Anda di halaman 1dari 162

MODUL 1

ILMU DAN FILSAFAT ILMU


A. Pendahuluan
Dalam ruang dan waktu kehidupan, manusia senantiasa dihadapkan dengan berbagai
permasalahan. Gabriel Marcel menyebut manusia sebagai makhluk problematik karenanya.
Dalam rangka menghadapi realitas di hadapannya, manusia berusaha menjawab, menafsirkan,
memaknai, mengolah, dan hidup bersama berbagai permasalahan yang ada. Dalam rangka hal
tersebut, ilmu menjadi amat penting maknanya. Berbagai macam ilmupun bermunculan seiring
meningkatnya keingintahuan, kebutuhan, dan ketidakpuasan manusia terhadap hidup dan
kehidupan.
Ilmu akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya, relevan
implementasinya, serta efektif dan efisien metode atau cara-cara pelaksanaannya hanya apabila
dilaksanakan dengan mengacu pada suatu landasan yang kokoh. Dalam rangka hal inilah, filsafat
ilmu dibutuhkan sebagai kajian yang bersifat komprehensif dan ‘substansial’ dalam arti
memandang objek kajian dari segi hakikinya (mendalam dan terkait dengan intisari/esensi).
Ketika ilmu dikaji dalam ranah filsafat ini, maka orientasi aktivitas disiplin filsafat ilmu adalah
juga mengungkap berbagai permasalahan pokok ilmu dari sudut pandang komprehensif dan
substansial. Tentu saja dibutuhkan sistem penalaran yang sistematis dan valid agar
pengungkapan berbagai permasalahan pokok ilmu tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Untuk
itu, logika sebagai cara penalaran yang tepat, selalu melekat dalam setiap kegiatan penalaran-
keilmuan.
Bahan ajar mandiri ini akan membantu Anda untuk memahami konsep landasan dan
penalaran yang tepat dalam keilmuan. Dengan mempelajari bahan ajar mandiri ini pada akhirnya
Anda akan dapat mengidentifikasi dasar-dasar/landasan penelaahan ilmu serta sistem
penalarannya, yang akan mengembangkan wawasan keilmuan dan akan berfungsi sebagai titik
tolak dalam rangka implementasi kritis pengembangan sistem keilmuan yang clear and distinct
untuk berbagai kebutuhan aplikatif.

B. Petunjuk Penggunaan
Modul ini mengajak Anda untuk memahami tentang filsafat yang mendasari penelaahan
keilmuan serta logika yang menjernihkan cara bernalar untuk sampai pada hasil berpikir yang

1
valid dan bisa dipertanggungjawabkan. Supaya Anda dapat menguasai modul ini dengan baik,
kegiatan belajar yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Sebelum membaca bahan ajar mandiri ini, pelajari terlebih dahulu glosarium pada akhir bahan
ajar mandiri yang memuat istilah-istilah khusus yang digunakan dalam bahan ajar mandiri ini.
2. Baca materi bahan ajar mandiri dengan seksama, tambahkan catatan pinggir, berupa tanda
tanya, pertanyaan, konsep lain yang relevan, dll sesuai pemikiran yang muncul. Dalam
menjelaskan suatu konsep atau asas, seringkali digunakan istilah dan diberikan contoh,
pahami hal tersebut sesuai konteks pembahasannya.
3. Terdapat keterkaitan antara materi sub pokok bahasan kesatu (kegiatan pembelajaran satu)
dengan materi sub pokok bahasan kedua (kegiatan pembelajaran kedua) dst. Materi pada
kegiatan pembelajaran kesatu berimplikasi terhadap materi kegiatan pembelajaran kedua dst.
Karena itu untuk menguasai keseluruhan materi bahan ajar mandiri ini mesti dimulai dengan
memahami secara berurutan materi bahan ajar mandiri pada setiap sub pokok bahasan yang
disajikan pada kegiatan pembelajaran satu s.d. kegiatan pembelajaran tiga secara berurutan.
4. Cermati dan kerjakan latihan/tugas yang diberikan. Dalam mengerjakan latihan/tugas tersebut,
gunakan pengetahuan yang telah Anda kuasai sebelumnya. Pengetahuan dan penghayatan
berkenaan dengan pengalaman hidup Anda sehari-hari akan dapat membantu penyelesaian
tugas.
5. Kerjakan tes formatif seoptimal mungkin.

Kegiatan Belajar 1
PEMAHAMAN UMUM FILSAFAT

A. Mengapa (Mahasiswa) Butuh Filsafat?


Filsafat di kalangan masyarakat akademis lebih dicirikan sebagai disiplin ilmu yang
pembahasannya cenderung abstrak dan hampir bisa dikatakan tidak ada ruang untuk
pemanfaatan secara praktis/langsung kecuali untuk kepentingan analisis dan pengembangan
keilmuan di dunia akademis. Filsafat “akademis” ini (untuk menghindari penunjukan filsafat
sebagai sejenis way of live) diperkenalkan dan memperkenalkan diri kepada para akademisi
untuk menjawab berbagai permasalahan substansial yang berada “di luar” kompetensi akademik-
keilmuan khusus. Seorang matematikus (sebutan untuk pakar matematika) berjibaku dengan

2
filsafat ketika mulai mempertanyakan misalnya penjelasan kemungkinan keteraturan alam
semesta didukung oleh keajegan tata bilangan; atau, klarifikasi bahwa kepastian dalam
matematika pun sebenarnya mengandung ketidakpastian tidak terhingga.
Louis O. Kattsoff menyebut “ketidakpraktisan” filsafat ini dengan ungkapan “filsafat tidak
membuat roti”. Secara positif, dari ungkapan Kattsoff ini dapat diilustrasikan lebih lanjut bahwa
“membuat roti” merupakan muara hampir semua disiplin ilmu-ilmu khusus untuk menunjukkan
peran praktis ilmu dalam rangka mengoptimalkan kerja otak dengan berorientasi pada
kebermanfaatannya bagi kehidupan manusia dalam menghadapi realitas. Apakah kemudian bisa
dikatakan bahwa filsafat tidak memiliki nilai kemanfaatan? Apakah benar sindiran sebagian
kalangan yang menyebut filsafat sebagai “kesibukan yang sia-sia”? Atau, dalam koridor agama,
filsafat justru menyesatkan spiritualitas-religius manusia?
Filsafat memang tidak membuat roti, tetapi berperan dalam mempersiapkan tungkunya,
membersihkan wadah rotinya, apapun yang bisa dikategorikan sebagai “persiapan mendasar”
dalam membuat roti. William Durrant, senada dengan Kattsoff, mengilustrasikan filsafat sebagai
pasukan marinir yang turun mendahului pasukan infanteri lain (ilmu-ilmu khusus) untuk
mengamankan teritori wilayah yang hendak diserbu. Ilustrasi tersebut dapat mengilhami
pembaca, bahwa ilmu dalam menciptakan kreasi-kreasi ilmiahnya sebenarnya berawal dan
berproses dari kejernihan dasar-dasar filosofis yang melandasinya.
Filsafat adalah perenungan. Setiap makhluk rasional memiliki kemampuan mandiri, sangat
subjektif, dan – oleh karenanya – bebas ini. Perenungan tentang angka, sebagai contoh,
membawa Sang Perenung ke pengembaraan (hampir) tiada batas, dengannya alam semesta
dengan kasalinghubungan rumitnya dirajut dalam pemahaman angka-angka. Sang Perenung ini
salah satunya bernama Phythagoras, Matematikus-Filsuf yang memiliki pengaruh luar biasa
berkat perenungan-perenungannya tentang angka dan geometri. Sebenarnya mahasiswa ekonomi
abad ke-21 ini – sebutlah Eko - juga bisa dan mampu merenungkan angka, dan secara mandiri
melepaskan kungkungan teori-teori matematika atau ekonomi apapun untuk sampai pada sebutan
pemikiran yang “filosofis” melampaui kompetensi ekonomi atau matematika. Tetapi untuk
menjadi seorang tokoh pemikir, tentu dibutuhkan pengakuan dan penobatan yang berasal dari
masyarakat ilmiah terhadap buah hasil perenungannya: Eko harus mempublikasikan tulisannya,
mendeseminasikan penelitiannya, dan memperdebatkan hasil perenungannya tentang angka ini di
hadapan masyarakat ilmiah.

3
Perenungan filosofis yang sangat subjektif dan mandiri, pada saatnya harus dibawa ke
tahapan asumsi, percobaan, pembuktian, penalaran argumentatif, pemodifikasian, bahkan
penyangkalan dan segenap proses-proses “objektif” dan “intersubjektif” untuk sampai pada
puncak capaian penalaran intelektual: entah sebagai suatu teori, ajaran kebijaksanaan, hukum,
ilmu baru, atau aliran filsafat baru. Pada kenyataannya, berfilsafat yang berangkat dari ketiadaan
konsep, adalah non-sense. Perenungan filosofis harus mengandaikan adanya konsep yang
disepakati oleh Sang Perenung itu sendiri tentang yang direnungkannya. Merenungkan angka,
berarti menyepakati konsep tertentu tentang apa itu angka, seberapapun minim kriteria konsep
itu. Di level kesadaran reflektif, sesungguhnya perenungan filosofis bisa diartikan sebagai
“klarifikasi dan justifikasi” (hardman dan Jones,...) yang fokus pada suatu konsep dan berakhir
pada suatu konsep.
Lingkaran perenungan dari konsep ke konsep ini tentu bukan berarti mengafirmasi
pendapat betapa sia-sianya berfilsafat. Konsep awal berbeda dengan konsep terakhir hasil
perenungan. Perenungan tentang angka niscaya berakhir tentang angka juga, namun dengan isi
dan konsekuensi yang lebih berisi dan lebih mendalam. Dengan bahasa yang disipliner, hal ini
mengisyaratkan metafisika/ontologi sebagai langkah awal dilanjutkan dengan epistemologi dan
darinya muncul konsekuensi aksiologis.
Meskipun demikian sejak akhir abad ke-20 sudah mulai muncul geliat para sarjana dan
praktisi filsafat untuk meluruskan dan memberikan tekanan praktis terhadap filsafat.
Kemampuan retorika yang merupakan konsekuensi penguasaan substansi dan kejelasan
argumentasi, merupakan salah satu aspek praktis filsafat yang sempat menarik perhatian
beberapa selebritis. Lou Marinoff adalah contoh salah seorang dari praktisi filsafat ini yang
berusaha “membumikan” filsafat (bisa dilihat dalam buku The Consolations of Philosophy dan
Plato Not Prozac: Applying Philosophy to Everyday Problems) yang pada intinya memotivasi
praktisi filsafat seluruh dunia untuk menerapkan filsafat sebagai terapi (konseling filsafat) untuk
menangani problem keseharian.
Pembelajaran filsafat (dengan berbagai tema, misalnya filsafat ilmu, filsafat pendidikan,
dan sebagainya) meskipun sudah diampu/dibimbing oleh dosen dengan kompetensi keilmuan
filsafat, peluang untuk “membingungkan” cenderung tinggi, khususnya perkuliahan filsafat
untuk mahasiswa dengan kompetensi utama kesarjanaannya non-filsafat. Hal ini tidak hanya
terkait dengan tingkat pemahaman logika mahasiswa sebagai syarat kognitif utama perkuliahan

4
filsafat, namun salah satunya juga dipengaruhi oleh model penyampaian materi oleh dosen.
Selain itu, bahan perkuliahan filsafat (khususnya karya-karya para filsuf) memang bertaburan
istilah-istilah yang sering sukar dipahami. Hal ini juga menjadi salah satu alasan, mengapa
disiplin filsafat tidak disarankan untuk diberikan sebagai bahan pembelajaran di sekolah
menengah atau dasar (meskipun dimungkinkan dengan berbagai pendekatan yang hati-hati).
Keterampilan berlogika dan frekuensi untuk membaca bacaan-bacaan yang mendukung memang
sangat disyaratkan agar mempermudah mahasiswa mengikuti perkuliahan filsafat. Buku ini
menyumbang upaya pengayaan bacaan filsafat.
Manfaat apa yang bisa dipetik dari belajar filsafat, termasuk untuk mahasiswa yang tidak
berada di jurusan/fakultas filsafat? Hasilnya tentu tidak dapat diukur. Seorang dosen bernama N.
Ferre yang sudah 30 tahun lebih mengajar filsafat di Amerika Serikat mengatakan: “as a whole
those who had studied philosophy in college were better equipped to handle advanced thinking
than those who had not”. Studi filsafat dapat mempersiapkan mahasiswa dari kompetensi
keilmuan apapun untuk “handle advanced thinking”. Mereka sanggup menempatkan problem-
problem yang harus ditangani dalam konteks yang lebih luas dan lebih mendalam. Mereka lebih
gampang menangkap inti persoalan dan tahu bagaimana membedakan hal penting dari hal-hal
sampingan. Mereka lebih peka terhadap nuansa-nuansa. Mereka lebih sanggup merumuskan
permasalahan dengan lebih jelas. Pendek kata, walaupun studi filsafat tentu belum menjamin
jawaban yang tepat bagi semua problem yang dihadapi, namun seringkali ia dapat membantu
menilai dan mensituasikan problem-problem konkrit dengan lebih tepat dan matang. Kata John
Henry Newman, filsafat dapat menghasilkan “education of mind” (Bertens, 2005: 20). Saran
Bertens kemudian, dosen pengajar filsafat tidak perlu memaksa mahasiswa segera menangkap
relevansi dari pengajaran filsafat.
Belajar filsafat berarti belajar menangkap esensi-esensi dari apapun topik pembicaraannya.
Belajar filsafat – meminjam istilah Damardjati Supadjar - merupakan suatu langkah
“nawangsari”, menerawang sari/inti/esensi, melaluinya subjek menemukan dirinya bersama-
sama dengan dunianya dalam suatu radikalitas pemahaman yang utuh dan menyeluruh.
Penjelasan tentang hal-hal ini bisa didalami di bagian-bagian berikutnya bab ini.
Istilah Filsafat (Indonesia) bisa dilacak etimologinya dari istilah Arab falsafah, atau bahasa
Inggris philosophy yang berasal dari bahasa Yunani, philosophia yang terbentuk dari dua akar
kata: philein (mencintai) dan sophos (bijaksana), atau juga philos (teman) dan sophia

5
(kebijaksanaan). Filsafat adalah “love of wisdom”, cinta kebijaksanaan. Orang yang cinta kepada
pengetahuan atau kebijaksanaan disebut filsuf (Indonesia), philosopher (Inggris), failasuf (Arab),
atau seperti yang disebutkan Pythagoras (572-497 SM) dalam bahasa Yunani Kuno, philosophos
(lover of wisdom). Sesuatu ungkapan atau teks yang berbicara dalam konteks filsafat, diistilahkan
sebagai “filosofis (philosophical)”.
Tidak jarang ditemui penggunaan kata “pandangan hidup” (worldview), atau “hikmah”
(dalam arti yang sejenis wisdom). Menarik juga untuk dicatat bahwa kata "hikmat" bahasa
Inggerisnya adalah "wisdom", dengan akar kata "wise" atau "wissen" (bahasa Jerman) yang
artinya mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah "viten", yang memiliki akar sama dengan
kata bahasa Sansekerta "vidya" yang diindonesiakan menjadi "widya". Kata itu dekat dengan
kata "widi" dalam "Hyang Widi" = Tuhan. Kata "vidya" pun dekat dengan kata Yunani "idea",
yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh para filsuf
sepanjang segala abad.
Filsafat sejati selamanya akan terus mencari kebijaksanaan tanpa kenal lelah. Aktivitas
yang khusus bagi filsafat adalah bertanya. Dengan berfilsafat, seseorang tidak memperoleh
pengetahuan (erudition) namun hanya memperdalam ketidaktahuan saja. Filsafat, meminjam
istilah Nicolaus Cusanus, mengantar kita kepada docta ignorantia (ketidaktahuan yang
terpelajar). Contoh historis tentang konsepsi filsafat ini adalah Socrates, bagaimana ia
mempraktekkan seni kebidanan (maieutika techne) hanya dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan terus menerus. Perlu diakui bahwa dalam sejarah filsafat modern justeru filsuf-filsuf
yang membaharui pemikiran filosofis seringkali tidak harus dicari dari kalangan akademis,
misalnya dari seorang profesor filsafat. Immanuel Kant yang berstatus profesor filsafatpun,
mengembangkan pemikiran barunya yang sangat berpengaruh di luar jalur akademis resmi. Kant
berujar "tidak mungkin orang belajar filsafat; orang hanya dapat belajar berfilsafat”. Apabila
orang yang ahli filsafat dalam arti menguasai sistem-sistem, konsep-konsep, dan diskusi-diskusi
menyangkut filsafat disebut filsuf, lebih tepatnya filsuf akademis, tetapi filsuf akademis atau
profesor filsafat belum tentu sama dengan filsuf sejati: “terdapat jauh lebih banyak profesor
filsafat daripada filsuf” (Bertens, 2005: 16-17).
Karl Popper (1902-?) menulis "semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah
satu sikap terhadap hidup dan kematian. Ada yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga,
karena hidup itu akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat

6
dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup adalah tanpa harga;
bahwa bahaya yang selalu hadir yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-kurangnya
ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari hidup". Mengingat berfilsafat adalah berfikir
tentang hidup, dan "berfikir" = "to think" (Inggeris) = "denken" (Jerman), maka - menurut
Heidegger (1889-1976 ), dalam "berfikir" sebenarnya kita "berterimakasih" = "to thank"
(Inggeris) = "danken" (Jerman) kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan
yang diberikan kepada kita.
Dardiri (1986: 10) cenderung membicarakan arti filsafat dari dua segi, segi pengetahuan
dan segi aktivitas akal manusia. Dari segi pengetahuan filsafat adalah jenis pengetahuan yang
berusaha mencari hakikat dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan bila dilihat dari segi aktivitas
akal, filsafat adalah suatu aktivitas akal manusia yang secara radikal hendak mencari keterangan
terdalam segala sesuatu yang ada. Menurut hemat penulis, pemahaman di bidang filsafat juga
bisa ditengarai dalam tiga hal: filsafat dipahami sebagai metode penalaran, filsafat sebagai
pandangan hidup/sikap, dan filsafat sebagai produk atau karya filsuf-filsuf terdahulu (teori atau
sistem pemikiran). Sedangkan Harold H. Titus (dalam Dardiri, 1986: 11) mewanti-wanti agar
dalam mendefinisikan filsafat perlu dilihat juga filsafat sebagai kumpulan masalah. Artinya, para
filsuf sejak dahulu sampai sekarang bergumul dengan persoalan-persoalan seperti kebenaran,
keadilan, dan keindahan. Filsafat sebagai kumpulan masalah ini mengafirmasi pendapat Gabriel
Marcel bahwa manusia adalah makhluk problematik, makhluk yang senantiasa berhadapan
dengan berbagai permasalahan.

Gambar 1.1. The Death of Socrates.

7
Lukisan terkenal Jacques Louis David yang menlukiskan kisah terkenal filsafat tentang kesetiaan kepada
kebenaran sebagaimana dilakukan Socrates.

Justeru karena dilatarbelakangi oleh kodrat sebagai makhluk problematik ini, manusia
dengan akalnya homo viator, peziarah di muka bumi. Kodrat sebagai pengelana ini pada
gilirannya menempatkan pengetahuan sebagai bekal paling penting; inilah manusia sebagai homo
sapiens, atau kata Aristoteles, manusia sebagai animal rational, makhluk yang berpikir, makhluk
rasional. Kedewasaan seorang manusia, berbanding lurus dengan kemampuannya mengurai dan
mengatasi berbagai permasalahan dengan mengedepankan rasio sebagai instrumen analisator
utamanya.
Pemahaman kodrat diri ini mengindikasikan pentingnya filsafat sebagai disiplin yang
acapkali mempersoalkan hal-hal mandasar seperti “siapa aku?”, “untuk apa aku hidup?”,
“apakah Tuhan benar-benar ada?”, dan berbagai persoalan eksistensial lain yang selalu relevan
dipertanyakan sepanjang peradaban manusia. Filsafat membantu seseorang mengerti tentang diri
sendiri dan dunia, karena filsafat mengajarkan bagaimana bergulat dengan pertanyaan-
pertanyaan mendasar seperti tersebut di atas.
Pergulatan yang berupa pemikiran/permenungan/refleksi dalam menghadapi realitas yang
merupakan medan raksasa permasalahan tersebut, mengarahkan pendefinisian filsafat yang
berbeda dari disiplin pengetahuan tentang realitas lainnya (seperti ilmu, agama, atau seni).
Secara terminologis, penulis menggunakan definisi filsafat sebagai
kegiatan/hasil pemikiran/permenungan mendalam dan radikal yang menyelidiki
sekaligus mendasari segala sesuatu yang berfokus pada makna di balik kenyataan/teori
yang ada untuk disusun dalam sebuah sistem pengetahuan rasional.

Perenungan kefilsafatan merupakan percobaan untuk menyusun sebuah sistem


pengetahuan rasional yang memadai untuk memahami dunia maupun diri sendiri. Filsafat adalah
scientia rerum per causas ultimas -- pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-
musabab yang paling dalam.
Terlepas dari pandangan awam tentang filsafat, sebenarnya secara historis filsafat
menempati posisi penting bagi kemunculan ilmu-ilmu khusus. Kelahiran filsafat di Miletos,
Yunani Kuno di sekitar abad ke-6 SM dicatat sejarah sebagai fajar baru penekanan rasionalitas
(dan menggeser tradisi mitos) dalam menjelaskan permasalahan sehari-hari. Ilmu-ilmu lain
muncul kemudian sebagai kebutuhan spesifikasi penyelidikan filosofis yang amat beragam. Oleh

8
karena itu, filsafat sering disebut sebagai mother of science (induknya ilmu). Secara singkat,
filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut
“sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus bermula sebagai bagian dari filsafat; dan
disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-
batas dari kekhususannya.
Dalam koridor akademis modern, belajar filsafat bisa dengan tiga kategori:
1. dalam konteks historis – berdasar kurun waktu tertentu
2. dalam konteks sistematis – spesialisasi cabang-cabang filsafat tertentu
3. Belajar prinsip-prinsip filsafat – pola yang digunakan.

B. Pengetahuan Sebagai Ciri Khas Manusia


Berpikir merupakan lambang kemanusiaan, hal yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya, dengan pembeda itu manusia menjadi makhluk istimewa: bisa memilih, tidak
demikian saja patuh pada kehendak alam. Patung visualisasi manusia yang sedang berpikir karya
Auguste Rodin, merupakan patung monumental yang menandakan keunggulan homo sapiens.
Proses berpikir manusia ini seakan-akan tidak pernah ada habisnya kecuali kesadaran terrenggut
dari manusia. Menurut Theo Huijbers (dalam Heri dan Listiyono, 2003: 2), berpikir didefinisikan
sebagai kemampuan manusia untuk mencari arti bagi realitas yang muncul di hadapan
kesadarannya dalam pengalaman dan pengertian. Tak heran bila abstraksi Aristoteles
menorehkan julukan bagi manusia: animal rationale.
Proses berpikir ini pada akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa
pengetahuan. Pada akhirnya, manusia mendapat pengertian-pengertian tentang segala yang
dicerapnya, sehingga dapat dipahami bahwa ilmu muncul dari pengetahuan yang khas, yang
merupakan tujuan dari proses berpikir manusia (entah tujuan itu disadari atau tidak). Namun
perlu digarisbawahi bahwa tidak setiap pengetahuan itu berbuah ilmu. Pengetahuan (knowledge)
lebih luas cakupannya dari ilmu (science). Menurut Abbas H.M. (1980: 13), pengetahuan terbagi
menjadi tiga jenis:
1. Pengetahuan prailmiah atau pengetahuan biasa (ordinary knowledge, common sense, biasanya
hanya disebut pengetahuan) yaitu suatu pengetahuan yang muncul karena kegiatan akal sehat
manusia dalam menanggapi apa yang ada dihadapan kesadarannya.

9
2. Pengetahuan ilmiah (science, scientific knowledge, biasa disebut ilmu), yang lebih sempurna
dari pada pengetahuan biasa karena mempunyai dan memenuhi syarat-syarat tertentu dengan
cara berpikir yang khas, yakni dengan metode ilmiah.
3. Pengetahuan filsafat (philosophical knowledge), yaitu pengetahuan yang isinya hal-hal yang
bersifat dasariah, hakiki, dari objek yang dipikirkan.
Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan
metode keilmuan. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama hal itu terbatas
pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan menggunakan metode keilmuan,
sah disebut keilmuan. Kata-kata sifat keilmuan lebih mencerminkan hakikat ilmu daripada istilah
ilmu sebagai kata benda. Hakikat keilmuan ditentukan oleh cara berpikir yang dilakukan
menurut syarat keilmuan, yaitu bersifat terbuka dan menjunjung kebenaran di atas segala-
galanya (Jujun, 1986: 9). Pembeda antara ilmu dengan pengetahuan biasa adalah metode.
Sedangkan pembeda antara ilmu atau pengetahuan biasa dengan filsafat, selain metode, juga
dilihat dari sifat pokok kajian atau isinya.

C. Objek, Tujuan, Persoalan, dan Aliran Filsafat


Sebagian tulisan di bagian ini (dan di bagian-bagian berikutnya) diambil dari Buku
Penulis “Filsafat Ilmu: Kajian Ontologis, Epsstemologis, dan Aksiologis” (2005). Secara garis
besar, untuk memahami filsafat ilmu maka dibutuhkan pengertian yang jelas terlebih dahulu
tentang “apa itu filsafat” sebagai istilah kunci untuk mengkaji istilah berikutnya yakni “ilmu”.
Objek, tujuan, persoalan, dan aliran filsafat merupakan sebagian dari upaya untuk memahami
“apa itu filsafat” secara klasik.
Objek material Filsafat adalah segala sesuatu yang ada. “Ada” itu sendiri dapat dipilah
dalam tiga kategori (lihat Dardiri, 1986: 13): (a) tipikal/sungguh-sungguh ada dalam kenyataan
(misalnya meja yang tampak nyata sekarang dan di sini); (b) ada dalam kemungkinan (misalnya
munculnya buah dari bibit); dan (c) dalam pikiran/konsep (misalnya angka). Segala yang ada itu
sendiri secara konkret mencakup tiga sasaran: Tuhan, alam semesta, dan manusia. Oleh karena
itu, objek filsafat merentang luas, hanya dibatasi oleh cakrawala pemikiran terhadap
permasalahan yang menampak. Persinggungan filsafat dengan disiplin ilmu khusus terkait
dengan objek material ini.

10
Dua atau lebih disiplin keilmuan yang memiliki objek material yang sama (misalnya
filsafat manusia dengan Ilmu Keolahragaan sama-sama membicarakan manusia) dibedakan dari
objek formal masing-masing disiplin ilmu. Objek formal filsafat adalah hakikat
terdalam/substansi/esensi/intisari. Berdasarkan objek material dan formal ini, filsafat bisa
diartikan sebagai hasil pemikiran manusia untuk memahami dan mendalami secara radikal dan
integral serta sistematis hakikat semua yang ada serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari
pemahaman ini. Filsafat mengkaji hakikat segala sesuatu yang ada. Tujuan Filsafat secara
sederhana adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik
dan menilai pengetahuan ini, menemukan hakikat kebenarannya dan menerbitkan serta mengatur
semua itu dalam bentuk yang sistematis.
Objek yang dikaji filsafat mencakup semua yang ada dan ditelaah sampai ke hakikatnya.
Tetap saja objek ini bersangkutan dengan fakta-fakta yang ada. Filsafat membicarakan fakta
dengan dua cara: (1). mengajukan kritik atas makna yang dikandung fakta; (2). menarik
kesimpulan yang bersifat umum dari fakta. Penggolongan fakta-fakta yang ada pada gilirannya
menentukan jenis-jenis persoalan filsafat, dan ini menjadi sumber dari munculnya aliran-aliran
dan pencabangan-pencabangan filsafat.
Jenis-jenis persoalan filsafat secara umum dipilah menjadi tiga (Tim Dosen Filsafat Ilmu
UGM, 2001: 12):
A. Keberadaan (being) atau eksistensi (exixtence) yang melahirkan cabang Metafisika
B. Pengetahuan (knowledge) atau kebenaran (truth) cabang Epistemologi dan Logika
C. Nilai-Nilai (values) yang melahirkan cabang Etika (kebaikan) dan Estetika (keindahan)
Pemahaman terhadap masing-masing cabang utama filsafat ini (metafisika, epistemologi,
logika, etika, dan estetika) menjadi penting bila dikaitkan dengan kebutuhan ilmu-ilmu khusus
dewasa ini untuk mendasari pengembangan teori dan aplikasi keilmuannya sekaligus memetakan
pola pemikiran di dalamnya. Berikut ini satu persatu cabang filsafat dibahas secara ringkas.
1. Metafisika
Istilah metafisika berasal dari Yunani, meta ta physika yang berarti sesuatu yang ada di
belakang benda-benda fisik. Metafisika merupakan studi tentang sifat yang terdalam (ultimate
nature) dari kenyataan/keberadaan. Persoalan-persoalan metafisis dibedakan menjadi tiga:
a. Persoalan Ontologis
1) Makna dan penggolongan “ada”, “eksistensi”.

11
2) Sifat dasar kenyataan atau keberadaan
b. Persoalan Kosmologis
1) Asal mula, perkembangan, struktur/susunan alam
2) Jenis keteraturan yang ada di alam
3) Hubungan kausalitas
4) Permasalahan ruang dan waktu
c. Persoalan Antropologis
1) Hubungan tubuh dan jiwa
2) Kesadaran, kebebasan
2. Epistemologi
Sering juga disebut theory of knowledge. Epistemologi secara harfiah berarti ilmu tentang
pengetahuan, yang diasalkan dari akar katanya Episteme = pengetahuan; dan logos = ilmu.
Epistemologi mempelajari asal muasal/sumber, struktur, metode, dan validitas pengetahuan,
yang kesemuanya bisa dikembalikan untuk menjawab pertanyaan: “Apa yang dapat saya
ketahui?”. Beberapa hal yang dibahas oleh epistemologi:
1) Bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu
2) Perbedaan pengetahuan apriori dengan pengetahuan aposteriori
3) Pemakaian dan validitas metode dalam penelitian ilmiah
4) Pohon keilmuan
3. Logika
Logika berasal dari akar kata logos yang bermakna nalar, kata, teori, uraian,atau ilmu.
Secara singkat logika berarti ilmu, kecakapan, atau alat untuk berpikir secara lurus. Objek yang
dikaji oleh logika adalah bagaimana berpikir secara lurus. Oleh karena itu, logika terkait erat
dengan hal-hal seperti pengertian, putusan, penyimpulan, silogisme, logika induksi dan deduksi,
logika material dan formal. Beberapa hal yang dibahas logika:
1) Bagaimana manusia berpikir secara lurus?
2) Perbedaan logika material dan formal
3) Penerapan logika induksi dan deduksi
4) Macam-macam sesat pikir
4. Etika (Filsafat Moral)

12
Secara etimologi, etika berasal dari kata Yunani ethos = watak. Objek material etika
adalah perbuatan atau perilaku manusia secara sadar dan bebas; sedangkan objek formalnya
adalah baik dan buruk atau bermoral dan tidak bermoral dari tingkah laku tersebut. Persoalan-
persoalan dalam etika di antaranya:
1) Syarat baik-buruknya perilaku
2) Hubungan kebebasan berkehendak dengan perbuatan susila
3) Kesadaran moral, hati nurani
4) Pertimbangan moral dan pertimbangan yang bukan moral
5. Estetika (Filsafat Keindahan)
Secara etimologi, estetika berasal dari kata Yunani aisthesis = cerapan indera. Estetika
merupakan kajian filsafati tentang keindahan dan kejelekan. Persoalan-persoalan estetika
diantaranya:
1) Arti keindahan
2) Subjektivitas, objektivitas, dan ukuran keindahan
3) Peranan keindahan dalam kehidupan
4) Hubungan keindahan dengan kebenaran
Persoalan keberadaan, pengetahuan, dan nilai-nilai selain melahirkan cabang-cabang filsafat
juga menimbulkan aliran-aliran kefilsafatan. Dalam sejarah filsafat, hal ini lebih dimaknai
sebagai pengklasifikasian pola-pola pemikiran tertentu. Namun untuk pengembangan keilmuan
ke depan, aliran-aliran ini lebih diarahkan sebagai kecenderungan-kecenderungan pemikiran dan
pengembangan keilmuan yang ada sehingga pada gilirannya akan menentukan peta atau pohon
keilmuan secara keseluruhan.
1. Persoalan Keberadaan
A. Dari segi jumlah
1. Monisme = satu kenyataan fundamental
2. Dualisme = dua substansi
3. Pluralisme = banyak substansi
B. Dari Segi Kualitas
1. spiritualisme = roh ~ idealisme
2. Materialisme = materi
C. Dari Segi Proses, Kejadian/Perubahan

13
1. Mekanisme = asas-asas mekanik
2. Teleologi = alam diarahkan ke suatu tujuan
3. Vitalisme = kehidupan tidak semata-mata fisik-kimiawi
4. Organisisme = hidup adalah struktur dinamis, sistem yang teratur
2. Persoalan Pengetahuan
A. Sumber
1. Rasionalisme = akal ~ deduksi
2. Empirisme = indera
3. Realisme = objek nyata dalam dirinya sendiri
4. Kritisisme = Pengamatan indera dan Pengolahan akal
B. Hakikat
1. Idealisme = proses mental/psikologis ~ subjektif
2. Empirisme = pengalaman
3. Positivisme = pengetahuan faktawi
4. Pragmatisme = guna pengetahuan
3. Persoalan nilai-nilai, khususnya Etika
1. Idealisme etis = ideal
2. Deontologisme etis = kewajiban
3. Etika Teleologis = tujuan
4. Hedonisme = kenikmatan
5. Utilitarisme = Kebahagiaan sebesar-besarnya untuk manusia sebanyak-banyaknya.

D. Persoalan dan Pemikiran Kefilsafatan


Perbedaan persoalan filsafat dengan persoalan non-filsafat terletak pada materi dan ruang
lingkupnya. Ciri-ciri persoalan filsafat adalah sebagai berikut (diadopsi dari Tim Dosen Filsafat
Ilmu UGM, 2001: 26-28).
a. Bersifat sangat umum.
Persoalan filsafat tidak bersangkutan dengan objek-objek khusus, tetapi sebagian besar
berkaitan dengan ide-ide besar. Filsafat tidak menanyakan “siapa namamu?”, tetapi “apa
hakikat manusia itu?”. (Contoh menarik dan diolah dengan bahasa awam untuk hal ini bisa

14
dilihat di bab-bab pertama novel Dunia Sophie, sebuah novel filsafat yang menyumbang
pemahaman terhadap persoalan-persoalan filsafat).
b. Tidak menyangkut fakta.
Persoalan filsafat lebih bersifat spekulatif dan melampaui batas-batas pengetahuan ilmiah.
Contohnya, filsafat menanyakan apakah kekuatan yang menimbulkan hujan itu materi atau
bukan materi. (Perlu dicatat bahwa informasi-informasi pemikiran dunia ilmu – terutama
fisika murni – semakin mengakar sehingga berbaur dengan pertanyaan-pertanyaan filsafati.
Ketika Stephen Hawking, fisikawan ternama penulis Riwayat Sang Kala, mempersoalkan asal
dan muara waktu, maka satu lagi persoalan filsafat yang mendapat tempat di pangkuan ilmu
modern. Sedemikian rupa, sehingga kadang-kadang terasa “gamang” bagi seorang filsuf atau
sarjana filsafat di milenium ke-3 ini untuk mengklaim masih bergumul dengan persoalan-
persoalan “abadi” atau mencirikan persoalan filsafat sebagai hak ekslusif filsafat atas ilmu,
apalagi atas agama yang memang kaya dengan persoalan-persoalan “non-inderawi” bahkan
“non-rasional”).
c. Bersangkutan dengan nilai-nilai.
Nilai dalam hal ini adalah kualitas abstrak yang ada pada suatu hal. Kebanyakan persoalan
filsafat berkaitan dengan hakikat nilai yang terdalam, meliputi nilai moral, estetis (keindahan),
agama, dan sosial.
d. Bersifat kritis.
Filsafat merupakan analisis kritis terhadap konsep dan arti-arti yang biasanya diterima begitu
saja oleh suatu ilmu (apalagi dalam agama) tanpa pemeriksaan secara kritis.
e. Bersifat sinoptik.
Persoalan filsafat mencakup struktur kenyataan secara keseluruhan. Dalam memahami
manusia, filsafat tidak hanya mengkaji dari ekspresi kejiwaannya atau kebersamaannya di
masyarakat, tetapi pada totalitasnya.
f. Bersifat implikatif.
Bila sesuatu persoalan filsafat sudah dijawab, akan muncul persoalan baru yang saling
berhubungan. (e-library kefilsafatan di internet menyajikan informasi tematik yang demikian
ekstensif dan intensif yang juga menunjukkan ciri implikatif ini).
Tidak semua berpikir itu mesti berfilsafat. Ada beberapa ciri berpikir kefilsafatan
(diadopsi dari Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2001: 28-31).

15
a. Radikal.
Berpikir secara radikal adalah berpikir sampai ke akar-akarnya, sampai ke hakikat, esensi, atau
substansi yang dipikirkan. Berusaha menangkap pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang
mendasari segala pengetahuan inderawi.
b. Universal (Umum).
Berpikir secara universal berarti berpikir tentang hal-hal serta proses yang bersifat umum.
Filsafat bersangkutan dengan pengalaman mum manusia (common experience of mankind).
Dengan jalan penjajagan yang radikal, filsafat berusaha samapai pada kesimpulan-kesimpulan
yang universal.
c. Konseptual.
Yang dimaksud konsep di sini adalah hasil generalisasi (perumuman) dan abstraksi dari
pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses individual. Berfilsafat tidak berpikir tentang
manusia tertentu melainkan manusia secara umum. Dengan ciri konseptual ini maka berpikir
kefilsafatan melampaui batas-batas pengalaman hidup sehari-hari.
d. Koheren dan Konsisten.
Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir (logis). Konsisten berarti tidak
mengandung kontradiksi. Berpikir kefilsafatan berarti harus runtut, di mana bagian konseptual
yang disusun tidak terdiri dari pendapat-pendapat yang saling berkontradiksi di dalamnya.
e. Sistematik.
Sistem adalah kebulatan dari sejumjlah unsur yang saling berhubungan menurut tata
pengaturan untuk mencapai suatu maksud atau menunaikan suatu peranan tertentu. Pendapat-
Pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan harus saling berhubungan secara teratur dan
terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
f. Komprehensif.
Yang dimaksud komprehensif adalah mencakup secara menyeluruh, berusaha menjelaskan
secara keseluruhan dan tidak ada sesuatupun yang berada di luarnya.
g. Bebas.
Pemikiran yang bebas di sini dalam arti bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis,
kultural, ataupun religius, namun tetap berdisiplin dan tidak sembarangan. Filsuf Socrates
memilih minum racun, Spinoza memilih menolak diangkat menjadi guru besar, itu semua
demi mempertahankan kebebasan berpikir.

16
h. Bertanggung jawab.
Pertanggungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya sendiri. Di sini, terdapat
hubungan antara kebebasan berpikir dalam filsafat dengan etika yang melandasinya. Namun
kebertanggungjawaban pemikiran filsafat juga dikaitkan dengan sisi eksternal, bagaimana
pengkomunikasian rumusan hasil pemikiran itu sampai pada orang lain dengan tetap
mengindahkan kecintaan terhadap kebenaran di atas segala-galanya.

E. Hubungan Filsafat Dengan Bidang-Bidang Lain


Filsafat, ilmu, seni, dan agama adalah empat bidang pengetahuan manusia yang berbeda
entah itu dalam hal sumber, metode, objek kajian, maupun tujuan praktisnya. Namun semuanya
merupakan sarana manusia untuk “tahu”, dalam arti tahu tentang dirinya sendiri, sesama, alam,
maupun Sang Penciptanya untuk kemudian tahu bagaimana bersikap, berbuat, dan bertanggung
jawab dalam aneka macam kompleksitas kehidupannya.
1. Filsafat dengan ilmu
Baik filsafat maupun ilmu keduanya tumbuh dari sikap refleksif, ingin tahu, dan dilandasi
kecintaan pada kebenaran. Perbedaannya, filsafat dengan metodenya mampu mempertanyakan
keabsahan dan kebenaran ilmu, sedangkan ilmu tidak mempu mempertanyakan asumsi,
kebenaran, metode, dan keabsahannya sendiri. Ilmu lebih bersifat ekslusif, menyelidiki
bidang-bidang yang terbatas, sedangkan filsafat lebih bersifat inklusif. Dengan demikian
filsafat berusaha mendapatkan pandangan yang lebih komprehensif tentang fakta-fakta. Ilmu
dalam pendekatannya lebih bersifat analitik dan deskriptif: menganalisis keseluruhan unsur-
unsur yang mnjadi bagian kajiannya, sedangkan filsafat lebih sintetik atau sinoptik
(menghadapi objek kajiannya sebagai keseluruhan. Filsafat berusaha mencari arti fakta-fakta.
Jika ilmu condong menghilangkan faktor-faktor subjektivitas dan menganggap sepi nilai-nilai
demi menghasilkan objektivitas, maka filsafat mementingkan personalitas, nilai-nilai dan
bidang pengalaman (Titus dkk, dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2001: 57).
Beberapa kerjasama antara filsafat (termasuk filsafat ilmu) dengan ilmu-ilmu khusus dewasa ini:
a. Filsafat itu tidak salah satu ilmu di antara ilmu-ilmu lain. "Filsafat itu pemeriksaan ('survey')
dari ilmu-ilmu, dan tujuan khusus dari filsafat itu menyelaraskan ilmu-ilmu dan
melengkapinya." (Whitehead, 1953, 108).

17
b. Filsafat mempunyai dua tugas: menekankan bahwa abstraksi-abstraksi dari ilmu-ilmu betul-
betul hanya bersifat abstraksi (maka tidak merupakan keterangan yang menyeluruh), dan
melengkapi ilmu-ilmu dengan cara ini: membandingkan hasil ilmu-ilmu dengan
pengetahuan intuitif mengenai alam raya, pengetahuan yang lebih konkret, sambil
mendukung pembentukan skema-skema berpikir yang lebih menyeluruh.
c. Hubungan ilmu dengan filsafat bersifat interaksi. Perkembangan-perkembangan ilmiah
teoritis selalu berkaitan dengan pemikiran filsafati, dan suatu perubahan besar dalam hasil
dan metode ilmu tercermin dalam filsafat. Ilmu merupakan masalah yang hidup bagi filsafat
(Philosophy Today, dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2001: 59). Ilmu membekali
filsafat dengan bahan-bahan deskriptif dan faktual yang sangat perlu untuk membangun
filsafat. Tiap filsafat dari suatu periode condong merefleksikan pandangan ilmiah di periode
itu. Ilmu melakukan cek terhadap filsafat dengan membantu menghilangkan ide-ide yang
tidak sesuai dengan pengetahuan ilmiah. Sedangkan filsafat memberikan kritik tentang
asumsi dan postulat ilmu serta analisa kritik tentang istilah-istilah yang dipakai (Titus,
dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2001: 58).
d. Filsafat dapat membantu membedakan ilmu dengan scientisme (paham yang memutlakkan
metode dan kebenaran ilmu, sehingga tidak mengakui kebenaran di luar ilmu). Jadi filsafat
dapat berdialog dengan ilmu untuk menemukan dan memperlihatkan filsafat tersembunyi
dari ilmu (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2001: 59).
e. Filsafat dapat memperlancar integrasi antara ilmu-ilmu yang dibutuhkan. Searah dengan
spesialisasi ilmu maka banyak ilmuwan yang hanya menguasai suatu wilayah sempit dan
hampir tidak tahu menahu apa yang dikerjakan di wilayah ilmu lainnya (Bertens, dalam Tim
Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2001: 59). Filsafat bertugas untuk tetap memperhatikan
keseluruhan dan tidak berhenti pada detil-detilnya.
f. Filsafat adalah meta ilmu, refleksinya mendorong peninjauan kembali ide-ide dan
interpretasi baik dari ilmu maupun bidang-bidang lain.
g. Filsafat pada masa-masa awal kelahirannya dianggap sebagai mater scientiarum, induknya
ilmu. Seiring dengan spesialisasi ilmu sampai dengan akhir-akhir ini, kekhususan setiap
ilmu menimbulkan batas-batas yang tegas antara masing-masing ilmu. Tidak ada bidang
pengetahuan lain yang menjadi penghubung ilmu-ilmu yang terpisah itu. Di sinilah filsafat

18
berusaha mengatasi spesialisasi dengan mengintegrasikan masing-masing ilmu dan/dengan
merumuskan pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusiaan yang luas.
2. Filsafat dengan seni
Seni dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan manusia yang menjelajahi dan menciptakan
realitas baru serta menyajikannya secara kiasan. Manusia membutuhkan seni, sebagaimana
manusia membutuhkan filsafat dan ilmu, karena melalui seni manusia dapat mengekspresikan
dan menanamkan apresiasi dalam pengalamannya. Seni tidak bertujuan untuk mencari
pengetahuan dan pemahaman sebagaimana filsafat, juga bukan seperti ilmu yang bertujuan
mengadakan deskripsi, prediksi, eksperimentasi, dan kontrol, tetapi seni bertujuan untuk
mewujudkan kreativitas, kesempurnaan, bentuk, keindahan, komunikasi, dan ekspresi.
3. Filsafat dengan agama
Filsafat bukan agama, meskipun banyak juga manusia dari berbagai belahan dunia yang
menjadikan filsafat (dalam arti pandangan hidup) sebagai agama, misalnya filsafat
konfusianisme yang kemudian mengental menjadi agama. Tujuan agama lebih dari sekedar
pengetahuan, yakni untuk mencari keharmonisan, keselamatan, dan perdamaian. Agama yang
matang dan kokoh akan mencantumkan latar belakang filsafat dan sekaligus menimba dan
menyaring informasi dari ilmu. Ini diperlukan agama dalam rangka memberi jawaban
komprehensif, integral, dan berwibawa (dalam arti tidak asal menjawab) terhadap berbagai
pertanyaan dan gugatan. Kasus-kasus yang membawa-bawa agama seperti terorisme, tentu
bisa dirunut pada latar belakang filsafat dari agama tersebut, misalnya bagaimana pandangan
agama tersebut terhadap kekerasan, keadilan, dan kemanusiaan. Seperti kata Einstein, tanpa
ilmu (dan filsafat), agama akan lumpuh.

Kegiatan Belajar 2
DARI FILSAFAT KE FILSAFAT ILMU

Jujun S. Suriasumantri (1986: 87) mengatakan bahwa permulaan ilmu dapat ditelusuri
sampai pada permulaan manusia (kapan “permulaan manusia”, sebaiknya dipahami dalam arti
homo sapiens). Sejak kemunculan manusia telah dimulai kegiatan mempelajari kehidupan.
Sehingga, secara umum dapat dipahami bahwa proses terbentuknya ilmu berawal dari proses
kegiatan belajar manusia dalam memahami dirinya sendiri, lingkungannya, dan alam semesta.
Kegiatan ini sendiri didorong naluri dasar manusia yang serba ingin tahu terhadap segala sesuatu

19
yang mengusik pikirannya. Proses akali ini kemudian menjadi ciri khas manusia di antara
makhluk lainnya.
Kalau filsafat ilmu abad ke-19 difokuskan pada upaya menemukan penjelasan radikal
tentang apa, bagaimana, dan untuk apa gejala alam itu, maka filsafat abad ke-20 memperlihatkan
kecenderungan menggeser landasan dan objek telaahnya. Filsafat ilmu abad ke-20 bersumber
pada manusia sendiri dan menjadi filsafat ilmu kehidupan. Artinya, ilmu bukan semata-mata
berdasarkan pengalaman (empiri) manusia melalui pengamatan inderanya dan penelitian
percobaannya serta pembuktiannya, tetapi manusia itu sendiri istimewa dalam telaahannya
karena kemampuan imajinasinya. Oleh karena itu, filsafat ilmu abad ke-20 tidak lagi
mengutamakan penalaran semata, tetapi bertujuan untuk juga meningkatkan dan membuka tabir
alam yang tersedia dalam mendalami alam melalui suatu dimensi yang disebut oleh Conny, dkk
(1998: 60) sebagai dimensi kreatif. Konsep kreativitas didasarkan atas fungsi dasar berpikir,
merasa, penginderaan cipta bakat, dan intuisi, dalam interpenetrasi..
Sering disebutkan, bahwa kesepakatan antara para ilmuwan dan filsuf dengan tegas
menunjuk “empiris” sebagai ciri ilmu, baik menyangkut metode, observasi, ataupun analisis
yang dipergunakan ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu alam. Namun tidak semua kenyataan
kehidupan dapat dijawab oleh kedua golongan ilmu ini. Ilmu-ilmu humaniora merupakan wadah
bagi hal tersebut. Berbagai peri kehidupan manusia yang paling esensial dalam kawasan
perkembangan manusiawi seperti kebebasan berpikir, keadilan, kelurusan moral, ataupun
ketegaran nilai, jauh lebih luas jangkauannya untuk dapat disederhanakan dan direduksikan
menjadi persamaan atau teori sosial tanpa kehilangan maknanya. Ternyata perkembangan ilmu
tidak semata-mata mengandalkan rasio atau empiris saja, tetapi merupakan suatu petualangan
yang tak habis-habisnya (an unending adventure), yang selalu hadir di ambang ketakpastian
(uncertainty) dan menuntut tindakan keputusan (act of judgment). Diperlukan penerobosan
(penetration) antara kehidupan berpikir (rasio), berbuat (pengalaman = empiri), dan intuisi
(sebagai pemahaman tertinggi terhadap masalah itu sebagai keseluruhan), suatu interpenetrasi
yang interaktif yang melahirkan ilham untuk mewujudkan tindakan kreatif. Oleh karena itu, ilmu
tidak semata-mata disusun secara logis rasional (menekankan fungsi akal) atau bersifat empiris
(menekankan fungsi pengalaman/indera) atau rasionalistis kritis (dalam arti Kantian), ataupun
konstruktivistis (penekanan keseluruhan konteks, rasional maupun empiris), tetapi merupakan
sistem terbuka yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kehidupan manusiawi dengan seluruh

20
aspek pembangunan masyarakat spiritual maupun material ataupun dalam kaitan dengan konteks
ilmu itu sendiri. Tanggung jawab etis kemudian menjadi tuntutannya (dalam hal inilah value
bond-nya ilmu dalam konteks aksiologi). Bertitik tolak dari hal ini, filsafat ilmu bisa dirumuskan
sebagai ilmu yang berbicara tentang dinamika ilmu pengetahuan itu sendiri, dan bisa disebut
sebagai meta-science yang berarti ilmunya ilmu lainnya (Conny, dkk, 1998: 75-77).
Jujun S. Suriasumantri (1986: 40) menegaskan bahwa sebenarnya tidak perlu membahas
state of the art filsafat ilmu dari definisi a sampai z, tetapi cukup pokok-pokoknya saja, yaitu
penekanan kepada pengenalan tubuh keilmuan secara keseluruhan dengan keterjalinan organ-
organnya sehingga membentuk sistem pengetahuan yang logis dan analitis. Mata pelajaran
filsafat ilmu bukanlah ditujukan untuk mendidik seseorang menjadi ahli filsafat ilmu, tetapi
untuk melengkapi pendidikan keilmuan dalam berbagai disiplin (Heri dan Listiyono, 2003: 17).
Namun sebenarnya, nilai penting filsafat ilmu untuk seharusnya diajarkan di semua universitas
tidak hanya sebagai komplemen semata dari pendidikan keilmuan suatu fakultas keilmuan, tetapi
juga terkait dengan kebutuhan akan keterbukaan cakrawala pengetahuan ilmiah disiplin ilmu
yang semakin lama semakin terspesialisasi. Spesialisasi ilmu ini memerlukan “jembatan” atau
“penghubung” yang menghubungkan struktur keilmuan suatu disiplin ilmu khusus dengan
informasi-informasi dan kritik-kritik ilmiah aspek-aspek di luar bahasan disiplin keilmuan
tersebut (meskipun tentu saja dibatasi pada aspek-aspek keumumannya).

A. Pengertian Filsafat Ilmu


Filsafat ilmu merupakan bagian atau cabang dari filsafat yang lahir di abad ke-18.
Cabang filsafat ini merupakan bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya
bergantung pada hubungan timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu. Beberapa
istilah asing untuk menyebut bidang pengetahuan ini ialah:
1. wissenschaftlehre (filsafat ilmu)
2. philosophy of science (filsafat ilmu)
3. metascience (adi ilmu)
4. methodology (metodologi)
5. science of science (ilmu tentang ilmu)
6. scientia scientiarum (ilmu tentang ilmu)

21
Empat titik pandang ini pada akhirnya mengarahkan pendefinisian tentang filsafat ilmu
secara komprehensif. Namun perlu diingat bahwa hampir setiap peristilahan kefilsafatan, tidak
memiliki definisi yang bulat, masing-masing istilah memiliki definisi sebanyak argumentasi si
pencerapnya. Misalnya istilah “manusia”. Kaum monisme akan melihatnya sebagai satu
substansi, sebaliknya kaum dualisme menganggapnya bersubstansi ganda, mungkin bersubstansi
tubuh dan jiwa, spiritual dan material. Masing-masing definisi disepakati sebagai benar bila
memenuhi syarat-syarat argumentatif yang prosedural-ilmiah. Pemerian berbagai definisi, seperti
yang disajikan di berbagai bagian buku ini, diperlukan setidaknya sebagai bahan perbandingan
dan sekaligus membuka wawasan tentang pokok soal dan tema-tema yang relevan dari istilah
tersebut. Berikut ini beberapa definisi filsafat ilmu yang diringkas dari The Liang Gie (2000: 57-
61).
1. Filsafat ilmu merupakan cabang filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai sifat
dasar ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan praanggapan-
praanggapannya serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan
intelektual (A. Cornelius Benjamin).
2. Penelaahan tentang logika intern dari teori-teori ilmiah, dan hubungan-hubungan antara
percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah (Michael V. Berry).
3. Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang
dilakukan filsafat pada seluruh pengalaman manusia. Di satu pihak, ini membangun teori-
teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi
keyakinan dan tindakan; di pihak lain filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat
disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan dan tindakan, termasuk teorinya sendiri,
dengan harapan terhapusnya ketakajegan dan kesalahan (Peter Caws).
4. Ilmu pada garis besarnya bersangkutan dengan apa yang dapat dianggap sebagai fakta tentang
dunia yang kita diami. Filsafat ilmu di pihak lain dalam garis besarnya bersangkutan dengan
sifat dasar fakta ilmiah – atau dengan kata lain, bersangkutan dengan fakta-fakta mengenai
fakta-fakta tentang dunia (D. W. Theobald).
5. Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai
segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi
kehidupan manusia (The Liang Gie).

22
Berbagai definisi tersebut di atas bukan terutama untuk dihafalkan dan semata-mata
sebagai kamus ensiklopedis, melainkan memiliki nilai strategis dalam menunjukkan bahwa
pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai ilmu pada akhirnya penting dan
bermanfaat bagi lahir, tumbuh, dan kokohnya ilmu. Filsafat ilmu antara lain dapat
mensistematisasikan, meletakkan dasar, dan memberi arah kepada perkembangan sesuatu ilmu
maupun usaha penelitian dari para ilmuwan untuk mengembangkan ilmu. Dengan mempelajari
filsafat ilmu, proses pendidikan, pengajaran, dan penelitian dalam suatu bidang ilmu menjadi
lebih mantap dan tidak kehilangan arah (The Liang Gie, 2000: 64).

B. Lingkup Filsafat Ilmu


Filsafat ilmu sampai saat ini telah berkembang begitu pesat sehingga menjadi suatu
bidang pengetahuan yang amat luas (ekstensif) dan mendalam (intensif). Beberapa bidang
konsentrasi utama dalam filsafat ilmu yang bisa menjadi inspirasi untuk ekstensifikasi dan
intensifikasi lebih lanjut dapat diasalkan pada hal-hal berikut.
a. Menurut Loren Bagus
Dalam bukunya Kamus Filsafat, disebutkan bahwa filsafat ilmu berkonsentrasi pada
studi-studi sebagai berikut.
1. Studi: (a) konsep, pengandaian-pengandaian, dan metodologi ilmu, (b) analisis konseptual
dan linguistiknya, (c) ekstensi dan rekonstruksi bagi aplikasi yang lebih konsisten dan
tepat dalam memperoleh pengetahuan.
2. Studi dan pembenaran proses-proses penalaran dalam ilmu dan struiktur simboliknya.
3. Studi tentang bagaimana ilmu-ilmu bersifat saling terkait, serupa, atau berbeda dan tingkat
di mana mereka menunjukkan suatu paradigma metode ilmiah.
4. Studi tentang konsekuensi-konsekuensi pengetahuan ilmiah bagi hal-hal seperti: persepsi
kita tentang realitas; pemahaman kita tentang proses-proses realitas atau alam semesta;
hubungan logika dan matematika dengan realitas; status entitas-entitas teoritis; sumber-
sumber pengetahuan dan keabsahannya; hakikat kemanusiaan, nilainya dan tempatnya
dalam proses-proses sekitarnya.
Semua studi tersebut di atas memerlukan diskusi tentang konsep-konsep seperti:
penjelasan, verifikasi, konfirmasi, probabilitas, pengendalian, eksperimentasi, prediksi, ukuran,

23
fakta-fakta, evidensi, klasifikasi, model-model, hipotesis-hipotesis, teori-teori, hukum-hukum,
deduksi, induksi, persebaban, sistem-artifisial (Loren Bagus, 1996: 313). Perincian ini bisa
dibandingkan dengan perincian The Liang Gie (2000: 61) tentang landasan ilmu: konsep-konsep
pangkal, anggapan-anggapan dasar, asas-asas permulaan, struktur-struktur teoritis, dan ukuran-
ukuran kebenaran ilmiah. Sebenarnya The Liang Gie tidak hanya menyebut landasan ilmiah
sebagai cakupan bahasan filsafat ilmu, melainkan juga hubungan ilmu dengan segala segi
kehidupan manusia.
b. Menurut Peter Angeles
Menurut filsuf ilmu ini, filsafat ilmu mempunyai empat bidang konsentrasi yang utama:
1. Telaah mengenai berbagai konsep, praanggapan, dan metode ilmu berikut analisis,
perluasan, dan penyususnannya untuk memperoleh pengetahuan yang lebih ajeg dan
cermat.
2. Telaan dan pembenaran mengenai proses penalaran dalam ilmu berikut struktur
perlambangnya.
3. Telaah mengenai saling kaitan di antara berbagai ilmu.
4. Telaah mengenai akibat-akibat pengetahuan ilmiah bagi hal-hal yang berkaitan dengan
pencerapan dan pemahaman manusia terhadap realitas, hubungan logika dan matematika
dengan realitas, entitas teoritis, sumber dan keabsahan pengetahuan, serta sifat dasar
kemanusiaan (dalam The Liang Gie, 2000: 65).

C. Problem-Problem Filsafat Ilmu


Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa
pertanyaan mengenai hakikat ilmu yang sekaligus menjadi problem-problem cakupan filsafat
seumumnya. The Liang Gie (2000: 83) menertibkannya dalam enam problem mendasar.
1. Problem-problem epistemologis tentang ilmu.
2. Problem-problem metafisis tentang ilmu.
3. Problem-problem metodologis tentang ilmu.
4. Problem-problem logis tentang ilmu.
5. Problem-problem etis tentang ilmu.
6. Problem-problem estetis tentang ilmu.

24
Meskipun secara disipliner ke-6 problem filsafat ilmu versi The Liang Gie di atas memiliki
keluasan dan kedalaman yang mandiri, namun di kalangan pebelajar filsafat ilmu, setidaknya di
Indonesia, pemilahan problem-problem filsafat ilmu lebih diperas lagi ke dalam tiga
permasalahan: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
1. Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan suatu
pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologis dari ilmu berhubungan dengan materi
yang menjadi objek penelaahan ilmu. Berdasarkan objek yang telah ditelaahnya, ilmu dapat
disebut sebagai pengetahuan empiris, karena objeknya adalah sesuatu yang berada dalam
jangkauan pengalaman manusia yang mencakup seluruh aspek-aspek kehidupan yang dapat
diuji pancaindera manusia. Berlainan dengan agama atau bentuk-bentuk pengetahuan yang
lain, ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian-kejadian yang bersifat empiris, selalu
berorentasi pada dunia empiris (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2001: 90). Persoalan-
persoalan yang dibahas antara lain: Objek apa yang ditelaah ilmu? Apa asumsi ilmu terhadap
objek material dan formal suatu ilmu, dan apakah objek tersebut bersifat psikis ataukah fisis?
Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi
dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, mengindera) yang membuahkan
pengetahuan? (Jujun, 2002: 34).
2. Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk
memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu teori pengetahuan.
Dalam kaitannya dengan filsafat ilmu, logika dan metodologi berperan penting (signifikansi
historisnya bisa dilihat di Bab 3 buku ini). Dalam epistemologi yang dibahas adalah objek
pengetahuan, sumber dan alat untuk memperoleh pengetahuan, kesadaran dan metode,
validitas pengetahuan, dan kebenaran. Epistemologi berkaitan dengan pemilahan dan
kesesuaian antara realisme atas pengetahuan tentang proposisi, konsep-konsep, kepercayaan,
dan sebagainya, dengan realisme tentang objek yang tersusun atas “objek real”, fenomena,
pengalaman, data indera dan sebagainya (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2001: 90). Logika
dalam arti tertentu masuk dalam landasan epistemologis ini. Logika berkisar pada persoalan
penyimpulan, yakni proses penalaran guna mendapat pengertian baru dari satu atau lebih
proposisi yang diterima sebagai benar, dan kebenaran dari kesimpulan itu diyakini
terkandung dalam kebenaran proposisi yang belakangan. Penyimpulan ini khususnya
berkenaan dengan prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang sah. Penyelidikan mengenai “cara-

25
cara memperoleh pengetahuan ilmiah” bersangkutan dengan susunan logik dan metodologik,
urutan serta hubungan antara berbagai langkah dalam penyelidikan ilmiah. Dalam hal
metodologi, filsafat ilmu mempersoalkan azas-azas serta alasan apa yang menyebabkan ilmu
dapat memperoleh predikat “pengetahuan ilmiah”. Fungsi metodologi adalah menguji metode
yang digunakan untuk menghasilkan pengetahuan yang valid, dengan cara meletakkan
prosedur yang dijustifikasi maknanya dengan argumen filolsofis. Metodologi meletakkan
aturan bagi prosedur praktek ilmu. Metodologi adalah produk filsafat dan ilmu-ilmu adalah
realisasi dari metodologi (Barry Hindes, dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2001: 54-55).
Persoalan-persoalan yang dibahas antara lain: Bagaimana proses yang memungkinkan
ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apakah yang
harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut
kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita
dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Jujun, 2002: 34).
3. Dasar aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan
yang didapatkannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-
kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Permasalahan
aksiologi terkait dengan hakikat ilmu itu sendiri, yakni tentang netralitas ilmu dalam
hubungannya dengan penerapan praktis ilmu di masyarakat (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM,
2001: 90-91). Etika, dan juga estetika, dalam hal ini merupakan aspek penting dalam bahasan
aksiologi ilmu yang terkait dengan tujuan dan tanggung jawab ilmu terhadap masyarakat.
Etika dapat mengarahkan ilmu agar dapat menguntungkan dan tidak mencelakakan manusia
(Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2001: 55). Sedangkan estetika terkait dengan pencarian ilmu
terhadap keindahan tersembunyi dari dunia (The Liang Gie, 2000: 84). Persoalan-persoalan
yang dibahas antara lain: Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan?
Bagaimana kaitan antara cara pengunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral dan
keteraturan? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral
dan estetis? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional? (Jujun, 2002: 35).
Ketiga aspek tersebut merupakan faktor-faktor yang selalu melekat dalam keberadaan
ilmu pengetahuan, selalu berkaitan satu sama lain dan tak terpisahkan. Dengan kata lain, ketiga
aspek tersebut merupakan dasar bagi eksistensi ilmu (Heri dan Listiyono, 2003: 11). Dalam Tim

26
Dosen Filsafat Ilmu UGM (2001: 90) tiga aspek tersebut bahkan disebutkan sebagai landasan
penelaahan ilmu pengetahuan yang, seperti apa yang dikatakan Jujun S. Suriasumantri (2002:
35), sekaligus menjadi pembeda antara pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan yang lain (seni,
agama, filsafat).
Suatu ilmu sah dibenarkan sebagai ilmu apabila memiliki sifat atau ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Memiliki objek atau pokok soal, yakni sasaran dan titik pusat perhatian tertentu
2. Bermetode, yakni cara atau sistem dalam ilmu untuk memperoleh kebenaran agar rasional,
terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
3. Bersistem: mencakup seluruh objek serta aspek-aspeknya sehingga saling berkaitan satu
sama lain.
4. Universal: keputusan kebenarannya berorientasi sifat keumuman, bukan tunggal
(Peodjawijatna, 1991: 24-26).
5. Verifikatif: dapat dilacak kebenarannya
Rasional/objektif: dapat dipahami dengan akal
Filsafat ilmu pada dasarnya menuntut jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Karakteristik-karakteristik apa yang membedakan penyelidikan ilmiah dari tipe penyelidikan
yang lain?
2. Prosedur yang bagaimana yang patut diikuti para ilmuwan dalam menyelidiki alam?
3. Kondisi yang bagaimana yang harus dicapai bagi suatu penjelasan ilmiah agar menjadi
benar?
4. Status kognitif yang bagaimana dari prinsip-prinsip dan hukum-hukum ilmiah? (Conny, dkk,
1998: 44).

LATIHAN:
1. Terangkan arti etimologis dan arti terminologis dari filsafat!
2. Apakah objek material dan objek formal filsafat?
3. Setidaknya ada tiga jenis persoalan filsafat. Jelaskan, dan sebutkan pula cabang utamanya!
4. Sebutkan ciri-ciri persoalan dan pemikiran kefilsafatan!
5. Jelaskan hubungan filsafat dengan:
a. ilmu-ilmu
khusus b. seni
c. agama

27
6. Berikan salah satu definisi filsafat ilmu menurut seorang filsuf yang anda kenal!
7. Sebutkan dan jelaskan tiga persoalan utama filsafat ilmu yang sekaligus menjadi pilar
utama penelaahan ilmu!
8. Sebutkan ciri-ciri ilmu, dan buatlah definisi ilmu dari ciri-ciri tersebut!

MODUL 2
TIGA LANDASAN KEILMUAN

Dari zaman ke zaman, manusia memiliki kepentingan yang semakin meningkat terhadap
ilmu. Bahkan bisa dikatakan bahwa kadang-kadang ilmu justru menjadi tujuan sementara
manusia untuk menguasai manusia lainnya. Argumentasi yang dieksplorasi Alvin Toffler atau
Francis Bacon yang membuktikan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan, memperoleh bukti
pendukungnya di arena perlombaan perburuan informasi dan teknologi terkini yang bisa dilacak
melalui media-media semacam internet ataupun media massa. Pengaruh sebuah sumber
informasi terhadap pembentukan opini publik melalui peran media massa bisa membunuh
karakter seseorang public figure, atau menjungkirkan seorang senator atau calon presiden. Bisa
juga, pemanfaatan teknologi persenjataan bisa mengangkat negara semacam Amerika Serikat
menjadi negara adidaya. Alangkah naifnya jika percepatan laju ilmu teknologi ini masih
dianggap kebutuhan tersier bagi bangsa Indonesia. Sudah seharusnya pendidikan diarahkan
menuju pemahaman yang membuka jalan bagi pengenalan, penggunaan, pemanfaatan, dan
penguasaan ilmu dan teknologi tanpa mengurangi kewenangan budaya luhur bangsa dalam
menyaring dampak negatif ilmu dan teknologi. Filsafat ilmu dalam hal ini bisa difungsikan
sebagai explorer yang berwenang memberi kritik metodologi maupun kritik asumsi yang
dibangun ilmu-ilmu khusus.
Secara kefilsafatan, hakikat ilmu terutama diarahkan pada unsur-unsur yang harus ada
pada setiap ilmu di dalam menjawab tiga masalah pokok hakikat manusia untuk memperoleh
pengetahuan, yaitu: Apakah yang ingin kita ketahui (aspek ontologi)? Bagaimanakah cara
manusia memperoleh pengetahuan (aspek epistemologi)? Dan apakah nilai pengetahuan tersebut
bagi kita (aspek aksiologi)? (Jujun, 1989: 2; 2002: 35).

Kegiatan Belajar 2

28
ASPEK-ASPEK ONTOLOGI KEILMUAN
Secara lebih rinci, sebagaimana telah disebutkan di bagian sebelumnya, bahasan tentang
landasan ontologis ilmu adalah pertanyaan-pertanyaan seperti:
Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana ujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana
hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa,
mengindera) yang membuahkan pengetahuan? (Jujun, 2002: 33).

Ontologi merupakan bagian dari metafisika umum. Sebelum membahas secara spesifik
tentang aspek-aspek ontologis landasan keilmuan, ada baiknya metafisika dibahas dalam
relevansinya dengan pendeskripsian ontologis dan pengetahuan awal hal-hal yang dikaji dalam
ontologi sebagai metafisika umum.

A. Tafsiran Metafisika
Sistematika pembahasan filsafat dalam hubungannya dengan hal ini diklasifikasikan
Butler (dalam Burhanuddin Salam, 1997: 71) sebagai berikut:
1. Metafisika a. Khusus a. Teologi
b. Kosmologi
c. Antropologi
b. Ontologi

2. Epistemologi a. Hakikat Pengetahuan


b. Sumber pengetahuan
c. Metode pengetahuan

3. Aksiologi: a. Etika
b. Estetika

Metafisika meruapakan cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakikat yang


tersimpul di belakang dunia fenomenal. Metafisika melampaui pengalaman dengan objeknya
yang non-empiris. Persoalannya, dengan objeknya yang di luar pengalaman inderawi manusia,
apakah metafisika merupakan ilmu? Sebagai pengetahuan filsafat, metafisika di luar
pengetahuan ilmiah, namun secara mendasar menjadi salah satu landasan keilmuan, terutama
terkait dengan objek ilmu. Jujun S. Suriasumantri (2002: 63) menegaskan bahwa metafisika ini
merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah.
Sesuai pembagian sistematis di atas, jelas bahwa metafisika khusus membahas hal-hal
ketuhanan (teologi), kosmos (kosmologi), dan manusia (antropologi) dari sudut pandang di luar
dunia fenomenal. Ini sesuai dengan pertanyaan pokok metafisis: apakah hakikat kenyataan ini

29
sebenar-benarnya? Pokok-pokok pembahasannya dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang atau
aliran tertentu (Burhanuddin Salam, 1997: 72-3; Jujun, 2002: 63). Di sini akan dikemukakan
beberapa contoh sudut pandang:
Idealisme atau bisa disebut spiritualisme, pada prinsipnya memandang bahwa realisasi
terakhir adalah rohani yang pada hakikatnya immaterial. Dunia fisik itu ada di dasari dunia
rohani dan menjadi alat melayani rohani. Tafsiran paling pertama yang diberikan manusia
terhadap alam ini adalah bahwa terdapa ujud-ujud yang bersifat gaib yang lebih tinggi dan lebih
kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Inilah supernaturalisme yang mencakup misalnya
animisme. Plato terkenal dengan dunia “idea” yang oleh Plato dianggap sebagai hakikat alam
semesta, sedangkan dunia sekarang yang dialami manusia sebagai dunia nyata, sesungguhnya
maya atau bayangan dari dunia idea itu. Contoh lain adalah Bishop Berkeley yang menyatakan,
apa yang dapat kita ketahui tentang suatu objek semata-mata idea yang kita miliki tentang objek
tersebut. Keadaan yang tampak dari suatu objek menurut pengalaman kita, sebenarnya adalah
persepsi yang diturunkan dari pikiran hasil cerapan indera.
Materialisme menolak pandangan supernaturalisme di atas, dan mengklaim bahwa
kenyataan atau hakikat yang sebenarnya adalah materi, bukan roh atau hal-hal spiritual. Materi
merupakan satu-satunya substansi yang mengisi ruang dan waktu, tidak ada dunia lain di luar
dunia yang kita alami ini. Jadi, dunia akherat atau nirwana itu tidak ada, dan manusia semata-
mata secara substansial dipersamakan dengan batu atau besi. Salah satu tokohnya adalah Thomas
Hobbes yang berpendapat bahwa kesadaran manusia itu tidak lebih dan tidak kurang dari gerak-
gerak yang terdapat di dalam otak dan urat syaraf. Semua kejadian dapat diterangkan dengan
hukum-hukum mekanika yang menguasai materi. Kaum mekanistik melihat gejala alam
(termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Materialisme mencapai
puncaknya pada zaman Karl Marx di abad ke-19 yang mengajarkan materialisme dialektis, di
mana kenyataan pada hakikatnya hanya terdiri dari materi yang berkembang melalui proses
dialektis.
Bagaimana dengan pikiran dan kesadaran manusia? Di atas disinggung sedikit tentang
pendapat Thomas Hobbes yang menengarai bahwa kesadaran semata-mata bisa dikembalikan
pada proses dalam otak dan urat syaraf. Aliran monistik mempunyai pendapat yang tidak
membedakan antara pikiran dan zat. Ibarat zat dan energi dalam teori relativitas Einstein, energi
hanya merupakan bentuk lain dari zat. Proses berpikir dianggap sebagai aktivitas elektrokimia

30
dari otak. Dengan demikian, sekiranya robot memiliki struktur dan komponen yang menyamai
manusia, maka robotpun bisa bersaing dengan manusia dan memperebutkan esensi
“kemanusiaan” itu sendiri. Film-film futuristik fiktif semacam “Terminator” atau “Bicentennial
Man” menggambarkan secara sangat terbuka dan sarkastik betapa manusia bisa saja bersaing
dengan robot dalam “memperebutkan esensi kemanusiaan”.
Bila materialisme dan idealisme menandaskan satu substansi yang mengisi dunia ini,
maka realisme menganggap bahwa hakikat realitas ini terdiri dari dunia fisik dan dunia roh. Ini
disebut dualisme. Aristoteles adalah salah seorang filsuf yang termasuk kelompok realisme
dengan membangun metafisika terutama untuk menjelaskan dunia alamiah sebagai dunia nyata.
Ia juga mengemukakan teori teleologis yang pada intinya menatap seluruh pergerakan kejadian
atau perubahan berpusat pada tujuan. Teleologi ini bisa dianggap lawan dari mekanismenya
materialisme misalnya, yang mengemukakan bahwa semua eksistensi berjalan atau bekerja
seperti mesin yang dapat dipahami berdasarkan prinsip-prinsip gerak. Demikian juga vitalisme
yang menganggap hidup sebagai sesuatu yang unik yang berbeda secara substansial dengan
proses mekanistik dan materialistik di atas.
Rene Descartes, John Locke, dan George Berkeley berpendapat bahwa apa yang
ditangkap pikiran, termasuk penginderaan dan segenap pengalaman manusia, adalah bersifat
mental. Cogito ergo sum, kata Descartes, pikiranlah satu-satunya kenyataan yang tidak dapat
diragukan. Sedangkan tabula rasa dari Locke mengisyaratkan betapa pikiran bisa diibaratkan
organ yang menangkap dan menyimpan pengalaman indera. “To be is to be perceived!”, teriak
Uskup Berkeley yang menegaskan keberadaan itu tak lain merupakan akibat adanya persepsi.
Tuhan, menjadi “tumbal” Berkeley dalam menjawab pertanyaan tentang persepsi yang paling
awal dan abadi.
Pada hakikatnya ilmu tidak bisa dilepaskan dari metafisika. Ilmu merupakan pengetahuan
yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Seorang geolog bisa mempertanyakan
apakah dalam bebatuan yang dipelajari di bebatuan terpendam proses kimiawi-fisis atau
bersembunyi roh yang halus? Tiap ilmuwan boleh mengikuti jejak mekanistik, atau menjadi
penganut fanatik idealisme, ataupun menjadi pengikut Descartes. Tetapi ilmuwan tidak bisa
agnostik, dia tidak bisa tidak harus terjun dalam salah satu pandangan metafisis ini, meskipun
tidak sengaja dan tidak konsisten!
B. Asumsi dalam Ilmu

31
Menurut Burhanuddin Salam (1997: 86), ilmu memiliki tiga asumsi mengenai objek
empiris.
1. Menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam
hal bentuk, struktur, sifat, dan sebagainya. Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan yang
pertama terhadap objek-objek yang ditelaahnya. Taksonomi adalah suatu bentuk
pengklasifikasian ini yang memungkinkan konsep ilmu lebih lanjut seperti konsep komparatif
dan kuantitatif. Linnaeus merupakan pelopor penggolongan hewan dan tumbuhan secara
sistematis. Dengan klasifikasi ini, individu-individu dalam kelas tertentu memiliki ciri-ciri
serupa. Dengan cara yang sama, maka ilmu tidak berbicara mengenai kasus individu
melainkan suatu kelas tertentu, misalnya kelas manusia.
2. Menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu.
Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan
tertentu. Kegiatan itu menuntut ilmu beranggapan adanya kelestarian relatif, artinya sifat-sifat
pokok suatu benda atau peristiwa tidak berubah dalam jangka waktu tertentu yang ditentukan
oleh perkiraan masing-masing benda (misalnya, kelestarian planet dengan es batu untuk
mencair tentu berbeda). Kelestarian relatif ini memungkinkan kita melakukan pendekatan
keilmuan terhadap objek yang diselidiki.
3. Pilihan di antara determinisme, pilihan bebas, dan probalistik. Determinisme, yakni pendapat
bahwa pengetahuan itu bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang besifat
universal. Determinisme yang dikembangkan oleh William Hamilton dari doktrin Thomas
Hobbes ini menganggap bahwa tiap gejala merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan
dan mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan kejadian yang sama. Misalnya
bila sate yang dibakar senantiasa menimbulkan bau yang merangsang, atau, mendung
mengisyaratkan akan turun hujan. Namun ilmu tidak menuntut adanya hubungan sebab akibat
yang mutlak sehingga suatu kejadian tertentu harus selalu diikuti suatu kejadian yang lain.
Determinisme, pilihan bebas, dan probabilistik dalam hubungannya dengan hukum alam,
merupakan permasalahan yang rumit namun menarik dalam filsafat, dan untuk mencapai
hakikat keilmuan, maka pemecahan suatu masalah yang merupakan kompromi ketiganya
harus dilakukan (Jujun, 2002: 73). Determinasi berkonotasi probabilistik (bersifat peluang).
Statistika merupakan metode yang menyatakan hubungan probabilistik antara gejala-gejala
dalam penelaahan ilmu. Di sini, terlihat betapa pentingnya penerapan statistika pada

32
penelaahan ilmu. Aliran determinisme ini bertentangan dengan aliran fatalisme yang
menyerahkan pada nasib segala urusan. Semua kejadian di alam ini sudah ditentukan lebih
dulu. Sebaliknya, determinisme juga bertentangan dengan paham pilihan bebas yang
menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak
terikat kepada hukum alam yang tidak memberikan pilihan.
Apa yang dipelajari ilmu, menentukan letak ilmu dalam perspektif filsafat ini. Bila
memilih hukum kejadian yang berlaku bagi setiap manusia, maka ini bertolak dari paham
determinisme. Sedangkan bila pilihan jatuh pada keunikan individual, maka pilihan bebas
menjadi pilihan titik tolaknya. Pilihan di antara keduanya mengantarkan kita pada paham
probabilistik. Kompromi menjadi jawaban yang bisa menjadi landasan asumsi keilmuan. Ilmu
sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis
sehari-hari, tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan
pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dari kehidupan ini. Meskipun demikian, sampai
tahap tertentu ilmu tetap memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi, sebab pengetahuan
yang bersifat personal dan individual tidaklah praktis. Jadi, di antara ketiganya, pilihan ilmu
lebih cenderung pada penafsiran probabilistik.
Perlu diakui, sebagaimana kata Jujun S. Suriasumantri (2002: 84), hal-hal yang didekati
secara praktis dalam kerangka pragmatis oleh ilmu, bisa jadi merupakan masalah pelik dan besar
bagi filsafat. Oleh karena itu, sesuai teori relativitas umum yang ditularkan fisika kepada bidang-
bidang lain, penilaian terhadap hasil kerja indera maupun akal tergantung sudut pandang si
pengamat, bahkan 100% semua observasi selalu melibatkan pengaruh pengamat terhadap yang
diamati. Komunikasi ilmuwan dan filsuf yang komplementer dan supportif, lebih diperlukan
daripada saling mengklaim sifat masalah dan sifat kebenarannya! Perlu juga dicatat, perbedaan
pendapat di tingkat ilmiah/filsafati sering terletak pada fondasi di mana dibangun teori
ilmiah/filsafati di atasnya, yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya.
Fisika merupakan ilmu teoritis yang dibangun di atas sistem penalaran deduktif yang
meyakinkan serta pembuktian induktif yang mengesankan. Namun fisika sendiri belum
merupakan suatu kesatuan konsep yang utuh yang tersusun secara sistematik, sistemik,
konsisten, dan analitik berdasarkan pernyataan-pernyataan ilmiah yang disepakati bersama.
Newton berasumsi bahwa zat, gerak, ruang dan waktu merupakan komponen mekanistik yang
bersifat absolut. Einstein justru berpendapat sebaliknya. Dalam teori relativitas khususnya dia

33
berasumsi bahwa keempat komponen itu bersifat relatif, dan tidak mungkin mengukur gerak
secara absolut. Zat sendiri tidak mutlak, hanya bentuk lain dari energi, dengan rumusnya yang
membahana: E = mc2. Perbedaan pendapat fisika yang revolusioner ini mendukung tesis bahwa
memang ilmu tidak bermaksud mencari pengetahuan absolut, melainkan lebih ke arah
penyelesaian relatif. Apalagi bila hal ini dihubungkan dengan perkembangan selanjutnya yang
dieksplorasi Niels Bohr dalam Prinsip Komplementer yang menyatakan bahwa elektron bisa
berupa gelombang cahaya dan juga bisa berupa partikel tergantung pada konteksnya. Masalah
yang menggoyahkan sendi-sendi fisika ini diambah lagi dengan penemuan Prinsip
Indeterministik oleh Werner Heisenberg yang menegaskan bahwa untuk pasangan besaran
tertentu pada prinsipnya tidak mungkin mengukur kedua besaran tersebut pada weaktu yang
sama dengan ketelitian yang tinggi. Ini menunjukkan limit kemampuan manusia untuk
mengetahui dan meramalkan gejala-gejala fisik. Hakikat alam mungkin saja “pada keraknya
bersifat irasional dan kacau” (William Barret, dalam Jujun, 2002: 87).
Terhadap suatu permasalahan, misalnya penataan kota Surabaya, berbagai bidang ilmu
dengan asumsinya masing-masing tentang manusia, mencoba mendekati permasalahan tersebut
sesuai disiplinnya: segi psikologi, sosiologi, planologi, kesehatan umum, transportasi, hiburan,
dan sebagainya. Ilmu-Ilmu ini bersifat otonom dalam kajiannya dan “berfederasi” dalam
pendekatan multidisipliner. Dalam mengembangkan asumsi ini maka perlu diperhatikan
beberapa hal.
(1) Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi ini
harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis. Asumsi manusia dalam
admisnistrasi yang bersifat rasional adalah makhluk ekonomis, makhluk sosial, makhluk
aktualisasi diri atau makhluk yang kompleks. Berdasarkan bermacam-macam asumsi ini
dikembangkan berbagai model, strategi, dan praktek administrasi. Jadi bukan asumsi filsafati
bahwa manusia adalah makhluk administrasi, yang dalam pengkajian administrasi akan
menyebabkan kemandegan.
(2) Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” (telaahan ilmiah) bukan
“bagaimana keadaan yang seharusnya” (telaahan moral). Manusia yang berperan dalam
perihal ekonomi adalah manusia yang “mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan
pengorbanan sekecil-kecilnya”, tak usah ditambah dengan sebaiknya begini, sebaiknya
begitu yang justru membuat kacau operasionalisasi. Sebaiknya begini, sebaiknya begitu

34
mungkin lebih tepat untuk masalah kebijaksanaan publik atau strategi, atau penjabaran
peraturan, asalkan membantu analisis permasalahan (Jujun, 2002: 89-90).
Seorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis
keilmuannya, sebab menggunakan asumsi yang berbeda sama saja dengan mengubah konsep
pemikiran yang dipergunakan. Untuk pengkajian ilmiah yang lugas sebaiknya dipergunakan
asumsi yang tegas.

C. Penggolongan Ilmu
Penggolongan ilmu ini menyita perhatian para pemikir besar seperti Plato, Aristoteles,
Francis Bacon, John Locke, Thomas Hobbes, Wilhelm Dilthey, dan yang lainnya, karena nilai
kegunaannya. Tanpa penggolongan ilmu tidak mungkin dilakukan sistematisasi dan tidak
mungkin ditunjukkan saling hubungan antar cabang-cabang ilmu pengetahuan. Penggolongan
ilmu menurut Dictionary of Philosophy and Psychology adalah
penataan sistematik terhadap bermacam-macam cabang pengetahuan atau ilmu positif
untuk menentukan definisi-definisinya, menetapkan batas-batasnya, menunjukkan antar
hubungannya, dan memastikan berapa banyak tugas ilmu telah diselesaikan dan apa
yang masih harus dikerjakan (dalam Dardiri, 1986: 12).

Pembagian ilmu pengetahuan sudah dilaksanakan oleh para ahli sejak dahulu kala sampai
sekarang yang pada umumnya terdapat perbedaan-perbedaan sesuai dengan sudut pandangannya
masing-masing.
1. Pembagian menurut Plato.
Plato membagi ilmu pengetahuan menjadi 3 macam :
a. dialectica: ilmu pengertian, yang membahas cara pertukaran pikiran dan cara membedakan
yang benar dan yang salah.
b. fisika: ilmu pengetahuan tentang keadaan benda-benda pada umumnya.
c. ethica: membicarakan masalah baik dan buruk.
2. Pembagian menurut Aristoteles.
Aristoteles membagi ilmu pengetahuan dalam 6 macam :
a. logica. b. ethica.
c. metafisica d. rhetorica.
e. politica. f. aesthetica.
3. Pembagian menurut Ampere.

35
a. Kosmologi : ilmu pengetahuan mengenai alam kodrat. Objek-objek yang diselidiki oleh
kosmologi itu objek-objek yang berwujud benda atau materi.
b. Noologi : yaitu ilmu pengetahuan yang objek-objeknya tidak berwujud materi.
Misalnya : filsafat dan ethica.
4. Pembagian menurut Windelband.
August Comte membagi ilmu pengetahuan kedalam ilmu-ilmu pengetahuan yang abstrak dan
ilmu pengetahuan yang konkrit, yang positif. Kemudian Windelband, membagi ilmu-ilmu
pengetahuan yang konkrit ini menjadi 2 golongan:
1). Ilmu-ilmu yang nomotetis, atau yang disebut juga ilmu-ilmu alam kodrat yang bercorak
mencari wet-wet yang umum. Oleh Dilthey, golongan ilmu-ilmu ini disebut ilmu-ilmu
kodrat, yang berusaha menghadapi kejadian-kejadian dalam alam kodrat dan menjelaskan
kejadian-kejadian tersebut dari hukum-hukum yang umum.
2). Ilmu-ilmu yang idiografis (dari kata-kata idios = khusus, dan grafein = menulis)
maksudnya: ilmu pengetahuan yang menulis gejala-gejala yang khusus. Bagian ini juga
disebut ilmu-ilmu sejarah mengenai hal-hal yang khusus. Menurut Dilthey, golongan yang
kedua ini (ilmu-ilmu kerohanian) mencakup dua jenis ilmu, yaitu:
a). psikologi.
b). ilmu-ilmu kebudayaan.
Tujuan ilmu-ilmu kerohanian, ingin menginsyafi peristiwa-peristiwa dengan jalan
merasakanya. Dalam merasakan itu manusia mengerjakan alat-alat kerohaniannya, yang
meliputi tiga jenis: akal, rasa, dan kehendak.
Secara umum perkembangan ilmu berbanding lurus dengan kebutuhan spesialitas umat
manusia dalam menghadapi alam, sesama, dan Tuhannya. Menurut Jujun S. Suriasumantri
(2002: 93), diperkirakan sekarang ini terdapat sekitar 650 cabang keilmuan yang belum dikenal
orang-orang awam. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang
utama yakni filsafat alam yang kemudian berkembang menjadi rumpun ilmu alam dan filsafat
moral yang berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial. Ilmu alam membagi diri ke dalam
dua kelompok, ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu
alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta, yang kemudian bercabang lagi
menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi
(mempelajari benda-benda langit) dan ilmu bumi. Tiap-tiap cabang membentuk ranting-ranting

36
baru seperti fisika yang berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas,
kelistrikan dan magnetisme, fisika nuklir dan kimia fisik. Sampai ranting-ranting ini, yang
dibicarakan masih ilmu murni. Ilmu-ilmu murni ini berkembang menjadi ilmu-ilmu terapan.
Kimia misalnya, sampai saat ini membelah menjadi 150 disiplin ilmu murni dan terapan.
Ilmu-Ilmu sosial berkembang agak lambat. Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu-
ilmu sosial yakni antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat),
psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia), ekonomi (mempelajari manusia
dalam memenuhi kebutuan hidupnya lewat proses pertukaran), sosiologi (mempelajari struktur
organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan
manusia bernegara dan berpemerintahan). Cabang-cabang ilmu-ilmu sosial ini bercabang lagi,
misalnya, antropologi yang terpecah menjadi lima: arkeologi, antropologi fisik, linguistik,
etnologi, dan antropologi sosial/kultural. Dari ilmu-ilmu tersebut di atas yang dapat kita
golongkan ke dalam ilmu murni meskipun tidak sepenuhnya, berkembang ilmu sosial terapan
yang merupakan aplikasi dari berbagai konsep ilmu-ilmu sosial murni kepada suatuy bidang
telaahan sosial tertentu. Pendidikan, umpamanya, merupakan ilmu sosial terapan yang
mengaplikasikan konsep-konsep dari psikologi, antropologi, dan sosiologi. Demikian juga
manajemen menerapkan konsep psikologi, ekonomi, antropologi, dan sosiologi. Bab VII sub bab
E membahas ulang pembagian ilmu pengetahuan ini dalam cara yang lebih historis dan
taksonomis.
Konsepsi tentang ilmu yang ensiklopedis bisa dilacak pada buku The Liang Gie (1984).
Pada lampiran I diketengahkan skema konsepsi keilmuan menurut The Liang Gie yang bisa
dianggap salah satu alternatif penggolongan ilmu. Penggolongan ilmu di perguruan tinggi
Indonesia secara lebih ringkas dan terbedakan berdasarkan ciri tertentu daripada isi substantifnya
adalah sebagai berikut (dalam Undang-Undang Perguruan Tinggi (UU 1961/22)):
1. Ilmu agama/kerohanian
2. Ilmu kebudayaan
3. Ilmu sosial
4. Ilmu eksakta dan teknik.
Dalam tulisan ini dikemukakan penggolongan ilmu yang dinilai paling mewakili peta
keilmuan kontemporer, dan juga paling umum. Universitas-universitas di Amerika Serikat secara

37
luas juga menggunakan pembagian ilmu berikut ini (The Liang Gie, 2000: 63). Penggolongan ini
diadopsi dari H.A. Dardiri dalam bukunya Humaniora, Filsafat, dan Logika (1986).
1. Ilmu Pengetahuan Alam (Natural Sciences)
Ilmu Pengetahuan Alam mempelajari gejala-gejala alam, baik yang hayati maupun non hayati.
Ilmu Pengetahuan Alam terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ilmu alam (the
physical sciences) dan kelompok ilmu hayat (the biological system). Ilmu alam terbagi
menjadi disiplin-disiplin ilmu seperti fisika, kimia, astronomi, dan ilmu bumi. Spesialisasi
keilmuan menuntut pembagian lebih lanjut, misalnya dari fisika lahirlah disiplin mekanika,
hidrodinamika, bunyi, cahaya, dan listrik. Sedangkan yang termasuk ilmu hayat misalnya
biofisika, mikrobiologi, botani, dan zoologi. Mikrobiologi melahirkan disiplin ilmu seperti
genetika tanaman dan fisiologi tanaman.
2. Ilmu Pengetahuan Sosial (Social Sciences)
Secara umum Ilmu Pengetahuan Sosial mempelajari kehidupan bersama umat manusia, yakni
kehidupan sosial atau pergaulan hidup sesama manusia. Ilmu Pengetahuan Sosial terbagi
menjadi beberapa disiplin ilmu, misalnya antropologi, psikologi, ekonomi, sosiologi, dan ilmu
politik. Spesialisasi yang melanda peta keilmuan Ilmu Pengetahuan Sosial berkembang
berdasarkan ekstensifikasi dan intensifikasi wilayah kajiannya serta komunikasi lintas dan
multidisipliner keilmuan. Misalnya, psikologi olahraga terlahir sebagai hasil kajian
multidipliner antara Ilmu Keolahragaan dengan psikologi.
3. Humaniora (Humanities)
“Humaniora” (Latin Baru) searti dengan “the humanities” (Inggris) yang sama-sama
diturunkan dari bahasa Latin Kuno “humanus” yang berarti manusiawi, berbudaya, dan halus.
Dalam Encyclopaedia Britannica disebutkan secara umum bahwa humaniora adalah sejenis
pengetahuan yang berkaitan dengan nilai-nilai manusia dan ekspresi-ekspresi jiwanya,
termasuk mencakup kajian sikap dan perilaku moral manusia terhadap sesamanya. Beberapa
sumbangan humaniora terhadap umat manusia secara umum misalnya mengintegrasikan
pikiran, perasaan, dan hati, memperkenalkan dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan
yang universal dan abadi, serta integrasi teori dan praktek. Cabang-cabang humaniora menurut
Encyclopaedia Britannica (1982) adalah bahasa (klasik maupun modern), ilmu bahasa,
kesusasteraan, sejarah, ilmu hukum, filsafat, arkeologi, sejarah (tertentu), kritik seni (teori dan
praktek), serta isi humanistik aspek-aspek ilmu-ilmu sosial.

38
D. Pola Hubungan Ilmu
Inter-relasi ilmu pengetahuan yang satu dengan yang lain tidak dimaksudkan sebagai
pelanggaran otonomitas dari tiap-tiap ilmu, tetapi lebih dimaksudkan dalam kerangka vitalitas
perkembangan tiap-tiap ilmu yang memerlukan sumbangan konseptual dari ilmu-ilmu yang lain.
Pertautan antara ilmu yang satu dengan yang lain diperlukan sebagai sebuah keharusan yang
didasarkan atas kompleksitas objek material dari ilmu pengetahuan, sehingga operasi ilmiah
harus bersifat multidimensional. Cara pandang keterkaitan ilmu-ilmu ini ditandai tiga pendekatan
utama:
a. Multidisipliner, ditandai oleh kegiatan studi yang tertuju pada sebuah sentral dari sudut
perspektif disiplin ilmu yang terpisah tanpa adanya suatu kesatuan konsep. Orientasinya
bersifat vertikal karena merupakan penggabungan konsep/ide beberapa disiplin ilmu yang
diterapkan ke dalam masalah tertentu, misalnya ke dalam bidang pendidikan jasmani.
b. Interdisipliner ditandai oleh interaksi dua atau lebih disiplin ilmu berbeda dalam bentuk
komunikasi konsep atau ide untuk saling terpadu dalam topik atau bidang kajian yang
menjadi pusat perhatian.
c. Lintasdisipliner, ditandai oleh orientasi horisontal karena melumatnya batas-batas disiplin
ilmu yang sudah mapan. Meskipun bagian tertentu dipinjam dari disiplin lainnya yang
relevan, sebuah konsep penyatu muncul dan membangkitkan keterpaduan dalam satu bidang
studi.
Pemahaman ketiga pendekatan ini penting dalam menangani suatu pokok soal tertentu
yang seringkali membutuhkan komunikasi antara suatu disiplin ilmu dengan satu atau lebih
disiplin ilmu lainnya. Komunikasi ini bisa saja terjadi antara suatu disipin ilmu di lingkungan
ilmu-ilmu sosial dengan ilmu-ilmu alam. Misalnya, dalam rangka mengeksplorasi suatu ekspresi
kejiwaan yang ditengarai harus melihat dai sisi susunan syaraf dari dan ke otak, maka psikologi
“meminta sumbangan” dari ilmu neuro-fisiologi. Tidak jarang, komunikasi yang intens dan ajeg
pada akhirnya dilegitimasi menjadi bidang keilmuan yang baru sesuai syarat-syarat keilmuan
yang ada.
Pendekatan seperti tersebut di atas memunculkan berbagai pola hubungan antara suatu
disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain. Hoogveld (dalam Burhanuddin Salam, 1997: 22)
menengarai ada lima pola hubungan ilmu pengetahuan:

39
1. Hubungan teleo-thetis (timo-thetis)
Ilmu pengetahuan yang satu berfungsi menerangkan tujuan yang harus dikejar oleh suatu
ilmu pengetahuan yang lain. Misalnya: filsafat negara berfungsi teleo-thetis bagi ilmu
kenegaraan dan kemasyarakatan umumnya.
2. Hubungan hypo-beleo-gnosis
Ilmu pengetahuan yang satu berfungsi menerangkan kepada ilmu pengetahuan yang lain
tentang objek materialnya. Misalnya: biologi berfungsi hypo-beleo-gnosis terhadap ilmu
kedokteran, atau, psikologi anak-anak berfungsi hypo-beleo-gnosis terhadap paedagogik.
3. Hubungan methodod-gnosis
Ilmu pengetahuan yang satu berfungsi menerangkan metode bagaimana yang layak
digunakan untuk ilmu pengetahuan yang lain. Misalnya: ilmu kesehatan terhadap pendidikan
jasmani, psikologi sosial terhadap publik administrasi.
4. Hubungan perluasan horizon/cakrawala
Ilmu pengetahuan yang satu berfungsi memperluas cakrawala pandang (tegasnya memberi
bahan ilustratif) ilmu pengetahuan yang lain. Misalnya: ilmu sejarah terhadap ilmu
kebudayaan, fisika terhadap filsafat.
5. Hubungan membantu
Ilmu pengetahuan yang satu memberi bantuan kepada ilmu pengetahuan yang lain.
Misalnya: statistik memberi bantuan terhadap semua ilmu lain.

E. Tugas-Tugas Ilmu Pengetahuan


Dalam terminologi ilmiah, tugas-tugas ilmu pengetahuan dapat digolongkan sebagai
berikut :
1). Tugas eksplanatif : tugas menerangkan gejala-gejala alam.
2). Tugas prediktif : tugas meramalkan kejadian-kejadian di masa depan.
3). Tugas kontrol : tugas mengendalikan peristiwa yang akan datang.
Penjelasan:
1. Tugas eksplanatif: menerangkan.
Tujuan pokok dari penelitian-penelitian ilmiah bukan semata-mata untuk melukiskan
(mengadakan deskripsi) gejala-gejala, melainkan juga menyediakan keterangan-keterangan
tentang gejala-gejala itu. Sarjana-sarjana modern pada umumnya tidak merasa puas dengan

40
hanya memberi nama, menggolong-golongkan atau mencatat gejala-gejala. Sebab herhenti pada
taraf deskriptif itu, tidak banyak yang dapat diambil dari pengetahuan tentang gejala itu untuk
keperluan-keperluan praktis di masa depan. Oleh sebab itu di samping mendeskripsi gejala-
gejala, mereka melangkah lebih jauh lagi, yaitu mencari keterangan-keterangan tentang sebab-
sebab, kondisi-kondisi, atau alasan-alasan yang menimbulkan sesuatu kejadian. Dengan
menemukan sebab-sebab, kondisi-kondisi, atau alasan-alasan kejadian itu mereka
membayangkan generalisasi yang dapat diterapkan pada kejadian-kejadian khusus dari waktu ke
waktu. Jadi yang penting sebagai tugas ilmu yang pertama, bukanlah mendeskripsi, melainkan
menerangkan, mencari sebab-sebab, kondisi-kondisi atau alasan-alasan yang menimbulkan
kejadian. Dengan perkataan lain: mengadakan explanation tentang gejala-gejala yang timbul
dihadapannya.
2. Tugas prediktif: meramalkan.
Untuk mengadakan prediksi (meramalkan) kejadian-kejadian yang akan datang, dengan
keterangan saja tentang peristiwa-peristiwa alam belumlah mencukupi. Untuk itu diperlukan
sekali tentang konsep-konsep yang lebih tinggi tarafnya, yaitu hukum-hukum atau dalil-dalil
alam sehingga atas dasar itu semua orang dapat memberikan ramalannya dengan teliti tentang
kejadian-kejadian yang akan datang. Sudah barang tentu, makin luas daerah generalisasi sesuatu
hukum akan makin berguna buat meramalkan kejadian-kejadian yang makin banyak macam
ragamnya.
3. Tugas kontrol: mengadakan kontrol.
Ilmu pengetahuan tidak hanya bertugas membeberkan kejadian-kejadian dan
menyediakan hukum-hukum atau dalil-dalil untuk meramalkan kejadian-kejadian dimasa depan,
tetapi juga bertugas mengontrol kejadian-kejadian yang makin banyak jumlahnya. Yang
dimaksud dengan mengontrol atau mengendalikan adalah mempermainkan kondisi-kondisi untuk
menimbulkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Misalnya dalam bidang psikologi orang
mengetahui bahwa ada hubungan yang searah (korelasi yang positif) antara kemampuan dan
prestasi. Dari ini orang dapat meramalkan bahwa orang yang sedikit kemampuannya tidak akan
besar prestasinya. Karena itu pekerjaan-pekerjaan yang meminta prestasi yang besar tidak
diserahkan kepada orang-orang yang rendah kemampuannya. Contoh lain, keletihan jasmani
meyebabkan pula keletihan rohani. Maka di dalam mengatur jadwal pelajaran di sekolah,
sesudah jam olah raga harus diberi waktu istirahat yang cukup sebelum memulai pelajaran baru.

41
Hampir semua ilmu pengetahuan praktis meletakkan sebagai tujuannya terakhir pada
tugas kontrol. Sungguhpun demikian, untuk sampai ke tujuan akhir itu bukanlah tujuan yang
mudah. Banyak para ahli yang pandai meramalkan terutama para ahli ilmu pengetahuan alam
(karena daya ramal ilmu-ilmu pengetahuan alam biasanya lebih tinggi daripada ilmu-ilmu sosial)
– tetapi belum mampu mengontrol gejala. Misalnya: keadaan cuaca, datangnya bintang-bintang
komet dan sebagainya. Meramalkan gejala-gejala itu telah dapat dilakukan dengan sukses yang
cukup tinggi. Tetapi mengontrolnya hampir-hampir sama sekali belum dapat dilakukan. Malahan
dalam beberapa hal meramalkan saja masih belum dapat dilakukan, seperti gempa bumi, dan
sebagainya. Meskipun demikian pada umumnya ilmu pengetahuan telah memberikan banyak
dasar-dasar untuk meramalkan dan mengontrol sehingga manusia makin berhasrat akan
perkembangan ilmu pengetahuan yang sepesat-pesatnya.

F. Batas Pengkajian Ilmu


Apakah nilai kebenaran dari ilmu itu bersifat mutlak dan dapat menjawab seluruh
permasalahan manusia?
Berikut ini beberapa ringkasan jawaban filsuf-ilmuwan (Burhanuddin Salam, 1997: 94-6).
1. Ilmu terbatas oleh akal manusia (Immanuel Kant)
2. Ilmu tergantung pada format dan isi soal/objek yang dikaji (D.C. Mulder)
3. Ilmu gagal memenuhi kerinduan dan kehausan manusiawi akan cinta dan keabadian, arti
kematian dan makna kesengsaraan (Frans Dahler)
4. Ilmu tidak pernah mutlak, akan tersisih oleh ilmu baru yang lebih sempurna dan menjanjikan
(Jean-Paul Sartre).
Dapat ditarik kesimpulan dari keterangan-keterangan tersebut di atas, bahwa dalam hal
keterbatasan ilmu:
1. Tidak semua permasalahan kehidupan manusia dapat dijawab tuntas oleh ilmu.
2. Nilai kebenaran ilmu bersifat positif dalam arti berlakunya sampai saat ini dan juga bersifat
relatif atau nisbi dalam arti tidak mutlak kebenarannya.
3. Batas dan relativitas ilmu pengetahuan bermuara pada filsafat dalam arti semua persoalan
yang berada di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan itu diserahkan kepada filsafat
untuk menjawabnya.

42
Objek ilmu seolah-olah tidak ada batasnya, namun penjelajahan ilmu ada batasnya.
Demikian kesimpulan yang bisa diambil dari paparan di atas. Secara signifikan ontologi
membahas hal ini. Apakah batas penjelajahan ilmu itu? Di mana ilmu berhenti dan menyerahkan
pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan yang lain (termasuk filsafat atau agama)? Apa yang
menjadi karakteristik objek ontologis ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-
pengetahuan yang lain? Jawabannya: ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia
dan berhenti di batas pengalaman manusia. Persoalan hari kemudian tidak ditujuakan kepada
ilmu, melainkan kepada pengetahuan agama. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada
batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang digunakan yang teruji secara empiris.
Mempersoalkan surga dalam wacana ilmiah sama saja dengan memaksakan kontradiksi yang
menghilangkan kesahihan metode ilmiah. Bagaimana melakukan pembuktian empiris tentang
surga?
Ruang penjelajahan keilmuan terbagi lagi menjadi berbagai subdisiplin ilmu yang terus
menyempit ruang kajiannya namun menajam pembahasannya. Ini dikenal sebagai spesialisasi
ilmu. Kalau di bagian terdahulu dijelaskan pada fase awal hanya ada ilmu-ilmu alam dan ilmu-
ilmu sosial, maka dewasa ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan (Jujun, 2002: 92).
Ilmuwan harus tahu benar batas-batas eksplorasi disiplin keilmuannya masing-masing. Tanpa
kejelasan batas-batas ini, maka pendekatan multidisipliner – yang memang semakin diperlukan –
tidak akan bersifat konstruktif namun justru menjadi pengacauan. Tepat sekali kalimat yang
terukir di Orakel Delphi untuk diterapkan pada ilmuwan dalam hal pembatasan ini: gnoti
seauton! (kenalilah dirimu sendiri).

LATIHAN
1. Sebutkan tiga contoh pertanyaan terkait dengan ontologi
keilmuan!
2. Apa yang anda ketahui tentang
metafisika?
3. Jelaskan sudut pandang metafisis spiritualisme tentang kenyataan dan pengetahuan
manusia!
4. Sebutkan dan jelaskan tiga asumsi ilmu tentang objek
empiris!
5. Salah satu penggolongan ilmu yang berlaku di universitas-universitas ternama di USA
adalah bahwa ilmu terbagi dalam golongan ilmu alam, ilmu sosial, dan humaniora. Jelaskan!
6. Semakin terspesialisasinya ilmu diiringi pula dengan makin berkelindannya satu ilmu dengan
yang

43
lain, sehingga dikenal ada beberapa pendekatan tentang keterkaitan satu ilmu dengan
lainnya. Sebutkan!
7. Sebutkan pula pola hubungan ilmu menurut
Hoogveld!
8. Jelaskan tentang tugas-tugas ilmu
pengetahuan!
Kegiatan Belajar 3
POKOK-POKOK EPISTEMOLOGI DALAM FILSAFAT ILMU

A. Pemahaman Awal Epistemologi


Kata Epistemologi berasal dari bahasa Gerika (Yunani) “episteme” yang berarti
pengetahuan atau knowledge, dan “logos” yang berarti ilmu atau teori. Jadi Epistemologi berarti
ilmu atau teori tetang pengetahuan, yakni ilmu yang membahas masalah-masalah pengetahuan.
Istilah Epistemologi banyak dipakai di negeri-negeri Anglo Sakson, dan jarang-jarang dipakai di
negeri-negeri Kontinental (Eropa). Filsuf-filsuf Jerman menyebut ilmu yang membicarakan
masalah-masalah pengetahuan dengan istilah wisschenschaftslehre, sedangkan filsuf-filsuf
Belanda menyebutnya wetenschapsleer.
Sebagai salah satu cabang filsafat, Epistemologi secara luas diartikan sebagai ilmu
pengetahuan yang membahas masalah-masalah pengetahuan. Menurut Webster’s New
Internasional Dictionary, Epistemologi diberi batasan sebagai berikut:
Epistemology is the theory or science of the method and grounds of knowledge, especial
with reference to its limits and validity.

Artinya: Epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar
pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas dan validitasnya.
Langeveld membagi masalah-masalah pengetahuan meliputi: a). kebenaran; b). logika;
c). teori pengetahuan. Pembagian ini menjadikan Epistemologi lazimnya diartikan sebagai ilmu
yang hanya membicarakan masalah-masalah kebenaran dan teori pengetahuan saja, sedangkan
logika yang menjadi syarat tercapainya pengetahuan yang benar, dipisahkan daripadanya dengan
alasan bahwa logika berobjekkan akal yang membahas masalah-masalah ketepatan bekerjanya
akal.
Epistemologi sebagai ilmu yang membahas sedalam-dalamnya tentang masalah-masalah
ilmu pengetahuan, bertujuan untuk memperoleh realitas dan kebenaran ilmiah yang hakiki,
sehingga dengan demikian ilmu pengetahuan dapat dipertanggungjawabkan secara material,

44
formal dan moral. Tanggung jawab material ilmu pengetahuan terletak pada segi
keobjektifannya. Tanggung jawab formal, menyangkut persoalan ketepatan penyelidikannya,
sedangkan segi pertanggungan jawab moral adalah aspek daya gunanya dalam usaha
meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia sebagai pribadi, warga masyarakat
dan makhluk Tuhan.

B. Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan


1. Fungsi Panca Indera Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Manusia adalah makhluk istimewa, karena ia dikarunia panca indera, akal dan Budi.
Dengan perantaraan inderanya, manusia mengetahui dan mengenal dunia sekitarnya. Ia
mengamati, menyaksikan dan meyakini segala peristiwa dan keadaan di dalam alam dengan
menggerakkan dan menggunakan panca inderanya. Panca indera sebagai penerima rangsang dari
luar, terdiri dari lima perabot (perkakas) yang melekat pada tubuh manusia, yakni :
1. Mata - untuk melihat segala keadaan.
2. Telinga - untuk mendengarkan suara.
3. Hidung - untuk mencium bau-bau.
4. Kulit - untuk merasa dan meraba.
5. Lidah - untuk merasakan makanan dan minuman.
Kelima perabot tersebut, pada hakikatnya berupa ujung-ujung syaraf yang berhubungan
dengan otak dan sumsum tulang belakang sebagai pusat pengenalan. Dengan melewati perabot-
perabot tersebut, segala kejadian dan segala keadaan dunia luar masuk ke dalam kesadaran.
Sehingga dapat dikatakan bahwa panca indera berfungsi sebagai alat penghubung antara dunia
luar dengan jiwa yang menangkap dan mengatur kesannya.Thomas Ab Aquino berkata: “Slechts
dat kan tot ons verstand toegang vinden, wat door onze zintuigen is opgenomen” (Tiada sesuatu
dapat masuk ke dalam akal yang tidak ditangkap oleh panca indera).
Atas dasar fungsi tersebut, selanjutnya Dr. Maria Montessori memandang panca indera sebagai
pintu gerbang masuknya ilmu pengetahuan.
Terhadap otak, panca indera dapat diibaratkan sebagai penyiar berita yang datangnya dari
luar. Akan tetapi sebagai penyiar berita, pada prinsipnya ia tidak dapat dipercaya seratus prosen.

45
Dalam hidup sehari-hari kita menyaksikan bahwa panca indera seringkali menjalankan kesalahan
di dalam pengamatannya dari hasil tangkapan alat-alat teknik yang seringkali berbeda dengan
tangkapan panca indera kita.Untuk menghindarkan pengaruh dari kesalahan-kesalahan yang
berulang dari pengamatan kita atas hasilnya, maka justru kepada manusia dikaruniai panca
indera lahir yang berbeda-beda pekerjaannya dengan mana kenyataan yang berbagai-bagai corak
dan bentuknya dapat diselidiki dari berbagai-bagai jurusan. Dengan demikian kita dapat menarik
kesimpulan bahwa sesuatu itu merupakan realitas, apabila panca indera yang terdiri dari lima
fungsi yang berbeda itu menerima cukup kesan yang sama tentang keadaan tadi.
Disamping hal tersebut, terhadap berjenis-jenis tenaga alam yang tak terhitung
banyaknya, panca indera manusia itu pada hakikatnya masih sangat sederhana keadaannya. Hal
ini dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa :
1. Manusia tidak dapat menangkap tenaga listrik dan magnit, tidak dapat menangkap tekanan
udara dan derajat perlembaban.
2. Manusia tidak dapat mencium sebagian besar dari pelbagai gas.
3. Manusia tidak dapat merasai dan melihat sinar Ultraviolet, sinar Rontgen, sinar Gamma,
warna Ultraviolet dan Infrared (merah rendah).
4. Manusia tidak dapat merasai dan melihat gelombang pemancar radio dan dinamo, proses
radio aktif dan emanasi, sinar tumbuh-tumbuhan, hewan dan sebagainya. dan sebagainya.
Semua keadaan tersebut, beribu-ribu tahun tersembunyi bagi manusia sampai ilmu
pengetahuan dan teknik dalam abad-19 Masehi berhasil menemukan alat-alat, perkakas-perkakas
serta cara-cara yang membawa perkembangan kebudayaan modern, misalnya: perkakas potret,
teropong, microscoop, ultra microscoop, electroscoop, spectroscoop, alat Rontgen, microphone,
alat pengeras suara (loudspeaker), dan sebagainya. Alat-alat tersebut pada hakikatnya merupakan
panca indera buatan, yang diciptakan manusia guna menambah kekuatan panca inderanya.
Demikianlah panca indera manusia sebagai alat penerima rangsang dari luar, masih amat
sederhana dan terbatas kemampuannya, sehingga jika dibandingkan dengan alat-alat modern
sekarang ini, panca indera termasuk golongan barang kuno.

2. Fungsi Akal Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan


Di samping panca indera yang terdiri dari lima perabot yang melekat pada tubuh,
manusia dikaruniai pula akal, yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan jiwanya.

46
Akal, yang disebut juga pikiran atau cipta, merupakan salah satu pusat yang sangat penting di
dalam otak, dan berkedudukan sebagai sumber kekuasaan jiwa yang mempunyai kemampuan
untuk mencapai relitas alam. Sifat yang terutama dari akal ialah kecenderungan untuk
mengetahui sesuatu dengan jelas, sampai mendapatkan kenyataan yang objektif. Sifat demikian
merupakan kodrat akal, yang di dalam istilah psikologi disebut motif-ilmiah atau dorongan ingin
tahu (human-curiousity).
Selain tendensi untuk mencapai realitas, akal juga memiliki kemampuan untuk
mengorganisir semua kenyataan objektif yang diperolehnya, sehingga dengan demikian
melahirkan suatu sistem yang bulat dan menyeluruh yang disebut ilmu pengetahuan. Dalam hal
ini, akal manusia berfungsi sebagai kunci penangkapan terhadap realita, tempat mencamkan
segala sesuatu yang dihadapinya, membentuk pengertian serta keputusan, yang akhirnya sampai
pada pemahaman serta keyakinan sebagai konklusi. Proses penangkapan, pencaman,
pembentukan pengertian, keputusan serta kesimpulan sesuai dengan hukum akal terhadap
sesuatu objek, baik material, formal maupun ideal, menghasilkan sesuatu realitas yang berupa
ilmu pengetahuan yang objektif.
Atas dasar proses tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan yang
objektif pada hakikatnya dihasilkan oleh hukum-hukum ketepatan bekerjanya akal (logika
formal) tentang peristiwa-peristiwa objektif dunia luar (logika material), sehingga dengan
demikian merupakan kesimpulan-kesimpulan yang sistematis dan objektif sebagai kebenaran
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Sekalipun demikian, perlu kita sadari bahwasanya akal tidaklah begitu mudah untuk
mencapai kenyataan objek. Kemampuan akal manusia itu terbatas. Ia tidak dapat meraih semua
peristiwa-peristiwa yang terjadi didunia ini. Di dalam proses berpikir, terdapat lubang-lubang
kesesatan yang kadang-kadang tak dapat dihindari oleh manusia. Realitas menunjukkan bahwa
betapapun cerdasnya seseorang, ia tak luput dari kesalahan-kesalahan di dalam menganalisis dan
menarik kesimpulan dari hasil-hasil penyelidikannya. Lubang-lubang tersebut dapat terjadi pada
beberapa hal, antara lain:
a. Di dalam menggunakan atau mengartikan kata maupun istilah yang tidak tepat.
b. Di dalam menggunakan atau menafsirkan definisi yang tidak benar.
c. Tidak mengikuti hukum-hukum logika secara tertib, misalnya memakai premis-premis yang
keliru.

47
d. Tidak tepat dalam memilih metode maupun bentuk penyelidikan.
e. Tidak tepat dalam memilih teknik-teknik analisis data.
f. Terlalu dipengaruhi oleh keyakinan dan keinginan sendiri.
Untuk dapat mengatasi kesesatan-kesesatan tersebut, seorang penyelidik harus dapat
berpikir dan bekerja setertib-tertibnya. Ia harus bekerja menurut taraf-taraf atau tingkatan-
tingkatan berpikir ilmiah. Ia harus juga menggunakan methode-metode yang serasi dengan
objeknya, agar kenyataan yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dalam hal
ini, John Dewey telah memberikan garis-garis besar dari apa yang disebut berpikir ilmiah, yang
banyak digunakan sebagai pedoman untuk memperoleh kebenaran ilmu pengetahuan sesuai
dengan prinsip-prinsip modern.
Menurut Dewey, terdapat lima tingkatan berpikir ilmiah yang berhubungan dengan
metode berpikir reflektif, yaitu:
1. The Felt Need
Dalam taraf permulaan ini, orang merasakan sesuatu kesulitan atau persoalan. Kesulitan atau
persoalan tersebut, dapat berupa :
a. belum dapat menerangkan suatu kejadian yang timbulnya dengan tiba-tiba dan tak
diduga-duga.
b. belum memperoleh alat atau cara untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkannya.
c. belum menemukan ciri-ciri, sifat-sifat atau unsur-unsur dari suatu objek yang
dipersoalkan.
2. The Problem
Dengan terbenturnya suatu kesulitan seperti tersebut di atas, seorang penyelidik menyadari
persoalannya dan dalam langkah selanjutnya ia berusaha menegaskan persoalan itu dalam
bentuk perumusan masalah (problem-statement).
3. The Hypothesis
Langkah yang ketiga adalah mengajukan kemungkinan pemecahannya atau mencoba
menerangkannya. Ini boleh didasarkan atas dugaan-dugaan, kesimpulan-kesimpulan yang
bersifat sementara, teori-teori, kesan-kesan umum ataupun bentuk-bentuk lain yang belum
merupakan kesimpulan terakhir (final conclusion).

48
Semua hal tersebut secara tehnis-metodologis disebut membuat hipotesa sebagai pangkal
kerja dan harus dibuktikan kebenarannya atau kesalahannya untuk memperoleh apa yang
disebut kesimpulan final.
4. Collection of data as evidence
Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan semua data sebagai bukti, yakni berupa bahan-
bahan, keterangan-keterangan atau bukti-bukti lainnya. Kemudian diolah secara logis untuk
menguji benar-tidaknya hipotesa yang telah dibuatnya beserta implikasi-implikasinya.
5. Concluding belief
Setelah pembuktian hipotesa selesai, maka langkah terakhir menarik suatu kesimpulan yang
bertitik tolak pada hasil pembuktian tadi. Dengan pembuktian yang telah dikerjakan, maka
hipotesa yang telah diajukandapat diterima atau tidak.
Dengan jalan analisis yang terkontrol (eksperimental) terhadap hipotesa-hipotesa yang
diajukan, akhirnya disusunlah suatu keyakinan sebagai konklusi.
Demikianlah lima tingkat berpikir ilmiah yang dikemukakan oleh John Dewey. Selanjutnya
Kelley menambahkan satu fase (tingkat) lagi yaitu:
6. General value of the conclusion
Jika suatu pemecahan telah dipandang tepat, maka perlu disimpulkan impikasi-implikasinya
untuk masa depan. Ini biasa disebut refleksi, yang bertujuan untuk menilai pemecahan-
pemecahan baru dari segi-segi kebutuhan-kebutuhan masa mendatang. Pertanyaan yang ingin
dijawab disini ialah: kemudian apa yang harus dilakukan. Ini kerap kali dikemukakan pada
taraf yang terakhir dalam suatu pemecahan masalah.
Proses berpikir ilmiah seperti tersebut di atas, yang lazim pula disebut cara berpikir
modern, berkecenderungan untuk mengadakan penyelidikan secara teliti, kritis, objektif dan
rasional terhadap peristiwa-peristiwa dari dunia luar (dunia nyata).
Oleh karenanya, objek daripada akal pada umumnya adalah keadaan yang nyata, berbenda atau
berjasad yang dapat ditangkap dengan panca indera. Dengan demikian hasil akal tidak akan
melebihi hasil tangkapan panca indera itu sendiri. Walaupun panca indera manusia diperhebat
kekuatannya dengan alat-alat modern, namun hasilnya tetap akan merupakan bayangan dengan
tiga ukuran (demensi tiga). Tidak mungkin dengan alat-alat yang serba kasar seperti panca indera
itu, manusia dapat menyaksikan hakikat semua kenyataan sebagai kebenaran yang sejati. Untuk

49
dapat meraih hakikat kenyataan sebagai kebenaran yang sejati di samping panca indera dan akal,
manusia dikaruniai pula budi sebagai alat perantara antara akal dan Tuhan.

3. Peranan Budi Dalam Menemukan Hakikat Kenyataan


“Buddhi” ialah perkataan Sansekerta dan menurut terminologi Hindu berarti Azas-
Hikmah, yang mengetahui segala kenyataan tidak dengan pandangan, melainkan dengan
keinsyafan batin yang murni. Perbedaan antara akal dan Budi secara prinsipiil terletak pada segi
objek yang menjadi sasaran penyelidikannya. Menurut Immanuel Kant, bahwa akal (Verstand)
mempunyai objek-objek yang material dan berwatas, sedangkan Budi (Vernunft) berobjekkan
hal-hal yang immaterial dan tak berwatas. Objek-objek Budi yang immaterial dan tak berwatas
ialah: Roh (Seele), Jagad (Welt) dan Tuhan (Gott). Manusia dengan menggunakan akalnya,
mempunyai kekuatan untuk berpikir secara logis, guna menyelidiki keadaan-keadaan yang
berjasad yang bersifat material. Sedangkan dengan Budi, ia mempunyai kekuasaan yang lebih
dalam, yakni kekuasaan untuk berpikir secara intuitif guna menjelajah keadaan-keadaan
metafisis, yang berada diluar jangkauan panca indera dan akal.
Dalam hubungan antara akal dan Tuhan, Budi berkedudukan sebagai perantara. Ia
merupakan saluran yang memberikan jalan bagi pengetahuan Tuhan menuju akal. Sebagai alat
penghubung antara akal dan Tuhan, Budi menempati kedudukan yang lebih tinggi dan lebih
penting daripada akal. Ia berada di atas akal dan bertugas memberikan peringatan-peringatan
atau petunjuk-petunjuk apabila keharmonian alam dan hidup sedang dalam keadaan terancam.
Oleh karena itu Budi dapat dikatakan berperanan dan berkedudukan sebagai Supe-Rasio.
Kedudukan Budi sebagai Super-Rasio, mempunyai kekuasaan kodrat yang lebih besar,
lebih luas, lebih tinggi dan lebih murni jika dibandingkan dengan akal. Ia ibarat obor atau pelita
yang menyinari dan menerangi akal terhadap kegelapan rahasia seluruh alam, sehingga Budi
dapat dipandang pula sebagai sumber kekuasaan Rohani untuk memperoleh pengetahuan yang
setinggi-tingginya, seluhur-luhurnya, seluas-luasnya serta semurni-murninya tentang hakikat dari
seluruh isi semesta Alam. Budi sebagai sumber kekuasaan Rohani, secara kodrat tersembunyi di
dalam diri pribadi setiap manusia. Oleh karenanya dalam usaha menyingkap tabir rahasia alam
untuk memperoleh kebenaran yang hakiki, tidak menggunakan pikiran logis yang bersumber
pada bahan-bahan hasil penyemakan panca indera, melainkan dengan perenungan atas dasar
keinsyafan batin yang murni.

50
Sesuai dengan azas tersebut, maka Budi dapat juga dipandang memiliki sifat-sifat sebagai
rasio murni atau kesadaran murni, dalam arti pemikiran atau perenungan yang bersifat murni,
tidak tergantung dari pengalaman panca indera, serta terlepas pula dari sifat-sifat pragmatis yang
mengutamakan kepentingan diri sendiri. Dengan demikian, manusia baru dapat menggunakan
kekuatan Budinya sebagai kekuasaan tertinggi, apabila ia mampu memurnikan dirinya, mampu
membersihkan jiwanya dari pengaruh panca indera serta pemikiran-pemikiran yang bersifat
pragmatis untuk kepentingan duniawi. Jika rangsangan-rangsangan yang diterima oleh panca
indera dapat dihentikan, dan manusia bebas dari pemikiran-pemikiran yang bersifat lahiriah,
maka Budi sebagai Super-Rasio, sebagai Rasio-Murni atau Kesadaran Murni baru dapat bekerja
atas bimbingan kekuasaan Tuhan.
Para ahli pikir Barat, di dalam usahanya memecahkan berbagai masalah filsafat dan ilmu
pengetahuan, pada umumnya telah mencapai tingkatan cara berpikir intuitif dengan
menggunakan Super-Rasio atau Budi sebagai dasarnya. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 –
1831), seorang filsuf Jerman berpendapat bahwa satu-satunya pikiran yang benar ialah pikiran
yang dapat ditingkatkan dari keadaan yang berjasad (material), ke arah yang mujarab (abstrak)
dan terus menuju Tuhan. Dalam usaha mencapai kebenaran, bukan akal saja yang harus bekerja
melainkan harus disertai Budi sebagai sumber intuitie. Akal hanya dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan yang bersifat empiris, tetapi segala persoalan-persoalan yang bersifat
metafisis, seperti adanya Tuhan, kekekalan, nyawa (roh), dan segala peristiwa yang terletak di
belakang dunia nyata ini hanya dapat diselesaikan dengan intuitie. Alam pikiran Hegel, besar
pengaruhnya terhadap para ahli filsafat teristimewa di kalangan tokoh filsafat Barat dalam abad
ke 20, yang pada umumnya cenderung meletakkan Budi (intuitie) dalam posisi pertama dan
terutama sebagai sumber kebenaran yang hakiki.
Henri Bergson (1859–1941), seorang filsuf Perancis yang terkenal sebagai tokoh aliran
Intuitionisme berpendapat bahwa dalam diri manusia terdapat dua jenis tingkatan intuitie, yang
disebut intuisiyang infra-intelektual dan intuisi yang supra-intelektual. Yang dimaksud dengan
intuisi yang infra-intelektual, ialah intuisi yang menyertai anasir-anasir pikiran yang masuk
kedalam otak melalui panca indera. Intuisiini tumbuh sebagai akibat dari tangkapan panca
indera. Azas dari pemikiran ini ialah adanya perpaduan antara akal dan Budi antara logika dan
intuitie. Ini dilandasi oleh kenyataan bahwa ilmu pengetahuan walaupun mempunyai rumus
bentuk yang logis tidaklah ia bebas dari intuitie. Dan sebaliknya penemuan baru yang diperoleh

51
dengan jalan intuitie, senantiasa membutuhkan kemajuan dari logika. Perpaduan antara logika
dan intuitie, antara akal dan Budi, akan menghasilkan pengetahuan yang setinggi-tingginya.
Kreasi-kreasi dalam bidang ilmu pengetahuan yang amat menakjubkan, sebagian besar diperoleh
dari azas berpikir seperti tersebut diatas.
Tergolong orang-orang yang mempunyai intuisi yang infra-intelektual atau intuisi yang
logis, ialah para sarjana kenamaan yang menemukan hukum-hukum alam yang selanjutnya
menjadi patokan ilmu pengetahuan modern, di antaranya ialah : Copernicus, Newton, Dalton,
Malthus, Darwin, Pasteur, Lorentz, Einstein, dan sebagainya. Mereka itu di dalam usaha
menemukan hukum-hukum alam, pada prinsipnya dengan menggunakan cara berpikir abstraksi,
yang kemudian mengadakan asosiasi antara apa yang diperolehnya dari akal dengan gambaran-
gambaran yang berasal dati Supra-Rasio. Sarjana yang baik, ialah mereka yang menyadari serta
mampu menggunakan prinsip-prinsip berpikir seperti tersebut di atas.
Intuisi yang supra-intelektual ialah intuisi yang tumbuh pada seseorang dengan tidak
didahului oleh keterangan yang logis dan tidak tergantung pada pengamatan. Intuisi ini diterima
oleh Budi secara murni dalam arti tidak dipengaruhi oleh akal sebelumnya. Dengan intuisi inilah
orang-orang yang sederhana tetapi bersih batinnya, terangkat derajatnya ke tingkatan yang
setinggi-tingginya sehingga menjadi orang yang ternama. Masuk golongan intuisi yang supra-
intelektual ialah wahyu, kasyf, ilmiah dan ilham. Orang-orang yang tergolong mempunyai intuisi
yang supra-intelektual:
1. Para Nabi dengan kitab-kitab sucinya seperti Injil, Al Qur’an, Taurat, dan sebagainya.
2. Para Wali.
3. Para ahli filsafat yang hasil pikirannya sampai akhir jaman tetap mempunyai harga, bahkan
di dalam jaman modern ini menerima isbat dari pihak yang tidak disangka-sangka. Hasil
ciptaan para filsuf ini, misalnya Vedanta dan Sankhya philosophie, filsafat dari Lao-Tse dan
Kong Fu Tse, filsafat dari Plato, dan sebagainya.
4. Para Pujangga yang ternama mempunyai kecakapan dapat menerima Sabda, sehingga dapat
mengetahui peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, diantaranya ialah William Lilly (Inggris),
Jacques Cazotte (Perancis), Georgiewitz-Weitzer (Jerman), Madame de Thebes; dan untuk
bangsa Indonesia ialah Empu Musarrar dan R. Ng. Ronggowarsito dengan kitabnya
Joyoboyo yang tidak asing lagi bagi kita bangsa Indonesia.

52
5. Para pencipta bangunan-bangunan kuno, misalnya Pyramide dari Giseh, candi Borobudur
dan candi-candi lainnya maupun kuil-kuil yang beribu-ribu tahun dapat menentang waktu
serta gangguan alam.
6. Para ahli sastra, misalnya Francis Bacon, Shakespeare, Goethe, Dante, dan sebagainya.
7. Para ahli seni lukis misalnya Rafael, Rembrandt, dan sebagainya.
8. Di dalam seni pertunjukan misalnya para ahli pencipta wayang kulit, di mana buah karya ini
sampai sekarang menjadi kegemaran bagi masyarakat Jawa.
Dari uraian tersebut diatas, sampailah kita pada konklusi, bahwa demikian besar peranan
panca indera, akal dan Budi sebagai kunci dasar atau azas berpikir untuk menghasilkan ilmu
pengetahuan yang seluas-luasnya, sedalam-dalamnya dan seluhur-luhurnya. Tidak dapat
disangkal bahwa hasil ilmu pengetahuan di dalam chuluk yang seindah-indahnya sebagaimana
tersebut diatas, akan mempengaruhi tata perkembangan teknik sebagai kunci dalam usaha
membina corak masyarakat dan roman muka dunia yang disebut kebudayaan (culture) dan
kehalusan adab (civilisasi).
Kita menyadari bahwa corak masyarakat dan roman muka dunia pada hakikatnya
ditentukan oleh dasar dan cara berpikir manusia. Dalam hal ini Frederik van Eeden menyatakan
bahwa pikiran yang benar dan amal yang baik, apabila menemui cita-cita atau angan-angan umat
manusia yang abadi dan mengenai kepentingan umum, pikiran demikian walaupun diucapkan
sekejap atau sepintas dikerjakan oleh seseorang yang tidak dikenal dan tersembunyi dalam pojok
belakang, akan menyiar seperti api menyala. Walaupun bunga api melalap lama, kebenaran akan
terus memijar dan sekali akan menemui mangsanya untuk menyala tinggi. Tetapi sebaliknya
pikiran yang salah dan amal yang buruk akan merusak dan melumpuhkan semua tata-tertib dan
akibatnya membawa dunua manusia terjebak dalam jala-kusut kedustaan yang besar. Oleh sebab
itu dalam usaha merubah dunia, terlebih dahulu harus merubah cara berpikir serta watak
manusianya. Dunia tidak dapat berubah apabila cara berpikir dan watak manusianya tidak
dirobah. Untuk menciptakan dunia baru yang penuh perdamaian dan kebahagiaan, maka
diperlukan type manusia baru dengan pandangan hidup baru, pendirian baru, dibawah langait
baru dan di dalam suasana baru.
Untuk itu maka di dalam sistem pendidikan tidak dibenarkan apabila hanya melulu
tertuju pada ketajaman akal (intelektual), tetapi sistem pendidikan perlu didasarkan atas
imbangan antara didikan intelektual yang mengutamakan ketajaman akal dengan didikan yang

53
tertuju kepada keutamaan Budi. Dengan landasan akal dan Budi, akan membawa manusia ke
arah suasana ketenteraman dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Skema kedudukan panca
indera, akal, dan budi dapat dilihat pada lampiran II.

C. Hukum Sebab Akibat


Sifat ilmu yang terpenting ialah mencari keterangan tentang kedudukan sesuatu hal atau
masalah berhubungan dengan sebab dan akibatnya. Sesuai dengan itu maka dapat dikatakan
bahwa ilmu adalah satu pengetahuan yang teratur dari hal pekerjaan hukum sebab-akibat.
Perhubungan sebab-akibat itu disebut juga dengan istilah kausalitas, oleh karenanya hukum
sebab akibat dapat disebut juga hukum kausalitas. Di mana seseorang mendapat pengetahuan
tentang sesuatu masalah dengan jalan menyusun pikiran untuk mengetahui sebab kejadiannya
dan akibatnya, di sanalah terdapat ilmu. Ilmu pengetahuan adalah rangkaian hukum sebab-akibat
yang disusun secara teratur dan sistematis sehingga merupakan suatu kebulatan.
Pengetahuan pengalaman baru menjadi pengetahuan ilmu, apabila pengetahuan itu
disertai dengan pengertian tentang kerja hukum kausal pada masalah yang dialami. Mengetahui
bahwa ada pasang naik dan pasang turun, belumlah merupakan ilmu. Tetapi mengerti apa
sebabnya ada pasang naik dan pasang turun, itulah pengetahuan ilmu.
Dengan diketemukannya hukum sebab akibat tentang suatu masalah, maka hukum
tersebut dapat diterapkan pada peristiwa-peristiwa yang sama, berlaku di mana saja serta dalam
waktu kapan saja. Dengan sebab yang sama – pasti melahirkan akibat yang sama pula, asalkan
keadaan-keadaan atau kondisi-kondisi yang lain tidak berubah. Oleh karena itu ilmu pengetahuan
dalam segala keterangannya senantiasa mengemukakan syarat asal yang selainnya tidak berubah.
Syarat ini biasa disebut dengan perkataan latin cateris – paribus. Contoh: tiap-tiap benda yang
lebih berat daripada udara, jika dilepaskan, jatuh kebawah. Ini disebut hukum jatuh. Hukum
dalam ilmu pengetahuan berarti keterangan tentang suatu kemestian. Tetapi tidak segala
keterangan ilmu disebut hukum. Keterangan ilmu baru disebut hukum, jikalau keterangan
tersebut berlaku di mana-mana dan setiap waktu. Jadi hukum ilmu bersifat abadi. Demikian pula
hukum jatuh bersifat abadi. Sekarang pesawat terbang yang lebih berat daripada udara, mengapa
tidak jatuh kebawah, melainkan justru naik keatas? Ini bukan menyatakan bahwa hukum tersebut
tidak benar. Kalau hukum jatuh tidak tampak berlaku terhadap pesawat terbang tadi, ini
disebabkan karena kerjanya dibatalkan oleh adanya syarat lain, yaitu gerak tundaan keatas.

54
Gerak tundaan keatas itu lebih kuat dorongannya, sehingga hukum jatuh seakan-akan tidak
bekerja. Tetapi ini bukan berarti bahwa ia tidak berlaku. Sebab apabila mesin pesawat terbang itu
yang menimbulkan tundaan keatas berhenti bekerja, maka dengan sekejap pesawat terbang yang
di udara itu jatuh ke bumi, sebab ia lebih berat daripada udara. Hukum jatuh berlaku sepenuh-
penuhnya. Inilah suatu tanda bahwa sesuatu hukum tidak hilang kepastiannya, sekalipun pada
suatu ketika tidak kelihatan bekerja. Sesuai dengan sifat terpenting ilmu pengetahuan yang
berusaha mencari hukum sebab-akibat yang bersifat pasti dan abadi sebagaimana tersebut diatas,
maka ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai perumusan peristiwa-peristiwa atau kejadian-
kejadian yang kemudian rumus itu dapat digunakan atau diterapkan pada peristiwa-peristiwa
yang sama dengan hasil atau akibat yang sama. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan harus bersifat:
1. Objektif, dalam arti didasarkan atas objek saja tanpa dipengaruhi oleh pandangan-pandangan
subjektif dari pengusahanya.
2. Dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Dalam hal ini Thomson menambahkan bahwa
ilmu pengetahuan harus dapat digunakan oleh siapa saja bagi yang dapat meyakini bahan-
bahan bukti itu. Atau dengan perkataan lain, ilmu pengetahuan itu harus bersifat umum, tidak
memihak, karenanya bersifat netral.
Sementara itu perlu kita sadari pula bahwa tiada selamanya sesuatu yang benar itu tentu
baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Sebaliknya tiada selamanya yang baik dan bermanfaat
bagi masyarakat itu selalu benar. Karena memang kedua-duanya berlainan kriteriumnya.
Kebenaran hanya dapat diukur atas dasar pemecahan yang logis, objektif dan dapat dibuktikan,
sedangkan yang baik dan berguna bagi masyarakat itu hanyalah nilai dalam masyarakat
sendirilah yang dapat menolak atau menerimanya terlepas apakah sesuatu itu logis atau tidak,
objektif atau tidak, dapat dibuktikan atau tidak. Sekalipun demikian, ilmu pengetahuan demi
perkembangannya seharusnya tidak terikat oleh suatu tradisi atau nilai-nilai dalam suatu
masyarakat atau negara. Sekali lagi ilmu pengetahuan adalah bersifat netral.
Sesuai dengan ketentuan tersebut diatas, maka suatu tuntutan terhadap seorang pekerja
ilmu, bahwa ia harus memiliki pribadi bebas terbuka disertai pikiran yang kritis terhadap segala
persoalan. Bebas, dalam arti kata mengemukakan pendapat tidak dikendalikan dengan paksa oleh
suatu rasa ketakutan atau tekanan. Yang diminta sebagai cara berpikir seorang ahli ilmu
pengetahuan ialah antara lain, bahwa ia tidak merasa tidak terikat atau terbatas pada waktu,
ruang dan tempat, kebangsaan, agama dan pandangan politik, sebab sesungguhnya kebenaran itu

55
tidak mengenal batas-batas yang demikian. Terbuka, dalam arti tidak memihak dengan
mengabaikan kebenaran, tetapi selalu hanya memihak pada kebenaran. Inilah yang dimaksud
dengan sikap objektif yang selalu dituntut dari pribadi seorang pekerja ilmu, sehingga ia benar-
benar bersih dari unsur-unsur subjektif yang perlu dijauhi dari cara berpikir ilmiah. Kritis, dalam
arti kata menilai segala sesuatu dalam perhubungan tempat, kebangsaan, agama dan pandangan
politik, sebab sesungguhnya kebenaran itu tidak mengenal batas-batas yang demikian.
Dengan usaha yang tidak mengenal lelah disertai dengan ketabahan dan ketekunan,
akhirnya sedikit demi sedikit manusia berhasil juga menyingkap tabir gelap yang berupa rahasia,
di mana selama ratusan bahkan ribuan tahun tersembunyi bagi manusia. Lalu, apakah yang
menyebabkan timbul dan berkembangnya ilmu? Pendorong yang hebat kearah usaha
menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan ialah adanya motif-motif yang terkandung
dalam diri manusia sendiri.
1. Motif-motif perkembangan ilmu pengetahuan.
Motif perkembangan ilmu pengetahuan dapat dibedakan menjadi tiga macam yang pada
dasarnya berjalan satu sama lain.
a. Curriosity motive (dorongan ingin tahu ).
Hasrat ingin tahu yang secara kodrat dimiliki oleh setiap manusia, dapat menggerakkan
mereka untuk selalu menanyakan kekuatan-kekuatan apa yang ada di balik gejala-gejala
alam ini. Mereka bertanya-tanya dalam hati, apakah gerangan yang menyebabkan kilat,
mengapa terjadi gerhana, apa yang terdapat di bulan, bagaimana kuman berkembang biak,
bagaimana mengobati penyakit paru-paru, bagaimana terjadinya peristiwa belajar, air
terjadi dari bahan apa dan seribu satu macam masalah yang lain menjadi pertanyaan
mereka. Dengan diketahuinya kekuatan-kekuatan yang menguasai alam itu, kemudian
timbullah hasrat untuk mengubah kekuatan-kekuatan tersebut menjadi alat bagi ketinggian
hidup manusia, untuk memperbaiki nasib hidup mereka di masa-masa mendatang. Di
sinilah curriosity motive terjalin menjadi satu dengan practicality motive yang merupakan
pendorong bagi usaha pengembangan ilmu pengetahuan.
b. Practicality motive (dorongan kegunaan praktis).
Manusia sebagai makhluk yang dianugerahi akal oleh Tuhan, selalu berusaha membuat
hidupnya lebih mudah dan lebih enak. Para petani berusaha memperoleh hasil tanamannya
lebih banyak. Untuk itu ia berpikir bagaimana caranya menggunakan pupuk yang tepat,

56
bagaimana memilih bibit tanaman yang baik, bagaimana membuat alat-alat pertanian yang
lebih praktis dan efektif. Para sarjana ilmu pengetahuan modern mendapatkan panggilan
yang tidak berbeda dengan orang-orang tersebut. Mereka mengadakan penyelidikan
dengan tujuan ingin menemukan alat-alat baru yang lebih praktis dan efektif untuk bekerja
guna mempertinggi taraf hidup umat manusia. Diketemukannya mesin hitung, mesin-
mesin pabrik, telepon, alat-alat listrik seperti kompor listrik, seterika listrik, dan
sebagainya adalah karena dorongan practicality.
c. Intrinsic orderliness motive (dorongan mencari hukum-hukum dari alam semesta).
Sejak jaman dahulu manusia tertarik kepada alam semesta yang melingkupinya, karena hal
itu erat sangkut pautnya dengan kehidupannya. Adanya siang dan malam, hujan, angin,
banjir, bintang-bintang, kelahiran – pertumbuhan – dan kematian, pergantian musim dan
sebagainya. menyebabkan orang berpikir. Pertama-tama terdorong oleh kebutuhan
hidupnya, maka orang memperhatikan perilaku alam untuk menemukan hukum-hukum
alam yang bersifat ajeg. Matahari selalu terbit disebelah timur dan terbenam disebelah
barat. Hujan banyak turun pada bulan-bulan Nopember, Desember, Januari dan Pebruari.
Pada siang hari angin berhembus dari laut kedarat, dan pada malam hari kebalikannya.
Manusia mengetahui bahwa dalam alam ini yang tampaknya chaostic, ada tata tertib, ada
hukum-hukum yang bersifat tetap dan ajeg, dan ini berguna bagi penghidupan manusia.
Oleh karena pengetahuan tentang tata-tertib dan hukum-hukum alam itu berguna bagi
hidup manusia, maka manusia terdorong ingin tahu lebih banyak tentang tata-tertib serta
hukum-hukum tersebut.
Ketiga dorongan tersebut, yang pada prinsipnya terjalin satu sama lain, kemudian disalurkan
melalui penyelidikan-penyelidikan. Dari hasil penyelidikan-penyelidikan itu, maka timbullah
ilmu-ilmu seperti ilmu bintang, ilmu alam, ilmu cuaca, ilmu hayat, ilmu kimia, dan sebagainya.
Ilmu pengetahuan pada hakikatnya merupakan perumusan-perumusan dari tata-tertib atau
hukum-hukum yang ada pada alam ini. Sifat ilmu adalah mencari keajegan (consistency) dari
gejala.
Telah sangat banyak rahasia-rahasia alam yang menakjubkan yang diketahui oleh ilmu
pengetahuan, dan diubah menjadi alat bagi peningkatan kebudayaan manusia. Apa yang kemarin
atau beberapa abad yang lalu masih merupakan rahasia yang banyak menimbulkan spekulasi,
dewasa ini dianggap soal yang biasa atau barangkali dianggap soal yang sudah semestinya.

57
Meskipun demikian, setiap hari masih banyak juga masalah yang belum terpecahkan, baik
masalah yang sudah lama menjadi perhatian ilmu pengetahuan maupun masalah baru yang
belum pernah disadari oleh siapapun juga sebelumnya. Semuanya ini merupakan tantangan bagi
penyelidikan.
Penyelidikan sebagai cara pemecahan yang dipakai di dalam ilmu pengetahuan, merupakan
cara-cara yang lebih dahulu dikenal manusia. Hanyalah dengan mengumpulkan pengetahuan dan
pengalaman selama perjalanan sejarah, manusia akhirnya menemukan jalan yang lebih banyak
memberikan kepastian akan kebenaran hasilnya. Dengan perpaduan antara pemikiran dan
pengalaman itu, memungkinkan manusia bergerak lebih jauh, lebih luas dan lebih dalam.
Sebagai hasil semuanya.itu, maka gerak peradaban manusia adalah gerak maju, gerak progresif.

D. Sumber Pengetahuan
Dalam membahas masalah sumber pengetahuan, sebagian ahli pikir berpendapat bahwa
pengetahuan, baik pengetahuan biasa maupun pengetahuan ilmu bersumber pada pengalaman.
Mereka yang berpendapat bahwa pengetahuan hanya terbatas hingga pengalaman, tergolong
aliran empirisme. Di samping pendapat tersebut, ada pendapat lain yang mengemukakan bahwa
yang menjadi sumber ilmu pengetahuan adalah akal atau rasio. Mereka yang hanya mengakui
akal atau rasio sebagai sumber pengetahuan yang sah, tergolong aliran rasionalisme. Sebagai
sintesa dari dua pendapat yang berbeda tersebut, muncullah aliran yang ketiga yang disebut
kritisisme. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan bersumber baik pada pengalaman maupun
pada rasio.
1. Empirisme
Menurut pandangan empirisme, pengetahuan yang berguna, pasti dan benar itu diperoleh
orang melalui pengalamannya. Sumber pengetahuan yang sejati adalah pengalaman (empiri).
Empirilah yang memegang peranan amat penting bagi pengetahuan, bahkan satu-satunya dasar
pengetahuan.Tokoh-tokoh empirisme:
a. Francis Bacon (1210-1292 )
Sebagai pejabat tinggi dan golongan bangsawan Inggris, Bacon tidak terlalu mengutamakan
kebenaran. Yang paling penting baginya ialah gunanya. Apakah perlunya ilmu pengetahuan,
jika tak bermanfaat? Bukanlah renungan yang luhur-luhur itu yang bermanfaat, dan bukan itu
pula yang penting bagi hidup, melainkan fakta. Bukan yang abstrak-abstrak hasil renungan

58
yang ada, melainkan fakta yang ada didunia ini. Maka dari itu pengetahuan yang sebenarnya
tentu saja pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan inderanya dengan dunia
fakta, dengan alam. Oleh karenanya cara mencapai pengetahuan itu harus ditempuh dengan
mempergunakan induksi. Sistem deduksi itu tidak benar. Bukan dari dogma-dogma
kemudian diambil kesimpulan, melainkan kita harus memperhatikan yang konkrit,
mengumpulkan, mengadakan kelompok-kelompok, itulah tugas pengetahuan dan ilmu.
Tentang hal-hal yang umum dan mutlak, itu sebetulnya kekeliruan belaka, khayal belaka.
Dalam hal ini Bacon menggunakan istilah idol. Idol dari perkataan Yunani cidola yang
berarti khayal, kekeliruan, hantu.
b. Thomas Hobbes (1588-1679)
Menurut Hobbes, bukanlah yang abstrak dan umum yang sungguh-sungguh ada. Pengertian
umum itu hanya nama belaka (nominalisme), yang sesungguhnya ada ialah halnya sendiri.
Pengenalan hanya terjadi denhan persentuhan dengan indera.Hanya jika dapat disentuh
dengan indera itulah suatu tanda kebenaran dan kesungguhan. Pengetahuan yang benar
hanyalah pengetahuan indera saja, lainnya tidak. Persentuhan dengan indera itulah yang
menjadi pangkal dan sumber pengetahuan. Sehubungan dengan pandangannya tersebut,
maka ada yang menyebut, bahwa Hobbes itu menganut sensualisme, karena ia
mengutamakan sensus (indera) dalam pengetahuan.
c. John Locke (1632-1704)
Locke berusaha menyelidiki kemampuan pengetahuan manusia, sampai ke mana ia dapat
mencapai kebenaran dan bagaimana mencapainya. Dalam hai ini ia menerima dualisme
Descartes: adanya substansi yang berpikir dan bahan yang berkeluasaan atau dengan
perkataan lain dunia jiwa dan dunia bahan. Hanya saja Locke mempergunakan istilah
sensation dan reflection. Sensation merupakan sesuatu yang mempunyai hubungan dengan
dunia luar, tetapi tak dapat meraihnya dan tak dapat mengerti sesungguhnya. Reflection:
pengenalan intuitif, yang memberi pengetahuan kepada manusia lebih baik, lebih penuh
daripada sensation. Tetapi tanpa sensation, manusia tak dapat juga memperoleh suatu
pengetahuan. Tiap-tiap pengetahuan itu terjadi dari kerjasama antara sensation dan
reflection. Tetapi haruslah ia mulai dengan sensation, sebab jiwa manusia itu waktu
dilahirkan merupakan kertas yang putih bersih atau sebagai tabula rasa. Tak ada bekal dari
siapapun yang merupakan ideae-innatae.

59
d. David Hume (1711-1776).
Ia menjadi terkenal oleh bukunya yang berjudul “An Enquiry Concerning Human
Understanding“. Dalam filsafatnya ia merupakan seorang empiris yang konsekuen. Ia
menganalisis pengertian substansi. Seluruh pengetahuan itu tak lain dari jumlah pengalaman
kita. Dalam budi kita tak ada suatu idea yang tidak sesuai dengan impression (kesan) yang
disebsbkan “hal” di luar kita. Apa saja yang merupakan pengetahuan itu hanya disebabkan
oleh pengalaman. “Hal“nya sendiri tak dapat kita kenal, kita hanya dapat impression itu.
Adapun yang bersentuhan dengan indera itu hanya sifat-sifat atau gejala-gejala dari “hal“
tersebut. Yang menyebabkan kita mempunyai pengertian sesuatu yang tetap (substansi) itu
tidak lain dari perulangan pengalaman yang demikian acapkalinya, sehingga kita
menganggap mempunyai pengertian tentang sesuatu hal, tetapi sebetulnya tak ada. Substansi
itu hanya anggapan, khayal, sebenarnya tak ada. Demikian pula pengertian lainnya yang
tetap dan umum semuanya tak ada halnya. Kita tak mengetahui kesebaban (sebab-akibat),
yang kita kenal hanya urut-urutan kejadian. Misalnya: pukulan dan kemudian diikuti rasa
sakit. Oleh karena itu kita kerapkali merasa sakit setelah ada pukulan, maka kemudian ada
asosiasi antara pukulan dan sakit, dan kita mengatakan bahwa yang menyebabkan sakit itu
pukulan.Tetapi sebenarnya tidak demikian. Itu hanya anggapan saja. Dengan amat tegas,
Hume hanya menerima persentuhan indera dengan dunia luar. Hanya itu saja. Segala
kesimpulan yang diadakan orang itu tak ada dasarnya sama sekali. Pengetahuan Budi tak
lagi dapat dipercaya. Dari pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa Hume seorang tokoh
empirisme yang akhirnya sampai kepada skepsis.

2. Rasionalisme
Aliran fisafat ini berpendapat, bahwa pengetahuan terjadi karena bahan pemberian panca
indera dan batin kemudian diolah oleh akal. Pengetahuan itu berbentuk pendapat, dan rasiolah
yang menghasilkan pendapat dan bukan pengalaman. Tanpa diolah oleh akal, hasil-hasil
pengalaman hanya merupakan kesan berturut-turut bagaikan potret yang berderet-deret. Tokoh-
tokoh rasionalisme:
a. Descartes (1596-1650)
Oleh karena Scolastik tak dapat memberi keterangan yang memuaskan kepada ilmu, dan
filsafat baru yang dimajukan ketika itu kerapkali bertentangan satu sama lain, maka

60
timbullah ketegangan-ketegangan dan ketidakpastian yang merajalela dalam kalangan
filsafat. Filsafat menjadi kacau. Dalam situasi demikian, muncullah seorang tokoh Perancis
bernama Descartes. Menurut Descartes, kekacauan dan ketidakpastian itu disebabkan karena
tak ada pangkal yang sama, tak ada metode. Untuk mengatasi kekacauan itu dan untuk
mencapai kepastian, perlu dicari metode yang sama sekali baru. Adapun yang dipergunakan
sebagai metode baru itu, ialah keragu-raguan. Seakan-akan ia membuang kepastian. Pikiran
dipangkalkan pada keraguan ini. Jika orang ragu-ragu, maka segeralah nampak bahwa ia
berpikir. Dengan berpikir, segera nampak kepastian dan kebenaran bahwa yang berpikir itu
tentu ada. Ini dirumuskan oleh Descartes: cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada).
Kepastian terdapat pada kesadaran. Karena kesadaran ini, maka nampaklah tindakan budi
(rasio) dan budi ini menemukan pangkal untuk bertindak seterusnya dan mengadakan sistem
filsafat. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang kepada kebenaran, yang dapat
memberi pimpinan dalam segala jalan pikiran. Yang benar hanyalah tindakan budi yang
terang benderang, yang disebutnya “idees claires et distinctes“ (idea yang terang
benderang). Idea yang terang benderang ini adalah pemberian Tuhan sebelum orang
dilahirkan. Oleh karenanya disebut pula “ideae innatae“ (idea bawaan). Jadi idea itu
bukanlah hasil pengabstraksian yang diambil dari yang konkrit, melainkan sudah dimiliki
orang sejak ia dilahirkan, yang merupakan bekal hidup, hadiah dari Tuhan sebagai sumber
kebenaran sejati. Dengan demikian maka budi (rasio) menjadi sumber atau pangkal segala
pengertian, dan budilah yang memegang pimpinan dalam segala mengerti. Kedaulatan budi
(rasio) diakui sepenuhnya, bahkan dilebih-lebihkan oleh Descartes dengan mengabaikan nilai
pengetahuan indera, yang menurut dia kerapkali menyesatkan manusia. Itulah sebabnya
maka aliran ini disebut rasionalisme.
Selanjutnya menurut Descartes, realitas itu terbagi atas dua suasana yang berdampingan
yakni kesadaran yang sebenarnya berpikir dan bahan yang merupakan keluasan (extentio).
Kesadaran hanya dapat diketahui oleh pengalaman jiwa adapun keluasan dapat diketahui
oleh ilmu pasti. Dalam barang yang berbahan, yang dapat dihitung dan diukur oleh ilmu
pasti, itu sajalah yang ada. Sedangkan dalam kesadaran, yang sungguh-sungguh ada ialah
yang terang benderang. Manusia dipandang pula terdiri dari dua anasir, yakni jiwa dengan
budi dan kesadarannya dan badan dengan keluasannya. Dua anasir tersebut berdampingan
benar, tidak merupakan kesatuan, akan tetapi dapat saling mempengaruhi. Keadaan saling

61
mempengaruhi itu menurut Descartes bersifat material yang terletak pada suatu kelenjar yang
disebut glandula penealis (pijnappelklier).
b. Spinoza (1632–1677)
Spinoza seorang keturunan Yahudi di Amsterdam. Ia ingin melepaskan diri dari segala
ikatan agama/masyarakat, dan mencita-citakan suatu sistem filsafat berdasarkan rasionalisme
untuk mencapai kebahagiaan manusia. Gambar angan-angan kita mengenal manusia sebagai
individu, budi mengakui manusia sebagai unsur alam, sedangkan intuisi mengenal dia
sebagai unsur alam, sedangkan intuisi mengenal dia sebagai bagian dari Substansi. Maka dari
itu manusia mengikutinya dalam kemerdekaan dan kemutlakannya.
Dalam pesatuan dengan Substansi, yang menjadi tujuan manusia adalah pengenalan terhadap
Substansi itu dalam pandangan keabadian. Itulah kebahagiaan yang sempurna.
c. Leibniz (1646–1716)
Leibniz adalah seorang ahli pikir Jerman yang waktu mudanya mempelajari skolastik.
Kemudian ia mengenal aliran-aliran filsafat modern dan mahir juga dalam bidang ilmu
pengetahuan. Ia menerima substansi Spinoza, tetapi tidak menerima paham serba Tuhannya
(Pantheisme). Menurut Leibniz, substansi itu memang mencantumkan segala dasar
kesungguhannya, oleh karenanya mengandung segala kesungguhan pula. Untuk
menerangkan permacam-macaman di dunia ini diterima oleh Leibniz yang disebutnya
monaden. Monaden ini semacam cermin yang membayangkan kesempurnaan yang satu itu
dengan caranya sendiri. Tiap-tiap pencerminan yang terbatas ini mengandung kemungkinan
tidak terbatas karena dalam seluruhnya dapat diperkaya dan dipergandakan oleh timbulnya
sesuatu dari sesuatu yang mendahuluinya. Dalam rentetan ini ada tujuan terakhir, yaitu
menuju yang tak terbatas sesungguhnya. Tuhan itu transenden, artinya ada di luar makhluk,
dan merupakan dasar segala rentetan ada.

3. Kritisisme
Rasionalisme dan Empirisme merupakan dua aliran yang saling bertentangan.
Rasionalisme menganggap bahwa budi sebagai sumber pengetahuan yang sejati, sedangkan
Empirisme berpendapat bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang sah adalah pengalaman.
Manakah yang sebenarnya sumber pengetahuan itu, manakah pengetahuan yang benar?
Masing-masing meminta kedaulatan, tetapi jika kedaulatan diberikan sepenuhnya, masing-

62
masing akan menjumpai kesukaran. Dalam situasi pertentangan yang demikian itu, muncullah
seorang ahli pikir bangsa Jerman yang amat masyhur serta cerdas budinya, Immanuel Kant
(1724–1804).
Pada mulanya Kant seorang penganut Rasionalisme, hormat benar kepada daya budi dan
yakin bahwa pengetahuan budi itu amat besar nilainya serta harus ada, karena ilmu memerlukan
putusan-putusan umum. Kemudian ia berkenalan dengan filsafat Hume dan merasa bahwa
pengamatan memang amat besar gunanya sebagai sumber pengetahuan. Akan tetapi apakah
syarat-syaratnya untuk mencapai kebenaran itu? Dalam hal ini Kant akan menyelidiki
(mengadakan kritik) terhadap pengetahuan budi serta akan diterangkan apa sebabnya
pengetahuan budi itu mungkin. Itulah sebabnya aliran ini disebut kritisisme.
Karena pengetahuan selalu dipaparkan dengan pendapat atau keputusan, maka oleh Kant
yang diselidiki lebih dahulu ialah sifat-sifat putusan.Putusan yang merupakan rangkaian subjek
dan predikat, mungkin bersifat analitik dan mungkin sintetik.
a. Putusan analitik ialah putusan (pendapat) yang predikatnya telah tercantum dengan niscaya
(keharusan) pada subjeknya. Misalnya: tiap orang punya pikiran. Dari menganalisis
pengertian pada subjek (tiap orang), mengertilah kita predikatnya (punya pikiran). Jadi dari
menganalisis subjek, timbullah predikatnya. Karena itu pendapat (putusan) yang demikian
disebut pendapat (putusan) analitik (analitis). Pada putusan analitik ini sebenarnya untuk
subjek tidak menambah sesuatu yang baru, sebab di sini predikat (punya pikiran) sudah
otomatis dimiliki oleh subjek (tiap orang). Dengan perkataan lain predikat tidak merupakan
pengetahuan baru untuk subjek, sebab predikat tercantum dengan niscaya (mutlak) pada
subjek. Sehingga pendapat analitik diperoleh orang tanpa melalui pengalaman.
b. Putusan sintetik ialah putusan yang predikatnya memberi suatu pengertian yang baru bagi
subjek. Predikat merupakan tambahan pada subjek. Antara subjek dan predikat ada sintesa.
Karena itu pendapat yang demikian disebut pendapat sintetik. Contoh: rumah itu baru. Di sini
predikatnya (baru) tidak merupakan keharusan pada subjek (rumah). Pengertian “baru” tidak
niscaya terkandung dalam pengertian “rumah”, sebab ada juga rumah yang tidak baru. Oleh
sebab itu predikat memberi suatu pengertian baru pada subjek. Pada pendapat analitis
hubungan subjek–predikat mutlak, merupakan keharusan, jadi berlaku umum. Sedangkan
pada pendapat sintesis tidak mutlak, jadi tidak berlaku umum. Pendapat sintesis dicapai orang
melalui pengalaman, artinya hanya setelah ada pengalaman pendapat itu dapat disusun. Oleh

63
sebab itu pendapat sintesis disebut juga pendapat a posteriori (sesudahnya = terlihat
kemudian). Pendapat analitis yang diperoleh tidak dengan pengalaman, disebut pendapat a
priori (sebelumnya), artinya sebelum membuat pengalaman sudah ada. Oleh Kant diajukan
pertanyaan: “Apakah mungkin pendapat-pendapat sintesis tertentu bersifat a priori?“.
Penyelidikan tentang masalah tersebut ditulisnya dalam bukunya yang amat masyhur, “Kritik
der Reinen Vernunft“ (kritik terhadap budi murni).
Dari hasil penyelidikannya, Kant memperoleh kesimpulan bahwa pendapat-pendapat
sintesis tertentu mungkin bersifat a priori. Hal ini disebabkan karena tiap pengalaman, agar kita
dapat merasakannya sebagai pengalaman harus tunduk pada aturan-aturan tertentu:
1). Adanya bentuk-bentuk pengamatan (ruang dan waktu).
Objek terarahkan kepada budi (akal), kemudian dibentuk, diatur oleh budi kita dalam
ruang dan waktu. Halnya sendiri yang sesungguhnya (das Ding an sich) tidaklah kita
kenal. Yang kita kenal hanyalah gejala yang tak teratur (die Erscheinung).
2). Kemudian gejala tersebut diatur oleh bentuk pengetahuan budi yang disebut kategori.
Kategori ada 4 macam:
a). kuantitas: yang meliputi kesatuan, kejamakan, keseluruhan.
b). kualitas: yang meliputi relitas, pengingkaran dan pembatasan.
c). relasi: yang meliputi substansi, sebab-akibat dan persalingan.
d). modalitas: yang meliputi kemungkinan, kesungguhan dan keharusan.
Kategori adalah cara (bentuk) berpikir bagi aku yang transendental.
3). Apperception.
Aku yang transcendental merupakan syarat kesatuan dalam pemikiran. Kesatuan
pemikiran disebut apperception, yakni tempat bertemunya semua pengetahuan.
Apperception mengatur segala gejala dengan mempergunakan kategori. Jadi setiap
pengalaman itu terbentuk oleh ketentuan-ketentuan dasar tersebut dengan cara tertentu.
Ini berarti bahwa pendapat dapat dibentuk sebelum pengalaman (a priori) karena
sebelumnya memang telah ada ketentuan-ketentuan dasar. Tetapi pendapat-pendapat itu
serentak meyatakan sesuatu tentang pengalaman.
Dengan demikian pendirian Kant ini merupakan sintesa antara rasionalisme dan
empirisme. Sedangkan mengenai pengetahuan indera, Kant mengatakan bahwa tanpa bentuk a
priori waktu dan ruang tak mungkin ada pengetahuan indera. Selanjutnya ia katakan bahwa

64
bukan akal kita terarahkan kepada objek, tetapi objeklah yang terarahkan kepada akal. Kemudian
dibentuk, diatur oleh akal kita dalam ruang dan waktu. Memang isinya dari objek, tetapi
bentuknya dari akal, yang dinamai bentuk pengamatan yaitu ruang dan waktu. Sedangkan halnya
sendiri (das Ding an sich) tidak kita ketahui, yang kita ketahui hanya gejala-gejala yang tak
teratur yang disebut Erscheinung. Jadi pengetahuan indera terjadi dari a). Isi: dari objek; b).
Bentuk: dari budi (akal) yang bersifat a priori.
Mengenai pengetahuan budi (akal) Kant mengatakan bahwa tanpa kategori tak mungkin
ada pengetahuan akal. Ilmu-ilmu murni seperti ilmu pasti adalah ilmu-ilmu yang disusun dengan
berpangkal kepada pengetahuan a priori. Skema struktur pengetahuan Kant seperti yang tampak
di lampiran III meringkas bahasan ini.

E. Batas-Batas Pengetahuan
Batas-batas pengetahuan sangat erat bertalian dengan sumber-sumber pengetahuan.
Dengan membahas sumber-sumbernya, pengetahuan itu belum dapat diterangkan dengan
sempurna, sebab segera menyusul suatu masalah yang perlu mendapatkan pemecahannya.
Sampai sejauh manakah pengetahuan kita itu kesempurnaannya? Dapatkah kita mencapai
pengetahuan yang sempurna? Persoalan tersebut menyangkut batas-batas pengetahuan, yang
mana dalam penyelesaiannya terdapat beberapa aliran.
1. Skeptisisme
Aliran ini berpendirian, bahwa yang dapat dipercaya ialah hanya apa yang sekarang, pada saat
ini, yang diberikan kepada kita dalam pengalaman. Apa yang kita amati pada masa lampau,
tidaklah sama dengan yang sekarang. Ini berarti bahwa kebenaran di sekitar kita secara relatif
kehilangan ketetapannya (konsistensinya). Pengetahuan kita hanyalah merupakan kumpulan
ingatan. Pengetahuan berakhir dalam waktu dan tidak mungkin ada pengetahuan, tanpa
sekedar percaya padanya. Aliran-aliran yang bersifat skeptisisme, antara lain subjektivisme,
relativisme, pragmatisme dan fiksionalisme.
a. Subjektivisme dan relativisme.
Subjektivisme erat hubungannya dengan relativisme yang berpendapat bahwa yang benar
adalah apa yang dianggap benar oleh individu (subjektivisme individual). Tak ada
kebenaran yang berlaku umum. Segala pendapat bergantung kepada kebiasaan khas,
keadaan, watak dan sebagainya. yang bersifat khusus (tidak umum). Dengan pendirian ini

65
orang dapat membela segala-galanya menurut kemauan orangnya. Di samping
subjektivisme individual, ada subjektivisme spesifik (relativisme spesifik), yang disebut
juga anthropologisme: bahwa yang mungkin menjadi pengetahuan kita hanya apa yang
tampak pada kita dan apa yang dapat diolah oleh akal kita. Dengan demikian Kant sedikit
banyak adalah seorang subjektivis. Pengetahuan tentang kebenaran pengalaman berakar
pada pikiran, dan pikiran ini menjadi corak subjek pada umumnya. Tetapi karena subjek
itu dapat juga sampai pada kebenaran objektif yang merupakan kebenaran umum, maka
pada subjektivisme spesifik terdapat juga suatu objektivisme.
b. Pragmatisme dan fiksionalisme.
Kedua aliran ini berpendapat, bahwa pengetahuan-pengetahuan kita berdasar pada nilai
praktisnya. Menurut fiksionalisme (didirikan oleh Vaihinger, 1852-1933), pengetahuan itu
hanya berdasarkan pengalaman-pengalaman serta hubungan-hubungannya. Kategori-
kategori seperti kuantitas, kualitas, relasi dan modalitas, hanya persangkaan belaka atau
hanya merupakan hipotetis-kerja yang diterima orang karena dengan demikian
pengamatan-pengamatan yang banyak itu dapat diatur dan dikuasai. Menurut
pragmatisme: kebenaran itu lebih positif dari hipotesis kerja. Pikiran kita menjadi alat
(instrumen) untuk memperoleh kebenaran, pekerjaannya dapat dipercaya, memudahkan
serta menghemat usaha. Oleh sebab itu pendirian kebenaran yang demikian disebut juga
kebenaran instrumental. Pendiri aliran ini ialah James (1840–1910) dan John Dewey
(1859–1952).
2. Objektivisme
Aliran objektivisme menerima adanya kebenaran objektif, terlepas dari subjek-subjek
yang mengetahuinya. Ada dunia objektif yang berdiri sendiri. Subjek yang memperoleh
pengetahuan dapat mengalami kekilafan-kekilafan dalam merumuskan pengetahuannya, tetapi
realita di luar tetap tidak terpengaruh karenanya. Misalnya peristiwa-peristiwa sejarah, seperti
Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Bagaimanapun orang menafsirkannya,
tetapi realita tersebut tetap realita, tetap merupakan suatu kebenaran.
3. Fenomenologisme
Fenomologi adalah ciptaan Husserl (1859–1939). Menurut Husserl, dalam kesadaran kita
terdapat 2 hal:
a. Tujuan pada barang sesuatu.

66
b. Benda (barang) yang dituju.
Apabila kita memberikan penuturan terhadap barang sesuatu, maka makna itu harus tepat sesuai
dengan keadaan barang sesuatu yang kita tuturkan. Apabila persesuaian itu ada, maka kita
mengalaminya sebagai evidensi.. Wujud kebenaran tak berbeda dengan persesuaian yang dialami
dalam evidensi itu. Jadi menurut Husserl, dalam evidensilah pengetahuan kita akan menunjukkan
kebenaran. Kebenaran itu terbuat oleh bentuk-bentuk pengamatan dan pemikiran, dan ini
merupakan kebenaran yang umum, bukan kebenaran kita secara perseorangan.

F. Objek Pengetahuan
Objek pengetahuan ialah masalah yang diselidiki oleh pengetahuan. Masalah objek
pengetahuan tidak dapat lepas dari pendirian mengenai sumber ilmu. Misalnya pendirian
realisme menyatakan bahwa objek pengetahuan terlepas dari kesadaran kita (ada di luar
kesadaran). Ini berhubungan dengan pengetahuan yang transenden (melampaui batas kesadaran).
Sebaliknya kaum idealis berpendirian bahwa objek pengetahuan tidak dapat melampaui batas-
batas kesadaran itu sendiri. Ini berhubungan dengan pengetahuan yang immanen (ada dalam
kesadaran).
Ditinjau dari jenis sifatnya, kita dapat membedakan tiga macam objek pengetahuan:
1. Objek-objek rasa - Objek Empirisme
Objek rasa – dapat kita bedakan menjadi dua macam:
a. Rasa lahir atau objek-objek fisis adalah objek-objek yang langsung berhubungan dengan
panca indera kita. Objek-objek ini dapat juga disebut objek-objek real.
b. Rasa batin atau objek-objek psikis adalah objek-objek yang berhubungan dengan
pengamatan kejadian-kejadian dalam kesadaran. Objek-objek ini dapat juga disebut objek-
objek empirisme, atau objek-objek sungguh.
Kedua objek tersebut mempunyai corak yang sama, yakni bersifat empiris, didapati dalam
waktu dan ruang, mempunyai hubungan riil, yaitu hubungan yang berdasarkan hukum sebab-
akibat.
2. Objek-objek bukan rasa – Objek Idiil
Objek-objek ini sampai kepada kita tidak dengan perantaraan rasa, baik rasa lahir maupun rasa
batin. Objek-objek ini diciptakan oleh jiwa (sukma) kita sebagai hasil pemikiran, perasaan dan
sebagainya. Contoh dari objek ini adalah:

67
a. Objek-objek logika yang meliputi pengertian, pendapat, kesimpulan, dan sebagainya.
b. Objek-objek matematik: mengenai bilangan, garis, bidang, dan sebagainya.
c. Objek-objek etika: kebajikan, kejujuran, dan sebagainya.
d. Objek-objek nilai agama: keimanan, ketakwaan, dan sebagainya.
Semua objek-objek tersebut bukan bersifat empiris, melainkan bersifat idiil, sehingga disebut
juga objek-objek idiil. Objek-objek itu ada di luar waktu dan ruang, sedangkan hubungannya
tidak bersifat riil. Dalam ilmu pasti umpamanya hubungannya bersifat logis, demikian pula
untuk logika.Hubungan yang demikian disebut hubungan idiil.
3. Objek-objek luar rasa
Objek ini meskipun pada dasarnya terletak dalam dunia rasa (dunia objek-objek keinderaan),
tetapi letaknya diluar jangkauan rasa (diluar daya capai indera-indera kita). Objek-objek ini
memang tidak dapat diamati dan juga bukan ciptaan pikiran manusia. Objek ini memiliki
realitas, tetapi hal ini hanya dapat dikenal secara tidak langsung, yaitu melalui gejala-gejala
yang ditimbulkannya. Bentuk beradanya tidak ditentukan oleh waktu dan ruang, juga tidak
oleh hukum-hukum empiris. Juga disini timbul kembali pertanyaan yang dahulu muncul
berhubungan dengan masalah kebenaran dan sumber-sumber ilmu, yaitu: apakah sesuatu
(dengan apa pengetahuan kita mencari persesuaian sehingga merupakan kebenaran) dapat
menjadi objek yang beradanya tidak tergantung kepada kesadaran kita? atau dengan perkataan
lain: apakah ada dunia luar yang transcenden? Realisme naif jelas tidak dapat
menerangkannya.
Oleh Kulpe, adanya dunia luar yang transcenden diterangkan sebagai berikut:
a. Adanya perbedaan antara pengamatan indera pada pihak yang satu dan ingatan atau fantasi
pada pihak yang lain. Ia timbul, berlalu dan bertindak dalam hubungan-hubungan yang
terlepas daripada kita. Hal ini menjelaskan adanya kejadian-kejadian atau objek yang
transenden yang terlepas dari kesadaran kita.
b. Terputus-putusnya pengamatan tidak berarti sedikitpun, karena barang yang ada di
belakangnya pada umumnya tetap sama. Pengamatan-pengamatan kita banyak
kekurangannya – sebab di luar kesadaran kita dan terlepas daripadanya – terjadilah
peristiwa objek-objek yang transenden.
c. Bagaimana terbitnya benda-benda dalam ruang dan waktu, letaknya, bentuknya, besarnya,
dan sebagainya. semuanya itu serba terlepas dari pengetahuan kita, pengharapan kita dan

68
pengalaman kita. Bagaimana kita dapat menyusunnya dari peristiwa-peristiwa kesadaran?
Semua ini dapat dipahami dari perhubungan-perhubungan ruang dan waktu, yang
didukung oleh realitas yang terlepas dari kesadaran kita.
d. Kemungkinan akan meramalkan dapat diterangkan dari adanya realitas-realitas terlepas
dari kesadaran kita.

G. Metode Ilmu Pengetahuan


Setelah objek ilmu ditetapkan, maka menyusul persoalan berikutnya yakni bagaimana
menyusun objek (masalah) tersebut menjadi sistem pengetahuan. Tidak setiap ilmu disusun
dengan cara yang sama. Ilmu pengetahuan alam lain caranya dengan ilmu sosial. Ilmu sosial lain
pula dengan ilmu kebudayaan. Cara bagaimana menyusun ilmu disebut metode ilmu. Metode
ilmu merupakan suatu rencana kerja untuk menyusun suatu sistem pengetahuan tentang sesuatu
masalah. Metode mana yang dipakai oleh suatu ilmu, semata-mata bersangkut paut dengan
tujuan pengetahuan. Tujuan pengetahuan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) corak
(1). Ingin mencapai pengetahuan tentang apa yang tetap, yang bersifat umum, yang abadi (2).
Ingin mencapai pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat khusus.
Sesuai dengan dua corak tujuan pengetahuan tersebut, maka secara garis besar terdapat
dua metode pokok yang digunakan untuk menyelidiki alam semesta ini.

1. Metode Induksi
Metode induksi berangkat dari fakta-fakta khusus, peristiwa-peristiwa yang konkrit,
kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus konkrit itu ditarik generalisasi-
generalisasi yang mempunyai sifat umum. Ilmu pengetahuan memakai metode induksi kalau
bermaksud mencari sifat-sifat umum dalam segala kenyataan dan keadaan, dalam arti menyususn
hukum yang tetap atau pengertian yang bersifat abadi, yang adanya tak tergantung ruang dan
waktu.
Metode induksi pada hakikatnya dapat dibedakan menjadi tiga jenis :
a. Induksi komplit
Induksi komplit (induksi sempurna) meminta penyelidik untuk mengobservasi ciri-ciri
seluruh objek, individu atau peristiwa dalam suatu kelas, kemudian meyimpulkan hasil
penelitian itu dalam suatu konklusi yang sifatnya umum, meliputi semua subjek, individu,
atau peristiwa dalam kelas itu.

69
b. Induksi sistem Bacon
Untuk mencapai hakikat suatu gejala, sistem Bacon meminta tiga macam tabulasi
(pencatatan):
1. Tabulasi ciri-ciri positif, yaitu kondisi-kondisi atau peristiwa-peristiwa dalam mana
sesuatu gejala pasti timbul jika kondisi-kondisi atau peristiwa-peristiwa itu ada.
2. Tabulasi ciri-ciri negatif, yaitu kondisi-kondisi atau peristiwa-peristiwa dalam mana
sesuatu gejala tidak timbul sekalipun kondisi-kondisi itu ada.
3. Tabulasi variasi kondisi, yaitu pencatatan ada tidaknya perubahan ciri-ciri gejala pada
kondisi-kondisi yang berubah-ubah (diubah-ubah).
Dengan tabulasi-tabulasi itu barulah orang dapat menetapkan apa ciri-ciri, sifat-sifat, atau
unsur-unsur yang mesti ada, yang tak dapat dipisahkan dari peristiwa atau gejala tersebut.
c. Induksi tidak komplit.
Induksi tidak komplit, tidak meminta observasi terhadap seluruh subjek, individu atau
peristiwa dalam suatu kelas, melainkan cukup terhadap sebagian dari subjek,individu atau
peristiwa yang menjadi bagian dari kelas itu. Sebagian dari keseluruhannya ini kita sebut
sampel atau contoh. Jadi prosedur penyelidikan induktif tidak komplit mengikuti prosedur
penyelidikan sampel (sampling study). Sebagian terbesar penyelidikan ilmiah, mengikuti
garis-garis dan dasar-dasar induksi tidak komplit ini.
Selanjutnya bagaimana ilmu pengetahuan dapat mencapai pengertian atau hukum yang
bersifat umum? Ini dapat ditempuh melalui dua cara:
a. Dengan jalan membandingkan (komparasi)
Langkah-langkahnya:
1). mengumpulkan bahan-bahan keterangan yang diperlukan.
2). bahan-bahan itu dianalisis (diuraikan sifat-sifatnya).
3). sifat-sifat dari tiap-tiap bahan dibandingkan (dikomparasikan) satu dengan lainnya, sifat-
sifat mana yang sama dan mana yang tidak sama.
4). sifat-sifat yang sama dijadikan satu dan yang tidak sama disisihkan ( diabstraksikan ).
5). berdasarkan sifat-sifat yang sama, kemudian dirumuskan hukumnya atau sifat umumnya.
Sesuai dengan langkah-langkah tersebut, maka jalan membandingkan (komparasi) disebut
juga metode analisis-abstraksi.

70
b. Dengan jalan eksperimen atau percobaan.
Langkah-langkahnya:
1). gejala yang akan diselidiki ditimbulkan dengan sengaja.
2). sifat gejala-gejala itu dicatat dan dibandingkan satu dengan lainnya: dicari sifat-sifat yang
sama.
3). atas dasar sifat-sifat yang sama ini, kemudian dirumuskan hukum-hukumnya.
Cara eksperimen ini pada umumnya dipakai dalam ilmu fisika, ilmu kimia, psikologi, dan
sebagainya.

2. Metode Deduksi
Metode deduksi berangkat dari suatu pengetahuan yang sifatnya umum, dan bertitik tolak
pada pengetahuan yang umum itu kita hendak menilai sesuatu kejadian yang khusus. Prinsip
deduksi: apa yang dipandang benar pada semua peristiwa dalam suatu kelas atau jenis, berlaku
juga sebagai hal yang benar pada semua peristiwa yang termasuk dalam kelas atau jenis itu. Jika
orang dapat membuktikan bahwa suatu peristiwa termasuk dalam kelas yang dipandang benar,
maka secara logis dan otomatis orang dapat menarik kesimpulan bahwa kebenaran yang terdapat
dalam kelas itu juga menjadi kebenaran bagi peristiwa khusus tersebut. Alat untuk mencapai
pengetahuan dengan jalan deduksi disebut silogisme. Silogisme adalah suatu argumentasi yang
terdiri dari tiga buah proposisi. Dua proposisi yang pertama disebut premis mayor dan premis
minor, sedangkan proposisi yang ketiga disebut kesimpulan, konklusi, atau konsekuen. Contoh:
Semua manusia terkena nasib mati (premis mayor).
Raja adalah manusia (premis minor).
Jadi, raja terkena nasib mati (konklusi).
Pengguna metode deduksi melalui beberapa langkah :
a. Mula-mula menginsyafi adanya kebenaran umum dalam satu golongan gejala.
b. Membuktikan gejala di lingkungan kelompok gejala tersebut di atas.
c. Menyatakan kebenaran yang diinsyafi berlaku pada gejala khusus tersebut.
Deduksi yang diciptakan oleh Aristoteles, menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
a. taraf akumulasi : mengumpulkan sejumlah bukti-bukti.
b. taraf eliminasi : meniadakan informasi-informasi yang tidak cocok.
c. taraf seleksi : memilih fakta-fakta yang cocok.

71
d. taraf kombinasi : memadukan fakta-fakta satu sama lain.
e. taraf konklusi : mengajukan kesimpulan yang benar.
Para penyelidik pada jaman modern inipun menggunakan deduksi dalam beberapa taraf
pekerjaannya. Dengan beberapa penyelidikan pendahuluan dia mengajukan hipotesa-hipotesa,
baru kemudian mengadakan penyelidikan pada fakta-fakta yang khusus. Jika kemudian dia
mengadakan interpretasi terhadap fakta-fakta, maka interpretasi itupun tidak akan terlepas sama
sekali dari logika deduktif. Untuk selengkapnya langkah-langkah yang lazim ditempuh oleh para
penyelidik modern adalah sebagai berikut :
a. Menjumpai suatu persoalan atau mengalami kesulitan.
b. Mendudukkan dan memberi batasan terhadap kesulitan atau problema.
c. Mengajukan hipotesa-hipotesa.
d. Secara deduktif membeberkan atau menerangkan hipotesa-hipotesa
e. Menguji hipotesa dengan fakta-fakta.
f. Menarik kesimpulan.
Jadi dalam langkah-langkah berpikir sebagaimana tersebut diatas (yang lazim disebut berpikir
reflektif) menggunakan perpaduan antara sistem induksi dan deduksi. Pertama-tama
menggunakan induksi yang bersifat preliminer atau sementara. Faedah dari induksi pertama ini
ialah:
1). Untuk mendudukkan persoalan dan menegaskannya.
2). Untuk memberi landasan pada pembuatan hipotesa.
Setelah itu diadakan deduksi untuk membeberkan konklusi-konklusi tentang hipotesa tersebut.
Fungsi daripada deduksi ini adalah untuk meletakkan kerangka atau jalan-jalan pembuktian
hipotesanya. Selanjunya diadakan induksi lagi untuk menguji konklusi hipotesa yang masih ada.
Di samping dua metode pokok seperti tersebut di atas, dalam ilmu pengetahuan terdapat
pula metode-metode yang lain, misalnya Metode Historis. Metode historis dipakai untuk
menerangkan keadaan yang terjadi dalam sejarah. Metode historis bekerja sebagai berikut:
a. Mengupas kedudukan keadaan yang terdapat sekali lalu – dengan menerangkan sangkut paut
sebab akibatnya.
b. Keadaan yang diketengahkan itu kemudian disusun menurut tempat dan waktu.

72
Selain itu juga terdapat Metode Sosiologis yang sering digunakan dalam sosiologi. Metode ini
mencari hukum kemajuan dan cara bekerjanya mempertalikan yang umum dengan yang khusus.
Ini berarti mempertalikan hukum dengan sejarah.

H. Hakikat Kebenaran
Dengan dimilikinya panca indera, akal dan Budi, manusia merupakan makhluk tertinggi
di antara semua makhluk. Ia bukan hanya sanggup makan dan minum, bernafas dan melanjutkan
jenis seperti tumbuh-tumbuhan, bukan saja sanggup bergerak, mempunyai otak dan naluri atau
insting, mengeluarkan suara dan mempunyai rasa seperti hewan, akan tetapi ia juga mempunyai
kesanggupan berpikir, berkemauan, berbicara, mempunyai kata hati dan budi pekerti.
Dalam ilmu jiwa lazim dikatakan bahwa manusia itu mempunyai pikiran, perasaan dan
keamauan atau cipta, rasa dan karsa. Dengan jiwanya yang lebih tinggi itu, manusia sanggup
hidup di alam nyata, menyadari dan memikirkan benda kasar dan kejadian yang nyata. Di
samping itu ia sanggup pula merasakan, mengkhayalkan dan memikirkan sesuatu yang niskala
atau abstrak, hal-hal yang gaib serta masalah-masalah yang belum diketahui. Di dalam jiwa
terkandung suatu dorongan untuk mencari apa yang disebut kebenaran yang dapat dijadikan
pedoman di dalam perikehidupannya.
Apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan kebenaran itu? Masalah kebenaran
sesungguhnya telah berabad-abad direnungkkan orang, dan ternyata banyak berbagai macam
pendapat yang berbeda satu sama lain, yang dapat diperinci sebagai berikut:
1. Pendapat Kuno
a. Plato
Menurut Plato, alam materi yang berwujud itu adalah pencerminan dari Rasio Tuhan.
Oleh karena itu dalam usaha mencapai kebenaran, Plato menitikberatkan pada Akal
sebagai manifestasi Rasio Tuhan. Akal inilah yang merupakan sumber kenyataan yang
sejati, sedangkan realitas luar yang dapat ditangkap dengan panca indera itu adalah palsu
belaka.
b. Aristoteles

73
Mengemukakan suatu teori yang disebut: uitbeeldings theorie, artinya teori menangkap
gambaran. Menurut teori tersebut, pengertian kita itu merupakan gambaran daripada
objek-objek yang kita kenal atau kita ketahui. Kesadaran adalah pencerminan dari barang
sesuatu yang kita selidiki. Di sinilah Aristoteles menitik beratkan pada obyek dalam
usaha mencapai kebenaran. Ibarat lilin yang masih lunak, kita jatuhi mata uang di atasnya
maka mata uang itu akan meninggalkan suatu bekas. Demikian juga pada sanubari kita.
Dalam alam kerohanian kita, akan terlukis suatu bekas dari objek yang kita ketahui.
2. Pendapat Modern
Tidak setuju dengan uitbeeldings theorie dan mengatakan bahwa subjek tidak menangkap
(menerima) gambaran, akan tetapi justru memberi bentuk. Kebenaran tergantung pada
subjek yang memberi bentuk kepada objek yang diselidiki. Oleh sebab itu maka teori
modern disebut teori memberikan bentuk atau disebut dengan istilah vormings theorie.
3. Pendapat Immanuel Kant
Dalam kita menyelidiki barang sesuatu untuk memperoleh kebenaran, maka:
a. Objek yang kita kenal itu ada.
b. Objek yang ada itu diberi bentuk tertentu oleh akal subjek yang mengenal objek.
Jadi di dalam mengetahui barang sesuatu sebagai kebenaran, kita mempergunakan kedua-
duanya, yakni pertama kali harus ada objek di luar kesadaran kita. Objek tersebut
kemudian kita tangkap melalui panca indera, untuk selanjutnya kita olah dengan akal
kita. Pengolahan akal menghasilkan pengertian. Persoalan selanjutnya apakah pengertian
kita sebagai hasil pengolahan akal itu telah mencerminkan kenyataan yang sebenarnya?
Untuk itu kita harus menyesuaikan pengertian atau pendapat kita dengan objek yang
sedang kita selidiki. Pengertian kita sebagai hasil keputusan akal, baru merupakan
kebenaran yang sesungguhnya, apabila terdapat persesuaian dengan objek yang sedang
diselidiki.
Sampai disini dapat kita simpulkan bahwa kebenaran adalah persesuaian antara pendapat
sebagai keputusan akal dengan objek yang sedang diselidiki. Dalam bahasa asing disebut
adaequantio intelectus et rei (Adaequantio = persesuaian, kecocokan; Intelectus = akal; Rei =
benda, barang). Adaequantio intelectus et rei berarti ada persesuaian antara akal dengan benda
atau barang sebagai objek yang diselidiki. Persesuaian tersebut harus betul-betul pasti, kita
sadari, kita yakini, untuk memperoleh hakikat kebenaran yang sesungguhnya.

74
Untuk memperoleh kepastian tentang kebenaran pengetahuan kita, diperlukan beberapa
kriteria, yakni ukuran atau pedoman untuk mendapatkan kenyataan. Ilmu yang membicarakan
soal kriteria-kriteria untuk memperoleh kebenaran disebut Criteriologi. Kriteria-kriteria untuk
menetapkan kebenaran pengetahuan dapat diambil dari beberapa sumber:
1. Sumber kenyataan yang berada di lingkungan metafisika.
Metafisika adalah alam yang ada dibalik dunia ini. Immanuel Kant menyebut alam ini : alam
transendental yang berarti alam di luar lingkungan dunia pengalaman. Tuhan sebagai Zat
Yang Maha Agung sebagai sumber kebenaran yang sejati, berada di dalam alam tersebut.
Masalahnya bagaimana kita dapat mendekati alam transendental sebagaimana tersebut di atas?
Menurut Plato, akal manusia dalam arti akal yang murni (bukan akal yang sudah dipengaruhi
oleh hawa nafsu atau dosa), mengambil bagian di dalam akal atau rasio Tuhan. Dengan jalan
memurnikan akalnya, dalam arti membersihkannya dari pengaruh nafsu-nafsu, manusia
akhirnya sampai juga ke tempat kenyataan yang sejati, yang terletak pada diri Tuhan. Dalam
hal ini Plotinus menyatakan pula bahwa Tuhan dikelilingi oleh cahaya cemerlang dan
diselubungi sifat-sifat kenyataan, kebaikan dan keindahan. Diri Tuhan adalah murni. Manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan, mendapat pula penyinaran dari akal Tuhan. Akan tetapi perlu
diketahui bahwa akal Tuhan itu baru mau bersinar di dalam akal manusia, apabila manusia
betul-batul murni. Sebab harus terdapat adaequantio (persesuaian) antara Tuhan dengan
manusia. Jadi kalau manusia menjalankan akalnya dengan murni serta objektif maka dengan
keputusan akal tersebut, manusia akan sampai pada kenyataan yang sejati.
2. Sumber kenyataan yang diperoleh dari objek yang diselidiki
Di samping sumber kenyataan dapat dicari di dalam alam metafisis, maka terdapat jenis lain
sumber kenyataan, yakni yang berasal dari “objeknya”. Oleh karena sumber kenyataan ini
diperoleh dari objek yang diselidiki, maka akan menghasilkan pengetahuan yang bersifat
objektif. Sekalipun demikian terdapat pula kelemahannya, mengingat bahwa objek itu sendiri
walaupun pada garis besarnya tetap keadaannya, akan tetapi toh terkena oleh perubahan.
Dengan adanya kenyataan bahwa objek senantiasa terkena oleh perubahan, maka ukuran yang
kita ambil daripadanya akan terkena pula oleh perubahan-perubahan. Untuk mengatasi
kelemahan tersebut, maka dalam mencari ukuran pada objek, jangan di dasarkan pada bagian
yang menampak yang sifatnya serba berubah, akan tetapi harus dicari pada bagian inti objek
yang bersifat abadi, tidak terkena perubahan.

75
3. Sumber kenyataan yang didasarkan keyakinan subjek
Sumber kenyataan yang didasarkan atas keyakinan subjek banyak mengandung kelemahan-
kelemahan, antara lain:
a. dalam diri manusia terkandung kekilafan-kekilafan atau kesalahan-kesalahan, yang
merupakan sifat kodrat manusia.
b. keyakinan seseorang itu selamanya tidak tetap, tetapi kadang-kadang berubah.
Oleh karena itu apabila kita ingin mencari sumber kenyataan pada diri manusia, jangan
didasarkan atas keyakinannya, tetapi harus bersumberkan pada kekuatan kodrat yang dimiliki
oleh manusia, antara lain:
a. Kekuatan/kekuasaan panca indera
kedudukan panca indera tidak boleh dipandang remeh, sebab segala sesuatu yang
ditangkap dan disadari oleh manusia harus melalui pintu gerbang panca indera. Jadi, panca
indera mempunyai kedudukan yang penting sebagai alat yang bertugas menangkap
rangsangan-rangsangan dari luar yang selanjutnya masuk ke dalam pusat kesadaran dan
kemudian diolah oleh akal sehingga menghasilkan apa yang dinamakan “pengertian”.
Namun demikian harus pula disadari bahwa kekuatan panca indera itupun terbatas dan
tidak dapat dipercaya secara mutlak.
b. Kekuatan/kekuasaan akal
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, akal yang disebut pula pikiran atau
cipta, merupakan salah satu pusat yang sangat penting di dalam otak, yang berkedudukan
sebagai sumber kekuasaan jiwa yang mempunyai kemampuan untuk mencapai realitas
alam. Akal manusia berfungsi sebagai kunci penangkapan terhadap realita, tempat
mencamkan segala sesuatu yang dihadapinya, mengorganisir semua kenyataan objektif
yang diperolehnya, sehingga dengan demikian melahirkan suatu sistem yang bulat dan
menyeluruh yang disebut ilmu pengetahuan.
c. Kekuatan/kekuasaan rasa dan karsa
Dengan mempergunakan akal, manusia sukar untuk mencapai alam transendental. Alam
tersebut yang merupakan sumber kenyataan yang sejati hanya dapat didekati dengan
menggunakan kekuatan rasa dan karsa dan terutama dengan rasa kesadaran murni yang
berkedudukan lebih tinggi dan lebih penting daripada akal.
4. Sumber kenyataan yang didasarkan pada pengalaman subjek

76
Dalam banyak hal, pengalaman sangat berguna untuk memecahkan persoalan-persoalan
hidup. Pengalaman membuat manusia bijaksana asal digunakan secara kritis. Sebagian
terbesar dari pengalaman bersumber pada pengamatan; sedangkan pengamatan manusia
bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, banyak faktor yang mempengaruhinya, antara lain:
a. Subjektivitas manusia yang menyebabkan pengalaman manusia mempunyai sifat-sifat
yang terbatas. Pengalaman yang sangat pribadi tidak ada atau sedikit sekali mempunyai
peluang generalisasi yang luas.
b. Keadaan orang yang bersangkutan menentukan corak dan isi pengamatan serta
pengalamannya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengambil pengalaman sebagai sumber
kenyataan:
a. Kita tidak boleh mengabaikan hal-hal yang tidak sesuai dengan pendapat pribadi.
b. Harus tepat dan cermat dalam mengamati hal-hal yang penting tentang sesuatu persoalan.
c. Harus dihindari penggunaan alat-alat pengukuran yang sifatnya subjektif.
d. Dalam menarik kesimpulan harus dilandasi fakta-fakta yang lengkap.
e. Dalam mengambil kesimpulan tidak boleh mempunyai prasangka-prasangka sebelumnya.
f. Dalam mengambil kesimpulan jangan sampai terpengaruh oleh faktor-faktor yang tidak
disadari. Misalnya di dalam “proyeksi” orang merasa mengenal orang lain, tetapi
sebenarnya apa yang ia sangka menjadi sifat-sifat orang lain adalah sifatnya sendiri.
5. Sumber kenyataan yang diperoleh melalui pihak yang berwewenang
Dalam mencari pengetahuan atau kebenaran sejak dahulu sampai sekarang, orang tidak jarang
pergi kepada seorang ahli atau kepada fihak-fihak lain yang dianggapnya berwewenang. Dari
masa ke masa yang dipandang berwewenang selalu berganti-ganti, misalnya:
a. Pada jaman purbakala pihak yang dipandang paling berwewenang adalah kepala suku,
shaman atau dukun-dukun.
b. Pada jaman pertengahan Gereja dipandang sebagai sumber pengetahuan yang paling dapat
dipercaya.
c. Skolastik menerima apa saja yang dinyatakan oleh Aristoteles, sekalipun kemudian
ternyata banyak teori Aristoteles yang perlu ditinjau kembali.
Kecuali itu fihak yang dipandang berwewenang memberikan pengetahuan yang benar adalah
raja-raja, pemerintah, undang-undang dan pengadilan. Jika menghadapi kesulitan, orang

77
sering mencari informasi kepada mereka. Akhirnya menyadari ketidakmampuannya sendiri,
kerapkali orang berlari kepada ahli-ahli, yang dipandang mempunyai kelebihan baik dari segi
kecerdasan, pengalaman, latihan maupun sikapnya.

I. Berbagai Macam Pendirian Tentang Kebenaran


Dengan adanya berbagai macam sumber kenyataan sebagaimana telah diuraikan di muka,
maka tidak dibenarkan kita menguniversalkan salah satu ukuran tersebut untuk mencapai hakikat
realitas. Bukan tindakan yang dapat dianggap bijaksana apabila kita menggeneralisasikan satu
ukuran untuk memecahkan segala persoalan yang kita hadapi guna memperoleh kebenaran ilmu
pengetahuan. Sebab sikap yang demikian akan menimbulkan pandangan yang sesat atau
setidaknya berat sebelah, sehingga tidak mungkin memperoleh kebenaran yang bersifat
menyeluruh sebagai satu kebulatan yang mencerminkan hakikat kenyataan.
Namun demikian, adalah merupakan sifat kodrat manusia bahwa apabila ia condong
kepada suatu paham atau aliran tertentu, maka ia cenderung menganggap barang sesuatu itu baik
atau benar dengan mempergunakan ukuran sesuai dengan sudut pandang atau paham yang
dimilikinya. Ia buta terhadap ukuran-ukuran yang lain. Sikap menggeneralisasikan dan
mengutamakan salah satu ukuran tersebut, menimbulkan berbagai macam aliran yang dalam
menguraikan segala persoalan bertitik tolak pada sudut pandangannya masing-masing.
1. Pendirian yang mengutamakan lingkungan metafisika sebagai sumber kenyataan.
Pendirian ini melahirkan aliran-aliran filsafat, antara lain:
a. Suprarasionalisme atau Metalogisme
Suprarasional berarti ada di atas akal. Suprarasional dapat juga disebut dengan istilah
“metalogis” yang berarti di balik pemikiran-pemikiran yang logis.Untuk mencapai
kebenaran yang sejati, orang tidak menggunakan akalnya melainkan harus mendasarkan
diri pada hal-hal yang berada di atas akal. Sebagai kriterium kenyataan ialah Tuhan.
Hanya hal-hal yang menurut Tuhan dianggap nyata, itulah yang benar. Aliran ini tidak
percaya lagi kepada akal, pengalaman atau hal-hal yang positif lainnya, karena semuanya
itu membawa kekilafan belaka.
b. Intuitionisme
Pendukung aliran ini ialah Henri Bergson. Bergson mengatakan bahwa realitas yang selalu
berubah, selalu berganti (panta rei) hanya dapat didekati melalui intuisi saja, dan tidak

78
dapat ditangkap melalui akal. Akal hanya melihat segala sesuatu serba bagian demi
bagian, serba detail, sedangkan intuisi (ilham) melihatnya serba total dan luas. Manusia
dapat melihat segala-galanya dengan ilham, yang merupakan tingkat intuisi tertinggi.
c. Tasawuf atau Mistik
Tujuan tasawuf ialah mendekatkan diri kepada Tuhan, sehingga merasai persatuannya
(unio-mystica). Persatuan tersebut merupakan perasaan yang paling luhur, di mana
manusia merasai nikmat dalam hubungannya dalam Yang Mutlak. Untuk mengetahui
Yang Mutlak, golongan Tasawuf tidak mencarinya dengan memakai akal, tetapi dengan
jalan ekstase (semedi). Dalam keadaan ekstase ini, manusia melihat langsung tanpa
diganggu oleh “selubung maya” dan merasai persatuan segala keadaan. Di sini batin
manusia mengalami kesunyian yang sedalam-dalamnya, oleh sebab itu tiada kata yang
dapat digambarkan perasaan tersebut. Dan bagaimana wujud hakikat itu, ahli tasawuf
menjawab “tiada“ tetapi “ada“.
2. Pendirian yang mengutamakan objek sebagai sumber kenyataan.
Pendirian inipun melahirkan aliran-aliran filsafat, antara lain:
a. Realisme
Aliran ini berpendapat bahwa ada benda-benda yang tidak tergantung pada pengertian kita
dan hakikatnya berbeda dengan hakikat akal kita. Kebenaran mengenai sesuatu objek,
tidak tergantung pada pengertian kita, melainkan tergantung pada objek itu sendiri.
Realisme dapat dibedakan lagi menjadi beberapa aliran:
1). Realisme naif
Dalam realisme naif, yang diutamakan adalah persepsi terhadap benda itu sendiri.
Kebenaran adalah apa yang betul-betul nampak sesuai dengan pengamatan kita. Di
sini realisme naif tidak bisa membedakan antara apa yang dilihat dengan apa yang
diketahui.
2). Realisme Modern
Realisme pada umumnya berpendirian bahwa ada benda-benda tertentu yang sudah
ada karena dirinya sendiri dan tidak untuk diketahui, jadi adanya tidak tergantung pada
akal. Realisme Modern yang disebut juga Neo-Realisme menyatakan bahwa kita
mengetahui benda-benda, karena benda-benda sebagai objek itu memang ada dan ia

79
tergantung untuk diketahui. Pengetahuan kita tentang objek berarti mengenai objek itu
sendiri, dan bukan tentang idea-idea atau pengertian kita.
3). Realisme Kritis
Realisme Kritis berpendapat bahwa didunia ini ada 2 hakikat yang menyusun semua
kenyataan:
a). benda-benda material.
b). mental atau idea.
Benda-benda material yang bersifat non-mental dan non-psikis disebut subsistence.
Sedangkan benda-benda yang bersifat mental dan psikis sehingga mengatasi ruang dan
waktu disebut existence. Benda-benda dapat kita ketahui melalui idea. Rangsangan-
rangsangan organ sensoris menimbulkan idea pada kita, sehingga daripadanya kita
bisa melihat kenyataan.
b. Materialisme
Aliran ini berpendapat bahwa segala kenyataan berdasar atas zat atau anasir. Jiwa
dianggap pula sejenis materi atau zat, tetapi berlainan sifatnya dengan materi biasa. Aliran
materialisme sangat berpengaruh dalam abad ke-19 dan pada permulaan abad ke-20 dan
sampai sekarang akibatnya masih terasa benar. Materialisme dapat dibedakan menjadi 2
macam:
1). Materialisme Alam
Materialisme alam mempunyai pengaruh yang besar bagi perkembangan ilmu
terutama ilmu pengetahuan alam. Pendukung-pendukung aliran ini, antara lain
Leukipos dan Demokritos (Yunani), La Mettrie (Perancis), Feuerbach, Vogt, Buchner
dan Molenschott (Jerman). Mereka pada umumnya berpendapat bahwa satu-satunya
realitas adalah alam (benda). Manusia itupun merupakan benda alam. Pengetahuannya
ialah pengalamannya, arah tujuannya ialah cenderung akan alam.
2). Materialisme Historis/Dialektis
Tokohnya ialah seorang filsuf Jerman Karl Marx (1818-1883). Oleh sebab itu aliran
ini disebut juga Marxisme. Menurut Materialisme Historis, bahwa masyarakat selalu
berkembang dan perkembangan ini disebut sejarah. Gerak, perkembangan masyarakat
atau perubahan masyarakat itu ditentukan oleh kekuatan-kekuatan material yang
terdapat di dalam masyarakat. Kekuatan material merupakan basis masyarakat,

80
sedangkan kehidupan spiritual serta kesadaran sosial merupakan pencerminan
(refleksi) daripada basis masyarakat dan disebut bangunan atas masyarakat.
c. Fenomenologisme.
Fenomenologi ialah suatu aliran filsafat sebagai suatu metode penyelidikan, yang berusaha
menyelami segala sesuatu dengan memperhatikan segala gejala (fenomena) hakiki yang
kita alami dalam suatu situasi dengan tidak mempengaruhi penghayatan itu oleh
pandangan-pandangan dan tafsiran sendiri. Fenomenologi mula-mula dikemukakan oleh
Husserl (1859-1938). Sebagaimana Descartes, Husserl berpendapat bahwa adanya
pertentangan bermacam-macam aliran dalam filsafat, karena orang tidak mulai dengan
metode dan dasar permulaan yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu haruslah
dicari suatu metode yang memungkinkan kita berpikir tanpa mendasarkan pikiran itu
kepada suatu pendapat lebih dulu. Dalam berpikir, orang harus mulai dengan mengamat-
amati objek sebagai halnya sendiri tanpa dasar suatupun. Dengan demikian, kesadaran itu
sungguh-sungguh terarahkan kepada objek. Yang harus dicari ialah yang sungguh-
sungguh merupakan inti dari objek, sedangkan yang diluar inti sari itu tidak dihiraukan.
3. Pendirian yang mengutamakan subjek sebagai sumber kenyataan
Secara kodrat, subjek memiliki tiga kekuatan/kekuasaan, yakni: kekuatan panca indera,
kekuatan akal dan kekuatan rasa serta kehendak.Tiga kekuatan/kekuasan yang dimiliki oleh
manusia secara kodrat itu melahirkan aliran-aliran dalam filsafat, antara lain:
a. Aliran yang mendasarkan diri pada kekuatan panca indera: sensualisme.
Pendukung aliran ini adalah Condillac. Kaum sensualisme berusaha menempatkan
pengalaman indera sebagai hal yang primer dalam mencapai pengetahuan. Sensualisme
dapat juga dinamakan Empirisme Radikal, yang berpendapat bahwa semua pengetahuan
harus dapat dikembalikan pada pengalaman sensoris dan apa yang tidak dapat
dikembalikan padanya bukanlah pengetahuan yang benar.
b. Aliran yang mengutamakan kekuatan/kekuasaan akal: rasionalisme.
Rasionalisme ialah aliran filsafat yang hendak menerangkan segala keadaan dengan akal
(rasio). Dalam hal ini berpikir secara silogisme adalah cara yang paling jitu untuk
memperoleh ilmu pengetahuan. Kebenaran hanya bisa dicapai dengan berpikir secara
rasio. Dengan kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknik yang
mengagumkan, memberi kemajuan yang pesat pula pada aliran rasionalisme. Tokoh-

81
tokoh rasionalisme ialah Descartes, Spinoza, Leibniz, dan Wolff. Perlu diketahui bahwa
tokoh-tokoh tersebut dalam mencari kebenaran dengan memakai akal, mengaku terus
terang bahwa pada hakikatnya segala apa yang dikemukakannya pada akhirnya akan
kembali kepada Tuhan. Sesudah filsuf-filsuf tersebut di atas, muncullah beberapa ahli
ilmu pengetahuan yang berdasar pada rasionalisme asli, yang mengabdi semata-mata
kepada akal dan tidak mengakui lagi segala perasaan, pengalaman, fantasi dan kemauan.
Keadaan ini memuncak dalam jaman revolusi Perancis. Baru setelah muncul Immanual
Kant, seorang filsuf dan guru besar pada sekolah tinggi di Koningsbergen, maka
kemajuan rasionalisme asli tadi dapat ditahan. Sesudah pertengahan abad ke-18 timbul
aliran pikiran Romantik yang memberi perlawanan hebat terhadap Rasionalisme dan
sejak itu kemenangan irasionalisme nampak dalam segala jurusan penghidupan dan
pengetahuan.
c. Aliran yang mengutamakan kekuatan rasa dan kehendak: irasionalisme
Irrasionalisme berpandangan bahwa berpikir secara logika, tidak mencukupi buat
mencari kebenaran dan pengetahuan. Bagi irasionalis, insting (merupakan salah satu
tingkatan dari gejala kehendak) dan intuisi (yang dapat diterima dengan kehalusan rasa)
adalah sumber pengetahuan yang sebenarnya yang sanggup memberi pengertian yang
lebih mendalam tentang hakikat kenyataan. Berkatalah Meister Eckhart: “Kebenaran asli
tidak dapat kita capai dengan panca indera dan akal, sebab kebenaran asli itu tidak terikat
pada ruang dan waktu”. Dalam ilmu tasawuf, kemauanlah yang membawa pengetahuan
kepada keadaan suprarasional, di mana individu lenyap sama sekali buat mempersatukan
diri dengan yang umum. Di dalam keadaan ini, manusia dalam ekstase.
4. Pendirian yang mendasarkan pengalaman sebagai sumber kenyataan .
Pendirian ini melahirkan aliran-aliran filsafat, antara lain :
a. Empirisme
Kaum empirisme berpandangan bahwa ilmu pengetahuan yang berguna, pasti dan benar
hanya diperoleh melalui pengalaman. Pengalamanlah sumber pengetahuan yang sejati.
Jiwa dianggap sebagai penerima yang pasif. Tokoh-tokoh Empirisme: Francis Bacon,
Thomas Hobbes, John Locke dan David Hume. Aliran Empirisme ini mempunyai segi-
segi positif di samping segi-segi negatifnya. Segi positifnya: mengemukakan dengan
tegas, bahwa pengetahuan harus mempunyai bahan-bahan penglihatan dan pengalaman

82
teristimewa bagi ilmu pengetahuan alam. Sedangkan segi negatifnya: pandangan tersebut
bersifat berat sebelah. Ia memakai cara berpikir yang benar buat sebagian ilmu
pengetahuan, tetapi cara tersebut diterapkan untuk segala ilmu pengetahuan. Empirisme
meleset sama sekali dalam menerangkan soal badan dan jiwa, soal jiwa dan Tuhan.
b. Positivisme
Bapak aliran ini ialah August Comte (1798-1857), seorang filsuf Perancis. Ia berpendapat
bahwa manusia di dunia mempunyai tiga tingkatan:
Tingkat pertama: teologi , yang berdasar pada kepercayaan terhadap dewata, jin dan
kekuatan gaib yang lain-lain.
Tingkat kedua: metafisika , disana kejadian alam dan jiwa diterangkan dengan pokok-
pokok yang dicari dengan akal.
Tingkat ketiga: tingkatan positif, yang berdasar pada pengetahuan yang positif, yakni
pengetahuan yang menerangkan yang nyata-nyata saja.
Masa sekarang ini (masa Comte) haruslah mengabdikan ilmu yang disebutnya positif. Apa
yang tidak positif, apa yang tidak dapat dialami secara positif, baiklah ditinggalkan saja.
Di Inggris positivisme ini banyak penganutnya. Yang terutama di antaranya ialah John
Stuart Mill (1806-1873). Sistem ini dipergunakan juga untuk segala ilmu, baik untuk
logika, ilmu jiwa, sosiologi maupun kesusilaan. Dalam sosiologi, yang mendasarkan
azasnya atas positivisme ialah Durkheim (1858-1917).
5. Pendirian yang mendasarkan pada pihak yang berwewenang.
Pendirian ini melahirkan aliran filsafat tradisionalisme atau Sosial Dogmatisme. Dalam
menemukan kebenaran, aliran ini berpangkal pada suatu kenyataan yang dimiliki oleh orang
lain. Jadi mendasarkan dirinya kepada kekuasaan orang lain. De Lamennais menemukan
ukuran itu pada “keyakinan umum” yang terdapat pada orang-orang banyak.

J. Teori-Teori Kebenaran
Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa pengetahuan kita itu benar? Untuk mengetahui
bahwa pengetahuan kita itu benar, ada beberapa pendapat tentang teori-teori kebenaran, di
antaranya:
1. Teori kesesuaian atau correspondence-theory.

83
Teori ini mengatakan bahwa pengetahuan kita benar, apabila sesuai dengan kenyataan.
Teori ini mendasarkan diri pada pendapat, bahwa ada “dunia objektif” yang tidak tergantung
pada manusia yang mengetahui. Kita memperoleh kebenaran, jika pendapat atau kesan-kesan
kita sesuai dengan kenyataan di luar yang berupa “dunia objektif” tersebut. Jadi kesesuaian
adalah masalah yang menyangkut hubungan keluar. Atas dasar ini akan diperoleh kebenaran
yang bersifat objektif. Kebenaran tersebut ada di luar diri kita. Oleh sebab itu jika kita
mengadakan penelitian atau research, kita bermaksud untuk mencari kebenaran yang berupa
hakikat kenyataan objektif yang ada diluar diri kita. Dengan demikian akan diperoleh
pengetahuan yang bersifat tidak temporal (tidak tergantung waktu), abadi (tidak berubah).
2. Teori ketetapan atau consistency-theory.
Teori ini meyangkal teori kesesuaian dengan mengemukakan pendapat bahwa manusia tidak
mungkin dapat mencapai kesesuaian secara pasti (eksak) antara kesan-kesan yang dimilikinya
dengan kenyataan. Hal ini dibuktikan, bahwa dalam kenyataannya kontak berturut-turut
dengan objek yang sama seringkali menghasilkan reaksi-reaksi yang berbeda-beda. Di
samping itu kesan-kesan kita tentang kenyataan seringkali tidak sesuai dengan pendapat atau
kesan orang lain. Dengan demikian kita menjadi sangsi untuk mengatakan siapa yang lebih
dekat dengan kebenaran itu. Oleh sebab itu sebaiknya kebenaran dicari dengan menggunakan
kriteria ada tidaknya ketetapan (consistency) antara pendapat-pendapat atau kesan-kesan
tentang kenyataan.
Sebenarnya unsur kesesuaian dan ketetapan merupakan dua kriteria untuk menguji
pengetahuan kita yang diperoleh dengan suatu penelitian. Hasil-hasil suatu eksperimen
dikatakan reliabel jika kesan berturut-turut dari seorang penyelidik satu dengan lainnya tetap
sama. Selain itu dikatakan objektif, jika kesan-kesan itu tetap sama dengan kesan-kesan yang
diperoleh penyelidik lain yang melakukan penyelidikan terhadap kondisi-kondisi yang sama.
Dua pandangan tersebut sebenarnya tidak sangat bertentangan, melainkan bersifat saling
melengkapi. Teori kesesuaian adalah suatu pernyataan tentang arti kebenaran, sedangkan teori
ketetapan adalah pernyataan tentang pengujian terhadap kebenaran. Perbedaannya terletak
pada cara bagaimana mereka mendekatkan kenyataan dengan kebenaran dalam kemampuan
manusia untuk mencapai realitas.
Sehubungan dengan teori tersebut, dipakai dua istilah, yaitu: kebenaran yang transenden
dan kebenaran yang immanen. Kebenaran yang transenden ialah kebenaran yang melampaui

84
batas-batas jiwa. Kebenaran terletak diluar jiwa. Segala sesuatu yang ada ini tersusun menurut
susunan yang berdiri sendiri terlepas dari yang mengetahui. Sedangkan kebenaran yang terjadi
di dalam jiwa kita disebut kebenaran yang imanen (= tetap tinggal dalam jiwa). Pendukung
dari correspondence-theory adalah kaum realis, sedangkan pendukung dari consistency-theory
adalah kaum idealis.
3. Teori pragmatis = teori instrumentalis = teori eksperimentalis.
Kaum pragmatis menguji kebenaran pendapat, fakta-fakta, teori-teori dengan bertanya:
“Apakah yang menjadi akibat praktis daripadanya?“ Pendapat-pendapat itu sendiri tidaklah
benar atau salah. Yang menjadi benar atau salah adalah akibatnya atau bagaimana bekerjanya:
“Truth is what works“. Sesuai dengan pendapat di atas, maka kebenaran itu tidak pernah
sempurna, melainkan selalu dalam “pembentukan“. Kecaman-kecaman terhadap teori
pragmatis:
a. Kaum pragmatis mengacaukan antara kebenaran dan nilai.
b. Kaum pragmatis bagaikan “memperoleh kuda di muka pedati“, karena ia mengatakan :
suatu pendapat adalah benar karena akibatnya benar. Seharusnya: karena suatu pendapat
itu benar, maka akibatnya akan benar juga.

LATIHAN
1. Apa yang anda ketahui tentang arti epistemologi?
2. Jelaskan tentang fungsi panca indera manusia dalam memperoleh pengetahuan!
3. Jelaskan pula fungsi akal dalam memperoleh pengetahuan!
4. Menurut anda, apa peran intuisi dan/atau Budi dalam memperoleh pengetahuan?
5. Dalam hal sumber pengetahuan, sebutkan dan jelaskan pandangan empirisme dan
rasionalisme, sebutkan masing-masing salah satu konsep tokohnya.
6. Bagaimana pula anda menyimpulkan kritisisme Kant?
7. Jelaskan jenis-jenis objek pengetahuan berdasarkan sifatnya!
8. Jelaskan dengan ringkas apa maksud metode induksi dan deduksi itu!
9. Berikan salah satu contoh pendirian tentang kebenaran pengetahuan!
10. Jelaskan pula teori-teori kebenaran yang anda ketahui!

Kegiatan Belajar 4
AKSIOLOGI SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL FILSAFAT ILMU

85
A. Kajian Aksiologi
Prestasi teknologis ilmu-ilmu alam modern sudah kita ketahui bersama. Kita hidup di
jaman produk-produk ilmiah: mobil, pesawat terbang, listrik, TV, plastik dan sebagainya.
Konsekuensi teknologi modern tidak selalu positif. Contohnya, energi atom diiringi dengan
tindak pemusnahan. Revolusi industri, yang memungkinkan standar kehidupan kita sekarang,
juga mengusung hujan buatan misalnya, yang menghancurkan hutan kita, dan pada gilirannya
juga mengotori udara yang kita hirup.
Kemungkinan bencana alam seperti itu diciptakan oleh kurangnya kejelasan dan
ketertiban di dunia dalam kita, dunia moral. Sementara alam fisis menyerah pada keingintahuan
pikiran, dunia moral di jaman kita tampaknya telah menjadi tanah kosong yang sesungguhnya.
Kita tak lebih jauh lagi mengembangkan kemampuan kita dalam membuat keputusan-keputusan
moral dibandingkan nenek moyang kita dulu. Hasil kekacauan moral tampak misalnya pada
kejahatan yang mengancam keamanan masyarakat, manipulasi yang dilakukan pemerintah di
semua tingkatan, perang antar negara, dan disintegrasi kehidupan berkeluarga (di kultur Barat)
atau gap antara si kaya dan si miskin (kultur Timur).
Aksiologi adalah studi tentang nilai atau kualitas. Aksiologi mencakup etika dan estetika
– bidang filsafat yang sangat terkait pada gagasan tentang nilai – dan kadang-kadang disamakan
dengan teori nilai dan meta-etika (pada pembahasan ini ditambah dua bidang, yakni filsafat
politik dan filsafat kebajikan yang juga menyangkut nilai-nilai kemanusiaan pokok). Istilah ini
berkembang di abad ke-19 dan 20, tetapi pada dekade-dekade sekarang ini teori nilai cenderung
menggesernya dalam diskusi-diskusi sifat dasar nilai atau kebaikan secara umum. Aksiologi
adalah ilmu tentang nilai. Kata “axiology” beasal dari bahasa Yunani Kuno “axios” (berharga
atau benilai) dan “logos” (logika atau teori), yang berarti teori nilai. Pengembangan ilmu
memungkinkan pengukuran objektif tentang nilai sama akuratnya dengan termometer pengukur
panas. Satu wilayah penting penelitian untuk aksiologi ini adalah aksiologi formal, atau
kekakuan matematis. Teori nilai ini juga digunakan dalam bidang ekonomi. Beberapa definisi
terminologis aksiologi:
1. Cabang filsafat yang terkait dengan masalah nilai, misalnya nilai etika, estetika, politik,
agama.

86
2. Studi sifat dasar tipe dan kriteria nilai-nilai dan pertimbangan nilai, khususnya dalam etika
(John Warfield).
3. Teori umum nilai; studi sasaran-sasaran kepentingan (Lotze).
Aksiologi memiliki banyak kegunaan: membangkitkan pengetahuan baru tentang dunia
ini dan menciptakan kerangka referensi yang menyediakan cara baru melihat diri dan
lingkungan. Apa yang lebih penting lagi adalah pengetahuan ini bagi setiap pengamat mestinya
bersifat objektif dan independen.
Selain ontologi dan epistemologi, beberapa istilah penting lain yang terkait erat dengan
aksiologi adalah:
 Psikologi: psikologi yang sungguh-sungguh “rasional” atau “filosofis” yang terkait dengan
manusia sebagai “yang ada”
 Teodice: Ilmu filosofis tentang Tuhan, Sebab Pertama, Sang Pencipta – kadang-kadang
disebut “teologi natural”
 Logika: Ilmu filosofis tentang pemikiran yang lurus
 Etika: Ilmu filosofis yang terkait dengan perbuatan manusia – kadang-kadang disebut dengan
“filsafat moral”
 Politik: Ilmu filosofis tentang tujuan sosial manusia, termasuk bentuk pengorganisasian
negara
 Estetika: Ilmu filosofis yang mempelajari seni, keindahan, nilai-nilai artistik

B. Teori Nilai
1. Definisi Nilai
Nilai, dalam filsafat, adalah suatu prinsip atau standar untuk mempertimbangkan baik
buruknya sesuatu. Baik adalah sesuatu yang menyenangkan dan sesuai bagi maksud tertentu,
sedangkan buruk berarti yang tidak menyenangkan dan tidak sesuai bagi maksud tertentu. Benar
adalah kesesuaian putusan atau hasil kebaikan tertinggi (dan tidak sekedar mendekati kebaikan),
sedangkan salah berarti ketidaksesuaian putusan atau hasil kebaikan tertinggi.

2. Sumber Nilai-Nilai
Nilai-nilai diturunkan dari maksud-maksud dan keinginan-keinginan. Keinginan adalah
hasrat-hasrat yang muncul dari muatan rasa senang dan rasa sakit. Keinginan-keinginan tersebut

87
bisa saja berbenturan antara satu dengan yang lain, seiring dengan maksud dan kemampuan.
Maksud adalah hasrat bagi tercapainya tujuan tertentu. Kebahagiaan adalah kecenderungan
manusia untuk mencapai pemenuhan keinginan-keinginan dan hasrat-hasratnya.
Tujuan tertinggi bagi sebagian besar umat manusia adalah keterjagaan diri yang
menampak pada tiga hal:
1. Keberlangsungan hidup personal: keberlanjutan tubuh, pikiran dan jiwa
2. Keberlangsungan genetis: keberlanjutan keluarga
3. Keberlangsungan memetic: keberlanjutan ingatan dan kreasi-kreasi
Minoritas umat manusia memilih tujuan-tujuan alternatif seperti rasa senang, sakit, pengetahuan,
keindahan, kasih sayang, keadilan, kelanjutan ekosistem, kapabilitas, ketentraman, atau
pembinasaan. Nilai intrinsik adalah nilai yang berasal dari maksud atau keinginan yang berujung
pada maksud dan keinginan itu sendiri, dan tidak murni muncul dari maksud dan keinginan yang
lain. Nilai tertinggi adalah nilai intrinsik yang diupayakan yang tidak dikompromikan dengan
nilai-nilai yang lain.

3. Justifikasi Nilai-Nilai
Manusia tak memiliki bukti bahwa alam semesta ini mempunyai tujuan inheren
penciptaannya, sehingga alam tak mempunyai tujuan yang dapat diharapkan menjadi basis nilai.
Alam ini tidak bisa dikatakan baik atau buruk, dan di dalamnya tak ada keinginan atau
kepentingan satu makhlukpun yang menentukan keberadaannya.
Dalam ketiadaan maksud objektif atau kepentingan inheren baik-buruk, manusia
tampaknya bebas memilih maksud dan nilai-nilainya. Adakah basis rasional objektif bagi nilai?
Bukannya tidak mungkin, tetapi tak ada satupun pilihan nilai kemanusiaan yang dapat
dibenarkan secara objektif. Sebaliknya, pilihan-pilihan tersebut pada akhirnya harus didasarkan
pada pendekatan selera daripada objektivitas. Usaha pendekatan non-rasional ini dapat
diminimalisir dengan menggunakannya hanya dalam memilih nilai-nilai dasar, atau lebih baik
lagi kriteria untuk memilih nilai-nilai fundamental tersebut. Beberapa kriteria untuk memilih
nilai-nilai fundamental adalah melalui pendekatan-pendekatan:
1. Universalitas, dalam aksiologi diartikan sebagai prinsip bahwa mempertahankan nilai
fundamental berarti mendukung pandangan tentang nilai yang serupa.

88
2. Imparsialitas, dalam aksiologi diartikan sebagai prinsip bahwa nilai pokok tak dapat
mendukung sesuatu yang partikular lebih dari yang lainnya yang sejenis.
3. Maksimalitas, dalam aksiologi diartikan sebagai prinsip bahwa jika suatu nilai itu
fundamental, maka terlalu banyak ketidakmasukakalan di dalamnya.
4. Kompatibilitas, dalam aksiologi diartikan sebagai prinsip bahwa nilai-nilai pokok harus
relatif sesuai dengan selera dan hasrat alamiah si penilai.
Beberapa aliran dalam pemikiran tentang justifikasi nilai:
 Kognitivisme, dalam aksiologi diartikan sebagai tesis yang proposisi-proposisinya secara
objektif dapat banar atau salah.
o Naturalisme, dalam aksiologi diartikan sebagai tesis yang kebenaran proposisi-
proposisinya tentang nilai-nilai dapat diasalkan dari fakta-fakta tentang alam.
o Intuisionisme, dalam aksiologi diartikan sebagai tesis yang kebenaran proposisi-
proposisinya tentang nilai hanya dapat diturunkan dari intuisi-intuisi yang jelas dengan
sendirinya.
 Non-kognitivisme, dalam aksiologi diartikan sebagai tesis yang proposisi-proposisinya
tentang nilai tak dapat dikatakan benar atau salah secara objektif.
o Emotivisme, dalam aksiologi diartikan sebagai tesis yang proposisi-proposisinya tentang
nilai sebatas pada ekspresi emosional persetujuan dan ketidaksetujuan.
o Preskriptivisme, dalam aksiologi diartikan sebagai tesis yang proposisi-proposisinya
tentang nilai sebatas pada perintah dan larangan.
Naturalisme adalah keliru karena tak ada cara yang mendorong berargumen dari “yang
senyatanya” ke “yang seharusnya”. Intuisionisme juga keliru karena aksioma-aksioma nilai tidak
jelas dengan sendirinya sebagaimana – misalnya - aksioma matematis. Emotivisme dan
preskriptivisme benar sebagiannya, karena penegasan-penegasan nilai sungguh-sungguh
memiliki kekuatan emotif dan preskriptif, bukannya deskriptif secara objektif.

4. Nilai-Nilai yang Menonjol


Dalam jagad yang dikutuk tak bisa mengelak dari peningkatan entropi 1, kita menghargai
ekstropi. Ekstropi adalah keseluruhan intelegensi, vitalitas, dan kapabilitas sistem untuk
meningkatkan intelegensi, vitalitas, dan kapabilitasnya. Sebagai intelektualitas kehidupan yang

1
Entropi: ukuran tingkat ketidaktertiban sistem.

89
otonom, kita menghargai kecerdasan, kehidupan, dan otonomi yang dibutuhkan sistem untuk
tumbuh.
a. Intelegensi
Kita tak hanya menghargai informasi dan pengetahuan, tetapi juga pemahaman, kearifan,
dan khususnya intelegensi yang menghasilkan dan memuat itu semua. Pemahaman adalah
pengetahuan yang pokok, berulang dan reflektif; hal ini penting dan tak dapat direduksi,
mendukung dan menyiratkan banyak pengetahuan derivatif lain, dan menentukan posisi
diri yang diketahui dan diri yang mengetahui dalam pengetahuan yang lain. Kearifan
adalah pemahaman dari maksud seseorang dan cara terbaik mencapainya.
b. Kehidupan
Kita menghargai kompleksitas dan diversitas yang terorganisir yang terletak antara
keteraturan yang sempurna dan kekacauan yang acak. Sistem-sistem seperti kehidupan
yang mengalami evolusi karena seleksi alam adalah sumber terbaik kompleksitas dan
diversitas yang terorganisir itu.
c. Otonomi
Kita menghargai otonomi yang disyaratkan kehidupan dan intelegensi dalam rangka
perkembangannya. Kehidupan membutuhkan otonomi untuk mengejar kepentingan diri
yang diperlukan untuk mempertahankan diri dan lingkungannya. Intelegensi membutuhkan
otonomi untuk mempersoalkan asumsi-asumsi dan otoritas. Kita menghargai keadilan,
yang mengijinkan tiap pengembannya untuk menikmati hasil-hasil keputusan dan tindakan
non-koersifnya.

5. Sistem-Sistem Nilai
Sistem-sistem nilai kemanusiaan utama adalah:
 Pietisme: tesis bahwa nilai yang utama adalah ketaatan terhadap hal-hal supernatural.
 Kolektivisme: tesis bahwa nilai yang utama adalah kebaikan manusia secara berkelompok.
 Individualisme: tesis bahwa nilai yang utama adalah kebaikan manusia secara individual.
o Eudaimonisme: tesis bahwa nilai yang utama terletak dalam kebahagiaan individual.
 Utilitarianisme: tesis bahwa nilai yang utama adalah kebahagiaan tertinggi bagi
sebanyak-banyaknya manusia.
 Hedonisme: tesis bahwa nilai yang utama adalah kesenangan.

90
 Asketisme: tesis bahwa nilai yang utama adalah ketenteraman batin.
 Egoisme: tesis bahwa nilai yang utama adalah kebahagiaan diri sendiri.
o Stoisisme: tesis bahwa nilai yang utama adalah kebajikan.
o Eksistensialisme: tesis bahwa nilai yang utama diciptakan hanya melalui pilihan-pilihan
individual.
 Survivalisme: tesis bahwa nilai yang utama adalah kemampuan reproduktif yang inklusif.
 Pesimisme: tesis bahwa nilai yang utama adalah ketidakrelevanan.
 Deontologisme: tesis bahwa nilai yang utama diturunkan dari bentuk perintah rasional.
 Altruisme: tesis bahwa nilai yang utama adalah kebahagiaan orang lain.
 Ekstropianisme: tesis bahwa nilai yang utama adalah ekstropi.
Pietisme gagal karena tak ada bukti meyakinkan tentang hal-hal perantara supernatural.
Kolektivisme gagal karena tidak kompatibel dengan hak-hak dan dorongan-dorongan individual.
Utilitarianisme cenderung menyamakan kebaikan dengan kebahagiaan. Hedonisme gagal karena
kesenangan inderawi sederhana pada akhirnya bertentangan dengan tujuan-tujuan yang lebih
kompleks. Asketisme gagal karena usahanya memberangus nafsu dan tujuan-tujuan alamiah.
Egoisme gagal karena kebebasan personal yang tidak dapat diganggu gugat pada akhirnya akan
bertentangan dengan perlindungan maksimalnya. Stoisisme menyamakan kebaikan dengan
kebajikan. Eksistensialisme dan pesimisme salah karena mengakhirkan wawasan-wawasan yang
penting. Survivalisme menjalankan Naturalist Fallacy bahwa segala macam cara sebenarnya
secara alami adalah cara seseorang menginginkan sesuatu terjadi. Deontologisme juga
merupakan bentuk Naturalisme yang secara salah menyimpulkan “yang seharusnya” dari “yang
senyatanya”. Altruisme berlawanan dengan dan gagal mengekang nafsu-nafsu dan hasrat-hasrat
alami.
Jika Hukum Kedua Termodinamika tidak menjamin bahwa entropi secara efektif selalu
meningkat, maka kehidupan mungkin akan berkembang ke wilayah kuasa ilahiah, dan kuasa
ilahiah itu seharusnya tidaklah menghargai ekstropi. Apa yang akan menjadi suatu nilai
keserbatahuan Sang Maha Kuasa? Ibadah? Kebersamaan? Kecantikan? Ketenteraman?
Ketidakingatan? Kepelupaan?

C. Konsep Matematika Nilai Hartman

91
Pertanyaan tentang nilai berasal dari para filsuf di Yunani Kuno dan mencapai titik
kulminasinya pada pemikiran Dr. Robert S. Hartman. Bapak aksiologi modern, Robert S.
Hartman, mengamati bahwa manusia telah menjadikan dunia ini sebagai tempat yang paradoks,
di mana di antara penemuan-penemuan teknologi dan keilmuan, manusia mencapai sedikit
pandangan tentang bagaimana menemukan perasaan batin nan damai. Dari hasil penelitiannya
tentang kekacauan moral dari munculnya kekuasaan Hitler semasa pra-perang Jerman, Hartman
mengharapkan suatu ilmu yang dapat mengorganisir “kebaikan” secara efektif sebagaimana
kaum Nazi telah mengorganisir “keburukan”. Dr. Hartman mendedikasikan hidupnya untuk
realisasi visi tersebut, dan sebagai hasil puluhan tahun penelitiannya, dia menciptakan sistem
matematis baru yang berhasil mengatur nilai-nilai pengalaman sehari-hari kita. Dia menyatakan
bahwa perbedaan primer antara ketertiban alami dan kekacauan moral terletak pada hitungan
matematis yang mengatur sifat dasar dunia. Penemuannya menerangi prinsip-prinsip di mana
ketertiban dan strukturnya tidak hanya merupakan keputusan-keputusan moral kita, tetapi
merupakan pertimbangan-pertimbangan seluruh nilai manusia.
Hartman mengamati bahwa manusia “telah menjadikan dunia ini sebagai tempat yang
paradoks: satelit-satelit artifisial berputar mengelilingi kita, namun kita menggigil ketakutan oleh
ledakan kosmis”. Dengan penguasaannya atas sejumlah bahasa dan dialek, Hartman
mengumpulkan berbagai macam makna dari “baik”. Dia memeriksa arti-arti ini untuk mencari
tahu persamaan dan perbedaannya. Dia mengkaji teori-teori dan sistem-sistem nilai sejak dari
Plato sampai masa kini. Dia menganalisis ilmu-ilmu alam untuk memahami apa yang
memungkinkan penemuan ilmiah di dunia alamiah.

D. Etika
1. Sifat Dasar Etika
Etika: studi bagaimana seseorang harus memperlakukan manusia dan keberadaan yang
lain. Etika berisi identifikasi hak-hak yang dimiliki setiap entitas. Hak adalah penamaan bagi
suatu keberadaan yang akan atau belum/tidak dijalankan pemiliknya.
Makhluk hidup adalah setiap entitas yang memiliki kehidupan, kemampuan mempersepsi
dan merasa, atau kemauan yang cerdas, dan hanya entitas-entitas ini yang memiliki hak.
Terdapat dua kelompok keberadaan: manusia dan organisme. Manusia adalah makhluk cerdas
dengan kemampuan signifikan mengendalikan perlakuan terhadap keberadaan yang lain.

92
 Semua orang memiliki hak untuk hidup dan merdeka.
 Semua makhluk hiduip memiliki hak untuk tidak ditimpa siksaan atau pemusnahan.
Jadi, manusia wajib meminimalisir insiden:
 kematian orang lain
 kepunahan spesies
 kekerasan
 penyiksaan

2. Sasaran Etika
a. Kelompok
Kelompok tidak memiliki kemauan atau kemampuan merasa dan mempersepsi, dan tak dapat
menjadi sasaran pemaksaan atau siksaan kecuali keanggotaan mereka dalam kelompok
tersebut demikian penting. Dengan demikian kelompok dalam dirinya sendiri tidak memiliki
hak terpisah melawan paksaan atau siksaan. Inilah makna kehidupan kelompok spesies, yang
berhak tidak mengalami pemusnahan.
b. Sub-Personal
Pribadi perwalian adalah pribadi yang kurang dalam kebebasan fisiologis, kemauan, dan
intelegensinya. Wali adalah pribadi yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan pribadi
perwalian dan terhadap tujuan yang bisa memaksa pribadi yang bergantung tersebut. Balita
adalah pribadi perwalian, dan orang tuanyalah yang biasanya menjadi wali. Kelompok besar
pribadi perwalian yang lain adalah penderita cacat mental. Ikan paus dan kera tidak cukup
cerdas untuk dipertimbangkan sebagai pribadi perwalian.
c. Super-Personal
Tak satupun kekuatan mental atau fisik yang membuat entitas apapun berhak melebihi hak
manusia. Makhluk artifisial dan bioengineered merupakan pribadi yang super jika diuji
kemauan dan intelegensinya.
d. Pra-Personal
Juga merupakan suatu pribadi jika dibiasakan atau dijadikan pribadi dan memiliki kognisi
signifikan atau kemampuan mempersepsi dan kebebasan fisiologis. Janin adalah pribadi
perwalian sebagaimana balita. Genotip pribadi bukanlah pribadi yang mandiri, dan bisa
dimodifikasi.

93
e. Post-Personal
Pribadi berhenti sebagai pribadi ketika ia secara permanen kehilangan hidup, intelegensi dan
kemauannya. Pribadi harus dipandang sebagai pribadi perwalian jika dia tidak menginginkan
tanggung jawab personal untuk hilangnya intelegensi atau kemauan sementara waktu.
f. Identitas Personal
Pribadi diidentifikasi melalui waktu dengan keberlangsungannya. Pribadi P1 disusun dari
deskripsi dan bahkan materi dari pribadi P0 yang tidak diidentifikasi dengan P0 jika proses
penyusunannya tidak berlanjut. Logis saja meniru seseorang, bahkan seandainyapun
duplikatnya tidak berbagi identitas pribadi dan duplikat tersebut memiliki status etis sebagai
anak dari usia sebenarnya. Juga masuk akal membagi pribadi demikian yang seluruh
penerusnya sangat dekat dan berlanjut mempertahankan identitas. Dalam hal ini si penerus
akan berbagi identitas dengan pendahulunya, dan harus menempatkan di antara mereka
sendiri seluruh hubungan pribadi dan properti yang tak dapat dibagi dari pendahulunya.
Kemasukakalan yang sama diterapkan pada pribadi-pribadi yang bergabung.
g. Organisme
Organisme impersonal mungkin saja dimiliki seseorang, dan mungkin dipaksakan atau
dihilangkan oleh pribadi yang memilikinya atau (jika tak dimiliki dan tak terakses) oleh
setiap pribadi. Genotip organisme-organisme tidak hidup pada dirinya sendiri, dan oleh
karenanya tidak memiliki hak independen melawan pemusnahan. Makhluk artifisial dan
bioengineered memiliki hak penuh organisme jika teruji hidup.

3. Objek-Objek Etika
Properti adalah segala sesuatu di mana suatu agensi memiliki hak ekslusif untuk
memiliki, menggunakan, dan menugasinya.
 Properti dapat menjadi sesuatu yang bukan seseorang dan yang dapat diciptakan atau
dikendalikan oleh seseorang.
 Seseorang memiliki hak mengakses sumber daya alam alam tak bertuan pada mana mereka
telah mengakses secara berkelanjutan.
 Seseorang memiliki sesuatu yang tak terakses yang tak bertuan, padanya seseorang itu
menggunakan kontrol orisinil.

94
 Seseorang memiliki segala yang dia ciptakan dari properti dan hak-hak sumber daya
alamnya.
 Seseorang memiliki segala properti, hak properti, atau hak sumber daya alam yang diberikan
secara konsensual oleh pemilik yang berhak.
 Setiap properti, hak properti, atau hak sumber daya alam dari seseorang, apabila dia sudah
meninggal, bisa beralih ke orang yang dipilih menggantikannya atau kembali menjadi tak
bertuan.
Sumber daya alam adalah persediaan atau ruang fisik atau logis yang eksis tanpa bekal
dukungan intelegensi dan mudah digunakan bagian-bagiannya tetapi sulit mengendalikan
keseluruhannya, seperti udara, tanah, air, cahaya matahari, ikan, permainan, gelombang, dan
sebagainya. Pengotoran atau pemonopolian sumber daya alam merupakan agresi melawan orang-
orang yang telah lama mengaksesnya. Sumber daya alam yang dapat dimiliki adalah sesuatu,
seperti tanah atau cahaya matahari, yang bagiannya dikontrol sedemikian hingga pengguna
lainnya mudah dideteksi oleh pengontrolnya. Bahkan properti yang sudah diprivatisasi oleh
interes-interes tertentu dalam sumber daya alam yang tak dapat dimiliki merupakan pelaku
tragedi yang lazim terjadi, karena pemilik tidak dapat mengidentifikasi langsung siapa yang
mengganggu kepentingannya.
Properti hanya dapat terdiri dari sumber daya alam yang dapat dimiliki, artifak-artifak,
dan properti intelektual. Artifak adalah benda material yang diciptakan intelegensi. Properti
intelektual adalah properti yang terdiri dari kreasi informasi orisinil, termasuk ekspresi-ekspresi
(tetapi bukan fakta), penemuan (dalam arti invention, bukan discovery), dan reputasi. Hak cipta
(copyright) adalah hak mereproduksi ekspresi orisinil seperti teks, gambar, audio, video, tarian,
atau patung. Hak paten adalah hak kepemilikan terhadap penemuan orisinil. Reputasi adalah
penghargaan komersial atupun publik, atau, identitas seseorang atau hak milik seseorang.
Fitnah/pencemaran nama baik merupakan hal yang merusak reputasi melalui ekspresi yang
memperdayakan.
Ekspresi-ekspresi orisinil adalah properti intelektual penciptanya atau pewarisnya,
tetapi tanpa jaminan hak cipta penuh. Ketika reproduksi dan distribusi media menjadi mahal dan
kepemilikannya terkonsentrasi, hak cipta memiliki efek utama dalam memastikan eksklusivitas
komersial dibandingkan pencegahan penggunaan “cara yang adil” atau non-kompetisi. Teknologi
digital telah menjadikan distribusi dan reproduksi media hampir-hampir bebas, dan doktrin hak

95
cipta yang kuno menemukan dirinya sendiri berhadapan dengan pemakaian-pemakaian yang tak
dapat dicegah (meskipun tidak dilindungi hak cipta, tampaknya banyak ekspresi-ekspresi seperti
pertunjukan, lelucon, dan iklan yang demikian). Kepemilikan ekspresi harusnya hanya memberi
hak mencegah reproduksinya dalam hal a) kompetisi yang mengalihkan manfaat komersial dari
pemilik kepada pesaing; b) penggunaan yang ditujukan untuk modifikasi pemfitnahan tanpa
sengaja; c) penggunaan tanpa sengaja. Properti intelektual dalam reputasi harus diakui selama
penggunaan komersial reputasi-reputasi tersebut. Hak anti persaingan dalam pernyataannya
harus diakui hanya selama tak ada orang lain yang membuat pernyataan orisinil yang sama (bagi
sebagian besar pernyataan, durasi ini tak terbatas). Properti intelektual dalam suatu penemuan
harus diakui selama belum ada orang lain yang menemukannya, atau mana yang lebih awal
muncul selama perputaran produk dalam industri yang relevan.

4. Relasi Etis
Orang tak memiliki hak mengenakan eksternalitas negatif yang berdampak pada hak
kepemilikan dan hak sumber daya alam, dan tidak ada hak untuk menuntut ganti rugi terhadap
eksternalitas positif.
Kerjasama adalah interaksi di antara individu-individu untuk tujuan tertentu yang
bermanfaat. Kerjasama biasanya positif, bahkan untuk pertukaran langsung dan dapat dibalik,
karena individu yang melakukan penukaran tersebut memiliki kebutuhan dan nilai-nilai yang
berbeda. Hak berkumpul adalah hak setiap individu, kecuali dalam kasus monopoli, untuk
bekerja sama atau tidak bekerja sama dengan siapa yang mereka kehendaki.
Kerjasama itu banyak bentuknya. Kontrak adalah pemahaman eksplisit di antara mereka
yang sepakat untuk saling memberi atau mempengaruhi satu dengan yang lainnya dalam banyak
cara. Perkawinan adalah suatu bentuk kontrak yang mempersatukan banyak properti dan
kewajiban mempelai. Agresi adalah pelanggaran hak seseorang oleh orang lain, dan terdiri dari:
melukai seseorang, merusak properti, pelanggaran hak sumber daya alam, paksaan, kecurangan,
penipuan, monopoli, bujukan atau hasutan pihak ketiga. Paksaan adalah tekanan terhadap orang
lain melalui kekuatan atau perilaku agresi. Kecurangan adalah upaya mengambil keuntungan
dengan memperdaya seseorang dalam pembuatan suatu pilihan yang dimaksudkan untuk
mengaburkan kerugian ekonominya sehubungan dengan apa yang telah menjadi pilihan jujurnya.
Penipuan merupakan pernyataan dusta yang dapat dibuktikan atau penghilangan kebenaran yang

96
relevan yang memiliki efek disengaja dalam memberi harapan palsu pada orang lain. Pencurian
adalah pengambilan properti dari pemiliknya yang sah dengan tidak adil dan tanpa persetujuan.
Monopoli adalah pengendalian yang disengaja atau penolakan partsipasi orang lain dalam
industri melalui tindakan terkoordinir oleh pengendali industri tersebut. Siksaan adalah
penderitaan sebagai akibat maksud sadistik atau pengabaian tanpa berperasaan kepada orang
lain. Kompetisi adalah usaha-usaha kontroversi untuk memenangkan kesepakatan dengan
beberapa orang untuk berasosiasi dalam berbagai cara. Penderitaan dari kompetisi non-
monopolistik tidak dengan sendirinya menimbulkan agresi. Ekspresi dikatakan sebagai agresi
jika melibatkan penipuan yang disengaja maupun tidak yang menyebabkan kerugian nyata atau
resiko serius daripadanya, misalnya dengan berteriak “kebakaran..!” dalam kerumunan di gedung
teater. Menghasut tetapi tidak menipu yang mengarah pada agresi, bukanlah agresi itu sendiri.
Keadilan adalah minimalisasi, penghukuman, dan pembalikan dari agresi. Ketidakadilan adalah
agresi yang tak terminimalisasi, tak terbalikkan, atau agresi tanpa hukuman. Minimalisasi
pemaksaan dapat membenarkan dirinya sendiri melakukan sejumlah minimal pemaksaan.
Pemaksaan harus dibalik melalui ganti rugi kerusakan atau jika mungkin perbaikan properti
orisinil atau hak mengakses dari orang yang dipaksa. Pemaksaan serius harus dihukum melalui
penghilangan kebebasan, interaksi personal, dan bahkan hidup. Kemerdekaan adalah kemauan
dengan tiadanya agresi. Oleh karena itu keadilan dapat juga didefiniskan sebagai kemerdekaan
terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Kebebasan adalah kemauan yang signifikan: kekuatan
membuat putusan penting tentang tindakan-tindakan agennya sendiri. Kebebasan dua orang
dapat berubah menjadi konflik, tetapi kemerdekaannya tidak.

E. Estetika
1. Sumber Keindahan
Estetika adalah studi tentang keindahan. Sedangkan keindahan berarti kualitas yang
menyenangkan bila dicerap indera atau direnungkan dengan pikiran. Keindahan dapat
bermacam-macam sumbernya:
 Keindahan alami yang diturunkan dari:
o Keindahan segala sesuatu yang hidup
 Keindahan manusia merupakan kasus khusus di mana evolusi menjamin penghargaan
atas manusia.

97
o Keindahan segala sesuatu yang tidak hidup
o Keindahan lingkungan
 Keindahan artifisial dapat dibedakan dari:
o Bagaimana hal tersebut dibuat:
 Keindahan material
 Keindahan performatif
 Keindahan konseptual
o Mengapa hal tersebut dibuat:
 Keindahan aksidental
 Keindahan intensional
Otentisitas adalah properti yang berlaku ketika penampakan mengindikasikan esensi, dan
ketika orang yang bertanggung jawab (jika ada) tidak bermaksud menyembunyikannya. Banyak
manusia yang mempertimbangkan otentisitas artifak dan maksud penciptanya, menjadi aspek
penting keindahan objek atau kekurangannya. Bagi manusia seperti ini, keindahan tidak sekedar
dalam perwujudan inderawi. Bermula dari akhir dekade 1900-an di kebudayaan Barat muncul
banyak sekali penekanan terhadap otentisitas. Orang-orang tidak mempertanyakan apakah rasa
makanan dari restoran itu enak; mereka mempertanyakan keontetikan. Peresensi buku ingin tahu
kisah hidup pengarang sebelum memberi opini atas novelnya. Ide-ide dinilai lebih sedikit pada
jasa mereka dari pada resume advokasinya. Orang-orang tampak tidak cukup percaya diri dalam
memberi penilaian, dan terlalu sering takut tertipu oleh perasaan. Ini mungkin saja konsekuensi
dari relativisme ekstrim yang berkembang sebagai reaksi robohnya kemutlakan dan hirarki
agama, etnisitas, dan jender di awal abad ke-20. Dekonstruksionisme dan Teori Kritis adalah dua
contoh relativisme ekstrim ini.

2. Wujud Keindahan
Keindahan dapat mewujud dalam berbagai bentuk:
 Keindahan inderawi yang terutama mewujud pada indera-indera yang terhubung dengan
kognisi.
o Keindahan visual dapat berasal dari warna, kecermelangan, bentuk, atau kontras dan
perubahannya.
o Keindahan audio dapat berasal dari bermacam-macam properti suara yang luas.

98
o Sensasi penciuman (olfactory) kadang-kadang dianggap indah, tetapi sensasi-sensasi ini
hanyalah memuaskan dan tidak dianggap sebagai medium artistik.
o Sensasi sentuhan, kecapan rasa, temperatur, dan keseimbangan bahkan sering tidak
dianggap sebagai keindahan, mungkin karena dalam manusia sensasi itu kurang
berkembang dan kurang berhubungan dengan kognisi. Akankah orang-orang dengan
pikiran yang sangat maju selain dari tatapan dan pendengaran pernah mempertimbangkan
sensasi-sensasi ini sebagai keindahan dan dengan demikian sebagai medium artistik?
 Keindahan Perasaan, dapat berupa:
o Sublimitas/keagungan, yakni kualitas yang membangkitkan perasaan kagum, ta’zim,
transenden, penghormatan, dan kerendahan hati.
o Tragedi, yakni keadaan yang membangkitkan rasa takut, simpati, dan penyesalan bagi
(barangkali tak terhindarkan) kemalangan satu atau banyak orang yang menyedihkan.
o Komedi, yakni keadaan yang mencakup:
 pergeseran perspektif atau konteks yang tidak diharapkan tetapi masih bisa
dipertimbangkan, atau
 penggagalan niat seseorang, atau
 ejekan seseorang (seperti dirinya sendiri).
 Keindahan intelektual dapat berasal dari properti seperti:
o kesungguhan atau ironi
o kompleksitas atau kesederhanaan
o perpecahan atau keselarasan
o kerancuan atau kejelasan
o ketidaklengkapan atau kelengkapan
o cacat atau kesempurnaan
o acuan atau arti ( mencakup self-reference)
Kehadiran dan sifat dasar keindahan yang dipersepsikan dalam alam semesta bisa berupa
hasil yang tak bisa diabaikan setiap sejarah evolusioner perasanya. Keindahan, seperti semua
nilai-nilai, adalah subjektif, sebagaimana ia tergantung pada pilihan dan fakultas
(indera/perasaan) perasanya. Bagaimanapun, keindahan dapat objektif konteksnya bila di antara

99
perasanya cukup berbagi piranti fakultas dan pilihannya. Bagaimana perbedaan akan menjadi
pilihan estetis bagi manusia dan makhluk lain dengan fakultas yang mirip?

LATIHAN
1. Jelaskan tentang arti istilah aksiologi!
2. Apa pula arti istilah”nilai”?
3. Sebutkan dan jelaskan aliran-aliran dalam pemikiran tentang justifikasi nilai!
4. Apa yang anda ketahui tentang entropi dan ekstropi?
5. Sebutkan tiga sistem nilai kemanusiaan yang utama!
6. Jelaskan secara singkat konsep matematika nilai Hartman!
7. Jelaskan pula tiga contoh konsep relasi etis!
8. Apa yang anda ketahui tentang estetika?

Kegiatan Belajar 5
ANTISIPASI DAMPAK NEGATIF PEMANFAATAN ILMU

Fokus utama dari pembahasan masalah ini adalah manusia dengan segenap kemampuan
kemanusiaannya, seperti perasaan, pikiran, pengalaman, panca indra dan intuisi yang mampu
menangkap alam kehidupannya dan mengabtraksikan tangkapan tersebut dalam dirinya pada
berbagai bentuk “Nilai Kemaslahatan Ilmu” yang bisa diimplementasikan dalam kebiasaan, akal
sehat, seni, kultur dan filsafat. Tidak dapat dipungkiri bahwa aksiologi nilai kegunaan ilmu
sangat erat kaitannya dengan nilai moral, tanggung jawab sosial ilmuwan bahkan dalam
teknologi nuklir dan revolusi genetika sekalipun, guna mengantisipasi dampak negatif
pemamfaatan ilmu.

A. Pendidikan Moral
Apa namanya bila korupsi dianggap hak? Apapula sebutannya bila kebenaran menjadi
soal selera, dan moralitas jadi pilihan individu? Ketika nilai-nilai tak lagi netral, salah menurut
anda, tidak selalu berarti salah bagi saya? Berbohong, tidak jujur, boleh mencuri asal tidak
ketahuan, menjadi budaya baru. Orang bilang bangsa kita sedang berada di situ. Berita Indonesia
kehilangan Rp 22 triliun dalam tiga tahun akibat korupsi, kedua terkorup di Asian setelah
Myanmar (Koran Tempo 21/6/2004) bukti kian relatifnya kebenaran. Jadi betul bila orang bilang
bangsa kita telah mengidap krisis kebenaran. Bangsa yang tak lagi cerdas membedakan benar
dari yang salah.

100
Menurut Hendrawan (2003), tiap orang dilahirkan sebagai murid. Orang tumbuh
berbudaya jika moral ditanamkan dan dipelihara. Kehidupan harus disikapi sebagai proyek moral
dan menurut Confusius, “yang ingin mengatur hidup bangsanya harus mengatur hidup
keluarganya. Yang ingin mengatur hidup keluarganya harus mengatur hidup pribadinya
membentuk hati yang benar, kehidupan pribadi yang dibudayakan (memelihara hukum moral),
dengan demikian kehidupan keluarga menjadi teratur. Keluarga yang teratur membangun bangsa
yang teratur”. Sudahkah bangsa kita yang beragama menempuhnya? Boleh jadi belum
sepenuhnya. Beragama tidak selalu pararel dengan bermoral. Beriman belum tentu serta-merta
mengenal norma. Ada nilai dalam religiositas, ada norma dalam moralitas. Agama merupakan
sekolah iman dan di dalam asuhan keluarga yang teratur moral bisa naik kelas.
Anak yang tak memiliki standar kebenaran dan moral, yang tak diajar pintar
membedakan yang benar dari yang salah akan hidup di pinggiran moral. Kondisi itu dialami
sebagian besar anak muda AS. Riset Barna (George Barna and The Barna Research group, Ltd)
mengungkap anak-anak di banyak belahan dunia kini dibiarkan kehilangan sistem nilai. Di AS,
generasi Baby Boomers angkatan Bill Clinton (yang lahir 1946-1964) dan generasi Baby
Busters, yang lahir setelah 1964 sama-sama mengadopsi budaya yang tak selalu mengetahui
perbedaan antara benar dan salah, antara manusia dan binatang, tak punya lensa moral tajam, tak
menyimpan pandangan kebenaran yang kuat. Selain kehilangan sistem nilai, ada yang merosot
dalam warisan nilai tradisional anak-anak setelah Bill Clinton. Empat faktor dianggap menjadi
penyebabnya.
Pertama, media massa membuat nilai permisif barat secara mondial semakin menjadi
sebahasa. Ketika media massa membuat pergaulan lintas kultur menjadi begitu akrab, dunia
semakin kecil, dan imbas nilai rentan ditularkan dan diadopsi. Ketika anak lebih banyak belajar
nilai dari televisi (yang tak selalu realistis) ketimbang dari ayah-ibu, hampanya sistem nilai
tradisional di sekolah yang hanya mengajar dan kurang mendidik, serta rumah yang cenderung
menjadi “sarang kosong”, sebab orang tua sibuk, menjadikan nilai dan norma yang tertanam dan
tumbuh kepada anak menjadi asing, absurd, dan boleh jadi teralienasi.
Penyebab kedua, pergerakan urbanisasi menggeser nilai yang dipetik dari keluarga besar
(dengan hadirnya kakek, nenek, paman dan bibi) beralih ke nilai keluarga inti. Anak dibesarkan
pembantu dan kian terasing dari lingkungan tradisi dan cenderung menjadi besar bukan sebagai
murid. Ketika sekolah lupa melakukan tugas pembudayaan, dan orang tua alpa, anak tumbuh

101
tidak tahu aturan, tidak tahu diri, liar, alih-alih beriman bermoral. Iman tak mungkin naik kelas
kalau Agama cuma mengajar, tetapi tidak mendidik.
Faktor ketiga, manakala imbas dunia semakin materialisme (neo-materialism). Ketika
kemakmuran ekonomi dijadikan cita-cita anak dalam bersekolah, tuntutan generasi Baby
Boomers akan pekerjaan dengan bayaran tinggi melahirkan sikap menghargai keuntungan materi
di atas prioritas lainnya, termasuk meganggap bukan prioritas membina hubungan erat dengan
Tuhan (lahirnya Newagers, Free-thinkers). Ketika visi sekolah lebih untuk tujuan ekonomi
ketimbang moral, kian menyuburkan budaya konsumerisme, manakala budaya “petik hari ini dan
tenggaklah sampai tandas”, tujuan menghalalkan cara (Marchiavelism) kian dilumrahkan,
kebenaran menjadi bias. Misal, dianggap lebih benar sikap berbuat tak halal untuk yang halal,
ketimbang berbuat halal tetapi dipakai untuk yang tidak halal. Seakan dosa punya strata.
Faktor penyebab keempat ada di sekolah. Ketika sekolah berubah menjadi “pabrik
pendidikan” (menurut Glenn & Nelson), pendidikan nilai diserahkan orang tua kepada sekolah.
Padahal, sekolah cenderung lebih mengajar ketimbang mendidik. Tanpa nilai dan norma, buku
iman dan kitab moral anak tetap saja kosong (“tabula rasa”). Kesadaran moral anak tak tumbuh,
pilihan dan pedoman moral langka, alih-alih terasah lensa moral dan kacamata iman anak bila
kurikulum Agama cuma kognitif, bukan alih praktis, dan pendidikan budi pekerti nyaris sirna.
Orang bertanya apa lemahnya iman merupakan sebab utama sikap permisif masyarakat
dan kehidupan pribadi? Bagi yang percaya bahwa iman dan moral itu dua kawasan berbeda akan
menjawab bukan hilangnya rasa takut akan Tuhan yang membuat orang tak tahu malu, tak
mawas, atau menjadi tak tahu diri. Orang dapat menemukan norma moral tanpa bantuan iman.
Bukan sedikit orang ateis yang moralnya luhur. Bangsa beragama bukan jaminan niscaya elok
moralnya. Iman bukan syarat psikologis buat moral. Bangsa kita agaknya tengah menisbikan
etika, mengabaikan nilai kejujuran (Do-er-mentality).
Di tengah pluralisme moral, perlu ada jalan dari iman ketika. Agama bisa membuka
pintu untuk kesediaan mengubah yang bukan nilai menjadi nilai pada diri seseorang (divinely
human). Seyogyanya iman dan moralitas hampir selalu disebut bersama agar menjadi nyata
bahwa moralitas merupakan ungkapan iman religius juga.
Jadi, pendidikan moral sebuah anak bangsa itu sejatinya ada di dalam keteladanan
pemimpin bangsa yang kehidupan pribadinya teratur sehingga kehidupan keluarga, masyarakat
dan bangsanya teratur. Pendidikan moral juga hadir dalam pendidikan agama yang bukan

102
sekedar mengajar melainkan pintar pula dalam praksis ajaran agama yang setiap tindakannya
dibenarkan di mata manusia maupun di penglihatan Tuhan (Kompas, Juni 2004).

B. Pengorbanan sebagai Sumber Etis, Moral dan Spiritual


Menurut Moh Sholeh (2003) ketika pikiran dan kesadaran seseorang dipenuhi dan
dirasuki dorongan untuk mengeksploitasi sumber-sumber penopang keseimbangan dan harmoni
semesta, baik sumber daya ekologis berupa kekayaan alam, lebih-lebih sumber etis, moral dan
spiritual, yang merupakan penyangga utama keluhuran manusia, dan terus-menerus mengumbar
angkara murka, pengharapan kita akan hadirnya sifat-sifat terpuji dari akal budi yang luhur,
berkorban demi kepentingan bersama, mementingkan orang lain, bagai pungguk merindukan
bulan. Alih-alih berkorban demi kepentingan bersama, malahan beragam keserakahan akan
mendorongnya untuk menatap nanar milik orang lain dan menunggu kelengahannya. Modus
vivendi-nya bisa melalui tipu muslihat yang halus ataupun dengan cara-cara paksaan dan
kekerasan, mulai dengan gendam, hipnotis, mencopet, menodong, merampas, dan merampok
dengan mengancam nyawa pemiliknya.
Dalam masyarakat tragik, memang kita seperti iklan cola-cola, always dicekam oleh
kepungan ketakutan. Rasa aman menjadi suatu yang mahal. Nihilnya freedom from fear, kata
Fromm. Padahal mestinya freedom from fear ditularkan secara massal. Entri point ke arahnya
adalah dengan membangun dan membangkitkan sifat dan sikap berkorban, mementingkan orang
lain, menolong yang membutuhkan, memberi yang meminta, melindungi dan memberi rasa aman
bagi yang lemah, dan membebaskan pikiran dari ketakutan dan bayangan-bayangan ancaman.
Jiwa rakus hanya akan melahirkan individu-individu tragik, individu yang lahir akibat
hilangnya toleransi. Toleransi hilang misalnya karena kegagalan komunikasi kepentingan antar-
budaya, antar-individu. Dalam pandangan Lucien Goldman, individu tragik adalah mereka yang
sadar diri namun tak bisa berbuat apa-apa, tak mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Merujuk Goldman, sebenarnya tidak saja individu tragik yang menjangkiti kebersamaan kita
sebagai satu bangsa, melainkan masyarakat tragik, budaya tragik, politik tragik, ekonomi tragik,
bahkan Indonesia yang tragik. Sebagai contoh kasus, kita terus berlomba dengan Negeria dan
Banglades sebagai negara terkorup di dunia. Juga, kita adalah negara dengan jumlah pengungsi
terbesar, entah akibat dari bencana alam, konflik etnis, pertentangan agama, dan adanya kantung-
kantung pengungsi yang berasal dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

103
Dalam Indonesia yang tragik, seluruh aspek kebersamaan dan berkorban demi sesama
pada tataran politik, ekonomi, budaya termasuk agama, mengalami proses minimalis yang terus
menukik menuju nihilisme. Betapa ironisnya, suatu bangsa besar yang dibangun atas semangat
Bhinika Tunggal Ika, dan dengan mengorbankan egoisme sempit kesukuan, keagamaan dan
kepentingan kelompok, demi kesatuan dan keutuhannya, kini terseok-seok didera beragam krisis.
Potensi kebersamaan dan kekayaan negara, secara culas dan curang diperebutkan oleh banyak
kelompok anak bangsa, digeser menjadi milik golongan, kelompok, perseroan ataupun
perseorangan.
Dalam babakan kehidupan seperti inilah, pesan profetis pengurbanan haruslah sekuat
tenaga kita transformasikan. Dalam babakan kehidupan yang sama pula, nilai-nilai adi luhung
pengurbanan itu menemukan aktualitas, aksentuitas,dan resonansitasnya. Memang nilai-nilai
pengurbanan tidak secara langsung dan otomat sebagai shock therapy untuk menghilangkan
egoisme dan tragisme individu ataupun masyarakat, tapi paling tidak nilai pengurbanan bisa kita
jadikan pembuka jalan menuju kemanusiaan yang sempurna (insan kamil).
Dalam formulasi Ali Syariati (1978) ada tiga tahap yang harus ditempuh untuk sampai
derajat insan kamil, yaitu (a) membuang jauh-jauh rasa tamak dari dalam jiwa, (b) menaklukkan
nafsu mementingkan diri sendiri (pour soi), (c) dengan berpijak pada keduanya individu akan
terbawa pada ketulusan mengabdikan dan mengorbankan segala yang ada kepada Tuhan dan
kemanusiaan (en soi).
Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, secara rinci merangkum dalam tujuh
pilar syarat aktivitas yang membebaskan sebagai berikut : (a) prinsip cinta kasih, (b) rendah hati,
(c) percaya pada daya kreativitas manusia, (d) kepercayaan yang menuntut semua orang untuk
berjiwa terbuka, (e) merelatifkan pendapat yang berlaku umum tetapi salah, (f) membangkitkan
keberanian pribadi dalam kemapanan sosial (civil courage), (g) identifikasi hakikat masalah
(problem stellung) dengan penyadaran (conscientization) (Kanisius, 2001).

C. Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan


Pada bahasan ini, kiranya relevan dengan apa yang ditulis oleh Jujun S. Suriasumantri
(1993) bahwa ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara
terbuka oleh masyarakat. Sekiranya hasil karya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan maka dia
diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat

104
tersebut. Atau dengan perkataan lain, pencintaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan
penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Peranan individu inilah yang menonjol dalam kemajuan
ilmu di mana penemuan seorang seperti Newton atau Edison dapat merubah wajah peradaban.
Kreativitas individu yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi
proses pengembangan ilmu yang berjalan sangat efektif.
Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang
terpikul di bahunya. Bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya
terlibat secara langsung di masyarakat, namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai
fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak
berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab
agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Secara historis fungsi sosial dari kaum ilmuwan telah lama dikenal dan diakui. Raja
Charles 11 dari inggris mendirikan The Royal Society yang bertindak selaku penawar bagi
fanatisme di masyarakat waktu itu. Para ilmuwan pada waktu itu bersuara mengenai toleransi
beragama dan pembakaran tukang-tukang sihir. Akhir-akhir ini dikenal nama seperti Andre
Sakharof yang bukan saja mewakili sikap pribadinya namun pada hakikatnya mencerminkan
sikap kelembagaan profesi keilmuan dalam menanggapi masalah-masalah sosial.
Untuk membahas ruang lingkup yang menjadi tanggung jawab seorang ilmuwan maka
hal ini dapat dikembalikan kepada hakikat ilmu itu sendiri. Sikap sosial seorang ilmuwan adalah
konsisten pada proses penelaahan keilmuan yang dilakukan. Sering dikatakan orang bahwa ilmu
itu terbebas dari nilai. Dalam hal ini maka masalah apakah ilmu itu terikat atau bebas dari nilai-
nilai tertentu, semua itu tergantung kepada langkah-langkah keilmuan yang bersangkutan dan
bukan kepada proses keilmuan secara keseluruhan. Katakanlah misalnya seorang ilmuwan di
bidang hukum bersuara mengenai praktek ketidakadilan di bidang proses hukum dan bersikap
lantang agar masalah ini dijadikan objek penyelidikan. Bisakah kita katakan bahwa dia tidak
didorong nilai-nilai tertentu yang menyebabkan dia terikat oleh masalah tersebut?
Semua penelaahan ilmiah dimulai dengan menentukan masalah dan demikian juga
halnya dengan proses pengambilan keputusan dalam hidup bermasyarakat. Apakah mungkin
suatu masalah diselesaikan sekiranya masyarakat itu sendiri tidak sadar akan pentingnya masalah
tersebut? Beberapa masalah sedemikian esoterik dan rumit sehingga masyarakat tidak dapat
meletakkan proporsi yang sebenarnya. Katakanlah umpamanya mengenai keselamatan sistem

105
pembangkit tenaga listrik yang mempergunakan tenaga nuklir. Sukar bagi masyarakat awam
untuk menyadari seberapa jauh tindakan pengamanan telah dilakukan? Apakah lokasinya telah
tepat di tinjau dari tempat pemukiman yang padat? Bahaya apakah yang mungkin menimpa?
Tindakan penyelamatan apakah yang harus dilakukan? Perlukah masyarakat mengetahui
tindakan-tindakan penyelamatan ini.
Pada masalah seperti di atas maka peranan ilmuwan menjadi sesuatu yang imperatif.
Dialah yang mempunyai latar belakang pengetahuan yang cukup untuk dapat menempatkan
masalah tersebut pada proporsi yang sebenarnya. Oleh sebab itu dia mempunyai kewajiban sosial
untuk menyampaikan masalah itu pada masyarakat banyak dalam bahasa yang dapat mereka
cerna. Menghadapi masalah yang kurang mereka mengerti biasanya masyarakat bersikap
ekstrem. Pada satu pihak mereka bisu karena ketidaktahuan mereka, sedangkan di pihak lain
mereka bersikap radikal dan irasional. Sikap terakhir ini umpamanya dicerminkan dengan
keinginnan untuk menghancurkan sistem pembangkit tenaga listrik tersebut apapun alasan
eksistensinya. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan dalam hal ini adalah memberikan
perspektif yang benar: untung dan ruginya, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang
objektif dapat dimungkinkan.
Mungkin pula terjadi masyarakat telah merasakan adanya masalah tertentu yang perlu
dipecahkan namun karena satu dan lain hal masalah itu belum muncul ke permukaan dan
mendapatkan dukungan. Dalam hal seperti ini maka seorang ilmuwan harus tampil ke depan dan
berusaha mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah tersebut. Seorang ilmuwan
terpanggil dalam tanggung jawab sosial mengenai hal ini karena dia mempunyai kemampuan
untuk bertindak persuasif dan argumentatif berdasarkan pengetahuan yang dia miliki.
Pada bidang lain mungkin terjadi bahwa masalah itu baru akan timbul disebabkan oleh
proses yang sekarang sedang berjalan. Ilmuwan berdasarkan pengetahuannya memiliki
kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi. Umpamanya saja apa yang akan terjadi
dengan ilmu dan teknologi kita di masa depan berdasarkan proses pendidikan keilmuan
sekarang. Apakah sistem pendidikan kita memungkinkan negara kita mengejar keterbelakangan
di bidang ilmu dan teknologi di masa yang akan datang? Sekiranya tidak apakah yang akan kita
lakukan? Kerugian apa yang akan timbul sekiranya tindakan pencegahan tidak dilakukan?
Demikianlah pertanyaan yang serupa dapat dikemukakan dalam berbagai bidang seperti
kependudukan, energi, sumber alam, dan pemukiman.

106
Kemampuan analisis seorang ilmuwan mungkin pula mengemukakan alternatif dari objek
permasalahan yang sedang menjadi pusat perhatian. Bertrand Russell umpamanya
mengemukakan sebagai contoh betapa uang yang dipakai untuk persenjataan dapat dipergunakan
untuk meningkatkan dan mendistribusikan bahan makanan serta mengurangi ledakan penduduk.
Kemampuan analisis seorang ilmuwan dapat dipergunakan untuk mengubah kegiatan
nonproduktif menjadi kegiatan produktif yang bermamfaat bagi masyarakat banyak.
Singkatnya, dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat
mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari.
Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat ilmuwan yang elitis dan esoteris, dia
harus berbicara dengan bahasa yang dapat dicernakan oleh orang awam. Dia harus bersikap
seperti apa yang disebutkan Norman Denzin sebagai salesman. Untuk itu dia bukan saja
mengandalkan pengetahuan dan daya analisisnya, namun juga integritas kepribadiannya.
Karateristik lain dari ilmu terletak dalam cara untuk menemukan kebenaran. Manusia
dalam usaha untuk menemukan kebenaran itu ternyata menempuh cara yang bermacam-macam
sehingga menimbulkan pameo: kepala sama berbulu namun pendapat berlain-lain.
Memang kita harus bangga dengan julukan kita selaku manusia: Homo sapiens, makhluk
yang berpikir. Segera terbayang di benak kita, makhluk yang tercenung dengan tinju di dagu,
menghadapi masalah secara rasional. Namun bayangan ini luntur. Kemanusiaan berhutang budi
kepada Sigmund Freud yang menyadarkan kita bahwa manusia itu bukan saja menjadikan
rasional namun juga cerdas menjadikan rasionalisasi. Pikiran manusia bukan saja dapat
menemukan dan mempertahankan kebenaran namun sekaligus dapat dipergunakan untuk
menemukan dan mempertahankan hal-hal yang tidak benar. Seorang manusia biasa berdalih
untuk menutup-nutupi kesalahannya baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Dalih yang berbahaya adalah rasionalisasi yang disusun secara sistematis dan menyakinkan.
Dalih semacam ini bisa memukau apalagi bila didukung oleh sarana seperti kekuasaan. Tidak
sedikit para ilmuwan yang terbius oleh Hitler dengan persepsi Jerman sebagai bangsa yang Aria,
dan kaum Jahudi sebagai pengotor ras Aria. Keadaan seperti ini bukan saja berlaku di bidang
politik namun juga di bidang-bidang lain seperti mistik, ekonomi, peraturan lalu lintas sampai
masalah pop ala Sawito dan Erich Von Daniken.
Bagaimana sikap seorang ilmuwan menghadapi cara berpikir yang keliru ini? Seorang
ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Bukan

107
saja jalan pikirannya mengalir melalui pola-pola yang teratur namun juga segenap materi yang
menjadi bahan pemikirannya yang dikaji dengan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak dan
menerima sesuatu secara begitu saja tanpa suatu pemikiran yang cermat. Di sinilah kelebihan
seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir seorang awam.
Seorang awam kadang-kadang mempercayai asumsi yang tidak benar karena secara
sepintas lalu memang hal itu kelihatannya masuk akal. Proses rasionalisasi didasarkan kepada
jalan pikiran yang keliru atau materi pemikiran yang tidak benar. Seseorang yang awam kadang-
kadang terpukau oleh jalan pemikiran yang brilian dengan materi yang tidak benar. Atau
sebaliknya, dia terpukau dengan kenyataan-kenyataan yang memang dikenalnya, yang benar
menurut anggapannya dan kepercayaannya, namun dia gagal untuk melihat jalan pikiran yang
keliru dalam menganalisis kenyataan-kenyataan tersebut. Kelebihan seorang ilmuwan dalam
berpikir secara teratur dan cermat inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab
sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya dia mengetahui bahwa berpikir mereka
itu keliru. Dia mesti menjelaskan di mana mereka keliru, apa yang menjadikan mereka keliru,
dan lebih penting lagi, harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.
Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang
ilmuwan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis
seorang ilmuwan. Kegiatan intelektual yang meninggikan kebenaran sebagai tujuan akhirnya
mau tidak mau akan mempengaruhi pandangan moral. Kebenaran berfungsi bukan saja sebagai
jalan pikirannya namun seluruh jalan hidupnya. Dalam usaha masyarakat untuk menegakkan
kebenaran inilah maka seorang ilmuwan terpanggil oleh kewajiban sosialnya, bukan saja sebagai
penganalisis materi kebenaran tersebut namun juga sebagai propotipe moral yang baik.
Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberikan
informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil di depan bagaimana caranya bersifat
objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang
dianggapnya benar, dan kalau perlu berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini, beserta sifat-
sifat lainnya yang tak disebutkan di sini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan
kebenaran secara ilmiah. Di tengah situasi di mana segenap nilai mengalami kegoncangan maka
seorang ilmuwan harus tampil ke depan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan
yang akan memberikan keberanian. Demikian juga dalam masyarakat yang sedang membangun
maka dia harus bersifat sebagai seorang pendidik dengan memberikan suri teladan.

108
Aspek etika dari hakikat keilmuan ini kurang mendapatkan perhatian baik dari para
pendidik maupun dari para ilmuwan itu sendiri. Kita cenderung untuk mendidik anak-anak kita
menjadi cerdas tanpa mempersiapkan mereka dengan seksama agar kecerdasan itu dilengkapi
dengan nilai-nilai moral yang luhur. Para pendidik bukan saja terlupa memasukkan hal tersebut
dalam materi kurikulumnya namun juga gagal memberikan teladan dalam proses belajar-
mengajar. Kegagalan ini menimpa pula kalangan para ilmuwan kita. Debat mengenai
matematika modern umpamanya merupakan contoh yang buruk yang tidak mendidik baik
mengenai cara berpikir keilmuan maupun cara etika keilmuan.
Salah satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknologi. Kaum ilmuwan tidak
boleh picik dan menganggap ilmu dan teknologi itu alpha dan omega dari segala-galanya; masih
terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang menyangga peradaban manusia yang baik. Demikian
juga terdapat kebenaran-kebenaran lain di samping kebenaran keilmuan yang melengkapi harkat
kemanusiaan yang hakiki. Namun bila kaum ilmuwan konsekuen dengan pandangan hidupnya,
baik secara intelektual maupun secara moral, maka salah satu penyangga masyarakat modern itu
akan berdiri dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga keilmuan ini merupakan tanggung jawab
sosial seorang ilmuwan. Kita tidak bisa lari daripadanya sebab hal ini merupakan bagian dari
hakikat ilmu itu sendiri. Biar bagaimanapun kita tidak akan pernah kita melarikan diri dari diri
kita sendiri. (Jujun S. Suriasumantri, 1993).
D. Nuklir dan Pilihan Moral
Jujun S Suriasumantri (1993) mengutip bahwa pada tanggal 2 Agustus 1939 Albert
Einstein menulis surat kepada Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt yang memuat
rekomondasi mengenai serangkaian kegiatan yang kemudian mengarah kepada pembuatan bom
atom. Dalam surat itu Einstein antara lain mengatakan “saya percaya bahwa merupakan
kewajiban saya untuk memberitahukan kepada anda fakta-fakta dan rekomendasi sebagai
berikut…..”. Apakah yang mendorong Einstein merasa berkewajiban untuk memberikan sarana
kepada Presiden Roosevlet untuk membuat bom atom? Apakah dia anti Rezim Hitler? Apakah
karena dia terpanggil oleh kewajibannya selaku warga Amerika Serikat? Sebagai seorang
ilmuwan yang menemukan rumus E = mc2 yang menjadi dasar bagi pembuatan bom atom yang
dasyat itu, Einstein merupakan orang yang lebih tahu mengenai akibat dari saran yang
dikemukannya, baik secara fisik maupun secara moral.

109
Alasan Einstein untuk menulis surat tersebut secara eksplisit juga termuat dalam suratnya
ke Presiden Roosevelt di mana dia mengemukakan kekhawatirannya mengenai kemungkinan
pembuatan bom atom oleh Nazi. Dia menulis kata-kata:
Saya telah mengetahui bahwa Jerman telah menghentikan penjualan uranium dari
Cekoslovakia yang telah diambilalihnya. Bahkan Jerman telah mengambil
tindakan ini mungkin dapat dihubungkan dengan fakta bahwa Putra Menteri
Muda Luar Negeri Jerman, Von Weimsacker, ditugaskan pada institut Kaiser
Wilhelm di Berlin di mana beberapa percobaan uranium yang telah dilakukan
Amerika Serikat sedang dicoba kembali…..

Sekiranya waktu itu Jerman tidak meperlihatkan tanda-tanda untuk membuat bom atom, apakah
Einstein akan bersedia menulis surat tersebut?
Shock, kaget, diikuti rasa cemas, serta merinding, diikuti rasa sedih berlanjut yang
mendalam, ketika kita pada minggu pagi (12 Oktober 2002) mendengar dan membaca berita
tentang peledakan bom terdengar di depan dua kafe di Legian, Kuta (Bali), yang menewaskan
lebih dari 180 orang. Tayangan berita televisi menunjukkan berpuluh jenazah bergelimpangan
dengan disertai berita beberapa puluh mayat yang tidak dapat dikenali karena gosong menjadi
abu, kafe hancur seolah dibumiratakan, dan bagian tubuh manusia berserak. Pertanda kondisi
sosial macam apakah yang saat terakhir ini sangat marak di negeri tercinta ini?
Lepas dari motif apa pun yang membuat segelintir manusia melakukan tindak
peledakkan bom, perilaku tersebut dapat dikelompokkan sebagai gejala patologi sosial yang
disebut agresi sosial. Tindak agresi sosial terjadi bila sekelompok manusia tanpa alasan masuk
akal dan dalam kondisi juga tidak masuk akal, sampai hati mengorbankan sekelompok manusia
tidak berdosa hancur lebur menjadi mayat. Dentuman bom, api yang menjilat-jilat, teriakan
orang minta tolong yang diikuti hancurnya lokasi kejadian, menjadi atraksi menarik bagi mereka.
Mungkin di antara kelompok orang yang melakukan tindak agresi sosial terdapat penderita
piromania, suatu gejala psikopatolagik yang mengalami eksitasi emosional saat menyaksikan
kobaran api menjilat-jilat disebabkan ledakan bom dengan kekuatan tinggi.
Bagi individu yang agresif, perkembangan kepribadiannya diwarnai ingatan hukuman
dan deraan fisik berlanjut dari orang tua/keluarga pada masa kecil. Hukuman dan deraan fisik
dan akhirnya sekaligus menjadi deraan dan hukuman mental, menanamkan dendam kesumat
yang intens yang bisa saja mendominasi kehidupan jiwa bawah sadar. Orang dengan kepribadian
agresif dengan sendirinya sulit mengatasi dan mengendalikan kemarahan, kebencian yang

110
mendominasi alam bawah sadarnya. Tanpa segan dan tedeng aling-aling setiap hambatan yang
dia hadapi akan dilabrak dengan tindak agesi yang tidak terkendali dan bisa menyebabkan
fatalisme baik pada diri maupun lingkungannya. Bisa saja untuk beberapa saat setelah tindak
agresi dilakukan dia mengalami penyesalan sesaat, namun serentak dia merasa kecewa oleh
berbagai sebab, secara spontan dan bahkan brutal, dia marah sambil serta merta menampilkan
berbagai perilaku agresif.
Perilaku agresif juga bisa dalam bentuk oral, yaitu makian, cercaan dengan kata-kata
kotor yang juga tidak terkendali. Agresi invidual akan berubah menjadi agresi sosial bila
sekelompok orang agresif bersatu menyalurkan dorongan agresinya dengan melukai
mencelakakan sekelompok orang yang tanpa dosa. Hal yang perlu digarisbawahi akan bisa saja
terjadi adalah orang menjadi agresif karena dipicu lingkungan sosial yang agresif pula. Pada
awalnya, memang pembentukan sikap agresif berdasarkan kebutuhan mempertahankan diri agar
tetap bisa bertahan hidup, namun pembentukan sikap agresif dapat juga merupakan efek proses
imitasi dan identifikasi.
Yang menjadi keprihatinan mendalam adalah bahwa bertubi-tubinya kejadian agresi
sosial yang marak pada kisaran lima tahun terkhir ini, bisa menjadi pemicu perkembangan agresi
pada generasi mendatang. Kalaupun keluarga dan orang tua tidak terbiasa memberikan hukuman
fisik dalam pola asuhnya, kejadian agresi sosial yang berlanjut, akan membekas pada hati
sanubari anak-anak/pemuda, dan mengkibatkan pembentukan pribadi agresif oleh mekanisme
imitasi dan bahkan identifikasi dalam kehidupan jiwa anak-anak/pemuda. Apalagi
anak-anak/pemuda yang berasal dari etnis yang bertikai dan tawuran oleh berbagai sebab.
Menyimak peluang mekanisme perkembangan kepribadian agresif di atas, kita semua
(dalam hal ini para orang tua, guru, pemuka agama, politisi, petugas keamanan, pengambil
kebijaksanaan negara, dan seluruh komponen masyarakat) seyogyanya mulai bergerak bersama
bahu-membahu berbuat sesuatu yang konkrit guna mencegah terulangnya tindak agresi sosial.
Menyimak dan mencermati pula betapa kasus bom di legian menyeruak berbagai
penghayatan emosi yang membuat giris dan membangkitkan bulu kuduk, penulis yakin tidak
satu pun di antara kita menginginkan kejadian terkutuk tersebut berulang. Apalagi bila ingat
dampak sosial psikologis yang diderita generasi penerus. Kecuali peluang perkembangan
kepribadian agresif oleh mekanisme imitasi dan identifikasi, maka bentukan pribadi defensif
akan berpeluang lebih lebar daripada bentukan pribadi penuh kasih diantara sesama, padahal kita

111
adalah bangsa dengan ciri multietnis. Dengan sendirinya tingkat kepekaan sosial dan
kewaspadaan sosial akan bersamaan hidup menjadi sirna pula. Benar-benar memprihatinkan.
Pertanyaan ini sangat menarik dan menyentuh landasan moral yang fundamental.
Masalah seperti ini dihadapi oleh Presiden Carter mengenai pembuatan bom neutron: apakah
Amerika Serikat akan melengkapi arsenal persenjataan dengan bom neutron? Masalah yang
dihadapi oleh Einstein dan Presiden Carter adalah sama, namun situasinya berbeda. Dewasa ini
Amerika Serikat tidak berada dalam bahaya dan pembuatan bom neutron hanya akan
meningkatkan kemampuan strategis militernya. Sedangkan situasi yang dihadapi Einstein waktu
itu adalah keadaan perang yang konkret di mana sekutu mungkin kalah sekiranya Jerman dapat
mengembangkan bom atomnya. Inilah yang menyebabkan Einstein memutuskan untuk menulis
surat tersebut. Masalahnya adalah: apakah dengan keputusan tersebut Einstein memihak kepada
Amerika Serikat selaku seorang warga yang baik? Apakah keputusan Einstein berdasarkan
nasionalisme dan patriotisme. Dalam persoalan semacam ini ilmu bersifat netral. Walaupun
demikian dalam kasus Einstein telah memilih untuk berpihak. Pihak manakah yang dia pilih,
Amerika Serikat? Sekutu? jawabannya adalah bukan, Einstein, juga seperti ilmuwan yang lain,
berpihak kepada kemanusiaan yang besar. Kemanusiaan ini tidak mengenal batas geografis,
sistem politik atau sistem kemasyarakatan lainnya.
Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan
untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan itu adalah bangsanya sendiri.
Sejarah telah mencatat bahwa para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik
pemerintahannya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan. Ternyata
bahwa dalam soal-soal yang menyangkut kemanusiaan para ilmuwan tidak pernah bersikap
netral. Mereka tegak dan bersuara sekiranya kemanusiaan memerlukan mereka. Suara mereka
bersifat universal mengatasi golongan, ras, sistem kekuasaan, agama dan rintangan-rintangan
lain yang bersifat sosial.
Pilihan moral ini kadang-kadang getir sebab tidak bersifat hitam atas putih. Akibat dari
bom atom di Heroshima dan Nagasaki masih berbekas dalam lembar sejarah kemanusiaan kita.
Kengerian pengalaman Heroshima dan Nagasaki memperlihatkan kepada kita wajah yang lain
dari pengetahuan. Seperti Dr. Jekyll dan Mr. Hyde yang bermuka dan berpribadi belah maka
ilmu pengetahuan bagaikan pisau yang bermata dua. Diperlukan landasan moral yang kukuh
untuk mempergunakan ilmu pengetahuan secara konstruktif.

112
Salah satu musuh kemanusiaan yang besar adalah peperangan. Perang menyebabkan
kehancuran, pembunuhan, dan kesengsaraan. Tugas ilmuwanlah untuk menghilangkan atau
mengecilkan terjadi peperangan ini meskipun hal ini merupakan sesuatu yang hampir mustahil
terjadi. Perang merupakan fakta dari sejarah kemanusiaan yang sukar untuk dihilangkan.
Pengalaman sejarah manusia tentang perang dari perang dunia I, perang dunia II hingga perang
Irak menunjukkan Amerika dan sekutunya merupakan kekuatan besar yang tidak berimbang.
Mungkin hal ini sudah merupakan fitrah dari manusia dan masyarakat kemanusiaan yang sudah
mendarah daging. Walaupun demikian Einstein sampai akhir hayatnya tak jemu-jemunya
menyeruh agar manusia menghentikan perang dan perlombaan persenjataan.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan
kemanusiaan, atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan. Pengetahuan pada dasarnya ditujukan
untuk kemaslahatan kemanusiaan. Masalahnya adalah, sekiranya seorang ilmuwan menemukan
sesuatu yang menurut dia berbahaya bagi kemanusiaan maka apakah yang harus dia lakukan?
Apakah dia menyembunyikan penemuan tersebut sebab dia merasa penemuan itu lebih banyak
menimbulkan kejahatan dibandingkan dengan kebaikan? Ataukah dia bersifat netral dan
menyerahkan kepada moral kemanusiaan untuk menentukan penggunaannya?
Menghadapi masalah tersebut majalah fortune mengadakan angket yang ditujukan
kepada para ilmuwan di Amerika Serikat. Angket itu mengemukakan pertanyaan apakah seorang
ilmuwan harus menyembunyikan penemuan yang dianggapnya berbahaya atau dia
mengemukakan penemuan tersebut dan menyerahkannya kepada moral kemanusiaan untuk kata
akhir mengenai kegunaanya? Angket tersebut menyimpulkan bahwa 78 persen ilmuwan dalam
industri berkeyakinan bahwa seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuan-
penemuan apapun juga bentuknya dari masyarakat luas serta apa pun juga yang akan menjadi
konsekuensinya.
Kenetralan seorang ilmuwan dalam hal ini disebabkan oleh anggapannya bahwa ilmu
pengetahuan merupakan rangkaian penemuan yang mengarah kepada penemuan selanjutnya.
Kemajuan ilmu pengetahuan tidak melalui loncatan-loncatan yang tidak berketentuan melainkan
melalui proses kumulatif secara teratur. Penyembuhan penyakit kanker harus didahului dengan
penemuan dasar di bidang biologi molekuler. Penemuan laser memungkinkan penggunaannya
sebagai terapi medis dalam berbagai penyakit. Demikian selanjutnya di mana usaha

113
menyembunyikan kebenaran dalam proses kegiatan ilmiah merupakan kerugian bagi kemajuan
ilmu pengetahuan seterusnya. Dalam penemuan ini maka ilmu pengetahuan bersifat netral.
Penulis berkeyakinan bahwa dalam aspek inilah ilmu pengetahuan terbebas dari nilai-
nilai yang mengikat. Dalam aspek-aspek lainnya seperti apa yang ditelaah oleh ilmu pengetahuan
dan bagaimana pengetahuan itu dipergunakan mau tidak mau seorang ilmuwan terikat secara
moral dalam artian mempunyai preferensi dan memilih pihak. Dalam menentukan masalah apa
yang akan ditelaahnya, maka seorang ilmuwan secara sadar atau tidak sudah menentukan pilihan
moral. Hal ini bahkan menjorok sampai penyusunan hipotesis. Walaupun begitu dalam hasil
penemuan akhirnya seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan sesuatu. Bagaimana pahitnya
penemuan itu bagi objek yang kita junjung dalam sistem preferensi moral kita, kebenaran tak
boleh disembunyikan.
Seorang ilmuwan tak boleh memutarbalikkan penemuannya bila hipotesisnya yang
dijunjung tinggi yang disusun di atas kerangka pemikiran yang terpengaruh preferensi moral
ternyata hancur berantakan karena bertentangan dengan fakta-fakta pengujian. Seorang ilmuwan
yang di atas landasan moral memilih untuk membuktikan bahwa generasi muda kita
berkesadaran tinggi (dia terikat pada generasi muda) atau membuktikan bahwa hasil
pembangunan itu efektif (dia terikat kepada kebijaksanaan pemerintah) maka dalam hasil
penemuannya dia bersifat netral dan membebaskan diri dari semua keterikatannya yang
membelenggu dia secara sadar atau tidak. Di sini hitam dikatakan hitam dan putih dikatakan
putih apapun juga konsekuensinya bagi objek moral yang mendorong dia untuk melakukan
penelaahanya. Penyimpangan dalam hal ini merupakan pelanggaran moral yang sangat dikutuk
dalam masyarakat ilmuwan. Kenetralan dalam hal di atas itulah yang menjadikan ilmu bersifat
universal. Ilmu mengabdi kemanusiaan dengan menyumbangkan penemuan-penemuan yang
didapatkannya lewat kegiatan ilmiah. Kemanusiaan bagi seorang ilmuwan tidak oleh ruang dan
bahkan oleh waktu. Penemuan ilmiah tidaklah diperuntukkan bagi suatu golongan tertentu
namun bagi kemanusiaan secara keseluruhan. Penemuan yang mungkin hari ini kurang relavan
dan tidak ada gunanya bukan mustahil akan merupakan batu loncatan kearah kemajuan di hari
depan.
Kenetralan dalam proses penemuan kebenaran inilah yang mengharuskan ilmuwan untuk
bersikap dalam menghadapi bagaimana penemuan itu digunakan. Pengetahuan bisa merupakan
berkah dan mungkin merupakan kutukan tergantung bagaimana manusia memanfaatkan

114
pengetahuan tersebut. Bila ilmu pengetahuan dipergunakan tidak sebagaimana mestinya, tidak
membawa berkah kepada kemanusiaan sebagaimana yang diharapkan dan bahkan merupakan
kutukan, maka ilmuwan wajib bersikap dan tampil ke depan. Seorang ilmuwan tidak boleh
membiarkan Mr. Hyde berkeliaran dan bertindak sewenang-wenang, dia harus ditentang dan
kalau perlu harus dihancurkan. Secara moral maka ilmuwan bertanggung jawab dalam hal ini,
karena bukan saja penemuannyalah yang melahirkan Mr. Hyde tersebut, namun juga dialah yang
paling tahu bagaimana cara menghadapi si jahil itu.
Ada baiknya kita menyimak pesan Einstein kepada mahasiswa California Institute Of
Technology. Pesan itu disampaikan pada tahun 1938 atau satu tahun sebelum Einstein menulis
surat historis yang melahirkan bom atom. Dia berkata bahwa tidak cukup bagi kita hanya
memahami ilmu agar hasil pekerjaan kita membawa berkah bagi manusia. Perhatian kepada
manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis.
Pesan itu diakhiri dengan kata-kata, “jangan kau lupa hal ini di tengah tumpukan diagram dan
persamaan.” Sunguh suatu pesan yang patut kita renungkan karena di tengah tumpukan grafik
dan rumus-rumus kadang-kadang kita lupa, semua ini untuk apa? Ternyata ilmu tidak saja
memerlukan kemampuan intelektual namun juga keluhuran moral. Tanpa itu maka ilmu hanya
akan menjadi Frankentein yang akan mencekik penciptanya dan menimbulkan malapetaka (Jujun
S. Suriasumantri, 1993).

E. Revolusi Genetika
Menurut Jujun S. Suriasumantri (1993) ilmu dalam perspektif sejarah kemanusiaan
mempunyai puncak kecemerlangan masing-masing, namun seperti kotak Pandora yang terbuka,
kecemerlangan itu sekaligus membawa malapetaka. Kimia merupakan kegemilangan ilmu yang
pertama yang dimulai sebagai kegiatan pseudo ilmiah yang bertujuan mencari obat mujarab
untuk hidup abadi dan rumus campuran kimia untuk mendapatkan emas. Setelah itu menyusul
fisika yang mencapai kulminasi pada teori fisika nuklir. Dan sekarang kita di ambang kurun
genetika dengan awal revolusi di bidang genetika.
Tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan dalam kedua bidang kimia dan fisika membawa
mamfaat yang banyak untuk kehidupan manusia. Namun di samping berkah ini kemajuan ilmu
sekaligus membawa kutuk yang berupa malapetaka. Perang dunia I menghadirkan bom kuman

115
sebagai kutukan ilmu kimia dan perang dunia II memunculkan bom atom sebagai produk fisika.
Kutukan apa yang mungkin dibawa oleh revolusi genetika?
Beberapa ilmuwan dari Texas A&M Universty berhasil melakukan percobaan cloning
rusa untuk pertama kalinya. Anak rusa hasil cloning yang dinamakan Dewey itu dilahirkan dari
rahim titipan induk rusa yang lain. Proses duplikasi genetik yang dilakukan oleh perguruan tinggi
yang berlokasi sekitar 90 mil barat laut kota Houston ini berlangsung sejak bulan mei 2003, di
mana pejantannya adalah seekor rusa berekor putih dari Texas bagian Selatan. Contoh kulitnya
telah digunakan untuk percobaan kloning sebelumnya.
“Dewey dilahirkan secara normal dan dalam keadaan sehat,” kata Dr Mark westhusin,
kepala penelitian tersebut. Ia menambahkan sekalipun rusa berekor putih adalah jenis rusa liar
dan berjumlah banyak, namun kloning Dewey sama saja halnya membantu pelestarian jenis rusa
tersebut dari kepunahan, seperti halnya rusa Key West dari Florida. Keberhasilan kloning rusa
merupakan yang kelima kalinya yang dilakukan oleh Texas A&M setelah sapi, kambing, babi
dan kucing.
Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia, karena
sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaahan itu sendiri. Hal ini
bukan berarti bahwa sebelumnya tidak ada penelaahan ilmiah yang berkaitan dengan jasad
manusia, tentu saja banyak sekali, namun penalaahan-penalaahan ini dimaksudkan untuk
mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik secara langsung manusia sebagai
objek penelaahan. Artinya, jika kita mengadakan penalaahan mengenai jantung manusia, maka
hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan penyakit
jantung. Atau dengan perkatan lain, upaya kita diarahkan dalam mengembangkan pengetahuan
yang memungkinkan kita dapat mengetahui segenap proses yang berkaitan dengan jantung, dan
di atas pengetahuan itu dikembangkan teknologi yang berupa alat yang memberi kemudahan
bagi kita untuk menghadapi gangguan-gangguan jantung. Dengan penelitian genetika maka
masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya
untuk menciptakan teknologi yang memberikan kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu
sendiri sekarang menjadi objek penelaahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang
memberikan kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri. Apakah
perubahan-perubahan yang dilakukan di atas secara moral dapat dibenarkan?

116
Jawaban mengenai hal ini harus dikembalikan pada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu
berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Tujuan hidup ini, yang berkaitan erat dengan hakikat kemanusiaan itu sendiri, bersifat otonom
dan terlepas dari kajian dan pengaruh ilmiah. Apakah sebenarnya tujuan hidup manusia? Dalam
hal ini maka ilmu tidak berwenang untuk menentukannya, dan dalam nafas yang sama hal ini
berarti, bahwa ilmu tidak berhak menjamah daerah kemanusiaan yang akan mempunyai
pengaruh terhadap kelangsungan tujuan hidupnya. Jangan jamah kemanusiaan itu sendiri!
Mungkin inilah kesimpulan dari kerangka pemikiran ini.
Analisis substantif dari jalan pikiran tersebut di atas membawa kita kepada beberapa
permasalahan yang bersifat seperti, sekiranya kita mampu menjadikan manusia yang IQ-nya 160
apakah ilmu itu bisa memberi dan menjamin bahwa dia akan berbahagia (sekiranya diterima
bahwa kebahagiaan adalah salah satu tujuan hidup manusia)? Dalam hal ini ilmu tidak akan bisa
memberikan jawaban yang bersifat apriori (sebelumnya) sebab kesimpulan ilmiah baru bisa
ditarik setelah proses pembuktian yang bersifat aposteriori (sesudahnya). Jadi bila kita secara
moral bersedia meluluskan penciptaan manusia yang mempunyai IQ 160 maka dengan ilmu pun
tidak bisa memberikan jaminan bahwa dia berbahagia.
Kita harus mencoba dulu dan baru kita akan mengetahui jawabannya, mungkin demikian
jawaban para ahli genetika. Hal ini membawa permasalahan moral yang baru., apakah
memperlakukan manusia selaku kelinci percobaan dapat dipertanggungjawabkan secara moral?
Sampai beberapa banyak dan beberapa jauh percobaan harus dilakukan agar ilmu memberikan
pembuktian yang menyakinkan? (bayangkan suatu selain eksperimen dengan manusia-manusia
sebagai objek agar didapatkan kesimpulan statistis yang sahih). Dan hal ini baru berhubungan
dengan salah satu aspek dari hakikat kemanusiaan, padahal hakikat kemanusiaan itu sangat
kompleks, yang satu dengan yang lain tidak terjalin dalam hubungan rasional yang dapat
dianalisis secara kuantitatif yang melibatkan psikis, emosional dan kepribadian manusia. Jadi
ketetapan hati kita untuk melakukan percobaan secara ilmiah pun akan membawa kita kepada
permasalahan moral yang tidak berkesudahan, bagai mata rantai yang jalin-menjalin, di mana
ilmu itu sendiri tidak bisa memberikan jawabannya secara apriori. Dalam hal ini, manusia
diibaratkan membuka kotak Pandora, sekali dibuka terhamburlah kutuk dan malapetaka. Jangan
sentuh kotak malapetala itu! Mungkin inilah kesimpulan yang dapat ditarik dari sudut
argumentasi ini.

117
Belum lagi bila diingat bahwa secara moral mungkin saja orang tidak sependapat bahwa
kemuliaan manusia tidak ada hubungannya dengan IQ 160. kemuliaan bagi sebagian orang
bukan terletak pada atribut-atribut fisik melainkan pada amal perbuatannya. Demikian juga
mungkin saja atribut-atribut fisik itu mempunyai makna (religius) tertentu dalam perspektif
kehidupan yang bersifat teleologis. Mengapa mengutak-atik suatu atribut yang terkait dengan
kepercayaan seseorang yang bersifat sakral? Bahkan pun bila ilmu bisa menjawab segudang
pertanyaan mengenai kausalita fisik, ilmu tetap tidak berhak menjamah daerah kemanusiaan ini
yang bersifat transendental. Apalagi, tentu saja, bila diingat bahwa ilmu pun sama sekali buta
dalam hal ini, tak satu pun jawaban yang dipunyainya kecuali hipotesis yang ingin
dibuktikannya.
Pembahasan di atas didasarkan pada asumsi bahwa penemuan dalam riset genetika akan
dipergunakan dengan itikad baik untuk keluhuran manusia. Bagaimana sekiranya penemuan ini
jatuh kepada pihak yang tidak bertanggung jawab dan mempergunakan penemuan ilmiah ini
untuk kepentingan sendiri yang bersifat destruktif? Garansi apa yang bisa diberikan bahwa
pengetahuan ini tidak dipergunakan untuk tujuan-tujuan seperti itu? Melihat permasalahan
genetika dari sudut ini makin menyakinkan kita bahwa akan lebih banyak keburukan
dibandingkan dengan kebaikannya sekiranya hakikat kemanusiaan itu sendiri mulai dijamah.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari seluruh pembahasan kita tersebut di atas menyatakan
sikap yang menolak terhadap dijadikannya manusia sebagai objek penelitian genetika. Secara
moral kita lakukan evaluasi etis terhadap suatu objek yang tercakup dalam objek formal
(ontologis) ilmu (Jujun S. Suriasumantri, 1993).

F. Penutup
Dewasa ini nilai kegunaan ilmu sudah diambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala
dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakekat kemanusiaan itu sendiri. Untuk
menghindari hal tersebut maka diperlukan suatu alat atau sarana.
Sebenarnya pada saat pertumbuhannya ilmu selalu terkait dengan masalah-masalah
moral, namun dalam perspektif yang berbeda. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak bisa
dipungkiri, namun kadang-kadang manusia harus membayar mahal arti dan moral

118
kemanusiaannya. Manusia juga sering mengalami situasi yang tak bersifat manusiawi, terpenjara
dalam kisi-kisi teknologi yang merampas kemanusiaan & kebahagiaannya.
Dalam kehidupan sehari-hari konflik ini bukan saja terjadi dalam ilmu-ilmu alam namun
juga ilmu-ilmu sosial dimana berbagai ideologi mencoba mempengaruhi metafisik ilmuwan.
Sehubungan dengan hal itu, untuk membatasi suatu ilmu agar tidak dikatakan sebagai ilmu yang
bebas nilai sehingga kembali pada hakekat ilmu itu sendiri yaitu mempelajari alam sebagaimana
adanya, maka diperlukan adanya beberapa pembatas, antara lain:
a. Untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan
b. Di mana batas wewenang penjelajahan keilmuan
c. Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan
Mengenai perkembangan selanjutnya ilmu mendapatkan otonom yang terbebas dari
segenap nilai yang bersifat dogmatis, sehingga ilmu tersebut dapat mengembangkan diri.
Dalam proses pengembangan diri inilah ilmu mengalami beberapa tahapan, di antaranya:
a. Tahap pengembangan konseptual yang bersifat kontemplatif
b. Tahap penerapan konsep yang berhubungan dengan teknologi pengolahan
c. Tahapan manipulasi di mana masalah-masalah moral mulai muncul
Dari ketiga tahapan tersebut masalah teknologilah yang mengakibatkan proses
dehumanisasi kebudayaan dari pada moral yang nantinya dihadapkan dengan ekses teknologi
yang bersifat negatif, karena tidak bisa dipungkiri bahwa peradapan manusia sangat berhutang
pada ilmu dan teknoloogi. Dihadapkan pada masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan
teknologi yang merusak ini, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat.
a. Golongan pertama
Golongan ini berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara
ontologis maupun aksiologi. Sedangkan penggunaan dari ilmu itu sendiri terserah kepada
orang lain, apakah untuk bertujuan baik ataupun buruk.
b. Golongan kedua
Golongan ini sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah
terbatas pada metafisik, keilmuan, sedangkan dalam penggunaanya bahkan pemilihan objek
penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Dan ditujukan untuk
kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat/mengubah hakekat kemanusiaan.

119
Sementara itu, dalam menghadapi masyarakat sekitarnya seorang ilmuwan dituntut untuk
memainkan perannya pada masalah-masalah yang sensitif, antara lain:
a. Peran Imperatif
Dalam peran ini seorang ilmuwan mempunyai latar belakang yang cukup sehingga ia dapat
memenuhi kewajiban sosialnya dalam menyampaikan pengetahuan kepada masyarakat
banyak yang bisa mereka cerna
b. Peran perspektif
Peran ini merupakan tanggung jawab seorang ilmuwan dalam hal memberikan informasi
yang benar atau salah, untung dan ruginya, baik dan buruknya sehingga penyelesaian yang
objektif bisa dimungkinkan.
c. Peran persuasif dan argumentatif
Dalam hal ini seorang ilmuwan diharuskan untuk mampu tampil ke depan dan berusaha
mampengaruhi masyarakat masalah yang belum muncul ke permukaan dan mendapatkan
dukungan dari mereka berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Karakteristik lain dari
seorang ilmuwan juga terletak dalam cara berfikir untuk menemukan kebenaran, integritas
kepribadian serta kemampuan analisis terhadap suatu masalah yang sedang berkembang.
Pikiran manusia bukan saja dapat dipergunakan untuk menemukan dan mempertahankan
kebenaran namun sekaligus juga dapat dipergunakan untuk menemukan dan mempertahankan
sesuatu yang tidak benar. Dalam hal inilah peran seorang ilmuwan sangat diperlukan. Dia mesti
menerangkan kepada masyarakat sekitarnya melalui beberapa cara diantaranya.
a. Berbicara kepada masyarakat sekiranya dia mengetahui bahwa pikiran mereka itu
keliru
b. Dia mesti menjelaskan di mana mereka keliru
c. Apa yang menjadikan mereka keliru
d. Harga apa yang harus dibayar tentang kekeliruan itu
Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang
ilmuwan. Namun aspek etika dari hakekat keilmuan ini kurang mendapatkan perhatian baik bagi
para pendidik maupun ilmuwan itu sendiri. Padahal di bidang etika tanggung jawab sosial
seorang ilmuwan bukan lagi memberikan informasi namun juga memberikan contoh dalam
berbagai hal, diantaranya:
a. Dia harus mampu tampil objektif dan terbuka

120
b. Kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar
c. Mampu menerima kritik, pendapat orang lain dan kalau perlu berani mengakuai
kesalahannya
Salah satu ciri sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknologi. Kaum ilmuwan tidak
boleh menganggap ilmu dan teknologi itu alpha atau omega dari segala-galanya, namun masih
terdapat banyak lagi segi-segi lain yang menyangga peradapan manusia, demikian juga masih
terdapat kebenaran-kebenaran lain di samping kebenaran keilmuan yang melengkapi harkat
kemanusiaan yang hakiki.

LATIHAN
1. Jelaskan hubungan konsep-konsep nilai (misalnya etika dan estetika) dengan
pertimbangan keilmuan!
2. Menurut anda, apa peran pendidikan moral dalam pengembangan keilmuan, khususnya
di perguruan tinggi?
3. Benarkah masyarakat kita mengalami nihilitas freedom from fear?
4. Menurut anda bagaimana tanggung jawab sosial ilmuwan itu?
5. Francis Bacon dan Alvin Toffler mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan.
Berikan tanggapan aksiologis anda!
6. Bagaimana tanggapan anda tentang a) kloning? b) nuklir?
7. Ada dua golongan ilmuwan dalam hal tanggapan terhadap netralitas ilmu. Jelaskan!
8. Konsepsikan tanggapan anda tentang antisipasi dampak negatif ilmu dan teknologi!

121
MODUL 3
DASAR-DASAR LOGIKA

Kegiatan Belajar 6
PENGERTIAN DAN SEJARAH LOGIKA

A. Arti Logika
Kata Logika berasal dari bahasa Yunani Logike dari kata Logos artinya ucapan atau pengartian
(Ensiklopedi Indonesia, 1992: 2034). Ucapan berarti yang diucapkan, dilisankan, disebutkan
(KBBI,
1988: 982). Ucapan merupakan hasil proses berpikir. Berpikir artinya menggunakan akal budi
untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu (KBBI, 1988: 682). Kata pengartian
berarti proses, cara, perbuatan memberi arti (KBBI, 1988: 49). Dengan demikian maka logika
merupakan hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam
bahasa2. Logika dengan demikian bersangkut paut dengan pengetahuan tentang kaidah berpikir
Kaidah berpikir artinya rumusan asas-asas yang menjadi hukum atau aturan yang tentu yang
menjadi patokan dalam berpikir (KBBI, 1988: 530). Dengan kata lain logika adalah ajaran tentang
berfikir tertib dan benar, atau perumusan lebih teliti, ilmu penarikan kesimpulan dan penalaran
tanpa meninggalkan keabsahan. Logika tidak menelaah urutan berfikir sebagai gejala psikologi
dan tidak pula mempersoalkan isi pemikiran, tetapi mempermasalahkan tata tertib yang harus
menjadi panutan jalan pemikiran agar memperoleh hasil yang benar.

B. Sejarah Penggunaan Logika3


Logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di Yunani. Dalam usaha
untuk memasarkan pikiran-pikirannya serta pendapat-pendapatnya, filsuf-filsuf Yunani kuno tidak
jarang mencoba membantah pikiran yang lain dengan menunjukkan kesesatan penalarannya.
Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan yang bentuk inferensi
yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filsafat, tetapi
juga bisa dianggap sebagai cabang matematika.

Masa Yunani kuno


Logika dimulai sejak Thales (624 SM - 548 SM), filsuf Yunani pertama yang
meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling

122
kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta. Thales mengatakan bahwa air adalah
arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat itu Thales telah
mengenalkan logika induktif.
Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica.
Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam
semesta dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu. Dalam logika Thales, air
adalah arkhe alam semesta, yang menurut Aristoteles disimpulkan dari:

2
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Logika"
3
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Logika"

123
Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air
tumbuhan mati) Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia
Air jugalah uap
Air jugalah es
Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta.
Sejak saat Thales sang filsuf mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai
dikembangkan. Kaum Sofis4 beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan
saran-saran dalam bidang ini. Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica, yang
secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan
dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih
diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme. Buku Aristoteles to
Organon (alat) berjumlah enam, yaitu:
1. Categoriae menguraikan pengertian-pengertian
2. De interpretatione tentang keputusan-keputusan
3. Analytica Posteriora tentang pembuktian.
4. Analytica Priora tentang Silogisme.
5. Topica tentang argumentasi dan metode berdebat.
6. De sophisticis elenchis tentang kesesatan dan kekeliruan berpikir.
Pada 370 SM - 288 SM Theophrastus, murid Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum,
melanjutkan pengembangan logika. Istilah logika untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Zeno
dari Citium 334 SM - 226 SM pelopor Kaum Stoa. Sistematisasi logika terjadi pada masa
Galenus (130 M
- 201 M) dan Sextus Empiricus 200 M, dua orang dokter medis yang mengembangkan logika
dengan
menerapkan metode geometri.Porohyus (232 - 305) membuat suatu pengantar (eisagoge)
pada Categoriae, salah satu buku Aristoteles.Boethius (480-524) menerjemahkan Eisagoge
Porphyrius ke dalam bahasa Latin dan menambahkan komentar- komentarnya.Johanes
Damascenus (674 - 749) menerbitkan Fons Scienteae.

Masa Abad pertengahan dan logika


modern
Pada abad 9 hingga abad 15, buku-buku Aristoteles seperti De Interpretatione, Eisagoge
oleh Porphyus dan karya Boethius masih digunakan.Thomas Aquinas 1224-1274 dan kawan-
kawannya berusaha mengadakan sistematisasi logika. Lahirlah logika modern dengan tokoh-
tokoh seperti: Petrus Hispanus 1210 - 1278). Roger Bacon 1214-1292. Raymundus Lullus (1232
-1315) yang menemukan metode logika baru yang dinamakan Ars Magna, yang merupakan
semacam aljabar pengertian, dan William Ocham (1295 - 1349) dengan “Pisau Cukur”-nya.
Pengembangan dan penggunaan logika Aristoteles secara murni diteruskan oleh
Thomas
Hobbes (1588 - 1679) dengan karyanya Leviatan dan John Locke (1632-1704) dalam An
Essay
Concerning Human Understanding. Francis Bacon (1561 - 1626) mengembangkan logika
induktif yang

124
4
Kaum Sofis, nama suatu kelompok cendekiawan yang mahir berpidato pada zaman Yunani kuno. Mereka
selalu berusaha mempengaruhi khalayak ramai dengan argumentasi-argumentasi yang menyesatkan yang
disampaikan melalui pidato-pidato mereka agar terkesan kehebatan mereka sebagai orator-orator ulung.

125
diperkenalkan dalam bukunya Novum Organum Scientiarum. J.S. Mills (1806 - 1873)
melanjutkan logika yang menekankan pada pemikiran induksi dalam bukunya System of
Logic. Lalu logika diperkaya dengan hadirnya pelopor-pelopor logika simbolik seperti: Gottfried
Wilhelm Leibniz (1646-1716) menyusun logika aljabar berdasarkan Ars Magna dari Raymundus
Lullus. Logika ini bertujuan menyederhanakan pekerjaan akal budi dan lebih mempertajam
kepastian. Menyusul kemudian tokoh-tokoh pengembang logika seperti George Boole (1815-
1864), John Venn (1834-1923) dan Gottlob Frege (1848 - 1925). Lalu Chares Sanders Peirce
(1839-1914), seorang filsuf Amerika Serikat yang pernah mengajar di John Hopkins
University,melengkapi logika simbolik dengan karya-karya tulisnya. Ia memperkenalkan dalil
Peirce (Peirce's Law) yang menafsirkan logika selaku teori umum mengenai tanda (general
theory of signs)
Puncak kejayaan logika simbolik terjadi pada tahun 1910-1913 dengan terbitnya
Principia
Mathematica tiga jilid yang merupakan karya bersama Alfred North Whitehead (1861 - 1914) dan
Bertrand Arthur William Russel (1872 - 1970). Logika simbolik lalu diteruskan oleh Ludwig
Wittgenstein (1889-1951), Rudolf Carnap (1891-1970), Kurt Godel (1906-1978), dan lain-lain.

C. Pembagian Logika
Secara hakiki logika dapat dibagi menjadi dua macam yaitu logika alamiah (kodratiah)
dan logika Ilmiah (Logika Saintifika). Logika alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang
berpikir secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-
kecenderungan yang subyektif. Kemampuan logika alamiah manusia ada sejak lahir. Logika
ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi. Logika ilmiah menjadi ilmu khusus
yang merumuskan azas-azas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran. Berkat pertolongan
logika ilmiah inilah akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih
aman. Logika ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan atau, paling tidak, dikurangi.
Logika ilmiah memiliki dua cabang kajian, yakni logika sebagai ilmu pengetahuan dan
logika sebagai cabang filsafat. Logika sebagai ilmu pengetahuan merupakan sebuah ilmu
pengetahuan dimana obyek materialnya adalah berpikir (khususnya penalaran/proses penalaran)
dan obyek formal logika adalah berpikir/penalaran yang ditinjau dari segi ketepatannya.
Logika sebagai cabang filsafat adalah sebuah cabang filsafat yang praktis. Praktis disini berarti
logika dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

D. Guna Logika
Logika dipelajari agar orang yang mempelajarinya memiliki kecerdasan logika dan mampu
secara cerdas menggunakan logikanya. Kecerdasan logika adalah kemampuan untuk
memecahkan suatu masalah atau menjawab suatu pertanyaan ilmiah. Dalam hubungan ini logika
digunakan untuk memecahkan suatu masalah saat seseorang menjabarkan masalah itu menjadi
langkah-langkah yang lebih kecil, dan menyelesaikannya sedikit demi sedikit, serta membentuk
pola/ menciptakan aturan- aturan (rumus). Logika juga digunakan agar mampu menggunakan
metode ilmiah dalam menjawab suatu pertanyaan. Metode ilmiah ini secara singkat berarti
membuat hipotesa, menguji hipotesa

126
dengan mengumpulkan data untuk membuktikan atau menolak suatu teori, dan mengadakan
eksperimen untuk menguji hipotesa tersebut.5
Seseorang yang memiliki kecerdasan logika akan dengan cerdas pula menggunakan
logikanya sehinggga akan memiliki salah satu atau lebih kemampuan di bawah ini:
1. memahami angka serta konsep-konsep matematika (menambah, mengurangi, mengali,
dan membagi) dengan baik.
2. mengorganisasikan/ mengelompokkan kata-kata/ materi
(barang)
3. mahir dalam menemukan pola-pola dalam kata-kata dan
bahasa.
4. menciptakan, menguasai not-not musik, dan tertarik mendengarkan pola-pola dalam jenis
musik yang berbeda-beda.
5. menyusun pola dan melihat bagaimana sebab-akibat bekerja dalam ilmu pengetahuan. Hal
ini
termasuk kemampuan untuk memperhatikan detil, melihat pola-pola dalam segalanya, mulai
dari angka-angka hingga perilaku manusia, dan mampu menemukan hubungannya
Contoh 1: seseorang yang menghabiskan waktu di dapur menggunakan logikanya untuk
menerka berapa lama waktu untuk memanggang sesuatu, menakar bumbu, atau merenungkan
bagaimana caranya menghidangkan semua makanan agar siap dalam waktu yang
bersamaan. Contoh 2: seorang detektif kriminal menggunakan logikanya untuk mereka ulang
kejadian pada kasus kejahatan dan mengejar tersangka pelaku6.
6. menciptakan visual (gambar) untuk melukiskan bagaimana ilmu pengetahuan bekerja,
termasuk
menemukan pola-pola visual dan keindahan ilmu pengetahuan (contohnya: menguraikan
spektrum cahaya dalam gambar, menggambarkan bentuk-bentuk butiran salju, dan
mahluk bersel satu dari bawah mikroskop), mengorgansisasikan informasi dalam tabel
dan grafik, membuat grafik untuk hasil-hasil eksperimen, bereksperimen dengan
program animasi komputer.
7. menentukan strategi dalam permainan-permainan yang memerlukan penciptaan
strategi
(contohnya catur, domino) dan memahami langkah-langkah
lawan.
8. memahami cara kerja dan bahasa komputer termasuk menciptakan kode-kode,
merancang program komputer, dan mengujinya.

E. Logika dan Bahasa


Sudah dijelaskan di atas bahwa logika merupakan hasil pertimbangan akal pikiran yang
diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Jelaslah bahwa logika memiliki pertalian
yang erat dengan bahasa. Jadi apabila kita ingin mempelajari logika, mulailah dengan melihat
hubungan antara bahasa dan logika atau sebaliknya.
Bahasa (yang diucapkan) adalah bentuk lahir dari proses berfikir yang bersifat
batiniah.
Dalam konteks ini berpikir dapat dirumuskan sebagai ‘berbicara dengan diri sendiri di dalam
batin’ (Poespoprodjo dan Gilarso, 1999: 49). Proses berbicara sendiri di dalam batin tidak
dapat dilihat. Apa yang dipikirkan oleh seseorang tidak dapat diketahui. Hanya apabila seseorang
127
telah mengatakan atau mengucapkan apa yang dipikirkannyalah dapat diketahui isi pikiran
orang itu. Jadi, bahasa

5
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Kecerdasan_logika
6
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Kecerdasan_logika

128
adalah ungkapan pikiran. Bahasa yang diungkapkan dengan baik merupakan hasil dari
proses berpikir yang baik dan tertib. Demikian pula bahasa yang diungkapkan dengan berbelit-
belit, tidak tertata merupakan penanda proses berfikir yang rancu.
Karena berfikir dapat dipahami melalui bahasa yang diungkapkan maka sangat penting
sekali dipahami aneka ungkapan berupa:
·Kat
a
·Term
·Pengertian (Arti-Isi-
Luas)
·Pembagian kata (Nilai rasa dan kata-kata
emosional0
·Penggolongan (Aturan-aturan penggolongan dan beberapa
kesulitannya)
·Defenisi (Jenis-jenis defenisi dan aturan-aturan
defenisi)

LATIHAN

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan


benar!
1.Apakah Logika
itu?
2.Kapan logika lahir dan mulai
digunakan?
3.Terbagi ke dalam berapa macamkah logika itu apabila dilihat dari segi
hakikatnya?
4.Untuk apa logika
dipelajari?
5.Jelaskan pengertian kecerdasan logika dengan pengertian cerdas menggunakan
logika!
6.Identifikasikan oleh Anda 4 dari 8 kemampuan yang akan dimiliki oleh orang yang
memiliki kecerdasan logika dan cerdas menggunakan logikanya!
7.Jelaskan hubungan antara logika dan
bahasa!
8.Jelaskan apa yang dimaksud
dengan:
·Kata
·Term
·Pengertian (Arti-Isi-Luas)
·Pembagian kata (Nilai rasa dan kata-kata emosional)
·Penggolongan (Aturan-aturan penggolongan dan beberapa kesulitannya)
·Defenisi (Jenis-jenis defenisi dan aturan-aturan defenisi)

Kegiatan Belajar 7

129
KATA, PENGERTIAN, DAN TERM

A. Pengertian (Arti-Isi-Luas)
Pengertian adalah suatu gambaran akal budi yang abstrak, yang batiniah, tentang
sesuatu (Alex, 1983: 14). Gambaran akal budi yang abstrak, yang batiniah, tentang sesuatu
sebagaimana dimaksudkan di atas disebut juga konsep. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
konsep didefinisikan sebagai: 1). Rancangan atau buram surat dsb., 2). Ide atau pengertian yang
diabstrakan dari peristiwa kongkret, 3). Gambaran mental dari obyek, proses, atau apa pun
yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI,
1988: 456). Dengan

130
demikian pengertian identik dengan konsep sebagai hasil pekerjaan akal budi yang selalu
menangkap dan membentuk sesuatu gambaran. Pengertian berada dalam wilayah akal budi
atau pikiran sementara konsep berada dalam wilayah kebahasaan. Perhatikan gambar di bawah
ini.
Pengertian Konsep

Wilayah akal Wilayah


budi atau kebahasaan
pikiran

Kata Kursi ialah konsep. Sebelum menjadi konsep kata kursi merupakan pengertian yang
dibentuk oleh akal budi atau pikiran. Selanjutnya dengan kata kursi itu kita dapat berpikir
atau berbicara hal ihwal mengenai kursi tanpa harus menghadirkan benda kongkret yang bernama
kursi karena kursi itu telah ada di dalam akal budi atau pikiran. Kehadiran kursi di dalam akal
budi atau pikiran ialah karena panca indera menangkap benda kongkret yang kemudian diberi
nama kursi. Lalu akal budi atau pikiran memberinya pengertian dan mengungkapkannya
melalui bahasa dengan konsep kursi atau gagasan lainnya.
Isi pengertian ialah semua unsur yang termuat di dalam pengertian itu (Poespoprodjo dan
Gilarso, 1999: 52). Contoh: Mahasiswa STISIP Widyapuri. Apabila kalimat itu diuraikan maka
akan terdiri dari unsur-unsur mahasiswa dan STISIP Widyapuri. Kata mahasiswa terdiri dari
unsur: manusia-dewasa-yang melanjutkan pendidikan-di sekolah tinggi-yang bernama STISIP
Widyapuri- yang terletak di Cisaat-Kabupaten Sukabumi. Demikan juga dengan kata STISIP
Widyapuri, apabila kata itu diurai maka di dalamnya akan terdapat sejumlah unsur yang memuat
isi pengertian yang relevan.
Pengertian selain memiliki isi seperti terurai di atas, juga memiliki luas. Artinya tiap-tiap
pengertian memiliki lingkup dan lingkungannya sendiri. Lingkup dan lingkungan itu berisikan
semua barang atau hal yang dapat ditunjuk atau disebut dengan pengertian atau kata itu
(Poespoprodjo dan Gilarso, 1999: 54). Misalnya pengertian Mahasiswa STISIP Widyapuri
mencakup semua mahasiswa baik yang ada di jurusan IP atau AN, perempuan atau laki-laki, kurus
atau gemuk, tak ada yang dikecualikan. Mahasiswa selain dari Mahasiswa STISIP Widyapuri
semua itu di luar lingkup dan lingkungan pengertian Mahasiswa STISIP Widyapuri.
Dengan demikian luas pengertian adalah barang-barang atau lingkungan realitas
yang
ditunjuk dengan pengertian atau kata tertentu (Poespoprodjo dan Gilarso, 1999: 54).

B. Kata, Pembagian Kata, Nilai Rasa Kata dan Kata-Kata Emosional


Apa yang dimaksud dengan kata dalam konteks hubungan logika dan bahasa,
khususnya dalam hubungan dengan penjelasan pengertian?

131
Pengertian adalah sesuatu yang abstrak. Untuk menunjukkan sebuah pengertian
dipergunakan bahasa. Di dalam bahasa pengertian diurai dengan kata. Dengan demikian kata
adalah tanda lahir atau pernyataan dari pengertian (Poespoprodjo dan Gilarso, 1999: 50).
Kata menurut artinya dapat dibagi ke dalam bentuk-bentuk kata sebagai berikut:
1. Univok(al) (sama suara, sama
artinya)
Artinya, kata yang menunjukkan pengertian yang sama antara suara dan arti. Contoh,
kata
‘Mahasiswa’ hanya menunjukkan ‘pengertian’ yang dinyatakan oleh kata itu
saja.
Kata univokal merupakan kata yang dipergunakan dalam pemikiran dan ilmu
pengetahuan seperti diskusi ilmiah dan karya tulis ilmiah.
2. Ekuivok(al) (sama suara, tetapi tidak sama
artinya)
Sebuah kata yang menunjukkan pengertian yang berbeda atau berlainan. Kata ‘bisa’
misalnya dapat berarti ‘mampu’ atau ‘racun yang dikeluarkan oleh ular.
Kata-kata ekuivokal baik untuk lelucon tetapi tidak baik untuk diskusi dan karya ilmiah. Dunia
politik dan propaganda lazim menggunakan kata-kata yang ekuivok.
3. Analogis (sama suara, memiliki kesamaan dan juga perbedaan
arti).
Misalnya: ‘sehat’ sebenarnya dikatakan tentang orang, khususnya badannya, tetapi juga dapat
dikatakan tentang jiwanya, tentang obat (karena dapat menyembuhkan ganguan-ganguan
kesehatan), tentang makanan (karena berguna untuk memelihara kesehatan), tentang
hawa (karena baik untuk kesehatan), dan sebagainya.
Jadi dalam kata analogis ada unsur kiasan atau
perbandingan.
Kata juga dapat dibagi menurut isinya. Kata-kata dalam konteks pembagian ini ialah:
1. abstrak, yang menunjukkan suatu bentuk atau sifat tanpa bendanya (misalnya,
‘kemanusiaan’,
‘keindahan’) dan konkret, yang menunjukkan suatu benda dengan bentuk atau sifatnya
(misalnya,
‘manusia’)
;
2. kolektif, yang menunjukkan suatu kelompok (misalnya, ‘tentara’) dan individual
yang menunjukkan suatu individu saja (misalnya, ‘Narto’ sama dengan nama seorang anggota
tentara). Sehubungan dengan ini perlu dicatat: apa yang dapat dikatakan tentang seluruh
kelompok, belum tentu dapat dikatakan pula tentang setiap anggota kelompok. Demikian pula
sebaliknya;
3. Sederhana, yang terdiri dari satu ciri saja (misalnya, kata ‘ada’ yang tidak dapat diuraikan lagi)
dan jamak, yang terdiri dari beberap atau banyak ciri (misalnya, kata ‘manusia’, yang dapat
diuraikan menjadi ‘makhluk’ dan ‘berbudi’).
Selanjutnya, kata juga dapat dibagi ke dalam apa yang disebut dengan ‘nilai rasa, dan
‘kata- kata emosional’. Yang dimaksud nilai rasa ialah kata dengan nilai-nilai tertentu dengan
maksud menyatakan sikap dan atau perasaan terhadap kenyataan objektif. Dengan demikian
sikap dan perasaan tertentu sangat menentukan nilai rasa kata yang tertentu pula. Sikap dan
perasaan senang terhadap kenyataan objektif akan menentukan pilihan kata yang selaras
dengan sikap dan perasaan itu. Demikian juga sebaliknya. Panggilan dengan kata ‘Anda’
berbeda dengan ,Tuan’, berbeda pula
‘Lu’. Dalam hubungan inilah perlu diperhatikan supaya pemakaian kata-kata itu tepat. Yakni,
untuk setiap situasi diperlukan pilihan kata dengan nilai rasa kata yang cocok, sesuai, dengan nilai
rasa kata yang hendak dinyatakan. Untuk kepentingan ilmiah misalnya, pilihan kata harus
menyatakan nilai
rasa kata yang ilmiah pula yang tidak termuat didalamnya nilai rasa kata suka (like) dan tidak
suka
(dislike) (Poespoprodjo dan Gilarso, 1999: 59).
Kata-kata emosional ialah kata-kata yang dimaksudkan untuk menimbulkan perasaan
tertentu terhadap kenyataan objektif tetentu. Kata-kata itu misalnya kata untuk
mengungkapkan kebencian, pengutukan, kecintaan, atau pemujaan, dan dukungan. Pilihan kata
yang selaras dengan pengungkapan perasaan itu menimbulkan perasaan tertentu bagi yang
mendengarnya. Pilihan kata demikian tidak lahir dari akal pikiran sehingga tidak mengajak untuk
berpikir. Bahkan kata itu pada gilirannya mampu menghambat pemikiran, mengacaukan jalan
pikiran, dan memustahilkan berfikir secara jernih, objektif, karena menutup mata terhadap
realitas. Dalam konteks inilah, misalnya, seorang politisi mencerca lawan politiknya. Dalam
konteks ini pula para pengiklan mengklaim produknya bermutu disbanding produk lain yang
sejenis. Kata-kata emosional lazim digunakan dalam dunia perpolitikan dan dunia periklanan
(Poespoprodjo dan Gilarso, 1999: 60).

C. Term
Kata adalah tanda lahir atau pernyataan dari pengertian. Term adalah bagian dari
suatu kalimat yang berfungsi sebagai subjek atau predikat ( S atau P). Dengan demikian
term ialah gabungan dari sejumlah kata (kalimat) yang terdiri subjek, predikat, dan kata
penghubung. Kata penghubung seperti, antara lain, jika, dan, oleh, dalam, akan, adalah,
merupakan, tidak terkategori ke dalam term.
Term dipahami juga sebagai sebuah gagasan atau segugus gagasan yang dinyatakan dalam
wujud kata-kata (Sumaryono, 1999: 32). Gagasan dalam hal ini berarti juga pengertian
yang membentuk kata. Selanjutnya kata membentuk term sebagai sarana komunikasi atau bahasa.
Bahasa diproduksi manusia. Manusia menyatakan pikirannya melalui bahasa. Dengan begitu
pemikiran yang diungkapkan tidak terdiri dari kata-kata yang satu sama lain terlepas, tetapi kata-
kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang dapat dimengerti. Itulah sesunguhnya yang
dimaksud dengan term. Contoh: Ade Munajat seorang dosen (Ade Munajat = S; seorang
dosen = P). Kalimat itu dapat berfungsi hanya sebagai subjek ketika diperluas dengan
tambahan ‘Dia adalah kakak saya’ yang berfungsi sebagai predikat. Berbeda dengan linguistik,
di dalam logika sebuah kalimat (term) hanya terdiri dari subjek atau predikat.
Menurut luasnya, term dapat dibedakan menjadi:
1. term singular. Term ini dengan tegas menunujukkan satu individu, barang atau golongan
yang tertentu. Misalnya, Slamet, orang itu, kesebelasan itu, yang terpandai, dan sebagainya;
2. term partikular. Term ini menunjukkan hanya sebagian saja dari seluruh luasnya.
Artinya, menunjukkan lebih dari satu, tetapi tidak semua bawahannya. Misalnya, beberapa
mahasiswa, kebanyakan orang, empat orang muda, dan sebagainya;
3. term universal. Term ini mernunjukkan seluruh lingkungan dan bawahannya masing-
masing tanpa ada yang dikecualikan. Misalnya, semua orang, setiap dosen; kera adalah
binatang, dan sebagainya
4. term kolektif. Term yang menggambarkan sekelompok objek atau koleksi objek sebagai
sebuah
unit. Contoh: keluarga, angkatan bersenjata, himpunan mahasiswa jurusan. Term kolektif
dapat
bersifat singular (misalnya TNI), particular (misalnya beberapa anggota TNI), serta
universal
(misalnya tentara) (Alex, 1983: 34).
Menurut asas perlawanan gagasan dasarnya, term memiliki jenis berikut ini (Alex, 1983:
34):
1. Term kontradiktoris. Yaitu term dimana term yang satu mempertegas makna term yang
lain melalui pengingkarannya. Disini term yang satu mengingkari term yang lainnya. Contoh:
hidup mati, benar salah.
2. Term kontraris. Yaitu pasangan term yang menunjukkan sudut-sudut ekstrem di antara
objek-
objek yang tersusun dalam satu kelas tertentu. Contoh: panas dingin (suhu), hitam putih
(warna).
3. Term relatif.. Yaitu pasangan term dimana yang satu tidak mungkin dimengerti tanpa ada
yang lain sebagai lawannya.Konotasi term yang satu mengandaikan konotasi term yang lain
sebagai lawannya. Contoh: ibu-anak, suami-istri, guru-murid.
Menurut ketepatan maknanya (Alex, 1983: 34) term memiliki jenis sebagai berikut:
1. Term univok. Yaitu term yang hanya menerangkan satu objek tertentu atau dalam arti yang
persis sama. Contoh: rokok, pohon, rumah.
2. Term ekuivok. Yaitu term yang memungkinkan terbentuknya makna ganda, atau term-term
yang
mempunyai bunyi yang persisi sama, tetapi arti yang terkandung di dalam masing-masing
term berbeda satu sama lain.
Contoh:
Halaman dapat berarti tanah kosong di sekitar rumah

lembar-lembar sebuah buku


4. Term analog. Yaitu term yang data menerangkan dua hal atau lebih dalam arti yang berbeda
satu sama lain, namun kadang-kadang ada kesamaannya juga. Contoh:
Kaki dapat berarti bagian tubuh (arti sebenarnya)
Bagian benda yang berfungsi seperti
kaki
(analog)

Menurut kodrat referent (Alex, 1983: 34), term memiliki jenis:


1. Term konkrit. Yaitu term yang memiliki objek yang mudah diamati. Contoh: kacamata,
ballpoint.
2. Term abstrak. Yaitu term yang memiliki objek yang baru dapat dimengerti setelah melalui
proses abstraksi. Contoh: keadilan, kebenaran.
3. Term nihil. Yaitu objek yang tidak memiliki objek referent sama sekali, sebab objek-objek
term ini bersifat imajinatif, fiktif, dan sebagainya. Contoh: malaikat, sorga, neraka, peri, dan
sebagainya.
Selain dari jenis term seperti dikemukakan di atas, perbincangan mengenai term
juga
dikaitkan dengan suposisi term (Alex, 1983: 35). Suposisi term ialah ketepatan makna yang
dimilki oleh sebuah term dalam sebuah proposisi atau pernyataan. “Ketepatan makna” berarti
bahwa sebuah term memberikan makna yang tepat pada satu objek saja dari objek-objek yang
dapat diwakilinya.
Suposisi term terdiri dari:
1. Suposisi material. Suposisi material ialah penggunaan term dengan makna sebagaimana term
itu diucapkan atau ditulis. Suposisi ini semata-mata hanya menerangkan sebuah term
sebagai term apa adanya, terlepas dari makna yang terkandung di dalamnya.
Contoh: Cinta adalah kata yang tersusun dari lima hurup c-i-n-t-a.
2. Suposisi formal. Suposisi formal ialah penggunaan term sesuai dengan apa yang
dimaksudkan atau ditandainya. Jadi, term, menunjukkan pada bentuk atau forma objek yang
dimaksud.
Contoh: Manusia adalah animal rational.
Ballpoint adalah alat tulis yang ujung runcingnya terbuat dari bolabesi.
3. Suposisi logis. Suposisi logis ialah penggunaan term dalam sebuah konsep dengan maksud
untuk menuntun akal budi atau pikiran kita kepada konsep-konsep yang bersifat abstrak dan
melulu rasional.
Contoh: Kemanusiaan adalahsebuah konsep universal.
Keadilan berarti”memberikan kepada orang lain apa yang
menjadi haknya”. Hukum adalah sarana penataan hidup sosial.
4. Suposisi ril. Suposisi ril ialah penggunaan term untuk menyebutkan hal-hal yang di
dalam realitasnya benar-benar ada.
Contoh: Manusia adalah makhluk mortal.
5. Suposisi semestinya/selayaknya. Suposisi ini dimaksudkan untuk menyebut hal-hal yang
sesuai dengan tempat yang benar/selayaknya.
Contoh: Manusia mempunyai mulut.
Anjing mempunyai moncong.
6. Suposisi metaforis. Suposisi metaforis ialah penggunaan term dalam konotasi analogis.
Contoh: Ombak di pantai bergulung dan berkejaran.
Nyiur melamabai
Warna bajunya mencolok mata.

LATIHAN

A. Jawablah soal di bawah ini dengan benar!


1. Apa yang dimaksud dengan pengertian?
2. Apa yang dimaksud dengan isi pengertian? Berikan contohnya!
3. Apa yang dimaksud dengan luas pengertian? Berikan contohnya!
4. Apa yang dimaksud dengan kata dalam konteks hubungan logika dan bahasa, khususnya dalam
hubungan dengan penjelasan pengertian?
5. Apa yang dimaksud dengan kata univokal itu? Berikan contohnya!
6. Apa yang dimaksud dengan kata ekuivokal itu? Berikan contohnya!
7. Apa yang dimaksud dengan kata analogis itu? Berikan contohnya!
8. Apa yang dimaksud dengan kata abstrak dan kongkrit? Apa bedanya? Berikan contohnya!
9. Apa yang dimaksud dengan kata kolektif dan individual? Apa bedanya? Berikan contohnya!
10. Apa yang dimaksud dengan kata sederhana dan jamak? Apa bedanya? Berikan contohnya!
11. Apa yang dimaksud dengan nilai rasa kata? Jelaskan! Berikan contohnya!
12. Apa yang dimaksud dengan kata-kata emosional? Jelaskan! Berikan contohnya!
B. Lengkapi kalimat dalam kotak di bawah ini!
Isi pengertian dari ‘kampus Unesa’ meliputi

Menurut luas pengertiannya ‘kampus Unesa’ meliputi

Susunlah dua buah kalimat atau lebih dengan menggunakan kata-kata di bawah ini dalam arti
yang berlainan, kemudian tentukanlah apakah kata dalam kalimat yang Anda buat itu dipakai
dalam arti univokal, ekuivokal, dan analogis.
1. Bunga 9. pahit 17.rapat 25.gugur 33.pelita
2. lulus 10.bernyala 18.pukul 26.kali 34.aksi
3. sekolah 11.hangat 19.buat 27.lalu 35.luntur
4. pos 12.terang 20.basah 28.keras 36.berkat
5. anak 13.bintang 21.muka 29.bunyi 37.awas
6. putera 14.hukum 22.langgar 30.pelik 38.baru
7. putera 15.massa 23.ganti 31.hemat 39.awas
8. kaki 16.kepala 24.jiwa 32.pasang 40.akar
(Soal dari Poespoprodjo dan EK. T. Gilarso (1999))
.......................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................
.......................................................................................................

Apa perbedaan arti atau nilai rasa kata dalam penggunaan kata-kata di bawah ini.
1. merundingkan-membicarakan-membahas-mempersoalkan-mendiskusikan-
memusyawarahkan-mengupas-berdialog.
2. Peringatan-teguran-wejangan-ancaman-petuah-nasihat-pedoman-aturan-petujuk-
bimbingan.
3. Mampu-mahir-ahli-cakap-terampil-tangkas-cerdik-licik-pandai-lihai.
(Soal dari Poespoprodjo dan EK. T. Gilarso (1999))
Beri garis bawah kata-kata emosional dalam wacana di bawah ini. Kemudian gantilah oleh
Anda kata-kata emosional itu dengan kata-kata yang lebih objektif.

Pemberontakan PRRI adalah ,stadium puncak’ dari penyelewengan-penyelewengan dan


penghianatan-penghianatan terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945, proklamasi yang kita anggap
suci dan keramat itu. Terutama sekali sesudah mereka terang-terangan bekerjasama dengan tenaga-
tenaga asing, tenaga-tenaga reaksioner dan kontrarevolusioner, tenaga- tenaga kolonial yang
hendak menghancurkan Republik, tenaga-tenaga militer yang anti politik bebasnya Republik,
pendek kata tenaga-tenaga kolonialis dan imperalis-terutama sekali sesudah mereka terang-
terangan bekerja dengan tenaga-tenaga asing itu, maka tiada sebutan lainlah yang pantas kita
berikan kepada mereka dari penyelewengan- penyelewengan proklamasi dan penghiantan-
penghianatan proklamasi, pendurhaka-pendurhaka Republik dan penghianatan-penghianatan
Republik.....

Kepetualangan-kepetualangan itu pada dasar hakikatnya adalah bangkitnya tenaga-tenaga reaksi


dan tenaga-tenaga kontrarevolusi yang hendak mati-matian menentang kelanjutan dari kita punya
revolusi.
Tenaga reaksioner mencari tenaga reaksioner. Tenaga kontra revolusioner mencari tenaga
kontrarevolusioner. Petualang
mencari petualang, Tukang barter mencari tukang barter. Bandot smokkel mencari
bandot smokkel....

Banyak orang yang ikut-ikutan saja. Mereka adalah laksana buih-buih yang terbawa berputarair
putaran, atau buih- buih yang terbawa hanyut oleh aliran deras...

Hendaklah kita mengenai aksi Irian Barat itu jangan bersikap picik sebab ada beberapa pentol yang
mengatakan bahwa
‘aksi Irian Baratnya Soekarno’ itu menjadi ‘sebab’ dari ‘segala kesulitan’. Dan ada juga orang-orang
yang mengatakan, bahwa perusahaan-perusaahaan yang telah diambilalih itu ‘tidak layak dikuasai
pemerintah’. Orang yang mengatakan bahwa aksi Irian Baratnya Soekarnolah sebab dari segala
kesulitan, orang-orang yang demikian itu adalah orang-orang yang picik, orang-orang yang tak
mengerti hukum perjuangan, oranmg-orang yang tak mengerti bahwa semua perjuangan- perjuangan
besar membawa kesulitan-kesulitan, orang-orang yang jiwanya sinis atau orang-orang yang jiwanya
sinis atau orang-orang yang cap mentegayang berjiwa kapuk yang tak pernah mengerti artinya
pepatah kuno ‘jer basuki mawa bea’, atau firman tuhan ‘innamal husri yusro’, atau ucapan
Vivekananda: ‘Victory through struggle’....

Awas pada orang-orang yang demikian itu, saudara ‘mereka adalah burung alap kekayaan yang
ingin sekali memulai dengan pembagian rezeki agar mendapat bagian buat bikin gemuk kantongnya
sendiri.

(Pidato Presiden Soekarno ‘Tahun Tantangan, 17


Agustus 1958').

(Soal dari Poespoprodjo dan EK. T. Gilarso (1999))

Tentukan luas subjek dalam term (kalimat-kalimat) di bawah ini!


1. Pak Ade pergi ke kampus
2. Seorang dosen ditindak
3. Para pegawai berkeluh kesah
4. Sapi itu binatang
5. Anjing itu menyalak
6. Ada anjing menyalak
7. Pemudi itu tangkas
8. Pemudi itu halus
9. Mahasiswa itu malas
10. Mahasiswa itu harus belajar
Tentukan jenis term dari kata-kata yang dimiringkan dalam pernyataan-pernyataan di bawah
ini. Jawablah:
A. bila jenis term berdasarkan term singular
B. bila jenis term berdasarkan term partikular
C. bila jenis term berdasarkan term universal
D. bila jenis term berdasarkan term kolektif
E. bila jenis term berdasarkan Term kontradiktoris
F. bila jenis term berdasarkan Term kontraris
G. bila jenis term berdasarkan Term relatif
H. bila jenis term berdasarkan Term univok
I. bila jenis term berdasarkan Term ekuivok
J. bila jenis term berdasarkan Term analog
K. bila jenis term berdasarkan Term konkrit
L. bila jenis term berdasarkan Term abstrak
M. bila jenis term berdasarkan Term nihil

1. Neraka merupakan tempat bagi pelaku perbuatan jahat


2. Banyak orang yang mencari keadilan di negeri ini
3. Buku Dasar-dasar Logika itu dipinjam
4. Kelompok Band Letto sedang naik daun
5. Rumput di halaman rumah tetangga selalu tampak hijau
6. Rumahku adalah sorgaku
7. Tuan dan nyonya Munajat merupakan pasangan ideal
8. Siang malam wajah ibunya selalu terbayang
9. Cantik atau jelek tetap pacar saya
10. Mahasiswa jurusan AN STISIP Widyapuri Mandiri mengambil mata kuliah Dasar-
dasar Logika pada semester genap tahun 2007
11. Agen perubahan politik Indonesia ialah mahasiswa
12. Beberapa mahasiswa STISIP Widyapuri Mandiri berstatus sebagai PNS
13. Mahasiswa itu ialah mahasiswa berprestasi

D. Penggolongan (Aturan-Aturan Penggolongan dan Beberapa Kesulitannya)


Penggolongan (ada pula yang menyebutnya dengan pembagian atau klasifikasi) ialah
pekerjaan akal budi kita untuk menganalisis, membagi-bagi, menggolong-golongkan, dan
menyusun pengertian-pengertian dan barang-barang menurut kesamaan dan perbedaannya
(Poespoprodjo dan Gilarso, 1999: 61). Penggolongan dijelaskan pula sebagai sebuah proses
dimana benda-benda individual di kelompok-kelompokkan menurut ciri khasnya yang
berlaku umum yang secara bersama-sama membentuk sebuah kelas atau golongan (Sumaryono,
1999:49).
Penggolongan memiliki tata cara, aturan, atau hukum sebagai berikut:
1. Penggolongan harus lengkap.
Artinya dalam proses penggolongan segala sesuatu yang digolong-golongkan itu harus meliputi
semua bagian yang hendak digolongkan sehingga apabila bagian-bagian itu disatukan kembali
menjadi sebuah kesatuan yang utuh menyeluruh dan lengkap.
Contoh: ‘Makhluk Hidup’ digolongkan menjadi ‘manusia’, ‘binatang’, ‘tumbuh-
tumbuhan’
2. Penggolongan harus sungguh-sungguh memisahkan
Artinya, bagian yang satu yang kita golongkan, tidak boleh menjadi bagian dari yang lain
yang juga digolongkan. Penggolongan tidak boleh tumpang tindih. Penggolongan harus
jelas dan tegas.
Contoh: Manusia (Pria-Wanita). Pria-Wanita (Bayi-Anak-anak-Remaja-Dewasa-Orang tua),
dan lain-lain.
3. Penggolongan harus menurut dasar, prinsip, atau garis yang sama
Artinya bahwa penggolongan harus konsekwen dan tidak memakai dua atau lebih dasar
sekaligus dalam pembagian yang sama.
Contoh: Kalau ‘kendaraan’ digolong-golongkan ke dalam ,yang bergerak di daratan’,
‘yang bergerak di perairan’, dan ‘yang ditarik oleh tenaga binatang’, maka disini
dua hal dicampuradukan (tidak menurut dasar, prinsip, atau garis yang sama) antara: dimana
bergeraknya (darat-perairan) dengan bagaimana bergeraknya (ditarik oleh tenaga binatang).
4. Penggolongan harus cocok untuk tujuan yang hendak dicapai
Artinya penggolongan harus menunjukkan tujuan yang dinginkan untuk apa penggolongan itu
dilakukan.
Contoh: Penggolongan nilai A, B, C, D, dan E, atau Gagal yang diberikan oleh seorang dosen
kepada mahasiswa bertujuan membedakan tingkat daya serap materi suatu perkuliahan
oleh mahasiswa.
Terdapat beberapa kesulitan dalam proses penggolongan, antara lain:
1. Masalah keseluruhan dan bagian-bagian
Dalam proses penggolongan sering kali terjadi kesulitan yang menyangkut hubungan antara
keseluruhan dengan bagian-bagiannya terutama apabila menyangkut apa yang benar untuk
sebagian belum tentu benar untuk keseluruhan.
Contoh: PNS adalah koruptor. (Bagaimana dengan PNS yang tidak korup?; adakah PNS yang
sungguh-sungguh tidak korup?)
2. Masalah batas-batas golongan
Masalah batas-batas golongan di dalam percakapan sehari-hari tidak terlalu mengganggu.
Dalam pemikiran kritis (akademik/ilmiah) hal tersebut harus memperoleh perhatian yang
sungguh- sungguh. Contoh kesulitan tersebut dapat tergambar dalam contoh pertanyaan di
bawah ini: Siapakah yang dimaksud dengan urang Sunda itu?
Apakah SBY itu seorang nasionalis atau
agamis?
3. Masalah teknik ‘putih-hitam’
Seringkali proses penggolongan terjebak ke dalam penggolongan yang ‘bertentangan’ dan
hanya dengan melakukan proses ‘bertentangan’ itu penggolongan dilakukan.
Contoh: Kawan-lawan, baik-buruk, pandai-bodoh, cantik-jelek, dan lain-lain. Di antara
penggolongan yang disebutkan di atas, dimanakah letak ‘musuh dalam selimbut’ di
antara oposisi kawan-lawan? Dan seterusnya.
Penggolongan penting dilakukan dalam proses pemikiran dan ilmu pengetahuan.
Karena untuk mengupas suatu persoalan, kita harus dapat menangkap bagian-bagiannya serta
menguraikan unsur-unsurnya (Sumaryono, 1999: 61).. Penggolongan memiliki manfaat sebagai
berikut:
1. membantu pikiran atau benak bahwa fenomena-fenomena memilki banyak sekali varisi;
2. memungkinkan pikiran untuk memahami benang merah yang terdapat dalam hubungan
antara objek yang satu dengan lainnya;
3. membantu memahami benda-benda atau objek-objek menurut struktur kodratnya
ataupun
menurut struktur
artifisialnya.

E. Definisi
Kata defenisi berasal dari kata ‘definitio’ (bahasa Latin) yang berarti ‘pembatasan’
(Sumaryono,
1999: 61). Pembatasan dalam kaitan ini ialah pembatasan terhadap suatu pengertian dengan tepat.
Dengan demikian defenisi merupakan perumusan yang singkat, padat, jelas, dan tepat sehingga
jelas dapat dimengerti dan dibedakan dari semua hal lain (Sumaryono, 1999: 61). Dalam kaitan ini
definisi yang baik harus 1) merumuskan dengan jelas, lengkap, dan singkat semua unsur pokok
(isi) pngertian tertentu itu, 2) Yaitu unsur-unsur yang perlu dan cukup untuk mengetahui apa
sebenarnya barang itu (tidak lebih dan tidak kurang), 3) sehingga dengan jelas dapat dibedakan
dari semua hal yang lain (Sumaryono, 1999: 61).
Defenisi dapat disusun dengan cara mengenali terlebih dahulu varian defenisi. Varian
itu
ialah 1). Defenisi Nominal, 2). Defenisi
Ril.
Defenisi nominal disebut juga sebagai defenisi menurut kata atau nama. Defenisi ini
hanyalah menerangkan arti ‘nama istilah tertentu’. Artinya defenisi yang semata-mata
menjelaskan term sebagaimana disebutkan apa adanya, tanpa melihat objek atau benda yang
dikenai term tersebut. Defenisi nominal biasanya dipergunakan pada saat mengawali sebuah
diskusi dengan maksud untuk membentuk kesepakatan terminologis di antara pembicara
(Sumaryono, 1999: 61). Untuk menyusun defenisi ini dapat dilakukan melalui dua cara sebagai
berikut:
a. meyusun defenisi dengan menelusuri asal usul kata tertentu (etimologis) atau term, kata-
kata
turunannya sampai dengan akar
katanya.
Contoh: ‘Filsafat’ berasal dari kata Yunani ‘philos’ dan ‘sophia’. ‘Philos’ berarti ‘cinta’
dan ‘sophia’ berarti
‘kebijaksanaa
n’.
b. menyusun defenisi yang didasarkan atas sinonim atau kata-kata lain yang lebih dikenal
(defenisi biverbal), misalnya melalui upaya mencarikan padanan kata atau pun
terjemahannya.
Contoh: piawai = ahli dan terampil; expert = pakar.
Apakah yang dimaksud dengan definisi ril itu?
Defenisi ril menerangkan apa sebenarnya sesuatu itu dengan menunjukkan realitas
atau hakikat sesuatu itu bukan namanya saja. Berdasarkan hal ini maka terdapat beberapa
cara menyusunnya, yaitu:
a. menerangkan sifat khas atau hakiki. Defenisi ini disebut juga defenisi logis atau defenisi
esensial.
Definisi terdiri dari dua bagian. Bagian pertama menunjukkan golongan ‘atasan’ atau
jenis terdekat, yang menyatakan kesamaan hal yang didefinisikan itu dengan barang-barang
lain (termasuk golongan mana). Bagian kedua menunjukkan sifat khas atau hakiki yang
terdapat hanya pada barang itu saja, jadi menyatakan dalam hal apa barang itu justru berbeda
dari barang- barang lain.
Contoh: Kuda itu apa? Apakah sesuatu yang dapat dimakan? Tidak. Kuda adalah sejenis
binatang yang....
b. menerangkan kumpulan sifat-sifat yang terdapat dalam objek referent sehingga semua sifat
itu bersama-sama cukup menerangkan objek itu dengan jelas dan dapat dibedakan dari
objek lainnya. Defenisi ini disebut defenisi deskriptif.
Contoh: Defenisi’cinta
kasih’.
Cinta kasih itu sabar, cinta kasih itu murah hati, tidak memegahkan diri, tidak angkuh, tidak
kurang sopan, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak lekas marah, tidak menaruh
prasangka buruk, tidak bersuka cita atas keadilan, tetapi suka pada kebenaran. Cinta kasih
menutup segalanya, mempercayai segalanya dengan sabar. Cinta kasih tidak berkesudahan.
c. menerangkan sebab-sebab dan tujuannya. Defenisi ini disebut juga sebagai defenisi causa
efficiens
dan causa
finalis.
Contoh: Lukisan adalah sebuah gambar yang diciptakan oleh seorang seniman
lukis(causa efficiens).
Pesawat telepon adalah alat elektronik yang dipergunakan sebagai sarana
untuk berbicara jarak jauh(causa finalis).
d. menjabarkan kualitas atau ciri-ciri hakiki yang secara umum dengan pasti terdapat pada
masing-
masing individu, hal atau objek yang disebut dengan sebuah
term. Contoh:
Logika adalah ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk
berpikir lurus.
Hukum adalah perintah akal budi yang dimaksudkan untuk mewujudkan kesejahteraan
umum, disusun dan diundangkan oleh seseorang atau mereka yang memiliki wewenang
yurisdiksi dan bertugas untuk membina masyarakat.
e. menerangkan makna sebuah term dengan cara menunjukkan contoh-contoh objek
referentnya.
Defenisi ini disebut juga defenisi ostensife, defenisi demonstratife, atau definisi
dengan contoh.
Contoh: Apa arti ballpoint? Jawaban diberikan dengan contoh yang
dimaksud.
Dalam menyusun sebuah defenisi harus diperhatikan hukum atau aturan sebagai
berikut
(Sumaryono, 1999: 47):
1. Defeniendum (yang didefinisikan) tidak boleh masuk dalam definiens (uraian defenisi).
Contoh: Alat tulis (defeniendum) adalah alat (definiens) untuk
menulis.
2. Defenisi harus ekulivalen dengan defeniendum. Artinya, penjabran keterangan tidak boleh
luas atau boleh sempit daripada yang didefinisikan. Dengan kata lain, posisi defeniens dan
defeniendum harus dapat dibolak-balik.
Contoh: Manusia adalah animal rationale. (Maka, term animal rationale hanya untuk
menjabarkan pengertian tentang term manusia)
3. Defenisi konotatif harus dinyatakan dalam bahasa yang sederhana, jelas, dan univok.
Artinya, defeniens harus lebih jelas daripada defeniendum. Kemudian definiens tidak boleh
dinyatakan dalam bahasa yang kabur seperti misalnya bahasa metaforis ataupun figuratif.
Contoh: Cinta adalah emosi yang bagaikan harumnya bunga mawar. (Defenisi
Metaforis)
Logika adalah mercusuar pemahaman. (Defenisi Figuratif)
4. Defenisi konotatif harus memberikan penjabaran, keterangan, atau atribut yang hakiki dari
hal yang didefinisikan.
Contoh:Polisi adalah alat negara yang bertugas menjaga keamanan masyarakat dan jalan
raya.
5. Defenisi tidak boleh berbentuk negatif.
Contoh: Kebaikan adalah bukan perbuatan jahat.
Perang berarti tidak ada
perdamaian.
Apabila aturan-aturan defenisi di atas dilanggar, maka akan terjadi sesat defenisi yang
akan menimbulkan kekaburan pengertian. Sebuah defenisi disusun dengan tujuan sebagai berikut
(Sumaryono, 1999: 38):
1. Memperkaya kosa kata;
2. Membatasi ambiguitas (kerancuan makna);
3. Menghilangkan makna yang kering;
4. Memberikan penjelasan teoritis;
5. Mempengaruhi prilaku.

LATIHAN
Apakah pembagiannya sudah tepat? Jelaskan jawaban Anda!
1. Menurut bahannya tas dibagi ke dalam:
a. tas kulit b. tas sekolah c. tas sepeda d. tas plastic
2. Menurut keahliannya, dokter digolongkan ke dalam:
a.dokter gigi b. dokter badan c. dokter paru-paru d. dokter kulit
3. Menurut warna dasar, warna dibagi ke dalam:
a. merah b. kuning c. biru d. hijau e. kelabu f. hitam

Apakah golongan-golongan yang tersebut di bawah ini cukup tertentu dan jelas batas-
batasnya, sehingga jelas siapa, atau apa yang termasuk di dalamnya, dan siapa atau apa yang
tidak?
1. bilangan yang habis dibagi lima
2. buku-buku tentang hukum
3. makanan yang lezat
4. lagu-lagu modern
5. olahragawan

Selidikilah contoh-contoh berikut ini dengan memperhatikan arti, isi, luas dan penggolongan!
1. Tono dan Tomo membaca buku yang sama
2. Tanti dan Yanti memakai pakaian yang sama
3. Masyarakat dibagi ke dalam dua kelas, yaitu kaum kapitalis dan kaum buruh/petani kecil,
majikan adalah kapitalis yang menghisap rakyat (Karl Marx). Karena itu, kerja dan modal
bermusuhan satu sama lain.

Tentukan apakah defenisi-definisi berikut ini sudah tepat!


1. Layang-layang adalah persegi yang dibuat dari bamboo dan kertas dan yang diikat dengan
seutas tali, dan dapat terbang di udara karena tiupan angin.
2. Dosa adalah kalau orang melanggar perintah Allah dengan sengaja.
3. Iri hati adalah bahwa napsu yang ditimbulkan karena melihat keuntungan orang lain.

Tentukanlah hukum manakah yang dilanggar dalam defenisi-defenisi berikut ini:


1. Mengerti adalah tahu akan sesuatu hal yang dimengerti
2. Kendaraan bermotor adalah tiap-tiap kendaraan bermotor yang...(buku pedoman-Rijbewijs).
3. Polisi adalah alat negara

Berikan defenisinya!
1. Sepeda motor
2. Angin
3. Gula
4. Meja
5. Bahas

Kegiatan Belajar 8
PROPOSISI

A. Pengertian Proposisi
Memberi pengertian, membuat keputusan (proposisi) dan menentukan penyimpulan
(penalaran) merupakan bagian dari proses kerja akal budi kita. Dengan demikian maka
proposisi bagian dari proses kerja akal budi yang kedua setelah pengertian. Proposisi adalah
pernyataan akal budi mengenai persesuaian dan ketidaksesuaian yang terdapat di antara dua
gagasan. Dengan kata lain, putusan adalah kegiatan akal budi mengiakan, memperteguh atau
menguatkan sebuah gagasan dengan perantaraan gagasan lain atau melakukan pengingkaran
sebuah gagasan terhadap gagasan lainnya (Sumaryono, 1999: 55).
Dari batasan itu terdapat hal-hal berikut yang harus diperhatikan sehubungan dengan
proposisi:
. kegiatan akal budi
Seperti telah diutarakan bahwa proposisi merupakan bagian dari proses kerja akal budi. Dengan
demikian maka membuat proposisi ialah kegiatan akal budi manusia.
. mengiakan, memperteguh, atau menguatkan sebuah gagasan dengan perantaraan
gagasan lain
Contoh: Dita itu cantik. Dalam pernyataan itu, “Dita” dan “cantik” bukanlah dua hal
yang terpisah melainkan satu kesatuan. Dita = cantik. Dengan demikian maka
pernyataan itu: mengiakan, memperteguh, atau menguatkan. Sementara itu: Dita ialah
sebuah gagasan, dan, cantik ialah gagasan lainnya dimana kedua gagasan itu menjadi
perantara satu sama lain saling memperteguh dan menguatkan.
. melakukan pengingkaran sebuah gagasan terhadap gagasan lainnya.
Contoh: Dita itu tidak cantik. Dalam pernyataan itu, “Dita” dan “tidak cantik” dua hal
yang terpisah dan tidak merupakan satu kesatuan. Dita ≠ cantik. Dengan demikian maka
pernyataan itu: melakukan pengingkaran sebuah gagasan terhadap gagasan lainnya.
Sementara itu: Dita ialah
sebuah gagasan, dan, cantik ialah gagasan lainnya dimana kedua gagasan itu menjadi
perantara satu sama lain saling melakukan pengingkaran.

B. Unsur-Unsur Proposisi
Sebuah proposisi apabila dilihat dari segi tata bahasa memiliki tiga unsur sebagai
berikut:
1. Subjek. Yakni hal yang diakui atau diingkari (That about which something is affirmed or
denied).
2. Predikat. Yakni apa yang diakui atau disangkal dari subjek. (That what is affirmed or
denied of the subject).
3. Kopula. Yakni kata yang menghubungkanan antara subjek dengan predikat.
Dalam kalimat bahasa Indonesia selaku bahasa yang tidak ber-fleksi, kopula tidak dibutuhkan.
Namun dalam proposisi logika, kopula merupakan keharusan. Oleh sebab itu dalam proposisi-
proposisi logika yang berbahasa Indonesia, kopula tetap digunakan. Kata-kata yang dapat
digunakan sebagai kopula dalam bahasa Indonesia ialah: adalah, ialah, itu, merupakan,
dan sebagainya (Rapar, 1995: 32).
Contoh:
” Dita itu cantik”
Dita = Subjek
Itu = Kopula
Cantik = Predikat

Atau

“Dita itu tidak cantik”


Dita = Subjek
Itu = Kopula
Tidak Cantik = Predikat

C. Pembagian Proposisi
Proposisi terdiri dari dua jenis, yakni, proposisi kategorik dan proposisi hipotesis. Hal
yang membedakan kedua jenis proposisi tersebut ialah sebagai berikut:
1.Proposisi kategorik yakni proposisi yang di dalamnya P diakui atau diingkari oleh S ‘tanpa
syarat’
dengan rincian secara mutlak atau ditambah dengan keterangan modalitas seperti
pasti,
mungkin, mustahil, dan
sebagainya.
Dalam hal ini, proposisi kategoris memiliki fungsi untuk menghindari kesesatan dalam
berfikir dengan memperhatikan segi-segi sebagai berikut:
a.orang harus selalu kritis, lebih-lebih terhadap dirinya sendiri. Kritis tidak hanya mau
menyangkal saja, melainkan berfikir dan objektif;
b.Pada saat berfifikir, apabila sesuatu tidak pasti, jangan dianggap
pasti;
c.Jika merasa pasti, lihatlah dulu apakah-betul-betul demikian pasti
(objektif);
d.Apabila masih ragu-ragu, jangan memutuskan dulu sebelum berfikir yang lebih
mendalam;
e.apabila tidak mendapat kepastian, beranilah mengatakan sesuatu dengan menggunakan kata-
kata seperti: mungkin, barangkali, saya kira, dan sebagainya.
2.Proposisi Hipotesis yakni proposisi yang di dalamnya P diakui atau diingkari oleh S tidak
secara
langsung melainkan tergantung pada suatu syarat. Proposisi tersebut diungkapkan dalam
kalimat- kalimat seperti:
a.Kondisional (bersyarat):
jika….maka…
b.Disjungtif
atau….atau….
c.Konjungtif
tidak sekaligus….dan….

D. Ragam Proposisi Kategorik


Proposisi kategorik memiliki ragam sebagai berikut:
1.Proposisi subjek-predikat (subject-predicate proposition / categorical proposition). Yaitu
proposisi yang hanya terdiri dari subjek dan predikat. Dalam proposisi ini predikat
mengafirmasi (mengiakan atau menguatkan) atau menegasi (mengingkari atau menolak) subjek.
Contoh: Plato adalah seorang filsuf (mengafirmasi: mengiakan atau
menguatkan)) Gus Dur bukanlah seorang filsuf (menegasi:
mengingkari atau menolak)
2. Proposisi Universal (universal proposition). Proposisi yang menggunakan kata pembilang
(quatifier) yang bersifat universal. Kata pembilang yang biasa digunakan ialah: semua, tiap-
tiap, masing-masing, setiap, siapa pun juga, atau apapun juga.
Contoh: Semua manusia adalah fana
Setiap sarjana lulusan program studi HukumUnesa paham soal pengelolaan Hukum
3.Proposisi partikular (particular proposition). Yaitu proposisi yang menggunakan kata
pembilang (quatifier) yang bersifat khusus. Kata pembilang yang bersifat khusus itu ialah
beberapa dan sebagian. Kata pembilang tersebut berlaku baik dalam bentuk afirmasi atau pun
negasi.
Contoh: Beberapa mahasiswa UNESA adalah PNS
Sebagian dosen UNESA adalah pensiunan pegawai
Pemda. Beberapa mahasiswi UNESA bukanlah gadis.
Sebagian mahasiswa UNESA tidaklah bodoh.
4.Proposisi Singular (singular proposition). Yaitu proposisi yang hanya terdiri atas satu
pernyataan dan mengacu kepada nama diri atau jika menggunakan kata ganti, maka akan
menggunakan kata petunjuk ini atau itu.
Contoh: Deti adalah perempuan.
Orang ini jujur.
Dosen itu bergelar doktor.
5.Proposisi Asertorik (assertoric proposition). Yaitu proposisi yang membenarkan bahwa subjek
adalah sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh predikat.
Contoh: Semua guru adalah pendidik
Semua ular adalah binatang
melata
6.Proposisi apodiktik (apodictic preposition). Yaitu proposisi yang merupakan kemestian
kebenaran dari penjelasan yang diberikan oleh predikat terhadap subjek berdasarkan
pertimbangan akal budi semata-mata.
Contoh: Lima adalah sepuluh dibagi dua
Semua segitiga adalah bersisi tiga
7.Proposisi empirik (empirical proposition). Yaitu proposisi yang didasarkan pada pengamatan
dan pengalaman.
Contoh: Fitri adalah mahasiswi yang aktif bertanya
Khotib adalah mahasiswa saya yang paling rajin masuk kuliah

E. Kualitas dan Kuantitas dalam Proposisi Kategorik


Yang dimaksud dengan kualitas dalam hubungan dengan proposisi kategori ialah ciri atau
karakteristik yang terkandung di dalam hakikat proposisi itu sendiri. Hakikat sebuah proposisi
ialah afirmasi atau negasi. Sebuah proposisi disebut afirmasi jika kopula berfungsu
menghubungkan,meneguhkan, atau mempersatukan S dan P. Sebuah proposisi disebut
negatif apabila kopula memisahkan antara S dan P. Dengan demikian jelas bahwa sebuah
proposisi ditentukan oleh kopulanya. Artinya, apabila keseluruhan kopula bersifat afirmasi maka
keseluruhan proposisi adalah afirmasi. Demikian pula sebaliknya. Yakni apabila keseluruhan
kopula bersifat negasi maka keseluruhan proposisi adalah negasi.
Contoh:
Tidak ada manusia yang tidak dapat mati
Tidak semua mahasiswa memahami
logika Beberapa pejabat tidak memahami
logika
Adapun yang dimaksud dengan kuantitas dalam hubungan dengan proposisi kategoris
ialah jumlah individu objek dimana term subjek diterapkan. Jadi jika sebuah proposisi disebut
universal jika term subjeknya adalah universal.
Contoh:
Semua mahasiswa UNESA mengenakan jas almamater pada saat
UAS Mahasiswa UNESA bukan pengguna narkoba.
Demikian pula sebuah proposisi disebut partikular jika semua subjeknya
partikular.
Contoh:
Ada mahasiswa UNESA yang tidak pernah hadir kuliah
Tim sepak bola UNESA menang mutlak atas tim universitas lain.
Kualitas dan kuantitas dalam proposisi kategorik dapat berdiri sendiri sebagaimana contoh
di atas atau dapat berkombinasi. Dengan kata lain kualitas dan kuantitas dalam proposisi
kategorik dapat saling melengkapi. Proposisi dimana kualitas dan kuantitas saling
melengkapi itu disebut sebagai proposisi A-E-I-O. Struktur kombinasi itu dapat digambarkan
sebagai berikut:
Kualitas Hubungan Subjek-
Predikat
Afirmasi Negasi
Universal A E
Kuantitas
Partikular
Subjek I O
Singular

Hurup A, E, I, dan O merupakan simbol dari:


A-ff-I-rmo = meng-A-ku-I;
n-E-go = m-E-n-O-lak

Dalam kerangka kombinasi kualitas dan kuantitas dalam proposisi itu, maka hurup A,
E, I, dan O berarti:
A = universal dan
afirmatif; E = universal
dan negative;
I = partikular/singular dan
afirmatif; O = particular/singular dan
negative;

Contoh proposisi:
A = universal dan afirmatif (= Semua S adalah P)
 Semua mahasiswa lulus dalam ujian mata kuliah Logika
 Manusia adalah mahkluk sosial
 Besi itu logam
E = universal dan negatif (=Semua S bukan/tidak P)
 Seorang pun tidak ada yang lulus ujian mata kuliah Logika
 Pelajar bukan mahasiswa
I = partikular/singular dan afirmatif (= Sebagian S adalah P)
 Ada mahasiswa yang menjadi pengguna narkoba
 Orang Sunda suka dandan
O = partikular/singular dan negatif (= Sebagian S bukan/tidak P)
 Banyak mahasiswa yang tidak cukup sadar akan tanggung jawab sosial mereka
 Ada mahasiswa yang tidak mengerti logika

LATIHAN7
1. Apakah proposisi itu?
2. Mengapa logika tidak berurusan dengan pernyataan yang bersifat menyuruh, melarang,
dan ungkapan emosional lainnya?

7
Soal diambil dari Drs. H.Mundiri. Logika. PT. Praja Grafindo Persada. Jakarta. 1994 dan E.Sumaryono. Dasar-
Dasar Logika. Kanisius. Yogyakarta. 1998
3. Sebutkan unsur-unsur proposisi?
4. Jelaskan tentang pembagian proposisi!
5. Sebutkan ragam proposisi!
6. Apa yang dimaksud dengan permasalahan kualitas dan kuantitas dalam proposisi?
7. Apa perbedaan proposisi kategorik dengan proposisi hipotesis?
8. Apa yang dimaksud dengan:
a. Proposisi subjek-predikat (subject-predicate proposition / categorical
proposition)?
b. Proposisi Universal (universal
proposition)? c. Proposisi partikular
(particular proposition)? d. Proposisi
Singular (singular proposition)?
e. Proposisi Asertorik (assertoric
proposition)?
f. Proposisi apodiktik (apodictic
preposition)?
g. Proposisi empirik (empirical
proposition)?
9. Tentukan mana proposisi dan yang bukan proposisi dari kalimat-kalimat berikut:
a. mereka datang
terlambat.
b. semoga merreka tidak datang
terlambat. c. suruh dia mengerjakan
pekerjaan itu.
d. saya akan berangkat jam
7.00.
e. semua yang datang dimohon untuk
duduk.
f. zaman sekarang adalah zaman
pembangunan. g. ibu-ibu dan bapak-bapak
terhormat.
h. Nabi Sulaeman adalah seorang yang
genius.
10. Tentukan jenis proposisi (A, E , I, atau O) yang terdapat dalam pernyataan- pernyataan di
bawah ini :
a. orang Bali pandai
menari.
b. tim sepak bola kita tidak berhasil menjadi
juara. c. manusia adalah animal rationale.
d. ada mahasiswa yang tidak pernah memiliki catatan
kuliah. f. ia jarang datang ke rumahku.
g. di antara teman-temanku ada yang sering melalaikan tugas
kuliahnya.
h. pemerintahan yang rapuh biasanya mengandalkan kekuatan militer untuk meredam
berbagai macam gejolak social politik.
i. tidak ada gading yang tidak
retak.
j. sepeda motor itu mustahil untuk diperbaiki
lagi.
k. ia tidak pernah mengeluh atas segala kesulitan yang dihadapi dalam
hidupnya. l. orang itu mungkin tidak memiliki rasa kemanusiaan.
m. barangkali hari ini tidak jadi
hujan.
n. ada kemungkinan rapat partai akan terganggu oleh
demonstrasi.
o. dalam ujian ini tidak ada mahasiswa yang diizinkan membuka
catatan.
Kegiatan Belajar 9
PENYIMPULAN

Kata inferensi berasal dari bahasa Inggris inference artinya penyimpulan.


Penyimpulan diartikan sebagai proses membuat kesimpulan (conclusion). Dengan demikian,
inferensi dapat didefinisikan sebagai suatu proses penarikan konklusi dari satu atau lebih proposisi
(keputusan). Erat hubungannya dengan penjelasan itu, inferensi berarti pula sebagai cara kerja
logika yang ke-3 setelah memberikan pengartian dan membuat keputusan.
Di dalam logika, proses penarikan konklusi dapat dilakukan melalui dua cara. Cara
dimaksud yakni, cara deduktif dan induktif. Mengingat dua cara tersebut kemudian dikenal istilah
inferensi deduktif dan inferensi induktif. Di wilayah kebahasaan (bukan wilayah akal budi
atau pemikiran) kedua cara itu lazim disebut sebagai penalaran. Dalam hal ini penalaran berarti
proses mental dalam mengembangkan pikiran dari beberapa fakta atau prinsip (premis). Kata
penalaran, berasal dari kata nalar yang berarti aktivitas yang memungkinkan seseorang
berfikir logis. Berdasar hal itulah kemudian pengertian inferensi identik dengan penalaran
(inferensi=penalaran) yang dalam wilayah kebahasaan lazim juga disebut sebagai argumen.

Inferensi Deduktif
Inferensi deduktif terbagi ke dalam dua jenis. Yakni, Inferensi/Penalaran Langsung
dan Inferensi/Penalaran Tidak Langsung. Inferensi Tidak Langsung disebut juga sebagai
Inferensi/Penalaran Silogistik.

Inferensi/Penalaran Langsung
Inferensi Langsung ialah penarikan kesimpulan (konklusi) hanya dari sebuah premis.
Premis yaitu data, bukti, atau dasar pemikiran yang menjamin terbentuknya kesimpulan. Dengan
demikian, kesimpulan adalah pernyataan yang dihasilkan sesuai dengan premis-premis yang
tersedia dan berhubungan secara logis dengan pernyataan tersebut. Perhatikan gambar di bawah
ini.

Premis-Premis

Penyimpulan Hubungan/Konsekuensi

Kesimpulan

Perhatikan pula contoh inferensi dalam bentuk kalimat di bawah ini.


Karena……………………………………..maka…………………………………
Kalau ini begini maka itu begitu
Berhubung begitu maka karenanya begini

Premis Kesimpulan/Konklusi

Pengetahuan yang dimiliki/ Pengetahuan baru/


Pengetahuan yang mendahului/ Konsekuen
Pangkal/
Anteseden

Konsekuensi

Inferensi Langsung atau Penalaran Langsung sebagaimana dijelaskan di atas


memiliki beberapa bentuk sebagai berikut:
1. Inversi;
2. Konversi;
3. Obversi;
4. Kontraposisi;
5. Oposisi.

Inversi (Kebalikan). Inversi merupakan penalaran langsung dengan cara menegasikan


subjek proposisi premis dan menegasikan atau tidak menegasikan predikat proposisi premis.
Inversi
memiliki ragam berupa Inversi Sebagian dan Inversi Lengkap.

Inversi sebagian. Apabila inversi dilakukan dengan menegasikan subjek proposisi


premis, sedangkan predikatnya tidak dinegasikan (ubah pembilang subjek dari universal menjadi
partikular)

Contoh inversi proposisi (A)


A: Semua mahasiswa Unesa belajar logika (Afirmatif)
jadi
I: Sebagian bukan mahasiswa Unesa belajar Logika. (NegatIf)
Inversi Lengkap ialah jika inversi dilakukan dengan menegasikan baik subjek maupun predikat
proposisi premis (ubahlah pembilang subjek dari universal menjadi partikular).

Perhatikan contoh kalimat di bawah ini.


A: Semua mahasiswa Unesa belajar Logika (Afirmatif)
jadi
I: Sebagian bukan mahasiswa Unesa bukan belajar Logika (NegatIf )

Contoh inversi proposisi (E)

Inversi sebagian.
E: Semua mahasiswa Unesa tidak belajar Logika (nEgo)
jadi
O: Sebagian mahasiswa Unesa tidak belajar Logika

Inversi Lengkap
E: Semua mahasiswa Unesa tidak belajar Logika
jadi
O: Sebagian mahasiswa Unesa tidak tidak belajar Logika

Dengan memperhatikan contoh di atas, dapat dijelaskan bahwa:


 Inversi proposisi A hasilnya ialah proposisi I (baik untuk inversi lengkap maupun
sebagian)
 Proposisi E jika diinversi akan menjadi Proposisi O (baik untuk Inversi
Lengkap maupun untuk Inversi Sebagian)

LATIHAN
Petunjuk:
Tentukanlah contoh Inversi Proposisi (A) dan contoh Inversi Proposisi (E), baik untuk
Inversi
Lengkap maupun untuk Inversi Sebagian dalam kalimat di bawah ini
1. Semua bintang film memakai sabun Lux
2. Sebagian pemakai sabun Lux adalah bintang film
3. Orang pintar minum Tolak Angin
4. Semua pegawai negeri adalah penerima gaji
5. Semua benda yang dipanasi memuai
6. Semua mahasiswa calon sarjana
7. Semua filsuf adalah manusia
8. Sebagian bukan filsuf bukan kera
9. Semua filsuf bukan kera
10. Sebagian bukan filsuf bukan-bukan kera
DAFTAR PUSTAKA

Abbas Hamami M. 1980. Di Sekitar Masalah Ilmu Suatu Problema Filsafat.


Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.

Abu Hanafiah. 1950. Rintisan Filsafat. Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.

Acquaviva, Gary J. 2000. Values, Violence, and Our Future.

Amsterdam/Atlanta, GA. Alex lanur OFM. 1983. Logika Selayang Pandang.

Jogjakarta: Kanisius.

Alim. 1975. Pokok-Pokok Filsafat. Jilid I. Senat Mahasiswa Extension IKIP Surabaya
di
Pamekasan.

. 1976. Dasar-Dasar Menyusun Skripsi. Senat Mahasiswa Extension IKIP Surabaya


di
Pamekasan.

Burhanuddin Salam. 1997. Logika Materiil (Filsafat Ilmu Pengetahuan). Jakarta: Rineka

Cipta. Conny R. Semiawan, I Made Putawan, dan Th. I. Setiawan. 1998. Dimensi Kreatif

Dalam Filsafat
Ilmu. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Edwards, Rem B. (Ed.). 1995. Formal Axiology and Its Critics. Amsterdam/Atlanta. GA. XIV.

Ensiklopedi Indonesia. 1992. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

E.N.S.I.E. 1955. Filsafat: Bagian Sistematis. Keluarga Mahasiswa Tri Tunggal Pusat

Yogyakarta. E. Sumaryono. 1999. Dasar-Dasar Logika. Jogjakarta: Penerbit Kanisius.

Forrest, Frank G. 1994. Valuemetrics: The Science of Personal and Professional Ethics.
Amsterdam/Atlanta, GA, XVIII.

Fudyartanta, R. B. S. 1974. Epistemologi. Yogyakarta: Wara Widyani.

H.A. Dardiri. 1986. Humaniora, Filsafat, dan Logika. Jakarta:

Rajawali.

Haag, H. 1994. Theoretical Foundation of Sport Science as a Scientific Discipline:


Contribution to a Philosophy (Meta-Theory) of Sport Science, Schourdorf,
Verlaag
Karl Hoffmann, Federal Republic of Germany.

Heri Santoso dan Listiyono Santoso, 2003, Filsafat Ilmu Sosial: Ikhtiar Awal Pribumisasi
Ilmu- Ilmu Sosial, Gama Media, Yogyakarta.
I.R. Poedjawijatna. 1963. Pembimbing Ke Alam Filsafat. Jakarta: Pembangunan.

. 1969. Logika: Filsafat Berpikir. Jakarta: Obor.


. 1991. Tahu dan Pengetahuan: Pengantar ke Ilmu dan Filsafat.
Jakarta: Rineka Cipta.

Jujun S. Suriasumantri. 1986. Ilmu dalam Perspektif Moral Sosial dan Politik, Jakarta:
Gramedia.

_. 2002. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar


Harapan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1988. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-
Balai
Pustaka.

Kattsof, Louis O. 1992. Pengantar Filsafat. Jogyakarta: Tiara Wacana.

Kompas, 11 Februari 2003. (Moh Sholeh-Sahuri ”Makna Pengorbanan Ismail dalam


Era
Sekarang”).

Kompas, 26 Oktober 2003 (Sawitri S.S ”Agresi Sosial”).

Kompas, 23 Juni 2004. (Handrawan Nadesul ”Sekolah

Moral”).

Langeveld, M. J. 1961. Menuju Ke Pemikiran Filsafat. Jakarta:

Pembangunan. Loren Bagus. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Made Pramono. 2005. Filsafat Ilmu (Kajian Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis),
Surabaya: Unesa University Press.

M. Solly Lubis. 1994. Filsafat Ilmu dan Penelitian. Bandung: Mandar Maju.

Marinoff, Lou. 1999. Plato Not Prozac: Applying Philosophy to Everyday Problems.
New
York: Harpercollins Publisher.

Moh. Hatta. 1964. Pengantar Kejalan Ilmu dan Pengetahuan. Jakarta: Pembangunan.

Molina. 1997. Armando Our Ways, Values and Character. Rem B. Edwards (ed.).
Amsterdam/Atlanta, GA. VIII.

Mundiri. 1994. Logika. Jakarta: PT. Praja Grafindo Persada.

Paryana S. R. 1963. Alam Pikiran. Bandung: Penerbitan

Sumur.
Poespoprodjo dan EK. T. Gilarso. 1999. Logika Ilmu Menalar: Dasar-dasar Berpikir
Tertib, Logis,Kritis, Dialektis. Bandung: Pustaka Grafika.

Pos, H. J. 1971. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Surabaya: Sofia.

Rafar, Jan Hendrik. 1995. Pengantar Logika. Asas-Asas Penalaran Sistematis.


Jogjakarta: Penerbit Kanisius.
Soetandyo W. 1996. Masyarakat Baru. Surabaya:

Unair. Sukirin, R. 1967. Epistemologi. Yogyakarta:

IKIP.

Surya, 26 Desember 2003. (“Sukses Kloning Rusa Liar Pertama”).

Sutrisno Hadi. 1974. Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas


Psikologi
UGM.

T. Jacob. 1992. Perspektif Perkembangan Ilmu: Spesialisasi dan Integrasi, dalam


Jurnal
Filsafat, seri 11. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.

The Liang Gie. 1984. Konsepsi Tentang Ilmu. Yogyakarta: Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi.

. 2000. Pengantar Filsafat Ilmu Edisi Kedua (Diperbaharui).


Yogyakarta: Liberty.

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta:

Liberty. Whitehead, A.N. 1953. Science and the Modern World. Cambridge.

Van Peursen, C.A. 1985. Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu.
Jakarta:
Gramedia.

Sumber online:

http://id.wikipedia.org/wiki/Logika

http://id.wikipedia.org/wiki/Kecerdasan_logika

Anda mungkin juga menyukai