Anda di halaman 1dari 5

Revolusi Perancis adalah masa dalam sejarah Perancis antara tahun 1789 dan 1799 di mana

para demokrat dan pendukung republikanisme menjatuhkan monarki absolut di Perancis dan
memaksa Gereja Katolik Roma menjalani restrukturisasi yang radikal.

Meski Perancis kemudian akan berganti sistem antara republik, kekaisaran, dan monarki
selama 1 bulan setelah Republik Pertama Perancis jatuh dalam kudeta yang dilakukan oleh
Napoleon Bonaparte, revolusi ini dengan jelas mengakhiri ancien régime (bahasa Indonesia:
Rezim Lama; merujuk kepada kekuasaan dinasti seperti Valois dan Bourbon) dan menjadi
lebih penting daripada revolusi-revolusi berikutnya yang terjadi di Perancis.

Penyebab
Banyak faktor yang menyebabkan revolusi ini. Salah satu di antaranya adalah karena sikap
orde yang lama terlalu kaku dalam menghadapi dunia yang berubah. Penyebab lainnya adalah
karena ambisi yang berkembang dan dipengaruhi oleh ide Pencerahan dari kaum borjuis,
kaum petani, para buruh, dan individu dari semua kelas yang merasa disakiti. Sementara
revolusi berlangsung dan kekuasaan beralih dari monarki ke badan legislatif, kepentingan-
kepentingan yang berbenturan dari kelompok-kelompok yang semula bersekutu ini kemudian
menjadi sumber konflik dan pertumpahan darah.

Sebab-sebab Revolusi Perancis mencakup hal-hal di bawah ini:

 Kemarahan terhadap absolutisme kerajaan.


 Kemarahan terhadap sistem seigneurialisme di kalangan kaum petani, para buruh,
dan—sampai batas tertentu—kaum borjuis.
 Bangkitnya gagasan-gagasan Pencerahan
 Utang nasional yang tidak terkendali, yang disebabkan dan diperparah oleh sistem
pajak yang tak seimbang.
 Situasi ekonomi yang buruk, sebagian disebabkan oleh keterlibatan Perancis dan
bantuan terhadap Revolusi Amerika.
 Kelangkaan makanan di bulan-bulan menjelang revolusi.
 Kemarahan terhadap hak-hak istimewa kaum bangsawan dan dominasi dalam
kehidupan publik oleh kelas profesional yang ambisius.
 Kebencian terhadap intoleransi agama.
 Kegagalan Louis XVI untuk menangani gejala-gejala ini secara efektif.

Aktivitas proto-revolusioner bermula ketika raja Perancis Louis XVI (memerintah 1774-
1792) menghadapi krisis dana kerajaan. Keluarga raja Perancis, yang secara keuangan sama
dengan negara Perancis, memiliki utang yang besar. Selama pemerintahan Louis XV (1715-
1774) dan Louis XVI sejumlah menteri, termasuk Turgot (Pengawas Keuangan Umum 1774-
1776) dan Jacques Necker (Direktur-Jenderal Keuangan 1777-1781), mengusulkan sistem
perpajakan Perancis yang lebih seragam, namun gagal. Langkah-langkah itu mendapatkan
tantangan terus-menerus dari parlement (pengadilan hukum), yang didominasi oleh "Para
Bangsawan", yang menganggap diri mereka sebagai pengawal nasional melawan
pemerintahan yang sewenang-wenang, dan juga dari fraksi-fraksi pengadilan. Akibatnya,
kedua menteri itu akhirnya diberhentikan. Charles Alexandre de Calonne, yang menjadi
Pengawas Umum Keuangan pada 1783, mengembangkan strategi pengeluaran yang terbuka
sebagai cara untuk meyakinkan calon kreditur tentang kepercayaan dan stabilitas keuangan
Perancis.
Namun, setelah Callone melakukan peninjauan yang mendalam terhadap situasi keuangan
Perancis, menetapkan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan, dan karenanya ia mengusulkan
pajak tanah yang seragam sebagai cara untuk memperbaiki keuangan Perancis dalam jangka
panjang. Dalam jangka pendek, dia berharap bahwa dukungan dari Dewan Kaum Terkemuka
yang dipilih raja akan mengemalikan kepercayaan akan keuangan Perancis, dan dapat
memberikan pinjaman hingga pajak tanah mulai memberikan hasilnya dan memungkinkan
pembayaran kembali dari utang tersebut.

Meskipun Callone meyakinkan raja akan pentingnya pembaharuannya, Dewan Kaum


Terkemuka menolak untuk mendukung kebijakannya, dan berkeras bahwa hanya lembaga
yang betul-betul representatif, seyogyanya Estates-General (wakil-wakil berbagai golongan)
Kerajaan, dapat menyetujui pajak baru. Raja, yang melihat bahwa Callone akan menjadi
masalah baginya, memecatnya dan menggantikannya dengan Étienne Charles de Loménie de
Brienne, Uskup Agung Toulouse, yang merupakan pemimpin oposisi di Dewan. Brienne
sekarang mengadopsi pembaruan menyeluruh, memberikan berbagai hak sipil (termasuk
kebebasan beribadah kepada kaum Protestan), dan menjanjikan pembentukan Etats-Généraux
dalam lima tahun, tetapi ssementara itu juga mencoba melanjutkan rencana Calonne. Ketika
langkah-langkah ini ditentang di Parlement Paris (sebagian karena Raja tidak bijaksana),
Brienne mulai menyerang, mencoba membubarkan seluruh "parlement" dan mengumpulkan
pajak baru tanpa peduli terhadap mereka. Ini menyebabkan bangkitnya perlawanan massal di
banyak bagian di Perancis, termasuk "Day of the Tiles" yang terkenal di Grenoble. Yang
lebih penting lagi, kekacauan di seluruh Perancis meyakinkan para kreditor jangka-pendek.
Keuangan Prancis sangat tergantung pada mereka untuk mempertahankan kegiatannya
sehari-hari untuk menarik pinjaman mereka, menyebabkan negara hampir bangkrut, dan
memaksa Louis dan Brienne untuk menyerah.

Raja setuju pada 8 Agustus 1788 untuk mengumpulkan Estates-General pada Mei 1789
untuk pertama kalinya sejak 1614. Brienne mengundurkan diri pada 25 Agustus 1788, dan
Necker kembali bertanggung jawab atas keuangan nasional. Dia menggunakan posisinya
bukan untuk mengusulkan langkah-langkah pembaruan yang baru, melainkan untuk
menyiapkan pertemuan wakil-wakil nasional.

Sejarah
Etats-Généraux 1789

Untuk penjelasan lebih terinci mengenai peristiwa-peristiwa pada 8 Agustus 1788- 17 Juni
1789, lihat Etats-Généraux 1789.

Pembentukan Etats-Généraux menyebabkan berkembangnya keprihatinan pada pihak oposisi


bahwa pemerintah akan berusaha seenaknya membentuk sebuah Dewan sesuai keinginannya.
Untuk menghindarinya, Parlement Paris, setelah kembali ke kota dengan kemenangan,
mengumumkan bahwa Etats-Généraux harus dibentuk sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan dalam pertemuan sebelumnya. Meskipun kelihatannya para politikus
tidak memahami "ketentuan-ketentuan 1614" ketika mereka membuat keputusan ini, hal ini
membangkitkan kehebohan. Estates 1614 terdiri dari jumlah wakil yang sama dari setiap
kelompok dan pemberian suara dilakukan menurut urutan, yaitu Kelompok Pertama (para
rohaniwan), Kelompok Kedua (para bangsawan), dan Kelompok Ketiga (lain-lain), masing-
masing mendapatkan satu suara.
Segera setelah itu, "Komite Tiga Puluh", sebuah badan yang terdiri atas penduduk Paris yang
liberal, mulai melakukan agitasi melawannya, menuntut agar Kelompok Ketiga digandakan
dan pemungutan suara dilakukan per kepala (seperti yang telah dilakukan dalam berbagai
dewan perwakilan daerah). Necker, yang berbicara untuk pemerintah, mengakui lebih jauh
bahwa Kelompok Ketiga harus digandakan, tetapi masalah pemungutan suara per kepala
harus diserahkan kepada pertemuan Etats sendiri. Namun kemarahan yang dihasilkan oleh
pertikaian itu tetap mendalam, dan pamflet-pamflet, seperti tulisan Abbé Sieyès Apakah
Kelompok Ketiga itu? yang berpendapat bahwa ordo-ordo yang memiliki hak-hak istimewa
adalah parasit, dan Kelompok Ketiga adalah bangsa itu sendiri, membuat kemarahan itu tetap
bertahan.

Ketika Etats-Généraux bertemu di Versailles pada 5 Mei 1789, pidato-pidato panjang oleh
Necker dan Lamoignon, yang bertugas menyimpan meterai, tidak banyak membantu untuk
memberikan bimbingan kepada para wakil, yang dikembalikan ke tempat-tempat pertemuan
terpisah untuk membuktikan kredensi para panggotanya. Pertanyaan tentang apakah
pemilihan suara akhirnya akan dilakukan per kepala atau diambil dari setiap orde sekali lagi
disingkirkan untuk sementara waktu, namun Kelompok Ketiga kini menuntut agar
pembuktian kredensi itu sendiri harus dilakukan sebagai kelompok. Namun, perundingan-
perundingan dengan kelompok-kelompok lain untuk mencapai hal ini tidak berhasil, karena
kebanyakan rohaniwan dan kaum bangsawan tetap mendukung pemungutan suara yang
diwakili oleh setiap orde.

Majelis Nasional

Untuk gambaran lebih jelas tentang peristiwa 17 Juni - 9 Juli 1789, lihat Majelis Nasional
(Revolusi).

Pada tanggal 28 Mei 1789, Romo Sieyès memindahkan Estate Ketiga itu, kini bertemu
sebagai Communes (bahasa Indonesia: "Majelis Perwakilan Rendah"), memulai pembuktian
kekuasaannya sendiri dan mengundang 2 estate lainnya untuk ambil bagian, namun bukan
untuk menunggu mereka. Mereka memulai untuk berbuat demikian, menyelesaikan proses itu
pada tanggal 17 Juni. Lalu mereka mengusulkan langkah yang jauh lebih radikal, menyatakan
diri sebagai Majelis Nasional, majelis yang bukan dari estate namun dari "rakyat". Mereka
mengundang golongan lain untuk bergabung dengan mereka, namun kemudian nampak jelas
bahwa mereka cenderung memimpin urusan luar negeri dengan atau tanpa mereka.

Louis XVI menutup Salle des États di mana majelis itu bertemu. Majelis itu memindahkan
pertemuan ke lapangan tenis raja, di mana mereka mereka mulai mengucapkan Sumpah
Lapangan Tenis (20 Juni 1789), di mana mereka setuju untuk tidak berpisah hingga bisa
memberikan sebuah konstitusi untuk Perancis. Mayoritas perwakilan dari pendeta segera
bergabung dengan mereka, begitupun 57 anggota bangsawan. Dari tanggal 27 Juni kumpulan
kerajaan telah menyerah pada lahirnya, meski militer mulai tiba dalam jumlah besar di
sekeliling Paris dan Versailles. Pesan dukungan untuk majelis itu mengalir dari Paris dan kota
lainnya di Perancis. Pada tanggal 9 Juli, majelis itu disusun kembali sebagai Majelis
Konstituante Nasional.

Majelis Konstituante Nasional


Serbuan ke Bastille

Untuk diskusi lebih jelas, lihat Penyerbuan ke Bastille.

Pada tanggal 11 Juli 1789, Raja Louis, yang bertindak di bawah pengaruh bangsawan
konservatif dari dewan kakus umumnya, begitupun permaisurinya Marie Antoinette, dan
saudaranya Comte d'Artois, membuang menteri reformis Necker dan merekonstruksi
kementerian secara keseluruhan. Kebanyakan rakyat Paris, yang mengira inilah mulainya kup
kerajaan, turut ke huru-hara terbuka. Beberapa anggota militer bergabung dengan khalayak;
lainnya tetap netral.

Pada tanggal 14 Juli 1789, setelah pertempuran 4 jam, massa menduduki penjara Bastille,
membunuh gubernur, Marquis Bernard de Launay, dan beberapa pengawalnya. Walaupun
orang Paris hanya membebaskan 7 tahanan; 4 pemalsu, 2 orang gila, dan seorang penjahat
seks yang berbahaya, Bastille menjadi simbol potensial bagi segala sesuatu yang dibenci di
masa ancien régime. Kembali ke Hôtel de Ville (balai kota), massa mendakwa prévôt des
marchands (seperti walikota) Jacques de Flesselles atas pengkhianatan; pembunuhan
terhadapnya terjadi dalam perjalanan ke sebuah pengadilan pura-pura di Palais Royal.

Raja dan pendukung militernya mundur turun, setidaknya sejak beberapa waktu yang lalu.
Lafayette menerima komando Garda Nasional di Paris; Jean-Sylvain Bailly, presiden Majelis
Nasional di masa Sumpah Lapangan Tenis, menjadi walikota di bawah struktur baru
pemerintahan yang dikenal sebagai commune. Raja mengunjungi Paris, di mana, pada tanggal
27 Juli, ia menerima kokade triwarna, begitupun pekikan vive la Nation "Hidup Negara"
diubah menjadi vive le Roi "Hidup Raja".

Namun, setelah kekacauan ini, para bangsawan, yang sedikit terjamin oleh rekonsiliasi antara
raja dan rakyat yang nyata dan, seperti yang terbukti, sementara, mulai pergi dari negeri itu
sebagai émigré, beberapa dari mereka mulai merencanakan perang saudara di kerajaan itu
dan menghasut koalisi Eropa menghadapi Perancis.

Necker, yang dipanggil kembali ke jabatannya, mendapatkan kemenangan yang tak


berlangsung lama. Sebagai seorang pemodal yang cerdik namun bukan politikus yang lihai, ia
terlalu banyak meminta dan menghasilkan amnesti umum, kehilangan sebagian besar
dukungan rakyat dalam masa kemenangannya yang nyata.

Menjelang akhir Juli huru-hara dan jiwa kedaulatan rakyat menyebar ke seluruh Perancis. Di
daerah pedesaan, hal ini ada di tengah-tengah mereka: beberapa orang membakar akta gelar
dan tak sedikit pun terdapat châteaux, sebagai bagian pemberontakan petani umum yang
dikenal sebagai "la Grande Peur" (Ketakutan Besar).

Penghapusan feodalisme

Pada tanggal 4 Agustus 1789, Majelis Nasional menghapuskan feodalisme, hak ketuanan
Estate Kedua dan sedekah yang didapatkan oleh Estate Pertama. Dalam waktu beberapa jam,
sejumlah bangsawan, pendeta, kota, provinsi, dan perusahaan kehilangan hak istimewanya.

Sementara akan ada tanda mundur, penyesalan, dan banyak argumen atas rachat au denier 30
("penebusan pada pembelian 30 tahun") yang dikhususkan dalam legislasi 4 Agustus,
masalah masih mandek, meski proses penuh akan terjadi di 4 tahun yang lain.

Dekristenisasi

Untuk diskusi lebih jelas, lihat Dekristenisasi Perancis selama Revolusi Perancis.

Revolusi membawa perubahan besar-besaran pada kekuasaan dari Gereja Katolik Roma
kepada negara. Legislasi yang berlaku pada tahun 1790 menghapuskan otoritas gereja untuk
menarik pajak hasil bumi yang dikenal sebagai dîme (sedekah), menghapuskan hak khusus
untuk pendeta, dan menyita kekayaan geraja; di bawah ancien régime, gereja telah menjadi
pemilik tanah terbesar di negeri ini. Legislasi berikutnya mencoba menempatkan pendeta di
bawah negara, menjadikannya pekerja negeri. Tahun-tahun berikutnya menyaksikan
penindasan penuh kekerasan terhadap para pendeta, termasuk penahanan dan pembantaian
para pendeta di seluruh Perancis. Concordat 1801 antara Napoleon dan gereja mengakhiri
masa dekristenisasi dan mendirikan aturan untuk hubungan antara Gereja Katolik dan Negara
Perancis yang berlangsung hingga dicabut oleh Republik Ketiga pada pemisahan gereja dan
agama pada tanggal 11 Desember 1905.

Anda mungkin juga menyukai