Anda di halaman 1dari 106

REPRESENTASI DOMESTIFIKASI PEREMPUAN

DALAM FILM LITTLE WOMEN

SKRIPSI

Oleh :

META RAHAYU PUTRI

G.331.17.0083

PROGRAM STUDI S1 – ILMU KOMUNIKASI

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS SEMARANG

SEMARANG

2022
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama Meta Rahayu Putri
NIM
:G.331.17.0083
Jurusan :lImu Komunikasi
Fakultas :Teknologi Informasi dan Komunikasi

Menyatakan bahwa naskah skripsi yang berjudul "REPRESENTASI


DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM FILM LITTLE WOMEN ini
secara keseluruhan adalah hasil penelitian atau karya saya sendiri. Hal-hal yang

bukan karya saya dalam skripsi ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar

pustaka.
Apabila dikemudian hari terbuktu pernyataan saya tidak benar, maka saya

bersedia menerima sanksi akademik yang akan saya peroleh.

Semarang, 9 Juni 2022

Saya vang menvatakan

METERAI
TEMPEL
E32BAJX892987825

Meta RahayuPutri
G.331.17.0083
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Everything we hear is an opinion, not a fact.

Everything we see is a perspective, not the truth”

-Marcus Aurelius-

Atas rahmat dan karunia Tuhan YME dan alam semesta, peneliti telah

menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Skripsi ini akan dipersembahkan untuk:

• Saya sendiri, karena telah berhasil melewati segala hambatan dari dalam

dan luar diri sehingga skripsi ini selesai dengan baik.

• Ibu Hartatik, Ibu Sri Rahayu, dan seluruh keluarga.

• Ilmu Komunikasi Universitas Semarang kelas regular sore Angkatan 2017.

• Perempuan di seluruh dunia

vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan YME dan alam semesta yang telah memberikan

rahmat dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “Representasi Domestifikasi Perempuan Dalam Film Little Women”.

Selama menyusun skripsi ini, peneliti telah menerima bantuan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, peneliti menyampaikan terima kasih kepada:

1. Tuhan YME yang memberikan segala kemudahan dalam menyelesaikan

skripsi ini.

2. Segenap jajaran Dekan Fakultas Teknologi Informasi dan Komunikasi

Universitas Semarang yang telah memberikan jin dalam penyusunan

skripsi ini.

3. Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Semarang yang

telah memberikan ijin dan kemudahan dalam penyusunan skripsi guna

merampungkan studi ini.

4. Mbak Errika Dwi Setya Watie selaku dosen pembimbing yang dengan

sabar membimbing proses penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Hartatik dan Bapak Alm. Slamet Rahardjo selaku orang tua yang

mendoakan serta memotivasi kepada peneliti dalam menyelesaikan

skripsi ini.

6. Seluruh keluarga yang selalu memberi dukungan baik moral maupun

material.

7. Teman-teman Kelas Bunga Matahari (Timotius Andre, Rizka Trivarida,

Tiara Deya, Dianah, Dimas Bagus, Kristy Cahyaningrum, Febe


Fernando), terima kasih atas dukungan di hari-hari berat, dan

pendampingan di saat sedih dan senang.

8. Anggita Hairani a.k.a Awesome Senpai yang banyak sekali membantu

di saat sulit.

9. Mentari Adhalia a.k.a Mnkyfart dan Raina Rafika a.k.a Salmonmaki

tempat berbagi keluh kesah sehari-hari. Terima kasih atas dukungan dan

segala bantuan di saat mudah dan sulit dimanapun kalian berada,

semoga semesta segera mempertemukan kita.

10. Seluruh Warga Abyss server Bangben Impact dan Orang Beneran server

BDSM.

11. Meta Rahayu Putri. Terima kasih untuk tidak pernah berhenti.

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI ii

LEMBAR PENGESAHAN iii

LEMBAR PENGESAHAN iv

SURAT PERNYATAAN v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN vi

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 9

1.3. Tujuan 9

1.4. Manfaat Penelitian 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11

2.1. Film 11

2.1.1. Unsur Film 12

2.1.2. Jenis Film 12

2.2. Representasi 15

2.3. Domestifikasi Perempuan 17

iii
2.4. Perempuan Dalam Film 18

2.5. Teori Semiotika 21

2.6. Teori Semiotika Roland Barthes 23

2.7. Komunikasi Massa 27

2.8. Kerangka Berpikir 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 31

3.1 Objek Penelitian 31

3.2 Bentuk dan Strategi Penelitian 31

3.3 Data dan Sumber Data 32

3.3.1 Data Primer 32

3.3.2 Data Sekunder 33

3.4 Teknik Sampling 33

3.5 Teknik Pengumpulan Data 34

3.5.1 Pengamatan (Observasi) 34

3.5.2 Studi Pustaka 34

3.6 Triangulasi Data 35

3.7 Teknik Analisis Data 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 38

4.1 Gambaran Umum 38

4.1.1. Film Little Women 38

iv
4.1.2. Sinopsis Film Little Women 39

4.1.3. Karakter Dalam Film Little Women 41

4.2 Temuan Penelitian 45

4.3 Pembahasan 72

BAB V PENUTUP 78

5.1 Kesimpulan 78

5.2 Saran 79

DAFTAR PUSTAKA 81

v
ABSTRAK

Konstruksi gender yang melekat pada perempuan seringkali dikaitkan dengan

peran dan fungsinya yang mengarah pada domestifikasi. Domestifikasi pada perempuan

sendiri adalah suatu konsep dimana perempuan ditempatkan sebagai makhluk yang

berperan dalam urusan rumah tangga saja. Pada penelitian ini mengangkat topik tentang

representasi domestifikasi perempuan dalam film Little Women. Permasalahan yang

dibahas adalah bagaimana representasi domestifikasi perempuan dalam film tersebut.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode semiotika Roland

Barthes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan gender menyebabkan

perempuan tidak bebas dalam berkarya, perempuan tidak memiliki hak dan kesempatan

yang sama dengan laki-laki, perempuan yang identik dengan pekerjaan rumah tangga,

serta stereotip kodrat perempuan yang diharuskan menikah dan menjadi pendamping

laki-laki.

Kata Kunci : Film; Perempuan; Semiotika; Domestifikasi

ABSTRACT

Gender construction inherent in women is often associated with roles and

functions that lead to domestication. Domestication of women itself is a concept in where

women are placed as creatures who play a role in household affairs only. This research’s

topic is about the representation of women's domestication in the film Little Women. The

problem discussed is how to represent the domestication of women in the film. This study

uses a qualitative approach with the semiotic method of Roland Barthes. The results
show that gender inequality causes women not to be free to work, women do not have the

same rights and opportunities as men, women are identical with household work, and the

natural stereotype of women who are required to marry and become male companions.

Keywords : Film; Women; Semiotics; Domestication


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Film merupakan salah satu bentuk media massa yang sangat berpengaruh

dalam membentuk persepsi masyarakat. Dalam perkembangannya, sebuah karya

film diciptakan berdasarkan realitas tertentu. Keanekaragaman yang disajikan

dalam film menawarkan berbagai warna yang sesuai dengan fenomena-fenomena

yang terjadi di masyarakat. Film mampu menyampaikan pesan dalam bentuk verbal

dan nonverbal, oleh karena itu film disebut dapat menciptakan perspektif baru

dalam memahami suatu persoalan dan memaknai nilai-nilai di masyarakat. Hal ini

tidak terlepas dari potensi media yang dapat merepresentasikan suatu hal pada pola-

pola tertentu. Dalam teori komunikasi massa, McQuail (2005:32) mengungkapkan

bahwa film adalah presentasi dan distribusi dari tradisi lama sebuah hiburan yang

menawarkan cerita, sudut pandang, musik, drama, humor, dan trik teknis untuk

konsumsi popular.

Sama seperti media artistik lainnya, film memiliki sifat dasar dari media

lainnya yang terjalin dalam susunan beragam. Meskipun terdapat berbagai

kesamaan dengan media lainnya, film merupakan sesuatu yang unik (Pranajaya,

1999:6). Sebagai media yang tersusun oleh suara dan gambar, film memiliki

keunggulan karena penonton lebih mudah menangkap pesan dan makna yang

disampaikan. Oleh karena itu, film dapat memberikan pengalaman penonton untuk

mengikuti alur cerita dengan mendalam. Selain itu, film juga menjadi cermin atau

1
jendela masyarakat karena menyajikan nilai, norma, dan gaya hidup yang berlaku

di masyarakat (Mulyana, 2008:89). Topik dan genre sangat penting karena sebagai

media komunikasi penyampaian ideologi, film memuat sistem tertentu yang akan

direspon oleh penontonnya. Pada akhirnya, film tidak hanya menjadi sarana

mencari hiburan, inspirasi, serta wawasan, namun juga menjadi objek representasi

atas topik yang diangkat dan pesan yang ingin disampaikan kepada penontonnya.

Pesan-pesan yang disampaikan dalam film, baik itu denotasi maupun

konotasi dapat diinterpretasikan sedemikian rupa oleh penonton sebagai bentuk

komunikasi yang berjalan dengan baik. Film sebagai media menjadi instrumen

penting dalam rekonstruksi realitas dan berpengaruh terhadap kesadaran

masyarakat. Tanpa disadari media mampu secara halus menggiring dan membentuk

opini tertentu yang sifatnya tidak netral. Hal ini yang kemudian membentuk

ketidaksetaraan sosial yang sudah ada dalam masyarakat seperti kelas sosial, ras,

gender, dan orientasi sosial lainnya karena pengaruh isi media (Zaimar, 2001:163).

Jowet dan Linton (1980:18) mengemukakan bahwa konten dalam film tidak dapat

bersifat bebas nilai, karena merupakan hasil konstruksi dan rekonstruksi dari hal

yang ingin disampaikan karena dapat merepresentasikan persepsi, ideologi, bahkan

sebagai pameran produk bagi media lain. Oleh karena itu, pesan-pesan yang

disampaikan pada suatu film dapat berisi muatan terhadap nilai atau ideologi

tertentu yang pada akhirnya diinternalisasi oleh penontonnya baik secara sadar

maupun tidak (Sobur, 2002:127).

2
Terdapat berbagai pesan dalam bentuk simbol-simbol dalam film yang

ditujukan dari komunikator kepada komunikan. Turner dalam (Sobur, 2013:127)

mengemukakan bahwa film sebagai representasi dari realitas dengan membentuk

dan menghadirkan kode-kode, konvensi, dan ideologi dari kebudayaan. Ideologi

dan persepsi yang direpresentasikan dalam film sangat beragam melalui cerita yang

diangkat, salah satunya adalah mengenai representasi perempuan. Ridwan dan Adji

(2019:27) mengungkap bahwa hubungan gender antara perempuan dan laki-laki

banyak terlihat dan muncul dalam berbagai aspek kehidupan dan kebudayaan.

Praktik yang muncul dalam relasi tersebut diantaranya adalah kesenjangan dan

ketidaksetaraan terhadap perempuan, praktik patriarkat, dan tuntutan perempuan

terhadap kesetaraan. Bentuk relasi tersebut banyak menjadi inspirasi bagi pembuat

film untuk dijadikan sebuah karya.

Dalam media massa, literatur, film, televisi, dan berbagai media lainnya,

perempuan digambarkan sebagai obyek dengan stereotip yang merugikan.

Kehidupan masyarakat sekarang ini menunjukkan bahwa konsep maskulinitas dan

feminitas masih identik dan dikotomi pembagiannya sesuai jenis kelamin. Beere

(1990:21) mengemukakan bahwa terdapat andil konstruksi masyarakat tentang sifat

yang melekat pada laki-laki dan perempuan secara berbeda dipengaruhi oleh

perbedaan seksual keduanya. Nilai yang melekat pada perempuan dikonstruksikan

sebagai feminitas, sedangkan nilai yang melekat pada laki-laki dikonstruksikan

sebagai maskulinitas. Padahal pada kenyataannya maskulinitas dan feminitas dalam

diri seseorang tidak ada hubungannya dengan jenis kelaminnya, tetapi dibentuk

oleh konstruksi masyarakat. Media, dalam hal ini film juga dapat memberi

3
pengaruh terhadap konstruksi maskulinitas dan feminitas (Jowet, Linton, 1980:18).

Media informasi sebenarnya juga memainkan peran dalam membentuk gambaran

tentang laki-laki dan perempuan di dalam pikiran individu masyarakat seluruhnya

tanpa pembedaan (Watie, 2010:4). Jika media memberikan gambaran yang

dikotomis antara maskulin dan feminin, maka akan mengarahkan pandangan

masyarakat terhadap ketidakadilan gender dalam kehidupan sehari-hari.

Peran media dalam merepresentasikan bias-bias gender yang tidak memihak

perempuan sebagai the second sex menempatkan perempuan di ranah domestik dan

laki-laki di ranah publik. Ketidakadilan gender ini misalnya adalah stereotip

feminitas, domestifikasi perempuan, serta kekerasan dan pelecehan seksual

terhadap perempuan. Perempuan seringkali digambarkan sebagai pihak yang

lemah, tidak berdaya, atau sebagai obyek seksual. Konstruksi ideologi patriarki

yang berkembang dan diyakini dari generasi ke generasi di masyarakat adalah

faktor terbesar yang menyebabkan hal tersebut.

Ketimpangan gender di dunia menurut Gender Inequality Index (GII)

cenderung membaik. Hal ini ditandai dengan perkembangan GII yang semakin

kecil. Namun kawasan negara Arab, Sub-Sahara Afrika, dan Asia Selatan masih

memiliki nilai GII yang tinggi yaitu sebesar 0,5 dibandingkan wilayah Eropa dan

Asia Tengah yang sudah mencapai angka 0,256. Artinya pembangunan manusia

yang dicapai di kawasan Asia Tengah masih ditemukan ketimpangan gender

sebesar 50 persen. Jika dibandingkan dengan rata-rata dunia dan wilayah Asia

Timur dan Pasifik, GII Indonesia tahun 2019 masih lebih tinggi yaitu mencapai

4
0,480. Pencapaian pembangunan gender di Indonesia belum optimal dibandingkan

negara-negara di dunia. Ketimpangan gender di Indonesia tahun 2019 berada pada

peringkat 121 dari 162 negara. Untuk itu perlu adanya upaya lebih yang harus

dilakukan pemerintah melalui kebijakan di berbagai sektor untuk mengejar

ketertinggalan tersebut (BPS, 2021:2-3)

Konstruksi gender yang melekat pada perempuan seringkali dikaitkan

dengan peran dan fungsinya yang mengarah pada domestifikasi. Peran perempuan

pada umumnya digambarkan sebagai istri dan ibu yang tempatnya di dalam rumah,

di dapur, atau di ruang cuci. Domestifikasi perempuan menempatkan laki-laki

dengan stereotip berkiprah di publik sebagai pencari nafkah, sedangkan perempuan

distereotipkan berada di sektor domestik yaitu melakukan pekerjaan seperti

mencuci, membersihkan dan mengatur rumah, mengasuh anak, serta kegiatan

lainnya di lingkungan rumah.

Domestifikasi perempuan sendiri secara sederhana adalah

pengiburumahtanggaan, yaitu suatu konsep dimana perempuan ditempatkan

sebagai makhluk yang berperan dalam urusan rumah tangga saja. Dalam

domestifikasi, perempuan hanya boleh terlibat dalam urusan rumah tangga seperti

bergelut dengan pekerjaan rumah dan pengasuhan anak, yang pada akhirnya

melahirkan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan dalam lingkup non-

domestik. Hal ini akan berdampak lebih jauh karena ketidakseimbangan pembagian

gender tradisional menyebabkan kerugian dan ketidakadilan bagi perempuan

(Siswati, 2014:189).

5
Salah satu film yang menggambarkan tentang perempuan dan usaha

melawan stigma-stigma yang melekat pada dirinya adalah Film Little Women. Film

Little Women merupakan adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Louisa

May Alcott yang dipublikasikan dalam dua volume pada tahun 1868 dan 1869.

Novel ini telah diadaptasikan dalam berbagai panggung teater, televisi, musikal,

hingga opera. Salah satu adaptasinya adalah film karya Greta Gerwig yang rilis

pada tahun 2019. Film ini menarik untuk dianalisis karena mengangkat isu

perempuan dan disutradarai oleh perempuan sehingga memiliki sudut pandang

yang lebih relevan dengan realita. Film dengan durasi 135 menit ini bercerita

tentang kehidupan keluarga March pada abad ke-19 di daerah Concord, Amerika

Serikat. Mengambil latar pasca Perang Saudara di Amerika (1861-1865), empat

putri keluarga March berusaha meraih impian mereka di tengah kondisi yang serba

kekurangan. Keempat gadis ini masing-masing memiliki karakter yang unik..

Empat bersaudara March hidup dengan mimpi mereka masing-masing. Meg March

(Emma Watson) ingin menemukan cintanya, menikah, dan membangun keluarga,

Jo March (Saoirse Ronan) mengejar mimpi merintis karirnya menjadi penulis di

New York, Beth March (Eliza Scanlen) yang suka bermain piano, dan Amy March

yang berkelana ke Eropa demi belajar menjadi pelukis. Film ini berpusat pada

protagonis utama yaitu Jo March yang memiliki impian menjadi penulis. Namun ia

harus melewati rintangan sosial di masa itu yaitu dunia laki-laki, yang membatasi

perempuan hanya pada pekerjaan domestik sebagai hal normal. Selain itu

perempuan baru dipandang sukses ketika menikah dengan laki-laki kaya dan

6
mengurus anak dengan baik yang dilakukan dengan mengubur impian serta daya

ciptanya dalam-dalam. Jo March berusaha untuk mematahkan budaya patriarki

yang dirasa mengekang haknya. Ia mempunyai ambisi untuk menjadi penulis

terkenal dan bertekad tidak menjadi istri orang karena merasa sudah cukup bahagia

dengan dirinya sendiri. Namun ambisinya terbentur dengan masalah domestik yang

menghambat ruang pribadinya.

Film karya Greta Gerwig ini menjadi pemenang dari berbagai ajang

penghargaan bergengsi diantaranya:

1. Academy Awards / Oscar – Best Achievement in Costume Design

(Pemenang)

2. BAFTA Awards – Best Costume Design (Pemenang)

3. AACTA International Awards – Best Lead Actress (Pemenang)

4. EDA Awards – Best Writing, Adapted Screenplay (Pemenang)

5. EDA Awards – Best Supporting Actress (Pemenang)

6. EDA Awards – Best Ensemble Cast (Pemenang)

Little Women juga banyak mendapatkan nominasi pada penghargaan

internasional lainnya di kategori Best Adapted Screenplay dan Best Performance.

Antusiasme masyarakat terhadap film ini dibuktikan dengan perolehan keuntungan

sebesar 100 juta dolar AS pada minggu pertama pemutaran domestik. Meskipun

tidak banyak bioskop yang dibuka karena pandemi di minggu-minggu awal

pemutarannya, film Little Women mampu meraih pendapatan sebesar 95,5 juta

dolar AS di 13 negara di dunia.

7
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggali tanda-tanda representasi

domestifikasi perempuan yang ada dalam film Little Women. Penelitian ini

dilakukan menggunakan metode penelitian semiotika dengan pendekatan kualitatif-

deskriptif metode analisis semiotika Roland Barthes. Metode penelitian semiotik

dengan analisis semiotika Roland Barthes membagi tanda menjadi penanda dan

petanda yang saling berkaitan. Penanda adalah elemen bentuk sedangkan petanda

adalah adalah konsepnya, sehingga penggabungan penanda dan petanda akan

menjadi tanda. Barthes menggunakan tiga hal yang menjadi inti dalam

penelitiannya, yaitu makna denotatif, konotatif, dan mitos. Denotatif

mengungkapkan makna yang terpampang secara nyata dan kasat mata, konotatif

mengungkap makna yang tersembunyi di balik tanda-tanda tersirat, dan mitos yang

merupakan bentuk dari perkembangan benak masyarakat akan sesuatu dengan

memaknai korelasi denotasi dan konotasi.

Penelitian serupa yang pernah dilakukan dengan isu terkait perempuan

dalam film adalah “Representasi Feminisme Pada Tokoh Utama Dalam Film Crazy

Rich Asian:Kajian Semiotika” oleh Fauzi Ridwan dan Muhamad Adji tahun 2019.

Penelitian ini mengkaji kode-kode dalam film yang direpresentasikan dalam level

realitas, level representasi, dan level ideologi sesuai dengan teori semiotika John

Fiske. Penelitian kedua adalah penelitian dengan judul “Semiotika Gender Dalam

Film Brave” oleh Maulia Putri Sutorini, Muhammad Alif, dan Sarwani tahun 2019.

Dalam penelitian ini memaparkan makna gender yang tersirat maupun tersurat

dalam film Brave dengan analisis semiotika Roland Barthes dimana tanda dimaknai

dengan pemaknaan secara denotasi, konotasi, dan mitos. Penelitian serupa ketiga

8
yang pernah dilakukan adalah “Pemaknaan Stereotip Gender dan Kelas Sosial Pada

Film Little Women” oleh Luluk Ulhasanah tahun 2020 yang menjadikan

representasi stereotip gender dan stratifikasi kelas sosial sebagai objek penelitan

dengan analisis semiotika.

Meskipun film Little Women ini mengambil latar waktu lebih dari 150 tahun

yang lalu, isu ketidaksetaraan gender masih menjadi stigma di masyarakat hingga

kini. Hal ini ironis karena faktanya masalah perempuan di masa itu tidak jauh

berbeda dengan masa sekarang. Dari uraian yang telah dijabarkan, penulis akhirnya

ingin melihat bagaimana representasi domestifikasi perempuan digambarkan dalam

film Little Women karya Greta Gerwig. Oleh karena itu, penulis bermaksud

mengambil “Representasi Domestifikasi Perempuan Dalam Film Little

Women” sebagai judul skripsi.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, yang menjadi masalah pada

penelitian ini adalah:

“Bagaimana Representasi Domestifikasi Perempuan dalam Film Little

Women”?

1.3. Tujuan

Yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

“Mengetahui Representasi Domestifikasi Perempuan dalam Film Little

Women”

9
1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan

manfaat pemikiran bagi mahasiswa khususnya jurusan ilmu

komunikasi.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti, yaitu untuk menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi peneliti terhadap masalah yang dihadapi

secara nyata.

b. Bagi masyarakat, diharapkan dapat memberikan informasi

tentang Representasi Domestifikasi Perempuan dalam Film

Little Women.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Film

Film merupakan salah satu media yang mempunyai potensi untuk

mempengaruhi penontonnya karena kemampuannya menjangkau berbagai segmen

sosial (Sobur, 2003:127). Effendi mengemukakan bahwa film adalah salah satu

bagian dari media massa elektronik yang dapat menyampaikan berbagai jenis pesan

dalam peradaban modern. Film menjadi media komunikasi yang ampuh bukan

dalam hal hiburan saja namun untuk penerangan dan pendidikan. Oleh sebab itu,

dapat ditarik kesimpulan bahwa film adalah sebuah media yang digunakan untuk

menyampaikan pesan dan untuk mempengaruhi khalayak.

Berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 192 tentang Perfilman, film

adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa

pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada

pita seluloid, pita video, piringan video, dan atau bahan hasil penemuan teknologi

lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses

elektronik, dan lainnya. Pratista (2008:1) menyebutkan ada dua unsur yang

membentuk sebuah film yaitu unsur naratif dan unsur sinematik. Dalam

perkembangannya, film berawal dari gambar bergerak berwarna hitam dan putih

dan tidak disertai suara atau disebut dengan film bisu. Film bersuara mulai dikenal

pada akhir tahun 1920-an dan berkembang menjadi film berwarna pada tahun 1930-

an (Sumarno, 1996:9).

11
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa film

adalah jenis media komunikasi massa elektronik dan proses budaya masyarakat

yang tersaji dalam bentuk gambar bergerak dengan suara yang digunakan untuk

menyampaikan pesan serta untuk mempengaruhi khalayak.

2.1.1. Unsur Film

Krissandy (2014:13) mengemukakan bahwa ada dua unsur yang

membentuk suatu film yaitu unsur naratif dan unsur sinematik yang

berkesinambungan dan saling melengkapi dalam proses pembentukan film. Unsur

naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film sehingga unsur ini tidak

bisa dilepaskan dari suatu film. Unsur naratif meliputi tokoh cerita, permasalahan

dan konflik, tujuan, lokasi, serta waktu. Sedangkan unsur sinematik adalah unsur

yang mendukung ide cerita dalam produksi film. Unsur sinematik dalam pembuatan

film bersifat teknis dan terdiri dari empat elemen yaitu mise-en-scene sebagai mata

kamera, sinematografi, penyuntingan gambar, dan tata suara. Hal ini menunjukkan

bahwa unsur naratif dan sinematik merupakan komponen utama yang melekat dan

membentuk suatu karya seni yaitu sebuah film.

2.1.2. Jenis Film

Menurut jenisnya, film dapat dibagi dalam kelompok berikut (Ardianto,

2004:138) :

1. Film Cerita
Jenis film ini adalh film yang mengandung cerita berupa fiksi

maupun berdasarkan kisah nyata. Film cerita dimodifikasi dan

12
diramatisasi melalui gambar yang artistik sehingga menimbulkan

unsur menarik dan menghibur khalayaknya. Film ini terikat dengan

plot dan adegan yang dirancang sejak awal. Struktur dalam film

cerita harus berkesinambungan dan terikat dengan hukum sebab

akibat. Pada film cerita terdapat karakter protagonis dan antagonis,

masalah dan konflik, serta penutup. Film cerita dibagi menjadi dua

kategori yaitu film pendek dan film panjang. Film pendek menurut

Panca Javalandasta adalah karya cerita fiksi yang berdurasi kurang

dari 60 menit. Film pendek seringkali dijadikan eksperimen dan batu

loncatan bagi para sineas untuk memproduksi film panjang.

Sedangkan film panjang adalah cerita fiksi yang berdurasi lebih dari

60 menit. Film panjang pada umumnya memiliki durasi 90-100

menit. Biasanya jenis film ini dipertunjukkan di bioskop dengan

pemeran ternama dan didistribusikan secara komersil.

2. Film Berita
Film berita menampilkan fakta dan peristiwa yang benar-benar

terjadi. Film jenis ini disajikan kepada khalayak dengan

mengandung nilai berita. Faktor penting dalam film berita adalah

peristiwa dan faktanya yang terekam secara utuh.

3. Film Dokumenter
Menurut Robert Flaherty, film dokumenter adalah karya ciptaan

mengenai kenyataan. Film dokumenter berbeda dengan film berita

karena film ini merupakan interpretasi pribadi pembuatnya terhadap

13
suatu kenyataan, sedangkan film berita adalah film tentang

kenyataan secara utuh. Film dokumenter biasanya tidak memiliki

plot, hanya struktur yang didasarkan atas tema atau argumen dari

pembuatnya. Tokoh protagonis, antagonis, dan konflik tidak

ditemukan dalam film dokumenter. Struktur film dokumenter pada

umumnya sederhana sehingga memudahkan penontonnya

memahami fakta dan isu yang disajikan. Film dokumenter dapat

digunakan dengan berbagai maksud dan tujuan seperti menyebarkan

informasi, biografi, pengetahuan, pendidikan, sosial dan politik,

hingga menjadi media propaganda. Dalam menyajikan fakta, film

dokumenter dapat menggunakan metode perekaman langsung dan

rekonstruksi ulang. Produksi dokumenter dengan perekaman

langsung dapat memakan waktu yang singkat atau bahkan hingga

bertahun-tahun tergantung pada peristiwanya. Sedangkan produksi

dokumenter dengan rekonstruksi ulang adegan memerlukan

pengadeganan dan persiapan teknis layaknya film cerita. Adegan

direkonstruksi berdasarkan riset mendalam dan wawancara terhadap

pelaku asli atas suatu peristiwa.

14
2.2. Representasi

Giles (1999:56-57) dalam buku Studying Culture: A Practical Introduction,

terdapat tiga definisi dari kata “represent”’ yakni: To stand in for, To speak or act

on behalf of, To represent. Dalam praktiknya, ketiga makna dari representasi ini

bisa menjadi saling tumpang tindih. Teori yang dikemukakan oleh Stuart Hall

sangat membantu dalam memahami lebih lanjut mengenai apa makna dari

representasi dan bagaimana caranya beroperasi dalam masyarakat budaya. Hall

dalam bukunya Representation: Cultural Representation and Signifying Practices

“Representation connects meaning and language to culture…. Representation is an

essential part of the process by which meaning is produced and exchanged between

members of culture.”

Representasi secara singkat adalah salah satu cara untuk memproduksi

makna. Representasi bekerja melalui sistem representasi yang terdiri dari dua

komponen penting, yakni konsep dalam pikiran dan bahasa. Kedua komponen ini

saling berkorelasi. Konsep dari sesuatu hal yang dimiliki dan ada dalam pikiran,

membuat manusia atau seseorang mengetahui makna dari sesuatu hal tersebut.

Namun, makna tidak akan dapat dikomunikasikan tanpa bahasa, sebagai contoh

sederhana, konsep ‘gelas’ dan mengetahui maknanya. Maka seseorang tidak akan

dapat mengkomunisikan makna dari ‘gelas’ (benda yang digunakan orang untuk

tempat minum) jika seseorang tidak dapat mengungkapkannya dalam bahasa yang

dapat dimengerti oleh orang lain. (Surahman, 2015:20)

15
Oleh karena itu, yang terpenting dalam sistem representasi adalah bahwa

kelompok yang dapat berproduksi dan bertukar makna dengan baik adalah

kelompok tertentu yang memiliki suatu latar belakang pengetahuan yang sama

sehingga dapat menciptakan suatu pemahaman yang (hampir) sama. Berpikir dan

merasa juga merupakan sistem representasi, sebagai sistem representasi berarti

berpikir dan merasa juga berfungsi untuk memaknai sesuatu. Untuk dapat

melakukan hal tersebut, diperlukan latar belakang pemahaman yang sama terhadap

konsep, gambar, dan ide (cultural codes). Pemaknaan terhadap sesuatu bisa sangat

berbeda dalam budaya atau kelompok masyarakat yang berlainan, karena pada

masing-masing budaya, kelompok, dan masyarakat tersebut tentunya ada cara-cara

tersendiri dalam memaknai sesuatu. Kelompok masyarakat yang memiliki latar

belakang pemahaman yang tidak sama terhadap kode- kode budaya tertentu tidak

akan bisa memahami makna yang diproduksi oleh kelompok masyarakat lain.

(Ekawati, 2016:18)

Representasi merujuk kepada konstruksi segala bentuk media terutama

media massa terhadap segala aspek realitas atau kenyataan seperti masyarakat,

objek, peristiwa hingga identitas budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata

atau tulisan bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film.

Representasi tidak hanya melibatkan bagaimana identitas budaya disajikan atau

dikonstruksikan didalam sebuah teks tapi juga dikonstruksikan ke dalam proses

produksi dan persepsi oleh masyarakat yang mengkonsumsi nilai budaya yang

direpresentasikan.

16
2.3. Domestifikasi Perempuan

Istilah domestifikasi berasal dari kata domestik, merupakan kata serapan

dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, yaitu domestic. Secara leksikal

domestik memiliki beberapa arti: Pertama, dalam negeri. Kedua, mengenai

(bersifat) rumah tangga. Ketiga, binatang piaraan; binatang jinak. (Sugono,

2008:362). Pada penelitian ini, istilah domestifikasi tidak dapat disajikan dalam

bentuk tunggal, melainkan harus disandingkan dengan istilah perempuan. Sehingga

melahirkan suatu turunan istilah berupa domestifikasi perempuan, yang merupakan

gagasan utama yang akan dikaji dalam penelitian ini.

Domestifikasi perempuan secara singkat dapat dipahami sebagai

pengiburumahtanggaan, atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah

housewifization. Secara terminologi dapat dipahami dengan suatu paham yang

memposisikan perempuan sebagai makhluk domestik dimana perannya hanya

terbatas dalam persoalan kerumahtanggaan saja. Urusan rumah tangga yang

dimaksud dan lumrah terjadi adalah seperti perihal memasak, mencuci, menyapu,

mengepel, mengasuh anak-anak, menyiapkan segala kebutuhan anggota keluarga,

memenuhi kebutuhan biologis suami, serta menjaga rumah (Aulia, 2021:18).

Menurut Fakih dalam (Miswoni:2016), stereotip dan beban kerja yang dilimpahkan

pada perempuan merupakan bentuk dari ketidaksetaraan gender. Perempuan

dipercaya untuk mengurus dan mempersiapkan hal-hal rumah tangga. Di

masyarakat, meskipun perempuan melakukan berbagai usaha secara domestik

maupun publik tetap saja dianggap sebagai ‘membantu suami’ dan diprioritaskan

ditempatkan di rumah.

17
Perempuan tidak memiliki peluang untuk berperan di wilayah publik,

apalagi dalam penempatan posisi yang penting. Posisi perempuan hanya sebagai

penjaga rumah suami dan sebagai ibu yang diwajibkan untuk memelihara anak-

anaknya demi pencitraan moralitas dan harmonisasi keluarga dalam rumah tersebut.

Pendapat yang lebih mengenaskan mengatakan bahwa domestikasi perempuan

merupakan kodrat manusia sejak lahir.

Berdasarkan pengertian domestik dan domestifikasi perempuan, ini berarti

bahwa peran perempuan di luar rumah atau dunia publik menjadi

ternomorsekiankan, bahkan sama sekali tidak memiliki peran dalam urusan

masyarakat, dikarenakan perannya hanya dalam urusan kerumahtanggaan saja.

Menurut Barbara Rogers dalam buku The Domestication of Women: Discrimination

in Developing Societies, domestifikasi perempuan dalam urusan rumah tangga dan

pengasuhan anak dapat dikatakan sebagai tindakan diskriminasi sosial terhadap

perempuan itu sendiri.

2.4. Perempuan Dalam Film

Dalam kajian sosial, permasalahan gender sering dibicarakan dengan

menempatkan perempuan sebagai pusat perhatian. Konsep jenis seksual berkaitan

dengan alat reproduksi, sehingga posisi alamiah dari perempuan dan laki-laki

dilihat dari fungsinya dalam proses regeneratif. Sementara gender merupakan

pemilahan yang dibuat atas dasar sosial. Ini dimulai dari orientasi sosial yang terdiri

atas feminitas dan maskulinitas. Manifestasi kekuasaan struktural ini digariskan

dari jenis seksual ke orientasi seksual yang sama sekali tidak boleh menyimpang.

Pemilik vagina hanya boleh menjalankan fungsi sebagai perempuan, dan

18
menjalankan orientasi seksual bersifat feminin. Sedangkan pemilik penis

menjalankan fungsi sebagai laki-laki dan harus berada dalam orientasi maskulin

(Siregar, 2004:336).

Hubungan kekuasaan struktural membuat kedudukan perempuan lebih

rendah daripada laki-laki. Dalam karya seni dan sastra, perempuan sering muncul

sebagai simbol kehalusan, sesuatu yang bergerak lamban, bahkan kadang berhenti.

Nugroho dalam (Aviomeita, 2016:45) menyebutkan bahwa perempuan dekat

dengan idiom-idiom seperti keterpurukan, ketertindasan, bahkan pada “konsep”

yang terlanjur diterima kultur masyarakat bahwa mereka adalah “objek” bagi kaum

laki-laki. Perempuan banyak dijadikan objek penderitaan oleh laki-laki baik secara

fisik maupun psikis dan digambarkan sebagai sosok yang lemah dan tertindas.

Perempuan dan media massa memiliki kaitan erat dan saling melengkapi.

Media massa seringkali dimanfaatkan jasanya oleh perempuan untuk meningkatkan

popularitas dan media massa menginginkan “nuansa khas” dari sosok perempuan

salah satunya bahkan untuk memperlihatkan auratnya. Kekaguman lelaki terhadap

perempuan adalah cerita klasik yang dominan dalam inspirasi seni dari masa ke

masa. Ketika perempuan menjadi simbol dalam seni komersial, kekaguman

terhadap perempuan menjadi sangat diskriminatif, tendensius, bahkan menjadi

subordinasi dari simbol dan kekuatan laki-laki (Bungin, 2008:202).

Dalam dunia perfilman eksploitasi perempuan kerap terjadi karena secara

sadar film mulai membuat pernyataan tentang wanita. Apa yang dikatakan film

tentang wanita lebih menarik daripada bagaimana wanita dimanfaatkan dalam

19
media tersebut (Hadiz, 2004:295). Pencitraan perempuan dalam film tidak sekedar

dilihat sebagai objek, namun juga dilihat sebagai subjek pergulatan perempuan

dalam menempatkan dirinya dalam realitas sosial, walaupun tidak jarang

perempuan lupa bahwa mereka telah dieksploitasi dalam dunia hiper-realitas, yaitu

sebuah dunia yang ada dalam media, dunia realitas yang dikonstruksi oleh media

massa dan copywriter melalui kecanggihan telematika.

Sunarto (2009:45) menyatakan bahwa dalam analisis objektifikasi yang

digunakan pada tahun 1970-an pada film, seni, dan media populer untuk

menjelaskan perlakuan terhadap perempuan yang mereduksi kaum perempuan

menjadi pasif dan objek gender (hasrat, eksploitasi, siksaan) daripada menampilkan

perempuan sebagai subjek manusia sepenuhnya. Perempuan ditampilkan secara

menggairahkan sesuai dengan kendali laki-laki sehingga kehadiran perempuan

secara visual selalu dierotisasi.

Industri perfilman yang semakin berkembang tidak banyak merubah

stereotip negatif tentang keberadaan perempuan dalam film. Perempuan masih

dianggap sebagai fantasi yang dibutuhkan untuk tujuan komersil film yang dibuat.

Permasalahan objektifikasi perempuan dalam film seakan masih belum tersentuh

gerakan feminisme dan kesetaraan gender. Keberadaan perempuan dalam film

ternyata seringkali tidak diperhitungkan dari segi kemampuan akting namun

dianggap sekedar mengandalkan fisik (Irawan, 2014).

20
2.5. Teori Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani semion yang

berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu-yang atas dasar konvensi

sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.

Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk adanya hal lain

(Wibowo, 2011:5). Istilah semiotika baru digunakan pada abad 18 oleh ahli filsafat

Jerman bernama Lambert (Zoes, 1991).

Semiotika modern dikenal lewat dua tokoh besar penggagasnya, yaitu

Charles Sanders Pierce dan Ferdinand De Sausure. Charles Sanders Pierce

memiliki latar belakang ahli logika sedangkan Ferdinand de Sausure adalah seorang

ahli linguistik. Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand De Saussure di dalam

Course in General Linguistic, sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai

bagian dari kehidupan sosial. Implisit dalam definisi Saussure adalah prinsip bahwa

semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main atau kode sosial yang

berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara

kolektif (Piliang, 2012: 300).

Menurut Umberto Eco (Wibowo, 2011: 9) kajian semiotika sampai

sekarang membedakan dua jenis semiotika yakni semiotika komunikasi dan

semiotika signifikasi. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang

produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor

dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima kode atau sistem tanda, pesan, saluran

komunikasi dan acuan yang diberikan. Sementara semiotika signifikasi, tidak

‘mempersoalkan’ adanya tujuan berkomunikasi. Pada jenis kedua, yang lebih

21
diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada

penerima tanda lebih diperhatikan ketimbang prosesnya.

Semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan

luas sebuah objek, peristiwa-peristiwa dan seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada

tandanya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu

yang aneh yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau

narasi wacana tertentu. Teori semiotika semakin berkembang dan detail dari analisa

tanda hingga pembahasan akan tanda yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut John Fiske, terdapat tiga studi utama dalam semiotika, yaitu (Hartley,

2010:279):

a) Tanda merupakan konstruksi manusia yang hanya dapat dipahami oleh

penggunanya. Terdapat perbadaan akan tanda-tanda sendiri dan

penyampaian tanda akan makna. Oleh karena hal itu terbagi istilah penanda

dan petanda yang akan selalu dibahas dalam studi semiotika.

b) Pengorganisasian tanda-tanda yang memiliki makna atas konvensi atau

kesepakatan yang dibangun disebut dengan kode. Kode meliputi pilihan dan

hubungan.

c) Tanda dan kode menghasilkan kebudayaan sebagai tempat beroperasi.

Penggunaan tanda dan kode yang dipahami bersama menghasilkan makna.

C.S Morris mengemukakan bahwa terdapat tiga analisis semiotika yang

terdiri dari dimensi sintaktik, semantik, dan paradigmatik. Sintaktik berkaitan

dengan studi mengenai tanda secara individual maupun kombinasi. Kemudian

22
semantik adalah studi mengenai relasi antara tanda dan signifikasi. Dan

pragmatik adalah studi terkait relasi antara tanda dan penggunanya (Danesi,

2012:12).

Ferdinand De Saussure berpendapat bahwa sebuah tanda terdiri dari

penanda (signifier) dan petanda (signified). Petanda dan penanda bersifat arbiter

yang berarti tidak ada keterkaitan logis. Penandaan merupakan proses yang

terjadi di dalam pikiran saat menafsiri tanda (Danesi, 2012:15). Penanda

mengacu pada petanda yang kemudian mengacu pada realitas.

Seperangkat tanda yang dikombinasikan dengan sistem tertentu disebut

dengan teks. Cakupan penggunaan teks sangat luas seperti dalam televisi, film,

atau iklan. Analisa teks melibatkan aturan pengkombinasian yang terdiri dari

aksis paradigmatic yaitu perbendaharaan tanda atau kata dan aksis sintagmatik

yaitu cara pemilihan perbendaharaan tanda berdasarkan aturan tertentu

sehingga menghasilkan makna (Yasraf, 2011:162).

Roland Barthes mengemukakan bahwa sebuah teks terbentuk dari

fragmen-fragmen sesuatu yang telah dibaca, dilihat, dilakukan, dan dialami.

Barthes mengembangkan sebuah model relasi antara sistem yang tediri dari

kata, visual, gambar, benda, dan sintagma yaitu cara pengkombinasian tanda

dengan menggunakan aturan tertentu.

2.6. Teori Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes merupakan penerus dari pemikiran Saussure dan tokoh

penting dalanm perkembangan ilmu semiotika. Barthes lahir pada 12 November

23
1915 di Cherboug, Normandia, Perancis. Roland Barthes menghasilkan karya-

karya terkenal diantaranya Mythologies, Camera Lucida, dan Elementary Of

Semiology. Dengan pemikiran yang lebih menekankan interaksi antara teks dengan

pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam

teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan

tersebut disebut dengan “order of significations”(Kriyanto, 2006:272).

Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci

dari analisisnya. Barthes menggunakan versi yang jauh lebih sederhana saat

membahas model glossematic sign (tanda-tanda glosematika). Mengabaikan

dimensi dari bentuk dan substansi, Barthes mendefinisikan sebuah tanda (sign)

sebagai sebuah sistem yang terdiri dari (E) sebuah ekspresi atau signifier dalam

hubungannya (R) dengan content (atau signified) (C) ERC.

Semiotika menurut Roland Barthes berfokus pada gagasan tentang

signifikansi dua tahap (two order of signification) Signifikansi tahap pertama

merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap

realitas eksternal. Dalam hal ini Barthes menyebutnya denotasi, yaitu makna yang

paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk

menunjukkan signifikansi tahap kedua. Konotasi mempunyai makna yang

subyektif dan intersubyektif. Pemilihan kata-kata merupakan pilihan terhadap

konotasi (Sobur, 2004:128). Roland Barthes mengembangkan dua tingkat

penandaan yang memungkinkan untuk menghasilkan makna yang bertingkat, yaitu

tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi menjelaskan hubungan antara penanda dan

petanda yang menghasilkan makna secara eksplisit. Sedangakan konotasi

24
menjelaskan hubungan penanda dan petanda secara implisit yang menciptakan

pemaknaan tingkat kedua yang berkaitan dengan pengalaman, psikologis, dan

perasaan.

Roland Barthes membuat sebuah model sistematis dalam menganalisis

makna dan tanda-tanda. Fokus perhatian Barthes lebih tertuju kepada gagasan

tentang signifikasi dua tahap (two order of signification).

1. Signifier 2. Signified
(Penanda) (Petanda)

3. Denotative Sign (Tanda Denotatif)


5. Connotative Signified (Petanda
Konotatif)
4. Connotative Signifier (Penanda Konotatif)
6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Tabel 1. Peta Tanda Roland Barthes

Melalui gambar di atas Barthes, seperti dikutip Fiske menjelaskan :

signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di

dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai

denotasi, yaitu makna nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan

Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan

interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari

pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Pemilihan kata-kata kadang

merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan” dengan

“memberi uang pelicin”. Dengan kata lain, denotasi merupakan apa yang

25
digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana

menggambarkannya. (Sobur, 2009:127-127). Untuk mendapatkan sebuah makna

tidak cukup dengan korelasi ekspresi dan isi tidak hanya ditemui lewat kode saja.

Barthes berpendapat bahwa menafsirkan teks bukan memberi sebuah makna namun

menghargai kemajemukan apa yang membangunnya.

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi yang

dinamakan “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan

pembenaran bagi nilai-nilai yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam

mitos ini juga terdapat pola tiga dimensi yaitu penanda, petanda dan tanda. Namun,

sebagai suatu sistem yang unik mitos terdiri dari suatu pemaknaan yang telah ada

sebelumnya atau dengan kata lain, mitos merupakan suatu sistem pemaknaan

tataran kedua.

Mitos menurut Barthes tidak sama dengan pengertian tradisional. Barthes

mengemukakan bahwa mitos adalah suatu sistem komunikasi yang berada pada

tingkat penandaan kedua dalam menghasilkan makna konotasi. Barthes

mengartikan mitos bukan sebagai objek namun sebagai cara menyatakan pesannya

(Barthes, 2010:296).

Menurut Roland Barthes, ada lima kode pokok di dalam teks, yaitu (Piliang,

2011:156):

a) Kode Hermeneutika yang bisa disebut juga dengan kode teka-teki.

Kode ini berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan

kebenaran bagi pertanyaan yang muncul dalam teks.

26
b) Kode Proaretik atau kode tindakan yang danggap sebagai

perlengkapan utama teks yang dibaca, artinya semua teks yang

bersifat naratif. Roland Barthes melihat semua tindakan dapat

disusun secara sistematik.

c) Kode Simbolik adalah aspek pengkodan fiksi yang bersifat

structural. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi

kekuatan dan nilai-nilai berlawanan yang secara mitologis dapat

dikodekan.

d) Kode Gnomik merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah

diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Barthes berpendapat bahwa

realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah

diketahui.

e) Kode Semik disebut juga dengan kode konotatif. Pembaca

menyusun tema suatu teks dalam proses pembacaan dan melihat

bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat

dikelompokkan dengan konotasi kata yang mirip. Jika kita melihat

suatu kumpulan konotasi, kita melihat suatu tema di dalam cerita.

Jika sejumlah konotasi melekat pada nama tertentu, kita dapat

mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu.

2.7. Komunikasi Massa

Komunikasi massa menurut Tan dan Wright dalam Ardianto (2004:3)

adalah komunikasi yang menggunakan media tertentu untuk menghubungkan

komunikator dan komunikan secara massal, banyak, berada di tempat terpisah,

27
heterogen, dan menimbulkan efek tertentu. Massa dalam komunikasi massa

merujuk kepada si penerima pesan yang berkaitan dengan media massa. Secara

umum, komunikasi massa berarti pesan yang dikomunikasikan melalui media pada

sejumlah besar khalayak. Beberapa definisi komunikasi massa yang dipaparkan

pada prinsipnya memiliki makna yang sama dan membentuk karakteristik yaitu

sebagai berikut:

1. Komunikator Terlembagakan
Pada komunikasi massa, komunikator menggunakan media massa yang

berupa media cetak maupun elektronik yang berada di bawah satu lembaga

tertentu.

2. Bersifat Umum
Komunikasi massa ditujukan untuk khalayak umum dan bukan untuk

sekelompok orang tertentu saja.

3. Komunikan Heterogen
Komunikan dalam komunikasi massa bersifat anonim. Komunikator tidak

mengenal komunikan secara langsung karena komunikasi dilakukan

melalui media massa. Komunikan juga bersifat heterogen yang artinya

berasal dari berbagai lapisan masyarakat dan tidak berada di satu tempat

saja.

4. Pesan Yang Seragam


Pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan sifatnya

seragam dan serempak secara bersamaan karena jumlah khalayak

komunikasi massa yang jumlahnya banyak dan tidak terbatas.

28
5. Mengutamakan Isi Daripada Hubungan
Isi dalam komunikasi massa disusun sedemikian rupa sesuai dengan

karakteristik media massa yang akan digunakan.

6. Bersifat Satu Arah

Komunikasi massa sifatnya satu arah karena menggunakan media massa.

Jadi antara komunikator dan komunikan tidak terjadi komtak secara

langsung.

7. Stimulasi Indera Terbatas


Komunikasi massa menggunakan media massa yang beragam jenisnya, oleh

karena itu stimulus alat inderanya berbeda tergantung media apa yang

digunakan. Misalnya pada media cetak khalayak hanya bisa melihat, pada

media elektronik seperti radio khalayak hanya bisa mendengar, dan pada

televisi dan film khalayak menggunakan indera penglihatan dan

pendengaran.

8. Umpan Balik Tidak Langsung


Reaksi atau tanggapan komunikan tidak dapat terjadi secara langsung

karena komunikator tidak berinteraksi secara langsung dengan komunikan.

29
2.8. Kerangka Berpikir

Uma Sekara dalam (Sugiyono, 2011:60) menyatakan bahwa kerangka

berpikir merupakan suatu model konseptual mengenai bagaimana teori

berhubungan dengan segala macam faktor yang telah atau sudah diidentifikasi

sebagai masalah yang penting. Kerangka berpikir adalah gambaran atau model

berupa konsep yang menjelaskan hubungan antara variabel satu dengan lainnya.

Film

Little Women (2019)

Domestifikasi Perempuan

(Perempuan dalam penelitian ini adalah semua tokoh

perempuan dalam film Little Women)

Semiotika Roland Barthes

Denotasi Konotasi Mitos

Representasi Domestifikasi Perempuan

Dalam Film Little Women

Bagan 1. Kerangka Berpikir

30
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

Objek penelitian dalam penelitian ini adalah film Little Women yang dirilis

pada tahun 2019. Film yang disutradarai oleh Greta Gerwig ini merupakan adaptasi

dari novel dengan judul yang sama karangan Louisa May Alcott yang

dipublikasikan tahun 1868 dan 1869. Little Women telah diadaptasi ke berbagai

karya seni seperti musikal, teater, televisi, hingga opera. Film dengan durasi 135

menit ini bercerita tentang kehidupan keluarga March di Concord, Amerika Serikat

pasca Perang Saudara (1861-1865). Keluarga March hidup dengan empat putri yang

tengah beranjak dewasa yaitu Meg March, Josephine March, Elizabeth March, dan

Amy March. Di tengah kondisi yang serba kekurangan, empat gadis keluarga

March berusaha meraih impian mereka masing-masing.

Peneliti akan menggali informasi yang dibutuhkan dalam film tersebut

untuk meneliti representasi domestifikasi perempuan. Film ini memuat isu

perempuan pada masa itu yang masih relevan hingga saat ini. Faktor yang membuat

peneliti memilih film Little Women sebagai objek penelitian selain cerita dan isu

nya adalah film ini tentang perempuan yang disutradarai oleh perempuan, sehingga

sudut pandang akan didominasi oleh sudut pandang perempuan.

3.2 Bentuk dan Strategi Penelitian

Data yang penulis dapatkan dalam penelitian ini adalah uraian dalam bentuk

tulisan bukan angka. Strategi yang digunakan peneliti adalah metode penelitian

31
semiotika. Menurut Milner (1996:47) semiotik adalah studi tentang tanda dan

makna komunikasi melalui tanda-tanda. Tanda dapat diistilahkan sebagai simbol,

simbol inilah yang kemudian dikasi maknanya baik secara jelas maupun secara

tersembunyi. Pada penelitian ini, tanda-tanda tersebut dilihat dari representasi

domestifikasi perempuan dalam film Little Women.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif-deskriptif. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat

deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai

fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti. Ciri-ciri

deskriptif bukan hanya menggambarkan mengenai situasi atau kejadian, tetapi juga

menerangkan hubungan, menguji, membuat prediksi, serta mendapatkan arti dan

implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan (Rukajat. 2018:1)

3.3 Data dan Sumber Data

Sumber data dalam penelitian adalah hal yang harus diperhatikan. Pada

penelitian ini sumber data yang dijadikan acuan adalah:

3.3.1 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber data pertama di

lapangan. Menurut Kriyantono (2010:42) sumber data bisa didapatkan dari

responden atau subjek riset, hasil kuesioner, wawancara, dan observasi. Data primer

dalam penelitian ini adalah representasi domestifikasi perempuan yang didapat dari

film Little Women.

32
3.3.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua (Kriyantono,

2010:42). Data sekunder dalam penelitian ini adalah data dari studi literatur yaitu

buku dan jurnal yang relevan.

3.4 Teknik Sampling

Teknik sampling adalah teknik pengambilan sampel. Guna menentukan

sampel yang akan digunakan dalam penelitian, terdapat berbagai teknik sampling.

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan teknik non-probability.

Teknik sampling non-probability adalah teknik pengambilan sampel yang

tidak memberi peluang/kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi

untuk dipilih menjadi sampel. Dalam teknik ini, peneliti menggunakan purposive

sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data

dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2015:218)

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan agar mendapat sampel

yang sesuai dengan tujuan penelitian dan memperoleh data akurat, peneliti

mengambil sampel adegan yang terdapat dalam film Little Women. Adegan yang

dipilih sebagai sampel adalah adegan dengan kriteria berikut:

1. Adegan yang menampilkan perempuan tidak diberi kebebasan dalam

berkarya.

2. Adegan perempuan dikodratkan menikah dan menjadi pendamping laki-

laki.

33
3. Adegan perempuan hanya ditempatkan dan ditugaskan pada lingkungan

rumah tangga.

4. Adegan perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-

laki.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang peneliti lakukan untuk memperoleh data

yang lengkap, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya adalah

sebagai berikut:

3.5.1 Pengamatan (Observasi)

Proses observasi pada penelitian ini dilakukan dengan mengamati film Little

Women. Pengamatan dilakukan untuk mencari adegan, dialog, maupun simbol yang

menunjukkan adanya representasi domestifikasi perempuan dalam media film.

3.5.2 Studi Pustaka

Selain teknik observasi, pengumpulan data dalam penelitian ini juga akan

menggunakan studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk menambah informasi

dan pemahaman mengenai representasi domestifikasi, semiotika, serta perfilman.

Informasi ini bersumber dari buku, penelitian yang pernah dilakukan, jurnal, web,

serta artikel yang sudah ada baik dalam bentuk fisik maupun daring.

34
3.6 Triangulasi Data

Menurut Patton, ada empat macam triangulasi yang dapat digunakan dalam

penelitian, yaitu:

a. Triangulasi Sumber yaitu pemeriksaan sumber yang memanfaatkan jenis

sumber data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data sejenis.

b. Triangulasi Metode yaitu pemeriksaan yang menekankan pada penggunaan

metode pengumpulan data yang berbeda dan bahkan jelas untuk diusahakan

mengarah pada sumber data yang sama untuk menguji kemantapan

informasinya.

c. Triangulasi Peneliti yaitu hasil penelitian baik diatas atau simpulan mengenai

bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa

peneliti yang lain.

d. Triangulasi Teori yaitu pemeriksaan data dengan menggunakan perspektif

lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji (Moleong,

2005:331)

Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber,

dimana pemeriksaan sumber yang memanfaatkan jenis sumber data yang berbeda

untuk menggali data sejenis. Peneliti melakukan triangulasi sumber meliputi

sumber data antara lain film itu sendiri, buku, jurnal, dan artikel yang relevan

dengan penelitian ini baik secara fisik maupun daring.

35
3.7 Teknik Analisis Data

Analisis data yaitu proses mengolah, mengelompokkan, memisahkan, dan

memadukan sejumlah data penelitian yang didapat dari observasi dan studi pustaka.

Kegiatan analisis data ini merupakan suatu proses penyederhanaan data dalam

bentuk yang mudah dibaca kemudian selanjutnya diinterpretasikan. Data yang telah

terkumpul dan diinterpretasi tadi selanjutnya dianalisis berdasarkan teori-teori yang

ada.

Setelah data yang didapat disederhanakan, analisis dilakukan dengan

menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Hasil penelitian akan disajikan

secara deskriptif kualitatif berupa paparan mengenai makna adegan dan dialog

dalam film Little Women. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan tahapan

sebagai berikut:

1. Peneliti menonton film Little Women kemudian mencatat dan

mengumpulkan adegan serta dialog yang berkaitan dengan representasi

domestifikasi perempuan dalam film tersebut.

2. Data yang sudah didapat kemudian dianalisis dengan analisis

semiotik. Menjabarkan bentuk representasi domestifikasi perempuan

dalam film Little Women sesuai dengan dua tahap signifikasi (two order

of signification).

3. Kemudian peneliti melakukan analisis tahap pertama yaitu denotasi.

Denotasi merupakan pemaknaan tingkat pertama. Denotasi adalah

bentuk objek yang secara eksplisit terlihat oleh mata dan tidak memiliki

makna. Denotasi memunculkan tanda berupa perilaku yang muncul pada

36
adegan film, misalnya penampilan tokoh, dialog, dan lain sebagainya

yang kemudian diidentifikasi pada pemaknaan kedua.

4. Selanjutnya data dianalisis dengan konotasi. Menurut Sobur

(2013:68) dibutuhkan keaktifan pembaca agar sifat asli tanda berfungsi.

Perasaan dan persepsi pemakna sangat berpengaruh pada pemaknaan

tingkat kedua ini. Dalam hal ini peneliti akan memaknai tanda dan simbol

yang muncul pada setiap adegan film.

5. Setelah data dianalisis dengan denotasi dan konotasi, peneliti

melakukan analisis pemaknaan berupa mitos. Mitos diperoleh dari

konotasi dan denotasi yang membentuk makna lapis kedua karena makna

denotasi yang bergeser ke mitos adalah konotasi yang telah berbudaya.

6. Hasil analisis dan interpretasi yang telah dilakukan kemudian ditarik

kesimpulan mengenai representasi domestifikasi perempuan pada film

Little Women.

Analisis semiotik Roland Barthes dilakukan dengan sistem konotasi dan

denotasi. Konotasi melibatkan symbol-simbol, historis, dan hal-hal lain yang

berhubungan dengan emosional. Di sisi lain, denotasi menunjukkan simbol atau

tanda yang ada secara eksplisit. Denotasi dan konotasi menguraikan hubungan

antara penanda dan petanda (Berger, 2000:15).

37
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum

4.1.1. Film Little Women

Little Women adalah film adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya

Louisa May Alcott. Diterbitkan dalam dua bagian yaitu tahun 1868 dan tahun 1869,

novel Little Women telah diadaptasi ke berbagai karya seperti teater, opera, musikal,

serial televisi, dan film. Little Women diadaptasi dalam film pertama kali pada

tahun 1994 oleh sutradara Gillian Armstrong dan dibintangi oleh Winona Ryder,

Trini Alvaro, Kirsten Dunst, Susan Sarandon, dan Christian Bale. Adaptasi film

yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah versi dengan durasi 135 menit dan

disutradarai oleh Greta Gerwig yang dirilis pada tahun 2019. Menurut data dari situs

IMDb, Little Women menghabiskan biaya produksi kurang lebih 40 juta dolar AS

dan berhasil meraih pendapatan 5 kali lipat secara global. Film ini meraih rating

7,8/10 dari 131.602 ulasan pengguna situs IMDb. Film adaptasi ketujuh dari novel

Little Women ini mendapatkan berbagai nominasi dan menjadi pemenang di

berbagai penghargaan bergengsi diantaranya adalah Best Achievement In Costume

Design pada Academy Awards dan BAFTA Awards, Best Lead Actress pada

AACTA Awards, serta Best Adapted Screenplay dan Best Supporting Actress pada

EDA Awards.

Little Women adalah film ketiga yang disutradarai oleh Greta Gerwig.

Berbeda dari versi adaptasi sebelumnya, Little Women yang digarap oleh Greta

38
Gerwig lebih memberikan unsur-unsur feminisme secara implisit. Penjelasan

konflik dan cerita dalam film ini digambarkan dengan alur yang maju mundur dan

permainan warna untuk membedakan latar waktu dan membangun suasana. Warna

kuning yang hangat dipakai untuk menggambarkan masa lalu yang indah dan

keceriaan masa kecil hingga remaja, sedangkan warna biru digunakan untuk

menggambarkan masa kini yang berat dimana para tokoh berjuang dengan realita

kehidupan dewasa. Film terbagi menjadi 3 segmen konvensional yaitu pengenalan,

konflik, dan resolusi. Pada segmen pertama yaitu bagian awal, film menampilkan

keluarga March yang bernuansa ceria dan penuh kehangatan masa kecil dimana

mereka masih hidup bersama. Segmen kedua menceritakan fase kesedihan yaitu

konflik-konflik yang dialami keluarga March yaitu para tokoh yang semakin

dewasa dan kehilangan salah satu anggota keluarga. Kemudian segmen ketiga

menceritakan percintaan yang rumit antara Jo March, Theodore, dan Amy March

serta resolusi atas segala konflik yang terjadi termasuk pertentangan idealisme Jo

yang mempunyai dua opsi yaitu hidup menjadi perawan tua yang bebas atau

menemukan cintanya dan menikah dengan seorang laki-laki.

4.1.2. Sinopsis Film Little Women

Film ini mengisahkan tentang kehidupan keluarga March pada masa perang

saudara di Amerika Serikat tahun 1800-an. Keempat kakak beradik Meg March, Jo

March, Amy March, dan Beth March sangat dekat dan akrab satu sama lain

berjuang menghadapi kehidupan dalam keterbatasan. Mereka berbagi mimpi dan

menjalani hidup dengan cara mereka sendiri. Meg March ingin menemukan

cintanya, menikah, dan membangun keluarga, Jo March mengejar mimpi merintis

39
karirnya menjadi penulis di New York, Beth March yang suka bermain piano, dan

Amy March yang berbakat melukis.

Seiring berjalannya waktu, mereka beranjak dewasa dan memiliki

mimpinya masing-masing. Kisah ini berpusat pada Jo March sebagai gambaran

Louisa May Alcott penulis cerita. Banyak peristiwa yang dialami keempat putri

keluarga March ini mulai dari kegagalan cinta, mengejar karir dan mimpi, hingga

konflik keluarga. Si sulung Meg memutuskan untuk menikah dengan seorang guru

bernama John Brooke dan menjalani pilihannya dengan bahagia meskipun harus

tinggal secara sederhana. Jo March yang menjadi protagonis utama dalam film ini,

sejak kecil sudah gemar menulis dan mengajak saudara-saudaranya untuk

memainkan naskah yang ia tulis. Jo kemudian mengejar mimpinya sebagai penulis

dengan merantau ke New York. Anak ketiga, Amy March yang artistik, sejak kecil

memiliki hobi dan bakat melukis. Amy kemudian mengikuti jejak sang kakak untuk

meninggalkan Massachussets dan pergi ke Perancis untuk mengembangkan bakat

melukisnya bersama bibi mereka. Si Bungsu Beth yang hobi bermain piano masih

tinggal bersama ibu mereka di Massachussets karena sakit keras hingga akhir

hayatnya. Keadaan Beth yang semakin memburuk membuat keempat kakak beradik

March berkumpul kembali dan memberi kekuatan untuk satu sama lain.

Selain empat bersaudara March, tokoh lain yang berperan dalam cerita ini

adalah Theodore Laurence atau Laurie yang merupakan teman baik keluarga

March. Laurie adalah cucu dari keluarga Laurence yang kaya raya dan tinggal di

seberang rumah keluarga March. Laurie jatuh cinta pada Jo March namun ditolak

karena Jo hanya melihat Laurie sebagai seorang saudara laki-laki pada saat itu.

40
Laurie kemudian pergi ke Eropa dan bertemu dengan Amy March di Perancis.

Setelah menghabiskan banyak waktu bersama, perasaan romantis antara Laurie dan

Amy mulai tumbuh hingga akhirnya mereka berdua memutuskan untuk menikah

beberapa tahun kemudian.

Pada akhir cerita, setelah melalui berbagai konflik dan percintaan yang

rumit. Jo yang idealisme nya ingin menjadi wanita mandiri yang bebas dihadapkan

pada pertentangan antara tetap sendiri atau menemukan cintanya dan menikah. Jo

March akhirnya menikah dengan seorang Profesor yang ia kenal semasa di New

York yaitu Friedrich Bhaer. Jo tetap mewujudkan impiannya untuk menjadi penulis

dan menemukan cintanya pada saat bersamaan.

4.1.3. Karakter Dalam Film Little Women

1. Jo March

Karakter Jo March diperankan oleh Saoirse Ronan. Jo merupakan anak

kedua dari keluarga March dan merupakan tokoh utama dalam film Little

Women. Jo mempunyai kepribadian yang aktif, mandiri, dan tomboy. Sejak

kecil Jo sudah berbakat menulis dan mempunyai mimpi menjadi penulis

terkenal. Tokoh Jo adalah gambaran diri Louisa May Alcott sendiri sebagai

penulis cerita.

2. Meg March

Meg March diperankan oleh Emma Watson. Anak pertama dari

keluarga March ini mempunyai pribadi yang lembut dan keibuan. Karena

Ibu mereka yang sering bertugas di luar rumah sebagai relawan

41
kemanusiaan pasca perang, Meg seringkali menjadi figur ibu bagi adik-

adiknya. Meg bercita-cita menjadi aktris teater namun pada akhirnya dia

memilih cinta dan hidup dengan pasangan pilihannya yaitu John Brooke.

3. Amy March

Amy March diperankan oleh Florence Pugh. Amy adalah anak ketiga

keluarga March yang mempunyai bakat artistik yaitu melukis. Sikapnya yang

jail seringkali memicu pertengkaran-pertengkaran kecil dengan saudaranya Jo.

Amy dipilih oleh Aunt March untuk menemani perjalanannya ke Eropa dan

mendalami seni lukis. Selain itu Amy juga ‘disiapkan’ untuk menikah dengan

pria kaya oleh Aunt March.

4. Beth March

Beth March diperankan oleh Eliza Scanlen. Si bungsu keluarga March

ini memiliki kepribadian yang lembut dan penyayang. Beth mempunyai hobi

dan bakat bermain musik dan menarik hati Mr. Laurence hingga memberikan

piano peninggalan anak perempuannya. Beth diceritakan sangat lemah karena

menderita demam berdarah hingga akhir hayatnya.

5. Mother ‘Marmee’ March

Mother March atau biasa dipanggil anak-anaknya dengan Marmee

diperankan oleh Laura Dern. Marmee sangat aktif dengan kegiatan relawan

yang mengharuskannya berada di luar rumah untuk membantu masyarakat pada

masa perang saudara. Selain sosok ibu yang penyayang, Marmee juga sosok

42
yang tegar dan kuat karena menjadi pengganti sosok ayah bagi keluarga March

selama suaminya berada di medan perang.

6. Theodore ‘Laurie’ Laurence

Theodore Laurence atau biasa disebut ‘Laurie’ atau ‘Teddy’ diperankan

oleh Timothee Chalamet. Laurie merupakan sahabat baik keluarga March yang

tinggal di seberang rumah. Laurie tinggal bersama kakeknya Mr. Laurence yang

kaya raya. Hobi dan bakat Laurie adalah bermusik namun ditentang oleh

kakeknya. Sehari-hari Laurie belajar dengan guru pribadinya yaitu John

Brooke.

7. John Brooke

John Brooke diperankan oleh James Norton. Ia merupakan guru pribadi

yang ditugaskan oleh Mr. Laurence untuk Laurie. John Brooke adalah pribadi

yang cerdas dan lemah lembut. John Brooke jatuh hati kepada putri sulung

keluarga March yaitu Meg dan memutuskan menikah dengannya meskipun

mereka hidup dengan sangat sederhana jauh dari impian para gadis di masa itu.

8. Friedrich Bhaer

Friedrich Bhaer diperankan oleh Louis Garrel. Friedrich adalah teman

yang dikenal Jo di apartemennya selama tinggal di New York. Ia sering

membaca dan mengkritisi tulisan-tulisan Jo. Friedrich adalah orang yang

mendorong Jo untuk menjadi penulis secara serius dengan karya yang sesuai

kemampuan Jo. Ia berpikir Jo bisa menjadi lebih dari penulis kolom di tabloid

43
mingguan. Friedrich jatuh cinta kepada Jo dan mereka akhirnya menikah di

akhir cerita.

9. Aunt March

Aunt March diperankan oleh Meryl Streep. Merupakan bibi keluarga

March yang kaya raya. Ia berpendapat bahwa perempuan harus menikah dengan

pria yang kaya jika ingin hidup bahagia, atau jalan lainnya adalah menjadi kaya.

Hingga akhir hayatnya Aunt March tidak menikah dan mewariskan

kekayaannya pada putri-putri keluarga March.

10. Mr. Laurence

Mr. James Laurence diperankan oleh Chris Cooper. Mr. Laurence

adalah kakek dari Laurie. Ia merupakan teman baik dari kakek keluarga March.

Mr. Laurence hanya tinggal berdua dengan cucunya Laurie di rumahnya yang

mewah. Ia ikut mengawasi dan melindungi gadis-gadis keluarga March ketika

orang tua mereka tidak berada di rumah. Diantara keempat putri keluarga

March, ia paling dekat dengan Beth March karena mengingatkannya dengan

putrinya yang meninggal dunia ketika seusia Beth. Ia menghadiahi Beth piano

peninggalan putrinya itu.

11. Father March

Father March diperankan oleh Bob Odenkirk. Ayah dari Jo dan tiga

saudaranya ini tidak banyak muncul dalam film. Ia diceritakan sedang berada

di pertempuran dalam medan perang saudara di Amerika Serikat. Kepala

44
keluarga March ini mempunyai sifat seorang patriot dan suka menolong

sesamanya.

12. Mr. Dashwood

Mr. Dashwood diperankan oleh Tracy Letts. Ia merupakan pimpinan

sebuah perusahaan penerbit tempat Jo mengirimkan karya-karyanya. Dashwood

beberapa kali menolak dan merevisi tulisan Jo karena dianggap kurang menjual.

Ia meminta Jo untuk membuat karakter perempuan dalam tulisannya meninggal

atau menikah di akhir cerita yang bertentangan dengan idealisme Jo

4.2 Temuan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis semiotika

Roland Barthes. Barthes menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk

menunjukkan tingkatan-tingkatan makna. Gagasan Barthes ini dikenal dengan

“order of signification”. Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi

sebagai kunci dari analisisnya. Barthes menggunakan versi yang jauh lebih

sederhana saat membahas model glossematic sign (tanda-tanda glosematika).

Mengabaikan dimensi dari bentuk dan substansi, Barthes mendefinisikan sebuah

tanda (sign) sebagai sebuah sistem yang terdiri dari (E) sebuah ekspresi atau

signifier dalam hubungannya (R) dengan konten (atau signified) (C) ERC.

Semiotika menurut Roland Barthes berfokus pada gagasan tentang

signifikansi dua tahap (two order of signification) Signifikansi tahap pertama

merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap

realitas eksternal. Dalam hal ini Barthes menyebutnya denotasi, yaitu makna yang

45
paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk

menunjukkan signifikansi tahap kedua. Konotasi mempunyai makna yang

subyektif dan intersubyektif. Pemilihan kata-kata merupakan pilihan terhadap

konotasi. (Sobur, 2004:128).

Hasil temuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi

domestifikasi perempuan yang terdapat di balik tanda-tanda atau simbol dalam film

Little Women. Penulis mengambil 4 kriteria adegan yang terkait dengan representasi

domestifikasi perempuan yang kemudian dianalisis dengan menggunakan teori

semiotika Roland Barthes. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

1. Adegan yang menampilkan perempuan tidak diberi kebebasan dalam

berkarya.

2. Adegan perempuan hanya ditempatkan dan ditugaskan pada lingkungan

rumah tangga.

3. Adegan perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-

laki.

4. Adegan perempuan dikodratkan menikah dan menjadi pendamping laki-

laki.

46
Scene 1 (00:01:10-00:04:04)

Denotasi: Musik latar hening, tone warna kebiruan menunjukkan timeline masa kini dengan

kesan dingin, teknik pengambilan gambar menggunakan medium shot, tokoh utama Jo

March berdiri menarik nafas panjang dan menghembus beberapa kali.

Konotasi: Adegan menarik nafas panjang dan menghembus beberapa kali menggambarkan

cara menenangkan diri ketika sedang gugup akan menghadapi suatu peristiwa penting..

47
Denotasi: Teknik pengambilan gambar medium close up, dialog: “Temanku minta aku

menawarkan sebuah cerita hasil karyanya. Dia menulisnya. Dia punya cerita lain jika yang

ini cocok”. Selanjutnya kamera mengarah close up ke tangan Jo March yang terdapat bercak

tinta.

48
Konotasi: Pada dialog Jo mengatakan bahwa ia membawa karya temannya, kemudian

kamera menyorot tangan yang terdapat bercak tinta menunjukkan bahwa tulisan itu adalah

karya yang ditulis oleh Jo sendiri.

49
50
Denotasi: Teknik pengambilan gambar medium close up menyorot profil Mr. Dashwood

yang sedang menyunting karya tulisan milik Jo. Mr. Dashwood tertawa kecil dengan

ekspresi meremehkan saat menyingkirkan kertas-kertas tulisan Jo. Sorot kamera berubah ke

close up mengarah ke kertas yang dicorat-coret oleh Mr.Dashwood. Dialog Mr.Dashwood :

“Kami terima. Negara ini baru melewati perang,orang ingin dihibur bukan diceramahi.

Sekarang ini moral tidak laku.”, dialog Mr.Dashwood: “Kami bayar $25 sampai $30 untuk

cerita seperti ini. Kami bayar $20 untuk itu”

51
Konotasi: Laki-laki digambarkan memiliki kuasa atas pengambilan keputusan dan memiliki

kedudukan yang lebih tinggi dari perempuan. Kemampuan dianggap lebih rendah daripada

laki-laki dalam ranah publik.

52
53
Denotasi: Teknik pengambilan gambar medium close up kamera bergantian menyorot

Mr.Dashwood dan Jo March. Dialog:

Jo March: “Perlu kuberi tahu temanku kau akan terima jika dia punya cerita yang lebih

bagus?”

Mr. Dashwood: “Suruh dia buat singkat dan menghibur. Jika karakter utamanya wanita,

pastikan dia menikah di akhir cerita. Atau mati. Salah satunya.

Jo March: “Apa?”

Mr. Dashwood: “Mau tulis apa untuk nama pengarangnya?”

Jo March:”Tidak usah ditulis jika boleh”

Konotasi: Perempuan digambarkan tunduk atas perintah laki-laki dalam hal publik dan

domestik. Jo March tidak mau menunjukkan identitas dalam karyanya karena karya penulis

perempuan di masa itu hanya dipandang sebelah mata.

Mitos: Perempuan tidak diberi kebebasan dalam berkarya karena karyanya dipandang

sebelah mata. Dalam ranah publik, perempuan digambarkan lemah dan tidak signifikan

kehadirannya. Peran perempuan dianggap tidak terlalu penting dan sebagai pemanis cerita

saja, terutama dalam tema percintaan karena perempuan dinilai lebih sensitif dan emosional

mengenai hal yang berhubungan dengan perasaan. Dalam hubungan kekuasaan struktural,

kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki, bahkan dalam karya seni dan sastra,

perempuan sering muncul sebagai simbol kehalusan, sesuatu yang bergerak lamban, bahkan

kadang berhenti.

54
Scene 2 (00:05:46-00:06:01)

55
56
Denotasi: Tone warna kebiruan, musik latar ceria, teknik pengambilan gambar long shot

menunjukkan situasi apartemen yang ramai. Langkah Jo terburu-buru dan berbicara dengan

nada yang ketus. Friedrich mengomentari tulisan Jo yang berbeda dari yang ia tahu. Dialog:

Friedrich: “Selalu bekerja”

Jo March: “Murid-murid membutuhkanku. Uang adalah tujuan dari seluruh pekerjaanku.”

Friedrich: “Tak ada yang menulis sebaik dirimu hanya untuk uang,”

Jo March: “Saudariku Amy di Paris, dan sebelum dia menikahi orang kaya, aku harus

menafkahi keluargaku. Selamat tinggal.”

Konotasi: Perempuan yang berkarir digambarkan sebagai sosok yang keras dan angkuh.

Perempuan memiliki stereotip bahwa mereka lebih mudah menerima ajakan pernikahan dari

laki-laki yang terkenal dan kaya raya.

Mitos: Perempuan digambarkan sebagai sosok yang bergantung pada laki-laki untuk

memenuhi kebutuhan finansial, terlebih lagi untuk perempuan dari keluarga kurang mampu.

Pernikahan dianggap menjadi jalan keluar untuk permasalahan finansial keluarga mereka.

Hal tersebut dikarenakan perempuan identik dengan pekerjaan rumah yang bersifat domestik

dan bukan di ranah publik, oleh karena itu perempuan yang mandiri, bekerja dan

menghasilkan uang sendiri dianggap sebagai hal yang tidak biasa.

57
Scene 3 (00:12:56-00:13:17)

58
59
Denotasi: Suara latar musik orchestra, tone warna kekuningan menggambarkan kilas balik

tokoh utama Jo March saat masa remaja, teknik pengambilan gambar medium shot menyorot

sosok Jo dan Meg March kemudian berpindah long shot menunjukkan latar pesta dansa yang

berisi laki-laki dan perempuan.Dialog:

Meg: “Jangan menatap. Jangan menaruh tangan di belakang. Jangan bersalaman. Jangan

bersiul. Jangan menyumpah, jangan berkata ‘keren’”

Jo ditinggalkan oleh Meg yang pergi berdansa. Kemudian menatap dengan tatapan kosong

ke kerumunan orang yang sedang berdansa.

Konotasi: Stereotip perempuan di masyarakat adalah sebagai makhluk yang lemah lembut

dan anggun. Melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh laki-laki seperti bersiul atau

berbicara keras membuat perempuan dianggap urakan, tidak terhormat, dan sesuai norma

yang berlaku di masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan tidak memiliki

kebebasan dan kesempatan yang sama dalam berperilaku seperti laki-laki.

60
Scene 4 (00:13:38 – 00:14:51)

61
62
63
Denotasi: Suara latar musik orchestra, tone warna kekuningan menggambarkan kilas balik

tokoh utama Jo March saat masa remaja, teknik pengambilan gambar medium shot

menyorot sosok Jo dan Laurie berkenalan. Dialog:

Laurie: “Namamu Nona March?”

Jo: “Ya, Tn.Laurence, tapi aku bukan Nona March. Hanya Jo. Kau tidak menari?”

Laurie: “Aku lama sekali di Eropa, aku tidak tahu caranya disini”

Jo: “Eropa? Oh, itu keren! Aku tak boleh mengatakan itu.”

Laurie: “Kata siapa?”

Jo: “Meg. Dia kakakku. Dia mengingatkanku bersikap baik agar Ayah bangga saat dia

pulang”

Laurie: “Dia kemana?”

Jo: “Sukarela untuk Pasukan Serikat. Aku ingin berperang bersamanya. Aku kecewa menjadi

perempuan.”

Jo dengan ekspresi sedih mengungkapkan kekecewaannya karena tidak bisa ikut berperang

bersama ayahnya.

Konotasi: Perempuan digambarkan memiliki fisik yang lebih lemah daripada laki-laki

sehingga dianggap hanya mampu mengerjakan pekerjaan yang ringan. Perang identik

dengan maskulinitas dan laki-laki, perempuan digambarkan sebagai pihak yang lemah dan

tidak berdaya sehingga ditempatkan di ranah domestik.

Mitos: Konsep maskulinitas dan feminitas masih dikelompokkan pembagiannya

berdasarkan jenis kelamin. Perempuan dikonstruksikan sebagai feminin dan laki-laki sebagai

maskulin. Hal tersebut menggambarkan ketidakadilan gender dengan menggunakan

stereotip feminitas dan domestifikasi perempuan.

64
Scene 5 (00:35:18-00:35:52)

65
66
67
68
Denotasi: Tone warna kekuningan menggambarkan kilas balik tokoh utama Jo March saat

masa remaja, teknik pengambilan gambar medium shot menyorot sosok Jo dan Aunt

March. Aunt March berkata kepada Jo bahwa sama seperti wanita yang lain, ia harus

menikah dengan baik untuk menjadi wanita terhormat.

Konotasi: Meskipun perempuan bisa mengusahakan kesejahteraannya sendiri, stereotip

yang melekat di masyarakat menganggap bahwa menikah adalah jalan untuk membuat

perempuan menjadi terhormat. Perempuan dinilai berhasil dalam hidupnya ketika dia

menikah dengan laki-laki yang memiliki kedudukan dan kaya raya.

Mitos: Di masa itu tidak ada cara terhormat bagi perempuan untuk menghasilkan uangnya

sendiri kecuali membuka rumah bordil atau tampil di panggung. Kodrat perempuan adalah

menikah, menjadi pendamping laki-laki dan bergantung pada laki-laki. Posisi perempuan

yang tidak setara dengan laki-laki membuatnya tidak memiliki kesempatan yang sama

69
misalnya dalam hal pencarian nafkah. Tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan oleh

perempuan, kalaupun ada stereotip yang melekat pada perempuan membuat hasil

pekerjaannya dipandang sebelah mata.

Scene 6 (01:05:49 – 01:06:17)

70
Denotasi: Tone kebiruan menunjukkan bahwa timeline berada pada masa kini, masa

dimana para tokoh sudah dewasa. Tekmik pengambilan gambar medium shot menyorot

sosok Amy yang sedang berbicara kepada Laurie. Amy berkata kepada Laurie bahwa

sebagai perempuan ia tidak bisa menghasilkan uang sendiri dan harus bergantung pada

suaminya. Ekspresi yang ditunjukkan dari cara Amy berbicara berkesan sarkastik.

Konotasi: Perempuan digambarkan sebagai entitas yang melekat dan akan selalu

bergantung pada laki-laki. Bahkan setelah menikah perempuan tidak lagi memiliki

kebebasan dan identitasnya sendiri melainkan menjadi kepemilikan suaminya.

Mitos: Posisi perempuan dalam rumah tangga masih dianggap sebagai peran pembantu

suami. Meskipun sudah memiliki hak untuk bekerja, perempuan yang sudah menikah masih

dianggap sebagai penunjang pekerjan suami. Hal ini disebabkan karena perempuan

dipercaya untuk menjaga rumah dan mengurus kebutuhan rumah tangga (Miswoni, 2016).

Tabel 3. Tahapan Analisis Berdasarkan Scene

71
4.3 Pembahasan

Dari hasil temuan di atas, peneliti melihat bagaimana domestifikasi

perempuan direpresentasikan dalam film Little Women dengan perspektif

ketimpangan gender dan stereotip yang melekat pada perempuan. Dengan

menggunakan analisis semiotik, peneliti menunjukkan bagaimana tanda dan simbol

yang ada dalam film merepresentasikan makna tertentu. Selanjutnya media massa

yang akan berperan dalam mengubah tanda dan simbol tersebut menjadi ideologi

tertentu yang ditujukan kepada masyarakat. Beberapa persoalan yang menarik

untuk dibahas diantaranya tentang ketimpangan gender yang menyebabkan

perempuan tidak bebas dalam berkarya, perempuan yang hanya ditugaskan dan

ditempatkan di lingkungan rumah tangga, perempuan yang tidak diberikan

kesempatan yang sama dengan laki-laki, serta stereotip kodrat perempuan sebagai

pendamping laki-laki dan harus menikah.

Ketidaksetaraan gender memunculkan relasi kuasa dan perbedaan

kebebasan berkarya antara laki-laki dan perempuan. Dalam masyarakat, laki-laki

mempunyai posisi yang lebih tinggi dan memiliki kuasa lebih dari perempuan

dalam hal pengambilan keputusan. Hal ini digambarkan dalam scene pertama, yaitu

ketika Mr.Dashwood menyunting karya tulis Jo dan menyingkirkan beberapa

halaman karena dinilai tidak cocok untuk diterbitkan. Adegan selanjutnya

menunjukkan saat Mr.Dashwood tertawa kecil dengan ekspresi meremehkan saat

menyunting tulisan Jo March. Dari adegan tersebut digambarkan bahwa

kemampuan perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki dalam ranah

publik. Stereotip yang melekat juga menggambarkan bahwa perempuan tunduk atas

72
perintah laki-laki dalam hal publik dan domestik. Jo yang merupakan seorang

penulis perempuan terpaksa menyembunyikan identitas pada karyanya dengan cara

mengaku ke Mr.Dashwood bahwa itu adalah karya temannya karena karangan

penulis perempuan pada saat itu dipandang sebelah mata. Karya yang ditulis oleh

Jo adalah cerita dengan karakter utama perempuan. Di masa itu, karya yang

dianggap laku secara komersil adalah karya yang jika karakter utamanya

perempuan, pastikan ia menikah dengan laki-laki atau meninggal di akhir cerita.

Hal ini semakin memperkuat fakta bahwa dalam hubungan kekuasaan struktural,

kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan digambarkan

lemah dan tidak signifikan kehadirannya. Dalam cerita, peran perempuan dianggap

tidak terlalu penting dan hanya sebagai pemanis saja terutama dalam tema

percintaan karena perempuan dinilai lebih sensitif dan emosional mengenai hal

yang berhubungan dengan perasaan.

Pada scene kedua film ini, saat Jo dikritik oleh Friedrich mengenai

tulisannya, ia menanggapinya dengan nada ketus. Dalam adegan ini perempuan

yang sibuk berkarir digambarkan sebagai sosok yang ambisius, keras, dan angkuh.

Jo March juga berkata bahwa ia menjadi tulang punggung keluarganya hingga

adiknya menikah dengan laki-laki kaya di Paris. Dalam masyarakat, budaya

patriarki yang masih mengakar menjadi faktor yang berpengaruh terhadap

permasalahan ketidaksetaraan gender. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang

bergantung pada laki-laki untuk memenuhi kebutuhan finansial, terlebih lagi untuk

perempuan dari keluarga kurang mampu.

73
Perempuan distereotipkan lebih mudah menerima ajakan pernikahan dari

laki-laki yang terkenal dan kaya raya. Pernikahan dianggap menjadi jalan keluar

untuk permasalahan finansial keluarga. Hal tersebut dikarenakan perempuan

identik dengan pekerjaan rumah yang sifatnya domestik dan bukan di ranah publik,

oleh karena itu perempuan yang mandiri, bekerja, dan menghasilkan uang sendiri

dianggap sebagai hal yang tidak biasa. Kata “dapur, sumur, kasur” masih selalu

dikaitkan dengan perempuan. Padahal ungkapan tersebut dinilai sudah usang dan

tidak lagi dapat dibuktikan secara nyata karena di masa kini banyak perempuan

yang mengambil peran penting di ranah publik. Namun pada kenyataannya,

perempuan masih terus dilekatkan dengan “ dapur, sumur, kasur” dan belum

mampu keluar secara utuh tanpa tendensi apapun.

Adegan dan dialog pada scene ketiga dan keempat menunjukkan bahwa di

ranah publik, perempuan tidak memiliki kebebasan dan kesempatan yang sama

dalam berperilaku seperti laki-laki. Adegan saat Jo dan Meg menghadiri pesta, Meg

melarang Jo untuk tidak melakukan perkataan dan perbuatan yang biasanya

dilakukan laki-laki. Stereotip perempuan di masyarakat adalah sebagai makhluk

yang lemah lembut dan anggun. Melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh laki-

laki seperti bersiul atau berbicara dengan keras membuat perempuan dianggap

urakan, tidak terhormat, dan tidak sesuai dengan norma yang berlaku.

Kemudian saat Jo bercerita kepada Laurie bahwa Meg memintanya untuk

menjadi gadis yang baik agar ayahnya bangga, Jo dengan ekspresi sedih

mengatakan bahwa ia kecewa terlahir sebagai perempuan karena ridak bisa

bertempur di medan perang bersama ayahnya. Perempuan digambarkan memiliki

74
fisik yang lebih lemah dibanding laki-laki sehingga dianggap hanya mampu

mengerjakan pekerjaan yang ringan. Perang identik dengan maskulinitas dan laki-

laki, perempuan digambarkan sebagai pihak lemah dan tidak berdaya sehingga

ditempatkan di ranah domestik. Konsep maskulinitas dan feminimitas masih

dikelompokkan pembagiannya berdasarkan jenis kelamin. Perempuan

dikonstruksikan sebagai feminin dan laki-laki sebagai maskulin. Hal tersebut

menggambarkan ketidakadilan gender dengan menggunakan stereotip feminitas

dan domestifikasi perempuan. Asosiasi antara perempuan dan aktivitas domestik

bahkan sudah melekat jauh sebelum perempuan lahir yang kemudian diinternalisasi

menjadi budaya. Perempuan dinilai tidak dapat berkontribusi secara aktif di luar

rumah dan perannya tidak lebih dari sekadar aktivitas dalam rumah. Bahkan di

dunia kerja banyak posisi strategis yang ditutup aksesnya bagi perempuan.

Perempuan dinilai sebagai makhluk yang sensitif dan mengedepankan perasaan

sehingga sulit mengambil keputusan dengan bijak, oleh karena itu perempuan

dianggap tidak pantas memimpin dalam pekerjaan (Tuwu, 2018).

Film Little Women memberikan kontribusi pelabelan dan pemberian makna

stereotip pada perempuan diantaranya adalah kodrat perempuan yang diharuskan

menikah dan menjadi pendamping laki-laki. Pada scene kelima, Aunt March

berkata kepada Jo bahwa sama seperti perempuan lain, ia harus menikah dengan

baik untuk menjadi perempuan terhormat. Makna dari adegan ini menunjukkan

bahwa meskipun perempuan bisa mengusahakan kesejahteraannya sendiri,

stereotip di masyarakat menganggap bahwa menikah adalah jalan untuk membuat

perempuan menjadi terhormat. Perempuan akan dinilai berhasil dalam hidupnya

75
ketika ia menikah dengan laki-laki. Posisi perempuan yang tidak setara dengan laki-

laki membuatnya tidak memiliki kesempatan yang sama misalnya dalam hal

pencarian nafkah sehingga harus tetap bergantung pada laki-laki.

Scene keenam pada film ini, yaitu saat Amy berkata pada Laurie bahwa

sebagai perempuan ia tidak bisa menghasilkan uang sendiri sehingga harus

bergantung pada suaminya. Adegan ini menunjukkan bahwa perempuan

digambarkan sebagai entitas yang melekat dan akan selalu bergantung pada laki-

laki. Bahkan setelah menikah perempuan tidak lagi memiliki kebebasan dan

identitasnya sendiri. Posisi perempuan dalam rumah tangga masih dianggap sebagai

peran pembantu suami. Meskipun memiliki hak untuk bekerja, perempuan yang

sudah menikah masih dianggap sebagai penunjang pekerjaan suami. Hal ini

disebabkan karena perempuan dipercaya untuk menjaga rumah dan mengurus

kebutuhan suami (Miswoni, 2016). Secara tradisional, peran perempuan masih

identik dengan kegiatan non-ekonomi yaitu sebagai pengurus rumah tangga dan

pengasuh anak. Tidak ada jaminan serta penghargaan dalam bentuk materi pada

peran perempuan di ranah domestik. Padahal perempuan memberikan kesempatan

yang lebih kepada laki-laki dalam melakukan kegiatan ekonomi. Hal ini

menunjukkan bahwa perempuan yang bekerja siang malam dalam rumah tangga

jarang diapresiasi, bahkan status sosial dan ekonominya selalu mengikuti suami dan

bukan dianggap pencapaiannya sendiri (Tuwu, 2018).

Dari uraian pembahasan analisis, peneliti menemukan bahwa

bagaimanapun tokoh perempuan digambarkan dalam film ini berusaha melawan

stigma yang melekat pada dirinya dengan mengusahakan kesejahteraannya sendiri

76
dan menuntut hak yang sama dengan laki-laki, tetap saja ada masalah-masalah yang

berkaitan dengan domestifikasi menghambat ambisinya. Permasalahan ini akhirnya

menimbulkan masalah baru dimana impian perempuan terbatas hanya bekerja saja

untuk mengaktualisasi diri, menghasilkan pundi-pundi ekonomi, mendapat

apresiasi dari keluarga, dan tidak bergantung pada laki-laki. Di sisi lain perempuan

harus mengubur cita-cita individunya secara perlahan bersama tumpukan beban

menjalankan fungsi ganda. Little Women adalah film yang memberikan perspektif

mengenai isu ketidaksetaraan gender yang masih menjadi stigma di masyarakat

hingga saat ini. Kedudukan serta peran perempuan pada tahun 1800an direpresi dan

direduksi menjadi the second sex yang keberadaannya tidak signifikan dalam

masyarakat. Budaya patriarki yang sudah mengakar dan diinternalisasi adalah

faktor utama praktik ini masih berlaku hingga sekarang. Hal ini ironis karena

representasi isu domestifikasi perempuan dalam film yang berlatar waktu lebih dari

150 tahun yang lalu tidak jauh berbeda dan masih relevan di masa sekarang.

77
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada film Little Women (2019)

dengan perspektif ketidaksetaraan gender, peneliti menemukan bahwa

domestifikasi perempuan digambarkan jelas pada beberapa adegan. Bentuk

representasi domestifikasi perempuan dapat dilihat dan dimaknai lewat teks

percakapan maupun gambar dengan metode analisa semiotik Roland Barthes.

Tanda yang ditonjolkan antara lain seperti stereotip perempuan sebagai makhluk

yang lebih lemah daripada laki-laki sehingga identik dengan hal-hal yang bersifat

rumah tangga, stereotip tradisional dimana kodrat perempuan adalah menikah dan

menjadi pendamping laki-laki, serta relasi kuasa yang digambarkan dengan

dominasi laki-laki pada sektor publik. Karakter tokoh utama sebagai sosok yang

berusaha melawan stigma-stigma yang melekat pada dirinya sebagai perempuan di

awal film, lama kelamaan memunculkan sifat-sifat seperti yang digambarkan

stereotip perempuan di masyarakat yaitu tunduk dan menjadi pihak subordinat serta

ditempatkan di ranah domestik.

Sebagai media massa, film akan berpengaruh terhadap penonton secara

tidak langsung. Salah satu dari beragam ideologi yang disampaikan oleh media

kepada masyarakat adalah stereotip gender. Dengan stereotip gender yang sudah

tertanam dan mengakar, masyarakat dapat mengartikan seperti itulah representasi

domestifikasi perempuan. Meski tidak selalu digambarkan dalam keseluruhan film,

78
beberapa adegan yang dipilih dan dianalisis cukup representatif menunjukkan

domestifikasi perempuan dalam film tersebut..

5.2 Saran

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menambah literatur penelitian

kualitatif di program studi Ilmu Komunikasi Universitas Semarang.

Di masa sekarang ini dengan majunya pergerakan feminisme yang menuntut

kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, media dalam hal ini film diharapkan

dapat menghasilkan tayangan yang lebih sensitif mengenai hal yang berkaitan

dengan representasi gender, sehingga pesan terkait isu-isu tersebut tersampaikan

dan mengedukasi masyarakat. Namun hal ini akan menjadi sulit jika ideologi yang

tertanam pada individu dan kelompok yang bekerja di balik media masih

menerapkan prinsip patriarki. Perempuan kini sudah memiliki kualitas-kualitas

yang setara dengan laki-laki dalam ranah publik, jadi tidak seharusnya stereotip

tradisional terhadap perempuan tetap disematkan.

Peneliti berharap dengan adaanya penelitian ini dapat mendorong sineas

perempuan di Indonesia untuk lebih aktif dalam memproduksi film yang

mengangkat isu-isu perempuan dan kesetaraan gender. Penelitian ini juga

diharapkan dapat menjadi acuan untuk penelitian-penelitian serupa di masa yang

akan datang, meskipun masih banyak terdapat kekurangan.

Pada penelitian-penelitian selanjutnya, diharapkan penelitian dilakukan

lebih lanjut dengan melibatkan tanggapan penonton perempuan dengan cara

wawancara mendalam beberapa narasumber untuk mendapatkan lebih banyak

79
perspektif. Hal ini berkaitan dengan minat penonton perempuan terhadap film

dengan karakter utama perempuan. Beberapa penelitian terkait dengan isu

perempuan diantaranya adalah “Representasi Girl Power dan Perlawanan

Domestifikasi Perenpuan Dalam Film Charlie’s Angel” oleh DA Triana,

“Representasi Perempuan Dalam Film Spectre” oleh DD Elsha, dan “Representasi

Perempuan Dalam Film Tilik” oleh AN Hanifah. Oleh karena itu, penelitian

selanjutnya diharapkan dapat mengelaborasi masalah representasi domestifikasi

perempuan dalam film secara lebih dalam.

Peneliti juga berharap akan ada lebih banyak film yang mengangkat isu

tentang domestifikasi perempuan dan kesetaraan gender agar menjadi acuan untuk

masyarakat mengenai peran perempuan dalam ranah publik.

80
DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro. 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa


Rekatama Media.

Aviomeita, Friska. 2016. Representasi Perempuan Dalam Film (Analisis Seniotika


Representasi Perempuan Dalam Film “Fifty Shades Of Grey”).
https://journal.isi.ac.id/index.php/sense/article/view/5100 . Diakses pada
12 Januari 2022.

Barthes, Roland. 1988. The Semiotics Challenge. New York: Hill and Wand.

Beere, Carole A. 1990. Gender Roles: A Handbook Of Test and Measures.


Connecticut: Greenwood Press

Berger, Arthur Asa. 2000. Media Analysis Technique. Yogyakarta: Penerbit


Universitas Atma Jaya.

BPS. 2021. Kajian Penghitungan Indeks Ketimpangan Gender 2021. Jakarta:


Badan Pusat Statistik

Bungin & Burhan. 2008. Analisa Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada
Media Group.

Hall, Stuart. 1997. Representation: Cultural Representation and Signifying


Practices. London: Sage

Jowett, G & James M. Linton. 1980. Movies as Mass Communication. USA: SAGE
Publication.

Krissandy. 2014. Unsur-Unsur Film. Jakarta: UIN Syarif Hidayatulah.

81
Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenanda
Media Group.

McQuail, Dennis. 2005. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Jakarta:


Erlangga

Miswoni, Anis. 2016: Stereotip Kesetaraan Gender Terhadap Budaya Pernikahan


Dini Pada Masyarakat Madura. https://eco-
entrepreneur.trunojoyo.ac.id/pamator/article/view/3364. Diakses pada 6
Juni 2022.

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda


Karya

Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja


Rosdakarya

Piliang, Yasraf Amir. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika: Gaya, Kode, dan
Matinya Makna. Bandung: Matahari.

Pranajaya, Adi. 1999. Film dan Masyarakat; Sebuah Pengantar. Jakarta: Yayasan
Pusat Perfilman H. Usmar Ismail.

Pratista, Himawan. 2008. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka.

Ridwan, Fauzi & Muhammad Adji. 2019. Representasi Feminisme Pada Tokoh
Utama Dalam Film Crazy Rich Asian: Kajian Semiotika.
https://journal.unpak.ac.id/index.php/salaka/article/view/1282 . Diakses
pada 10 Oktober 2021.

Rogers, Barbara. 1980. The Domestication Of Women: Discrimination in


Developing Societies. Great Britain: Kogan Page Ltd.

Rukajat, Ajat. 2018. Pendekatan Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Deepublish.

82
Siswati. 2015. Representasi Domestikasi Perempuan Dalam Iklan.
https://ojs.uajy.ac.id/index.php/jik/article/view/417 . Diakses pada 5
Desember 2021.

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya

__________. 2009. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta.

Sugono, Dendy dkk. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional

Sumarno, Marselli. 1996. Dasar-Dasar Apresiasi Film. Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama.

Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan, dan Perempuan. Jakarta: Penerbit Buku


Kompas.

Sutorini, MP, Muhammaf Alif, Sarwani. 2019. Semiotika Gender Dalam Film
Brave. https://journal.unpad.ac.id/protvf/article/view/21246 . Diakses pada
10 Oktober 2021.

Tuwu, Darmin. 2018. Peran Pekerja Perempuan Dalam Memenuhi Ekonomi


Keluarga: Dari Peran Domestik Menuju Sektor Publik.
https://ejournal.iainkendari.ac.id/index.php/al-izzah/article/view/872/0.
Diakses pada 6 Juni 2022.

Ulhasanah, Luluk. 2020. Pemaknaan Stereotip Gender Dan Kelas Sosial Pada Film
Little Women. https://journal.isi.ac.id/index.php/sense/article/view/5100 .
Diakses pada 10 Oktober 2021.

83
Watie, Errika Dwi Setyo. 2010. Representasi Wanita Dalam Media Massa Massa
Kini. https://journals.usm.ac.id/index.php/the-messenger/article/view/297 .
Diakses pada 1 Oktober 2021.

Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2011. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra


Wacana Media.

Zaimar. 2001. Meretas Ranah Bahasa, Semiotika, dan Budaya. Yogyakarta:


Bentang Budaya

84
B u k i n
a c c

revisi skripSi setelah ujian


I r e v i s j

M iE a N
l u r w a h y i

ahyu

Putri
(G.331 G.331.17.0083) mahasiswa ilkom Mrs. Retno Manuhoro
mohon tanya jadwal Mas Edi d
kampu
re sore sampai jam berapa ya mas?
Mohon maaf bu semalam saya kirim
mau
konsulta,
perihal revisi skripsi Tenya ketinggalan, yg point 'berusaha
Saya
SIdang. Terim
Terima kasih.
pasca melawan' ternyata ada di BAB IV A
saya
7.10 AM 209PM
aagenda di jkt.
selasa ada oke-nanti malam dikirim lagi ya 21 M
ada
s e l a s a

an
smp
Saya
8:00 AM
Barusan sudah saya kirim ke email bu
wa
aja 8:01 AM 211 PM
oy
Kinim

Baik Mas Edi, terima kasih g04 AM owg udah ya 211 PM


oke 211 PM
saya baca 2:11 PM

wait 2:11 PM
POF Revisi temuan pene.. Baik bu 2:11 PM

33pages 2.0 MB
PDF 12:55 PM
berikut revisi
Selamat siang Mas tdi,
temuan penelitian domestifikasi

dalam tilm Little


Women
perempuan
catatan Mas Edi saat
sesuai dengan detail scene
yaitu terkait
ujan skripsi pembahasan yang
analisis dan
pada teori. Mohon
review dan
2:14 PM
Oke noted
sesuai dengan
koreksinya. Terima kasih. 12:55 PM
udah mbak-ACC
selesai 2:15 PM

Ok saya acC 2:01 PM


Retno. Untuk tanda
Terima kasih Bu
Terima kasih mas 206 PM

Message

0 Message
LEMBAR KONSULTASI

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS SEMARANG

KARTU KONSULTASI SEMINAR DAN SKRIPSI

Nama : Meta Rahayu Putri


NIM : G.331.17.0083

Judul Tugas Akhir : Representasi Domestifikasi Perempuan Dalam Film Little Women
Tanggal Mulai : 14 September 2021
Pembimbing Seminar : Errika Dwi Setyawatie, S.Sos, M.I.Kom
Pembimbing Skripsi : Errika Dwi Setyawatie, S.Sos, M.I.Kom

LEMBAR KONSULTASI

No Tanggal Materi yang Dikonsultasikan Keterangan TTD


1 30-Sep-21 Judul proposal skripsi Silahkan menyusun BAB I

-Pada latar belakang belum ada


kejelasan membahas feminisme
jenis apa dan mengapa
feminisme tersebut?
- Akan menggunakan metode
analisa apa?
- Ulasan tentang feminisme
2 14-Oct-21 Konsultasi BAB I
sudah banyak, kenapa tidak
coba membedah representasi
domestikasi perempuan saja?
- Jika mau semiotika, maka
menarik menggunakan analisa
Barthes namun arahnya
mengkritik

Konsultasi revisi BAB I, perubahan Tambahkan di latar belakang


objek penelitian dari Representasi secara singkat pemahaman
3 10-Jan-22
Feminisme menjadi Representasi domestifikasi itu bagaimana
Domestikasi Perempuan secara umum

Konsultasi revisi BAB I, penambahan


4 11-Jan-22 pemahaman domestifikasi pada latar Lanjut Tinjauan Pustaka
belakang

Lengkapi tinjauan dengan


kerangka pikir..sekaligus
kerjakan juga metodologi
5 17-Jan-22 Konsultasi BAB II Tinjauan Pustaka penelitian
LEMBAR KONSULTASI

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS SEMARANG

KARTU KONSULTASI SEMINAR DAN SKRIPSI

Nama : Meta Rahayu Putri


NIM : G.331.17.0083

Judul Tugas Akhir : Representasi Domestifikasi Perempuan Dalam Film Little Women
Tanggal Mulai : 14 September 2021
Pembimbing Seminar : Errika Dwi Setyawatie, S.Sos, M.I.Kom
Pembimbing Skripsi : Errika Dwi Setyawatie, S.Sos, M.I.Kom

LEMBAR KONSULTASI

No Tanggal Materi yang Dikonsultasikan Keterangan TTD

Konsultasi BAB II lengkap dengan


kerangka berpikir dan BAB III Teknik analisis di metodologi
Metodologi Penelitian kurang detail menampilkan
6 19-Jan-22 langkah analisis roland barthes
Konsultasi Revisi BAB III, Lengkapi berkas dan daftarkan
melengkapi detail tahapan teknik sidang
7 19-Jan-22 analisis di metodologi

Ok acc. Detailnya nanti saya


koreksi lagi bab 1-3 saat sudah
8 3-Feb-22 Revisi proposal seminar setelah sidang mulai skripsi

Sajian temuan tidak bisa


Konsultasi BAB IV, hasil temuan dipahami. Buat tampil urutan,
9 14-Feb-22 penelitian gambar, dan analisa Barthesnya.

Cara analisa salah,


konotasi itu memaknai bukan
menjelaskan ulang filmnya.
Misal scene pertama
konotasinya anda tulis begini "-
Gerakan Mr.Dashwood
menyingkirkan beberapa
Konsultasi revisi BAB IV hasil lembartulisan Jo
10 30-May-22 menggambarkan bahwa
temuan penelitian
tulisannya tidak menjual karena
tulisan tersebut dinilai terlalu
idealis untuk
diterbitkan" ini anda
menjelaskan filmnya bukan
memaknai potongan gambar tsb.
Memaknai itu misalnya Mr
Dashwood menunjukkan
kekuasaannya atas Jo.
LEMBAR KONSULTASI

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS SEMARANG

KARTU KONSULTASI SEMINAR DAN SKRIPSI

Nama : Meta Rahayu Putri


NIM : G.331.17.0083

Judul Tugas Akhir : Representasi Domestifikasi Perempuan Dalam Film Little Women
Tanggal Mulai : 14 September 2021
Pembimbing Seminar : Errika Dwi Setyawatie, S.Sos, M.I.Kom
Pembimbing Skripsi : Errika Dwi Setyawatie, S.Sos, M.I.Kom

LEMBAR KONSULTASI

No Tanggal Materi yang Dikonsultasikan Keterangan TTD

Konsultasi revisi BAB IV analisa hasil


11 2-Jun-22 temuan penelitian Lanjut pembahasan

12 7-Jun-22 Konsultasi BAB IV Pembahasan OK lanjut Bab 5. kesimpulan

-Mbak bisa tidak jumlah


halaman ditambah hinggal
minimal 60? Anda bisa
Konsultasi BAB V Kesimpulan dan tambahkan di pembahasan atau
13 8-Jun-22
Saran temuan...di bab 5 saja atau bisa
juga di latar belakang dan
tinjauan pustaka...yg skrg total
terlalu sedikit…

- ok, lengkapi berkas, daftarkan


14 9-Jun-22 Konsultasi BAB I - V Lengkap
sidang
YAYASAN ALUMNI UNIVERsITAS DIPONE GORO
UNIVERSITA SS SEM ARANG
A SStN
FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
Sekretariat: Jl. Soekarno Hatta Tlogosari Semarang 50196 Telp. (024) 6702757 Fax. (024) 6702272
USM Veb site www.usm.ac.id E-mall: univ_smg@usm.ac.id

SURAT PENUNJUKKAN PEMBIMBING

Nomor G / USM.H5.FTIK/V/2022
Lamp.
Hal : Bimbingan Skripsi

Kepada Yth.
Dosen Pembimbing Skripsi
Errika Dwi Setya Watie, S.Sos.,M.l.Kom
Fakultas Teknologi Informasi dan Komunikasi
UNIVERSITAS SEMARANG
Di Semarang

Dengan hormat,
Untuk menempuh mata kuliah Skripsi pada Program S1lmu Komunikasi, mohon kepada
mahasiswa yang tersebut di bawah ini:
Nama Metta Rahayu Putri
NIM G.331.17.0083
Program Studi Imu Komunikasi
Pembimbing Skripsi Erika Dwi Setya Watie, S.Sos.,M.I.Kom
Judul TA Representasi Domestifikasi Perempuan di Film Little Women
Dapat diberikan bimbingan dalam pembuatan Skripsi berupa konsutasi dan asistensi.Perlu
kami sampaikan bahwa penyelesaian Skripsi paling lama 1 tahun terhitung semenjak
dikeluarkannya surat penunjukan dosen Pembimbing. Apabila dalam jangka waktu tersebut
belum selesai, maka penulisan Skripsi tersebut dapat
diperpanjang selama 1 tahun berikutnya
dengan memperbarui persyaratan.
Demikian untuk menjadikan periksa, atas bimbingan dan bantuannya diucapkan terimakasih.

Mengetahui
ALUMN URIVERAN, Bekan
SiiAS Ketua Program Studi
A Wakil Dekan lImu Komunikasi

irienoor Fanáni, S.Sos., M.Kom Edi Nurwahyü Julianto, S. Sos., M.I.Kom


ko NS.06557000606017 NIS.06557000606014
Tembusan
1. Mahasiswa
2. Koordinator Skripsi
3 Arsip

FAKULTAS HUKUM Prodi. $1 lUmu Hukum FAKULTAS PSIKOLOGI:Prodi. S1 Psikologi


FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI:
FAKULTAS EKONOMI: Prodi. D-Il Manajemen Perusahaan; S1 Manajemen;$1 Akuntansi
Kota Prodi. S1 Teknik Informatika; S1 Sistem Informasi; S1 llmu Komunikasi; Si Pariwisata
FARULTAS ERNIK: Prodi. Si Teknik Sipit; S1 Teknik Elektro; $1 Perencanaan Wilayah dan PROGRAM PASCA SARJANA : Magister Manajemen; Magister Hukum; Magister Psikologi
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN: Prodi.$1TeknologiHasilPertanian

Anda mungkin juga menyukai