelis Konsituante Nasional tak hanya berfungsi sebagai legislatur, tetapi juga sebagai badan untuk
mengusulkan konstitusi baru.

Necker, Mounier, Lally-Tollendal, dll tidak berhasil mengusulkan sebuah senat, yang anggotanya
diangkat oleh raja pada pencalonan rakyat. Sebagian besar bangsawan mengusulkan majelis tinggi
aristokrat yang dipilih oleh para bangsawan. Kelompok rakyat menyatakan pada hari itu: Prancis
akan memiliki majelis tunggal dan unikameral. Raja hanya memiliki "veto suspensif": ia dapat
menunda implementasi hukum, tetapi tidak bisa mencabutnya sama sekali.

Rakyat Paris menghalangi usaha kelompok Royalis untuk mencabut tatanan baru ini: mereka
berbaris di Versailles pada tanggal 5 Oktober 1789. Setelah sejumlah perkelahian dan insiden, raja
dan keluarga kerajaan merelakan diri dibawa kembali dari Versailles ke Paris.

Majelis itu menggantikan sistem provinsi dengan 83 département, yang diperintah secara seragam
dan kurang lebih sederajat dalam hal luas dan populasi.

Awalnya dipanggil untuk mengurusi krisis keuangan, hingga saat itu majelis ini memusatkan
perhatian pada masalah lain dan hanya memperburuk defisit itu. Mirabeau kini memimpin gerakan
itu untuk memusatkan perhatian pada masalah ini, dengan majelis itu yang memberikan
kediktatoran penuh dalam keuangan pada Necker.

Ke arah Konstitusi Sipil Pendeta

Ke tingkatan yang tidak lebih sempit, majelis itu memusatkan perhatian pada krisis keuangan ini
dengan meminta bangsa mengambil alih harta milik gereja (saat menghadapi pengeluaran gereja)
melalui hukum tanggal 2 Desember 1789. Agar memonter sejumlah besar harta benda itu dengan
cepat, pemerintah meluncurkan mata uang kertas baru, assignat, diongkosi dari tanah gereja yang
disita.

Legislasi lebih lanjut pada tanggal 13 Februari 1790 menghapuskan janji biara. Konstitusi Sipil
Pendeta, yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790 (meski tak ditandatangani oleh raja pada tanggal
26 Desember 1790), mengubah para pendeta yang tersisa sebagai pegawai negeri dan meminta
mereka bersumpah setia pada konstitusi. Konstitusi Sipil Pendeta juga membuat gereja Katolik
sebagai tangan negara sekuler.

Menanggapi legislasi ini, uskup agung Aix dan uskup Clermont memimpin pemogokan pendeta dari
Majelis Konstituante Nasional. Sri Paus tak pernah menyetujui rencana baru itu, dan hal ini
menimbulkan perpecahan antara pendeta yang mengucapkan sumpah yang diminta dan menerima
rencana baru itu ("anggota juri" atau "pendeta konstitusi") dan "bukan anggota juri" atau "pendeta
yang keras hati" yang menolak berbuat demikian.

Dari peringatan Bonjour ke kematian Mirabeau

Untuk diskusi lebih detail tentang peristiwa antara 14 Juli 1790 - 30 September 1791, lihat Dari
peringatan Bastille ke kematian Mirabeau.

Majelis itu menghapuskan perlengkapan simbolik ancien régime, baringan lapis baja, dll., yang lebih
lanjut mengasingkan bangsawan yang lebih konservatif, dan menambahkan pangkat émigré.
Pada tanggal 14 Juli 1790, dan beberapa hari berikutnya, kerumuman di Champ-de-Mars
memperingati jatuhnya Bastille; Talleyrand melakukan sumpah massal untuk "setia pada negara,
hukum, dan raja"; raja dan keluarga raja ikut serta secara aktif.

Para pemilih awalnya memilih anggota Dewan Jenderal untuk bertugas dalam setahun, tetapi
dengan Sumpah Lapangan Tenis, commune tersebut telah sepakat bertemu terus menerus hingga
Prancis memiliki konstitusi. Unsur sayap kanan kini mengusulkan pemilu baru, tetapi Mirabeau
menang, menegaskan bahwa status majelis itu telah berubah secara fundamental, dan tiada pemilu
baru yang terjadi sebelum sempurnanya konstitusi.

Pada akhir 1790, beberapa huru-hara kontrarevolusi kecil-kecilan pecah dan berbagai usaha terjadi
untuk mengembalikan semua atau sebagian pasukan pasukan terhadap revolusi yang semuanya
gagal. Pengadilan kerajaan, dalam kata-kata François Mignet, "mendorong setiap kegiatan
antirevolusi dan tak diakui lagi." [1]

Militer menghadapi sejumlah kerusuhan internal: Jenderal Bouillé berhasil meredam sebuah
pemberontakan kecil, yang meninggikan reputasinya (yang saksama) untuk simpatisan
kontrarevolusi.

Kode militer baru, yang dengannya kenaikan pangkat bergantung senioritas dan bukti kompetensi
(daripada kebangsawanan) mengubah beberapa korps perwira yang ada, yang bergabung dengan
pangkat émigré atau menjadi kontrarevolusi dari dalam.

Masa ini menyaksikan kebangkitan sejumlah "klub" politik dalam politik Prancis, yang paling
menonjol di antaranya adalah Klub Jacobin: menurut 1911 Encyclopædia Britannica, 152 klub
berafiliasi dengan Jacobin pada tanggal 10 Agustus 1790. Saat Jacobin menjadi organisasi terkenal,
beberapa pendirinya meninggalkannya untuk membentuk Klub '89. Para royalis awalnya mendirikan
Club des Impartiaux yang berumur pendek dan kemudian Club Monarchique. Mereka tak berhasil
mencoba membujuk dukungan rakyat untuk mencari nama dengan membagi-bagikan roti; hasilnya,
mereka sering menjadi sasaran protes dan malahan huru-hara, dan pemerintah kotamadya Paris
akhirnya menutup Club Monarchique pada bulan Januari 1791.

Di tengah-tengah intrik itu, majelis terus berusaha untuk mengembangkan sebuah konstitusi.
Sebuah organisasi yudisial membuat semua hakim sementara dan bebas dari tahta. Legislator
menghapuskan jabatan turunan, kecuali untuk monarki sendiri. Pengadilan juri dimulai untuk kasus-
kasus kejahatan. Raja akan memiliki kekuasaan khusus untuk mengusulkan perang, kemudian
legislator memutuskan apakah perang diumumkan atau tidak. Majelis itu menghapuskan semua
penghalang perdagangan dan menghapuskan gilda, ketuanan, dan organisasi pekerja: setiap orang
berhak berdagang melalui pembelian surat izin; pemogokan menjadi ilegal.

Di musim dingin 1791, untuk pertama kalinya majelis tersebut mempertimbangkan legislasi terhadap
émigré. Debat itu mengadu keamanan negara terhadap kebebasan perorangan untuk pergi.
Mirabeau menang atas tindakan itu, yang disebutnya "patutu ditempatkan di kode Drako." [2]

Namun, Mirabeau meninggal pada tanggal 2 Maret 1791. Mignet berkata, "Tak seorang pun yang
menyamainya dalam hal kekuatan dan popularitas," dan sebelum akhir tahun, Majelis Legislatif yang
baru akan mengadopsi ukuran "drako" ini.

Pelarian ke Varennes
Louis XVI, yang ditentang pada masa revolusi, tetapi menolak bantuan yang kemungkinan berbahaya
ke penguasa Eropa lainnya, membuat kesatuan dengan Jenderal Bouillé, yang menyalahkan emigrasi
dan majelis itu, dan menjanjikannya pengungsian dan dukungan di kampnya di Montmedy.

Pada malam 20 Juni 1791, keluarga kerajaan lari ke Tuileries. Namun, keesokan harinya, sang Raja
yang terlalu yakin itu dengan sembrono menunjukkan diri. Dikenali dan ditangkap di Varennes (di
département Meuse) di akhir 21 Juni, ia kembali ke Paris di bawah pengawalan.

Pétion, Latour-Maubourg, dan Antoine Pierre Joseph Marie Barnave, yang mewakili majelis, bertemu
anggota kerajaan itu di Épernay dan kembali dengan mereka. Dari saat ini, Barnave became
penasihat dan pendukung keluarga raja.

Saat mencapai Paris, kerumunan itu tetap hening. Majelis itu untuk sementara menangguhkan sang
raja. Ia dan Ratu Marie Antoinette tetap ditempatkan di bawah pengawalan.

Hari-hari terakhir Majelis Konstituante Nasional

Dengan sebagian besar anggota majelis yang masih menginginkan monarki konstitusional daripada
republik, sejumlah kelompok itu mencapai kompromi yang membiarkan Louis XVI tidak lebih dari
penguasa boneka: ia terpaksa bersumpah untuk konstitusi, dan sebuah dekret menyatakan bahwa
mencabut sumpah, mengepalai militer untuk mengumumkan perang atas bangsa, atau mengizinkan
tiap orang untuk berbuat demikian atas namanya berarti turun tahta secara de facto.

Jacques Pierre Brissot mencadangkan sebuah petisi, bersikeras bahwa di mata bangsa Louis XVI
dijatuhkan sejak pelariannya. Sebuah kerumunan besar berkumpul di Champ-de-Mars untuk
menandatangani petisi itu. Georges Danton dan Camille Desmoulins memberikan pidato berapi-api.
Majelis menyerukan pemerintah kotamadya untuk "melestarikan tatanan masyarakat". Garda
Nasional di bawah komando Lafayette menghadapi kerumuman itu. Pertama kali para prajurit
membalas serangan batu dengan menembak ke udara; kerumunan tidak bubar, dan Lafayette
memerintahkan orang-orangnya untuk menembak ke kerumunan, menyebabkan pembunuhan
sebanyak 50 jiwa.

Segera setelah pembantaian itu pemerintah menutup banyak klub patriot, seperti surat kabar radikal
seperti L'Ami du Peuple milik Jean-Paul Marat. Danton lari ke Inggris; Desmoulins dan Marat lari
bersembunyi.

Sementara itu, ancaman baru dari luar muncul: Leopold II, Kaisar Romawi Suci, Friedrich Wilhelm II
dari Prusia, dan saudara raja Charles-Phillipe, comte d'Artois mengeluarkan Deklarasi Pilnitz yang
menganggap perkara Louis XVI seperti perkara mereka sendiri, meminta pembebasannya secara
penuh dan pembubaran majelis itu, dan menjanjikan serangan ke Prancis atas namanya jika
pemerintah revolusi menolak syarat tersebut

Jika tidak, pernyataan itu secara langsung membahayakan Louis. Orang Prancis tidak mengindahkan
perintah penguasa asing itu, dan ancaman militer hanya menyebabkan militerisasi perbatasan.

Malahan sebelum "Pelarian ke Varennes", para anggota majelis telah menentukan untuk
menghalangi diri dari legislatur yang akan menggantikan mereka, Majelis Legislatif. Kini mereka
mengumpulkan sejumlah hukum konstitusi yang telah mereka sahkan ke dalam konstitusi tunggal,
menunjukkan keuletan yang luar biasa dalam memilih untuk tidak menggunakan hal ini sebagai
kesempatan untuk revisi utama, dan mengajukannya ke Louis XVI yang dipulihkan saat itu, yang
menyetujuinya, menulis "Saya mengajak mempertahankannya di dalam negeri,
mempertahankannya dari semua serangan luar; dan menyebabkan pengesahannya yang tentu saja
ditempatkan di penyelesaian saya". Raja memuji majelis dan menerima tepukan tangan penuh
antusias dari para anggota dan penonton. Majelis mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 29
September 1791.

Mignet menulis, "Konstitusi 1791... adalah karya kelas menengah, kemudian yang terkuat; seperti
yang diketahui benar, karena kekuatan yang mendominasi pernah mengambil kepemilikan lembaga
itu... Dalam konstitusi ini rakyat adalah sumber semua, tetapi tak melaksanakan apapun." [3]

 Majelis Legislatif dan kejatuhan monarki


Majelis Legislatif

Di bawah Konstitusi 1791, Prancis berfungsi sebagai monarki konstitusional. Raja harus berbagi
kekuasaan dengan Majelis Legislatif yang terpilih, tetapi ia masih bisa mempertahankan vetonya dan
kemampuan memilih menteri.

Majelis Legislatif pertama kali bertemu pada tanggal 1 Oktober 1791, dan jatuh dalam keadaan
kacau hingga kurang dari setahun berikutnya. Dalam kata-kata 1911 Encyclopædia Britannica:
"Dalam mencba memerintah, majelis itu sama sekali gagal. Majelis itu membiarkan kekosongan
keuangan, ketidakdisiplinan pasukan dan angkatan laut, dan rakyat yang rusak moralnya oleh huru-
hara yang aman dan berhasil."

Majelis Legislatif terdiri atas sekitar 165 anggota Feuillant (monarkis konstitusional) di sisi kanan,
sekitar 330 Girondin (republikan liberal) dan Jacobin (revolusioner radikal) di sisi kiri, dan sekitar 250
wakil yang tak berafiliasi dengan faksi apapun.

Sejak awal, raja memveto legislasi yang mengancam émigré dengan kematian dan hal itu
menyatakan bahwa pendeta non-juri harus menghabiskan 8 hari untuk mengucapkan sumpah sipil
yang diamanatkan oleh Konstitusi Sipil Pendeta. Lebih dari setahun, ketidaksetujuan atas hal ini akan
menimbulkan krisis konstitusi.

Perang

Politik masa itu membawa Prancis secara tak terelakkan ke arah perang terhadap Austria dan
sekutu-sekutunya. Sang Raja, kelompok Feuillant dan Girondin khususnya menginginkan perang.
Sang Raja (dan banyak Feuillant bersamanya) mengharapkan perang akan menaikkan
popularitasnya; ia juga meramalkan kesempatan untuk memanfaatkan tiap kekalahan: yang hasilnya
akan membuatnya lebih kuat. Kelompok Girondin ingin menyebarkan revolusi ke seluruh Eropa.
Hanya beberapa Jacobin radikal yang menentang perang, lebih memilih konsolidasi dan
mengembangkan revolusi di dalam negeri. Kaisar Austria Leopold II, saudara Marie Antoinette,
berharap menghindari perang, tetapi meninggal pada tanggal 1 Maret 1792.

Prancis menyatakan perang pada Austria (20 April 1792) dan Prusia bergabung di pihak Austria
beberapa minggu kemudian. Perang Revolusi Prancis telah dimulai.

Setelah pertempuran kecil awal berlangsung sengit untuk Prancis, pertempuran militer yang berarti
atas perang itu terjadi dengan Pertempuran Valmy yang terjadi antara Prancis dan Prusia (20
September 1792). Meski hujan lebat menghambat resolusi yang menentukan, artileri Prancis
membuktikan keunggulannya. Namun, dari masa ini, Prancis menghadapi huru-hara dan monarki
telah menjadi masa lalu.

Krisis konstitusi
Pada malam 10 Agustus 1792, para pengacau, yang didukung oleh kelompok revolusioner baru
Komuni Paris, menyerbu Tuileries. Raja dan ratu akhirnya menjadi tahanan dan sidang muktamar
Majelis Legislatif menunda monarki: tak lebih dari sepertiga wakil, hampir semuanya Jacobin.

Akhirnya pemerintahan nasional bergabung pada dukungan commune. Saat commune mengirimkan
sejumlah kelompok pembunuh ke penjara untuk menjagal 1400 korban, dan mengalamatkan surat
edaran ke kota lain di Prancis untuk mengikuti conth mereka, majelis itu hanya bisa melancarkan
perlawanan yang lemah. Keadaan ini berlangsung terus menerus hingga Konvensi, yang diminta
menulis konstitusi baru, bertemu pada tanggal 20 September 1792 dan menjadi pemerintahan de
facto baru di Prancis. Pada hari berikutnya konvensi itu menghapuskan monarki dan
mendeklarasikan republik. Tanggal ini kemudian diadopsi sebagai awal Tahun Satu dari Kalender
Revolusi Prancis.

 Konvensi

Eksekusi Louis XVI

Untuk penjelasan lebih lanjut tentang peristiwa antara 20 September 1792- 26 September 1795,
lihat Konvensi Nasional.

Kuasa legislatif di republik baru jatuh ke Konvensi, sedangkan kekuasaan eksekutif jatuh ke sisanya di
Komite Keamanan Umum. Kaum Girondin pun menjadi partai paling berpengaruh dalam konvensi
dan komite itu.

Dalam Manifesto Brunswick, tentara kerajaan dan Prusia mengancam pembalasan ke penduduk
Prancis jika hal itu menghambat langkah majunya atau dikembalikannya monarki. Sebagai akibatnya,
Raja Louis dipandang berkonspirasi dengan musuh-musuh Prancis. 17 Januari 1793 menyaksikan
tuntutan mati kepada Raja Louis untuk "konspirasi terhadap kebebasan publik dan keamanan
umum" oleh mayoritas lemah di konvensi. Eksekusi tanggal 21 Januari menimbulkan banyak perang
dengan negara Eropa lainnya. Permaisuri Louis yang kelahiran Austria, Marie Antoinette,
menyusulnya ke guillotine pada tanggal 16 Oktober.

Saat perang bertambah sengit, harga naik dan sans-culottes (buruh miskin dan Jacobin radikal)
memberontak; kegiatan kontrarevolusi mulai bermunculan di beberapa kawasan. Hal ini mendorong
kelompok Jacobin merebut kekuasaan melalui kup parlemen, yang ditunggangi oleh kekuatan yang
didapatkan dengan menggerakkan dukungan publik terhadap faksi Girondin, dan dengan
memanfaatkan kekuatan khayalak sans-culottes Paris. Kemudian persekutuan Jacobin dan unsur-
unsur sans-culottes menjadi pusat yang efektif bagi pemerintahan baru. Kebijakan menjadi agak
lebih radikal.

Guillotine: antara 18.000-40.000 jiwa dieksekusi selama Pemerintahan Teror

Komite Keamanan Publik berada di bawah kendali Maximilien Robespierre, dan Jacobin melepaskan
tali Pemerintahan Teror (1793-1794). Setidaknya 1200 jiwa menemui kematiannya dengan guillotine
dsb; setelah tuduhan kontrarevolusi. Gambaran yang sedikit saja atas pikiran atau kegiatan
kontrarevolusi (atau, pada kasus Jacques Hébert, semangat revolusi yang melebihi semangat
kekuasaan) bisa menyebabkan seseorang dicurigai, dan pengadilan tidak berjalan dengan teliti.
Pada tahun 1794 Robespierre memerintahkan tokoh-tokoh Jacobin yang ultraradikal dan moderat
dieksekusi; namun, sebagai akibatnya, dukungan rakyat terhadapnya terkikis sama sekali. Pada
tanggal 27 Juli 1794, orang-orang Prancis memberontak terhadap Pemerintahan Teror yang sudah
kelewatan dalam Reaksi Thermidor, yang menyebabkan anggota konvensi yang moderat
menjatuhkan hukuman mati buat Robespierre dan beberapa anggota terkemuka lainnya di Komite
Keamanan Publik. Pemerintahan baru itu sebagian besar tersusun atas Girondis yang lolos dari teror,
dan setelah mengambil kekuasaan menuntut balas dengan penyiksaan yang juga dilakukan terhadap
Jacobin yang telah membantu menjatuhkan Robespierre, melarang Klub Jacobin, dan menghukum
mati sejumlah besar bekas anggotanya pada apa yang disebut sebagai Teror Putih.

Konvensi menyetujui "Konstitusi Tahun III" yang baru pada tanggal 17 Agustus 1795; sebuah plebisit
meratifikasinya pada bulan September; dan mulai berpengaruh pada tanggal 26 September 1795.

 Direktorat
Untuk informasi lebih banyak tentang peristiwa antara 26 September 1795 - 9 November 1799, lihat
Direktorat Prancis.

Konstitusi baru itu melantik Directoire (bahasa Indonesia: Direktorat) dan menciptakan legislatur
bikameral pertama dalam sejarah Prancis. Parlemen ini terdiri atas 500 perwakilan (Conseil des Cinq-
Cents/Dewan Lima Ratus) dan 250 senator (Conseil des Anciens/Dewan Senior). Kuasa eksekutif
dipindahkan ke 5 "direktur" itu, dipilih tahunan oleh Conseil des Anciens dari daftar yang diberikan
oleh Conseil des Cinq-Cents.

Régime baru bertemu dengan oposisi dari Jacobin dan royalis yang tersisa. Pasukan meredam
pemberontakan dan kegiatan kontrarevolusi. Dengan cara ini pasukan tersebut dan jenderalnya
yang berhasil, Napoleon Bonaparte memperoleh lebih banyak kekuasaan.

Pada tanggal 9 November 1799 (18 Brumaire dari Tahun VIII) Napoleon mengadakan kup yang
melantik Konsulat; secara efektif hal ini memulai kediktatorannya dan akhirnya (1804)
pernyataannya sebagai kaisar, yang membawa mendekati fase republikan spesifik pada masa
Dampak terjadinya revolusi Prancis
Revolusi Prancis memiliki banyak dampak terhadap keberlangsungan pemerintahan Prancis sendiri
maupun terhadap negara lain seperti Indonesia sekalipun belum memiliki bentuk negara. Adapaun
dampak terjadinya revolusi Prancis dapat dibagi menjadi beberapa bidang seperti dibawah ini:

 Bidang Politik

Dengan membaca ulasan di atas tentunya kita dapat memahami dampak apa yang terjadi di bidang
politik dengan adanya revolusi Prancis. Namun tidak ada salahnya jika kita singgung sedikit mengenai
dampak politik tersebut.

Dampa utama yang ditimbulkan revolusi Prancis terhadap sistem politik jelas berupa kekuasaan
absolut yang sangat dikecam oleh rakyat. Lebih dari itu, paham liberal yang muncul dengan adanya
revolusi Prancis sangat pesat menyebar hingga ke penjuru dunia seperti Spanyol, Jerman, Rusia,
Austria, dan Italia. Dengan adanya revolusi Prancis tumbuh pula paham demokrasi, parlementer,
republik, dan lain sebagainya yang tentunya juga mulai tumbuh di negara lain.

 Bidang Sosial
Dalam perjuangan revolusi Prancis jelas dapat kita ketahui bahwa stratifikasi sosial di negara
tersebut dihapuskan, memberikan hak dan kewajiban yang sama terhadap seluruh rakyat serta
memberikan kebebasan dalam menentukan agama, pendidikan, dan pekerjaan.

 Bidang Ekonomi

Dihapusnya sistem gilde, yakni sistem dalam peraturan perdagangan. Dengan dihapusnya sistem ini
maka perdagangan dan industri dapat berkembang dengan cukup baik di Prancis pasca revolusi
Prancis.

Disisi lain kehidupan petani juga memiliki peningkatan, hal ini tidak lain karena dihapusnya pajak
feodal dan selain sebagai penggarap tanah, petani juga diberikan hak untuk memiliki tanah. Dengan
demikian pendapatan dan taraf hidup petani perlahan semakin meningkat.
Pengaruh Revolusi Prancis Terhadap Indonesia
Salah satu wilayah yang terkena dampak positif dari terjadinya revolusi Prancis adalah Indonesia.
Meskipun pada saat itu kedaulatan NKRI dan kemerdekaan Indonesia belum menemu jalannya,
tetapi peristiwa revolusi Prancis memberikan inspirasi bagi para tokoh di Indonesia. Beberapa
paham yang turut dijadikan sebagai motor penggerak massa mencari jalan Indonesia dalam
kebabasan dan kemerdekaan adalah sebagai berikut:

 Paham Nasionalisme

Sebagaimana catatan sejarah yang ada, paham nasionalisme muncul dan berkembang di daratan
Eropa. Setelah adanya revolusi Prancis paham ini menyebar dengan cepat di daratan Asia dan Afrika,
tidak terkecuali Indonesia dalam melawan negara imperialis Barat yang telah lama berkongko di
Indonesia.

Boedi Oetomo adalah salah satu organisasi nasional yang telah mengikuti paham nasionalisme dan
berdiri pada tanggal 20 Mei 1908. Dari organisasi nasional pertama di Indonesia ini kemudian paham
nasionalisme semakin terkenal dan menyebar di Indonesia sehingga bermunculan pergerakan
nasional di Indonesia.

 Paham Demokrasi

Meskipun tidak secara langsung terkena dampak dari terjadinya revolusi Prancis, tetapi secara tidak
langsung paham demokrasi yang mulai muncul di Indonesia pada Abad ke-20 merupakan bukti
menyebarnya paham demokrasi ke seluruh penjuru dunia. Hal ini dibuktikan pada saat pemerintah
Belanda yang pada waktu itu berkuasa di Indonesia memutuskan kaum bumi putera wajib militer
guna memperkuat keamanan. Mendengar keputusan tersebut yang terjadi pada tahun 1916 ini
maka Boedi Oetomo mengirimkan wakilnya yakni Dwidjosewoyo untuk melakukan perundingan dan
negosiasi terhadap para pemimpin Belanda di Indonesia. Dari hasil negosiasi tersebut pemerintah
Belanda tidak jadi memberikan wajib militer bagi penduduk pribumi melainkan diganti dengan
pendirian Volksraad yakni Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda yang diresmikan pada tanggal
16 bulan Desember tahun 1916.

Selain hal tersebut diatas, bukti paham demokrasi muncul di Indonesia setelah adanya revolusi
Prancis ialah adanya tuntutan Indonesia Ber-parlemen. Bentuk perjuangan dan asas yang dianut
dalam sistem parlemen tetunya sedikit banyak terinspirasi oleh perjuangan rakyat Prancis pada
masa revolusi Prancis. Dengan adanya paham ini kemudian partai-partai politik di Indonesia
bergabung membentuk wadah baru yang disebut dengan Gabungan Politik Indonesia atau yang
sering disingkat GAPI. Dalam perjuangannya GAPI menyerukan bahwa Indonesia Berparlemen. Hal
ini dilakukan guna menghindari paham fasisme yang pada saat itu sangat meresahkan dunia
khususnya pada masa perang dunia II.

 Persatuan

Sebagaimana kita ketahui bahwa revolusi Prancis dapat berjalan dengan lancar karena adanya
persatuan dari rakyat-nya. Hal itu pula menginspirasi Indonesia untuk menumbuhkan sikap
persatuan dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Salah satu bukti awal lahirnya persatuan di
Indonesia setelah adanya revolusi Prancis adalah digunakannya bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan. Hal ini diikrarkan oleh para pemuda Indonesia yang kemudian kita kenal dengan “Sumpah
Pemuda”.

Anda mungkin juga menyukai