Anda di halaman 1dari 125

DINAMIKA KONFLIK PERAN PADA SATUAN POLISI

PAMONG PRAJA KOTA ADMINISTRASI JAKARTA BARAT

Skripsi
Guna Memenuhi Persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:
Jeffrey Satria Rahadian
2004-70-033

Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Jakarta
Juni 2010
DINAMIKA KONFLIK PERAN PADA SATUAN POLISI
PAMONG PRAJA KOTA ADMINISTRASI JAKARTA BARAT

Oleh
Jeffrey Satria Rahadian
2004-70-033

Dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 03 Agustus 2010

Menyetujui,

Pembimbing Skripsi

Dr. Nani Nurrachman, Psi.

Dekan Fakultas Psikologi


Universitas Katolik Atma Jaya

Dr. phil Juliana Murniati, M.Si

Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta
Agustus 2010
ABSTRAK

Jeffrey Satria Rahadian. 2004-70-033


Gambaran Dinamika Konflik Peran pada Petugas Satpol PP Wilayah
Jakarta Barat.

DKI Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan


pusat dari pemerintahan, perekonomian, dan administrasi negara. Tidak
mengherankan jika begitu banyak masyarakat yang berasal dari luar Ibukota ingin
merasakan kehidupan di tempat pusat pemerintahan tersebut. Arus urbanisasi
yang deras berdampak pada kepadatan penduduk yang terpusat dan tidak hanya
itu, lapangan pekerjaan pun menjadi semakin sedikit. Para pendatang
berkompetisi dengan para penduduk setempat untuk mendapatkan pekerjaan.
Hasilnya tidak sedikit dari mereka yang gagal, sehingga harus membuka usaha
menjadi pedagang kaki lima (PKL) atau bahkan menjadi penyandang masalah
kesejahteraan sosial (PMKS).
Tempat tinggal pun menjadi masalah. Tidak sedikit dari para pendatang harus
berkompetisi untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Para pendatang yang
tidak memiliki cukup uang untuk mendirikan tempat tinggal lahan kosong yang
dilakukan tanpa ijin resmi. Penggunaan lahan tak bertuan, PMKS, dan PKL
ternyata mennimbulkan masalah bagi pemerintah DKI Jakarta. Masalah tersebut
timbul ketika PKL menggunakan tempat-tempat umum untuk mengadakan
transaksi jual beli, lahan-lahan yang digunakan tanpa ijin ternyata dimiliki oleh
pihak-pihak lain, dan PMKS yang mengganggu ketertiban umum dan
menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Masalah-masalah tersebut adalah alasan
terbentuknya perangkat Pemerintah Daerah yaitu Satuan Polisi Pamong Praja atau
Satpol PP, yang bertugas untuk memelihara ketentraman, ketertiban umum dan
menegakkan Peraturan Daerah.
Satpol PP sebagai perangkat Pemerintah Daerah dalam kesehariannya bertugas
untuk menjaga ketentraman, ketertiban umum dan penegakkan Peraturan Daerah
dengan cara menertibkan PKL dan PMKS yang berada di tempat-tempat umum,
dan mengosongkan lahan yang tidak memiliki ijin resmi. Tugas yang dilakukan
oleh Satpol PP berdasar pada ketentuan dan hukum yang berlaku itu ternyata
kerap kali mengundang kecaman dari banyak pihak. Beberapa pihak merasa
dirugikan oleh setiap tindakan yang dilakukan oleh pihak Satpol PP ketika
melaksanakan tugasnya. Beberapa media meliput pula adanya tindak kekerasan
yang dilakukan oleh Satpol PP ketika melaksanakan tugas.
Paparan di atas menjadi latar belakang penelitian ini, dimana peneliti akan
menggali gambaran dinamika konflik peran pada Satpol PP yang bertugas di
wilayah Jakarta Barat. Konflik peran terjadi ketika individu yang menjalankan
peran sebagai Satpol PP mendapatkan pertentangan antara ekspektansi dari
masyarakat dengan ekspektansi organisasi. Melihat bagaimana media dan
masyarakat memberikan penilaian buruk terhadap Satpol PP menimbulkan konflik
dalam individu yang menjalankan peran sebagai Satpol PP. Untuk menggali
dinamika gambaran konflik peran dalam individu tersebut diperlukan teori peran
dan struktur karakter yang pada akhirnya dapat memberikan gambaran dinamika
konflik pada peran Satpol PP.

Untuk memberikan gambaran dinamika konflik yang terfokus dan cukup


mendalam, maka metode wawancara digunakan untuk pengambilan data.
Wawancara dilakukan kepada tiga orang subjek dengan jenis kelamin laki-laki.
Ketiganya bekerja sebagai Satpol PP di wilayah Jakarta Barat. Wawancara
dilakukan semi terstruktur, dan berfokus langsung pada pertanyaan mengenai
peran mereka sebagai Satpol PP.
Hasil menunjukkan bahwa memang terjadi konflik peran dalam diri individu
yang menjalankan peran sebagai Satpol PP. Konflik peran yang terjadi adalah
ketika ekspektansi yang diberikan oleh organisasi menjadi berbeda dengan
ekspektansi peran yang berasal dari masyarakat. Walaupun terjadi konflik peran
pada diri individu-individu yang menjalankan peran sebagai Satpol PP, mereka
tetap mempertahankan peran tersebut. Individu yang menjalankan peran sebagai
Satpol PP juga merasakan bahwa sebetulnya tugas yang mereka lakukan di
lapangan tidak selalu sesuai dengan keinginan mereka, tetapi semuanya itu harus
dilakukan karena ada ekspektansi peran telah diberikan kepada mereka. Selain itu
imbalan yang diberikan kepada individu yang menjalankan peran sebagai Satpol
PP membuat para mereka tidak bisa melepaskan perannya Satpol PP.
KATA PENGANTAR

Ucapan puji syukur dan terima kasih yang berlimpah dihaturkan peneliti kepada
Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberikan kekuatan dan hikmat dalam
pembuatan penelitian ini. Atas kasih karuniaNya, maka penelitian ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Peneliti juga ingin berterima kasih kepada beberapa orang yang telah mengambil
bagian penting dalam proses penyelesaian penelitian ini, yaitu :
1. Pembimbing skripsi, Dr. Nani Nurrachman yang telah memberikan
bimbingan dan sumbangan berupa ide dan sumber-sumber bacaan yang
berguna untuk menyelesaikan penelitian ini.
2. Pembimbing akademik, Maria Theresia Asti Wulandari, Psi yang telah
memberikan bimbingan akademis dan moral selama peneliti menimba
ilmu di fakultas Psikologi Unika Atma Jaya.

3. Dosen-dosen beserta staff yang telah membantu peneliti untuk


menyelesaikan segala perkuliahan dan memberikan bekal ilmu selama
berada di fakultas Psikologi Unika Atma Jaya.
4. Terima kasih untuk Kepala Seksi Satpol PP Jakarta Barat, Bpk Choiruddin
beserta dengan ketiga subjek yaitu BT, BO, dan AR yang telah
berpartisipasi mengikuti penelitian ini.
5. Terima kasih kepada keluarga terutama kedua orang tua peneliti, Johny
Rahadi dan Lanny Rahadi serta adik peneliti Claudia Gracia Sarita
Rahadian yang tidak henti-hentinya memberikan support dan kepercayaan
bagi peneliti dalam menjalankan penelitian ini.

6. Rekan-rekan peneliti di Unika Atma Jaya yang telah membantu


terlaksananya penelitian ini, Jonathan C. Dana, Rio Setiadi, Sity
Noerlasiah, Agnes Widiawati, Christa Amadea, Yunar Prawira Negara,
Jennifer Stefanie Nugraha, dan Stanley Tri Putra.
7. Secara khusus kepada keluarga besar Mount Olive Family, Pdt. Natanael
Adi Soebroto, Pdt. Suzanna W. Soebroto, Deviana Lidya David, Cindy
Angelina, Fernando David, Timothy Alexander, Herman Pakiding,
Suriana Bate’e, dan Maria Kusumaningrum yang telah memberikan
dukungan moral dan support dalam bentuk spiritual selama proses
penelitian berlangsung.

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Daftar Tabel iv
Daftar Bagan v
Daftar Lampiran
vi

BAB I PENDAHULUAN 1
I.A. Latar Belakang 2
I.B. Perumusan Masalah 6
I.C. Tujuan Penelitian 6
I.D. Manfaat Penelitian 6
I.D.1. Manfaat Teoritis 6
I.D.2. Manfaat Praktis 6
I.E. Sistematika Penulisan 7

BAB II LANDASAN TEORI 8


II.A. Kajian Pustaka 8
II.A.1 Teori Peran 8
II.A.1.a. Role Enactment 9
II.A.1.b. Role Expectations 15
II.A.1.c. Role Conflict 20
II.A.2. Teori Kepribadian 21
II.A.2.a. Character Structure 22
II.A.2.b. Propriate Functional Autonomy 24
II.A.3. Satuan Polisi Pamong Praja 28
II.B. Kerangka Penelitian 32

BAB III METODE PENELITIAN 34


III.A. Jenis Penelitian 34
III.B. Subjek Penelitian 34
III.B.1. Karakteristik Subjek 34
III.B.2. Metode Pemilihan Subjek 36
III.B.3. Jumlah Subjek 36
III.C. Instrumen dan Teknik Pengambilan Data 37
III.D. Prosedur Penelitian 41
III.D.1. Tahap Persiapan 41
III.D.2. Tahap Pengumpulan Data 42
III.D.3. Tahap Analisis Data 45
III.E. Metode Analisis Data 45
III.E.1. Koding dan Analisis 45
III.E.2. Kualitas Penelitian 46
III.E.2.a. Kredibilitas Penelitian 46
ii
III.E.2.b. Dependability 47
III.E.2.c. Transferability 47
III.E.2.d. Triangulasi 47

BAB IV ANALISIS DAN INTERPRETASI 48


IV.A. Gambaran Demografi 48
IV.B. Hasil Analisa 49
IV.B.1. Subjek BT 49
IV.B.1.a. Role Enactment 49
IV.B.1.b. Role Expectations 54
IV.B.2. Subjek BO 61
IV.B.2.a. Role Enactment 61
IV.B.2.b. Role Expectations 69
IV.B.3. Subjek AR 78
IV.B.3.a. Role Enactment 78
IV.B.3.b. Role Expectations 86

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 93


V.A. Kesimpulan 93
V.B. Diskusi 95
V.C. Saran 97
V.C.1. Saran Teoritis
98
V.C.2. Saran Metodologis 98
V.C.3. Saran Praktis 99

Daftar Pustaka
Lampiran

iii
DAFTAR TABEL

Tabel II.A.2.a. Character Structure 23


Tabel III.C.1. Panduan Wawancara 38
Tabel III.D.2.1. Proses Pengumpulan Data 44
Tabel IV.A.1. Gambaran Demografi 48

iv
DAFTAR BAGAN

Bagan II.A.2.a. Character Structure 22


Bagan II.B.1. Struktur Individu yang Berperan Sebagai Satpol PP 32

v
DAFTAR LAMPIRAN

I. Tabel Kategorisasi Responden


II. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2004
III. Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2007
IV. Petugas Tramtib Dilarang Arogan
V. Satpol PP Jakbar Ditimpuki Pak Ogah
VI. Gelar Razia, Satpol PP Nyaris Bentrok dengan Preman
VII. Joki Kelas 5 SD, Tewas Digebuki Tramtib
VIII. Sekretariat GMKI Kembali Diserang Satpol PP
IX. Petugas Ketentraman dan Ketertiban DKI Tembak Penjaga Tanah
Kosong
X. Jelang Pemberlakuan Perda,Kualitas Tramtib Ditingkatkan
XI. Kepala Satpol PP Diganti

vi
BAB I

PENDAHULUAN

I.A. LATAR BELAKANG MASALAH

Jakarta, ibukota Indonesia yang disebut juga sebagai kota megapolitan ternyata

menyimpan segudang masalah di dalamnya, mulai dari permasalahan ekonomi,

budaya, sosial, hukum, suku, agama, dan lainnya. Dalam program pembangunan

daerah atau properda, DPRD DKI Jakarta merumuskan 6 masalah khas yang

dihadapi dalam jangka waktu menengah. Keenam masalah tersebut adalah

ancaman bahaya banjir, belum tertibnya lalu-lintas, meningkatnya PMKS

(penyandang masalah kesejahteraan sosial) dan pedagang kaki lima, kurangnya

peran serta masyarakat dalam pembangunan, dan keterbatasan daya dukung lahan

dan lingkungan hidup kota. Keenam masalah tersebut dapat dirangkum menjadi

satu bagian permasalahan yaitu ketertiban umum DKI Jakarta. Masalah ketertiban

kota inilah yang menjadi acuan terbentuknya Peraturan Daerah No.8 tahun 2007

yang mengatur tentang ketertiban umum.

Perda No.8 tahun 2007 merupakan keputusan DPRD provinsi DKI Jakarta

sebagai lembaga legistlatif pemerintah provinsi DKI Jakarta. Perda No. 8 tahun

2007 yang dibentuk oleh komisi E DPRD provinsi DKI Jakarta merupakan hasil

revisi dari Perda sebelumnya yaitu Perda No. 11 tahun 1988. Perda No.8 tahun

2007 ini juga menjadi dasar hukum bagi dinas ketentraman, ketertiban, dan

perlindungan masyarakat dalam menjalankan tugas mereka menertibkan

ketertiban umum di DKI Jakarta. Dinas ketentraman, ketertiban, dan perlindungan


1
masyarakat adalah dinas daerah yang bernaung di bawah lembaga eksekutif

provinsi DKI Jakarta. Tugas utama dari dinas ketentraman, ketertiban, dan

perlindungan masyarakat adalah menyelenggarakan pembinaan ketentraman,

ketertiban masyarakat, penegakan peraturan daerah dan perlindungan masyarakat.

Salah satu bagian dari dinas ketentraman, ketertiban, dan perlindungan

masyarakat adalah polisi pamong praja atau sering disebut dengan Satpol PP.

Tugas yang dimiliki Satpol PP sebagai individu berada di dalam sebuah

kandungan peran. Allen & Van de Vliert (1984) menyatakan bahwa peran sosial

atau social role akan menentukan tindakan yang akan diambil di dalam sebuah

konteks sosial. Dalam teori peran atau role theory yang dikemukakan oleh Sarbin

& Allen (1968) diketahui bahwa istilah peran atau role dalam sebuah sistem sosial

disebut sebagai role enactment. Role enactment memberikan jembatan antara

individu dengan grup, antara sejarah personal individu dengan organisasi-

organisasi sosial di sekitarnya. Dengan kata lain role enactment berbicara

mengenai bagaimana individu menjalankan perannya di dalam sebuah institusi

sosial. Dalam menjalankan perannya, individu harus memiliki petunjuk dan syarat

yang akan mengatur tingkah laku dan perbuatannya. Petunjuk dan syarat tersebut

akan dimunculkan dalam bentuk teks ekologikal, simbol-simbol, dan artifak-

artifak. Simbol-simbol dan artifak akan berisi tugas-tugas dan obligasi-obligasi

yang secara langsung dan tidak langsung mengatur para pemegang peran. Hal itu

nantinya akan disebut sebagai ekspektansi peran atau role expectations.

Role expectations juga diorganisir menurut behavioral units seperti “ayah,”

“suami,” “polisi,” yang dibentuk atas dasar perilaku-perilaku yang berlainan dan

2
tidak terikat satu dengan yang lain. Ekspektansi peran juga berbicara tentang

perilaku-perilaku dan tindakan-tindakan yang mencerminkan peran tersebut.

Misalkan seorang polisi tidak hanya perlu berpakaian rapi dengan seragam coklat

saja, namun ia dituntut mempunyai sikap tegas, adil, berwibawa. Jadi ekspektansi

peran membuat batasan bagaimana seseorang diharuskan untuk bersikap, pada

waktu dan tempat yang tepat. Individu yang berada dalam peran sosial secara

otomatis memiliki ekspektansi peran, maka dari itu ia bertugas untuk

melaksanakan ekspektansi peran tersebut. Dengan kata lain ia diharapkan

bertindak sesuai dengan hak-hak istimewa, hukum, tugas dan kewajiban yang

berlaku kepadanya sejak ia mengambil peran sosial tersebut.

Dikaitkan dengan Satpol PP, maka tindakan dan sikap yang seharusnya

dilakukan oleh pamong praja didasarkan pada hak-hak istimewa, tugas, hukum,

dan kewajiban yang telah tercatat dalam deskripsi tugas dan peraturan yang

berlaku. Satpol PP akan menjalankan peran sesuai dengan ekspektansi yang

diberikan kepadanya oleh institusi-institusi sosial yang mengaturnya. Namun pada

kenyataannya institusi sosial yaitu masyarakat, baik yang mengalami proses

penertiban oleh Satpol PP maupun yang tidak, menganggap bahwa Satpol PP

tidak melakukan tugas sesuai dengan ekspektansi mereka. Hal tersebut dapat

dilihat dari berbagai kejadian yang melibatkan kekerasan ketika Satpol PP

melakukan tugas mereka. Beberapa media juga mengecam tindakan-tindakan

yang dilakukan oleh Satpol PP (“Bersihkan Citra Polisi Pamong Praja”,2005).

Hal ini tentu saja kontras dengan tujuan dari pembentukan Satpol PP itu sendiri,

3
dimana mereka bertugas sebagai pembina ketentraman, ketertiban dan

perlindungan masyarakat.

Hal tersebut dinamakan oleh Sarbin & Allen (1968) sebagai konflik peran.

Konflik peran yang digambarkan melalui kasus ini adalah intrarole conflict.

Dimana Satpol PP memiliki ekspektansi yang berbeda dari organisasi yang

memberikan tugas serta obligasi dengan masyarakat yang ditertibkan atau

masyarakat yang menonton mereka. Selain itu ada pula interrole conflict, yaitu

konflik peran yang terjadi ketika seseorang memiliki dua peran dan ekspektansi

keduanya saling bertumpuk. Dalam kasus ini Satpol PP harus memilih antara

melaksanakan ekspektansi peran dari organisasi dalam menertibkan masyarakat

kelas bawah, yang dimana mereka juga anggota masyarakat tersebut. Kedua

konflik di atas adalah konflik yang terjadi pada diri individu. Selain itu terdapat

pula konflik antara role enactment atau tindakan atau tingkah laku yang

dilakukan oleh Satpol PP di lapangan dengan role expectations yang diberikan

oleh organisasi. Konflik itu muncul ketika tindakan kekerasan dilakukan

walaupun organisasi jelas-jelas memberikan larangan untuk melakukan kekerasan.

Konflik ini adalah konflik peran yang terjadi antara individu dengan masyarakat.

Oleh karena hal di atas, maka perlu adanya sebuah penelitian yang dapat

menggambarkan dinamika konflik peran di pada diri individu yang berperan

sebagai Satpol PP. Hal ini dikarenakan individu yang berada di dalam

pertentangan atau konflik peran bisa jadi tidak menjalankan perannya dengan

maksimal. Individu yang mengalami intrarole conflict harus memilih salah satu

ekspektansi dan mengorbankan yang lain sedangkan individu yang juga

4
mengalami interrole conflict mungkin mengalami pertentangan ketika harus

menertibkan masyarakat dengan kelas sosial yang sama dengan mereka. Selain itu

tindakan kekerasan yang dilakukan walaupun sudah dilarang membuktikan

adanya pertentangan antara ekspektansi dari organisasi dengan enactment yang

dilakukan. Dalam hal ini perlu digambarkan apa yang menjadi penyebabnya.

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil anggota Satpol PP yang berada di

bawah Walikotamadya Jakarta Barat sebagai subjek penelitian. Peraturan yang

mendasari Satpol PP Walikotamadya Jakarta Barat dalam bertindak adalah sama

yaitu Perda No. 8 Tahun 2007. Daerah Jakarta Barat, meliputi daerah Kembangan,

Grogol Petamburan, Cengkareng, Kalideres, Kebon Jeruk, Palmerah, Taman Sari,

dan Tambora. Daerah-daerah tersebut dikatakan dalam berbagai media masih

memerlukan penertiban, seperti pedagang kaki lima yang berjualan di sepanjang

Pasar Slipi Jaya, penertiban pedagang kios di Pasar Asemka, dan penertiban

PMKS di Jalan Daan Mogot no. 14. Oleh karena itu tidak sedikit juga masalah-

masalah yang terjadi berkaitan dengan kasus penertiban di atas, seperti konflik

dengan masyarakat (“Satpol PP Jakbar Ditimpuki Pak Ogah”, 2009), (“Gelar

Razia, Satpol PP Nyaris Bentrok dengan Preman”, 2009). Maka dari itu peneliti

memusatkan penelitiannya di daerah Jakarta Barat, mengingat kasus-kasus yang

melibatkan peran Satpol PP Jakarta Barat juga sudah cukup banyak terjadi.

5
I.B. PERUMUSAN MASALAH

Bagaimanakah gambaran dinamika konflik peran pada Satpol PP wilayah

Kotamadya Jakarta Barat.

I.C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggali gambaran dinamika konflik

peran yang terjadi pada anggota Satpol PP wilayah Kotamadya Jakarta Barat.

I.D. MANFAAT PENELITIAN

I.D.1. Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi pada

teori peran yang sudah ada, terutama pada konflik antara role enactment dan role

expectations dengan kejadian nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

I.D.2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan gambaran

dinamika konflik peran berdasarkan studi kasus pada Satpol PP.

6
I.E. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I pada penulisan skripsi ini merupakan pendahuluan yang mencakup latar

belakang masalah penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian,

manfaat penelitian.

Bab II pada penulisan skripsi merupakan landasan teoritis yang digunakan

untuk mendukung penelitian ini. Teori-teori yang akan dikemukakan merupakan

teori peran yang dikemukakan oleh Theodore R. Sarbin dan Vernon L. Allen, teori

social role dari Allen dan Van de Vliert, dan teori karakter dan struktur sosial dari

Hans Gerth dan C. Wright Mills.

Bab III merupakan bab metode penelitian. Bab ini akan menjabarkan jenis

penelitian yang akan digunakan berdasarkan pada tujuan penelitian, variabel

penelitian, populasi dan sampel penelitian, instrumen dan teknik pengumpulan

data, dan metode analisis data.

Selanjutnya, bab IV akan menjabarkan analisis dan interpretasi data yang telah

terkumpul di bab sebelumnya. Bab ini akan menggambarkan hasil penelitian

secara umum, dan analisis terhadap subjek-subjek yang dijadikan partisipan

penelitian. Analisis akan dilakukan dengan memperbandingkan data yang didapat

antara para subjek.

Pada akhirnya, bab V akan berisi kesimpulan akhir dari penelitian, diskusi, dan

saran-saran yang berguna untuk penelitian berikutnya.

7
BAB II

LANDASAN TEORITIS

II.A. KAJIAN PUSTAKA

II.A.1. Teori Peran

Konsep peran telah banyak digunakan oleh banyak peneliti untuk membantu

penelitian mereka. Sarbin & Allen (1968) mengungkapkan bahwa ratusan studi

dan penelitian telah membuktikan kegunaan dari konsep peran.

Peran pada mulanya adalah sebuah kiasan atau metafora yang bertujuan untuk

memberikan simbol yang mengarah pada sebuah bagian atau posisi dalam sebuah

drama atau permainan teatrikal. Individu yang memiliki peran dalam sebuah

drama atau permainan teatrikal hanya bertugas untuk memerankannya dengan

membaca dan bertindak sesuai dengan arahan sang penulis naskah. Kehidupan

nyata sama sekali tidak memberikan pengaruh dan dipengaruhi oleh apa yang

individu lakukan di dalam drama tersebut. Kiasan ini berkembang dari sebuah

kiasan drama menjadi sebuah teori psikologi tentang bagaimana seseorang

menjalankan perannya dalam kehidupan nyata atau disebut juga sebagai role

enactment.

8
II.A.1.a. Role Enactment

Istilah role enactment diberikan untuk membedakan antara peran yang

dimainkan oleh seorang aktor dalam sebuah drama dengan peran yang dimainkan

oleh individu di dunia nyata. Dalam sebuah drama, seorang aktor akan

memisahkan realita dengan peran yang ia mainkan, sedangkan dalam role

enactment peran yang dilakukan oleh individu adalah asli tanpa kepalsuan, serius,

dan melibatkan dirinya sendiri. Dengan kata lain role enactment adalah tingkah

laku atau segala perbuatan yang dilakukan oleh individu yang memiliki peran-

peran di dalam sebuah institusi sosial.

Teori peran yang berpusat pada role enactment bermaksud untuk

menjembatani celah yang ada antara individu dengan institusi-institusi sosial.

Maka dari itu penelitian pada teori peran yang berpusat pada role enactment tidak

difokuskan kepada individu yang terisolasi, melainkan kepada individu yang

sedang menjalankan perannya dalam institusi-institusi sosial.

Role enactment sendiri memiliki beberapa dimensi yang berguna secara

konseptual dan praktikal. Dimensi yang pertama adalah number of roles atau

banyaknya peran. Hal ini dikemukakan oleh Cameron (dalam Sarbin, 1968) yang

mengatakan bahwa anggota dari sebuah masyarakat yang terorganisir harus

mengembangkan lebih dari satu peran, atau perilaku peran jika ia ingin

mengembangkan hubungan saling menguntungkan dan dapat bekerja sama secara

efektif dengan sesamanya. Individu yang terlatih untuk dapat melakukan berbagai

peran dengan baik lebih siap untuk menghadapi situasi-situasi baru dan situasi-

situasi kritis, dibandingkan dengan individu yang kurang terlatih untuk dapat
9
melakukan berbagai peran dengan baik. Untuk menentukan berapa banyak peran

yang seseorang lakukan atau mainkan tidaklah sulit, karena hanya dibutuhkan

sebuah observasi secara konstant untuk melihat setiap gejala tingkah laku dan

besarnya keterlibatan individu tersebut dalam setiap perannya.

Dimensi yang kedua yang terdapat dalam role enactment adalah organismic

involvement dimension. Organismic involvement adalah dimensi dalam role

enactment yang mengidentifikasikan peran melalui seberapa besar intensitas

keterlibatan individu dalam peran tersebut. Sebagai contoh, seorang kasir bioskop

pada hari-hari tertentu memiliki keterlibatan yang rendah sebagai kasir bioskop.

Frekuensi kasir tersebut menghitung uang kembalian, menyapa pembeli, dan

menyerahkan karcis bioskop akan jauh lebih sedikit dibandingkan pada hari-hari

lain. Berbeda halnya dengan seorang pemain sepakbola dengan posisi penyerang

yang sedang berlaga di sebuah kompetisi tingkat internasional. Ia memiliki

keterlibatan yang sangat tinggi dalam menjalankan perannya, ia berlari selama 90

menit pertandingan, berusaha mengoper bola, berusaha menendang bola, dan

berusaha mendengar instruksi pelatih. Hal ini membuktikan bahwa keterlibatan

individu dalam menjalankan sebuah peran dilihat dari frekuensi gerakan otot,

frekuensi keterlibatan organ-organ dalam tubuh dan sistem saraf, baik simpatik

maupun parasimpatik.

Pada individu yang memerankan peran sebagai Satpol PP, maka individu

tersebut melakukan beberapa aktivitas yang melibatkan gerakan-gerakan otot dan

organ-organ dalam tubuh dan sistem saraf. Gerakan-gerakan yang diperlukan

seperti mengatur pedagang kaki lima yang sedang berjualan di daerah-daerah


10
yang dilarang, berpatroli di sepanjang ruas jalan, berlari mengejar pedagang-

pedagang kaki lima yang berjualan secara liar, dan berusaha mengamankan proses

penggusuran dari massa yang tidak setuju. Selain daripada aktivitas dan kegiatan

di lapangan, individu yang berperan sebagai Satpol PP juga mengisi absen,

mengikuti apel bersama, dan mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh

kesatuan polisi pamong praja.

Ada 7 tingkat dalam organismic involvement dimension

1. Yang pertama adalah noninvolvement atau tidak adanya keterlibatan sama

sekali antara individu dengan perannya dalam jangka waktu yang cukup

lama. Satpol PP yang berada dalam tingkatan ini mungkin mengalami cuti

yang cukup panjang, atau terkena sanksi skors yang membuatnya tidak

bekerja menjadi Satpol PP dalam beberapa waktu.

2. Tingkat kedua adalah casual role enactment. Peran dalam tingkat ini

hanya membutuhkan usaha yang sedikit dan tidak terlalu mempengaruhi

emosi dan perasaan individu yang menjalankan peran tersebut. Satpol PP

yang berada di dalam tingkatan ini, menjalankan perintah-perintah fisik

seperti pembongkaran bangunan dan penertiban PKL seadanya saja.

3. Tingkat ketiga adalah ritual acting. Peran dalam tingkat ini terbatas pada

penggunaan gerakan motorik yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa

individu menjalankan perannya. Keterlibatan emosi individu dalam

menjalankan peran masih terbilang sangat minim. Individu Satpol PP

tergolong dalam tingkatan ini, hanya menjalankan perintah seperlunya.


11
Perintah yang diberikan oleh pemimpin akan dijalankan tanpa perlu

bertanya atau melibatkan emosi terlalu banyak seperti apel pagi, patroli,

dan tugas-tugas rutin sehari-hari.

4. Tingkat selanjutnya atau tingkat keempat adalah engrossed acting. Dalam

engrossed acting individu akan menumpahkan dirinya ke dalam peran dan

pada saat itu ia akan memisahkan dirinya dengan identitas sebelumnya dan

mengambil identitas dari karakter peran yang ia mainkan. Dalam tingkat

ini, individu tidak sepenuhnya memisahkan identitasnya yang lama.

Kegiatan motorik serta pengalaman-pengalaman emosi dapat dilihat secara

jelas walaupun belum optimal. Individu yang menjalankan peran sebagai

Satpol PP dan berada dalam tingkatan ini bisa menjalankan perannya tanpa

terpengaruh akan peran-peran sebelumnya. Jika sebelumnya ia berperan

sebagai seorang suami atau ayah di rumah, ia bisa menanggalkan peran

tersebut dan berkonsentrasi kepada perannya sebagai Satpol PP. Ia tidak

lagi bersikap dan bertindak sebagai ayah, namun sebagai petugas lapangan.

5. Tingkat kelima adalah classical hypnotic role taking. Dalam tingkat ini

keterlibatan individu secara organismik relatif tinggi. Dalam tingkat ini

individu yang menjalankan peran akan bersikap seolah-olah mengalami

pengalaman yang berhubungan dengan peran tersebut. Pada tingkatan ini

Individu yang berperan sebagai Satpol PP dapat menceritakan pengalaman

mereka selama bekerja dengan mencurahkan segala emosi-emosi yang

mereka rasakan pada saat itu. Dalam menjalankan perannya, mereka juga

12
menghayati peran tersebut. Gaya bicara, berpakaian dan segala tingkah

laku mereka akan mencerminkan petugas Satpol PP.

6. Tingkat berikutnya yaitu tingkat keenam adalah histrionic neurosis. Di

tingkat ini keterlibatan organismik individu kurang dibatasi, dan bertahan

lebih lama dibandingkan 2 tingkat sebelumnya.

7. Tingkat ini dinamakan sebagai tingkat ecstacy. Individu yang menjalankan

peran dalam tingkat ini tidak dapat ditemui dalam aktivitas biasa sehari-

hari, oleh karena itu tidak mungkin mencontohkan hal ini di dalam

aktivitas Satpol PP. Dalam tingkat ini keterlibatan organismik pada diri

seseorang lebih terfokus pada bagian-bagian dalam kegiatan religius,

keterikatan akan hal-hal mistik dan kegiatan lainya yang menunjukkan

euforia berlebihan, ketakutan yang berlebihan dan gejala-gejala tingkah

laku yang berlebihan. Contoh nyata yang dapat terjadi adalah ketika

seorang fans secara histeris bertemu dengan para idolanya, atau para

penyanyi dalam sebuah kebaktian di gereja sedang menghayati keagungan

Tuhan.

Dimensi ketiga dalam role enactment adalah preemptiveness of role. Secara

sederhana preemptiveness of role adalah berapa banyak waktu yang dihabiskan

individu dalam sebuah peran dibanding peran-peran lainnya. Banyaknya waktu

yang dihabiskan oleh individu dalam sebuah peran tergantung oleh apa yang ia

bisa dapatkan dari peran tersebut. Jadi individu akan lebih tertarik untuk

13
menghabiskan waktunya dalam peran-peran yang memiliki hasil berupa imbalan

materiil ataupun keuntungan yang bersifat non-materiil.

Jika dikaitkan dengan fokus penelitian, maka individu yang bekerja sebagai

Satpol PP memiliki arti menjalankan perannya sebagai Satpol PP di masyarakat.

Dalam menjalankan perannya, individu tersebut memiliki peran-peran lain di

masyarakat agar tidak mengalami kesulitan dan dapat mengembangkan kerja sama

yang efektif dengan sesamanya. Seorang anggota Satpol PP yang juga

menjalankan peran sebagai seorang ayah, maka ia tidak akan mengalami kesulitan

dalam bergaul dengan anggota Satpol PP lainnya yang juga menjalankan peran

sebagai ayah.

Seberapa banyak individu yang menggerakkan otot-otot anggota tubuh dan

organ-organ dalam tubuh menandakan seberapa besar keterlibatan individu dalam

menjalankan perannya. Individu yang banyak bergerak untuk mentertibkan

pedagang kaki lima, mengamankan daerah penggusuran dan mengikuti pelatihan-

pelatihan yang diberikan oleh kesatuan polisi pamong praja akan semakin

mendalami perannya sebagai Satpol PP. Selain itu peran sebagai Satpol PP

memberikan imbalan dan keuntungan bagi individu yang menjalankannya berupa,

dan tunjangan pegawai negeri, tunjangan hari raya, dan kedudukan di masyarakat.

Oleh karena itulah individu yang menjalankan perannya sebagai Satpol PP, akan

menghabiskan banyak waktunya menjalankan peran tersebut, karena peran

tersebut memberikan imbalan bagi dirinya.

14
II.A.1.b. Role Expectations

Dalam role enactment tingkah laku yang muncul pada individu adalah respon

dari petunjuk dan syarat-syarat yang terbentuk di dalam teks-teks ekologikal,

simbol-simbol, dan artefak-artefak yang disebut dengan role expectations atau

ekspektansi peran.

Ekspektansi peran juga menjadi jembatan antara individu yang menjalankan

peran dengan institusi sosial. Dalam hal ini, ekspektansi peran akan menjadi tolak

ukur benar atau salahnya individu yang menjalankan peran dari sudut pandang

institusi sosial. Jadi ekspektansi peran memiliki dua fungsi yaitu sebagai panduan

seseorang dalam menjalankan peran dan menjadi tolak ukur penilaian bagi

individu yang menjalankan peran. Tolak ukur penilaian juga berdasar pada syarat-

syarat dan petunjuk yang diwujudkan dalam teks-teks ekologis, dan artefak-

artefak. Namun semuanya tidak memberikan tolak ukur yang pasti, karena

masyarakat dan setting lingkungan dapat sewaktu-waktu berubah. Oleh karena itu

diharapkan individu yang menjalankan suatu peran dalam posisi sosial untuk

mempertahankan fleksibilitas, dan siap untuk menghadapi interaksi-interaksi

alamiah yang tidak terduga.

Ekspektansi peran berdasar pada tugas, hukum, dan obligasi yang secara

otomatis menempel pada diri individu ketika ia mengambil sebuah peran sosial di

dalam institusi sosial. Hukum, tugas dan obligasi yang menempel pada individu

akan berlaku ketika ia mulai berhubungan dengan individu lain yang memiliki

peran sosial yang berbeda di dalam institusi sosial. Diharapkan bahwa individu

15
yang mengisi sebuah peran, menjalankan tugas dan kewajiban atas peran yang

diberikan kepadanya.

Ekspektansi peran dibagi menjadi dua menurut lingkungan dimana peran atau

posisi sosial tersebut dijalankan.

1. Informal

Dalam lingkungan informal, Ekspektansi peran muncul dalam grup-grup

kecil dan berada dalam konteks interpersonal Bales & Slater (dalam Sarbin,

1968). Ekspektansi peran yang muncul tidak terlalu ketat, dan lebih

subjektif yang menjadikan pelabelan peran menjadi tidak terlalu jelas.

Individu yang menjalankan peran sebagai Satpol PP memasuki lingkungan

informal ketika pulang ke rumah, dan mengganti perannya menjadi seorang

suami atau ayah. Dalam lingkungan rumah, ekspektansi peran diberikan

oleh istri dan anaknya dan ekspektansi peran tersebut tidak diatur secara

ketat.

2. Formal

Dalam lingkungan formal, role expectations diatur dan disusun di dalam

hak dan kewajiban yang resmi. Dengan kata lain sang pemegang peran

mempunyai tugas dan hak yang resmi dan teratur. Jelas dalam hal ini,

individu yang berperan sebagai Satpol PP memiliki tugas dan kewajiban

yang diatur di dalam undang-undang yang berlaku contohnya Perda No. 8

tahun 2007. Individu yang berperan sebagai Satpol PP memiliki

ekspektansi dari pimpinan, dan insititusi yang memberikan perannya.

16
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa ekspektansi peran dapat

menjadi tolak ukur dan batasan tingkah laku yang dapat ditoleransi ketika seorang

individu menjalankan peran dalam sebuah institusi sosial. Dalam menjalankan

perannya, tingkah laku individu yang berada di dalam sebuah peran sosial diatur

oleh peraturan yang diberikan kepadanya. Hubungan ini terjadi ketika ada

kesesuaian dan komitmen antara pihak yang memberikan ketentuan atau

ekspektansi peran dengan pihak yang menjalankan perannya atau kesepakatan

antara ekspektansi peran dengan individu yang menjalankan peran Gross, Mason,

dan McEarhern (dalam Sarbin, 1968). Walaupun ada ketidaksesuaian antara

ekspektansi peran dengan individu yang menjalankan perannya, individu tersebut

akan cenderung untuk tetap bertingkah laku sesuai dengan ekspektansi yang

diberikan kepadanya. Hal ini disebabkan karena institusi sosial juga menjadi

observer, dan memperhatikan individu yang menjalankan peran dalam posisi

sosial tersebut.

Ekspektansi peran juga dapat memprediksi tingkah laku yang muncul dari

individu yang sedang menjalankan peran. Hal tersebut terjadi karena ada

kepercayaan dari institusi sosial seperti masyarakat, bahwa individu yang

berperan akan menjalankan peran sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Jika

individu yang berada dalam posisi sosial tersebut tidak menjalankan peran sesuai

dengan ekspektansi lingkungannya, maka individu tersebut dapat dilepas dari

posisi sosialnya. Dalam hal ini individu yang berperan sebagai Satpol PP mungkin

saja dilepas dari perannya jika tidak mentaati perintah atasan.

17
Selain menjadi petunjuk dan batasan dalam menjalankan peran, ternyata

ekspektansi peran juga dapat menimbulkan ketidakjelasan dalam kasus-kasus

tertentu :

1. Ekspektansi peran dipegang oleh individu yang menonjol dapat

menimbulkan ketidakpastian bagi individu-individu lainnya. Hal ini

disebabkan oleh banyaknya individu yang berdiam diri pada saat

menetapkan ekspektansi bagi mereka. Hal ini tentu saja dapat dikurangi

dengan mengaktifkan para peserta yang akan menjalankan perannya

agar lebih aktif untuk bertanya tentang kejelasan ekspektansi peran

mereka. Para anggota Satpol PP mungkin saja mengalami

ketidakjelasan akan ekspektansi peran mereka, jika dalam penerimaan

informasi hanya satu anggota Satpol PP yang aktif bertanya tentang

tugas yang akan dikerjakan.

2. Terjadi ketidaksetujuan antara pemegang peran dengan pemberi

ekspektansi peran. Hal ini dipengaruhi oleh besarnya lingkungan sosial

atau besarnya grup. Semakin besar grup, maka kesepakatan akan

sebuah ekspektansi peran pada individu yang menjalankan peran

semakin sulit tercapai. Besarnya jumlah anggota Satpol PP dapat pula

mengakibatkan terjadinya ketidaksepakatan antara anggota dengan

pimpinannya.

3. Tidak adanya kesamaan antara pemegang ekspektansi peran dengan

penonton atau audiens. Penonton atau audiens adalah individu atau

18
masyarakat luar yang tidak terlibat dalam pemilihan individu atas peran,

namun dapat secara langsung maupun tidak langsung terkena

dampaknya. Hal ini dipengaruhi akan adanya perbedaan antara tiap

individu atau individual differences. Satpol PP yang menjalankan tugas

sesuai dengan ekspektansi yang berasal dari organisasinya, belum tentu

menjalankan ekspektansi peran dari masyarakat yang tidak memilih

mereka secara langsung. Masyarakat mungkin memberikan stigma atau

feedback yang negatif terhadap tindakan yang mereka lakukan.

Ketidakjelasan atas ekspektansi peran juga dipengaruhi oleh struktur sosial dari

masyarakat. Ada perbedaan konsep terhadap sebuah peran dalam sebuah struktur

sosial. Kelas masyarakat atas memiliki konsep atas sebuah peran yang berbeda

dengan kelas masyarakat yang ada di bawahnya Slater (dalam Sarbin, 1968).

Dengan penjelasan atas role enactment dan role expectations di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa role expectations adalah sebuah konsep sentral yang

menghubungkan individu dengan struktur sosial. Individu memiliki sebuah

dependent variable yaitu role enactment, dan role expectancy adalah independent

variable yang akan mengatur individu dalam menjalankan perannya di masyarakat.

Individu yang menjalankan peran sebagai Satpol PP tentunya mendapatkan

ekspektansi peran dari institusi sosialnya. Ekspektansi peran dari Satpol PP akan

menjembatani individu yang berperan sebagai Satpol PP dengan institusi

sosialnya. Ekspektansi sosial Satpol PP dibentuk oleh hukum, tugas dan fungsi

dari Satpol PP itu sendiri. Tugas dan fungsi dari Satpol PP dijalankan oleh

19
individu-individu yang memegang peran sebagai Satpol PP, dan bertingkah laku

dan bertindak sesuai dengan tugasnya. Namun pada kenyataanya di lapangan

perannya sebagai Satpol PP tidak diterima dengan baik oleh masyarakat. Beberapa

kasus menyatakan bahwa Satpol PP seringkali melakukan kekerasan dalam

menjalankan tugasnya yaitu menjaga ketertiban, keamanan, dan perlindungan

masyarakat. Hal ini berbeda dengan tugas dan fungsinya, dengan kata lain terjadi

sebuah penyimpangan ekspektansi peran.

II.A.1.c. Role Conflict

Sarbin (1968) mengungkapkan bahwa ketika individu mengambil sebuah peran

di masyarakat, maka pada saat itu pula dapat terjadi konflik pada dirinya. Ada dua

jenis konflik peran yang dikemukakan oleh Sarbin.

Konflik peran yang pertama adalah interrole conflict. Konflik peran ini terjadi

seseorang memiliki dua peran dan ekspektansi dari kedua peran tersebut

menumpuk. Jika dikaitkan dengan Satpol PP, maka individu yang berperan

sebagai Satpol PP akan mengalami konflik interrole ketika ia harus menertibkan

daerah atau kawasan dimana ia tinggal.

Konflik peran yang kedua adalah intrarole conflict. Konflik peran ini terjadi

ketika ada perbedaan ekspektansi antara dua pihak. Dalam hal ini individu yang

memiliki peran di dalam masyarakat harus memilih salah satu dari ekspektansi

yang diberikan. Dikaitkan dengan Satpol PP, maka individu yang berperan

sebagai Satpol PP harus memilih untuk menjalankan ekspektansi dari organisasi

20
yang berupa tugas penertiban dengan segala macam cara, atau menerima

ekspektansi dari masyarakat yaitu agar tidak melakukan penertiban dan kekerasan.

II.A.2. Teori Kepribadian

Untuk dapat mengkaji gambaran dinamika konflik peran yang terjadi pada

Satpol PP Jakarta Barat dibutuhkan sebuah kajian teori kepribadian yang dapat

membantu untuk mengerti dinamika konflik peran dan hubungannya dengan sisi

person.

Gordon Allport sebagai pemuka teori kepribadian menjelaskan teori motivasi

yang dapat disangkutpautkan dengan gambaran dinamika konflik peran yang

terjadi pada individu yang menjalankan peran sebagai Satpol PP. Namun Allport

tidak menggambarkan sebuah struktur karakter yang dapat menunjang teori

tersebut, maka dari itu peneliti memaparkan terlebih dahulu teori tentang struktur

karakter yang dikemukakan oleh Gerth, Hans, dan C. Wright Mills.

21
II.A.2.a. Character Structure

Struktur karakter atau character structure adalah entitas keseluruhan dari

individu. Dengan kata lain merujuk integrasi dari struktur psikis yang

berhubungan dengan peran sosial individu tersebut.

Organism CHARACTER Psychic Structure


STRUCTURE

Person

ROLE

INSTITUTIONS

Kinship SOCIAL STRUCTURE Political


Order Order
SPHERES
Symbols
Technology
Status
Religious Education Military
Order Order

Economic Order

Bagan II.A.2.a. Character Structure

Sumber : Gerth, Hans dan Mills, C. Wright. (1969). Character and Social

Structure

Dari skema di atas, dapat dijabarkan bahwa individu dibagi atas tiga komponen,

yaitu person, organism, dan psychic structure. Organism merujuk pada entitas
22
biologis individu. Entitas biologis terbentuk dalam struktur-struktur mekanisme

yang menghasilkan impulse-impulse yang tidak dapat didefinisikan dan

mempengaruhi psychic structure. Lebih jauh lagi, kondisi fisiologis yang berubah

dapat memanipulasi struktur psikis. Psychic structure adalah bagian yang

mengintegrasikan segala impulse, sensasi, dan perasaan. Psychic structure

berusaha mendefinisikan impulse yang dibentuk oleh organism.

Tabel II.A.2.a Character Structure

ORGANISM PERSON
PSYCHIC STRUCTURE
Structural Impulse Purpose Roles,
limitations Impression Perception Meanings,
Feeling Emotion Gestures

Sumber : Gerth, Hans dan Mills, C. Wright. (1969). Character and Social

Structure

Sedangkan person dalam hal ini merujuk pada individu sebagai aktor sosial.

Elemen-elemen yang terbentuk dari psychic structure akan bergabung dengan

berbagai gagasan objektif dan nilai-nilai yang mengarahkan individu pada tingkah

laku tertentu di dalam menjalankan sebuah peran di masyarakat. Person dibentuk

oleh peran-peran yang dimainkan oleh individu di dalam sebuah institusi sosial

baik yang formal maupun informal. Peran dalam institusi sosial yang formal

diatur oleh ekspektansi yang dipegang oleh parental authority, dimana parental

authority dapat memberikan sanksi jika peran yang dimainkan oleh individu tidak

dijalankan sebagaimana mestinya.

23
Dalam hal ini tentu saja individu yang berperan sebagai Satpol PP memiliki

undang-undang dan pimpinan di dalam organisasi Polisi Pamong Praja. Melihat

individu sebagai person berarti melihat motivasi di balik tingkah laku individu

tersebut. Selain itu di dalam person, hubungan fisiologis juga dapat

mempengaruhi baik secara langsung atau tidak langsung. Jadi individu yang

berperan sebagai Satpol PP juga memiliki motivasi dibalik setiap tingkah lakunya,

dan motivasi yang ia lakukan berdasar pada ekspektansi peran yang melekat di

pada dirinya

II.A.2.b. Propriate Functional Autonomy

Gordon Allport (dalam Feist, 2006) mengungkapkan bahwa kepribadian adalah

organisasi yang dinamis dalam sebuah individu, yang dimana unsur psikis dan

fisiologis mempengaruhi segala penyesuaian tingkah laku di lingkungannya.

Kepribadian bagi Allport (dalam Hall, 1978) adalah sesuatu yang melakukan

sesuatu, dengan kata lain kepribadian merujuk pada individu yang berada di balik

tindakan tertentu. Dalam teori kepribadiannya, Allport menitikberatkan adanya

motivasi dalam setiap tingkah laku atau tindakan. Motivasi yang dimaksudkan

adalah motivasi yang sehat, yang tidak memiliki hubungan dengan masa kecil

seseorang. Dengan kata lain Allport mengatakan bahwa manusia dewasa yang

sehat tidak akan bertindak atau bertingkah laku berdasar pada apa yang ada saat

ini. Motivasi ini sendiri disebut oleh Allport dengan istilah functional autonomy.

Functional autonomy adalah berbagai motivasi yang tumbuh di luar sejarah

hidup individu dan sejajar serta dapat bertahan dengan sendirinya namun

berfungsi secara mandiri dari motivasi awalnya. Allport mengatakan (dalam


24
Cloninger, 2004) bahwa motivasi juga harus berkembang ke arah yang mandiri

dan tidak terikat pada masa kanak-kanak. Pada akhirnya functional autonomy

akan dibagi menjadi dua yaitu perseverative functional autonomy yang dimana

merujuk pada habits atau kebiasaan. Tingkah laku yang tidak lagi menjalankan

tujuan aslinya, namun tetap bertahan dan berlangsung. Functional autonomy yang

kedua adalah propriate functional autonomy. Propriate functional autonomy

adalah behavior yang dijalankan atas dasar motivasi mandiri, yang terbentuk dari

berbagai motivasi dari semenjak masa kanak-kanak namun tidak lagi memiliki

hubungan dengan hal tersebut.

Allport (dalam Hall, 1978) juga menyatakan bahwa propriate functioning

merupakan apa yang disebut sebagai self atau ego di dalam kepribadian. Hal itu

termasuk juga segala hal yang penting dan vital dalam kepribadian yaitu bodily

sense, self identitiy, self-esteem, self extension, sense of selfhood, rational

thingking, self image, propriate striving, cognitive style, dan function of knowing.

Semua hal tersebut yang memiliki kesamaan dan kepentingan bagi individu

disebut Allport sebagai propium. Propium sendiri berkembang sejalan dengan

waktu. Allport (dalam Cloninger, 2004) mengidentifikasi ada 8 aspek di dalam

perkembangan propium.

1. Bodily sense

Berkembang pada dua tahun pertama, dimana seorang individu mulai

menemukan bahwa tubuhnya adalah miliknya sendiri.

25
2. Self identity

Berkembang juga pada dua tahun pertama, pada saat ini individu juga

mulai menemukan bahwa dirinya hadir dan nyata, memiliki masa lalu,

masa sekarang, masa depan, dan mulai menyadari bahwa dirinya

adalah entitas yang terpisah dan berbeda dari individu lainnya.

3. Ego enchantment atau self esteem

Mulai pada usia ke tiga, individu mulai memiliki kapasitas untuk

membanggakan diri melalui apa yang telah dicapai.

4. Ego extension atau self extension

Berkembang pada usia lima sampai enam tahun. Mulai

mendeskripsikan kepemilikannya baik terhadap barang, ataupun

individu-individu yang berada di sekitarnya. Self image juga mulai

berkembang pada tahap ini

5. Self image

Self image meliputi bagaimana masyarakat melihat individu tersebut

(status, kemampuan, peran) dan bagaimana aspirasi individu tersebut

untuk masa depan

6. Rational agent

Terjadi pada usia enam sampai dua belas tahun. Pada tahap ini individu

sibuk untuk memecahkan masalah dan mengatur rencana dalam

penyelesaian masalah secara rasional dan efektif.

26
7. Propriate striving

Berkembang setelah usia dua belas tahun. Pada tahap ini individu

mulai memiliki tujuan, rencana di dalam hidup. Pada tahap ini Allport

mengatakan bahwa individu memiliki kemampuan untuk mengatakan

bahwa ia adalah pemilik dan pengendali hidupnya sendiri.

8. The knower

Seorang dewasa dikatakan Allport dapat mengintegrasikan ketujuh

aspek yang telah disebutkan sebelumnya menjadi satu kesatuan

Individu yang menjalankan peran-peran di institusi sosial sebagai Satpol PP,

ayah, suami, dan lainnya membentuk sisi person di pada dirinya. Melihat individu

yang menjalankan peran di dalam sebuah institusi sosial berarti melihat individu

tersebut dari sisi person, dan sisi person berbicara mengenai motivasi dari setiap

tindakan yang ia lakukan.

Tindakan yang individu lakukan akan berdasar pada ekspektansi peran yang

melekat di pada dirinya, dengan kata lain ekspektansi peran turut serta dalam

membangun motivasi individu. Motivasi individu yang baik seperti dikatakan oleh

Allport adalah motivasi yang tidak dipengaruhi oleh masa lalu individu tersebut.

Jika dikaitkan dengan individu yang menjalankan peran sebagai Satpol PP, maka

individu tersebut haruslah memiliki motivasi berdasar atas ekspektansi peran yang

diberikan oleh organisasi dan memiliki motivasi berdasar pada hidupnya saat ini,

seperti menafkahi keluarga atau membiayai sekolah anaknya.

27
II.A.3. Satuan Polisi Pamong Praja

Sebagai fokus pada penelitian ini, tentunya Satpol PP sebagai badan eksekutif

dalam memelihara ketentraman, ketertiban dan perlindungan masyarakat perlu

dijelaskan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 2004, fungsi dan

tugas Satpol PP adalah :

1. Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas memelihara dan

menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, menegakkan

Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.(pasal 3)

2. Satuan Polisi Pamong Praja menyelenggarakan fungsi (pasal 4):

a. Penyusunan program dan pelaksanaan ketenteraman dan ketertiban

umum, penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala

Daerah;

b. Pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan

ketenteraman dan ketertiban umum di daerah;

c. Pelaksanaan kebijakan penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan

Kepala Daerah;

d. Pelaksanaan koordinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan

ketenteraman dan ketertiban umum serta penegakan Peraturan

Daerah, Keputusan Kepala Daerah dengan aparat Kepolisian

Negara, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan atau aparatur

lainnya;

28
e. Pengawasan terhadap masyarakat agar mematuhi dan menaati

Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Pengelolaan

kepegawaian, keuangan, barang, dan ketatausahaan Satpol PP

Fungsi dan tugas Satpol PP di atas berdasar pada Peraturan Pemerintah, dan

berdasarkan oleh Peraturan Pemerintah tersebut maka dibentuk pula fungsi dan

tugas Satpol PP berdasar peraturan Gubernur. Menurut situs Pemerintah DKI

Jakarta (http://www.jakarta.go.id/v70/index.php/en/perangkat-daerah/158-

satpolpp/417-satpol-pp), Satpol PP memiliki fungsi :

1. Penyusunan, dan pelaksanaan rencana kerja dan anggaran satpol pp;

2. Perumusan kebijakan teknis pelaksanaan penyelenggaraan ketenteraman,

ketertiban umum, penegakan peraturan daerah dan peraturan gubernur;

3. Pelaksanaan ketenteraman dan ketertiban umum serta penegakan peraturan

daerah dan peraturan gubernur;

4. Pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketenteraman

dan ketertiban umum;

5. Pelaksanaan koordinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan ketenteraman

dan ketertiban umum serta penegakan peraturan daerah dan peraturan

gubernur dengan aparat kepolisian negara, penyidik pegawai negeri sipil

(PPNS) dan, atau aparatur lainnya;

6. Pengawasan terhadap masyarakat agar mematuhi dan mentaati peraturan

daerah dan peraturan gubernur;


29
7. Pelaksanaan fungsi perlindungan masyarakat;

8. Pembinaan dan pengembangan penyidik pegawai negeri sipil satpol pp;

9. Pemberian dukungan teknis kepada masyarakat dan perangkat daerah;

10. Penyediaan, penatausahaan, penggunaan, pemeliharaan, dan perawatan

prasarana dan sarana kerja;

11. Pengelolaan kepegawaian, keuangan, barang, dan ketatausahaan satpol pp;

dan

12. Pelaporan, dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi.

Kedua belas fungsi di atas mengatur Satpol PP DKI Jakarta, termasuk Satpol

PP yang bertugas di Walikotamadya Jakarta Barat. Selain itu, Satpol PP juga

memiliki dasar hukum ketertiban yaitu Perda No. 8 tahun 2007. Perda No. 8 tahun

2007 memberikan ketentuan yang jelas terhadap tempat-tempat umum dan sarana-

sarana umum yang harus dijaga oleh para petugas Satpol PP di lapangan, serta

tugas mereka dalam menjaga keamanan, ketertiban dan melindungi masyarakat

sekitar.

Dalam prakteknya para anggota Satpol PP di Jakarta memang berusaha

menertibkan tempat-tempat dan sarana-sarana umum. Namun tidak sedikit terjadi

kasus kekerasan dari anggota Satpol PP ketika berusaha menertibkan tempat-

tempat dan sarana-sarana umum yang dipakai oleh pedagang kaki lima di Jakarta.

Penggusuran rumah kumuh kerap kali dilakukan secara membabi buta (“Petugas

Tramtib Dilarang Arogan”, 2008), kasus penganiayaan seorang anak yang


30
menjadi joki hingga meninggal (“Joki Kelas 5 SD, Tewas Digebuki Tramtib,

2007), penyerangan yang dilakukan kepada GMKI di Salemba Raya (“Sekretariat

GMKI Kembali Diserang Satpol PP”, 2008),dan penembakan yang dilakukan oleh

petugas Satpol PP kepada seorang penjaga tanah kosong (“Petugas Ketentraman

dan Ketertiban DKI Tembak Penjaga Tanah Kosong”, 2005). Kejadian-kejadian

tersebut hanyalah beberapa contoh kekerasan yang kerap dilakukan oleh satuan

petugas Satpol PP.

Semua kejadian itu tentunya bertentangan dengan fungsi dari satuan polisi

pamong praja yang seharusnya melindungi masyarakat. Jika melihat pada

ketentuan dan hukum yang mengatur tidak seharusnya para petugas melakukan

tindakan seperti itu. Hal ini diperkuat dengan adanya syarat-syarat pengangkatan

anggota Satpol PP menurut PP No. 32 tahun 2004 adalah

1. Pegawai negeri sipil

2. Berijazah sekurang-kurangnya SLTA dan atau serendah-rendahnya

berpangkat Pengatur Muda

3. Tinggi badan sekurang-kurangnya 160 cm untuk laki-laki dan 155 cm

untuk perempuan

4. Umur sekurang-kurangnya 21 tahun

5. Sehat jasmani dan rohani

6. Lulus pendidikan dan pelatihan dasar polisi pamong praja

31
Syarat ke lima merupakan alasan mengapa seorang polisi pamong praja tidak

diperkenankan untuk menggunakan atau bahkan mengeksploitasi kekerasan.

Selain itu pimpinan dari satuan polisi pamong praja DKI Jakarta Bp. Harianto

Badjoeri mengatakan bahwa tindakan persuasif harus didahulukan dalam

menangani setiap pelanggar ketertiban (“Jelang Pemberlakuan Perda,Kualitas

Tramtib Ditingkatkan”, 2008).

II.B. KERANGKA PENELITIAN

PSYCHIC PERSON ORGANISM

SATPOL PP

ROLE ENACTMENT

ROLE EXPECTATION

INSTITUTION

Bagan II.B.1. Struktur Individu yang Berperan Sebagai Satpol PP.

Gerth, Hans dan Mills, C. Wright. (1969). Character and Social Structure

Dari bagan struktur di atas dapat dilihat bahwa fokus utama dari penelitian ini

adalah menggali gambaran dinamika konflik peran pada diri individu yang

32
berperan sebagai Satpol PP. Individu atau person dibentuk oleh psychic dan

organism, memunculkan motivasi dan peran di masyarakat. Peran dijalankan oleh

individu berdasar pada ekspektansi peran yang diberikan oleh institusi. Institusi

formal seperti organisasi Satpol PP akan memberikan ekspektansi berupa fungsi

dan tugas yang diatur di dalam undang-undang, sedangkan institusi informal

seperti masyarakat dan keluarga akan memberikan ekspektansi yang tidak terikat,

namun berpengaruh.

Konflik peran akan terjadi pada individu yang berperan sebagai Satpol PP,

dimana peran yang ia jalankan didasarkan pada ekspektansi peran yang ia terima

tidak sesuai dengan kejadian atau fakta yang terjadi di lapangan. Seperti yang

sebelumnya telah dikatakan bahwa dalam beberapa berita dikatakan bahwa Satpol

PP melakukan tindakan kekerasan, dan masyarakat memberikan gambaran negatif

terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Satpol PP.

33
BAB III

METODE PENELITIAN

III.A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang akan digunakan untuk melihat bagaimana dinamika

konflik peran yang terjadi pada diri individu, yang menjalankan perannya sebagai

Satpol PP Jakarta Barat. Penelitian kualitatif digunakan karena memiliki ciri

berorientasi pada kasus unik (Poerwandari, 2001). Penelitian untuk melihat

dinamika yang terjadi antara individu yang menjalankan perannya dengan

ekspektansi peran yang diberikan kepadanya akan diuraikan secara khusus.

Kasus-kasus yang spesifik, dan pembatasan ruang lingkup penelitian hanya

kepada para anggota Satpol PP DKI Jakarta menjadi dasar mengapa penelitian

kualitatif digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian.

III.B. SUBJEK PENELITIAN

III.B.1. Karakteristik Subjek

Sesuai dengan fokus penelitian yang akan diteliti yaitu gambaran dinamika

konflik peran pada diri individu yang menjalankan peran sebagai Satpol PP, maka

yang menjadi subjek atau partisipan penelitian adalah Satpol PP. Satpol PP adalah

perangkat eksekutif pemerintah daerah yang menjalankan tugas sebagai pengatur

ketertiban, keamanan dan perlindungan masyarakat. Satpol PP berkedudukan

34
langsung di bawah provinsi dan kabupaten. Dalam penelitian ini Satpol PP yang

menjadi fokus penelitian adalah Satpol PP yang bertugas di Jakarta Barat.

Untuk mendapatkan subjek yang sesuai dengan kebutuhan peneliti, dan

meminimalkan variabel-variabel lain yang mungkin akan mempengaruhi

penelitian, maka peneliti menggunakan beberapa kriteria yang juga sesuai dengan

PP No. 32 tahun 2004 tentang syarat-syarat menjadi anggota Satpol PP :

1. Pegawai negeri sipil. Yang dimaksud dengan pegawai negeri sipil

adalah seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,

diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu

Jabatan Negeri atau diserahi tugas lainnya yang ditetapkan berdasarkan

peraturan perundang-undangan dan digaji menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

2. Berijazah sekurang-kurangnya SLTA dan atau serendah-rendahnya

berpangkat Pengatur Muda.

3. Umur sekurang-kurangnya 21 tahun.

4. Lulus pendidikan dan pelatihan dasar polisi pamong praja.

5. Lama menjadi Satpol PP kurang lebih 4 tahun. Kriteria ini

dimaksudkan untuk mendapatkan subjek dengan pengalaman bekerja di

lapangan yang cukup memadai.

6. Berkerja aktif sebagai Satpol PP DKI Jakarta.


35
7. Pernah atau sedang ditempatkan sebagai Satpol PP yang bertugas di

lapangan.

III.B.2. Metode Pemilihan Subjek

Metode pemilihan subjek yang digunakan oleh peneliti adalah purposive

sampling. Purposive sampling menurut Kerlinger (1986) adalah metode yang

menggunakan subjek yang sudah dipilih berdasarkan kriteria yang berhubungan

dengan objek penelitian. Dalam memilih subjek penelitian, peneliti meminta

Kepala Seksi Satuan Polisi Pamong Praja wilayah Jakarta Barat untuk memilihkan

subjek yang sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah peneliti paparkan

sebelumnya.

III.B.3 Jumlah Subjek

Berdasar pada Poerwandari (2001) maka jumlah subjek yang akan dipakai

dalam penelitian ini tidak berjumlah besar, karena penelitian kualitatif diarahkan

kepada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.

Jumlah subjek yang akan digunakan dalam penelitian ini berjumlah tiga orang.

Dua di antaranya adalah anggota Satpol PP yang aktif bertugas di lapangan, dan

satu komandan pleton Satpol PP sebagai pimpinan mereka selama di lapangan

yang juga memiliki masa tugas paling lama. Ketiga subjek tersebut bekerja di

bawah Walikotamadya Jakarta Barat. Perbedaan pangkat antara dua subjek

pertama dengan subjek yang ketiga untuk memberikan eksplorasi lebih terhadap

36
masalah fokus penelitian yaitu konflik antara ekspektansi peran yang diberikan

oleh pimpinan dengan tindakan atau tingkah laku yang dilakukan di lapangan.

III.C. INSTRUMEN DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Data-data yang akan dipakai dalam penelitian ini bersumber dari dua hal. Yang

pertama adalah dokumentasi-dokumentasi dari berbagai media elektronik dan

media cetak. Poerwandari (2001) mengatakan bahwa dokumen-dokumen publik

resmi seperti media cetak dan berbagai foto serta video juga merupakan salah satu

tipe sumber data yang dapat dipakai dalam penelitian kualitatif. Sedangkan

sumber data yang kedua berasal dari partisipan dengan menggunakan beberapa

metode pengumpulan data. Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang

berasal dari partisipan adalah wawancara terfokus dengan menggunakan alat

perekam (tape recorder).

Metode wawancara terfokus dipergunakan, karena sesuai dengan metode

penelitian kualitatif yang berorientasi pada masalah tertentu, maka wawancara

yang akan dilakukan akan terfokus pada perihal dinamika antara permainan peran

dengan ekspektansi peran pada individu. Wawancara akan dilakukan dengan

panduan wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panduan wawancara

akan digunakan untuk memudahkan peneliti dalam menggali data-data yang tepat

pada sasaran yaitu role enactment dan role expectation pada diri individu.

Panduan wawancara akan berisi teori, sub domain, dan kalimat-kalimat

pertanyaan yang akan ditanyakan kepada subjek.

37
Tabel III.C.1. Panduan Wawancara

NO Domain Sub Domain Inti Pertanyaan Contoh Pertanyaan


1. Data Biografis Role Description Data lengkap interviewee Bisa ceritakan suka duka anda menjadi
Deskripsi peran Satpol PP Pengalaman-pengalaman selama berperan Satpol PP, dan pengalaman-pengalaman
oleh subjek. sebagai Satpol PP. menarik ketika menjadi Satpol PP?
Apa saja tugas-tugas dan tanggun jawab yang Bisa deskripsikan tugas-tugas anda sebagai
harus ia lakukan selama berperan sebagai Satpol PP?
Satpol PP. Pendapat anda mengenai tugas-tugas yang
anda deskripsikan sebelumnya?
2. Role Enactment Number of roles Jumlah dari peran yang subjek mainkan Bisa ceritakan sedikit tentang pekerjaan
Bagaimana subjek Berapa banyak peran dalam kehidupan sehari-harinya, dan anda di luar menjadi Satpol PP?
menjalankan peran yang yang subjek mainkan bagaimana peran-peran tersebut berinteraksi Apakah ada pengaruh dari peran anda
diberikan kepadanya. selain peran sebagai dengan perannya sebagai anggota Satpol PP sebagai Satpol PP kepada peran anda yang
Peran yang dimainkan Satpol PP. Bagaimana aksi-aksi yang dilakukan atau lain? Bagaimana hal itu bisa terjadi?
sebagai Satpol PP Organismic involvement pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh Bisa ceritakan tugas-tugas anda di
Seberapa besar intensitas subjek dalam kesehariannya menjadi Satpol lapangan, dan pengalaman-pengalaman
subjek dalam PP. bekerja di lapangan?
menjalankan perannya Pendapat subjek tentang kegiatan-kegiatan Pendapat anda tentang kegiatan-kegiatan
sebagai Satpol PP yang dilakukan pada saat menjalankan peran atau aksi-aksi yang selama ini dilakukan
Preemptiveness of role sebagai Satpol PP. oleh anda dan Satpol PP?
Seberapa besar subjek Bagaimana imbalan yang diberikan dari peran Bisa diceritakan tentang hal-hal yang anda
menghabiskan waktu yang subjek mainkan. dapatkan semenjak menjadi Satpol PP?
untuk menjalankan Apakah ada imbalan dan keuntungan-
perannya. Semakin keuntungan dari pekerjaan anda ini?
banyak waktu yang
subjek habiskan untuk
menjalankan perannya

38
sebagai Satpol PP,
menandakan peran yang
dimainkan memberikan
imbalan bagi dirinya

3. Role Expectations Ekspektansi peran yang Ekspektansi peran Satpol PP menurut subjek. Menurut anda apakah yang menjadi
Sebuah tolak ukur benar dimiliki oleh Satpol PP Bagaimana hubungan komitmen antara subjek tuntutan atau ekspektansi dari peran anda?
atau salah tingkah laku Komitmen yang terjadi dengan organisasi badan hukum yang Apakah pernah terjadi konflik antara anda
individu dalam antara subjek yang mengaturnya. dengan badan hukum yang mengatur tugas
menjalankan perannya. menjalankan peran Adakah ketidaksetujuan antara subjek dengan anda? Atau dengan pimpinan anda?
Dalam perihal Satpol sebagai Satpol PP dan pemberi peran. Bagaimana konflik itu terjadi?
PP, maka role organisasi berbadan Bagaimana subjek menafsirkan ekspektansi Mengapa konflik itu bisa terjadi?
expectations secara hukum yang peran yang diberikan kepadanya. Menurut anda pimpinan dan masyarakat
formal digunakan. mengaturnya. anda menginginkan atau menuntut anda
Ketidakcocokan antara bertindak seperti apa?
pemegang peran dengan Apakah terjadi ketidaksesuaian antara anda
pemberi peran, yang dengan organisasi?
dalam hal ini dapat Ketidaksesuaian seperti apakah yang
berarti dua hal yaitu terjadi?
ketidaksesuaian
peraturan atau kesalahan
tafsir dari pemegang
peran
4. Person Propriate functional Bagaimana motivasi Bisa ceritakan alasan anda menjadi Satpol
Person terbentuk oleh autonomy atau tingkah yang terdapat pada diri subjek dalam PP?
peran-peran yang laku yang didasarkan menjalankan perannya sebagai Satpol PP
dimainkan oleh oleh motivasi mandiri Bagaimana dinamika antara motivasi subjek

39
individu. Melihat yang terbentuk dari dalam menjalankan perannya sebagai Satpol
individu sebagai person motivasi sejak kanak- PP dengan ekspektansi yang diberikan
berarti melihat motivasi kanak, namun tidak kepadanya.
yang ada di balik orang dipengaruhi oleh masa
tersebut. lalu.
Motivasi yang
mendorong tingkah laku
individu yang
menjalankan peran
sejalan atau tidak dengan
ekspektansi peran yang
diberikan kepada
individu.

40
III.D. PROSEDUR PENELITIAN

III.D.1. Tahap Persiapan

Pada tahap ini, peneliti mengumpulkan data dari berbagai media cetak dan

elektronik yang berhubungan dengan berbagai kasus kekerasan yang dilakukan

oleh anggota Satpol PP di Jakarta. Setelah mendapat dokumen yang diperlukan,

peneliti membuat sebuah kerangka panduan wawancara berdasar pada teori yang

telah ditentukan yaitu role enactment dan role expectation. Kerangka panduan

wawancara tersebut diberikan kepada dosen pembimbing agar dikoreksi. Setelah

pengkoreksian dan disetujui oleh dosen pembimbing, peneliti menguji coba

panduan wawancara kepada salah satu anggota Satpol PP Walikotamadya Jakarta

Barat. Hasil wawancara uji coba dan diberikan kepada dosen pembimbing untuk

dinilai untuk melakukan revisi terhadap panduan wawancara. Setelah panduan

wawancara direvisi dan disetujui oleh dosen pembimbing, maka tahap

pengambilan data sesungguhnya dimulai.

Sebelum memulai pengambilan data baik data uji coba panduan wawancara

dan data wawancara sesungguhnya, peneliti membuat surat permohonan ijin

wawancara yang diatasnamakan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta,

dan ditujukan kepada Kepala Kantor Satpol PP Jakarta Barat. Surat permohonan

ijin wawancara merupakan syarat yang diberikan oleh Kepala Seksi Satpol PP

Jakarta Barat yang telah ditemui sebelum uji coba panduan wawancara untuk

mewawancarai anggota Satpol PP.

41
III.D.2. Tahap Pengumpulan Data

1. Peneliti membawa surat ijin wawancara ke kantor Walikotamadya

Jakarta Barat, dan memberikan surat tersebut kepada Kepala Seksi

Satpol PP Jakarta Barat pada tanggal 20 November 2009. Peneliti

membuat janji wawancara dan memberikan kriteria anggota Satpol PP

yang dibutuhkan kepada Kepala Seksi Satpol PP.

2. Wawancara pertama dilakukan pada hari Jumat, 11 Desember 2009.

Wawancara yang peneliti lakukan terhadap subjek bernama BT

dilakukan di ruang rapat kantor Satpol PP Jakarta Barat di lantai 3

Gedung A Walikotamadya Jakarta Barat. Wawancara diawali dengan

rapport, dan dilanjutkan dengan pertanyaan yang berfokus pada topik.

3. Wawancara kedua dengan subjek bernama BO, dilakukan juga pada

hari yang sama dengan wawancara pertama. Hal ini dilakukan oleh

Kepala Seksi Satpol PP untuk menghemat waktu yang ada. Wawancara

diawali dengan rapport, dan berlokasi di lokasi yang sama.

4. Wawancara terakhir dilakukan pada hari Senin, 8 Febuari 2010 dengan

komandan pleton bernama AR. Wawancara dilakukan di kantor Satpol

PP Walikotamadya Jakarta Barat. Wawancara dilakukan di tempat

terbuka, dikarenakan tempat rapat ditutup dan tidak dapat digunakan.

5. Seluruh wawancara dilakukan secara semi terstruktur. Pertanyaan yang

diberikan kepada masing-masing subjek mengacu pada kerangka yang

42
telah dibuat sebelumnya, namun ada pertanyaan-pertanyaan tambahan

yang muncul untuk mengeksplorasi lebih jauh topik yang sedang

diteliti.

6. Secara umum setiap wawancara berjalan dengan baik, namun

wawancara terakhir cukup mendapatkan sedikit gangguan karena

ruangan yang dipakai adalah ruangan terbuka. Peneliti mendapat

kesulitan yang cukup berarti dalam membuat transkrip wawancara.

43
Tabel III.D.2.1. Proses Pengumpulan Data

No Subjek Tanggal Tempat Durasi Keterangan

2. BT 09-12-2009 Kantor Walikotamadya Jakarta Barat 31 menit Subjek terlihat sangat antusias dalam
menceritakan pengalaman-pengalaman
yang terjadi di lapangan. Beberapa kali
subjek mengalami kebingungan dalam
menjawab pertanyaan, sehingga
pertanyaan harus diulang.

3. BO 09-12-2009 Kantor Walikotamadya Jakarta Barat 27 menit Subjek memperlihatkan kemarahan, dan
suara sedikit meninggi saat menceritakan
pengalamannya ketika mengalami
bentrokan dengan massa. Ia juga terlihat
sangat serius dalam sesi wawancara.

4. AR 08-02-2010 Kantor Walikotamadya Jakarta Barat 29 menit Subjek terlihat tenang, bahkan pada saat
interviewer bertanya tentang pengalaman-
pengalaman kerja yang berhubungan
dengan bentrokan massa. Sesekali
melemparkan candaan, dan tertawa. Tutur
kata subjek sangat sopan, dan gaya bicara
sangat diplomatis.

44
III.D.3. Tahap Analisis Data

1. Analisis data dilakukan dengan membuat transkrip wawancara terlebih

dahulu. Semua hasil wawancara diketik dan diberikan kepada dosen

pembimbing untuk diperiksa lebih lanjut.

2. Setelah transkrip wawancara terbentuk, maka setiap data dikategorikan

sesuai dengan panduan wawancara, sehingga hasil yang didapat adalah

sebuah tabel yang berisi jawaban dari subjek didasarkan pada kategori-

kategori yang telah tersedia. Tabel ini merupakan hasil dari diskusi

dengan dosen pembimbing, agar memudahkan untuk membuat analisis

silang.

III.E. METODE ANALISIS DATA

III.E.1. Koding dan Analisis

Metode analisis data yang akan dipakai dalam penelitian ini berhubungan

dengan metode pengambilan data secara partisipatif yaitu wawancara. Dalam

Poerwandari (2001) disebutkan bahwa tahap awal dalam analisis awal adalah

pengkodean dalam transkrip wawancara, dan dilanjutkan dengan analisis tematik.

Analisis tematik yang dilakukan memiliki tujuan untuk menganalisis informasi-

informasi yang telah didapatkan dalam transkrip wawancara. Transkrip

wawancara yang dilakukan kepada subjek yang dalam penelitian ini adalah

anggota Satpol PP DKI Jakarta, akan diberikan interpretasi sementara, serta

pencatatan tema-tema atau katgori-kategori yang muncul dari jawaban-jawaban

yang diberikan dari proses wawancara. Tema-tema atau kategori-kategori yang

45
muncul akan disusun sehingga menampilkan pola hubungan antar kategori atau

cross-cases.

Selain melakukan analisis secara cross-cases, peneliti juga melakukan

interpretasi terhadap data-data yang telah ada. Interpretasi dilakukan pada hasil

wawancara dan sumber data dari media cetak dan media elektronik dilakukan

berlandaskan teori-teori yang ada pada bab sebelumnya. Dalam hal ini interpretasi

akan dilakukan pada hasil wawancara dengan anggota Satpol PP Walikotamadya

Jakarta Barat dan beberapa tulisan yang ada dalam media elektronik.

III.E.2. Kualitas Penelitian

Dalam penelitian ini, kualitas penelitian akan dijamin dari tiga aspek, yaitu

kredibilitas penelitian, dependability, dan transferability. Selain itu kualitas

penelitian ini akan diperkuat dengan adanya triangulasi data.

III.E.2.a. Kredibilitas Penelitian

Dalam penelitian kualitatif kredibilitas penelitian setingkat dengan validitas

penelitian dalam penelitian kuantitatif. Poerwandari (2001) mencatat bahwa

kredibilitas penelitian adalah sejauh mana keberhasilan yang dicapai peneliti

dalam upaya mengeksplorasi masalah, atau mendeskripsikan setting, proses

kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. Untuk penelitian ini

kredibilitas akan dapat dilihat dari kondisi kasus atau fenomena yang akan

digambarkan secara objektif atau “apa adanya” dari keadaan yang diteliti. Jadi

kasus atau fenomena mengenai gambaran dinamika tanggung jawab sosial Satpol

46
PP DKI Jakarta dalam menjalankan ekspektansi perannya akan digambarkan

secara objektif oleh peneliti.

III.E.2.b. Dependability

Untuk meningkatkan dependability dalam penelitian ini, peneliti akan

menuliskan prosedur penelitian secara rinci dan transparan. Hal-hal penting dalam

pelaksanaan penelitian seperti try out, panduan wawancara, revisi-revisi desain

dan alat penelitian yang dilakukan akan dituliskan secara rinci dan transparan.

III.E.2.c. Transferability

Untuk dapat dipakai dalam penelitian yang serupa maka peneliti akan

menjelaskan parameter teoritis dari penelitiannya, dan mengemukakan bahwa

hasil penelitian dapat diterapkan dalam konteks situasi dengan parameter teoritis

yang serupa.

III.E.2.d. Triangulasi

Triangulasi diperlukan untuk meningkatkan generabilitas penelitian yang

dilakukan. Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan triangulasi data.

Triangulasi data dilakukan dengan cara mengambil variasi data, terutama data

berupa transkrip wawancara. Wawancara akan dilakukan tidak hanya kepada

anggota Satpol PP, namun juga kepada pimpinan Satpol PP.

47
BAB IV

ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA

IV.A. GAMBARAN DEMOGRAFI

Tabel IV.A.1. Gambaran Demografi

Subjek BT Subjek BO Subjek AR

Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Laki-laki

Umur 26 tahun 32 tahun 37 tahun

Lama Bekerja 6 tahun 10 tahun > 10 tahun

Level Jabatan PNS & Provost PNS (Bawahan) PPNS &


(Bawahan) Komandan Pleton
(Atasan)

Divisi Satpol PP Satpol PP Satpol PP


Operasional Operasional Operasional

Jumlah Peran 3 4 3

Dari gambaran demografi di atas, ditunjukkan bahwa kedua subjek BT dan

subjek BO memiliki jabatan lebih rendah dibandingkan subjek AR. Subjek AR

yang merupakan komandan pleton adalah atasan langsung dari kedua subjek.

Dengan kata lain, subjek BO dan subjek BT dalam kesehariannya melaksanakan

tugas di bawah pimpinan subjek AR. Subjek BT dan BO sendiri merupakan

anggota Satpol PP yang bekerja bersama-sama dalam kesehariannya. Mereka

melaksanakan patroli secara bersama, dan melaksanakan tugas bersama.

48
IV.B. HASIL ANALISA

IV.B.1. Subjek BT

IV.B.1.a. Role Enactment

Number of Roles

Selain menjalankan perannya sebagai Satpol PP subjek juga memiliki peran

sebagai seorang suami dan ayah dari satu orang anak. Subjek juga tidak memiliki

kegiatan lain selain bekerja sebagai Satpol PP, dan menjalankan peran di dalam

rumah tangga. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan wawancara dengan subjek :

“...Gak karena saya kebanyakan sibuk di


kantor, jadwalnya kadang banyak gitu,
kebanyakan di rumah aja, ngabisin waktu
buat keluarga. Soalnya waktu buat
keluarga juga dikit...”

Subjek menyatakan bahwa perannya sebagai Satpol PP tidak berkontribusi

terhadap perannya sebagai suami dan ayah di rumah. Hal tersebut dapat juga

dilihat dalam kutipan wawancara sebagai berikut :

“...Di rumah ya seperti biasa. Di kantor


aja kita bawaannya tegas, kalau di
rumah ya seperti biasa aja...”

Teori role enactment yang diungkapkan oleh Cameron (1975) bahwa semakin

banyak peran yang dimiliki oleh seseorang, maka ia akan dapat bekerja sama

secara efektif dengan sesamanya dan akan terlatih untuk menghadapi situasi baru

49
dan situasi-situasi kritis. Walaupun ada perbedaan lingkungan antara peran subjek

sebagai ayah dan suami dengan Satpol PP, tetapi kedua peran tersebut seharusnya

berpengaruh pada saat subjek menjalankan peran sebagai Satpol PP. Tetapi

dengan minimnya peran subjek, maka dapat dikatakan bahwa subjek BT mungkin

kurang dapat menghadapi situasi-situasi baru dan kritis. Hal tersebut dapat

dikatakan wajar jika melihat jam kerja subjek yang tidak menentu.

“Jam kerjanya kita kan gak tentu tapi


kalau eeh suatu saat dibutuhkan malam,
kita hadir malam. Kalau kita dibutuhkan
jam 6 pagi udah berangkat ke monas
seperti sekarang demo, kesana”

“Kalau jadwal tetapnya dari jam 7 sampai


jam 4. Ditinggal itu yang piket. Kita ada
piket juga 24 jam. Jam 7 sampai jam 7”

“Makanya kita selalu on time, ini apa,


handphone. Handphone saya sendiri.”

Organismic Involvement

Dalam menjalankan peran sebagai Satpol PP, intensitas keterlibatan subjek

dapat dinilai cukup dalam. Hal tersebut dapat dilihat dari seberapa banyak gerakan

fisik yang melibatkan otot, dan organ-organ tubuhnya ketika melakukan tindakan

aseperti pembongkaran, penertiban PMKS dan PKL di siang hari. Komitmen

dalam hal waktu dan kesediaan subjek untuk bekerja hingga larut malam dan

melakukan piket 24 jam juga mengindikasikan keterlibatan yang cukup intens

50
dalam menjalankan perannya sebagai satpol PP. Hal tersebut dapat dilihat dari

kutipan wawancara mengenai kegiatan subjek sehari-harinya sebagai Satpol PP :

“Pagi kita apel kan, mengecek kekuatan,


kekuatan nih seberapa kekuatan. Nanti kan
ada kegiatan, kita kan kegiatan kalau
misalnya tidak ada pembongkaran, kita
rutin patroli di perbatasan kalideres sana,
lari terus nyampe slipi. Di situ kita
mengantisipasi pedagang kaki lima,
PMKS. Yang sering kita ambil PMKS dan
pengamen. Terus setiap hari selalu dapat”

“...suatu saat dibutuhkan malam, kita


hadir malam. Kalau kita dibutuhkan jam 6
pagi udah berangkat ke monas seperti
sekarang demo, kesana...”

Selain dari kegiatan sehari-harinya, pengalaman-pengalaman yang diceritakan

oleh subjek juga mengindikasikan keterlibatannya sebagai Satpol PP. Subjek

memiliki pengalaman yang melibatkan adu fisik, dan kecelakaan saat bekerja

seperti yang ia alami di Mangga Besar.

“Akhirnya kita maju pelan-pelan, maju


pelan-pelan, udah kita dobrak keluar.
Seperti itu, sering, banyak yang terluka.
Kepalanya terbelah, sekarang tuh yang
cacat di kebon jeruk, saya ni kakinya retak
(sambil menunjuk dan memperlihatkan
tempurung lutut) kena batako...”

51
Mengacu pada hasil wawancara yang telah didapat, peneliti dapat memasukkan

subjek ke dalam salah satu tingkatan dimensi organismic involvement. Cameron

(1975) menyatakan ada tujuh tingkatan dalam dimensi organismic involvement

dan subjek BT termasuk dalam tingkat keempat yaitu engrossed acting. Dalam

tingkatan ini individu dikatakan dapat memisahkan dirinya dengan identitas

sebelumnya dan mengambil identitas dari peran yang ia mainkan, namun tidak

sepenuhnya lepas dari identitasnya yang lama. Subjek BT dapat menjalankan

peran sebagai Satpol PP dengan baik, namun ia berusaha untuk melepaskan diri

dari identitasnya sebagai seorang suami dan ayah ketika ia menjadi Satpol PP.

Selain itu ia berusaha menumpahkan dirinya ke dalam peran secara penuh. Hal

tersebut dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan dan pengalaman-pengalaman yang ia

miliki selama menjadi Satpol PP.

Preemptiveness of Role

Subjek BT menghabiskan banyak waktunya untuk menjalankan peran sebagai

Satpol PP dibandingkan perannya yang lain. Dalam satu hari, ia harus

menghabiskan waktu sebanyak 9 jam sebagai Satpol PP. Dalam keadaan tertentu

ia diharuskan untuk mengambil piket 24 jam, dan siaga di malam hari jika ada

kegiatan khusus. Menurut Cameron (1975) banyaknya waktu yang ia habiskan

dalam menjalankan sebuah peran, membuktikan bahwa peran tersebut

memberikan imbalan bagi dirinya. Dalam hal ini subjek memang mendapatkan

imbalan secara materiil yang dapat dilihat dari kutipan wawancara sebagai

berikut :

52
“Ya Alhamdulilah kalau itu ya kita kan di
Jakarta ibaratnya sekarang susah cari
pekerjaan apalagi ribuan kalau mau
ngantri misalnya kalau saya keluar nih,
ribuan yang masuk. Itu bermanfaat banget,
kita bisa menghidupi buat keluarga kita,
walaupun saya masih ngontrak nih, saya
masih ngontrak nih pak berapa tahun.
Belum punya rumah. Iya, masih ngontrak
rumah, bisa buat bayar kontrakan,
Alhamdullilah sekarang juga udah kredit
lunas motor gitu.”

“Kalau dihitung-hitung, kalau kayak dulu


kan PTT tuh pas, pas banget (dengan
suara mengecil), jadi kita atur-aturlah
gitu. Pas banget, tapi setelah jadi pegawai
kan bertambah, ada tunjangan lain. Itu
sekarang Alhamdullilah cukup. Cuman kan
masih banyak yang PTT gitu.”

Selain imbalan materiil, subjek juga mendapatkan keuntungan non-materiil.

Subjek menyatakan bahwa kedisiplinan dan kerapihan kerja meningkat semenjak

menjadi Satpol PP. Selain itu ada rasa kebersamaan yang meningkat semenjak ia

menjadi Satpol PP. Hal tersebut dinyatakan subjek :

“He eh, kualitas kerja lebih. Kerapihan,


disiplin, jadi semangat ya.”

“...membentuk disiplin, kebersamaan...”

53
IV.B.1.b. Role Expectations

Role expectations akan menggambarkan hubungan antara subjek dengan

institusi sosialnya. Institusi sosial akan dibagi menjadi dua menurut lingkungan

dimana peran tersebut dijalankan, yang dalam hal ini subjek menjalankan

perannya di dalam lingkungan formal. Dalam lingkungan formal permainan atau

tingkah laku subjek selama menjadi Satpol PP diatur dan disusun di dalam hak

dan kewajiban yang resmi. Subjek memahami betul bahwa ada peraturan yang

mengatur tingkah laku dan tindakannya dalam menjalankan peran sebagai Satpol

PP. Hal itu tergambar kalimatnya yang menyatakan :

“Ya awalnya dari peraturan kita ya


menegakkannya.”

Dalam menjalankan perannya subjek sadar bahwa ada ketidaksesuaian antara

perilaku yang ia lakukan dengan ekspektansi masyarakat. Subjek menyatakan

bahwa masyarakat belum sepenuhnya melihat bahwa perilaku subjek yang diatur

oleh undang-undang adalah baik adanya.

“...kadang sih, kebanyakan sih kalau orang


belum tahu tugas kita sebener-benernya
mungkin menilainya negatif kali ya.
Karena yang disorot kita kalau di media
kekerasan saja, seperti penggusuran,
pemukulan.”
“...sebenernya pekerjaan kita tuh gak hina.
Gak, gak identik dengan kekerasan, karena
kita itu e... m... membuat apa,

54
kesmrawutan Jakarta itu jadi tertib, bagus.
Seperti PMKS di jalanan, tidur di jalanan,
itu kan gak bagus pak. Kita bawa ke panti
sosial, nah nanti di panti sosial dibina,
dikasih makan apa gitu kan. Seperti kayak
pengamen-pengamen apa e... pengamen
banyak itu, ibaratnya itu ada gembongnya
seperti itu. Mereka setoran. Pengamen
kayak di Grogol banyak. Ibunya duduk aja,
anaknya masih kecil-kecil itu kita ambil
kita ambil dia nangis gitu. Ibarat sekarang
kan e... kalau PMKS gitu kan bukan
sekedar mencari makan pak, profesi itu.
Penghasilannya besar pak, mereka bisa
seratus ribu sehari, kalah gaji kita
(tertawa kecil).”

Dalam perihal kekerasan yang dilakukan satpol PP, subjek menyatakan bahwa

media hanya menyorot bagian dari kekerasan yang dilakukan Satpol PP.

Menurutnya kekerasan yang dilakukan Satpol PP memang bukan berdasar atas

hukum yang berlaku, namun kekerasan yang dilakukan Satpol PP dikarenakan

luapan emosi. Luapan emosi para anggota Satpol PP ternyata dinilai subjek wajar,

karena masyarakat turut memprovokasi kejadian tersebut.

Kekerasan yang dilakukan oleh Satpol PP, menimbulkan konflik antara

tingkah laku yang dikeluarkan dengan ekspektansi dari organisasi Satpol PP yang

jelas melarang adanya kekerasan. Di lain pihak juga terjadi adanya konflik peran

pada diri Satpol PP antara ekspektansi dari masyarakat baik yang terlibat maupun
55
yang tidak terlibat dalam kekerasan dengan ekspektansi peran dari organisasi yang

meminta para anggotanya menertibkan suatu daerah dengan cara apapun juga.

Namun konflik peran tidak membuat subjek untuk berhenti melakukan tugasnya,

subjek menceritakan bahwa tugasnya harus tetap dilakukan. Hal tersebut seperti

yang dikatakan oleh Sarbin (1968) bahwa subjek harus terus melakukan apa yang

menjadi ekspektansi perannya sebagai Satpol PP, karena ia dinilai oleh rekan

kerjanya, pimpinan, dan organisasi yang mengaturnya. Selain itu peran sebagai

Satpol PP sudah terbukti memberikan imbalan bagi subjek, oleh karena itu ia tetap

melaksanakan tugasnya sesuai dengan undang-undang dan perintah dari

organisasi.

“Oh tidak. Kan semua manusia itu kan


emosinya berbeda-beda gitu yah. Jadi
setiap kekerasan di dalam kami itu tidak,
tidak boleh gitu. Tidak diperbolehkan
kalau misalnya kegiatan ini memakai
kekerasan.”

“Kalau kekerasan... Ya ibaratnya kalau


kita kan memang gak, gak diperbolehkan
gitu kekerasan. Cuma kan eee... kadang itu
masyarakat ada yang memancing,
memancing emosi.”

Hal-hal lain yang dapat menggambarkan seberapa jauh subjek menjalankan

peran sesuai dengan ekspektansi yang diberikan kepadanya adalah hubungan

komitmen antara subjek dengan organisasi. Komitmen subjek tergambarkan baik


56
dari pernyataannya yang menyatakan bahwa ia tidak pernah melakukan

pelanggaran administratif. Selain itu komitmen subjek dengan organisasi juga

telah tergambar dari pernyataan-pernyataan wawancara dari subjek sebelumnya

yang menyatakan bahwa ia sudah ada di tempat kerja sebelum jam 7, dan selalu

siap 24 jam, bahkan pada hari libur sekalipun.

“Oh, boleh di cek kalau saya pak. Sejak


masuk boleh di cek dari sini. Tidak pernah
terlambat, karena saya sebagai provost ya.
Saya setengah tujuh udah datang, pulang
juga bisa terakhir.”

Selain melihat komitmen dengan organisasi, peneliti juga menggali informasi

tentang bagaimana hubungan subjek dengan pemberi perannya. Dari wawancara

yang dilakukan, subjek menyatakan bahwa ia melaksanakan peraturan yang

diberikan oleh pemberi peran. Ia menambahkan bahwa peraturan tersebut tidaklah

mungkin dilanggar atau tidak dilakukan. Walaupun begitu ia mengakui bahwa ada

perasaan yang kurang nyaman ketika harus melaksanakan perintah atau peraturan

yang berhubungan dengan penggusuran atau pengusiran. Dari hal tersebut peneliti

menggambarkan bahwa subjek menjalankan peran sesuai dengan ekspektansi dari

perintah dari atasan dan organisasi dengan baik. Peneliti menyatakan hal tersebut

karena subjek dapat mengesampingkan perasaannya dan melaksanakan peraturan

yang telah tertulis. Kembali lagi fakta bahwa adanya imbalan yang diterima dari

perannya sebagai Satpol PP akan menjadi alasan utama mengapa subjek dapat

menjalankan perannya dengan baik


57
“Ooh, kalau peraturan sih, itu peraturan
kan udah diolah. Yang membuat kan juga
bukan kita ya, yang buat kan orang atas
situ, kayak DPR itu udah dikaji-kaji sama
mereka.”

“Cuman yang ibaratnya dari hati kita aja,


menggusur mereka, ada perasaan kita
gitu. Kita sebagai orang miskin juga
kasihan ke dia. Kadang juga gak tega juga
gitu. Cuman kan ibaratnya ini lho
peraturan, kita harus tegakkan, kalau tidak
apa jadinya nanti?”

Subjek juga dapat digambarkan tidak memiliki masalah dengan pimpinan yang

berlaku. Ia menyatakan bahwa pimpinan yang ada sudah mengatur sesuai dengan

jalur yang berlaku. Ia juga menjelaskan bahwa pimpinan yang ada di Provinsi,

tentu saja menginginkan segala pekerjaan yang ada diselesaikan dengan baik,

namun adanya halangan dari masyarakat membuat proses kerja semakin menjadi

sulit. Dari pernyataan subjek dapat juga digambarkan bahwa subjek merasa bahwa

hambatan terbesar dari pekerjaannya sebagai Satpol PP justru datangnya dari

masyarakat.

“Oh gak, kalau kita mah selama diperintah


pimpinan itu sejalur, yang porsinya porsi
pekerjaan kita.”
“Kalau bertindak sih sudah, cuman
ibaratnya kalau mereka kan diperintahkan
disini untuk e... ibaratnya membikin bagus

58
lah, bagus ini Jakarta Barat. Yang
tertinggi sana tuh provinsi, kan mereka
kan inginnya semua selesai. Kayak
pekerjaan misalnya penggusuran, kayak
pembersihan selokan gitu selesai. Ya kan
pinginnya bagus, cuman kadang
masyarakat lah yang menimbulkan lagi.
Jadi ntar nanti pimpinan negor, itu kok
belum beres-beres. Padahal kita sudah
kerjakan gitu.”

Menggabungkan kedua aspek di atas, maka peneliti dapat menggambarkan

hubungan yang terjadi antara role enactment dan role expectations pada diri

subjek. Seperti yang telah dibicarakan pada bab III bahwa role atau peran adalah

penghubung antara subjek dengan institusi sosialnya. Dalam hal ini institusi sosial

dari subjek adalah masyarakat yang terlibat langsung dengan Satpol PP, dan

organisasi Satpol PP. Kedua institusi sosial ini berhubungan langsung dengan

peran subjek sebagai Satpol PP.

Sebagai Satpol PP, subjek menjalankan perannya dengan cukup baik. Dapat

digambarkan demikian karena subjek menghabiskan cukup banyak waktu untuk

menjalankan perannya, dan terlibat dalam berbagai aktivitas fisik. Peneliti dapat

menggambarkan subjek sebagai seseorang yang mendalami perannya secara

penuh.

Dalam menjalankan ekspektansi peran yang diberikan kepadanya, subjek

mendapatkan sedikit hambatan. Subjek menyatakan bahwa tidak semua tugas


59
yang diberikan kepadanya sesuai dengan keinginannya. Hal itu dapat dilihat dari

perasaan kasihan yang timbul terhadap korban masyarakat ketika ia harus

melakukan tugasnya. Hal ini dapat menggambarkan bahwa terjadi konflik

interrole pada diri subjek.

Dari sini dapat digambarkan konflik yang terjadi antara ekspektansi dari

organisasi dan pimpinan dengan ekspektansi yang dipegang oleh masyarakat.

Konflik ini disebut dengan konflik intrarole. Peneliti melihat bahwa subjek harus

memilih untuk bertingkah laku antara ekspektansi dari organisasi atau menerima

ekspektansi dari masyarakat. Pada akhirnya subjek tetap menjalankan tugasnya

berdasar ekspektansi yang diberikan oleh organisasi. Hal ini tentu saja disebabkan

karena perannya sebagai Satpol PP memberikan imbalan bagi dia, dan komunitas

dari Satpol PP juga memperhatikan dan mengamati tingkah lakunya. Subjek bisa

dibebas tugaskan sebagai Satpol PP jika ia tidak mematuhi perintah dan tugas

yang diberikan kepadanya.

Konflik juga terjadi ketika tindakan kekerasan harus dilakukan dalam

menjalankan peran, walaupun ia mengerti bahwa hukum melarang untuk

melakukan kekerasan. Disini terjadi konflik antara enactment dan expectations

pada diri subjek. Subjek di satu sisi harus menjalankan tugas yang diberikan

dengan segala cara, namun di sisi lain harus berupaya agar kekerasan tidak timbul.

Pada akhirnya tetap subjek harus mengakui bahwa kekerasan harus timbul untuk

melindungi diri dan terpancing emosi.

60
Peneliti juga mengindikasikan adanya imunitas akan perasaan yang

berkembang pada diri subjek. Imunitas atau kekebalan itu terjadi dimungkinkan

karena beberapa pekerjaan yang telah Satpol PP lakukan kembali dirusak oleh

beberapa warga masyarakat yang ditertibkan. Beberapa kasus seperti tidak jeranya

para PMKS dan PKL yang berjualan di tempat-tempat umum, mengakibatkan

terjadinya konflik antara pimpinan Satpol PP dengan subjek. Konflik diakibatkan

karena pimpinan merasa bahwa subjek belum menyelesaikan tugas dengan baik,

karena melihat hasil di lapangan menunjukkan bahwa PMKS atau PKL masih

berjualan atau berkegiatan di tempat yang telah ditertibkan sebelumnya. Peneliti

melihat bahwa hal ini dapat mengakibatkan subjek bisa lebih banyak

menggunakan kekerasan.

IV.B.2. Subjek BO

IV.B.2.a Role Enactment

Number of Roles

Subjek BO memiliki tiga peran lain selain menjadi Satpol PP. Ketiga peran

tersebut adalah menjadi suami, ayah, dan pengurus Pramuka Jakarta Barat. Subjek

menyatakan bahwa perannya sebagai Satpol PP memberikan pengaruh pada saat

ia menjalankan peran sebagai suami dan ayah di rumah, namun tidak sebaliknya.

Hal tersebut dapat digambarkan dari pernyataan subjek yang menyatakan bahwa :

“...tugas kerja kantor ya kantor, di rumah


ya rumah gitu kan. Cuman untuk belajar
kedisipilnan kita terapin kepada keluarga

61
disitu.”

Dari pernyataan di atas dapat digambarkan bahwa peran sebagai Satpol PP

membawa dampak yang baik, dan dapat membantu subjek dalam menjalankan

pernannya sebagai seorang suami dan ayah, namun sebaliknya peran sebagai

seorang suami dan ayah tidak membantu subjek dalam menjalankan tugas sebagai

Satpol PP. Dari kutipan wawancara di bawah, akan terlihat jelas bukti yang

menggambarkan peran subjek sebagai Satpol PP membantu perannya di rumah.

“Itu kita terapin di rumah, bangun pagi.


Kita belajar untuk membantu keluarga
kayak membantu istri atau apa kan. Kita
belajar mandiri dulu disana, jadi jangan
terpaku pada istri semuanya kita serahkan
tugas-tugas di rumah. Kalau kita bisa
bantu ya kita bantu kerjakan gitu kan.”

Peran lain yang dimiliki subjek sebagai pengurus Pramuka, ternyata

memberikan sebuah dampak positif dalam menjalankan peran baik sebagai

pengurus Pramuka dan Satpol PP. Digambarkan bahwa subjek yang berperan

sebagai pengurus Pramuka dapat melakukan tugas Satpol PP seperti

menginformasikan peraturan dengan cara lebih efektif. Hal ini terlihat dari kutipan

wawancara sebagai berikut :

“Itu disitu kita pelajarin gimana kita


dilatih PBB itu atau apa, pengetahuan

62
masalah kita tentang lapangan. Kan ilmu
kita ada disitu juga pak, sembari
ngomongin masalah peraturan nih
“ngerokok disini sembarangan nih.” Ya
kan? Lebih-lebih kalo orang kayak kampus
atau apa kan SMA lebih ngerti gitu loh.
Saya juga sering ditanya “emang gak
boleh?”, “kenapa sih gak boleh?”, itu
begini, begini gitu...”

Organismic Involvement

Subjek sebagai seorang Satpol PP memiliki intensitas keterlibatan yang cukup

tinggi dalam menjalankan perannya tersebut. Hal tersebut dapat digambarkan dari

seberapa lama subjek menghabiskan waktu di tempat pekerjaan dalam sehari,

seberapa banyak gerakan-gerakan otot yang dilakukan dalam sehari, pengalaman-

pengalaman yang pernah subjek alami, dan pengetahuan subjek dalam

menjalankan tugasnya sebagai Satpol PP.

Lamanya waktu yang subjek habiskan di tempat kerja tentu saja berpengaruh

pada tinggi rendahnya tingkat organismic involvement subjek. Semakin lama ia

berada di areal pekerjaan perannya, memungkinkan adanya keterlibatan fisik yang

cukup tinggi. Lamanya waktu yang ia habiskan dalam sehari untuk menjalankan

perannya sebagai Satpol PP dinyatakan dalam kutipan wawancara sebagai

berikut :

“Pagi jam 8 sampai jam 12, siang jam 1


sampai jam 4.”

63
Banyaknya gerakan otot yang dilakukan oleh subjek untuk membuktikan

keterlibatan organismiknya dalam menjalankan peran sebagai Satpol PP dapat

digambarkan melalui kegiatan-kegiatan yang ia lakukan dalam satu hari. Kegiatan

yang subjek lakukan seperti apel pagi, dan berpatroli di sekeliling Jakarta Barat.

Subjek bisa menceritakan dan menjelaskan kegiatan-kegiatan yang ia lakukan dari

pagi hari. Hal tersebut membuktikan bahwa secara fisik, subjek terlibat penuh

dalam menjalankan perannya sebagai Satpol PP.

“Ya, kita tiap pasukan ada apel pagi pak.”


“...untuk mengetahui kekuatan. Nah
setelah itu baru kita keluar.”

“...Kita bekerja tuh kira-kira ada kekuatan


berapa orang? Kita kan di lapangan kan
gak tau pak, nanti kalo ada kejadian apa-
apa kehilangan satu itu kita kan gak tahu.
Karna awalanya belom di cek ya bisa aja
tau-tau ada yang ketinggalan satu kan
gitu. Ya kan? Dari awal kita cek dulu
berapa orang, baru kita keluar. Baru
melaksanakan yang perda tadi kan. Yaa
PMKS, atau spanduk-spanduk liar yang
mengotori, kaki lima.”

Selain menjelaskan kegiatan yang dilakukan, subjek juga dapat menceritakan

kejadian yang terjadi ketika harus menertibkan PMKS dan PKL.

“Ya mereka itu sudah tau duluan pak, di


Jakarta itu gak boleh. Jadi kalo kita

64
dateng ada yang ngerti itu langsung kabur
gitu kan.”

“Iya! Cuman ada juga yang bandel itu


ngelawan pasti langsung ditangkep. Misal
kabur lari kita uber sampe ke dia, kita
ambil. Tapi kalo udah merasa nggak
sanggup, dia masuk kampung-kampung ya
kita berusaha untuk jaga diri kita.”

“Peringatan dah lama pak! Sebenernya


dia lebih tau daripada kita gitu, bahwa di
Jakarta ini gak boleh, dia dah tau gitu kan.
Ya sebenernya kalo mereka itu bohong
kalo gak tau di Jakarta itu. Tapi banyak-
banyak yang koordinir itu pak.”

Pengalaman-pengalaman menarik yang subjek ceritakan, juga menjadi

indikator penting untuk menentukan seberapa besar intensitas keterlibatan subjek

di dalam menjalankan perannya sebagai Satpol PP. Pengalaman subjek yang

menceritakan tentang kekerasan fisik yang dialami ketika operasi becak di

Jelambar, menggambarkan keterlibatan fisik yang tinggi dalam menjalankan

perannya sebagai Satpol PP. Dari pengalaman tersebut juga tergambarkan sejauh

mana subjek mendalami perannya sebagai Satpol PP. Subjek juga menyatakan

bahwa ia bangga jika ia meninggal di dalam tugas. Hal tersebut terdapat dalam

kutipan wawancara sebagai berikut :

“Masuk ke dalem di dalem udah ada


kerumunan massa dan tukang becak itu,
dengan membawa segala macam senjata
65
tajam, senjata kayu, bata, batu semacam
itu, ngelempar ke mobil kita. Kita cuman
enam orang. Tapi dengan niat gitu kan
kita, kerja bener, berusahalah kita kabur
dari situ. Bukannya kita gak mau
ngelawan, kita kabur. Jaga diri seperti
yang tadi saya bilang kan. Itu ada pisau
segala macem, ni balok kayu, golok di
depan mata kita. 1 mobil terus turun-turun,
mundur-mundur ke belakang terus kita
jalan, itu kejadiannya. Jadi kita kan kerja
bener. Ya alhamdulillah kan Tuhan masih
melindungi kita kan. Itu karena itu
jebakan. Itu kalo kita kabur kita lepasin
dia, apa kata dia kan. Kita mau kabur
mereka nguber terus karena ngambil
barang itu becak dia. Kan di Jakarta ini
becak gak boleh kan?”
“Nah itu, tapi karena di dalam ada massa
yang sudah menunggu! Menunggu kita, ya
itu kejadiannya. Jadi kayaknya saya udah
ikhlas aja lah, meninggal, meninggal saya
disitu, saya bilang begitu, ya kan. Tapi
meninggal karena tugas bangga saya,
karena tugas ya saya bangga, karena
sudah tugas. Bukan saya gak mau
meninggal, pas meninggal itu kan, kalau
meninggal dalam tugas saya bangga, itu
aja. Kebanggaan.”

66
Dari faktor-faktor di atas, peneliti mengkategorikan subjek BO ke dalam

tingkat ke lima dalam organismic involvement dimension. Tingkat ke lima adalah

classical hypnotic role taking. Dalam tingkat ini keterlibatan subjek BO secara

organismik relatif tinggi, dan subjek menjalankan peran seolah-olah merasakan

seperti perasaan akan mati ketika menceritakan pengalaman yang dialaminya.

Selain itu subjek juga bisa menceritakan bagaimana seakan-akan malu terhadap

seragam yang ia kenakan pada saat menjadi bulan-bulanan masyarakat yang di

tertibkan.

“... Dari situ kita malu sama seragam, kita


aparat kok jadi bulan-bulanan sama yang
kita tertibkan. Nanti image kita bagaimana
gitu kan.”

Preemptiveness of Role

Dari segi preemptiveness of role, subjek memang menghabiskan banyak waktu

dalam menjalankan perannya sebagai Satpol PP. Hal ini memang sesuai, karena

peran sebagai Satpol PP dianggap menguntungkan bagi subjek dibandingkan

perannya yang lain. Beberapa imbalan materiil diungkapkan subjek dalam kutipan

wawancara sebagai berikut :

“Ya kalo untuk hasil kerja alhamdullilah


saya punya rumah, punya kendaraan. Itu
hasil kerja saya itu pak, dan punya istri
tadi, ya karena kerja. Ya kalo saya gak
kerja gak mungkin saya punya istri pak.”

67
Selain imbalan materiil, subjek juga menyatakan bahwa ada keuntungan-

keuntungan secara non-materiil yang ia dapatkan selama menjalankan peran

sebagai Satpol PP. Sebelumnya telah dijelaskan dalam bagian number of roles,

bahwa peran Satpol PP berguna bagi subjek dalam menghadapi situasi-situasi

tertentu ketika berperan sebagai ayah, suami dan pengurus Pramuka. Subjek juga

menyatakan bahwa ia mendapatkan banyak teman, belajar menjadi sabar, dan

menjadi orang. Hal itu diungkapkan subjek dalam kutipan wawancara sebagai

berikut :

“Ya, sukanya satpol pp banyak temen


sekarang”
“Iya, begitu kan, banyak teman dan juga
saya belajar menjadi orang”
“Ya, dari orang yang sembarangan kan,
yang gak tau peristiwa atau yang lain,
duduk-duduk di rumah. Kan nanti bisa
dibawa ke situ, motor keluarga. Saya lagi
belajar ke situ.”

Dari imbalan dan keuntungan yang diperoleh, maka dapat dikatakan bahwa

subjek sungguh-sungguh menjalankan perannya sebagai Satpol PP. Diperkuat

dengan pernyataan subjek bahwa dirinya menjadi motor keluarga, membuat

subjek akan semakin banyak menghabiskan waktunya sebagai Satpol PP.

68
IV.B.2.b. Role Expectations

Role expectations akan menjadi jembatan antara subjek dengan institusi

sosialnya. Institusi sosial akan difokuskan pada masyarakat dan organisasi yang

mengatur subjek. Dari sini akan terlihat gambaran tanggung jawab subjek

terhadap institusi sosialnya. Sebagai Satpol PP, eskpektansi peran subjek tentu

saja masuk ke dalam kategori formal, dimana segala tugas dan kewajiban subjek

diatur secara resmi menurut undang-undang yang berlaku. Subjek mengerti betul

tentang hal tersebut, dan ia menyatakan bahwa segala yang ia kerjakan berasal

dari perintah atasan atau pemberi peran.

“Tugas saya menurut Perda dan perintah


dari komandan, gitu kan? Yang penting,
kalau mau Perda itu kan Peraturan
Daerah. Siapa yang melanggar pasti
ditindak gitu kan?”

Di luar perintah dari Perda dan atasan, subjek juga memahami bahwa ada

ekspektansi yang diberikan kepadanya dari segi HAM. Subjek diberikan

ekspektansi untuk tidak melakukan kekerasan di dalam setiap kegiatan yang

dilakukan.

“Bukan pak, kita masih ada, kita kan dikit-


dikit diajarin sama pimpinan HAM itu pak,
diajarin HAM, kita gak mau kan kena
masalah sedikit kita kena HAM. Kalo kita
tindak pidana ringan nanti malah kena
beratnya kan? Cuman tipiring itu kan, kalo

69
melanggar Perda kan tipiring untuk
penjaringan, nanti malah kita yang kena
tindakan beratnya kan?”

Menyingkapi masalah kekerasan fisik yang dilakukan oleh Satpol PP, subjek

menyatakan bahwa dirinya sebagai manusia masih bisa terpancing oleh emosi,

dan melakukan kekerasan fisik. Hal itu juga ia lakukan untuk membantu

menegakkan peraturan yang telah ada. Subjek menegaskan bahwa ia sebagai

Satpol PP memiliki payung hukum dalam menjalankan perintah.

Subjek menjalankan ekspektansi perannya, walaupun di satu sisi masyarakat

yang menonton atau audiens menganggap hal itu bertentangan dengan ekspektansi

mereka. Hal ini seperti yang dikatakan Sarbin (1968) bahwa subjek akan terus

melakukan ekspektansi yang diberikan kepadanya walaupun ada ketidaksesuaian

dengan masyarakat sekitar. Hal tersebut terjadi karena subjek terikat oleh

ekspektansi dari rekan-rekan sesama Satpol PP dan organisasi sebagai pemberi

peran. Jika dikaitkan dengan tingkat keterlibatan organismik dari subjek yang

ternyata cukup tinggi, maka wajar kiranya jika subjek tetap melaksanakan

perintah atau tugas sekalipun harus melakukan kekerasan yang dibatasi (dalam hal

ini subjek mengerti tentang HAM)

“Ya, waktu kejadian tahun 2000... 2005...


2004... pembongkaran di Cengkareng. Ya
pembongkaran perumnas itu. Dari saya
orang yang takut gitu. Ya kan, tapi melihat
eee massa yang mulai berani, kan timbul
keberanian gitu kan. Soalnya kita kan

70
punya payung hukum jadi kita mulai
berani. Saya disana ya... bukan ngajak
berkelahi atau apa, satu lawan satu sih
disana kan. Kalau kita gak bela diri
bagaimana?! Kan kita sendiri yang kena
kan. “
“Kronologisnya kan kita eee... untuk
merapikan, merapikan tanah yang punya
pemerintah gitu kan. Bukan punya pribadi,
jadi kita kan kerja menurut peraturan kan.
Ada surat tugasnya ada macemnya kan.
Ada payung hukum bekerja untuk
mengosongkan lahan tersebut, tapi dari
pihak orang-orang disitu gak mau juga
kan. Masa kita nyerah aja? Kita kan ada
payung hukumnya disitu gitu kan. Jadi kita
kerja gak sembarangan kerja, kita ada
payung hukum.”

“...gak kena HAM kan? Jadi kita pikir ke


situ pak. Saya pikir kesitu. Tapi dia duluan
yang memukul, kita kan menjaga diri,
intinya menjaga diri. Dari situ kita malu
sama seragam, kita aparat kok jadi bulan-
bulanan sama yang kita tertibkan. Nanti
image kita bagaimana gitu kan.”

Dalam pengamatan subjek, masyarakat sebagai institusi sosial memiliki

anggapan yang kurang baik pada awalnya, namun seiring berjalannya waktu

masyarakat mulai menaruh ekspektansi yang baik terhadap perannya sebagai

Satpol PP.
71
“Dari pertama kali saya masuk ke pol pp
gitu pak, tahun 2000 itu memang jadi
masalah, masyarakat Jakarta belum ngerti
gitu pak. Tapi mulai sekarang-sekarang
mulai alhamdullilah sudah ngerti, paham
gitu. Mulai mengerti bahkan banyak yang
membutuhkan kita gitu. Ya intinya di
kelurahan gitu kan pak, dia malah minta
tolong kita apa gitu, dia memerlukan kita
gitu. Yang dicari kita, yang dicari pol
ppnya. Sekarang-sekarang ini yang di
kelurahan atau di mana di kecamatan itu
yang dicari kita pol pp nya. Ada di macet,
macet gitu kan bukan polisi tuh disuruh
pak, “ini pol ppnya mana?” gitu kan. Jadi
secara tidak langsung masyarakat masih
membutuhkan kita, kan gitu?”
“Itu yang macet doank pak, terus ada
pengamen di lampu merah banyak, gitu
kan, “kok pol pp gak ada nih?”, “nertibin
pengamen.”. Jadi secara gak sadar dia
masih membutuhkan kita gitu, ya kan. Jadi
untuk bangga kita, oh jadi saya masih
dibutuhkan di masyarakat ini. Itu buat
kebanggaan juga pak.”

Subjek tidak serta-merta melihat bahwa masyarakat menaruh ekspektansi yang

baik terus menerus terhadap diri subjek sebagai Satpol PP. Dalam beberapa

pengalaman lain, subjek menceritakan pula kejadian dimana ia dicemooh ketika

72
hendak melakukan apa yang menjadi tugasnya dalam membantu kelancaran

fasilitas umum.

“Ya itu, kalau kita lagi tugas, kita bener-


bener dengan ikhlas gitu kan. Cuman di
masyarakat kita dicemooh gitu kan. Kita
sudah capek gitu kan membantu. Kayak
contohnya waktu abis bencana banjir
kemarin-kemarin itu. Kita dah capek-
capek bantu gitu kan. Tapi orang itu malah
diem dan cemooh-cemooh gitu kan. Itu
yang membuat kita kayaknya kesel juga sih
gitu kan. Ya bagaimana, udah tugas suruh
merapikan atau membantu orang yang
bencana. Ya banjir kan kayak angkat
sampahnya, atau lumpurnya di lingkungan
rumah-rumah.”
“Seperti mengecilkan aja gitu kan. Yang
ada maunya gitu! Sepertinya ini ada
maunya nih bantu-bantuin. Tapi kita mah
nggak, gak ada maunya, kan emang tugas
kita kan gitu, Ya kan? Tapi kan ada
orang-orang yang itu bisa bilang ada
maunya. Biarin aja gitu.”

Seberapa besar subjek menjalankan ekspektansi peran yang diberikan

organisasi kepada dirinya juga dapat tergambar dari komitmen subjek terhadap

organisasi tersebut. Besarnya komitmen dapat dilihat dari berapa sering

pelanggaran secara administratif yang ia lakukan. Pelanggaran administratif yang


73
subjek lakukan tidak diceritakan secara jelas, namun subjek memang mengakui

bahwa ia pernah melakukan pelanggaran. Subjek menambahkan bahwa hal

tersebut adalah hal yang biasa terjadi, karena pelanggaran yang ia lakukan hanya

sebatas pelanggaran administratif biasa. Selain itu komitmen bisa dilihat dari lama

subjek bekerja sebagai Satpol PP, yaitu 10 tahun sejak menjadi PTT.

“Saya sudah hampir 10 tahun pak.”

“Iya, dari jaman PTT dulu, jaman-jaman


sampai sekarang. Sekarang diangkat jadi
pegawai negeri udah 10 tahun.”

“Pasti ada pak, manusia pasti ada


terlambat, atau sakit. Ijin atau gak masuk
itu wajar. Pernah saya melakukan itu.
Tindakan yang diberikan ya sama, besok
waktu masuk ditegor, atau ya biasa ya
disuruh push up atau squat jump. Wajar
kalo gitu kan? Kalo tanpa ijin, tanpa
penjelasan kan push up, latian gitu.”

Ekspektansi peran yang diberikan kepada subjek oleh pemberi peran dapat

terlihat melalui ambiguitas yang terjadi antara subjek dengan pemberi peran.

Dalam hal ini pemberi peran dibagi menjadi dua yaitu peraturan dan pimpinan.

Subjek digambarkan tidak mengalami masalah dalam melaksanakan peraturan

yang berlaku dan subjek juga tidak mengalami masalah dalam menjalankan

perintah yang diperintahkan oleh pimpinan. Namun beberapa perintah dianggap

subjek terlalu berat untuk dilakukan.

74
“Kalau tidak setuju itu kan tidak mungkin,
“saya gak setuju!”, gak mungkin begitu kan
pak?”
“Kalau saya sih nggak pak, perintah
pimpinan begitu pertama saya kerjakan dulu
gitu kan. Kalau ada slack atau apa di
lapangan kita panggil pimpinan yang
nyuruh kita donk. Ya kan? Karena kita
diperintahkan, kita cari yang
memerintahkan kalau ada apa-apa, ada
masalah di lapangan. Yang penting intinya
kita bekerja dulu, kita laksanakan perintah-
perintah dulu.”

“Kita jalanin perintah dia, kita jalanin aja


walaupun dalam hati kayaknya gak sepadan
gitu. Tetep jalanin, tetep jalan, karena anak
buah dan pasukan begitu. Pimpinan yang
perintah ya kita jalan, tetep jalan. Gak
mungkin pimpinan menjerumuskan kita. Gak
ada pak, gak ada pimpinan menjerumuskan
kita. Cuman kita diuji bisa respek dan punya
pemikiran dewasa, nah disitu kita diuji. Jadi
kita diuji supaya bisa respek dan punya
pemikiran dewasa dalam tugas.”

Peneliti akan menggambarkan bagaimana hubungan kedua aspek di atas, yaitu

role enactment dengan role expectations pada diri subjek dan bagaimana kedua

hubungan keduanya di lapangan.

75
Dari segi role enactment, subjek memiliki kelekatan yang dalam terhadap

perannya, hal ini dapat dilihat dari bagaimana ia menyatakan bahwa ia siap mati

dan bangga jika mati ketika bertugas. Subjek BO memang memiliki tingkat

organismik yang tinggi dalam menjalankan perannya, selain itu ia juga memiliki

lebih banyak peran dibanding dua subjek lainnya. Peran-perannya yang lain dapat

meningkatkan kinerja subjek, dan hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana

perannya sebagai pengurus Pramuka Jakarta Barat berguna untuk memberitahu

masyarakat tentang peraturan yang ada. Seperti subjek sebelumnya, subjek juga

mengalokasikan waktunya lebih banyak ke dalam peran sebagai Satpol PP, karena

peran tersebut menguntungkan subjek baik secara materiil maupun non-materiil.

Dalam hubungannya dengan masyarakat, terdapat konflik peran yang terjadi

pada diri subjek. Konflik peran pada diri subjek terjadi ketika ia harus memilih

antara melakukan ekspektansi peran dari organisasi dan pimpinan atau bertingkah

laku dan bereaksi terhadap ekspektansi dari masyarakat yang ia tertibkan. Harus

diperhatikan bahwa ekspektansi dari organisasi mengharapkan subjek melakukan

penertiban dengan berbagai macam cara, sedangkan di sisi lain tindakan

kekerasan yang dilakukan diakui subjek tidak diperkenankan. Dari kedua hal itu

dapat digambarkan bahwa subjek mengalami konflik baik intrarole dan interrole.

Ketika terjadi konflik intrarole pada diri subjek, subjek memilih untuk tetap

menaati peraturan dari organisasi dan pimpinan. Menurut subjek, peraturan dari

organisasi dan perintah dari komandan adalah yang terpenting dalam menjalankan

ekspektansinya di masyarakat. Subjek sendiri terlihat tidak terlalu peduli jika

perintah yang dikeluarkan merugikan masyarakat. Ia berdalih bahwa sebagai


76
Satpol PP mereka mempunyai payung hukum untuk melakukan penertiban

dengan segala macam cara.

Sedangkan konflik yang kedua yaitu konflik interrole terjadi ketika subjek

harus menertibkan masyarakat yang notabene adalah masyarakat kecil yang sama

dengan dirinya. Subjek mengalami pertentangan ketika harus menjalankan

ekspektansi peran dan menertibkan masyarakat kelas menengah ke bawah yang

dimana ia berasal pula. Walaupun ada, tetapi peneliti melihat bahwa konflik ini

tidak terlalu mempengaruhi subjek. Ia berkata bahwa tugas harus tetap

dilaksanakan dan tugas dari pimpinan adalah yang terutama.

Selain kedua konflik di atas, peneliti menemukan sebuah konflik antara

enactment dengan expectations pada diri subjek. Subjek mengerti bahwa ada dasar

hukum HAM yang tidak memperbolehkan ia untuk menggunakan kekerasan pada

saat menertibkan masyakarat, tetapi pada kenyataan di lapangan ia tetap

melakukan tindakan kekerasan. Kemungkinan yang terjadi adalah karena subjek

didorong untuk menghidupi keluarganya dan tertutup kemungkinan adanya jalan

lain. Jika ia tidak melakukan hal tersebut, maka pekerjaan yang diberikan tidak

selesai, dan pada akhirnya ia harus menerima resiko sanksi berupa hukuman dari

organisasi atau bahkan pencopotan peran. Pencopotan peran mengartikan bahwa

subjek tidak lagi mendapatkan imbalan atau gaji yang digunakan untuk

menghidupi ia dan keluarganya.

Jika melihat bagaimana subjek digerakkan oleh motivasi untuk menghidupi

dirinya dan keluarganya di masa depan. Hal ini yang dikatakan Allport sebagai

77
manusia dewasa. Namun di sisi lain memungkinkan adanya fungsi yang kurang

berjalan baik, karena subjek masih dipengaruhi oleh masa lalunya yang kurang

baik.

Peneliti melihat bahwa belum terjadi imunitas emosi pada diri subjek. Subjek

memperlihatkan emosi secara nyata ketika ia harus menceritakan

ketidakpuasannya terhadap reaksi masyarakat. Ia masih belum bisa menerima

segala reaksi negatif masyarakat yang dikeluarkan dan diterima olehnya.

IV.B.3. Subjek AR

IV.B.3.a. Role Enactment

Number of Roles

Subjek AR memiliki tiga peran yaitu sebagai petugas Satpol PP di Jakarta

Barat, suami, dan ayah dari tiga anak. Peran subjek sebagai Satpol PP diceritakan

sangat membantu dalam mendidik ketiga anaknya. Ia menyatakan bahwa

kedisiplinan, keterampilan, dan jiwa sosial yang ia dapatkan dari pelatihan sebagai

Satpol PP ia tularkan ke dalam keluarganya. Selain itu sebagai Satpol PP ia juga

mengembangkan rasa empati terhadap para PMKS setelah melihat keadaan

mereka, dan ia menyatakan bahwa hal itu juga ia tularkan kepada keluarganya.

Dari sini dapat digambarkan bahwa subjek dapat mengembangkan hubungan

saling menguntungkan antara perannya sebagai Satpol PP dengan perannya

sebagai ayah dan suami di dalam keluarga.

78
“Tidak ada, fokus kepada ini aja.”
“...walaupun hanya pendidikan sebulan itu
memang membentuk karakter kita untuk,
ya disiplin, kerapian, jiwa sosial kita,
kekeluargaan, akhirnya kebawa juga ke
keluarga.”
“He eh, katakanlah seperti bangun pagi.
Saya sampai sekarang ini, setengah lima
itu dah bangun, otomatis, sudah
dibiasakan ini. Mengatur anak juga mau
gak mau kita, kita iniin, kita tularkan gitu.”
“Hal yang positif, positif. Kemudian juga
setelah saya bertugas di lapangan dengan
keluarga-keluarga yang katakanlah
kurang mampu, yang... ya saya ceritakan
juga ke anak saya, ke istri saya, bahwa di
lapangan itu seperti ini lho, keluarga
ternyata begini, begini. Banyak yang gak
makan, banyak yang tidur di atas kayu, di
atas got, gak punya tempat tinggal. Ya kita
bersyukur, kita masih bisa tinggal di
pemerintah begini, ya kita syukuri, yang
walaupun hanya menghemat tapi ada
harapan gitulah dari gaji pemerintah gitu.
Saya sangat bersyukur untuk itu, karena
saya dari kalangan yang paling, paling...
itu masih ada yang gak, ya gak punya
tempat tidur, yang gak makan berapa hari,
yaa paling bawah lah, masyarakat kelas
bawah. Jadi saya sangat bersyukur gitu
loh, dan itu saya kasih tau ke keluarga,
79
makanya kita harus syukuri bahwa kita
seperti ini gitu loh.”

Organismic Involvement

Dalam segi keterlibatan organismik, subjek yang bekerja sebagai komandan

pleton dapat digambarkan memiliki keterlibatan yang tinggi, terutama secara fisik.

Hal tersebut dapat dilihat dari apa yang dikatakan oleh subjek mengenai jam kerja

dan apa yang ia lakukan pada saat bertugas sehari-hari.

“Yah, karena kita itu seperti komando lah


kita itu, pagi itu begitu sampai disini apel
dulu, siapkan anggota, apa tugas-tugas
kita hari ini kita bagi. Penertiban apa,
tugas kemana, kan ada pleton-pletonnya.
Kemudian sore kita kembali, kita apel lagi,
cek pasukan lagi.”
“Ya ganti-gantian kita. Itu dah rutin itu
tiap hari.”
“Ikut juga, kan ada beberapa, kadang-
kadang kegiatan yang harus. Wilayah
sana, wilayah sana, yang pasti di Jakarta
Barat. Ya kita dampingi mereka di
lapangan.”
“Kadang-kadang jam kantor pegawai
Pemda itu kan setengah 4, jam 4.”

80
Subjek juga menceritakan bahwa tugas yang ia lakukan tidak terpaku pada

jam-jam kantor saja, ia harus siap 24 jam untuk piket malam yang tentunya

memerlukan keterlibatan fisik yang cukup besar. Selain itu subjek juga

menjelaskan kegiatan-kegiatan yang dilakukan disamping patroli.

“Ya bisa sampai jam 8, bisa sampai jam 7,


kadang-kadang juga kita piket sampai
pagi.”
“Yah, untuk meneriman dan eee...
melakukan eee... membantu di lapangan
juga, katakanlah seperti eee... seperti...
eee... pohon tumbang, atau musim hujan
gitu, tawuran warga, kebakaran, kita ikut
membantu itu.”
“24 jam. Kebakaran, tawuran, kadang-
kadang juga tawuran sekolah, tawuran
warga, pohon tumbang, tiba-tiba ada... Ya
macam-macam pengaduan lah.”

Sebagai pimpinan subjek juga menyatakan bahwa ia mengalami berbagai

pengalaman menarik pada saat tugasnya, dan pengalaman menarik tersebut juga

memerlukan keterlibatan fisik yang tinggi. Dari pengalaman tersebut subjek juga

dapat menceritakan bagaimana mengantisipasi kekerasan fisik yang terjadi.

Pengalaman menarik diceritakan oleh subjek sebagai berikut :

“Ya, itu seperti penertiban becak, ya kita


berbenturan dengan massa. Kita dilempar,
kita dikepung begitu kita masuk ke gang,
gang udah dibakar pake ban, kita

81
terkepung di dalam, ya udah pengalaman
seperti itu.Begitu kita di kendaraan
meninggalkan suatu tempat, kita diserang
pake hujan batu. Seperti kayak di Tambora
itu jalanan kecil, di pasar itu, kita masuk
diserbu massa bbuaahh... sering
mengalami seperti itu.”
“Kita tenang, yang penting posisi kita
jangan membalik. Kita mundur
menghadap mereka dengan tenang, agar
jangan kena kepala, jadi bisa menangkis.
Ya misalnya minimal ada satu pleton
katakanlah 30 orang ya membantu juga,
gitu.”

Selain keterlibatan fisik dalam kegiatan sehari-hari dan pengalaman-

pengalaman menarik yang ia miliki, keterlibatan organismik subjek dapat juga

dilihat dari bagaimana ia menghargai perannya. Hal tersebut dapat tergambar dari

cerita subjek mengenai suka dan duka yang ia alami selama berperan sebagai

Satpol PP. Subjek menyatakan bahwa selama ia berperan sebagai Satpol PP, ia

menjiwai perannya, dan menyukai perannya tersebut. Dari hal-hal yang

menyangkut keterlibatan organismik di atas, maka peneliti dapat mengkategorikan

subjek ke dalam tingkat organismik ke 5 yaitu hypnotic role taking. Peneliti

memasukkan subjek ke dalam kategori hypnotic role taking karena melihat

bagaimana subjek dapat menjiwai peran yang ia jalankan sebagai Satpol PP.

Tigkat keterlibatan organismik yang tinggi juga dapat dilihat dari bagaimana

82
subjek telah melakukan peran sebagai Satpol PP selama lebih dari 10 tahun.

Perannya sebagai Satpol PP yang bertugas di lapangan telah mengantarkan subjek

ke dalam tingkat di mana ia lebih menginginkan pekerjaan di ranah operasional

lapangan dibandingkan ranah administratif. Hal tersebut ditunjukkan dalam

kutipan wawancara sebagai berikut :

“Lebih menyenangkan kalau buat saya.


Karena memang sejak saya di sini saya di
lapangan. Mulai dari tukang las, mulai
dari tukang bongkar, mulai dari tukang
panggul, terus saya mengalami seperti itu,
memang kalau disuruh staff memang
kurang menyenangkan. Hahaha...”

Preemptiveness of Role

Untuk menggambarkan seberapa besar subjek mendalami perannya, maka kita

harus melihat seberapa banyak waktu yang ia habiskan dalam berperan sebagai

Satpol PP dikaitkan dengan imbalan dan keuntungan yang ia peroleh selama

menjadi Satpol PP. Selama menjalani peran sebagai Satpol PP subjek

menghabiskan waktu 10 tahun untuk membangun karirnya, dan jumlah peran pada

subjek hanyalah sebatas suami dan ayah. Dengan kata lain subjek berfokus pada

perannya sebagai Satpol PP. Imbalan yang subjek terima selama bekerja sebagai

Satpol PP dianggap cukup untuk menghidupi keluarganya. Hal tersebut terpapar

dalam kutipan wawancara sebagai berikut :

83
“...Itu juga menurut saya juga sudah
haaa.. lumayan lah. Untuk katakanlah
makan tahu tempe, itu juga udah... udah
tercukupi lah di Pemda, Pemda DKI ini
yah. Karena kesejahteraan...
kesejahteraan kita juga yah lumayanlah “

Subjek juga mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang

lebih tinggi lagi. Subjek menyatakan bahwa dengan berperan sebagai Satpol PP ia

memiliki kesempatan untuk meneruskan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi,

dan telah mendapatkan gelar sebagai sarjana.

“Yah saya juga itu apa namanya... saya


kan masuk ke sini dari SMA, nah setelah
eee... tahun berapa saya masuk, akhirnya
saya juga akhirnya ikut kuliah gitu. Saya
juga kuliah dan sudah selesai.”
“Sudah kuliah dan sudah selesai.”
“Yah, ya lumayanlah. Itu juga kemarin
juga dah ikut tes karena SMA itu kan
golongan 2, setelah kita lulus, kita ikut
ujian, baru bisa disesuaikan. Ujian dulu,
kadangkala dari UI kemarin. Udah lulus,
akhirannya saya sudah menyesuaikan
pangkat kerja saya. Jadi seperti abang ini
saya pernah. Hahaha...”

84
Yang peneliti paparkan di atas adalah hasil-hasil materiil yang diperoleh subjek

dalam menjalani perannya sebagai Satpol PP. Hasil-hasil non materiil ternyata

juga diperoleh oleh subjek. Hasil-hasil tersebut terlihat dalam kutipan-kutipan

wawancara sebagai berikut :

“He eh, puas-puas saja. Karena kita terjun


ke lapangan itu, kita mengenal banyak
orang. Banyak orang di lapangan, kita
mengenal wilayah, kita mengenal
bermacam-macam karakter orang di
lapangan, yak menurut saya asik juga.”
“Lebih menyenangkan kalau buat saya.
Karena memang sejak saya di sini saya di
lapangan. Mulai dari tukang las, mulai
dari tukang bongkar, mulai dari tukang
panggul, terus saya mengalami seperti itu,
memang kalau disuruh staff memang
kurang menyenangkan. Hahaha.”

Dari segi preemptiveness of role, dapat dilihat bahwa memang subjek akan

lebih mengalokasikan waktunya ke dalam peran Satpol PP. Peran tersebut

mendatangkan hasil, terutama berupa imbalan materi yang dapat digunakan untuk

menghidupi keluarganya. Oleh karena itu dari ketiga aspek yang telah dijabarkan

di atas, dapat digambarkan bahwa subjek AR menjalankan perannya tanpa

kepalsuan, serius, dan melibatkan dirinya sendiri.

85
IV.B.3.b. Role Expectations

Segi role expectations pada diri subjek dapat dilihat dari beberapa segi. Segi

yang pertama adalah bagaimana subjek mengidentifikasi sendiri perannya sebagai

Satpol PP. Dalam hal ini subjek yang juga berpangkat sebagai PPNS atau

Penyidik Pegawai Negeri Sipil, memiliki pengetahuan yang cukup luas mengenai

perannya sebagai Satpol PP. Hal ini ditunjukan oleh subjek dalam kutipan

wawancara sebagai berikut :

“Yak, khusus di operasional sebagaimana


aturan yang menyatakan bahwa polisi
pamong praja adalah penegak peraturan
daerah dan menegakkan surat keputusan
Gubernur di lapangan. Ya, yang
berhubungan dengan itu ya yang
menyangkut ketertiban umum.”
“Ya, sudah PNS, dan juga sudah mengikuti
pendidikan Prispong Praja. Sudah
mengikuti pendidikan PPNS. PPNS itu
penyidik pegawai negeri sipil. Kita semua
pegawai PNS menjadi PPNS. Menjadi
pegawai khusus untuk penyidik.”

Segi yang kedua adalah bagaimana subjek memandang ekspektansi yang

diberikan oleh masyarakat. Dalam hal ini, subjek melihat bahwa masyarakat

terdiri dari dua kubu yaitu pro dan kontra. Pihak yang pro adalah masyarakat yang

tidak terlibat dalam penggusuran atau penertiban yang dilakukan, dan sebaliknya

pihak kontra adalah masyarakat yang menjadi korban Satpol PP selama ini. Ia

86
menambahkan walaupun banyak masyarakat yang menginginkan terjadinya

pembubaran Satpol PP, namun lebih banyak dari mereka yang mendukung Satpol

PP jika dilakukan pendataan.

“Yaa, masyarakat itu terdiri dari pro-


kontra, artinya kalau masyarakat
lingkungan masyarakat yang kita tertibkan
itu mendukung, katakanlah pengendara
sudah melanggar, warga sekitar situ pasti
mendukung. Ya yang gak mendukung itu
ya mereka yang kita tertibkan itu. Jadi
kendala itu pasti dua. Yang ditertibkan itu
keberatan, tapi warga yang sekitar situ
pasti mendukung.”
“Iya, ada dua... makanya yang berkoar-
koar bubarkan satpol pp ya mereka itu
yang jadi korban itu. He eh yang merasa
ketakutan itu. Kalau pada masyarakat
umum sih pasti mendukung lah. Cuma ya
karena suara itu langsung itu ya diliat
banyak orang. Kalau secara umum di...
di... apa, bisa di data, ini pasti itu
mendukung.”

87
Komitmen antara subjek dengan organisasi juga dapat menggambarkan

besarnya role expectations pada subjek. Untuk melihat seberapa besar komitmen

subjek maka peneliti menanyakan seberapa sering subjek meninggalkan pekerjaan

atau tidak hadir dalam pekerjaanya sebagai Satpol PP.

“Wah, tidak terlalu sering yah. Kalau


bolos itu gak pernah, kecuali yang sangat-
sangat, apa... kepentingan yang sangat ini
di keluarga, baru kita... Sepanjang tidak
ada kepentingan yang perlu yak...
Makanya kita dipilih di lapangan”

Komitmen subjek juga tergambar dari seberapa banyak waktu yang ia berikan

dalam satu hari untuk menjalankan perannya sebagai Satpol PP, dan hal tersebut

sudah dipaparkan dalam sisi role enactment sebelumnya.

Dalam role expectations terdapat dua aspek ambiguitas. Peneliti menggali hal

tersebut dengan menanyakan dua pertanyaan yang menyangkut komitmen subjek

terhadap peraturan dan pimpinannya. Komitmen subjek terhadap peraturan dapat

dilihat cukup tinggi, karena subjek dapat mengesampingkan segala hal pribadi dan

tetap melaksanakan segala peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi.

“Ya kita harus menyesuaikan diri. Artinya


ya kalau udah perintah itu, ya sudah
dengan pertimbangan-pertimbangan. Ya
memang kadang-kadang gak sesuai
dengan nurani kita, harus kita
kesampingkan. Karena ini peraturan
orgnisasi, ya kita, apa.. aturan organisasi,
88
ya itu yang kita lakukan, kita ikuti. Kalau
kita pribadi kan menyesuaikan.“

Komitmen subjek terhadap peraturan juga tercermin jelas dari segala perintah

yang telah ia jalankan selama lebih dari 10 tahun. Subjek menjalankan segala

perintah dan peraturan yang dibuat oleh organisasi karena organisasi memberikan

imbalan bagi subjek baik berupa materiil dan non-materiil. Jika subjek tidak

mengikuti perintah, maka organisasi yang mengatur segala tugas dan obligasi

perannya dapat memutuskan hubungannya dengan perannya tersebut.

Aspek ambiguitas yang kedua adalah ada atau tidaknya kesepakatan subjek

dengan pimpinannya. Dalam hal ini tidak ada ketidaksepakatan antara subjek

dengan pimpinannya. Ia menyatakan bahwa komando yang diberikan padanya

akan tetap dilaksanakan, walaupun ada ketidaksetujuan.

“Yaa.. sebagaimanapaun kalau itu


perintah, ya kita harus ikutin komando. Ya
memang diperintahkan, ya itu kita
laksanakan. Walaupun kita kadang-kadang
kurang puas ya kita kasih masukin,
masalahnya seperti itu. Tetapi komando ya
tetap kita laksanakan.”

Peneliti juga menyinggung bagaimana subjek sebagai komandan pleton

menanggapi permasalahan kekerasan yang dilakukan oleh Satpol PP selama ini.

Peneliti menggunakan berita penembakan oleh anggota Satpol PP yang terjadi

pada tahun 2005 lalu. Subjek menyatakan bahwa dirinya tidak menyetujui tentang

89
penggunaan senjata api di Satpol PP, dan tidak membenarkan penggunaan

senajata api di dalam satuan Satpol PP.

“Kalau saya tidak setuju, bahkan untuk


di... di... di apa namanya, dipersenjatai
dengan senjata api saya kurang setuju.
Ya itu dia tadi akibatnya, ya itu berarti
belum, belum merasa sanggup untuk
menerima itu, ya akibatnya seperti itu.
Karena lepas kendali itu, tidak bisa,
belum menahan emosional gitu loh.
Kalau untuk sekarang ini menurut saya
ya pendekatan-pendekatan yang persuasif
aja ya kalau menurut saya ya. He eh,
karena kita, yah lebih... lebih berhasil
kalau kita melakukan pendekatan
persuasif. Katakanlah di suatu kawasan
ini, siapa tokoh yang dihargai disini, di
tempat ini, kita panggil, kita ajak, kita
eee... sampaikan program kita, eh apa,
tolong dibantu. Program seperti ini..”

Dari deskripsi peneliti tentang role enactment pada subjek dan role

expectations pada diri subjek, maka dapat digambarkan hubungan dari kedua

unsur tersebut. Hubungan tersebut akan membentuk gambaran role atau peran

secara nyata. Subjek sebagai komandan pleton memiliki kelekatan yang tinggi

dengan perannya. Jumlah peran, keterlibatan organismik, dan imbalan yang

diberikan oleh peran mendukung hal tersebut. Dari segi role expectations, subjek

yang telah menjalankan peran sebagai Satpol PP sadar betul akan posisinya

90
sebagai komandan pleton, dan tugas-tugas serta obligasi yang ia jalankan di dalam

Satpol PP. Selain itu subjek juga sadar bagaimana masyarakat sebagai bagian dari

institusi lainnya memandang Satpol PP dalam dua pandangan yaitu pro dan kontra

Dari sisi role expectations subjek dapat menjelaskan tugasnya dengan baik, dan

dapat menjalankan tugas dan obligasi yang diberikan dengan baik, tetapi ada

beberapa hal yang tidak subjek setujui. Penggunaan kekerasan dan senjata api

menurut subjek tidak sesuai dengan apa yang menjadi tugasnya sebagai Satpol PP.

Subjek juga mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap beberapa perintah yang

diberikan atasan. Disini dapat digambarkan adanya konflik interrole pada diri

subjek. Di satu sisi ia harus menjalankan tugasnya sebagai Satpol PP dalam

menertibkan masyarakat, namun di sisi lain ada hal-hal yang ia tidak setujui dalam

pelaksanaanya. Namun pada akhirnya ia tetap melakukan perintah tersebut, hal ini

dikarenakan bahwa ia membutuhkan gaji atau imbalan yang diberikan oleh

organisasi Satpol PP.

Konflik intrarole juga terjadi pada diri subjek. Subjek mengakui bahwa ada

masyarakat yang kontra dengan keberadaannya sebagai Satpol PP. Hal itu berarti

bahwa ada perbedaan ekspektansi peran dari dua institusi sosial. Ada perbedaan

antara ekspektansi peran yang diberikan oleh organisasi Satpol PP dengan

ekspektansi peran dari masyarakat kepadanya.

Peneliti juga dapat melihat adanya konflik yang terjadi antara enactment

dengan expectations pada diri subjek. Subjek yang membantah bahwa Satpol PP

melakukan kekerasan semata-mata untuk melindungi diri, sedangkan dalam

91
hukum yang mengatur Satpol PP dilarang untuk melakukan kekerasan. Subjek

juga menambahkan bahwa banyak rekan-rekan Satpol PP yang berusia muda

belum dapat mengendalikan emosi sepenuhnya.

Peneliti melihat subjek juga terlihat lebih tenang dibanding kedua subjek

sebelumnya. Hal ini mungkin disebabkan karena subjek terlalu biasa mendapat

perlakuan yang sama di masyarakat, sehingga ia tidak lagi merasa bahwa hal itu

adalah hal yang aneh. Dikatakan bahwa benturan dan bentrokan memang sudah

merupakan bagian dari perannya sebagai Satpol PP, karena itu subjek tidak lagi

merasa kaget dengan hal tersebut. Jadi peneliti melihat bahwa subjek tidak lagi

mempedulikan pandangan masyarakat terhadap dirinya, dan ia juga bisa

mengesampingkan perasaan terhadap tugas. Bisa terjadi kemungkinan bahwa

subjek mengalami gejala imunitas akan perspektif negatif terhadap dirinya sebagai

Satpol PP.

Peneliti juga melihat bahwa subjek sudah dapat dikatakan sebagai manusia

dewasa. Subjek memiliki motivasi yang tertuju ke masa depan dan tingkah laku

yang subjek keluarkan memang didasarkan pada membangun keluarga dan

membiayai hidup dirinya dan keluarganya. Namun melihat bahwa adanya tindak

kekerasan yang ia lakukan pada saat menertibkan masyarakat, dapat diindikasikan

bahwa dirinya belum berfungsi secara penuh sebagai manusia dewasa.

92
BAB V

KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

V.A. KESIMPULAN

Dari keseluruhan hasil analisis dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :

1. Dalam menjalankan perannya sebagai Satpol PP ketiga subjek tidak

memiliki banyak peran. Peran Satpol PP dibatasi oleh organisasi dimana

mereka bekerja dan harapan masyarakat.

2. Peran sebagai Satpol PP begitu melekat pada diri masing-masing subjek.

Mereka terlibat penuh dalam setiap kegiatan yang ada di dalam perannya.

Walaupun konflik-konflik peran terjadi pada diri subjek ketika

menjalankan peran sebagai Satpol PP dalam situasi tertentu, subjek tetap

mempertahankan peran mereka.

3. Para subjek mengerti betul tentang tugas dan tanggung jawab mereka

sebagai Satpol PP. Mereka mengerjakan setiap ekspektansi formal yang

diberikan oleh organisasi Satpol PP. Hal itu menimbulkan konflik antara

ekspektansi peran dari organisasi dengan ekspektansi peran dari

masyarakat.

4. Ketiga subjek menyatakan bahwa pandangan masyarakat terhadap kinerja

Satpol PP adalah negatif. Jadi ada perbedaan antara tingkah laku Satpol PP

yang seharusnya sesuai dengan peraturan dan tugas dengan pendapat


93
masyarakat. Sedangkan mereka sebagai Satpol PP menyatakan bahwa

mereka bertindak berdasarkan ekspektansi dari organisasi Satpol PP dan

hal dianggap bukan hal yang negatif. Jika ada kekerasan yang dilakukan

maka hal itu berdasar pada pembelaan diri. Disini dapat disimpulkan

bahwa ada konflik peran pada diri masing-masing subjek, dimana subjek

menganggap bahwa jalannya peran Satpol PP baik adanya, sedangkan

masyarakat tidak. Kedua hal tersebut menjadi pertentangan pada diri

subjek.

5. Ketiganya memberikan prioritas yang besar terhadap imbalan yang

diberikan oleh organisasi Satpol PP. Imbalan yang diterima berupa gaji

dan keuntungan-keuntungan lainnya menjadi sebab utama mereka masih

mempertahankan perannya sebagai Satpol PP, walaupun terjadi konflik

peran pada diri mereka.

6. Para subjek menjalankan peran sebagai Satpol PP dan menjalankan setiap

tindakan berdasar atas motivasi yang ada saat ini. Motivasi yang ada saat

ini seperti bekerja untuk menghidupi atau menjalani panggilan adalah hal

yang mendorong mereka dalam menjalankan peran sebagai Satpol PP.

Namun dengan adanya kasus kekerasan yang dimana mereka juga

mengakui hal tersebut, maka tidak bisa dikatakan bahwa mereka

kedewasaan mereka berjalan sebagaimana mestinya.

94
V.B. DISKUSI

Dalam usaha menggambarkan konflik peran yang terjadi pada diri masing-

masing subjek, peneliti menemukan beberapa kesulitan. Kesulitan yang pertama

datang dari masalah teknis, dimana proses wawancara berlangsung sangat ketat.

Proses wawancara yang dilakukan di sebuah ruang rapat, diawasi oleh kepala

seksi Satpol PP Jakarta Barat. Dalam proses wawancara para subjek juga terkesan

untuk ragu-ragu dalam menjawab beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan

tindak kekerasan yang dilakukan oleh oknum Satpol PP selama ini.

Ada tiga konflik peran yang terjadi pada masing-masing subjek. Konflik yang

pertama adalah konflik intrarole yang sangat jelas terjadi. Yang kedua adalah

konflik interrole yang juga terlihat sangat nyata dari pernyataan-pernyataan

subjek. Konflik yang ketiga adalah konflik antara melaksanakan tugas yang

diberikan dengan cara apapun juga dengan resiko melanggar hukum atau

ekspektansi dari organisasi. Tetapi ketiga konflik yang terjadi tidak serta merta

mempengaruhi kinerja subjek dalam menjalankan peran sebagai Satpol PP. Peran

sebagai Satpol PP dan segala tindakan kekerasan yang mungkin dilakukan akan

terus dilakukan dan hal itu membuktikan bahwa subjek tidak lagi menghiraukan

ekspektansi dari masyarakat yang terlibat maupun tidak. Masyarakat mungkin

saja memberikan sanksi berupa cemooh atau tindakan langsung fisik,, namun hal

itu tidak membuat subjek yang berperan sebagai Satpol PP mundur. Hal ini dapat

disebabkan oleh karena kebutuhan dari para subjek untuk menghidupi

keluarganya. Tekanan ekonomi dan posisi sosial yang kurang menguntungkan

95
membuat subjek menggantungkan harapan satu-satunya dari pekerjaan atau peran

sebagai Satpol PP.

Kemungkinan terjadinya gejala-gejala patologis dari para anggota Satpol PP

juga patut diwaspadai. Menghadapi berbagai konflik peran yang terjadi pada

dirinya memungkinkan terjadinya tekanan pada diri Satpol PP. Tekanan-tekanan

tersebut kemungkinan dapat mengakibatkan gangguan-gangguan kejiwaan.

Peneliti melihat bahwa konflik-konflik peran yang terjadi akan membawa

seluruh Satpol PP menjadi terbiasa akan adanya tekanan dari pihak masyarakat.

Jika pihak Satpol PP terus dihadapkan dengan masyarakat, maka bisa jadi anggota

Satpol PP tidak lagi memiliki ketakutan atau perasaan empati terhadap masyarakat.

Tidak adanya lagi perasaan takut atau empati akan membuat anggota Satpol PP

bisa berbuat semena-mena ketika harus menjalankan peran mereka.

Dalam penelitian ini, peneliti tidak melihat adanya korban ataupun pelaku.

Dalam studi literatur baik dari media cetak maupun elektronik, memang

masyarakat yang ditertibkan oleh Satpol PP adalah korban, namun dengan hasil

wawancara yang dilakukan oleh peneliti dapat dilihat bahwa Satpol PP adalah

pelaku pasif dan melakukan penertiban atas dasar ketaatan. Bagi peneliti, Satpol

PP juga merupakan korban, yang dimana mereka harus tetap mengerjakan apa

yang menjadi tugas dan obligasi mereka di bawah dua tekanan yaitu organisasi

dan masyarakat.

Selain itu perekrutan Satpol PP juga menjadi salah satu faktor yang penting

untuk dicermati ke depannya. Perekrutan yang dilakukan oleh dinas Satpol PP,
96
terkesan tidak sistematis. Subjek-subjek yang diwawancara peneliti pun tidak

masuk ke dalam jajaran Satpol PP melalui tes, tapi melalui perekrutan seadanya

dan menjadi PTT. Salah satu subjek bahkan menyatakan bahwa beberapa dari

mereka masuk melalui Kamra tanpa proses seleksi terlebih dahulu. Peneliti

mengetahui pada akhirnya memang ada beberapa tes psikologis yang dilakukan

untuk menyeleksi, namun tidak mengetahui jenis tes seperti apa yang dilakukan

untuk menyeleksi para calon Satpol PP. Selain itu peneliti mendapatkan informasi

dari pihak ketiga bahwa tingkat pendidikan dari para anggota Satpol PP juga

sangat beragam dan cenderung rendah dan beberapa dari mereka adalah mantan

narapidana.

Perlu ditambahkan bahwa selama penelitian ini berlangsung terjadi insiden

yang menewaskan 3 orang anggota Satpol PP, melukai 80 anggota Satpol PP, 11

anggota polri, dan 65 orang warga setempat. Kerugian yang ditaksir mencapai 3

miliar rupiah. Kecaman terhadap tindakan Satpol PP yang menggunakan

kekerasan dalam insiden ini begitu keras dan mengakibatkan pencopotan Kepala

Satpol PP DKI Jakarta Harianto Badjoeri (“Kepala Satpol PP Diganti”, 2010).

V.C. SARAN

Dari hasil penelitian, peneliti mendapatkan beberapa masukan yang berguna

untuk dilakukan dalam penelitian yang serupa di masa mendatang

97
V.C.1. Saran Teoritis

Dalam teori peran tidak banyak yang diungkapkan mengenai konflik psikologis

yang terjadi pada pemegang peran jika ekspektansi peran yang diberikan harus

berbenturan dengan parental authority. Dalam hal ini peneliti mengungkapkan

bahwa perlu adanya sebuah teori yang dikembangkan untuk melihat efek atau

dampak psikologis yang terjadi apabila ekspektansi dari sebuah peran berbenturan

dengan pandangan dari parental authority. Dengan kata lain sudut pandang

psikologis yang kurang dalam teori peran hendaknya perlu dikaji lebih dalam lagi.

Setelah dilakukan penelitian, dimungkinkan perlu adanya pembahasan

psikologi klinis dalam aspek kekerasan dan dampak yang dilakukan oleh petugas

Satpol PP. Selain itu analisa kesehatan mental juga perlu dilakukan, mengingat

tekanan dari konflik peran dapat berdampak pada kesehatan mental individu yang

berperan sebagai Satpol PP.

V.C.2. Saran Metodologis

Peneliti melihat bahwa dibutuhkan sebuah seleksi yang lebih terfokus dalam

pencarian subjek. Oleh karena itu dalam penelitian selanjutnya dapat

dikembangkan sebuah alat tes untuk mencari subjek-subjek yang lebih tepat lagi

dalam topik penelitian ini. Subjek-subjek yang memiliki tingkat stress tinggi

dalam menjalankan perannya akan lebih cocok untuk memberikan gambaran

konflik psikologis dalam menjalankan perannya sebagai Satpol PP.

98
Selain itu peneliti juga melihat adanya kebutuhan untuk mengadakan observasi

secara berkala kepada masing-masing subjek dalam penelitian ini. Hal itu perlu

dilakukan untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang tugas dan fakta kondisi

lapangan ketika Satpol PP bekerja.

V.C.3. Saran Praktis

Untuk peneliti yang akan melakukan kajian lebih dalam penelitian ini, sangat

diharapkan untuk melakukan wawancara dengan para subjek secara privat, dan

tidak diawasi. Hal tersebut dapat dinegosiasikan dengan pemimpin seksi Satpol

PP. Pencocokan jadwal juga sebaiknya dilakukan dengan cermat, agar subjek

yang bekerja sebagai Satpol PP tidak merasa terburu-buru dalam setiap sesi

wawancara, sehingga hasil yang didapatkan lebih maksimal.

Peneliti juga menyarankan bagi pemerintah kota setempat untuk

mengikutsertakan ahli ilmu sosial atau psikologi sosial klinis, untuk mengawasi

jalannya perekrutan dan pembinaan anggota Satpol PP.

99
Teori BT BO AR
Role Description
a) Data lengkap subjek Oh ya baik. Nama saya, nama Nama saya BO. Umur 32 tahun, Ya, nama saya AR, umur 37 tahun.
lengkap saya BT, umur 26 tahun, sudah berkeluarga anak satu. Eee, jabatan saya disini komandan
kelahiran Jakarta 1983. Iya, dari jaman PTT dulu, jaman- pleton.
Mengawali karir saya di Satpol jaman sampai sekarang. Sekarang He eh, kemudian saya sudah
Pp tahun 2004 itu sebagai PTT. diangkat jadi pegawai negeri udah berkeluarga, anak tiga.
Sudah berkeluarga 10 tahun. Kalau saya sih memang sudah
Eee, kalau satpol pp... PTT nya lama. Saya dari abis lulus SMA,
yah, PTT nya kemarin udah 4 saya magang dulu dari tahun 92,
tahun. Terus baru bulan maret.. baru lulus SMA, sampai tahun eee
mei.. saya diangkat jadi PNS seribu, eh 98.
Ya, sudah PNS, dan juga sudah
mengikuti pendidikan Prispong
Praja. Sudah mengikuti pendidikan
PPNS. PPNS itu penyidik pegawai
negeri sipil. Kita semua pegawai
PNS menjadi PPNS. Menjadi
pegawai khusus untuk penyidik.
b) Pengalaman-pengalaman Suka : Suka : Suka :
selama berperan menjadi Sukanya kita disini ibaratnya Ya, sukanya satpol pp banyak Ya, sukanya sih setelah kita
satpol pp membentuk disiplin, temen sekarang geluti, kita nikmati, ya semua
kebersamaan, ya gitu. Iya, begitu kan, banyak teman tugas itu ya mulia juga. Yang
dan juga saya belajar menjadi penting dilaksanakan dengan
orang. keikhlasan kita. Kita isi
Ya, dari orang yang dengan aturan yang ada. Ya
sembarangan kan, yang gak tau menurut saya dimana saja kita
peristiwa atau yang lain, duduk- ditempatkan akhirnya kalau
duduk di rumah. Kan nanti bisa kita jiwai ya happy-happy
dibawa ke situ, motor keluarga. saja.

1
Saya lagi belajar ke situ.

Duka : Duka : Duka :


Dukanya ya saat-saat kalau Ya itu, kalau kita lagi tugas, kita Ya kalau dukanya itu
kayak hari raya gitu. Hari raya bener-bener dengan ikhlas gitu memang, ya itu dia tadi, kalau
besar itu kadang kita disuruh kan. Cuman di masyarakat kita berbenturan dengan
masuk, ya udah masuk. Jadi kita dicemooh gitu kan. Kita sudah masyarakat itu kan bermacam-
gak bisa pulang kampung lah capek gitu kan membantu. macam karakter. Ada yang
Kayak contohnya waktu abis keras, ada yang ditunggangi
bencana banjir kemarin-kemarin eeh itu apa ya namanya
itu. Kita dah capek-capek bantu sekarang, preman-preman
gitu kan. Tapi orang itu malah daerah itu apa namanya, itu
diem dan cemooh-cemooh gitu kayak Forkabi, kyk yaaah..
kan. Itu yang membuat kita yang menguasai lingkup-
kayaknya kesel juga sih gitu kan. lingkup itulah. Berbenturan
Ya bagaimana, udah tugas suruh dengan itu, berbenturan
merapikan atau membantu orang dengan massa yang yaah...
yang bencana. Ya banjir kan bermacan-macam pola
kayak angkat sampahnya, atau karakter lah. Yang akhirnya
lumpurnya di lingkungan rumah- kita kadang berbenturan fisik
rumah. gitu loh. Ya rasa-rasanya kita
Seperti mengecilkan aja gitu sedih gitu loh, kadang-kadang
kan. Yang ada maunya gitu! kita tugas beberapa hari
Sepertinya ini ada maunya nih meninggalkan keluarga.
bantu-bantuin. Tapi kita mah Ya he eh. Cuman kalau
nggak, gak ada maunya, kan pertama kita disitu, waduh kok
emang tugas kita kan gitu, Ya jadi begini, berbenturan
kan? Tapi kan ada orang-orang dengan masyarakat, apalagi
yang itu bisa bilang ada maunya. masyarakat kelas bawah. Ya
Biarin aja gitu. memang selalu bertentangan
2
di hati ini, tapi yang penting
tujuan kita ya dilaksanakan
dengan segala ketentuan yang
ada. Dan tujuannya pun bukan
untuk memusnahkan mereka,
sebenarnya memanusiakan
mereka.
Pengalaman saat pendidikan : Pengalaman saat pendidikan :
Pengalaman-pengalaman, ya Ah, karena sejak kita masuk disini
banyak, seperti kita kalau ikut memang pendidikan kita juga ada
pendidikan. Banyak kita ikut apa namanya, ada pendidikan khusus
pendidikan, ada diklat pol pp, ada kita, melatih ketrampilan kita,
suskala, kita ngikutin semua melatih kedisiplinan kita, karena kita
untuk dapetin ini, ini, ini, seperti pol pp ini kan sebulan masuk
(menunjuk lencana dan tanda kayak katakanlah ada kayak lembaga
pangkat) gak langsung dikasih. seperti polisi, ada yang masuk ke
Harus ada jenjangnya, ringdam. Itu membentuk kita,
pendidikan berapa bulan gitu. walaupun hanya pendidikan sebulan
itu memang membentuk karakter kita
untuk, ya disiplin, kerapian, jiwa
sosial kita, kekeluargaan, akhirnya
kebawa juga ke keluarga.
Pengalaman saat bertugas : Pengalaman saat bertugas : Pengalaman saat bertugas :
Ya pengalaman banyak, Ya, waktu kejadian tahun Ya, itu seperti penertiban
kebetulan saya juga di provost 2000... 2005... 2004... becak, ya kita berbenturan
kan. Jadi menengahi. Ada pembongkaran di cengkareng. dengan massa. Kita dilempar,
anggota yang emosinya, namanya Ya pembongkaran perumnas kita dikepung begitu kita
emosi sudah berhadapan dengan itu. Dari saya orang yang takut masuk ke gang, gang udah
warga gitu, emosinya udah tinggi gitu. Ya kan, tapi melihat eee dibakar pake ban, kita
ya kita tangani. Udah nanti massa yang mulai berani, kan terkepung di dalam, ya udah

3
urusannya jangan pake timbul keberanian gitu kan. pengalaman seperti itu.Begitu
kekerasan, kita nasehatin ee Soalnya kita kan punya payung kita di kendaraan
orang apa masyarakatnya itu kita hukum jadi kita mulai berani. meninggalkan suatu tempat,
nasehatin tenang dulu, kita kasih Saya disana ya... bukan ngajak kita diserang pake hujan batu.
tau bahwa disini lahan dilarang, berkelahi atau apa, satu lawan Seperti kayak di Tambora itu
ini milik pemerintah dan umum satu sih disana kan. Kalau kita jalanan kecil, di pasar itu, kita
gitu. Jadi tidak boleh misalnya gak bela diri bagaimana?! Kan masuk diserbu massa
jualan, bu tidak boleh jualan kita sendiri yang kena kan. bbuaahh... sering mengalami
disini. Jadi tenangin dulu mereka Nah itu mulai ada keberanian seperti itu.
gitu. Kita kasih peringatan, disitu. Dulu saya takut untuk Iyah, ya memang kenyataanya.
sekarang ibu kita hanya kasih berantem pak. Dari sejak Ya memang waktu pertama
peringatan. Ibu silahkan sekolah, sekolah di Jakarta kali memang shock banget
dipinggirin, jangan jualan disini. kan, berantem saya takut, gak perasaannya. Wah bagaimana
Nanti kalau ada suatu saat saya berani gitu kan. Tapi kejadian pekerjaan seperti ini, tapi ya
kesini, ibu masih disini, saya itu mulai ada gitu kan, setelah lama ini ya, gpp.
kasih peringatan kedua. Gak keberanian dikit-dikit untuk Ya, karena kita udah ada
secara tertulis kalau yang di menghadapi orang gitu. Yang berhubungan dengan hal
trotoar itu, yang sedikit, yang penting saya bener gitu kan. seperti itu, dan juga kita aliran
sedikit, yang bisa diangkat itu. Kalau saya salah pasti saya penyidikan. Kita tenang, yang
Tapi ketiga kalinya ya otomatis takut. Kalau bener saya berani penting posisi kita jangan
udah pasti kita angkat, angkat untuk menghadapi orang. membalik. Kita mundur
kita bawa ke gudang kita data, Kronologisnya kan kita eee... menghadap mereka dengan
nanti baru dikasih surat untuk merapikan, merapikan tenang, agar jangan kena
pernyataan dari pimpinan gitu. tanah yang punya pemerintah kepala, jadi bisa menangkis.
gitu kan. Bukan punya pribadi, Ya misalnya minimal ada satu
jadi kita kan kerja menurut pleton katakanlah 30 orang ya
peraturan kan. Ada surat membantu juga, gitu. Ya
tugasnya ada macemnya kan. memang kalau berbenturan itu
Ada payung hukum bekerja sudah pasti ada.
untuk mengosongkan lahan Tidak selalu setiap saat.
tersebut, tapi dari pihak orang- Kadang-kadang lihat
4
orang disitu gak mau juga kan. kondisinya juga, karena ya
Masa kita nyerah aja? Kita kan masyarakat itu juga ada
ada payung hukumnya disitu beberapa kelas. Ada yang
gitu kan. Jadi kita kerja gak berpendidikan, ada yang
sembarangan kerja, kita ada kurang pendidikannya, ada
payung hukum. yang berlatar belakang budaya
keras, ada yang latar belakang
kedaerahan, karena dia orang
betawi katakanlah betawi
merasa kampungnya,
katakanlah madura, ya dia
adatnya lebih keras lagi, apa
pake samurai. Ada organisasi-
organisasi masyarakat atau
preman yang mengamankan
itu suatu kelas dan mereka
diakui disitu, ya kita harus
berhadapan dengan mereka.
Ada yang memang karena
lapar, mungkin karena gak
dapet penghidupan untuk
sehari-hari, ya lalu ia nekat.
Secara pribadi gitu.
c) Deskripsi tugas-tugas dan Ya awalnya dari peraturan kita ya Tugas saya menurut Perda dan Yak, khusus di operasional
tanggung jawab selama menegakkannya. Ee saya sih kalau perintah dari komandan, gitu kan? sebagaimana aturan yang
menjadi satpol pp ditugasin di satpol pp saya bangga, Yang penting, kalau mau Perda itu kan mengatakan bahwa polisi pamong
saya suka gitu, karena sesuai Peraturan Daerah. Siapa yang praja adalah penegak peraturan
dengan jiwa saya gitu. Kalau ada melanggar pasti ditindak gitu kan? daerah dan menegakkan surat
pengemis apa, seperti menertibkan Cuman gak sampe langsung ditindak keputusan Gubernur di lapangan.
pengamen. Pengamen kan kita gak gitu kan? Harus ada pembicaraan Ya, yang berhubungan dengan itu
langsung tertibin. Kalau kata orang dengan orang yang bersangkutan ya yang menyangkut ketertiban
5
itu kan halal cari rejekinya, boleh tersebut. Gak juga semua tempat umum.
lah halal, cuman kita kan ada dilanggar ya, baik di trotoar atau apa Yaah, ini kan PPNS, penyidik
peraturan. Selain itu kita juga itu yang kena itu. Di publik itu masuk pegawai negeri sipil.
aspirasi dari masyrakat ada juga Perda. Itu yang kerja bukan tempat
“Pak tolong dong yang di bis ini sembarangan
tertibkan pengamen, karena sering
memaksa.” Itu yang kita ambil, jadi
seperti itu, gak langsung ambil-
ambil aja gitu
Role Enactment
a) Number of roles Peran dibagi menjadi 3 yaitu Gak pak, jadi tugas kerja kantor ya Tidak ada, fokus kepada ini aja.
suami dari satu istri, ayah dari kantor, di rumah ya rumah gitu kan. Ah, karena sejak kita masuk
seorang anak, dan anggota satpol Cuman untuk belajar kedisipilnan disini memang pendidikan kita
pp. kita terapin kepada keluarga disitu. juga ada apa namanya, ada
Oh kalau saya sih kebanyakan. Ya dulu kita kan diberi pendidikan, pendidikan khusus kita, melatih
Gak karena saya kebanyakan terdidiknya misalnya bangun ketrampilan kita, melatih
sibuk di kantor, jadwalnya malem dan kita kerja sendiri disana kedisiplinan kita, karena kita
kadang banyak gitu, kebanyakan kan. Itu kita terapin di rumah, seperti pol pp ini kan sebulan
di rumah aja, ngabisin waktu buat bangun pagi. Kita belajar untuk masuk kayak katakanlah ada
keluarga. Soalnya waktu buat membantu keluarga kayak kayak lembaga seperti polisi, ada
keluarga juga dikit. membantu istri atau apa kan. Kita yang masuk ke ringdam. Itu
Oh tidak, kalau di rumah ya gak belajar mandiri dulu disana, jadi membentuk kita, walaupun hanya
seperti di kantor. Di rumah ya jangan terpaku pada istri semuanya pendidikan sebulan itu memang
seperti biasa. Di kantor aja kita kita serahkan tugas-tugas di rumah. membentuk karakter kita untuk,
bawaannya tegas, kalau di rumah Kalau kita bisa bantu ya kita bantu ya disiplin, kerapian, jiwa sosial
ya seperti biasa aja. kerjakan gitu kan. kita, kekeluargaan, akhirnya
Terbatas. (Waktu untuk keluarga) kebawa juga ke keluarga.
He eh, katakanlah seperti bangun
pagi. Saya sampai sekarang ini,
setengah lima itu dah bangun,

6
otomatis, sudah dibiasakan ini.
Mengatur anak juga mau gak mau
kita, kita iniin, kita tularkan gitu.
Hal yang positif, positif.
Kemudian juga setelah saya
bertugas di lapangan dengan
keluarga-keluarga yang
katakanlah kurang mampu,
yang... ya saya ceritakan juga ke
anak saya, ke istri saya, bahwa di
lapangan itu seperti ini lho,
keluarga ternyata begini, begini.
Banyak yang gak makan, banyak
yang tidur di atas kayu, di atas
got, gak punya tempat tinggal. Ya
kita bersyukur, kita masih bisa
tinggal di pemerintah begini, ya
kita syukuri, yang walaupun
hanya menghemat tapi ada
harapan gitulah dari gaji
pemerintah gitu. Saya sangat
bersyukur untuk itu, karena saya
dari kalangan yang paling,
paling... itu masih ada yang gak,
ya gak punya tempat tidur, yang
gak makan berapa hari, yaa
paling bawah lah, masyarakat
kelas bawah. Jadi saya sangat
bersyukur gitu loh, dan itu saya
kasih tau ke keluarga, makanya
kita harus syukuri bahwa kita
7
seperti ini gitu loh.
b) Organismic Involvement
i. Seberapa banyak Pagi kita apel kan, mengecek Ya, kita tiap pasukan ada apel pagi Yah, karena kita itu seperti
kegiatan yang subjek kekuatan, kekuatan nih seberapa pak. komando lah kita itu, pagi itu
lakukan dalam 1 hari kekuatan. Nanti kan ada kegiatan, Ya, kita sebelum tugas ada apel begitu sampai disini apel dulu,
kita kan kegiatan kalau misalnya pagi, untuk mengetahui kekuatan. siapkan anggota, apa tugas-tugas
tidak ada pembongkaran, kita Nah setelah itu baru kita keluar. kita hari ini kita bagi. Penertiban
rutin patroli di perbatasan Kekuatan pasukan yang ada itu loh, apa, tugas kemana, kan ada pleton-
kalideres sana, lari terus nyampe mengecek kekuatan ya kan. Kita pletonnya. Kemudian sore kita
slipi. Di situ kita mengantisipasi bekerja tuh kira-kira ada kekuatan kembali, kita apel lagi, cek pasukan
pedagang kaki lima, PMKS. berapa orang? Kita kan di lapangan lagi.
Yang sering kita ambil PMKS kan gak tau pak, nanti kalo ada Ya ganti-gantian kita. Itu dah rutin
dan pengamen. Terus setiap hari kejadian apa-apa kehilangan satu itu tiap hari.
selalu dapat. itu kita kan gak tahu. Karna Ikut juga, kan ada beberapa,
Oh, boleh di cek kalau saya pak. awalanya belom di cek ya bisa aja kadang-kadang kegiatan yang
Sejak masuk boleh di cek dari tau-tau ada yang ketinggalan satu harus. Wilayah sana, wilayah sana,
sini. Tidak pernah terlambat, kan gitu. Ya kan? Dari awal kita yang pasti di Jakarta Barat. Ya kita
karena saya sebagai provost ya. cek dulu berapa orang, baru kita dampingi mereka di lapangan.
Saya setengah tujuh udah datang, keluar. Baru melaksanakan yang Kadang-kadang jam kantor
pulang juga bisa terakhir. Setiap perda tadi kan. Yaa PMKS, atau pegawai Pemda itu kan setengah 4,
libur ada kegiatan, ada saya. spanduk-spanduk liar yang jam 4.
Cuman kalau di luar anggota, mengotori, kaki lima. Kalau kita tuh ya belum tentu, liat
kalau misalnya ada yang Ya kita sekeliling Jakarta Barat kondisi aja, masih ada dibutuhkan
terlambat itu diberi sanksi. saja, mulai dari sini walikota kan, di lapangan? Ya bisa sampai jam 8,
Kalau jadwal tetapnya dari jam 7 terus sekeliling Jakarta Barat aja bisa sampai jam 7, kadang-kadang
sampai jam 4. Ditinggal itu yang pak. juga kita piket sampai pagi.
piket. Kita ada piket juga 24 jam. Ya, setiap hari pak, pagi, siang. Yah, untuk meneriman dan eee...
Jam 7 sampai jam 7. Pagi jam 8 sampai jam 12, siang melakukan eee... membantu di
Jam kerjanya kita kan gak tentu jam 1 sampai jam 4. lapangan juga, katakanlah seperti
tapi kalau eeh suatu saat eee... seperti... eee... pohon

8
dibutuhkan malam, kita hadir tumbang, atau musim hujan gitu,
malam. Kalau kita dibutuhkan tawuran warga, kebakaran, kita
jam 6 pagi udah berangkat ke ikut membantu itu.
monas seperti sekarang demo, 24 jam. Kebakaran, tawuran,
kesana. kadang-kadang juga tawuran
Makanya kita selalu on time, ini sekolah, tawuran warga, pohon
apa, handphone. Handphone saya tumbang, tiba-tiba ada... Ya
sendiri. macam-macam pengaduan lah.

ii. Pengalaman yang Pengalaman dengan kekerasan : Itu, waktu operasi becak saya. Ya, itu seperti penertiban becak,
sekiranya Oke, seperti saya kejadian di Untuk operasi becak di jelambar. ya kita berbenturan dengan
mengindikasikan Mangga Besar tahun 2005. Jelambar ya di situ (sambil massa. Kita dilempar, kita
seberapa jauh Penggusuran di belakang tuh, di menunjuk ke arah kanan) dikepung begitu kita masuk ke
keterlibatan subjek Mangga Besar. Kita kan Kita dijebak oleh pengemudi becak gang, gang udah dibakar pake
atas perannya berhadapan pake tameng. “Pak itu, satu mobil. ban, kita terkepung di dalam, ya
tolong ini tanah mau kita Masuk ke dalem di dalem udah ada udah pengalaman seperti
eksekusi, tanah ini eee bukan kerumunan massa dan tukang becak itu.Begitu kita di kendaraan
milik anda.” “Jadi mohon itu, dengan membawa segala meninggalkan suatu tempat, kita
ditinggalkan.” ”Kita udah macam senjata tajam, senjata kayu, diserang pake hujan batu. Seperti
ngelayangin surat beberapa kali, bata, batu semacam itu, ngelempar kayak di Tambora itu jalanan
tapi bapak tidak mengindahkan ke mobil kita. Kita cuman enam kecil, di pasar itu, kita masuk
peringatan itu.”. Nah kita orang. Tapi dengan niat gitu kan diserbu massa bbuaahh... sering
bergabung dengan TNI, Polri, kita, kerja bener, berusahalah kita mengalami seperti itu.
selalu koordinasi dengan mereka kabur dari situ. Bukannya kita gak
kan. Oke udah seperti itu. Kita mau ngelawan, kita kabur. Jaga diri
udah tenang kan, tenang. Dari seperti yang tadi saya bilang kan.
belakang, dari masyarakat batu Itu ada pisau segala macem, ni
dilempar. Akhirnya kita maju balok kayu, golok di depan mata
pelan-pelan, maju pelan-pelan, kita. 1 mobil terus turun-turun,
udah kita dobrak keluar. Seperti mundur-mundur ke belakang terus
itu, sering, banyak yang terluka.
9
Kepalanya terbelah, sekarang tuh kita jalan, itu kejadiannya. Jadi kita
yang cacat di kebon jeruk, saya kan kerja bener. Ya alhamdulillah
ni kakinya retak (sambil kan Tuhan masih melindungi kita
menunjuk dan memperlihatkan kan. Itu karena itu jebakan. Itu kalo
tempurung lutut) kena batako. kita kabur kita lepasin dia, apa kata
Banyak juga yang... dia kan. Kita mau kabur mereka
nguber terus karena ngambil barang
itu becak dia. Kan di Jakarta ini
becak gak boleh kan?
Nah itu, tapi karena di dalam ada
massa yang sudah menunggu!
Menunggu kita, ya itu kejadiannya.
Jadi kayaknya saya udah ikhlas aja
lah, meninggal, meninggal saya
disitu, saya bilang begitu, ya kan.
Tapi meninggal karena tugas
bangga saya, karena tugas ya saya
bangga, karena sudah tugas. Bukan
saya gak mau meninggal, pas
meninggal itu kan, kalau meninggal
dalam tugas saya bangga, itu aja.
Kebanggaan.
c) Preemptiveness of role Jam kerjanya kita kan gak tentu Ya kalo untuk hasil kerja Yah, setelah saya jiwai, setelah
tapi kalau eeh suatu saat alhamdullilah saya punya rumah, saya apa namanya, lakukan
dibutuhkan malam, kita hadir punya kendaraan. Itu hasil kerja sekian tahun ini, ya menurut saya
malam. Kalau kita dibutuhkan saya itu pak, dan punya istri tadi, ya ya menyenangkan juga buat saya.
jam 6 pagi udah berangkat ke karena kerja. Ya kalo saya gak kerja Ya, karena semua tugas itu kalau
monas seperti sekarang demo, gak mungkin saya punya istri pak. kita laksanakan dengan itu ya
kesana. Ya puas saya pak, kalau manusia tugas yang mulia juga.
Kalau jadwal tetapnya dari jam 7 kan gak ada puasnya. Saya ingin Sebagaimana juga kalau itu

10
sampai jam 4. Ditinggal itu yang lebih ini gitu kan. Pingin lebih dari katakanlah tidak ada yang
piket. Kita ada piket juga 24 jam. ini. Ya ada kebanggaan tersendiri, mengurusi masalah ketertiban ini
Jam 7 sampai jam 7. walaupun banyak yang nyemooh, dalam tempo sebulan Jakarta
Makanya kita selalu on time, ini tapi keluarga ya bangga gitu kan. sudah seperti apa bentuknya? Ini
apa, handphone. Handphone saya Saya bisa membanggakan keluarga. tuh terjadi paska eee... kerusuhan
sendiri. kemarin itu, paska reformasi itu.
Ya Alhamdulilah kalau itu ya Dalam 1 bulan semua lampur
kita kan di Jakarta ibaratnya merah penuh kaki lima, penuh
sekarang susah cari pekerjaan wuah semerawut dah tempat-
apalagi ribuan kalau mau ngantri tempat sarana Pemda, prasarana
misalnya kalau saya keluar nih, Pemda di tempat yang tidak ber,
ribuan yang masuk. Itu ini ber... tidak ditempati itu... Jadi
bermanfaat banget, kita bisa ya mulia juga tugas kita. Di satu
menghidupi buat keluarga kita, sisi ya orang lain juga bisa
walaupun saya masih ngontrak menikmati bagaimana lalu lintas
nih, saya masih ngontrak nih pak bisa lancar, trotoar juga bisa
berapa tahun. Belum punya berfungsi, taman juga bisa
rumah. Iya, masih ngontrak berfungsi sebagaimana taman
rumah, bisa buat bayar gitu. Jadi menurut saya ini hal...
kontrakan, Alhamdullilah hal yang baik. Bagus.
sekarang juga udah kredit lunas Ya kalau emangnya, apa
motor gitu. namanya... kurang sih semua juga
Kalau dihitung-hitung, kalau mengatakan kurang, tapi kalau
kayak dulu kan PTT tuh pas, pas bisa dicukupkan ya dicukupkan.
banget (dengan suara mengecil), Itu juga menurut saya juga sudah
jadi kita atur-aturlah gitu. Pas haaa.. lumayan lah. Untuk
banget, tapi setelah jadi pegawai katakanlah makan tahu tempe, itu
kan bertambah, ada tunjangan juga udah... udah tercukupi lah di
lain. Itu sekarang Alhamdullilah Pemda, Pemda DKI ini yah.
cukup. Cuman kan masih banyak Karena kesejahteraan...
kesejahteraan kita juga yah
11
yang PTT gitu. lumayanlah
Ya, betul. He eh, kualitas kerja He eh, puas-puas saja. Karena
lebih. Kerapihan, disiplin, jadi kita terjun ke lapangan itu, kita
semangat ya. mengenal banyak orang. Banyak
orang di lapangan, kita mengenal
wilayah, kita mengenal
bermacam-macam karakter orang
di lapangan, yak menurut saya
asik juga.
Lebih menyenangkan kalau buat
saya. Karena memang sejak saya
di sini saya di lapangan. Mulai
dari tukang las, mulai dari tukang
bongkar, mulai dari tukang
panggul, terus saya mengalami
seperti itu, memang kalau disuruh
staff memang kurang
menyenangkan. Hahaha...
Yah saya juga itu apa namanya...
saya kan masuk ke sini dari SMA,
nah setelah eee... tahun berapa
saya masuk, akhirnya saya juga
akhirnya ikut kuliah gitu. Saya
juga kuliah dan sudah selesai.
Sudah kuliah dan sudah selesai.
Yah, ya lumayanlah. Itu juga
kemarin juga dah ikut tes karena
SMA itu kan golongan 2, setelah
kita lulus, kita ikut ujian, baru
bisa disesuaikan. Ujian dulu,

12
kadangkala dari UI kemarin.
Udah lulus, akhirannya saya
sudah menyesuaikan pangkat
kerja saya. Jadi seperti abang ini
saya pernah. Hahaha...
Role Expectations
a) Ekspektansi peran pada
satpol pp
i. Ekspektansi Peran Ya awalnya dari peraturan kita ya Tugas saya menurut Perda dan Yak, khusus di operasional
menurut dirinya menegakkannya. Ee saya sih kalau perintah dari komandan, gitu kan? sebagaimana aturan yang
sendiri ditugasin di satpol pp saya bangga, Yang penting, kalau mau Perda itu kan mengatakan bahwa polisi pamong
saya suka gitu, karena sesuai Peraturan Daerah. Siapa yang praja adalah penegak peraturan
dengan jiwa saya gitu. Kalau ada melanggar pasti ditindak gitu kan? daerah dan menegakkan surat
pengemis apa, seperti menertibkan Cuman gak sampe langsung ditindak keputusan Gubernur di lapangan.
pengamen. Pengamen kan kita gak gitu kan? Harus ada pembicaraan Ya, yang berhubungan dengan itu
langsung tertibin. Kalau kata orang dengan orang yang bersangkutan ya yang menyangkut ketertiban
itu kan halal cari rejekinya, boleh tersebut. Gak juga semua tempat umum.
lah halal, cuman kita kan ada dilanggar ya, baik di trotoar atau apa Ya, sudah PNS, dan juga sudah
peraturan. Selain itu kita juga itu yang kena itu. Di publik itu masuk mengikuti pendidikan Prispong
aspirasi dari masyrakat ada juga Perda. Itu yang kerja bukan tempat Praja. Sudah mengikuti pendidikan
“Pak tolong dong yang di bis ini sembarangan PPNS. PPNS itu penyidik pegawai
tertibkan pengamen, karena sering negeri sipil. Kita semua pegawai
memaksa.” Itu yang kita ambil, jadi PNS menjadi PPNS. Menjadi
seperti itu, gak langsung ambil- pegawai khusus untuk penyidik.
ambil aja gitu

ii. Ekspektansi peran Iya memang hehe kadang sih, Dari pertama kali saya masuk ke Yaa, masyarakat itu terdiri dari
dari masyarakat kebanyakan sih kalau orang pol pp gitu pak, tahun 2000 itu pro-kontra, artinya kalau
menurut dirinya belum tahu tugas kita sebener- memang jadi masalah, masyarakat masyarakat lingkungan
sendiri benernya mungkin menilainya Jakarta belum ngerti gitu pak. Tapi masyarakat yang kita tertibkan itu

13
negatif kali ya. Karena yang mulai sekarang-sekarang mulai mendukung, katakanlah
disorot kita kalau di media alhamdullilah sudah ngerti, paham pengendara sudah melanggar,
kekerasan saja, seperti gitu. Mulai mengerti bahkan warga sekitar situ pasti
penggusuran, pemukulan. banyak yang membutuhkan kita mendukung. Ya yang gak
Ya berharap sih, sebenernya gitu. Ya intinya di kelurahan gitu mendukung itu ya mereka yang
pekerjaan kita tuh gak hina. Gak, kan pak, dia malah minta tolong kita tertibkan itu. Jadi kendala itu
gak identik dengan kekerasan, kita apa gitu, dia memerlukan kita pasti dua. Yang ditertibkan itu
karena kita itu e... m... membuat gitu. Yang dicari kita, yang dicari keberatan, tapi warga yang sekitar
apa, kesmrawutan Jakarta itu jadi pol ppnya. Sekarang-sekarang ini situ pasti mendukung.
tertib, bagus. Seperti PMKS di yang di kelurahan atau di mana di Iya, ada dua... makanya yang
jalanan, tidur di jalanan, itu kan kecamatan itu yang dicari kita pol berkoar-koar bubarkan satpol pp
gak bagus pak. Kita bawa ke pp nya. Ada di macet, macet gitu ya mereka itu yang jadi korban
panti sosial, nah nanti di panti kan bukan polisi tuh disuruh pak, itu. He eh yang merasa ketakutan
sosial dibina, dikasih makan apa “ini pol ppnya mana?” gitu kan. itu. Kalau pada masyarakat umum
gitu kan. Seperti kayak Jadi secara tidak langsung sih pasti mendukung lah. Cuma
pengamen-pengamen apa e... masyarakat masih membutuhkan ya karena suara itu langsung itu
pengamen banyak itu, ibaratnya kita, kan gitu? ya diliat banyak orang. Kalau
itu ada gembongnya seperti itu. Itu yang macet doank pak, terus ada secara umum di... di... apa, bisa di
Mereka setoran. Pengamen kayak pengamen di lampu merah banyak, data, ini pasti itu mendukung.
di Grogol banyak. Ibunya duduk gitu kan, “kok pol pp gak ada nih?”, He eh, cuman kan tindakan-
aja, anaknya masih kecil-kecil itu “nertibin pengamen.”. Jadi secara tindakan itu langsung diekspos
kita ambil kita ambil dia nangis gak sadar dia masih membutuhkan media massa karena itu ya
gitu. Ibarat sekarang kan e... kita gitu, ya kan. Jadi untuk bangga pengaruhnya sangat besar.
kalau PMKS gitu kan bukan kita, oh jadi saya masih dibutuhkan
sekedar mencari makan pak, di masyarakat ini. Itu buat
profesi itu. Penghasilannya besar kebanggaan juga pak
pak, mereka bisa seratus ribu
sehari, kalah gaji kita (tertawa
kecil).

b) Komitmen antara subjek Oh, boleh di cek kalau saya pak. Pasti ada pak, manusia pasti ada Wah, tidak terlalu sering yah. Kalau
14
dengan organisasi Sejak masuk boleh di cek dari sini. terlambat, atau sakit. Ijin atau gak bolos itu gak pernah, kecuali yang
Tidak pernah terlambat, karena saya masuk itu wajar. Pernah saya sangat-sangat, apa... kepentingan
sebagai provost ya. Saya setengah melakukan itu. Tindakan yang yang sangat ini di keluarga, baru
tujuh udah datang, pulang juga bisa diberikan ya sama, besok waktu masuk kita... Sepanjang tidak ada
terakhir. Setiap libur ada kegiatan, ditegor, atau ya biasa ya disuruh push kepentingan yang perlu yak...
ada saya. Cuman kalau di luar up atau squat jump. Wajar kalo gitu Makanya kita dipilih di lapangan
anggota, kalau misalnya ada yang kan? Kalo tanpa ijin, tanpa penjelasan
terlambat itu diberi sanksi. kan push up, latian gitu.
c) Ketidakcocokan antara
pemegang peran dengan
pemberi peran
i. Ketidakcocokan Ooh, kalau peraturan sih, itu Kalau tidak setuju itu kan tidak Ya kita harus menyesuaikan diri.
dengan peraturan peraturan kan udah diolah. Yang mungkin, “saya gak setuju!”, gak Artinya ya kalau udah perintah itu,
membuat kan juga bukan kita ya, mungkin begitu kan pak? ya sudah dengan pertimbangan-
yang buat kan orang atas situ, kayak pertimbangan. Ya memang kadang-
DPR itu udah dikaji-kaji sama kadang gak sesuai dengan nurani
mereka. Ya kita kan e... seperti kita, harus kita kesampingkan.
kayak kita ada workshop atau apa Karena ini peraturan orgnisasi, ya
kita datangi itu, oo iya bagus ini kita, apa.. aturan organisasi, ya itu
peraturannya dibikin seperti itu. yang kita lakukan, kita ikuti. Kalau
Cuman yang ibaratnya dari hati kita kita pribadi kan menyesuaikan.
aja, menggusur mereka, ada
perasaan kita gitu. Kita sebagai
orang miskin juga kasihan ke dia.
Kadang juga gak tega juga gitu.
Cuman kan ibaratnya ini lho
peraturan, kita harus tegakkan,
kalau tidak apa jadinya nanti?
ii. Ketidakcocokan Oh gak, kalau kita mah selama Kita jalanin perintah dia, kita Yaa.. sebagaimanapaun kalau itu
dengan pimpinan diperintah pimpinan itu sejalur, jalanin aja walaupun dalam hati perintah, ya kita harus ikutin
komando. Ya memang diperintahkan,
15
yang porsinya porsi pekerjaan kayaknya gak sepadan gitu. Tetep ya itu kita laksanakan. Walaupun kita
kita. jalanin, tetep jalan, karena anak kadang-kadang kurang puas ya kita
Kalau bertindak sih sudah, buah dan pasukan begitu. Pimpinan kasih masukin, masalahnya seperti
cuman ibaratnya kalau mereka yang perintah ya kita jalan, tetep itu. Tetapi komando ya tetap kita
kan diperintahkan disini untuk jalan. Gak mungkin pimpinan laksanakan.
e... ibaratnya membikin bagus menjerumuskan kita. Gak ada pak,
lah, bagus ini Jakarta Barat. Yang gak ada pimpinan menjerumuskan
tertinggi sana tuh provinsi, kan kita. Cuman kita diuji bisa respek
mereka kan inginnya semua dan punya pemikiran dewasa, nah
selesai. Kayak pekerjaan disitu kita diuji. Jadi kita diuji
misalnya penggusuran, kayak supaya bisa respek dan punya
pembersihan selokan gitu selesai. pemikiran dewasa dalam tugas.
Ya kan pinginnya bagus, cuman Kalau saya sih nggak pak, perintah
kadang masyarakat lah yang pimpinan begitu pertama saya
menimbulkan lagi. Jadi ntar nanti kerjakan dulu gitu kan. Kalau ada
pimpinan negor, itu kok belum slack atau apa di lapangan kita
beres-beres. Padahal kita sudah panggil pimpinan yang nyuruh kita
kerjakan gitu. donk. Ya kan? Karena kita
diperintahkan, kita cari yang
memerintahkan kalau ada apa-apa,
ada masalah di lapangan. Yang
penting intinya kita bekerja dulu,
kita laksanakan perintah-perintah
dulu.

16

Anda mungkin juga menyukai