SKRIPSI
Guna Memenuhi Persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
Listia Wulan Sari
2012-070-178
Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
Juli 2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT karena dengan segala kuasa-Nya peneliti
dapat menyelesaikan penelitian ini. Peneliti selalu diberikan kekuatan, semangat, dan
jalan keluar dalam menghadapi lika-liku permasalahan yang terjadi selama proses
pengerjaan skripsi. Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang senantiasa membantu proses pengerjaan skripsi ini, antara lain:
1. Kepada Nanda Rossalia, M. Psi., Psikolog selaku pembimbing utama skripsi
peneliti. Terima kasih karena selalu memberikan saran, dan kritik yang
membangun selama proses pengerjaan skripsi. Terima kasih atas kesabaran
dan dukungan yang selalu diberikan kepada peneliti di saat peneliti merasa
tidak mampu.
2. Kepada Zahrasari Lukita Dewi, S. Psi., M.Si., Psikolog selaku dosen
pembimbing kedua yang telah membantu membimbing, memberikan
masukan-masukan terhadap penelitian serta memberikan dukungan.
3. Kepada Dr. phil. Juliana Murniati, M. Si selaku dosen pembimbing akademik
yang telah membimbing peneliti dalam hal akademik selama peneliti
berkuliah di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya.
4. Kepada seluruh partisipan penelitian yang tidak dapat disebutkan namanya
satu-persatu. Terima kasih telah membantu mengisi kuesioner peneliti dengan
tulus untuk membantu penelitian ini.
5. Kepada seluruh teman-teman dan kerabat yang tidak bisa disebutkan namanya
satu persatu. Terimakasih telah membantu menyebarkan kuesioner peneliti.
6. Kepada Orang tua dan Adik peneliti yang selama masa perkuliahan ini telah
memberikan dukungan moril dan materil, yang tak mengenal lelah
memberikan semangat dan dukungan kepada peneliti ketika peneliti
mengalami tantangan baru selama perkuliahan dan proses pengerjaan skripsi.
7. Kepada Danny dan Rizka yang sudah membantu, memberikan semangat,
masukan, dan dukungan kepada peneliti dari awal masa perkuliahan di FPUAJ
hingga peneliti menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada Natya, Vinka, James, Monic dan Indira yang juga sudah membantu
dan memberikan semangat pada tahun-tahun terakhir masa perkuliahan, serta
telah membuat tahun-tahun terakhir peneliti di FPUAJ menjadi lebih
berwarna.
9. Kepada teman-teman sekolah peneliti, Luvi, Bella, Faikar, Amel, Ira yang
selalu mendengarkan segala keluh kesah selama peneliti melalui masa
perkuliahan dan selalu memberi dukungan atas apapun pilihan yang peneliti
ambil.
10. Kepada Rizka Dewintha, Nadia Djuandi, Jessica Iskandar, Nuraida, dan Nitya
Wulandari teman seperjuangan yang sudah membantu pada detik-detik akhir
pengumpulan, yang tetap bertahan hingga penghabisan.
ii
11. Seluruh anggota FPUAJ angkatan 2012 yang secara langsung maupun tidak
langsung turut serta mendukung penelitian ini.
Peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih dan memohon maaf yang
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang terlibat namun tidak dapat disebutkan
satu persatu. Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna,
untuk itu dengan segala kerendahan hati peneliti meminta maaf apabila terdapat
kesalahan dan kekurangan dalam penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini dapat
dijadikan tambahan ilmu serta pembelajaran bagi peneliti maupun seluruh pihak
terkait. Terima kasih.
Jakarta, 19 Juli 2019
iii
ABSTRAK
Istri yang bekerja memiliki lebih dari satu peran, yaitu peran sebagai istri bagi
suami, ibu bagi anak, pengurus rumah tangga, dan juga sebagai pekerja. Banyaknya
peran dan tanggung jawab membuat istri bekerja rentan menghadapi berbagai macam
konflik. Konflik yang muncul bisa berasal dari hubungan dengan suami, anak,
orangtua atau mertua dan rekan kerja. Jika konflik yang dialami tidak diatasi dengan
baik, maka akan berpotensi merusak hubungan yang ada. Maka menjadi penting bagi
istri bekerja untuk dapat mengelola konfliknya dengan baik. Terdapat 5 gaya
manajemen konflik yang dikembangkan oleh Thomas & Kilmann (2008) berdasarkan
dua dimensi assertiveness dan cooperativeness, yaitu: Competitive style,
Collaborative style, Compromise style, Avoidance style, dan Accommodating style.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Karakteristik partisipan dalam
penelitian ini yaitu seorang istri, bekerja kantoran penuh waktu, berusia 20-40 tahun
(M= 30,8; SD= 4,88), usia pernikahan 0 sampai 10 tahun (M= 5,02; SD=2,97),
memiliki anak dan tinggal di Jabodetabek. Partisipan penelitian ini berjumlah 128
partisipan yang pengambilan sampelnya menggunakan teknik sampling convenience.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur Thomas-Kilmann
Conflict Mode Instrument (TKI) yang sudah diterjemahkan ke bahasa indonesia oleh
Sekti (2014) dengan reliabilitas sebesar 0,75.
Hasil penelitian ini yaitu bahwa gaya manajemen konflik yang dominan
digunakan oleh istri bekerja adalah gaya manajemen konflik compromising. Dengan
partisipan pada setiap kategori demografi yang berupa usia, usia pernikahan, nuclear
family vs extended family, kisaran pendapatan dan lama bekerja, memiliki gaya
manajemen konflik yang dominan pada gaya compromising.
Saran bagi penelitian selanjutnya yaitu untuk mengadaptasi alat ukur sesuai
dengan konteks penelitian.Selain itu saran bagi istri yang bekerja agar dapat
mengembangkan kemampuan untuk memahami gaya manajemen apa yang dimiliki
dan menggunakan gaya manajemen dengan baik.
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
ABSTRAK iv
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GRAFIK x
BAB I PENDAHULUAN 2
I.A. LATAR BELAKANG 2
I.B. RUMUSAN MASALAH 10
I.C. TUJUAN PENELITIAN 10
I.D. MANFAAT PENELITIAN 10
I.D.1. Manfaat Teoritis 10
I.D.2. Manfaat Praktis 11
I.E. SISTEMATIKA PENULISAN 11
BAB II LANDASAN TEORI 13
II.A. KONFLIK 13
II.A.1. Proses Terjadinya Konflik 13
II.A.2. Jenis-jenis Konflik 14
II.A.3. Dampak konflik 15
II.B. KONFLIK PERNIKAHAN 16
II.B.1. Sumber Konflik dalam Pernikahan 16
II.C. ISTRI BEKERJA 18
II.C.1 Peran Istri 18
II.C.2. Faktor yang Mempengaruhi Istri Bekerja 19
II.D. KONFLIK PERAN KERJA 20
v
II.D.1 Konflik-Konflik yang Terjadi 21
II.D.2. Faktor Penyebab Konflik Peran Kerja 22
II.E. GAYA MANAJEMEN KONFLIK 23
II.E.1. Gaya Manajemen Konflik Thomas-Kilmann 23
II.E.2. Perbedaan Gaya Penyelesaian Konflik 29
II.F. DINAMIKA ANTAR VARIABEL 31
II.G. SKEMA PENELITIAN 32
BAB III METODE PENELITIAN 33
III.A. JENIS PENELITIAN 33
III.B. VARIABEL PENELITIAN 34
III.C. SAMPEL PENELITIAN 35
III.C.1. Karakteristik Partisipan 35
III.C.2. Teknik Sampling 37
III.C.3. Jumlah Sampel 37
III.D. TEKNIK PENGAMBILAN DATA 38
III.E. INSTRUMEN PENELITIAN 38
III.F. METODE ANALISIS DATA 41
III.G. PROSEDUR PENELITIAN 41
III.G.1. Persiapan Penelitian 42
III.G.2. Pelaksanaan Penelitian 42
BAB IV 43
ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA 43
IV.A. GAMBARAN UMUM PARTISIPAN 43
IV.B. HASIL UTAMA PENELITIAN 45
BAB V 49
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 49
V.A. KESIMPULAN 49
V.B. DISKUSI 49
V.B.1. Gaya Manajemen Konflik 49
V.B.2. Usia Partisipan 52
V.B.3. Usia Pernikahan 53
vi
V.B.4. Nuclear Family vs Extended Family 54
V.B.5. Kisaran Pendapatan 55
V.B.6. Lama Bekerja 56
V.C. SARAN 57
DAFTAR PUSTAKA 59
LAMPIRAN 66
Lampiran A. Alat Ukur Gaya Manajemen Konflik 66
Lampiran B. Skoring Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument 74
Lampiran C. Hasil Uji Validitas 75
vii
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GRAFIK
ix
10
BAB I
PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan komitmen legal dengan ikatan emosional antara dua orang
untuk saling berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagi tanggung jawab, dan sumber
pendapatan (Olson dalam Mijilputri, 2015). Selain itu pernikahan juga merupakan
penyatuan dua pribadi antara pria dan wanita, dengan membawa pribadi masing-masing
berdasarkan latar belakang budaya serta pengalamannya. Hal tersebut menjadikan
pernikahan bukanlah sekedar bersatunya dua individu, tetapi lebih pada persatuan dua
sistem keluarga secara keseluruhan dan pembangunan sebuah sistem yang baru
(Santrock, 2012) dan pernikahan biasanya bertujuan untuk mencapai suatu kebahagiaan
(Rossalia & Priadi, 2018). Pernikahan kebanyakan terjadi pada usia dewasa muda,
menurut Susenas (2016), usia pernikahan pertama di Indonesia berkisar dari usia 26-28
tahun untuk pria sedangkan usia 22-24 tahun untuk wanita
Pasangan yang menikah akan mengalami penyesuaian pernikahan di kehidupan
pernikahannya, terutama akan terjadi selama tahun pertama dan kedua pernikahan.
Penyesuaian pernikahan itu sendiri adalah sebuah proses adaptasi antara suami dan istri,
dimana suami dan istri tersebut dapat mencegah terjadinya konflik dan menyelesaikan
konflik dengan baik melalui proses penyesuaian diri (Hurlock dalam Haryati, 2017).
Penyesuaian pernikahan akan berbanding lurus dengan tujuan pernikahan yaitu
kebahagiaan, sehingga jika pasangan dapat melakukan penyesuaian pernikahan dengan
baik maka akan dapat mencapai kebahagiaan dalam pernikahan (Kuntjoro dalam
Aminah, 2009). Terdapat beberapa tuntutan dalam penyesuaian pernikahan, meliputi
penyesuaian diri dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, serta
penyesuaian diri dengan pihak keluarga dan teman-teman pasangan Hurlock (2012).
11
Kegagalan dalam menjalankan penyesuaian dan tuntutan dalam pernikahan akan
berdampak pada pasangan secara psikologis karena berhadapan dengan situasi yang
memberikan tekanan (Handayani dalam Dewi, 2009). Salah satu tuntutan pernikahan
adalah mengenai keuangan. Uang merupakan aspek yang berpengaruh terhadap
penyesuaian pernikahan. Pasangan yang dapat memenuhi tuntutan dalam hal keuangan
maka akan mencapai kepuasan pernikahan (Archuleta & Britt, 2011). Tetapi ketika suami
tidak dapat menyediakan keperluan rumah tangga atau keluarga, makan hal tersebut akan
menimbulkan masalah di dalam rumah tangga. Setelah menikah, yang memiliki tanggung
jawab besar untuk mencari nafkah bagi keluarganya adalah seorang suami.
Dalam sikap peran gender tradisional, pria dianggap lebih superior dibandingkan
perempuan dan laki-laki merupakan orang yang memberikan nafkah kepada keluarga
(Olson & Defrain dalam Putri & Lestari, 2015). Sedangkan secara tradisional pada
konteks budaya, di Indonesia wanita yang sudah menikah diharapkan untuk dapat tinggal
di rumah dan menjaga anak-anak dan keluarga. Namun saat ini kebanyakan dari istri juga
bekerja seperti halnya suami, istri yang bekerja merupakan fenomena yang banyak terjadi
khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya. Hal tersebut dikarenakan
tingginya biaya hidup yang perlu dipenuhi (BPS, 2014).
Wanita saat ini telah semakin aktif mengambil bagian dalam mendukung
perekonomian nasional dan memiliki kesempatan yang sama di bidang pekerjaan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2017, terjadi
peningkatan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pekerja wanita sebesar 0,99%
dari 50,89% (Agustus 2017) menjadi 51,88% (Agustus 2018). Sedangkan menurut riset
dari Grant Thornton pada tahun 2017, Indonesia merupakan salah satu negara yang
mempunyai peningkatan terbaik dalam hal jumlah wanita yang menduduki posisi senior
di perusahaan. Hal ini menggambarkan bahwa sekarang ini kontribusi wanita tidak hanya
dalam sektor domestik tetapi juga dalam sektor publik yaitu dalam lingkungan kerja dan
partisipasi dalam masyarakat. Peningkatan tenaga kerja wanita ini terjadi terutama di
wilayah Jabodetabek, dimana Jabodetabek merupakan kota-kota besar yang memiliki
kebutuhan dan gaya hidup yang cukup tinggi.
Pekerjaan dan keluarga merupakan dua bidang penting dalam kehidupan sosial
orang dewasa. Ketika seorang wanita bekerja telah menikah dan memiliki anak maka ia
12
akan menjalani peran ganda secara bersamaan, yaitu perannya dalam keluarga dan
perannya dalam pekerjaan.Hal tersebut dapat membuat berkurangnya waktu untuk
bersama dengan pasangan atau keluarga dan menurunnya kualitas pernikahan. Istri yang
tidak bekerja lebih memiliki ikatan atau kedekatan secara emosi dan fisik dengan suami
dan anak karena waktu yang dimiliki sepenuhnya digunakan untuk keluarga (Larasati,
2012). Dengan banyaknya peran yang dimiliki oleh istri bekerja, hal tersebut dapat
menjadi sumber konflik dalam hubungan pernikahan maupun pekerjaan. Konflik menurut
Thomas & Kilmann (dalam Handayani, 2008) merupakan kondisi adanya ketidakcocokan
antara nilai atau tujuan yang ingin dicapai, baik dalam diri individu maupun dalam
hubungan dengan orang lain. Sedangkan menurut Donohue & Kolt (dalam Desmayanti,
2009) konflik dapat terjadi jika masing-masing individu merasa ada yang menghalangi
keinginan mereka dalam mencapai suatu tujuan dan minat masing-masing.
Menurut Sentot (2010) terdapat beberapa tahap proses terjadinya konflik yang
saling berkaitan. Tahap pertama adalah ketidakcocokan yang dapat berpotensi
menimbulkan konflik. Hal tersebut disebabkan oleh tiga hal yaitu komunikasi, struktur
dan variabel pribadi. Tahap kedua yaitu tahap kognisi dan personalisasi di mana ada dua
hal pokok yang perlu dipahami dalam tahap ini yaitu konflik yang dipersepsikan dan
konflik yang dirasakan. Tahap ketiga adalah tahap maksud atau gagasan yaitu keputusan
untuk bertindak dalam suatu cara tertentu. Tahap keempat adalah tahap perilaku yang
menyangkut pernyataan, tindakan dan reaksi yang diciptakan oleh pihak yang mengalami
konflik. Tahap kelima adalah tahap hasil yaitu berupa konsekuensi- konsekuensi yang
bersifat fungsional atau disfungsional.
Dalam hubungan pernikahan, konflik merupakan hal yang wajar terjadi dan tidak
dapat dihindarkan. Konflik yang terjadi dalam kehidupan pernikahan lebih kompleks dari
konflik yang terjadi pada aspek kehidupan lainnya. Dalam sebuah kehidupan pernikahan
terdapat beberapa sumber konflik, yaitu ketidaksesuaian dalam kebutuhan dan harapan
satu sama lain, kesulitan menerima perbedaan (kebiasaan, kebutuhan, pendapat, dan
nilai), masalah keuangan (cara memperoleh dan menggunakan), masalah anak, perasaan
cemburu dan memiliki rasa cemburu berlebihan sehingga pasangan kurang mendapat
kebebasan, pembagian tugas yang tidak adil, kegagalan dalam berkomunikasi dan
pasangan tidak sejalan dengan minat dan tujuan awal (Davidoff, dalam Gradianti &
13
Suprapti, 2014). Anderson dan Spruill (dalam Andriani, 2016) mengatakan bahwa
kehadiran anak terutama dengan umur yang masih kecil dapat memunculkan masalah
seperti pengelolaan tugas rumah tangga dan merawat anak. Menjadi orang tua merupakan
transisi yang besar dan penting dalam kehidupan perkawinan karena memberikan
kebahagiaan bagi pasangan, namun juga memberikan tekanan tersendiri (Hirschberger,
Srivastava, Marsh, Cowan & Cowan, 2009).
Selain konflik pada hubungan pernikahan, konflik juga tidak luput pada hubungan
di dunia pekerjaan karena individu dan kelompok saling bergantung dalam mencapai
tujuan organisasi. Sehingga apabila konflik tidak dikendalikan secara efektif, akan
menimbulkan pengaruh yang buruk pada kinerja organisasi (Wahyudi, 2011). Konflik
yang biasa terjadi dalam area kerja biasanya terjadi karena masalah komunikasi dimana
terkadang informasi yang diberikan oleh individu lain tidak lengkap, persaingan
kekuasaan atau jabatan, ketidaksesuaian tujuan atau nilai yang dimiliki individu dengan
perusahaan, adanya tekanan yang cukup besar dari berbagai arah seperti dari rekan kerja,
atasan atau klien (Robbins, 2009). Huffman (dalam Laksmi & Hadi, 2012) menemukan
bahwa 70% pekerja mengaku tidak puas terhadap pekerjaannya karena adanya konflik
dalam keseimbangan antara karir dan keluarganya. Dan setengah dari para pekerja
tersebut mempertimbangkan untuk mencari pekerjaan baru yang menjanjikan demi
tercapainya suatu keseimbangan antara karir dan keluarga.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kuncoro, Wulan dan Haryono (2018)
mengenai pengaruh konflik kerja, lingkungan kerja dan stres kerja terhadap prestasi
kerja, konflik kerja berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi kerja karyawan.
Maka untuk dapat berprestasi di tempat kerja, karyawan harus memiliki tingkat konflik
yang rendah caranya yaitu dengan dapat mengelola konflik dengan baik. Apabila individu
tidak mampu mengelola konflik dengan baik maka akan menyebabkan menurunnya
produktivitas kerja, merusak hubungan dan komunikasi di dalam organisasi, merusak
sistem organisasi, menurunkan mutu pengambilan keputusan, menimbulkan sikap dan
perilaku negatif bagi individu di dalam organisasi (Wirawan 2010).
Apabila hubungan dengan pernikahan dan pekerjaan tidak dapat berjalan dengan
seimbang, maka akan mengakibatkan konflik, diantaranya konflik pekerjaan-keluarga
dan konflik keluarga-pekerjaan. Maka menjadi penting bagi istri yang bekerja untuk
14
memiliki cara atau pola penyelesaian konflik yang baik. Pola penyelesaian konflik yang
kurang baik dan tidak terselesaikan akan melahirkan konflik yang berkepanjangan dan
akan berdampak pada lingkungan keluarga yang kurang sehat. (Handayani, Suminar,
Hendriani, Alfian, dan Hartini, 2008). Johnson & Johnson (2012) mengatakan bahwa hal
yang menentukan apakah konflik bersifat merusak atau membangun bukan dikarenakan
keberadaan konflik itu sendiri, tetapi bagaimana cara konflik tersebut dikelola. Ketika
individu mengalami konflik, keterampilan untuk mengelola konflik sangat dibutuhkan.
Ketika konflik dikelola dengan manajemen konflik yang tidak tepat konflik tersebut akan
berdampak negatif baik bagi individu maupun kelompok.
Dampak negatif yang dirasakan individu ketika tidak tepat dalam mengelola
konflik diantaranya berupa penarikan diri, meningkatkan gejala darah tinggi, serangan
jantung dan stroke, pengembangan perasaan perasaan negatif, frustasi dan stres serta
menurunkan produktivitas. Sedangkan dampak yang dirasakan oleh kelompok dalam
kontek organisasi di kantor diantaranya adalah timbulnya sinergi negatif, rusaknya
hubungan, timbulnya kerugian baik bersifat material maupun non material (Wirawan,
2013). Selain itu hal tersebut juga berpengaruh dengan kepuasan kerja, jika kepuasan
kerja berkurang maka akan mempengaruhi motivasi dan usaha dan hasil kerja akan
menjadi tidak optimal (Johan dalam Laksmi & Hadi, 2012). Selain itu menurut Killis
(2006) penyelesaian konflik yang tidak efektif memberi dampak negatif yaitu antara lain
meningkatkan interpersonal distress, menurunkannya rasa keberhargaan diri,
menurunnya kualitas hubungan positif dengan orang lain, menurunnya kualitas
pernikahan yaitu meningkatkan ketidakpuasan atau ketidakbahagiaan pernikahan serta
menurunnya kepuasan kerja. Salah satu aspek yang mempengaruhi kepuasan pernikahan
yaitu bagaimana pasangan mengelola konflik yang dialami. Jika pasangan tidak dapat
mengelola konflik dengan baik maka kepuasan pernikahan yang akan berkurang,
selanjutnya akan mempengaruhi komitmen yang telah terbentuk dan jika tingkat
komitmen berkurang maka dapat menyebabkan perceraian (Fowers dan Olson dalam
Andromeda dan Noviajati, 2015).
Ketika konflik yang dihadapi oleh istri bekerja, baik itu dengan suami, anak,
orangtua/mertua atau rekan kerja, tidak dapat diselesaikan dengan baik, maka akan
berdampak buruk pada rumah tangga dan pekerjaan tersebut. Dari situ muncullah work-
15
family conflict, dimana work-family conflict adalah salah satu bentuk dari konflik peran
dimana individu harus memenuhi tuntutan perannya sebagai karyawan dan juga perannya
dalam kehidupan keluarga maupun sosial. Studi oleh Apperson, Schmidt, Moore,
Grunberg dan Greenberg (2002) menemukan bahwa karakteristik pekerjaan yang sifatnya
lebih formal dan manajerial seperti jam kerja yang relatif panjang dan pekerjaan yang
berlimpah lebih cenderung memunculkan work-family conflict pada wanita bekerja.
Raymo dan Sweeney (2005) yang membagi penyebab konflik menjadi dua. Pertama,
bersumber dari pekerjaan yaitu jam kerja yang terlalu panjang, jadwal kerja yang kurang
fleksibel, dan karakteristik pekerjaan yang cenderung menekan, baik fisik maupun psikis.
Penyebab kedua berasal dari keluarga yaitu masih adanya anak yang masih kecil yang
harus diurus, kesehatan pasangan yang buruk, padatnya pekerjaan rumah tangga dan
komunikasi yang buruk dengan pasangan.
16
manajemen konflik tertentu ketika menghadapi konflik (Decenzo dalam Kurniasari,
2007).
Menurut teori yang dikembangkan oleh Thomas dan Kilmann gaya manajemen
konflik didasarkan pada dua dimensi yaitu assertiveness (asertivitas) dan cooperativeness
(kerjasama) (Thomas & Kilmann (dalam Gradianti & Suprapti, 2014). Asertivitas terlihat
saat individu berusaha untuk memuaskan kebutuhannya sendiri, sedangkan kerjasama
ketika individu mencoba untuk memuaskan kebutuhan atau keinginan orang lain. Dari
kedua dimensi tersebut, oleh Thomas dan Kilmann dikembangkan menjadi lima gaya
manajemen konflik yang merepresentasikan kedua dimensi tersebut secara komprehensif.
Kelima gaya manajemen konflik yang dikembangkan berdasarkan dua dimensi tersebut,
yaitu: (a) Competitive style, memiliki asertif yang tinggi dan tingkat kerjasama yang
rendah; (b) Collaborative style, memiliki asertif yang tinggi dan kerjasama yang tinggi
sehingga memiliki perhatian terhadap tujuan individu lain; (c) Compromise style, cukup
asertif dan cukup kooperatif merupakan bagian dari gaya kompromi; (d) Avoidance style,
memiliki tingkat asertif yang rendah dan memiliki perilaku yang pasif (tingkat kooperatif
yang rendah); (e) Accommodating style, memiliki tingkat asertif yang rendah dan tingkat
kerjasama yang tinggi. Teori yang dikembangakan oleh Thomas dan Kilmann ini lebih
tepat dan penjabarannya lebih komprehensif dibandingkan dengan teori-teori yang
lainnya
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hidayah dan Hariyadi (2019) mengenai
Perbedaan manajemen konflik awal perkawinan berdasarkan gender, perempuan
mempunyai kemampuan manajemen konflik rumah tangga yang lebih baik dari laki-laki.
Tetapi penelitian tersebut peneliti berfokus hanya pada wanita yang berumah tangga dan
tidak dispesifikkan kepada wanita yang juga bekerja sebagai karyawan atau pegawai,
karena ketika seorang istri yang memiliki pekerjaan tentunya konflik yang dihadapi akan
semakin rumit dan kompleks. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kurniasari
(2007) hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniasari yaitu terdapat perbedaan gaya
manajemen konflik antara suami dan istri pada dimensi menghindar, dominasi dan
membantu dengan istri memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi dari suami, sedangkan
tidak ada perbedaan gaya manajemen konflik pada suami dan istri pada dimensi
kompromi dan integrasi.
17
Maka berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan diatas, peneliti tertarik untuk
melihat gaya manajemen konflik pada istri yang bekerja kantoran khususnya yang
berusia dewasa madya dan mempunyai anak karena dianggap dengan adanya kehadiran
seorang anak maka semakin banyak tugas yang harus diemban seorang wanita karir
dalam menyeimbangkan perannya di tempat kerja dan di rumah. Serta peneliti ingin
melakukan studi di Jabodetabek karena tuntutan ekonomi dan gaya hidup yang tinggi
tentunya akan menimbulkan konflik lainnya. Selain itu, sejauh ini belum ada penelitian
yang menggunakan teori lima gaya manajemen konflik yang dikembangkan oleh
Thomas-Kilmann untuk mengetahui gaya apa yang dimiliki oleh istri bekerja.
Bagaimana profil gaya manajemen konflik yang dimiliki pada istri yang bekerja
khususnya di Jabodetabek?
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai masukan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai gaya manajemen konflik pada
istri yang bekerja di Jabodetabek. Penelitian ini juga bisa sebagai tambahan literatur dan
dijadikan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai gaya konflik
manajemen.
18
I.D.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini khususnya pada pasangan suami istri yang
istrinya bekerja yaitu untuk memberikan informasi mengenai gaya manajemen konflik
yang dimiliki oleh seorang istri yang bekerja. Penelitian ini juga bisa menjadi salah satu
strategi untuk dapat mengelola konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari baik
dalam kehidupan pernikahan maupun dalam pekerjaan, khususnya pada istri bekerja.
Hasil penelitian ini juga dapat memberi masukan kepada perusahaan untuk memberikan
pelatihan manajemen konflik kepada karyawannya khususnya karyawan wanita.
Penelitian ini terdiri dari lima bab dan pada setiap bab memiliki sub-bab yang
disertai oleh penjelasan yang berkaitan dengan penelitian. Kelima sub-bab tersebut yaitu:
1. BAB I: Merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang mengapa ingin
meneliti gaya manajemen konflik pada istri bekerja, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
2. BAB II: Pada bab ini berisikan uraian mengenai landasan teori atau tinjauan
pustaka yang berkaitan dengan topik permasalahan yang akan dibahas oleh
peneliti. Teori yang akan dipaparkan yaitu teori peran istri, istri bekerja, konflik,
dan gaya manajemen konflik.
3. BAB III: Bab ini merupakan metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian,
variabel penelitian, sampel penelitian, teknik pengambilan data, instrumen
penelitian, metode analisis data dan prosedur penelitian.
4. BAB IV: Pemaparan hasil penelitian dan analisis hasil penelitian yang diperoleh
dari data yang telah didapatkan.
5. BAB V: Bab ini berisikan kesimpulan dari jawaban masalah penelitian, diskusi
mengenai hasil penelitian yang dikaitkan dengan teori-teori dan saran untuk
penelitian mengenai hal yang telah maupun belum ditemukan dalam penelitian
ini.
19
20
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. KONFLIK
Konflik merupakan hal yang melekat dan pasti dialami oleh kehidupan manusia.
Adapun definisi konflik menurut beberapa ahli. Menurut Wilmot & Hocker (dalam
Desmayanti, 2009), konflik adalah suatu ekspresi pertentangan dari setidaknya dua orang
yang saling bergantung tetapi memiliki tujuan yang bertentangan, sumberdaya yang
sedikit, dan campur tangan orang lain. Menurut Thomas & Kilmann (2008), konflik
adalah suatu kondisi ketidaksesuaian objektif antara nilai atau tujuan, baik dalam diri
individu maupun dalam hubungan dengan orang lain, dengan perilaku yang secara
sengaja mencampuri pencapaian tujuan dan secara emosional mengandung suasana
permusuhan.
Menurut Sentot (2010) terdapat beberapa tahap proses terjadinya konflik yang
saling berkaitan.
21
a. Tahap pertama adalah ketidakcocokan yang dapat berpotensi menimbulkan
konflik. Hal tersebut disebabkan oleh tiga hal yaitu komunikasi, struktur dan
variabel pribadi.
b. Tahap kedua yaitu tahap kognisi dan personalisasi di mana ada dua hal pokok
yang perlu dipahami dalam tahap ini yaitu konflik yang dipersepsikan dan konflik
yang dirasakan. Konflik yang dipersepsikan adalah kesadaran satu pihak akan
eksistensi kondisi-kondisi yang menciptakan kesempatan munculnya konflik.
Sementara konflik yang dirasakan melibatkan emosi sehingga menciptakan rasa
cemas, tegang, frustasi dan bermusuhan.
c. Tahap ketiga adalah tahap maksud atau gagasan. Pengertian maksud di sini
diartikan sebagai keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu. Konflik
sering terjadi karena satu pihak tidak dapat menghubungkan maksudnya kepada
pihak lain.
d. Tahap keempat adalah tahap perilaku yang menyangkut pernyataan, tindakan dan
reaksi yang diciptakan oleh pihak yang mengalami konflik. Perilaku konflik
biasanya terang-terangan memiliki upaya untuk melaksanakan maksud masing-
masing pihak.
e. Tahap kelima adalah tahap hasil yaitu berupa konsekuensi- konsekuensi yang
bersifat fungsional atau disfungsional. Dikatakan fungsional yaitu apabila konflik
yang terjadi dapat memperbaiki kualitas keputusan, merangsang kreativitas dan
inovasi dan lain sebagainya. Namun akan dikatakan disfungsional apabila konflik
tersebut menyebabkan terputusnya komunikasi, menurunnya rasa persatuan
kelompok dan tidak tercapainya tujuan kelompok.
Terdapat beberapa jenis konflik menurut Bailey (dalam Putra, 2011) yaitu
konflik dalam diri seseorang, konflik antar individu, konflik antaranggota kelompok,
konflik antar kelompok. Konflik antar organisasi dan konflik antar organisasi.
a. Konflik dalam Diri Seseorang (Intrapersonal).
Konflik yang dirasakan dalam diri seseorang atau individu. Hal ini terjadi disaat
individu diharuskan memilih tujuan atau pilihan yang terkadang saling
22
bertentangan. Konflik intrapersonal juga biasa terjadi saat tuntutan tugas yang
diberikan melebihi kemampuan yang dimiliki.
b. Konflik antar Individu (Interpersonal).
Konflik yang muncul di antara dua atau lebih individu dalam suatu kelompok
dikarenakan adanya perbedaan mengenai pandangan, tindakan atau tujuan.
c. Konflik antar Kelompok
Konflik yang ruang lingkupnya paling luar karena muncul antara organisasi satu
dengan organisasi lainnya. Konflik ini terjadi karena adanya keinginan masing-
masing kelompok untuk mengejar kepentingannya sendiri-sendiri.
Konflik-konflik yang terjadi dapat menimbulkan dampak, baik itu dampak positif
maupun dampak negatif. Dampak positif akan terjadi jika individu dapat mengelola
konflik dengan baik, dan sebaliknya dampak negatif akan muncul jika individu tidak
dapat mengelola konflik dengan baik (Sunarta, 2010). Akibat positif dari konflik yaitu:
a. Individu memiliki dinamika yang baik dengan orang yang terlibat konflik karena
adanya interaksi yang intensif.
b. Orang-orang yang pernah berkonflik menjadikan konflik di masalalu sebagai
pelajaran berharga sehingga jika terjadi konflik serupa maka mereka akan salah
berusaha memahami.
c. Konflik yang muncul akibat ketidakpuasan atas suatu aturan dapat
menghapuskann atau membatalkan aturan tersebut.
d. Konflik yang timbul dapat melahirkan kritik yang membangun dan inovatif.
e. Individu lain yang tidak terlibat konflik dapat melihat dan mengambil pelajaran
bagaimana cara menghadapi perbedaan yang ada.
23
d. Bersama dengan orang-orang yang sedang mengalami konflik akan menyebabkan
dampak terganggunya hubungan serta ketidaknyamanan karena adanya
ketegangan.
e. Individu yang sedang berkonflik akan merasa cemas dan stres terhadap
permasalahan yang sedang dihadapi. Hal tersebut akan menurunkan produktivitas
individu yang sedang berkonflik.
Dapat disimpulkan bahwa konflik pernikahan adalah masalah yang terjadi karena
adanya perbedaan persepsi dan harapan pada pasangan suami istri dimana konflik
tersebut dapa mempengaruhi hubungan pasangan.
Konflik yang bersumber pada hal-hal yang erat kaitannya dengan perkawinan,
antara lain menyangkut masalah-masalah sebagai berikut (Hadisubrata dalam Atieka,
2011):
a. Keuangan
b. Kehidupan sosial
24
Kehidupan sosial dapat menimbulkan konflik kalau suami istri mempunyai
temperamen sosial yang berbeda, kalau salah satu kurang mengerti kebutuhan sosial
pasangannya, kalau salah satu atau kedua belah pihak menggunakan kegiatan sosial untuk
menutupi ketidakpuasannya terhadap situasi keluarga
c. Pendidikan anak
Pendidikan anak dapat menimbulkan konflik ketika suami dan istri memiliki
perbedaan prinsip dalam mendidik anak, dan ketika salah satu atau kedua pasangan
bersikap tidak adil kepada anak
d. Masalah agama
Jika sepasang suami istri memiliki agama yang berbeda maka dapat
menimbulkan dampak atau akibat. Ketika pasangan suami istri memiliki agama yang
berbeda maka mereka menganut nilai atau prinsip yang berbeda, sesuai dengan ajaran
agama masing-masing. Hal tersebut tentunya akan menimbulkan konflik. Setelah
pasangan memiliki anak, dapat terjadi perbedaan pendapat tentang agama yang harus
dianut sang anak. Selain itu juga dapat terjadi ketegangan dengan mertua dan saudara-
saudara ipar, sehingga akan merasa terasingkan dari keluarga pasangan.
Hubungan dengan mertua dan saudara ipar dapat menimbulkan konflik jika tidak
ada kesatuan antara orang tua dan saudara ipar kedua belah pihak.
f. Ketidakpuasan seksual
Menurut Encyclopedia of Children’s Health, istri bekerja adalah seorang ibu yang
bekerja di luar rumah untuk mendapatkan penghasilan di samping membesarkan dan
mengurus anak di rumah. Menurut Lerner (dalam Akbar & Kartika, 2016) istri yang
25
bekerja adalah ibu yang memiliki anak dari umur 0-18 tahun dan menjadi tenaga kerja.
Jadi dapat disimpulkan bahwa istri bekerja adalah seorang istri yang menjadi tenaga kerja
untuk mendapatkan penghasilan serta memiliki anak dan mengurus rumah tangga.
Demi menciptakan keluarga yang sehat dan sejahtera semua anggota keluarga
harus hidup saling mempengaruhi dan menunjang satu sama lain. Sama halnya dengan
suami, istri juga memiliki peran yang besar untuk mengurus dan menjaga rumah
tangganya. Hemas (dalam Asri, 2013) memaparkan bahwa tugas yang disandang oleh
seorang wanita yaitu:
Wanita tidak hanya sebagai ibu rumah tangga tetapi juga sebagai
pendamping suami seperti sebelum menikah, sehingga dalam rumah tangga tetap
terjalin ketentraman yang dilandasi kasih sayang yang sejati. Wanita sebagai istri
dituntut untuk setia pada suami agar dapat menjadi motivator kegiatan suami.
Sebagai ibu rumah tangga yang bertanggung jawab secara terus- menerus
memperhatikan kesehatan rumah dan mengatur segala sesuatu di dalam rumah
tangga untuk meningkatkan mutu hidup. Keadaan rumah harus mencerminkan
rasa nyaman, aman tentram, dan damai bagi seluruh anggota keluarga.
Ibu adalah wanita pendidik pertama dan utama dalam keluarga bagi putra-
putrinya. Menanamkan rasa hormat, cinta kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta kepada masyarakat dan orang tua. Pada lingkungan keluarga, peran ibu
sangat menentukan perkembangan anak yang tumbuh menjadi dewasa sebagai
warga negara yang berkualitas dan pandai.
26
d. Wanita sebagai pemenuh kebutuhan hidup
Work-family conflict adalah konflik yang muncul dalam diri individu karena
terbebani dengan permasalahan pekerjaan ketika individu berada diantara keluarganyam
sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai karyawan maupun anggota keluarga
dengan baik (Cascio dalam Novrizal & Nugraha, 2017). Menurut Greenhause dan Beutell
(dalam Sulistiawan & Armuninggar, 2017) work-family conflict adalah salah satu bentuk
27
dari konflik peran dimana individu harus memenuhi tuntutan perannya sebagai karyawan
dan juga perannya dalam kehidupan keluarga maupun sosial. Sedangkan menurut Frone
(dalam Rahmawati, 2015), bahwa work-family conflict terjadi pada saat seseorang
berusaha memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut dipengaruhi oleh
kemampuan orang yang bersangkutan untuk memenuhi tuntutan keluarganya, atau
sebaliknya.
Peran lain seorang istri selain dalam kehidupan rumah tangga adalah peran sebagai
pekerja. Memiliki lebih dari satu peran tentu akan menimbulkan konflik. Greenhaus dan
Beutell (dalam Sunarta, 2010) mengidentifikasikan tiga jenis work-family conflict yang
terjadi, yaitu:
28
Konflik ini berhubungan dengan ketidaksesuaian antara pola perilaku dengan
yang diinginkan oleh kedua peran baik itu dalam pekerjaan atau keluarga. Konflik ini
biasa terjadi pada individu yang sulit beradaptasi pada saat ia memasuki peran baru.
Tindakan atau perilaku yang dilakukan karyawan mungkin tidak cocok dengan perilaku
yang diinginkan oleh rekan kerja ataupun anak-anak mereka di rumah. Apabila seseoang
tidak dapat menyesuaikan perilaku untuk dapat memenuhi harapan dari perannya yang
berbeda-beda, maka ia akan mengalami konflik antara kedua perannya tersebut.
29
II.E. GAYA MANAJEMEN KONFLIK
30
Grafik II.1. Lima Gaya Manajemen Konflik Thomas-Kilmann
1. Competing
Competing style memiliki tingkat asertif yang tinggi dan tingkat kerjasama yang
rendah. Seseorang yang mengejar kepentingannya sendiri dengan mengorbankan orang
lain. Competing style adalah gaya yang berorientasi pada kekuasaan dimana individu
tersebut menggunakan cara apa pun untuk dapat memenangkan suatu hal baik itu dalam
hal argumentasi atau jabatan. Competing berarti membela hak diri sendiri,
mempertahankan posisi yang diyakini benar atau hanya sekedar berusaha untuk menang.
Kepuasan lawan konflik bukan menjadi suatu hal yang perlu dipertimbangkan dalam
gaya ini.
2. Accommodating
Accommodating style memiliki tingkat asertif yang rendah dan tingkat kerjasama
yang tinggi, berkebalikan dari competing style. Ketika mengakomodasi, individu
mengabaikan kepentingan dirinya sendiri untuk memuaskan kepentingan orang lain,
terdapat elemen pengorbanan diri dalam accommodating style. Gaya ini merupakan
bentuk dari kemurahan hati, menolong tanpa pamrih, mematuhi perintah atau menuruti
pandangan orang lain.
31
3. Avoiding
Avoiding style memiliki tingkat asertif yang rendah dan memiliki perilaku yang
pasif (tingkat kooperatif yang rendah). Individu tidak mengejar kepentingannya sendiri
maupun kepentingan orang lain. Sehingga individu tidak berhadapan dengan konflik.
Gaya ini merupakan bentuk dari secara diplomatis menghindari konflik, menunggu
sampai waktu yang lebih baik atau menarik diri dari situasi yang mengancam.
4. Collaborating
Collaborating style memiliki asertif yang tinggi dan kerjasama yang tinggi,
berkebalikan dengan avoiding style. Collaborating style melibatkan upaya untuk bekerja
dengan orang lain untuk menemukan solusi yang memenuhi kepentingan kedua pihak. Itu
berarti menggali masalah untuk menemukan kebutuhan atau keinginan dari kedua
individu. Collaborating style diantara dua orang merupakan bentuk dari mengeksplorasi
ketidaksepakatan atau ketidaksetujuan untuk mempelajari pemikiran satu sama lain atau
untuk mencoba mencari solusi kreatif untuk masalah interpersonal.
5. Compromising
Compromising style memiliki tingkat asertif dan kerjasama yang cukup dan
menempati kedudukan penyelesaian tengah. Tujuannya adalah untuk menemukan solusi
yang bijaksana, cepat dan dapat diterima serta menguntungkan kedua belah pihak.
Kompromi dapat digunakan untuk mencapai solusi sementara atas masalah yang
kompleks. Compromising berada di antara competing dan accommodating, compromise
akan menyerah dari competing tetapi tidak dari accommodating. Compromising
membahas masalah secara langsung daripada avoiding tetapi tidak mengeksplorasi
masalah sedalam collaborating. Dalam situasi tertentu, compromising berarti
memisahkan perbedaan diantara dua posisi atau mencari jalan tengah yang cepat.
Setiap individu dapat menggunakan kelima gaya manajemen konflik di atas dan
setiap individu tidak dapat dicirikan hanya memiliki salah satu dari kelima gaya tersebut
dalam menangani konflik. Tetapi individu tertentu dapat menggunakan beberapa gaya
manajemen konflik lebih baik daripada individu lainnya dan karena hal tersebut individu
tersebut lebih cenderung mengandalkan gaya manajemen konflik tersebut dibandingkan
32
dengan gaya lainnya, baik itu karena karakter individu maupun karena kebiasaan.
Penelitian ini akan menggunakan gaya manajemen konflik yang dikemukakan oleh
Thomas & Kilmann (2008) yang menyatakan bahwa gaya manajemen konflik terdiri dari
lima gaya yaitu competing, accommodating, avoiding, collaborating dan compromising.
Setiap individu dapat menggunakan gaya manajemen konflik yang beragam tergantung
pada situasi yang dihadapinya. Tetapi biasanya individu akan memiliki kecenderungan
menggunakan gaya manajemen konflik tertentu ketika menghadapi konflik (Decenzo
dalam Kurniasari, 2007).
Tabel II.A Penjabaran Gaya Manajemen Konflik Menurut Thomas & Kilmann
Gaya
Manajemen Dimensi Ciri-ciri Implikasi
Konflik
Competing Tingkat 1. Berorientasi pada 1. Dapat menjadi sangat
assertiveness kekuasaan atau efektif apabila berada pada
berada dalam kewenangan yang situasi yang mendesak.
kategori tinggi, dimiliki individu. 2. Beresiko mengalami
dan 2. Pengambilan keputusan hubungan yang
cooperativenes secara sepihak (dictating disfungsional, menurunkan
s berada dalam a decision). motivasi, dan merusak
kategori rendah 3. Tidak bernegosiasi hubungan.
ataupun tawar menawar
(making no concessions).
Collaborating Tingkat 1. Mendamaikan pihak- 1. Mendorong kreativitas dan
assertiveness pihak yang berkonflik inovasi untuk perbaikan
dan dan menyelesaikan dan pengembangan
cooperativenes konflik dengan win-win hubungan secara terbuka.
s berada dalam solution. 2. Memperbaiki hubungan
kategori yang 2. Mengkombinasikan antar individu, sehingga
sama-sama solusi dari pihak-pihak menciptakan suasana yang
tinggi yang berkonflik untuk kondusif.
mencari alternatif yang 3. Diperlukan interpersonal
33
disepakati bersama dan skill yang baik,
memenuhi harapan kepercayaan antar individu
kedua belah pihak dan sikap terbuka terhadap
gagasan yang baru.
4. Menuntut waktu yang lebih
lama dalam penyelesaian
konflik
Compromisin Tingkat 1. Melakukan negosiasi dan 1. Menjadi sangat efektif
g assertiveness tawar menawar ketika pihak-pihak yang
dan (exchanging concessions). berkonflik membutuhkan
cooperativenes 2. Memanfaatkan peluang solusi sementara yang
s berada dalam yang ada bersama lawan mendesak, demi
kategori konflik secara bergantian. keberlangsungan tujuan
sedang. 3. Mengambil keputusan bersama.
dengan lebih lunak atau 2. Tidak membutuhkan waktu
dengan menggabungkan yang lama, namun tetap
gagasan pihak-pihak yang bermanfaat.
berkonflik. 3. Dapat memperbaiki
4. Dilakukan ketika konflik hubungan pihak-pihak
tidak cukup bernilai untuk yang berkonflik
dipertahankan, tetapi juga 4. Penyelesaian konflik tidak
terlalu penting untuk mendalam (superficial
dihindari. understanding).
Avoiding Tingkat 1. Menghindari konflik 1. Tertundanya pengambilan
assertiveness dengan cara menajuhkan keputusan.
dan diri dari pokok 2. Berpotensi menurunkan
cooperativenes permasalahan, menunda komunikasi, dan merusak
s berada dalam hingga waktu yang tepat, hubungan.
kategori rendah maupun menarik diri dari 3. Berada pada posisi aman
konflik tersebut atau menguntungkan,
sementara waktu karena menjauhkan diri
2. Menghindari pembahasan dari konflik yang
isu yang tidak penting, berbahaya.
kompleks, maupun 4. Mengurangi stress dan
mengancam. menghemat waktu.
34
3. Menghindari pihak-pihak
tertentu yang sedang
berkonflik.
Accomodating Tingkat 1. Mengabaikan kepentingan 1. Memiliki hubungan yang
assertiveness dirinya sendiri dan harmonis dengan individu
berada dalam berupaya memuaskan lainnya.
kategori kepentingan lawan 2. Dapat membantu pihak
rendah, namun konfliknya. lain keluar dari
cooperativenes 2. Merupakan win-lose permasalahannya.
s berada dalam strategy. 3. Kehilangan kesempatan
kategori tinggi. 3. Sangat mudah untuk karena mengorbankan
dipengaruhi lawan tujuan pribadi.
konflik. 4. Menurunkan motivasis
4. Cenderung mematuhi dalam diri individu.
otoritas
35
e. Power. Berkaitan dengan kekuasaan atau kekuatan individu dalam hubungannya
dengan pihak lain yang terlibat konflik. Apabila dalam suatu hubungan dominasi
dan kekuasaan lebih diperankan oleh salah satu pihak.
f. Latihan. Individu mencari gaya resolusi konflik yang paling efektif untuk
digunakan ketika menghadapi masalah dengan pihak tertentu. Dengan demikian,
individu akan menggunakan gaya resolusi konflik tersebut ketika menghadapi
konflik dengan pihak yang sama.
g. Pemahaman terhadap konflik. Konflik terjadi karena adanya perbedaan persepsi
dan harapan (Sawitri, 2005). Melalui pemahaman, individu mengembangkan
sebuah pemahaman terhadap manajemen konflik sehingga ia dapat menentukan
gaya resolusi konflik apa yang hendak digunakan dalam menghadapi konflik.
h. Kemampuan komunikasi secara efektif. Manajemen konflik yang produktif
melibatkan proses percakapan yang terbuka antara pihak-pihak yang memiliki
perbedaan tujuan, Individu dengan kemampuan komunikasi yang baik akan lebih
mudah dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.
i. Pengalaman hidup. Individu sering menggunakan cara penyelesaian konflik yang
ia amati dari role model-nya. Pengalaman hidup akan membentuk pola pikir
individu mengenai konflik, yaitu apakah konflik dipandang sebagai hal positif
yang harus diselesaikan atau sebagai hal negatif yang harus dihindari atau
diabaikan.
Secara tradisional, seorang istri diharapkan untuk dapat tinggal di rumah dan
menjaga anak serta keluarganya. Namun, saat ini tuntutan ekonomi mengakibatkan
banyaknya istri yang juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan dan gaya hidup yang
cukup tinggi. Istri yang bekerja merupakan wanita yang memiliki lebih dari satu peran,
yaitu sebagai istri bagi suaminya, sebagai pengurus rumah tangga, ibu bagi anak-anaknya
dan karyawan atau pekerja bagi perusahaannya (Hemas dalam Asri, 2013). Ketika
seorang wanita sudah berkeluarga sekaligus bekerja, maka ia akan menghabiskan lebih
banyak waktu dalam mengelola antara tanggung jawab pekerjaan dan keluarga. Memiliki
36
banyak peran dan tanggung jawab tentunya akan menyebabkan berbagai macam dampak,
salah satunya adalah timbulnya konflik baik itu konflik dengan keluarga maupun dengan
rekan kerja. Konflik yang terjadi ini disebut dengan work-family conflict. Work-family
conflict sendiri adalah konflik yang terjadi ketika seseorang yang dalam hal ini adalah
istri yang bekerja, kesulitan untuk memenuhi perannya sebagai istri, ibu dan pekerja
(Greenhause & Beutell dalam Sulistiawan & Armuninggar, 2017). Work-family conflict
tentunya sangat berpengaruh pada kedua aspek kehidupan istri yang bekerja, karena dapat
mempengaruhi tingkat kepuasan pernikahan dan kepuasan kerja.
Konflik bisa terjadi kapanpun, dimanapun dan dengan siapapun, oleh karena itu
terdapat berbagai macam konflik. Konflik yang dialami oleh istri bekerja bisa terjadi
dengan suami, anak maupun rekan kerja dan konflik yang muncul karena terdapat
pertentangan, perbedaan atau ketidakcocokan dalam nilai atau tujuan. Jika konflik yang
terjadi karena wanita memiliki banyak peran ini tidak bisa diatasi dengan baik maka akan
menimbulkan depresi dan kecemasan (Frone dalam Akbar & Kartika, 2016). Maka
menjadi penting bagaimana cara seorang istri yang bekerja untuk mengelola konflik yang
dialami. Menurut Thomas & Kilmann (dalam Gradianti & Suprapti, 2014) gaya
manajemen konflik didasarkan pada dua dimensi yaitu assertiveness (asertivitas) dan
cooperativeness (kerjasama). Dari kedua dimensi tersebut dikembangkan menjadi lima
gaya manajemen konflik yaitu competing, accommodating, avoiding, collaborating dan
compromising.
Istri bekerja
5 gaya manajemen
Multi-peran: konflik: 37
- sebagai istri - Competing
- pengurus - Accommodating
Konflik - Avoiding
rumah tangga
BAB III
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan untuk penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif
dengan metode non-experimental. Metode non-experimental adalah penelitian yang tidak
melakukan manipulasi pada variabelnya tetapi melakukan interpretasi, observasi, atau
interaksi untuk mencapai sebuah kesimpulan. Biasanya penelitian non-experimental
menggunakan survey, korelasi, atau studi kasus. Penelitian jenis ini cenderung memiliki
tingkat tinggi pada validitas eksternalnya, yang artinya hasil penelitian jenis non-
experimental dapat digeneralisasikan dan digunakan pada populasi yang lebih besar
(Burns & Groove dalam Wirapratama, 2017).
38
deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta
hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir dalam Simandjuntak, 2009).
Variabel merupakan konsep yang bisa diukur dan memiliki variasi hasil
pengukuran sehingga dapat dikatakan bahwa variabel merupakan operasionalisasi dari
konsep sehingga dapat diukur dan dinilai (Kumar, 2003). Variabel dalam penelitian ini
adalah gaya manajemen konflik dan istri bekerja.
Gaya manajemen konflik adalah langkah yang dipilih dan dilakukan oleh
individu-individu yang terlibat dalam konflik untuk mengendalikan, mengurangi dan
menyelesaikan konflik agar menghasilkan ketenangan serta hal yang positif. Definisi
operasional dari gaya manajemen konflik yaitu cara yang dilakukan dalam menghadapi
konflik dengan pasangannya oleh istri yang bekerja kantoran penuh waktu (selama
minimal 8 jam sehari), berusia 20-40 tahun, usia pernikahan 0 sampai 10 tahun, sudah
memiliki anak serta bertempat tinggal di Jabodetabek. Gaya manajemen konflik terdiri
dari lima gaya, yaitu competing, accommodating, avoiding, collaborating dan
compromising. Kelima gaya tersebut merupakan pengembangan dari dua dimensi yaitu
assertiveness (asertivitas) dan cooperativeness (kerjasama). Kelima gaya manajemen
konflik tersebut dapat diukur dengan alat ukur Thomas-Kilmann Conflict Mode
Instrument (TKI). Semakin tinggi skor individu pada gaya manajemen konflik tertentu,
maka gaya manajemen konflik tersebut merupakan gaya yang paling dominan yang
dimiliki oleh individu.
b. Istri bekerja
Istri bekerja adalah seorang perempuan dewasa yang telah melakukan pernikahan
secara resmi baik itu secara hukum dan agama, memiliki anak minimal satu dan bekerja
di perkantoran dengan minimal jam kerja delapan jam sehari.
39
III.C. SAMPEL PENELITIAN
Pasangan di Jakarta tidak bisa lepas dari pekerjaan karena tingginya biaya
hidup yang perlu dipenuhi (BPS, 2014). terjadi peningkatan perempuan yang
bekerja di Jakarta (BPS, 2013). Fuchs (dalam Akbar & Kartika, 2016)
menyatakan bahwa wanita yang mempunyai anak cenderung berada di bawah
tekanan yang besar, terlebih lagi jika harus bekerja
40
membentuk hubungan intim dengan orang lain lalu mengikatkan dalam
sebuah tali pernikahan.
Usia sepuluh tahun usia pernikahan merupakan masa yang sulit untuk
dilalui karena pasangan suami istri tidak dapat memprediksi konflik yang
mungkin akan terjadi (Walgito dalam Hayati, 2017). Pada lima tahun awal
pernikahan masalah yang biasa terjadi adalah masalah ekonomi atau
pendapatan (Julianto & Saidiyah, 2016). Selain itu juga terjadi penyesuaian
atau adaptasi terhadap anggota keluarga masing-masing pasangan, dan teman-
temannya (Hurlock, 2012). Sedangkan pada periode selanjutnya yaitu usia
pernikahan 6-10 tahun sesuai dengan penelitian yang dilakukan Julianto &
Saidiyah (2016), masalah yang muncul berupa perbedaan pendapat dalam
mengasuh anak dan kebiasaan-kebiasaan positif yang mulai menghilang.
e. Memiliki anak.
Sampel adalah sebagian dari populasi yang memiliki ciri-ciri atau sifat yang sama
dan atau serupa dengan populasinya. Teknik pemilihan sampel yang digunakan yaitu
convenience sampling. Convenience sampling merupakan teknik sampling yang
menggunakan sekelompok individu yang dapat diakses oleh peneliti (Howitt & Cramer,
2011) dan sekelompok individu tersebut dapat digunakan sebagai sampel bila sesuai
41
dengan karakteristik sebagai sumber data (Kumar, 2011). Dalam hal ini, individu yang
dimaksud adalah individu yang memiliki karakteristik perempuan yang sudah menikah,
bekerja selama 8 jam sehari, tinggal dengan suami, usia pernikahan 0-10 tahun dan
memiliki anak.
Pada pendekatan kuantitatif, semakin besar jumlah partisipan maka dianggap akan
menghasilkan perhitungan statistik yang akurat (Kerlinger & Lee dalam Suparman,
2015). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Guilford dan Fruchter (dalam Suparman,
2015) yang menyatakan bahwa sampel yang cukup besar atau lebih dari 30 responden,
akan memungkinkan tercapainya distribusi data yang normal. Peneliti tidak mengetahui
secara pasti jumlah populasi istri yang bekerja sebagai karyawan atau pegawai di Jakarta.
Tetapi menurut BPS, di Jakarta jumlah wanita yang bekerja sebagai karyawan atau
pegawai yaitu sebanyak 1.056.523 jiwa. Sedangkan jumlah wanita yang bekerja sebagai
karyawan atau pegawai yang berusia 20 hingga 40 tahun yaitu sebanyak 743.633 jiwa.
Selain itu jumlah penduduk Jakarta yang sudah menikah pada tahun 2017 yaitu sebanyak
2.659.205 jiwa. Menurut tabel sample size Bartlett, Kotrlik, dan Higgins (2001), jika
jumlah populasi lebih dari 10.000 dengan alpha level 0.05 maka dibutuhkan setidaknya
119 partisipan sebagai sampel untuk penelitian.
42
III.E. INSTRUMEN PENELITIAN
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengambil data adalah alat ukur
Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument (TKI). Alat ukur TKI yang digunakan
merupakan alat ukur yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Sekti
(2014), dan telah digunakan dalam penelitiannya yang berjudul Gaya manajemen konflik
pada mahasiswa yang tergabung dalam lembaga kemahasiswaan UKSW. Setelah data di
ambil menggunakan alat ukur TKI maka akan dilakukan pengolahan data yang
selanjutnya dianalisis menggunakan teori yang berhubungan.
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengambil data dalam penelitian ini
adalah Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument (TKI). Alat ukur TKI dikembangkan
oleh Thomas dan Kilmann untuk melihat bagaimana seseorang mengambil sikap atau
berperilaku akan konflik yang terjadi yang melibatkan dirinya. Alat ukur ini berdasarkan
dua dimensi manajemen konflik yang dikembangkan oleh Thomas dan Kilmann yaitu
assertiveness (asertivitas) dan cooperativeness (kerjasama) (Thomas & Kilmann, 2008).
Alat ukur TKI menggunakan skala paired comparison dengan membandingkan dua buah
stimulus yang memiliki level yang sama dan responden diminta untuk memilih salah satu
stimulus diantara kedua stimulus tersebut (Eagly & Chaiken dalam Setiawati, 2012). Alat
ukur TKI terdiri dari 30 item, dimana setiap itemnya terdiri dari dua buah pernyataan A
dan B yang masing-masing pernyataan merujuk pada gaya manajemen konflik tertentu.
Responden diminta untuk memilih salah satu dari dua buah pernyataan tersebut yang
paling menggambarkan dirinya.
Hasil uji validitas dan reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu hasil
uji validitas dan reliabilitas terpakai yang sebelumnya sudah diuji oleh peneliti terdahulu.
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah content validity. Dalam hal ini,
construct validity itu sendiri adalah teknik uji validitas yang bertujuan untuk memastikan
alat ukur menggambarkan konstruk yang ingin diukur (Crocker & Algina, 2008). Peneliti
terdahulu menggunakan teknik expert judgment untuk uji validitas. Menurut Cohen dan
Swerdlik (2009), expert judgement dapat dilakukan dengan meminta para expert yang
ahli pada bidang yang sedang diukur pada alat ukur yang sedang dibuat untuk dilakukan
uji analisis kualitatif terhadap item. Dalam hal ini peneliti terdahulu meminta bantuan
43
expert untuk memberikan penilaian terhadap item-item yang sudah diterjemahkan dari
Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Sedangkan untuk reliabilitas, reliabilitas sendiri
merupakan konsistensi skor yang dapat diperoleh dari sebuah alat tes ketika
diadministrasikan kembali dengan kondisi yang sama pada seseorang (Anastasi &
Urbina, 1997). Sedangkan untuk hasil uji reliabilitas yang juga dilakukan oleh peneliti
terdahulu, didapatkan bahwa alat ukur ini memiliki reliabilitas sebesar 0,75 yang layak
digunakan sebagai alat ukur penelitian.
Reliabilitas merupakan konsistensi skor yang dapat diperoleh dari sebuah alat tes
ketika diadministrasikan kembali dengan kondisi yang sama pada seseorang (Anastasi &
Urbina dalam Primasti, 2018). Dalam hal ini, teknik reliabilitas ingin memastikan apakah
konsistensi pada skor alat test ini tetap terjaga setelah dilakukan pengadministrasian
ulang. Tujuan dari dilakukannya Prosedur reliabilitas karena hasil pengukuran psikologi
seseorang dengan satu alat tes cenderung dapat berbeda-beda jika dilakukan dalam waktu
berbeda. Hal tersebut terjadi karena adanya error of measurement yang muncul, yaitu
systematic error dan unsystematic error (Crocker & Algina dalam Primasti, 2018).
Uji reliabilitas untuk alat ukur ini menggunakan teknik uji reliabilitas single test
administration yaitu Cronbach’s Alpha. Diggunakannya teknik uji reliabiltas Cronbach’s
Alpha karena adanya content sampling error dan content heterogeneity. Content
sampling error yaitu ketika terdapat variabilitas suatu trait yang tidak relevan
mempengaruhi skor dan secara kebetulan berhubungan dengan konten yang spesifik yang
ada pada tes (Anastasi & Urbina dalam Primasti, 2018). Contoh content sampling error
misalnya apabila alat test tidak dapat mengukur salah satu sub konstruk. Sedangkan
content heteroginity adalah error yang dapat disebabkan karena ternyata alat test dapat
mengukur konstruk yang lain. Alat ukur dikatakan reliabel apabila nilai alpha melebihi
0.7 (Hair, Black, Babin, & Anderson, 2010). Rumus dari alpha cronbach yaitu:
n (S ¿ ¿ 12)
α =( ) S 21−Σ ¿
n−1 S 21
Dimana:
44
n=banyaknya item pada tes
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.983 5
Berdasarkan uji reliabilitas yang telah dilakukan, nilai Cronbach’s Alpha untuk
alat ukur Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument (TKI) adalah α = 0.938 (n: 5 α >
0,7) Maka alat tes tersebut dapat dinayatakan reliabel / tidak reliabel.
Data yang diperoleh dari survei kuesioner selanjutnya diolah dan dianalisis
menggunakan teknik statistik deskriptif. Teknik statistik deskriptif digunakan untuk
mengidentifikasi gambaran umum gaya manajemen konflik pada istri yang bekerja.
Prosedur pengolahan data secara deskriptif merangkum skor-skor yang terdapat di
lapangan agar dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca. Teknik yang umum
digunakan adalah dengan membuat persentase, dan disajikan dengan menggunakan tabel
atau diagram (Gravetter, 2013).
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, pertama dalam tahap persiapan
penelitian dan kedua adalah tahap pengambilan data atau pelaksanaan.
45
III.G.1. Persiapan Penelitian
Pada tahap persiapan, pertama peneliti menentukan topik yang akan diteliti. Topik
yang dimaksud diantaranya adalah fenomena terkait penelitian serta subjek yang ingin
diteliti. Setelah menentukan topik, kemudian peneliti menentukan konstruk yang ingin
diteliti. Topik dan konstruk penelitian yang sudah ditentukan kemudian dirangkai
menjadi sebuah judul penelitian. Judul penelitian ini adalah Gambaran tingkat gaya
manajemen konflik istri bekerja di Jakarta. Dalam penelitian ini peneliti menentukan alat
ukur yang digunakan untuk mengukur gaya manajemen konflik yaitu alat ukur Thomas-
Kilmann Conflict Mode Instrument (TKI).
46
BAB IV
Data yang didapatkan dari kuesioner yaitu sebanyak 128 yang telah diisi oleh
partisipan yang sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan. Data tersebut
berjumlah lebih banyak dari target yang telah ditentukan dengan mengacu pada table
sample size Bartlett, Kotrlik, dan Higgins (2001) yaitu sebesar 119 partisipan.
Gambaran umum partisipan dalam penelitian ini berdasarkan usia, domisili atau
kota tempat tinggal, usia pernikahan, apakah partisipan tinggal sendiri atau bersama
dengan orang tua atau mertua (nuclear family vs extended family), kisaran pendapatan
perbulan dan lama bekerja.
47
Demografi Frekuensi Persentase
● lebih dari Rp. 9.000.000 36 28,1%
Lama bekerja
● 3 bulan- 5 tahun 69 53,9%
● 6 - 10 tahun 38 29,7%
● 11 - 15 tahun 19 14,8%
● 16 - 19 tahun 2 1,6%
Tabel IV.1 menunjukkan bahwa partisipan penelitian ini didominasi oleh istri
bekerja dengan rentang usia (M= 30,8; SD= 4,88) 26-30 tahun yaitu sebanyak 47
partisipan (36,7%). Dilanjutkan dengan usia 31-35 tahun sebanyak 33 (25,8%), usia 36-
40 tahun (21,1%). Sedangkan paling sedikit adalah rentang usia 20-25 tahun dengan 21
partisipan (16,4%).
Hampir sebagian istri bekerja yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah yang
berdomisili atau bertempat tinggal di Kota Jakarta dengan 57 partisipan (44,5%).
Terbanyak kedua adalah Kota Depok dengan jumlah 34 partisipan (26,6%). Lalu Kota
Tangerang yaitu sebanyak 20 partisipan (15,6%), Kota Bekasi sebanyak 13 partisipan
(10,2%) dan yang terakhir adalah Kota Bogor sebanyak 4 partisipan (3,1%).
Istri bekerja yang berpartisipasi dalam penelitian ini sebanyak 78 partisipannya
(60,9%) merupakan sedang berada pada rentang usia pernikahan (M= 5,02; SD=2,97) 0-5
tahun. Sedangkan sebanyak 50 partisipan (39,1%) sedang berada pada rentang usia 6-10
tahun usia pernikahan.
Lebih dari sebagian partisipan yaitu sebanyak 73 partisipan (57%) merupakan istri
bekerja yang tinggal dengan keluarga besarnya, baik itu dengan mertua maupun orang
tuanya. Sedangkan untuk partisipan yang tinggal di rumah dengan hanya keluarga intinya
yaitu sebanyak 55 partisipan (43%).
Berdasarkan tabel di atas, pendapatan partisipan dengan frekuensi paling banyak
yaitu pada kisaran Rp. 6.000.001 - Rp. 9.000.000 sebanyak 47 partisipan (36,7%).
Terbanyak kedua adalah kisaran pendapatan Rp. 3.000.001 - Rp. 6.000.000 dengan 41
partisipan (31%). Lalu pendapatan lebih dari Rp. 9.000.000 sebanyak 36 partisipan
(28,1%) dan pendapatan kurang dari Rp. 3.000.000 sebanyak 4 partisipan (3,1%).
Partisipan paling banyak yang sudah bekerja (M= 6,38; SD= 4,12) selama rentang
3 bulan hingga 5 tahun sebanyak 69 partisipan (53,9%). Lalu pada rentang 6-10 tahun
sebanyak 38 partisipan (29,7%) dan rentang 11-15 tahun sebanyak 19 partisipan (14,8%).
48
Sedangkan frekuensi terendah yaitu pada rentang lama bekerja selama 16-19 tahun
sebanyak 2 partisipan (1,6%).
Dapat dilihat dari tabel dan grafik di atas bahwa dari ke-lima gaya manajemen
konflik, gaya Compromising merupakan gaya yang dominan digunakan oleh istri yang
bekerja di perkantoran dalam menyelesaikan konflik yang dialami yaitu sebanyak 93
partisipan (31,5%) menggunakan gaya ini. Kemudian gaya manajemen konflik yang juga
banyak digunakan adalah Avoiding dengan 74 partisipan (25,1%), lalu dilanjutkan dengan
Collaborating 57 partisipan (19,3%). Sedangkan Accommodating sebanyak 55 partisipan
(18,6%) dan Competing sebanyak 16 partisipan (5,4%).
49
Tabel IV. 3 Gaya Manajemen Konflik Per-Kategori Demografi
Demografi Competing Collaborating Compromising Avoiding Accommodating
Usia
● 20-25 tahun 4 6 13 4 7
● 26-30 tahun 5 14 21 13 6
● 31-35 tahun 3 6 19 6 6
● 36-40 tahun 1 3 15 14 5
Domisili
● Jakarta 3 17 27 15 14
● Bogor 0 1 3 0 0
● Depok 7 6 17 10 6
● Tangerang 2 4 15 5 1
● Bekasi 1 1 6 3 3
Usia pernikahan
● 0-5 tahun 10 23 35 19 16
● 6-10 tahun 3 6 34 13 8
Nuclear Family vs
Extended Family
● Nuclear Family 6 13 26 10 12
● Extended
Family 7 16 41 22 12
Kisaran pendapatan
● kurang dari Rp.
3.000.000 0 3 2 2 0
● Rp. 3.000.001 -
Rp. 6.000.000 3 10 26 11 6
● Rp. 6.000.001 -
Rp. 9.000.000 7 13 21 6 13
● lebih dari Rp.
9.000.000 3 3 19 13 5
Lama bekerja
● 3 bulan- 5 tahun 11 19 32 15 17
● 6 - 10 tahun 1 9 24 10 4
● 11 - 15 tahun 1 1 11 7 2
● 16 - 19 tahun 0 0 1 0 1
Tabel IV.3 untuk melihat gaya manajemen konflik yang manakah yang dominan
digunakan oleh partisipan pada setiap kategori demografi. Pada demografi usia, pada tiap
50
kategori baik itu range usia 20-25 tahun, 26-30 tahun, 31-35 tahun maupun 36-40 tahun,
gaya manajemen konflik yang dominan digunakan adalah gaya compromising.
Sedangkan gaya yang paling jarang di gunakan yaitu gaya competing.
Pada demografi Domisili, semua partisipan pada kategori yaitu Kota Jakarta, Kota
Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, dan Kota Bekasi dominan menggunakan gaya
manajemen konflik compromising. Sedangkan gaya yang paling jarang di gunakan yaitu
gaya competing.
Pada usia pernikahan, semua partisipan dari kedua range usia pernikahan, yaitu 0-
5 tahun dan 6-10 tahun gaya manajemen konflik yang paling dominan adalah gaya
compromising. Sedangkan gaya yang paling jarang di gunakan yaitu gaya competing.
Lalu pada nuclear family vs extended family, gaya manajemen konflik yang
dominan digunakan pada kedua kategori tersebut adalah gaya compromising. Sedangkan
gaya yang paling jarang di gunakan yaitu gaya competing.
Sedangkan pada kisaran pendapatan partisipan perbulan, semua partisipan pada
setiap kategori memiliki gaya manajemen konflik yang dominan berupa gaya
compromising, kecuali pada kisaran pendapatan kurang dari Rp. 3.000.000 yang memiliki
gaya manajemen konflik lebih dominan gaya collaborating. Dan gaya manajemen
konflik yang paling jarang di gunakan yaitu gaya competing.
Terakhir pada lama bekerja, pada setiap kategori range lama bekerja, yaitu 3
bulan- 5 tahun, 6 - 10 tahun, 11 - 15 tahun dan 16 - 19 tahun, gaya manajemen konflik
yang dominan adalah gaya compromising dan gaya yang paling sedikit digunakan adalah
gaya competing.
Dapat disimpulkan dari tabel di atas, bahwa hampir semua kategori demografi
memiliki gaya manajemen konflik yang paling dominan berupa gaya compromising,
kecuali pada demografi kisaran pendapatan kurang dari Rp. 3.000.000 yang memiliki
gaya manajemen konflik lebih dominan gaya collaborating.
51
BAB V
V.A. KESIMPULAN
Dari hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa gaya manajemen konflik yang
dominan digunakan oleh istri bekerja adalah gaya manajemen konflik compromising.
Secara lebih rinci, hasil analisis gaya manajemen konflik berdasarkan data demografi
berupa usia, domisili, usia pernikahan, apakah partisipan tinggal sendiri atau bersama
dengan orang tua atau mertua (nuclear family vs extended family), kisaran pendapatan
dan lama bekerja, istri yang bekerja memiliki gaya manajemen konflik yang paling
dominan berupa gaya compromising. Kecuali pada demografi kisaran pendapatan kurang
dari Rp. 3.000.000 yang memiliki gaya manajemen konflik lebih dominan gaya
collaborating.
V.B. DISKUSI
Manajemen konflik adalah langkah yang dipilih dan dilakukan oleh individu-
individu yang terlibat konflik untuk mengendalikan, mengurangi dan menyelesaikan
konflik agar menghasilkan ketenangan serta hal yang positif. Pada penelitian ini, peneliti
menggunakan 5 gaya manajemen konflik yang dikembangkan oleh Thomas dan Kilmann
(2007) yaitu berdasar dua dimensi yaitu assertiveness (asertivitas) dan cooperativeness
(kerjasama). Asertivitas terlihat saat individu berusaha untuk memuaskan kebutuhannya
sendiri, sedangkan kerjasama ketika individu mencoba untuk memuaskan kebutuhan atau
keinginan orang lain.
52
Berdasarkan analisis yang dilakukan secara deskriptif terhadap data yang
didapatkan, istri yang bekerja cenderung untuk menggunakan gaya manajemen konflik
compromising. Gaya compromising ini merupakan gaya dengan tingkat assertiveness dan
cooperativeness berada dalam kategori sedang. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Holt & DeVore (2005). Pada penelitiannya yang
dilakukan pada 123 pasangan suami dan istri yang keduanya bekerja, ia menemukan
bahwa wanita cenderung menggunakan gaya compromising.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Sekti (2014) bahwa wanita cenderung
untuk menggunakan gaya compromising ketika menghadapi konflik. Hal ini dikarenakan
wanita yang cenderung memiliki karakteristik emosional, sensitif dan kooperatif.
Compromising sendiri bertujuan untuk menemukan solusi yang bijaksana dan dapat
diterima serta menguntungkan kedua belah pihak, serta mencapai solusi sementara
dengan cepat atas masalah yang kompleks. Gaya compromising yaitu ketika tingkat
assertiveness dan cooperativeness berada dalam kategori sedang.
Gaya compromising banyak digunakan oleh istri bekerja karena istri bekerja
memiliki lebih dari satu peran, sehingga masalah yang dihadapi oleh istri yang bekerja
lebih beragam. Seperti ketika kedua peran yang dimiliki sebagai istri atau ibu rumah
tangga serta peran sebagai wanita pekerja mengalami tekanan. Peran ganda yang dimiliki
oleh ibu bekerja di satu sisi menjadi ibu yang sabar dan bijaksana untuk anak-anak serta
menjadi istri yang baik bagi suami serta menjadi ibu rumah tangga yang bertanggung
jawab atas keperluan dan urusan rumah tangga. Di tempat kerja, ibu bekerja juga
memiliki komitmen dan tanggung jawab atas pekerjaan yang dipercayakan pada mereka
hingga mereka harus menunjukkan prestasi kerja yang baik (Rini dalam Saidiyah &
Julianto, 2016).
Banyaknya peran dan peluang konflik yang dialami membuat istri bekerja harus
dapat dengan cepat mengelola konfliknya. Salah satu caranya yaitu dengan gaya
manajemen konflik compromising. Gaya manajemen konflik compromising memiliki ciri
bahwa ketika individu menghadapi konflik ia melakukan negosiasi dan tawar menawar
(exchanging concessions), memanfaatkan peluang yang ada bersama lawan konflik
secara bergantian, mengambil keputusan dengan lebih lunak atau dengan
menggabungkan gagasan pihak-pihak yang berkonflik (Thomas & Kilmann, 2008). Gaya
53
ini juga digunakan ketika individu merasa bahwa konflik terjadi tidak cukup bernilai
untuk dipertahankan, tetapi juga terlalu penting untuk dihindari. Gaya compromising
menjadi sangat efektif ketika pihak-pihak yang berkonflik membutuhkan solusi
sementara demi keberlangsungan tujuan.
Gaya kedua yang dominan digunakan oleh istri bekerja yaitu gaya avoiding. Gaya
ini adalah ketika individu menghindari konflik maupun pembahasan atau hal yang dapat
menimbulkan konflik serta menunda atau menarik diri dari konflik yang dialami untuk
sementara waktu. Banyaknya frekuensi munculnya gaya manajemen konflik ini
dikarenakan banyaknya peran serta tanggung jawab yang dimiliki sehingga individu
memilih untuk menghindari konflik dan hal yang berpotensi menimbulkan konflik atau
lebih memilih untuk menunda menyelesaikan konflik. Hal tersebut dapat berpotensi
menurunkan komunikasi kerja dan merusak hubungan antar individu karena bersifat
korosif. Namun gaya ini memposisikan individu pada posisi yang aman karena terhindar
dari konflik yang berbahaya, serta mengurangi stres dan menghemat waktu (Thomas &
Kilmann, 2008).
Salah satu contoh konflik yang biasa dihindari oleh istri bekerja adalah konflik
yang terjadi ketika mereka memiliki jabatan yang tinggi atau memiliki jabatan yang lebih
tinggi dari pasangannya atau biasa disebut fear of success. Ketika seseorang memiliki
jabatan yang tinggi maka bertambah juga tanggung jawab pekerjaannya (Prihandhany,
2015). Hal tersebut membuat wanita berpikir dua kali untuk ditempatkan pada jabatan
yang lebih tinggi karena hal tersebut dapat menyebabkan berkurangnya waktu dan
perhatian terhadap suami dan anak-anaknya. Serta ketika seorang istri memiliki jabatan
yang lebih tinggi dari pasangannya kemungkinan besar akan memunculkan masalah.
Karena hal tersebut bertentangan dengan pandangan masyarakat khususnya pada budaya
Jawa, yang masih memiliki pandangan bahwa seorang istri harus mendukung suaminya
dari belakang tanpa mendahului langkah suaminya (Ningrum, 2015).
Gaya yang paling sedikit digunakan yaitu gaya competing. Gaya ini adalah ketika
individu lebih dominan dan suka mengambil keputusan sepihak tanpa adanya negosiasi
terlebih dahulu. Wanita cenderung menjaga hubungan interpersonal, sedangkan gaya
competing ini berisiko menimbulkan disfungsi hubungan serta merusak hubungan. Serta
istri bekerja lebih memilih untuk mencari solusi dengan negosiasi atau bahkan
54
menghindari konflik, sehingga kemungkinan untuk mengambil keputusan sepihak akan
lebih kecil. Dalam menjalin hubungan baik dalam hubungan pernikahan maupun
hubungan dengan orang lain.
Masa dewasa awal adalah masa memilih pasangan hidup dan menjalani
pernikahan. Masa dewasa awal adalah masa penyesuaian diri dengan pola kehidupan dan
ditambah dengan penyesuaian diri dengan pasangan maupun keluarga pasangan ketika
menjalani pernikahan. Individu pada masa dewasa awal memiliki kematangan emosi
yang sudah stabil sehingga dapat mengelola konflik dengan cukup baik Papalia, Old dan
Feldman (dalam Mahardhika, 2013). Berdasarkan hasil analisis, gaya manajemen konflik
pada istri bekerja usia dewasa awal, yaitu usia 20-40 tahun, dominan menggunakan gaya
compromising. Gaya ini memiliki tingkat assertiveness dan cooperativeness berada dalam
kategori yang sedang.
Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat asertivitas tersebut adalah usia
seseorang. Pada anak kecil perilaku asertif belum terbentuk karena struktur kognitifnya
belum memungkinkan untuk menyatakan keinginannya dengan jelas. Pada masa remaja
dan dewasa perilaku asertif sudah semakin berkembang terutama pada orang dewasa
karena faktor pendidikan juga berpengaruh terhadap tingkat asertivitas seseorang
(Santosa dalam Erlinawati, 2009). Selain itu hal yang juga dapat mempengaruhi
dominannya gaya manajemen konflik compromising disebabkan karena pada usia
tersebut individu berada pada usia matang untuk menikah, sehingga individu akan
memiliki lebih dari satu peran. Ketika individu memiliki lebih dari satu peran maka akan
lebih banyak berhadapan dengan berbagai macam konflik. Maka individu akan
cenderung menghadapi konflik dengan mencari solusi yang cepat.
Sedangkan gaya manajemen konflik yang jarang digunakan oleh istri bekerja pada
usia dewasa awal adalah gaya competing. Jika seseorang menggunakan gaya competing
dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi maka dapat beresiko individu mengalami
55
hubungan yang disfungsional dan merusak hubungan dengan pasangan maupun orang
lain (Thomas & Kilmann, 2008). Dalam peran gender tradisional, pria dianggap lebih
superior dan lebih berkuasa dibandingkan perempuan. Menurut Stanley & Algert (2007),
kekuasaan atau power yang dimiliki oleh sesreorang akan mempengaruhi gaya
manajemen yang digunakan. Pria akan cenderung menggunakan gaya manajemen konflik
tertentu yang bersifat agresif. Berkebalikan dengan wanita, wanita cenderung
menggunakan gaya manajemen konflik yang tidak seasertif pria, maka wanita lebih
jarang menggunakan gaya competing karena gaya competing memiliki tingkat asertivitas
yang tinggi.
Memasuki kehidupan pernikahan, ada beberapa periode yang akan dilalui oleh
setiap pasangan suami istri. Periode-periode tersebut antara lain; periode awal, periode
pertengahan, dan periode matang (Walgito dalam Hayati, 2017). Pada penelitian ini,
salah satu kriteria partisipan adalah dalam usia pernikahan 0-10 tahun. Pada usia ini
pasangan berada pada periode awal pernikahan. Dimana periode ini merupakan periode
yang sulit untuk dilalui karena pasangan tidak dapat memprediksi ketegangan atau
konflik yang akan terjadi.
Pada penelitian ini, didapatkan data bahwa pada usia 0-10 tahun pernikahan gaya
yang paling dominan adalah gaya compromising. Pada lima tahun awal pernikahan ini
masalah yang biasa terjadi adalah masalah ekonomi atau pendapatan (Julianto &
Saidiyah, 2016). Selain itu juga terjadi penyesuaian atau adaptasi terhadap anggota
keluarga masing-masing pasangan, dan teman-temannya (Hurlock, 2012).
Sedangkan pada periode selanjutnya yaitu usia pernikahan 6-10 tahun sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Julianto & Saidiyah (2016), masalah yang muncul
berupa perbedaan pendapat dalam mengasuh anak dan kebiasaan-kebiasaan positif yang
mulai menghilang. Hal-hal tersebut dapat teratasi dengan membangun kesiapan dalam hal
bekerja dengan mencari pengalaman dalam dunia pekerjaan agar masalah ekonomi dapat
56
diatasi dengan baik, serta harus membangun kesiapan beradaptasi dengan keluarga baru
sebelum memasuki pernikahan.
Keluarga hal yang berperan penting bagi pembentukan pribadi seseorang karena
suasana keluarga mempengaruhi perkembangan emosi, respon afektif, anak, remaja dan
orang dewasa (Gunarsa & Gunarsa, dalam Solikah 2010). Pasangan baru yang
memutuskan tinggal bersama orangtua dari salah satu pihak suami atau istri, dengan
demikian pihak suami atau istri tersebut tinggal bersama mertua, keluarga yang demikian
termasuk keluarga besar (extended family). Extended family bisa terdiri dari suami, istri,
anak dengan orangtua atau mertua, kakek, nenek, kakak, adik, kakak atau adik ipar.
Beberapa kepala keluarga yang tinggal dalam satu rumah dapat memicu terjadinya
konflik eksternal, yaitu konflik antar anggota keluarga besar. Serta konflik internal, yaitu
konflik antara suami-istri, sebagai bagian dari anggota keluarga besar.
Konflik akan kemungkinan besar terjadi pada keluarga yang tinggal dengan
anggota keluarga yang lebih besar. Pada penelitian ini, sebanyak 73 istri bekerja yang
menjadi partisipan tinggal bersama dengan keluarga besarnya (extended family).
Sedangkan sebanyak 55 partisipan tinggal dengan keluarga inti (nuclear family). Pada
nuclear family vs extended family ini, gaya manajemen konflik yang dominan digunakan
pada kedua kategori tersebut adalah gaya compromising. Sedangkan gaya yang paling
jarang di gunakan yaitu gaya competing.
Konflik yang terjadi di keluarga besar, terutama orang tua, adalah karena orang
tua merasa memiliki kepentingan dan berhak untuk campur tangan atas kehidupan rumah
tangga anaknya (Gunarsa & Gunarsa, 2012). Istri bekerja dominan menggunakan gaya
compromising karena ingin segera menyelesaikan masalah agar tidak terjadi konflik yang
berkelanjutan dengan keluarga. Namun hal tersebut sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Rossalia dan Priadi (2018). Gaya manajemen yang digunakan oleh istri
ketika terjadi konflik adalah gaya confrontive, yaitu perilaku mengekspresikan pikiran
dan perasaan terkait perbedaan. Tetapi gaya manajemen style yang cenderung digunakan
oleh istri bekerja jika terjadi masalah dengan orang tua atau mertua yaitu dengan gaya
57
avoidance, dimana gaya avoidance adalah perilaku mengindari diskusi secara langsung
mengenai konflik yang dihadapi.
Saat ini kebanyakan dari istri juga bekerja seperti halnya suami, istri yang bekerja
merupakan fenomena yang banyak terjadi khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta
dan sekitarnya. Hal tersebut dikarenakan tingginya biaya hidup yang perlu dipenuhi
(BPS, 2014). Pada kisaran pendapatan partisipan perbulan, semua partisipan pada setiap
kategori memiliki gaya manajemen konflik yang dominan berupa gaya compromising,
kecuali pada kisaran pendapatan kurang dari Rp. 3.000.000 yang memiliki gaya
manajemen konflik lebih dominan gaya collaborating. Dan gaya manajemen konflik
yang paling jarang di gunakan yaitu gaya competing.
Lama bekerja atau masa kerja menurut Rudiansyah (2014) adalah lamanya
seorang karyawan memberikan tenaganya pada perusahaan tertentu. Semakin
berpengalaman seorang karyawan maka akan semakin membantu perusahaan untuk
menghasilkan kinerja atau output yang lebih banyak dan lebih baik. Lama kerja karyawan
dalam perusahaan dipandang berpengaruh terhadap kualitas kerja karyawan, karena
dengan masa kerja yang lebih lama karyawan akan memiliki lebih banyak pengalaman
dan keterampilan yang lebih baik dalam menyelesaikan pekerjaannya. Sejalan dengan
masa kerja yang bertambah, karyawan diharapkan semakin berkembang dan menguasai
58
pekerjaannya dengan lebih baik serta dapat mengatasi berbagai macam persoalan yang
berkaitan dengan pekerjaannya (Fitriantoro, 2009).
Gaya manajemen konflik yang dimiliki oleh partisipan baik yang berada dalam
kategori lama bekerja 3 bulan-5 tahun maupun lama bekerja 6-10 tahun yaitu gaya
compromising. Sedangkan gaya manajemen konflik yang jarang dimiliki adalah gaya
competing. Menurut Safitri, Burhan, dan Zulkarnain (2013) dalam penelitiannya, gaya
compromising berkorelasi positif dengan dimensi kepribadian openness, concentiousness
dan agreeableness. Hal tersebut karena dalam gaya compromising terjadi pertukaran
informasi dan keterbukaan untuk menyatukan perbedaan, serta terdapat kepercayaaan
antar dua pihak yang berkonflik sehingga mudah untuk bertukar pendapat. Diharapkan
dengan semakin lamanya masa kerja seseorang maka semakin tinggi pula tingkat
cooperativenessnya. Karena menurut Hasibuan (2012), salah satu syarat seseorang dapat
promosi jabatan adalah ketika ia memiliki tingkat kerja sama yang tinggi. Karena ketika
karyawan dapat berkerja sama dengan sesama karyawan untuk mencapai tujuan
perusahaan maka akan tercipta suasana hubungan kerja yang baik.
V.C. SARAN
59
V.C.2. Saran Praktis
Saran bagi istri yang bekerja adalah agar dapat mengembangkan kemampuan
untuk memahami gaya manajemen apa yang dimiliki dan menggunakan gaya manajemen
dengan baik. Selain itu saran bagi perusahaan untuk dapat memberikan pelatihan
mengenai gaya manajemen konflik, khususnya pada karyawan wanita, agar karyawan
wanita di perusahaan dapat mengelola konflik yang dialami dengan baik, dengan begitu
karyawan akan dapat bekerja dengan optimal.
60
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Z., & Kartika, K. (2016). Konflik peran ganda dan keberfungsian keluarga pada
ibu yang bekerja. Jurnal penelitian dan pengukuran psikologi. 5(2), 63-69.
Amstad, F.T., Meier, L.L., Fasel, U., Elfering, A., dan Semmer, N.K. (2011). A Meta-
analysis of work family conflict and various outcomes with a special emphasis on
cross-domain versus matching-domain relations. Journal of Occupational Health
and Psychology. Vol 16 (2), p 151-169.
Aminah. (2009). Penyesuaian perkawinan pada janda yang menikah lagi di kalangan
Etnis Arab. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Andriani, C. F. (2016). Attachment sebagai prediktor tingkat passion pada individu
dewasa awal yang menjalani pernikahan jarak jauh. Skripsi. Universitas Sanata
Dharma.
Andromeda, & Noviajati, P. (2015). Berjuang dan terus bertahan: Studi kasus kepuasan
perkawinan pada istri sebagai tulang punggung keluarga.
http://mpsi.umm.ac.id/files/file/557-563%20zzAndromeda.pdf
Anjani, C., & Suryanto. (2006). Pola penyesuaian perkawinan pada periode awal. Insan,
8(3), 198-210.
Ansari, S.A. (2011). Gender difference: Work and family conflicts and family-work
conflicts. Pakistan Business Review.
Archuleta, K. L., Britt, S. L., Tonn, T. J., & Grable, J. E. (2011). Financial satisfaction
and financial stressors in marital satisfaction. Psychology Reports Abstracts,
108(2), 563-576.
Apperson, M., Schmidt, H., Moore, S., Grunberg, L., & Greenberg, E. (2002). Women
managers and the experience of work-family conflict. American Journal of
Undergraduate Research. Vol.1. No.3.
Aprianti, K. (2016). Gambaran gaya resolusi konflik pada pasangan yang menikah dini di
Kabupaten Bandung. Skripsi. Unpad.
Asri, W. W. A. (2013). Peran ibu rumah tangga dalam meningkatkan kesejahteraan
keluarga. Semarang. Universitas Negeri Semarang.
61
Atieka, N. (2011). Mengatasi konflik rumah tangga (Studi BK keluarga). GUIDENA,
1(1).
Aycan, Z., & Eskin, M. (2005). Relative contributions of childcare, spousal support, and
organizational support in reducing work‐family conflict for men and women: The
case of Turkey. Sex Roles, 53 (8), 453‐471.
Akbar, Z., & Kartika, K. (2016). Konflik peran ganda dan keberfungsian keluarga pada
ibu bekerja. Jurnal penelitian dan pengukuran psikologi, 5(2), 63-69.
Asyari, Y. (30 November 2017). Kesetaraan gender di dunia industri, Jumlah pekerja
perempuan naik. Diakses pada 29 Maret 2019 dari
https://www.jawapos.com/ekonomi/30/11/2017/kesetaraan-gender-di-dunia-
industri-jumlah-pekerja-perempuan-naik
Badan Pusat Statistik (BPS). 2018. Penduduk berumur 15 tahun keatas yang berkeja
menurut kelompok umur dan status pekerjaan utama.
https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?
wid=3100000000&tid=316&fi1=58&fi2=2
Bartlett, J. E., Kotrlik, J. W., & Higgins, C. (2001). Organizational research: Determining
appropriate sample size in survey research. Information technology, learning, and
performance journal, 19(1), 43-50.
Bellavia. G. & Frone, M. 2005. Work-family conflict. Handbook of Work Stress. Sage
Publications: Thousand Oaks.
Cohen, R. J. dan Swerdlik, M. 2010. Psychology testing and assessment: An introduction
to tests and measurement, 7th ed. USA: McGraw-Hill
Crocker, L., Algina, J. (1986). Introduction to classical and modern test theory. New
York: Horcourt Brace Jovanovich
Desmayanti, S. (2009). Hubungan antara resolusi konflik dan kepuasan pernikahan pada
pasangan suami istri bekerja pada masa awal pernikahan. Skripsi.
Dewi, E. M, & Bastin. (2008). Konflik perkawinan dan model penyelesaian konflik pada
pasangan suami istri. Jurnal psikologi 2(1), 42-51.
Eny. (2013, 4 November). Ini penyebab nomor 1 pasangan menikah akhirnya cerai.
Diakses pada tanggal 1 April 2019 dari
62
http://wolipop.detik.com/read/2013/11/24/121226/2421864/854/ini-penyebab-
nomer-1-pasangan-menikah-akhirnya-cerai
Erlinawati, A. M. (2009). Kecenderungan perilaku asertif pada remaja akhir di
Yogyakarta. Skripsi. Universitas Dharma Yogyakarta.
Fakhruddin, S. (2015). Hubungan manajemen konflik dengan kinerja tenaga kesehatan di
Puskesmas Pesisir Kabupaten Pangkep. Jurnal. Makassar: Universitas Hasanuddin
Makassar.
Fitria, V., & Ummah, S. C. (2011). Peran gender suami istri dalam keluarga dan kasus
cerai gugat di Kabupaten Bantul tahun 2008-2010. Jurnal Penelitian Humaniora,
17(1).
Fitriantoro, A. R. (2009). Hubungan antara usia dan masa kerja dengan kinerja dosen.
Skripsi. Universitas Sanata Dharma
Florent, A. (2010). Pengaruh manajemen konflik terhadap kinerja karyawan pada
karyawan PT. Pln (Persero) Cabang Medan. Skripsi. Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
Gradianti, T. A, & Suprapti, V. (2014). Gaya penyelesaian konflik perkawinan pada
pasangan dual earner. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan 3 (3), 199-
206.
George, Jennifer and Gareth R Jones. (2008). Understanding and managing
organizational behavior. 5th ed. Pearson Education, Inc, New Jersey.
Handayani, M.M., Suminar, D.R., Hendriani, W., Alfian, I.N., & Hartini, N. (2008).
Psikologi Keluarga. Surabaya: Unit penelitian dan publikasi psikologi.
Handayani, Y. (2016). Komitmen, conflict resolution dan kepuasan perkawinan pada istri
yang menjalani hubungan pernikahan jarak jauh (karyawan Schlumberger
Balikpapan).
Halford, W. K., Lizzio, A., Wilson, K. L., & Occhipinti. (2007). Does working at your
marriage help? Couple relationship self-regulation and satisfaction in first 4 years
of marriage. Journal of Family Psychology, 21(2), 185-194.
Hair, J. F., Black, W. C., Babin, B. J., & Anderson, R. E. (2010). Multivariate data
analysis. NJ: Prentice Hall.
63
Hasibuan M. S.P. 2012. Manajemen sumber daya manusia, cetakan keenam belas.
Jakarta: PT. Bumi Aksara
Hayati, L. R. (2017). Kepuasan perkawinan pada pasangan suami istri di sepuluh tahun
usia pernikahan. Skripsi http://eprints.ums.ac.id/56019/5/BAB%201.pdf
Haryati. (2017). Penyesuaian pernikahan dan model resolusi konflik pada menantu
perempuan yang tinggal serumah dengan mertua. Psikoborneo, 5(4), 833-843.
Hirschberger, G., Srivastava, S., Marsh, P., Cowan, C. P., & Cowan, P. A. (2011).
Attachment, marital satisfaction, and divorce during the first fifteen years of
parenthood. Personal Relationships, 16(3), 401–420.
http://dx.doi.org/10.1111/j.1475-6811.2009.01230.x.
Hurlock, E.B. (2012). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. (5th ed). Jakarta: Erlangga.
Primasti, I. G. A. (2018). Preferensi bidang minat kerja. Universitas Katolik Indonesia
Atma Jaya.
Jhonson, David W & Jhonson, Frank P. (2012). Dinamika kelompok teori dan
keterampilan. Alih bahasa Theresia. SS. Jakarta: Indeks.
Julianto, V., & Saidiyah, S. (2016). Problem pernikahan dan strategi penyelesaiannya:
Studi kasus pada pasangan suami isteri dengan usia perkawinan dibawah sepuluh
tahun. Jurnal Psikologi Undip. 15(2), 124-133
Killis, G. (2006). Dinamika konflik pada masa awal perkawinan. Skripsi. Depok.
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Kumar, R. (2011). Research Methodology: A step-by-step guide for beginners. (3rd Ed.).
New Delhi: Sage.
Kurniasari, C. A. (2007). Perbedaan manajemen konflik suami dan istri. Skripsi.
Kreitner, Robert & Knicki Angelo. (2014). Perilaku organisasi. Jakarta: Salemba Empat
Laksmi, N. A. P., & Hadi, C. (2012). Hubungan antara konflik peran ganda (work family
conflict) dengan kepuasan kerja pada karyawati bagian produksi PT. X. Jurnal
Psikologi Organisasi, 1(2), 124-130.
Larasati, A. (2012). Kepuasan perkawinan pada istri ditinjau dari keterlibatan suami
dalam menghadapi tuntutan ekonomi dan pembagian peran dalam rumah tangga.
Skripsi. Universitas Airlangga.
64
Mijilputri, N. (2015). Peran dukungan sosial terhadap kesepian istri yang menjalani
hubungan pernikahan jarak jauh (long distance marriage). eJournal psikologi 3(2),
447-491.
Minarsih, M. M. (2011). Konflik kerja, stres kerja dan cara mengatasinya. Jurnal
Dinamika Sains. Hlm 1-11.
Nasution, S. (2008). Metode research (Penelitian ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.
Ningrum, D. W. N. K. (2015). Fear of success pada wanita jawa yang bekerja. Skripsi.
Universitas Gunadarma.
Novitasari, A. (2015). Pengaruh konflik pekerjaan-keluarga dan konflik keluarga-
pekerjaan pada kepuasan kerja dengan sentralitas pekerjaan-keluarga sebagai
variabel moderator (Studi pada perawat instalasi rawat inap jiwa RSJ Prof. dr.
Soerojo Magelang). Skripsi. Jurusan Manajemen. Fakultas Ekonomi. Universitas
Negeri Semarang.
Mahardhika, A. R. (2013). Gambaran pencaharian makna hidup pada wanita dewasa
muda yang mengalami kematian suami mendadak. Jurnal Psikogenesis, 1 (2),
107-114.
Papalia, D. E., Old, S., & Feldman, R. (2009). Human development (Psikologi
Perkembangan) (10th ed). Jakarta: Salemba Humanika.
Prasetyo, B., & Jannah, L. M. (2008). Metode penelitian kuantitatif. Jakarta: Rajawali
Pers.
Prihandhany, E. A. (2015). Fear of success ditinjau dari status pernikahan (Studi
komparasi pada wanita pekerja). Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
Pruitt, D. G & Rubin, J. Z. (2009). Teori konflik sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Putra, P. (2011). Konflik dalam pelaksanaan tugas di Perpustakaan MBRC. Skripsi.
Universitas Indonesia.
Putri, D. P., & Lestari, S. (2015). Pembagian peran dalam rumah tangga pada pasangan
suami istri Jawa. Jurnal Penelitian Humaniora, 16(1), 72-85.
Raymo, J. M. and Sweeney, M. M. (2005). Work-family conflict and retirement
preferences. California Center for Population Research On-Line Working Paper
Series.
Rudiansyah. (2014). Manajemen kepegawaian, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
65
Rossalia, N., Priadi, M. A. G. (2018). Conflict management style pada pasangan suami
istri yang tinggal bersama mertua. Jurnal Ilmiah Psikologi MANASA, 7(1), 35-
50.
Safitri, R., Burhan, O. K., & Zulkarnain. (2013). Gaya manajemen konflik dan
kepribadian. Psikologia, 8(2), 39-49.
Santrock, J. (2012). Life-span development: Perkembangan masa hidup Jilid Satu (edisi
Ketigabelas). Jakarta: Erlangga.
Santrock, J. W. (2007). Perkembangan anak. Jakarta: Erlangga.
Sadarjoen, S.S. 2005. Konflik marital: Pemahaman konseptual, aktual dan alternatif
solusinya. Bandung: Refika Aditama.
Sekti, W. A. (2014). Gaya manajemen konflik pada mahasiswa yang tergabung dalam
lembaga kemahasiswaan UKSW. Skripsi. Universitas Kristen Satya Wacana.
Setiawati, F. A. (2012). Paired comparison sebagai sebuah model instrumen untuk
menggali karakteristik nonkognitif siswa. Guidance and Counseling Department,
Yogyakarta State University.
Simandjuntak, N. A. M. (2009). Kualitas pelayanan... Skripsi. FISIP UI.
Siti, S. (2010). Konflik interpersonal antara anggota keluarga besar. Skripsi. Fakultas
psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Stanley, C. A., & Nancy E. A. (2007). Conflict management. Journal of Effective
Practices for Academic Leaders. 2 (9), 1-16.
Sulistiawan, J. & Armuninggar, A. (2017). Konflik pekerjaan-keluarga: Tipe konflik dan
dampaknya pada kepuasan. Jurnal Ilmiah Manajemen, 7(1), 132-149.
Sunarta. (2010). Konflik dalam organisasi (Merugikan sekaligus menguntungkan).
Efisiensi, 1(10), 55-72.
Suparman, R. (2015). Tipe kepribadian big five dan employee engagement pada
karyawan di kantor pusat sebuah perusahaan penyedia jasa transportasi darat di
Kota Bandung. Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia.
Suryani, I. (2008). Perbedaan kepuasan pernikahan wanita bekerja dan tidak bekerja.
Thesis. Universitas Indonesia.
Thomas, K. W., & Kilmann, R. H. (2008). Thomas-Kilmann conflict mode instrument
profile and interpretive report. CPP, Inc.
66
van Steenbergen, E.F., Kluwer, E.S., dan Karney, B.R. (2014). Work family enrichment,
work family conflict and marital satisfaction: A dyadic analysis. Journal of
Occupational Health Psychology. Vol 19 (2), p 182-194.
67
Wirapratama, J. D. (2017). Hubungan intercultural sensitivity (ICS) dengan
organizational citizenship behaviour (ICS) pada karyawan perusahaan
multinasional di Jakarta. Skripsi.
Wahyudi. (2011). Manajemen konflik dalam organisasi. Bandung: Alfabeta.
Wirawan. (2010). Manajemen dan manajemen konflik. Jakarta: Salemba Humanika.
Wirawan. (2013). Konflik dan manajemen konflik (Teori, aplikasi dan penelitian).
Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Wulandari. (2012). Hubungan konflik peran ganda dengan stress kerja karyawan
wanita di pusat administrasi Universitas Indonesia. Skripsi. Universitas
Indonesia.
LAMPIRAN
Kata Pengantar
Selamat Pagi/Siang/Sore/Malam,
Jika Anda memenuhi kriteria di atas, saya mohon kesediaan Anda untuk
menjadi partisipan penelitian dengan mengisi data pribadi dan kuesioner terlampir.
Adapun identitas diri dan data-data yang Anda berikan akan dijaga
kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian saja. Segala
bentuk pertanyaan, keluhan, serta komentar terkait kuesioner dapat disampaikan
melalui email listiawulan12@gmail.com.
69
Atas perhatian dan bantuannya, saya ucapkan terimakasih.
Hormat saya,
Listia Wulan Sari
70
Data Partisipan
Silahkan Anda mengisi data Anda di bawah ini. Data Anda akan dijaga
kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian ini saja.
1. Nama/Inisial :
2. Usia :
3. Jenis Kelamin : L / P
4. Kota tempat tinggal:
5. Status Anda saat ini: Menikah / Belum Menikah
6. Sudah berapa lama Anda menikah?
7. Apakah saat ini Anda tinggal di rumah orang tua atau mertua Anda? Ya / Tidak
8. Apakah sebelum menikah Anda menjalani masa pengenalan atau masa berpacaran?
Ya / Tidak
9. Jika ya, berapa lama Anda menjalani masa pengenalan atau berpacaran?
10. Bidang pekerjaan apa yang sedang Anda jalani?
11. Apa posisi Anda di tempat bekerja?
12. Sudah berapa lama Anda bekerja?
13. Berapa kisaran pendapatan Anda perbulan?
o kurang dari Rp. 3.000.000
o Rp. 3.000.001 - Rp. 4.500.000
o Rp. 4.500.001 - Rp. 6.000.000
o Rp. 6.000.001 - Rp. 7.500.000
o Rp. 7.500.001 - Rp. 9.000.000
o Rp. 9.000.001 - Rp. 10.500.000
o lebih dari Rp. 10.500.000
14. Apakah suami tahu Anda bekerja? Ya / Tidak
15. Apakah suami mendukung Anda untuk bekerja? Ya / Tidak
16. Apa alasan anda tetap bekerja setelah menikah?
17. Apakah suami Anda saat ini bekerja? Ya / Tidak
18. Apa bidang pekerjaan suami Anda?
19. Berapa kisaran pendapatan suami Anda perbulan?
o kurang dari Rp. 3.000.000
o Rp. 3.000.001 - Rp. 4.500.000
o Rp. 4.500.001 - Rp. 6.000.000
o Rp. 6.000.001 - Rp. 7.500.000
o Rp. 7.500.001 - Rp. 9.000.000
o Rp. 9.000.001 - Rp. 10.500.000
o lebih dari Rp. 10.500.000
20. Apakah Anda tinggal bersama dengan suami Anda? Ya / Tidak
21. Berapa jumlah anak Anda?
71
22. Berapa usia anak Anda saat ini?
23. Duduk di kelas berapa anak Anda saat ini?
24. Apakah Anda tinggal bersama dengan anak Anda? Ya / Tidak
25. Apakah Anda pernah menghadapi masalah atau konflik di dalam kehidupan
rumah tangga Anda? Ya / Tidak
26. Masalah apa yang biasa terjadi di kehidupan rumah tangga Anda?
27. Bagaimana Anda menyelesaikan masalah yang terjadi di kehidupan rumah tangga
Anda?
28. Apakah Anda merasa puas dengan pernikahan Anda? Ya / Tidak
29. Nomor telepon yang bisa dihubungi:
30. Apakah Anda bersedia dihubungi kembali jika peneliti membutuhkan data
tambahan? Ya / Tidak
72
Instruksi Pengerjaan
Pada bagian ini Anda akan dihadapkan pada 30 butir soal. Ketika mengisi kuesioner
ini, Anda diminta untuk membayangkan jika Anda berada pada situasi dimana apa
yang Anda kehendaki berbeda dengan kehendak orang lain. Bagaimanakah Anda
merespon situasi tersebut?
Cara pengerjaan:
Pada tiap soalnya, Anda diminta untuk memilih salah satu pernyataan A atau B yang
paling menggambarkan perilaku anda ketika menghadapi situasi konflik. Jika ada
pernyataan "A" atau "B" mungkin tidak terlalu sesuai dengan diri Anda, Anda tetap
harus memilih salah satu pernyataan yang kemungkinan besar akan Anda lakukan.
Perlu dipahami bahwa pada tiap soal tidak ada jawaban yang benar atau salah.
Pilihlah jawaban yang paling sesuai dengan diri anda dan jawab dengan sejujur-
jujurnya.
Setiap jawaban yang Anda berikan akan dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan
untuk kepentingan penelitian ini saja.
73
Kuesioner Gaya Manajemen Konflik
74
14. A. Saya membagikan ide saya kepada orang lain dan menanyakan
pendapatnya
B. Saya berusaha meyakinkan orang lain mengenai keuntungan dari jabatan
yang saya miliki
15. A. Saya berusaha untuk meredakan emosi orang lain dan memelihara
hubungan kami
B. Saya berusaha melakukan apa yang perlu dilakukan untuk menghindari
ketegangan
16. A. Saya berusaha untuk tidak menyakiti perasaan orang lain
B. Saya berusaha meyakinkan orang lain mengenai keuntungan dari jabatan
saya
17. A. Saya konsisten dalam mencapai tujuan
B. Saya berusaha melakukan apa yang perlu dilakukan demi menghindari
ketegangan yang tidak diperlukan
18. A. Saya akan membiarkan orang lain mempertahankan pendapatnya, jika itu
membuatnya senang
B. Saya akan membiarkan orang lain mengambil bagiannya jika saya pun
mendapatkan bagian saya mengambil bagian saya dan membiarkan
19. A. Saya berusaha untuk segera menyelesaikan semua urusan dan
permasalahan dengan terbuka
B. Saya berusaha menunda persoalan hingga saya mempunyai waktu untuk
memikirkannya
20. A. Saya berusaha untuk segera bekerja dan meninggalkan perbedaan yang ada
B. Saya berusaha menemukan perpaduan yang adil dalam membagi
keuntungan dan kerugian di kedua belah pihak
21. A. Dalam bernegosiasi, saya benar-benar mempertimbangkan kepentingan
orang lain
B. Saya cenderung mengarah langsung pada pembahasan masalah
22. A. Saya berusaha menjadi penghubung antara posisi orang lain dan posisi
saya
B. Saya memperjuangkan apa yang menjadi ambisi saya
23. A. Seringkali saya berusaha untuk memuaskan keinginan dari semua pihak
B. Ada saat-saat dimana saya membiarkan orang lain mengambil tanggung
jawab untuk memecahkan masalah
24. A. Saya akan berusaha memenuhi keinginan orang lain jika itu sangat penting
baginya
B. Saya berusaha menemui orang lain untuk menemukan solusi yang
disepakati bersama
25. A. Saya berusaha meyakinkan orang lain mengenai keuntungan dari jabatan
yang saya miliki
B. Dalam bernegosiasi, saya benar-benar mempertimbangkan keinginan
orang lain
26. A. Saya mengusulkan jalan tengah
75
B. Saya cenderung berusaha untuk memuaskan keinginan semua pihak
27. A. Terkadang saya menghindari situasi yang menimbulkan perselisihan
B. Saya akan membiarkan orang lain mempertahankan pendapatnya, jika itu
membuatnya senang
28. A. Saya konsisten dalam mencapai tujuan
B. Biasanya saya meminta bantuan orang lain untuk mencari solusi
29. A. Saya mengusulkan jalan tengah
B. Saya merasa perbedaan tidak terlalu penting untuk dikhawatirkan
30. A. Saya berusaha untuk tidak menyakiti perasaan orang lain
B. Saya selalu membagi permasalahan dengan orang lain, sehingga kami
dapat
menyelesaikannya bersama-sama
76
Lampiran B. Skoring Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument
Collaboratin Compromisin Accommodatin
Competing Avoiding
g g g
(Problem (Withdrawal
(Forcing) (Sharing) (Smoothing)
Solving) )
1. A B
2. B A
3. A B
4. A B
5. A B
6. B A
7. B A
8. A B
9. B A
10
A B
.
11
A B
.
12
B A
.
13
B A
.
14
B A
.
15
B A
.
16
B A
.
17
A B
.
18
B A
.
19
A B
.
20
A B
.
21
B A
.
22
B A
.
77
23
A B
.
24
B A
.
25
A B
.
26
B A
.
27
A B
.
28
A B
.
29
A B
.
30
B A
.
Total the number of letters circled in each column.
Collaboratin Compromisin Accommodatin
Competing Avoiding
g g g
(Problem (Withdrawal
(Forcing) (Sharing) (Smoothing)
Solving) )
____ ____ ____ ____ ____
Item-Total Statistics
Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance if Corrected Item- Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Total Correlation Deleted
78