SKRIPSI
SAFRIDA BUDIARTI
121402028
PERSETUJUAN
Pembimbing 2 Pembimbing 1
Diketahui/disetujui oleh
Program Studi S1 Teknologi Informasi
Ketua,
PERNYATAAN
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, kecuali beberapa
kutipan dan ringkasan yang masing-masing telah disebutkan sumbernya.
Safrida Budiarti
121402028
Puji dan syukur penulis sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta restu-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana.
Pertama, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Romi Fadillah
Rahmat, B.Comp.Sc., M.Sc selaku pembimbing pertama dan Ibu Ulfi Andayani,
S.Kom., M.Kom selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu serta
tenaganya untuk membimbing penulis dalam penelitian serta penulisan skripsi ini.
Tanpa inspirasi serta motivasi yang diberikan oleh kedua pembimbing, tentunya
penulis tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Dr. Sawaluddin, M.IT sebagai dosen pembanding pertama dan
Bapak Ivan Jaya, S.Si.,M.Kom sebagai dosen pembanding kedua yang telah
memberikan masukan serta kritik yang bermanfaat dalam penulisan skripsi ini.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua dosen serta pegawai di lingkungan
Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi yang turut membantu serta
membimbing penulis selama proses perkuliahan.
Penulis tentunya tidak lupa berterima kasih juga kepada kedua orang tua penulis, yaitu
Bapak Sastro dan Ibu Suraya yang telah membesarkan penulis dengan sabar dan
penuh kasih sayang, serta doa dan dukungan berupa moral maupun materiil yang
selalu menyertai selama ini. Penulis juga berterima kasih kepada seluruh anggota
keluarga penulis yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada sahabat seperjuangan di kampus yang telah
memberikan dukungan dan bantuan selama masa perkuliahan ini, khususnya Nelam
Mariani Nasution, Nur Amalia, Nabila Hutagalung, Ramadan Putra Siregar, Joko
Kurnianto, serta seluruh teman-teman angkatan 2012 dan mahasiswa Teknologi
Informasi lainnya yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu.
ABSTRAK
ABSTRACT
DAFTAR ISI
Hal.
PERSETUJUAN i
PERNYATAAN ii
UCAPAN TERIMA KASIH iii
ABSTRAK iv
ABSTRACT v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 3
1.3. Tujuan Penelitian 3
1.4. Batasan Masalah 3
1.5. Manfaat Penelitian 4
1.6. Metodologi Penelitian 4
1.7. Sistematika Penulisan 5
5.2. Saran 48
DAFTAR PUSTAKA 49
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB 1
PENDAHULUAN
Pengolahan citra digital merupakan proses yang bertujuan untuk memanipulasi dan
menganalisis citra dengan bantuan komputer. Pengolahan citra memiliki beberapa
fungsi diantaranya dapat digunakan sebagai proses memperbaiki kualitas suatu
gambar, sehingga dapat lebih mudah diinterpretasikan oleh mata manusia dan juga
dapat digunakan untuk mengolah informasi yang terdapat pada suatu gambar untuk
keperluan pengenalan objek secara otomatis. Perkembangan teknologi saat ini sangat
cepat, sistem pengenalan sangat diperlukan untuk memperkecil error yang ada.
Pengolahan citra digital merupakan salah satu jenis teknik untuk menyelesaikan
masalah mengenai pemrosesan gambar. Gambar akan diolah sedemikian rupa
sehingga gambar tersebut dapat lebih mudah untuk diproses dan diubah menjadi
sebuah informasi. Pengenalan wajah down syndrome melalui citra wajah sangat
diperlukan mengingat banyaknya ciri – ciri yang tampak berbeda dengan wajah
normal.
Menurut (Gunahardi, 2005) Down Syndrome adalah suatu kumpulan gejala akibat
dari abnormalitas kromosom, biasanya kromosom 21 yang tidak dapat memisahkan
diri selama pembelahan sehingga terjadi individu dengan 47 kromosom. Kelainan
genetik yang terjadi pada kromosom 21 yang dapat dikenal dengan melihat manifestas
klinis yang cukup khas. Kelainan pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental
ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr. John Longdon Down. Karena ciri-
ciri yang tampak berbeda seperti tinggi badan yang relatif pendek, kepala mengecil,
hidung yang datar menyerupai orang Mongoloid maka sering juga dikenal dengan
mongoloisme pada saat itu.
Walaupun down syndrome memiliki ciri khusus pada wajah mereka, namun
mereka memiliki kesamaan wajah dengan orang tua dan saudara mereka dalam
penampilan daripada dengan orang lain sesama down syndrome (Down’s Syndrome
Scotland, 2009) sehingga cukup kompleks untuk membedakannya. Hal tersebut dapat
diminimalisir dengan mengggunakan pengolahan citra. Penelitian ini dilakukan untuk
identifikasi awal jenis dari wajah down syndrome yang diderita anak.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang sudah dilakukan diatas maka penulis
mengusulkan sebuah cara alternative yang sedikit berbeda dalam pengklasifikasiannya
yaitu jenis wajah yang diusulkan. Dalam penelitian terdahulu hanya mengidentifikasi
wajah Down Syndrome dan normal saja. Penulis mengusulkan 3 jenis wajah yaitu
mosaik, trisomi 21 dan normal. Dalam identifikasi wajah down syndrome dengan
menerapkan pendekatan Probabilistic Neural Network untuk identifikasinya dan
untuk fitur ekstraksinya menggunakan Invariant Moment.
1.2.Rumusan Masalah
Gejala yang muncul akibat down syndrome dapat bervariasi, mulai dari yang tidak
tampak sama sekali, tampak minimal, sampai muncul tanda yang khas. Walaupun
down syndrome memiliki ciri khusus pada wajah mereka, namun mereka memiliki
kesamaan wajah dengan orang tua dan saudara mereka sehingga cukup sulit untuk
membedakan jenis wajah down syndrome. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya
pendekatan untuk pendeteksian wajah down syndrome sehingga jenis down syndrome
dapat diklasifikasi menjadi beberapa kelas.
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengklasifikasikan wajah down syndrome pada
anak- anak melalui citra wajah menggunakan metode Probabilistic Neural Network.
1.4.Batasan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis memberikan batasan ruang masalah agar tidak terjadi
kesalahan pada saat penelitian. Batasan masalah dalam melakukan proses penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Training dan testing dilakukan dengan objek wajah saja.
2. Karakteristik yang dilakukan dalam penelitian meliputi area wajah seperti
mata dan mulut.
1.5.Manfaat Penelitian
1.6.Metodologi Penelitian
Pada tahap ini dilakukan evaluasi serta analisis terhadap hasil yang telah
didapatkan melalui implementasi metode Probabilistic Neural Network (PNN)
dalam pengklasifikasian wajah down syndrome.
1.7.Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dari skripsi ini terdiri atas lima bagian utama sebagai berikut:
Bab 1: Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang dari penelitian yang dilaksanakan, rumusan masalah,
tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB 2
LANDASAN TEORI
Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental
anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom.Kromosom ini
terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat
terjadi pembelahan.Seseorang yang mengalami down syndrome memiliki 47
kromosom dalam setiap sel tubuhnya, sedangkan orang biasa hanya memiliki 46
kromosom.
Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental ini
pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr. John Longdon Down.Karena ciri-ciri
yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung
yang datar menyerupai orang Mongoloid maka sering juga dikenal dengan
mongoloisme. Pada tahun 1970 para ahli dari Amerika dan Eropa merevisi nama dari
kelainan yang terjadi pada anak tersebut dengan merujuk penemu pertama kali
sindrom ini dengan istilah Down Syndrome dan hingga kini kelainan ini dikenal
dengan istilah yang sama.
Pada Gambar 2.1 memiliki karakteristik yang umum diderita anak down syndrome
yaitu:
a. Mata
Kedua mata memiliki jarak yang jauh. Down syndrome memiliki mata yang hampir
sama yaitu sedikit miring ke atas. Selain itu, ada lipatan kecil pada kulit secara vertical
antara sudut dalam mata..Lipatan tersebut dikenal dengan lipatan epicanthic atau
epicanthus. Mata mempunyai bintik putih atau kuning kurang terang di sekitar pinggir
selaput pelangi. Bintik itu disebut dengan brushfield yang dinamai sesuai dengan
nama penemunya yaitu Thomas Brushfield.
b. Mulut
Rongga mulut sedikit lebih kecil dan lidah sedikit lebih besar dari ukuran anak pada
umumnya. Kombinasi ini membuat sebagian anak mempunyai kebiasaan menjulurkan
lidah.
2. Translokasi
Pada Gambar 2.2 merupakan wajah translokasi, pada tipe ini sebagian dari kromosom
lain tersangkut pada kromosom 21. Hal ini terjadi ketika bagian atas yang kecil dari
kromosom 21 dan sebuah kromosom lain pecah, lalu kedua bagian yang tersisa saling
melekat satu sama lain pada bagian ujungnya. Proses saling melekat tersebut
dinamakan translokasi. Kromosom yang terlibat hanya tertentu saja, yaitu kromosom
yang memiliki ujung-ujung kecil yang secara genetic tidak aktif, yang dapat putus dan
hilang tanpa menimbulkan efek buruk seperti kromosom 13, 14, 15, 22 atau
kromosom 21 lainnya kasus seperti ini hanya terjadi 3 – 4% pada anak-anak
penyandang down syndrome.
Ketika mereka dilihat dari depan, anak down syndrome biasanya mempunyai
karakteristik wajah yang bulat. Dari samping, bentuk wajah mereka cenderung datar.
b. Bentuk Kepala
Sebagian besar penyandang down syndrome memiliki bagian kepala yang sedikit
rata.Ini dikenal dengan istilah brachycephaly.
c. Mata
Kedua mata memiliki jarak yang jauh. Down syndrome memiliki mata yang hampir
sama yaitu sedikit miring ke atas. Selain itu, ada lipatan kecil pada kulit secara vertical
antara sudut dalam mata..Lipatan tersebut dikenal dengan lipatan epicanthic atau
epicanthus.Mata mempunyai bintik putih atau kuning kurang terang di sekitar pinggir
selaput pelangi. Bintik itu disebut dengan brushfield yang dinamai sesuai dengan
nama penemunya yaitu Thomas Brushfield.
d. Rambut
e. Leher
Bayi-bayi yang baru lahir dengan mengidap down syndrome memiliki kulit berlebih
pada bagian belakang leher namun hal ini biasanya berkurang seraya usia mereka
bertambah. Anak-anak yang lebih besar dan dewasa cenderung memiliki leher yang
pendek dan lebar.
f. Mulut
Rongga mulut sedikit lebih kecil dan lidah sedikit lebih besar dari ukuran anak pada
umumnya.Kombinasi ini membuat sebagian anak mempunyai kebiasaan menjulurkan
lidah.
g. Tangan
Kedua tangan cenderung lebar dengan jari-jari yang pendek.Jari klingking kadang-
kadang hanya memiliki satu sendi, bukan dua seperti biasanya. Jari kelingking
mungkin sedikit melengkung ke arah jari-jari lain. Keaadaan ini disebut dengan
istilah klinodaktili.Telapak tangan hanya memiliki satu alur yang melintang dan
apabila ada dua garis, keduanya memanjang melintasi tangan.
h. Kaki
Bentuk jari kaki cenderung pendek dan gemuk dengan jarak yang lebar antara ibu jari
dengan telunjuk.Hal ini disertai dengan sesuatu alur pendek pada telapak kaki yang
berawal dari celah antar jari lalu ke belakang sepanjang beberapa sentimeter.
i. Ukuran tubuh
Berat badan penyandang down syndrome biasanya kurang dari pada berat rata-
rata.Panjang tubuhnya sewaktu lahir juga lebih pendek.Semasa anak-anak, mereka
tumbuh dengan lancer tetapi lambat.Sebagai orang dewasa umumnya mereka lebih
pendek dari anggota keluarga yang lainnya.Tinggi mereka berkisar sekitar dibawah
tinggi rata-rata orang normal.
Bentuk citra digital yang dapat dipakai diantaranya citra biner, skala keabuan, warna
dan warna berindeks.
2.2.1 Grayscale
Dalam fotografi dan komputasi, gambar digital grayscale adalah gambar dimana nilai
setiap piksel adalah satu sampel, artinya hanya informasi intensitas saja. Gambar
semacam ini juga dikenal sebagai hitam-putih, terdiri dari nuansa abu-abu, bervariasi
dari hitam pada intensitas paling lemah hingga putih pada yang terkuat (Stephen,
2006). Proses awal yang banyak dilakukan dalam image processing adalah mengubah
citra berwarna menjadi citra gray-scale, hal ini digunakan untuk 10 menyederhanakan
model citra. Seperti telah dijelaskan di depan, citra berwarna terdiri dari 3 layer matrik
yaitu R- layer, G-layer dan B-layer. Sehingga untuk melakukan proses-proses
selanjutnya tetap diperhatikan tiga layer di atas.
Bila setiap proses perhitungan dilakukan menggunakan tiga layer, berarti
dilakukan tiga perhitungan yang sama. Sehingga konsep itu diubah dengan mengubah
3 layer di atas menjadi 1 layer matrik gray-scale dan hasilnya adalah citra gray-scale.
Untuk mengubah citra berwarna yang mempunyai nilai matrik masing-masing r, g dan
b menjadi citra gray-scale dengan nilai s, maka konversi dapat dilakukan dengan
mengambil rata-rata dari nilai r, g dan b sehingga dapat dituliskan menjadi:
I (x,y) = ( , ) + ( , )+ ( , )3 (2.1)
Keterangan:
I (x,y) = nilai intensitas citra grayscale
R (x,y) = nilai intensitas warna merah dari citra asal
G (x,y) = nilai intensitas warna hijau dari citra asal
B (x,y) = nilai intensitas warna biru dari citra asal
pengolahan citra. Penigkatan kontras citra dalam penelitian ini menggunakan metode
contrast limited adaptive histogram equalization (CLAHE). CLAHE merupakan
metode untuk mengatasi keterbatasan standar pemerataan histogram pada suatu citra.
CLAHE merupakan metode kelanjutan dari metode adaptive histogram equalization
(AHE).
Metode AHE cendrung masih banyak mengalami masalah noise di daerah yang
relatif homogen dari suatu citra dan dengan CLAHE dapat mengatasi masalah tersebut
dengan membatasi peningkatan kontrast khususnya di daerah yang homogen (Sharma,
2013). Untuk mengontrol kualitas citra, CLAHE mempunyai dua parameter yaitu
block size dan clip limit yang memiliki beberapa nilai default dan juga bisa ditentukan
oleh pengguna (Singh et al., 2015). Algoritma CLAHE dapat dijelaskan sebagai
berikut (Ramya, 2012)
Langkah 1 : Citra asli dibagi menjadi beberapa bagian citra yang tiap bagian
citra berukuran MxN.
(2.4)
Pada histogram yang asli, piksel akan di clipped jika jumlah piksel lebih besar
(2.5)
(i) merupakan jumlah piksel dalam setiap derajat keabuan bagian citra dan
‘i’ adalah jumlah derajat keabuan. Dengan menggunakan persamaan 2.5. contrast
limited histogram bagian citra dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2.6.
(2.6)
Akhir dari distribusi pada persamaan 2.7, sisa jumlah piksel yang di clipped
dinyatakan sebagai , tahap distribusi piksel dirumuskan dalam persamaan 2.7.
= (2.7)
Metode ini memindai semua piksel dari yang minimum hingga yang maksimum dari
niali graylevel. Jika frekuensi piksel graylevel adalah , metode ini akan
mendistribusikan satu piksel nilai graylevel. Jika pencarian berakhir sebelum
distribusi semua piksel, maka akan dihitung ulang sesuai dengan persamaan 2.7
hingga semua piksel terdistribusi. Dengan demikian akan diperoleh histogram yang
baru.
Garis utama adalah fitur wajah, namun tidak dapat bergantung sepenuhnya pada garis
tersebut untuk melakukan otentikasi wajah karena kesamaan yang mungkin terjadi
diantara wajah manusia yang berbeda. Metode pengenalan wajah dapat didefinisikan
sebagai proses penentuan identifikasi objek. Dalam pengolahan citra, filter gabor
adalah filter linier yang digunakan untuk analisis tekstur, yang pada dasarnya
menganalisis apakah ada konten tertentu pada gambar dalam arah tertentu di wilayah
local sekitar titik atau wilayah analisis. Representasi frekuensi dan orientasi filter
gabor serupa dengan system penglihatan manusia terutama ditemukan pada
representasi tekstur dan diskriminasi. Dalam domain spasial, filter gabor 2D adalah
fungsi kernel Gaussian yang dimodulasi oleh gelombang bidang sinusoidal. Sel sel
sederhana dikorteks visual otak mamalia dapat dimodelkan oleh fungsi Gabor
(Marcelja 1980). Dengan demikian, analisis citra dengan filter gabor dianggap serupa
dengan persepsi pada system penglihatan manusia. Untuk membangun kernel gabor
digunakan persamaan (putra 2009) berikut :
Dengan:
i = √−1
u adalah frekuensi dari gelombang Sinusodial
θ adalah kontrol terhadap orientasi dari fungsi Gabor
standar deviasi Gaussian Envelope
x,y adalah koordinat dari Gabor Filter.
pengulangan pola atau pola-pola atau yang ada pada suatu daerah bagian citra.
Ekstraksi fitur memiliki tujuan yaitu:
Memperkecil jumlah data
Mengambil informasi yang penting dari data yang diolah
Mempertinggi presisi pengolahan
Nilai fitur digunakan oleh pengklasifikasi untuk mengenali unit masukan dengan unit
target keluaran dan memudahkan pengklasifikasian karena nilai ini mudah untuk
dibedakan(Kartar, 2011). Fitur yang baik memiliki syarat berikut, yaitu mudah dalam
komputasi, memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi dan besarnya data dapat
diperkecil tanpa menghilangkan informasi penting (Putra, 2009).
Pemrosesan citra, remote sensing, pengenalan bentuk dan klasifikasi dapat dilakukan
dengan menggunakan fitur invariant moment. Karakteristik suatu objek yang secara
unik mempresentasikan bentuknya dapat diberikan melalui invariant moment.
Pengenalan bentuk invariant dilakukan dengan klasifikasi dalam ruang fitur momen
invariant multi dimensi. Beberapa teknik yang telah dikembangkan tentang penurunan
fitur invariant dari moment objek untuk representasi dan pengenalan objek. Teknik ini
dibedakan oleh definisi moment nya seperti jenis data yang dieksploitasi dan metode
untuk menurunkan nilai invariant dari moment citra.
(Hu, 1962) yang pertama menghimpun dasar matematika untuk moment invariant
dua dimensi dan menunjukkan aplikasinya untuk pengenalan bentuk. Hu
mendefinisikan 7 nilai descriptor bentuk yang dihitung dari moment pusat melalui tiga
derajat yang bebas terhadap translasi, skala dan arah objek. Invariant translasi dicapai
dengan menghitung moment yang dinormalisasikan dengan pusat gravitasi sehingga
pusat dari masa distribusi berada pada moment pusat. Nilai-nilai tersebut bersifat
independen terhadap translasi, rotasi dan perskalaan. Secara tradisional, moment
invariant dihitung berdasarkan informasi yang diberikan oleh boundary bentuk dan
daerah interiornya (Prokop & Reeves, 1992). Perhitungan invariant moment diambil
dan diringkas dari (Hu, 1962) sebagai berikut. Diberikan sebuah fungsi f(x,y) moment
didefinisikan oleh:
= ∑ ∑ ( , )
(2.9)
merupakan moment dua dimensi dari fungsi f(x,y). Order moment adalah (p+q)
dimana p dan q adalah bilangan asli. Untuk implementasi di dalam bentuk digital
dinyatakan pada persamaan 2.8.
= ( , )
(2.10)
Dimana m merupakan moment yang akan dicari, p dan q merupakan integer yaitu
0,1,2,,,,H merupakan tinggi citra, W merupakan lebar citra, x merupakan baris, y
merupakan kolom, dan f(x,y) merupakan nilai intensitas citra. Selanjutnya moment
pusat untuk suatu citra dinyatakan pada persamaan 2.11.
= ( − x) ( − y ) ( , )
(2.11)
Dimana nilai moment pusat x merupakan hasil pembagian dari nilai moment pusat
dan sedangkan nilai moment pusat y diperoleh dari hasil pembagian dari nilai
moment pusat dan yang dinyatakan pada persamaan 2.12.
x = dan y = (2.12)
=
Maka akan diperoleh nilai normalisasi moment pusat dari setiap objek
, , , , , dan . Setelah itu masuk ke dalam persaman 2.14 untuk
mendapatkan tujuh nilai invariant moment untuk setiap objek.
= +
= ( + ) + 4 (2.15)
= ( −3 ) + (3 + )
= ( − ) + ( + )
= ( −3 )( − ) [( − ) − (3 + ) ] + (3 − )
( + ) [3( + ) -( + ) ]
= ( −3 ) [( + ) −( − ) ]+ 4 ( + )( − )
= (3 − )( − ) [( − ) − 3( + ) ] –( − 3 )
( + ) [3( + ) -( + ) ]
Tujuh invariant moment ini, , =1,2,…,7 dilakukan oleh Hu, diperlihatkan menjadi
bebas terhadap rotasi. Akan tetapi nilai-nilai tersebut dihitung berdasarkan batasan
luar (boundary) dan daerah bagian dalam (interior region).
( ) = ∑ (2.16)
Misal XA1, …,Xai, …, X-an adalah variabel acak terikat identic terdistribusi sebagai
suatu variabel acak X yang mana fungsi distribusi F(X) = P[x≤X] pasti kontinyu.
Kondisi Parzen pada fungsi bobot (y) sebagai berikut:
| ( )| < ∞ (2.17)
Di mana sup menunjukkan supremum.
∝
∫ ∝
| ( )| <∝ (2.18)
lim| (y)|=0 (2.19)
Konsistensi yang terdefinisi menyebutkan bahwa ekspektasi kesalahan semakin kecil
dengan estimasi berdasarkan pada kumpulan data yang lebih besar, sangat penting
karena hal itu berarti bahwa distribusi yang benar akan didekati dengan cara yang
halus. (Setiawan & Wiweka, 2012).
Dimana :
i = jumlah pola
m = jumlah pola pelatihan
XAi = pola pelatihan ke ith dari kategori A
= parameter perata
dan
∝
∫ ∝
( ) = 1 (2.20)
Pada persamaan (7), = (n) dipilih sebagai fungsi dari n sedemikian sehingga:
lim →∝ ( )= 0 (2.21)
Terbukti bahwa fungsi estimasi fn(X) konsisten dalam mean kuadrat yang berarti
bahwa:
E|fn(X)- f (X)|2→ 0 as n →∝ (2.22)
Hasil Parzen bisa dikembangkan untuk estimasi dalam kasus khusus dimana kernel
multivariasi adalah hasil dari kernel univariasi. Dalam kasus tertentu kernel Gaussian,
estimasi multivariasi dapat dinyatakan sebagai berikut:
( ) ( )
( ) = ∑ exp[ −( − ] (2.23)
( ) /
(Pandit et al., 2015) dengan menerapkan PCA dan LDA dalam ekstraksi fitur dan
neural network dalam pengklasifikasiannya terhadap citra wajah cacat dari lahir
dengan wajah abnormal menghasilkan nilai akurasi sebesar 87%.
(Burcin et al., 2011) menginput 20 sampel wajah diantaranya 10 citra wajah anak
down syndrome dan 10 citra wajah normal untuk data training. Setelah ditentukan
training data set digunakan LBP ekstraksi fitur untuk masing masing data dan untuk
klasifkasi wajah normal dan down syndrome digunakan Euclidean distance dan
Changed Manhattan distance. System ini dapat mengatasi masalah pada ekspresi
wajah yang berbeda, ras yang berbeda serta tambahan yang terdapat pada wajah
seperti kacamata, rambut dan lain-lain.
Beberapa penelitian diatas dapat dilihat dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu
No Judul Peneliti Tahun Metode
Down Syndrome Diagnosis Saraydemir, et 2011 kNN dan SVM
1 Based on Gabor Wavelet al
Transform
Designing Fuzzy Inference Keikhayfarzane 2011 GA(Genetic
2 System to Diagnosis down h, et al. Algorithm)
Syndrome by Face
Processing
Down Syndrome Detection Zhao, et al. 2013 SVM
3 from Facial Photogtaphs
using Machine Learning
Techniques
Automated Down Zhao, et al 2013 SVM dan
4 Syndrome Detection using RBF
Facial Photographs
PCA and LDA Method Pandit, et al. 2015 PCA dan LDA
5 with Neural Network for
Primary Diagnosis of
Genetic Syndrome
Effects of Training Set Saraydemir, et 2015 kNN dan SVM
6 Dimension on Recognition al.
of Dysmorphic Faces with
Statistical Classifiers
Down Syndrome Burcin, et al. 2011 Euclidean
7 Recognition using Local distance dan
Binary Pattern and Changed
Stastical Evaluation of the Manhattan
System distance
Recognition of Down Erogul, et al. 2009 ANN
8 Syndrome using Image
Analysis
Atypical development of Dimitriou, et al 2014 Inversion Effect
9 configural face recognition
BAB 3
Pada bab ini akan dibahas mengenai analisis dan perancangan sistem terhadap data
yang menggunakan algoritma Probabilistic Neural Network untuk menemukan solusi
dalam mengklasifikasikan citra wajah down syndrome. Pada tahap perancangan akan
dibahas mengenai flowchart sistem serta tampilan antarmuka sistem.
3.1.Arsitektur Umum
Metode yang diajukan penulis untuk mengklasifikasi wajah down Syndrome terdiri
dari beberapa proses. Adapun proses yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
Citra akan diproses dari citra yang diinput yang kemudian akan dicropping terlebih
dahulu kemudian memasuki proses pre-processing image. Dalam proses ini citra akan
mengalami proses grayscale dan CLAHE (Contrast Limited Adaptive Histogram
Equalization) yang pada akhirnya menghasilkan citra hitam dan putih dengan kontras
yang lebih tajam dan mudah untuk dikenali garis tepinya. Kemudian akan dilakukan
tahap selanjutnya yaitu proses segmentation dimana setiap citra akan memunculkan
ciri - ciri khusus pada citra. Tahapan selanjutnya setelah dari segmentasi adalah
mengekstraksi fitur atau ciri dari hasil citra. Pada peneltian ini penulis menggunakan
metode invariant moment. Tahapan akhir adalah pengklasifikasian citra dengan
menggunakan algoritma PNN. penerapan metode Probabilistic Neural Network
(PNN) untuk mengenali mana sajakah bentuk yang mengandung ciri khas dari wajah
down syndrome dan hasil akhir akan menjadi lebih akurat dengan penerapan algoritma
ini. Adapun arsitektur umum yang mendeskripsikan setiap metodologi pada panelitian
ini ditunjukkan pada Gambar 3.1.
dan data uji. Proses training dibutuhkan data untuk melatih sistem mengenali wajah
mosaic down syndrome, trisomi 21 dan normal. Kemudian pada saat proses testing
data yang digunakan adalah sebuah citra yang akan diklasifikasi oleh sistem, dengan
demikian diketahui jenis wajah mosaic, trisomi 21 dan normal. Citra yang diambil
dengan memiliki format .jpeg.
3.2.1.Capturing Image
Citra wajah yang digunakan untuk input adalah citra yang menampung 1 wajah.
Adapun input yang akan diproses pada tahap ini merupakan citra yang diambil dari
depan wajah untuk diproses ke tahap selanjutnya.
1 Mosaik
2 Mosaik
3 Mosaik
4 Mosaik
6 Mosaik
7 Mosaik
8 Mosaik
9 Mosaik
10 Mosaik
11 Trisomi 21
12 Trisomi 21
13 Trisomi 21
15 Trisomi 21
16 Trisomi 21
17 Trisomi 21
18 Trisomi 21
19 Trisomi 21
20 Trisomi 21
21 Normal
22 Normal
24 Normal
25 Normal
26 Normal
27 Normal
28 Normal
29 Normal
30 Normal
3.3.Pre-processing
Pre-processing image adalah tahap awal dalam penelitian ini. Tahap ini bertujuan
untuk memproses citra yang masuk agar diubah menjadi citra yang siap untuk
diproses lebih lanjut. Adapun tahapan dalam pre-processing image terdiri dari proses
grayscale, CLAHE (Contrast Limited Adaptive Histogram Equalizaton) dan Gabor
filter.
3.3.1. Grayscale
Proses grayscale merupakan proses merubah warna red, green, blue (RGB) menjadi
graylevel. Proses ini digunakan untuk mempermudah sistem untuk mengetahui nilai
dan untuk mempermudah ke proses selanjutnya yaitu CLAHE. Proses grayscale pada
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.3.
= ( , )
dimana : : moment
: tinggi citra
: lebar citra
: baris dan kolom
( , ) : nilai intensitas citra
Nilai moment dari Gambar 3.4 dapat dilihat pada Tabel 3.2:
x y
211.46682865768045 233.59838704926807
Tahap terakhir untuk memperoleh nilai dari invariant moment pada setiap citra
dilakukan dengan menghitung nilai . Setelah nilai dari diperoleh, maka nilai
tersebut akan di definisikan |log ( | | ) | . Nilai tujuh invariant moment dari citra adalah
sebagai berikut:
3.6.Classification
Tahap selanjutnya setelah didapatkan nilai dari feature extraction adalah memasukkan
nilai moment tersebut sebagai nilai input pada proses Neural Network. Pada proses
dari data testing akan dibandingkan dengan nilai invariant moment dari data training
yang sudah terlebih dahulu disimpan di dalam database sehingga memudahkan sistem
untuk mengenali citra. Hasil dari proses tersebut akan mendapatkan nilai fA(X) yang
berarti penjumlahan sederhana dari distribusi Gaussian multivariasi yang kecil yang
terpusat pada setiap sampel pelatihan. Adapun hasil dari proses Probabilistic Neural
Perancangan antarmuka sistem yang tepat diperlukan agar perangkat lunak yang
dikembangkan dapat dengan mudah digunakan oleh pengguna, sehingga tujuan dari
pengembangan perangkat lunak tercapai. Berikut ini adalah rancangan sistem dari
sistem Klasifikasi wajah Down Syndrome.
Gambar 3.6 merupakan tampilan utama dari sistem Klasifikasi Wajah Down
Syndrome. Berikut merupakan penjelasan dari Gambar 3.6:
2. Tombol Proses digunakan untuk memulai proses pengolahan citra yang telah
dipilih sebagai data uji sebelumnya.
3. Tampilan Image yang dipilih untuk diproses
4. Merupakan tampilan dari pre-processing yaitu grayscale dan CLAHE
5. Merupakan Tampilan dari proses setelah pre-processing yaitu image
segmentation
6. Bagian ini akan menampilkan nilai-nilai dari feature extraction sebagai bagian
dari penjelasan nilai yang telah didapat dari keseluruhan proses.
7. Bagian ini Menampilkan Hasil dari nilai – nilai yang telah dikasifikasi
8. Panel yang akan menampilkan hasil identifikasi dari citra yang diinput
Gambar 3.7. merupakan tamplan halaman training digunakan untuk menginput citra
ke dalam database agar mempermudah sistem dalam menentukan klasifikasi wajah
down syndrome. Berikut merupakan keterangan dari Gambar 3.7:
1. Merupakan tombol untuk membuka file yang akan dijadikan sebagai data latih
citra wajah mosaik, trisomi atau normal.
2. Tombol ini berfungsi untuk menetapkan citra sebagai data latih mosaik
3. Berfungsi untuk menghapus semua data latih mosaik yang telah di input.
BAB 4
Bab ini membahas hasil yang didapat dari penelitian yang sudah dilakukan, yang
terdiri dari tahap pre-processing, training dan testing dari implementasi algoritma
Probabilistic Neural Network dalam melakukan klasifikasi wajah down syndrome
yang telah dibahas pada Bab 3.
10
11
12
13
15
16
17
18
19
20
21
22
20
= × 100%
22
=91 %
2
= × 100%
22
=9%
Positif TP FP TP + FP
Negatif FN TN FN + TN
Jumlah TP + FN FP + TN TP + FP + FN + TN
Keterangan:
a. True positive, yang menunjuk pada banyaknya kasus yang benar-benar
menderita penyakit dengan hasil tes positif pula.
b. False positive, yang menunjukkan pada banyaknya kasus yang sebenarnya
tidak sakit tetapi test menunjukkan hasil yang positif.
c. True negative, menunjukkan pada banyaknya kasus yang tidak sakit dengan
hasil test yang negatif pula.
d. False negative, yang menunjuk pada banyaknnya kasus yang sebenarnya
menderita penyakit tetapi hasil test negatif.
Pada tahap ini akan dilakukan pengujian terhadap pada sistem. Pengujian data
dilakukan pada 5 citra mosaik, 6 citra trisomi 21, dan 11 citra normal. Ukuran
ykinerja hasil diagnosis dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Dari hasil pengujian didapat bahwa di mana 90.90% akurasi dari data testing
dengan total 22 sample data. Detail dari testing sample dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Keterangan:
a : Hits (dokumen yang relevan) P : Precision
b : Noise (dokumen yang tidak relevan) R : Recall
c : Missed (dokumen relevan yang tidak ditemukan)
Berdasarkan Tabel 4.12 rata-rata nilai precision adalah sebesar 88 % dan nilai
recall sebesar 88% dari skala 0% - 100%. Walaupun nilai precision sama dengan nilai
recall, tingkat keefektifan dari sistem temu kembali informasi pada penelitian ini
sudah dikatakan efektif. Keefektifan suatu sistem dinilai berdasarkan teori yang
dicetuskan oleh Lancaster (1991) yaitu relevan dan tidak relevan.Efektifitas dibedakan
menjadi dua bagian, yakni efektif jika nilai di atas 50% dan tidak efektif jika nilai
dibawah 50%. Kemudian kondisi ideal dari keefektifan suatu sistem klasifikasi teks
adalah apabila rasio recall dan precisionsama besarnya (1:1) (Lee Pao 1989).
BAB 5
Pada bab ini dijelaskan kesimpulan yang didapat dari hasil implementasi algoritma
Probabilistic Neural Network (PNN) pada proses klasifikasi wajah down
syndrome beserta saran-saran yag dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
untuk pengembangan ataupun riset selanjutnya.
5.1. kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Algoritma Probabilistic Neural Network (PNN) dapat mengklasifikasi wajah
down syndrome. Hal tersebut didukung oleh tingkat akurasi yang mencapai
91%.
2. Metode invariant moment merupakan metode ekstraksi ciri yang bagus dalam
mengenali objek.
5.2. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka terdapat beberapa saran
sebagai berikut:
1. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan sistem dapat mendeteksi ciri down
syndrome tidak dari wajah saja.
2. Dapat menggunakan ektraksi fitur berdasarkan teksur dan bentuk untuk
mendapatkan hasil yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA