Anda di halaman 1dari 37

MODUL

PROSES PEMBENTUKAN KARAKTER

Disusun Oleh :
KELOMPOK 3

1. RISKA TRIAHYUNI 1926041017.P


2. DIAN PURNAMA SARI 1926041018.P
3. MARTINA FITRIANA 1926041019.P
4. LILI SURYANTI 1926041020.P
5. SHELVIA YOLANDA 1926041021.P
6. WULANDARI 1926041022.P
7. RONA FEBRIANTI 1926041023.P
8. FITRI YULIDARTI 1926041024.P

KELAS BLOK C

PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA TERAPAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
TRI MANDIRI SAKTI
BENGKULU
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan puji syukur dengan berkat


rahmat Allah SWT, yang telah memudahkan kami dalam
menyelesaikan modul ini dengan baik. Shalawat dan salam
semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasulullah
terakhir yang diutus dengan membawa syari’ah yang mudah,
penuh rahmat, dan membawa keselamatan dalam kehidupan
dunia dan akhirat.
Kami telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan yang ada agar modul ini dapat tersusun sesuai
harapan. Sesuai dengan fitrahnya, manusia diciptakan Allah
sebagai makhluk yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan,
maka dalam modul yang kami susun ini belum mencapai tahap
kesempurnaan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
turut membantu dalam proses penyelesaian modul ini. Mudah-
mudahan modul ini dapat memberikan manfaat untuk kita
semua dalam kehidupan sehari-hari.

Bengkulu, April 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................... ii


DAFTAR ISI .............................................................. iii
MATERI I METODE PEMBENTUKAN KARAKTER.............. 3
MATERI II TAHAP PEMBENTUKAN KARAKTER............... 10
MATERI III PEMBENTUKAN KARAKTER YANG INTEGRAL 19
DAFTAR PUSTAKA..................................................... 29
LAMPIRAN................................................................ 30

iii
A.PENGANTAR
Dalam ilmu antropologi, yang telah menjadikan berbagai
cara hidup manusia dengan berbagai macam sistem tindakan
tadi sebagai obyek penelitian dan analisanya, aspek belajar itu
merupakan aspek yang sangat penting. Itulah sebabnya dalam
hal memberi pembatasan terhadap konsep “kebudayaan” atau
Culture itu, artinya dalam hal memberi definisi terhadap
konsep “kebudayaan”, ilmu antropologi seringkali sangat
berbeda dengan berbagai ilmu lain. Juga apabila dibandingkan
dengan arti yang biasanya diberikan kepada konsep itu dalam
bahasa sehari-hari, yaitu arti yang terbatas kepada hal-hal
yang indah seperti candi, tari-tarian, seni rupa, seni suara,
kesustraan dan filsafat, definisi ilmu antropologi lebih luas sifat
dan ruang lingkupnya. Menurut ilmu antropologi.
“Kebudayaan” adalah : kesuluruhan sistem gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

B.KOMPETENSI DASAR
Mahasiwa dapat menjelaskan dan memahami Proses
Pembentukan Karakter

C.TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mengetahui Metode Pembentukan Karakter
2. Mengetahui Tahap Pembentukan Karakter
3. Mengetahui Pembentukan Karakter Yang Integral

D. MATERI
1. Metode Pembentukan Karakter
2. Tahap Pembentukan Karakter

1
3. Pembentukan Karakter Yang Integral

E. URAIAN MATERI

2
Pengantar
Dalam upaya mendidik karakter anak, maka harus disesuaikan dengan dunia anak
tersebut. Selain itu juga harus disesuaikan sengan pertumbuhan dan
perkembangan anak tersebut. Melalui pendidikan keluarga, sekolah, dan
lingkungan sosial anak bisa mengetahui dan mengembangkan karakter yang ia
miliki. Sehingga, dalam hal ini ketiga lingkungan tersebut haruslah menjadi
lingkungan yang baik dan positif, terutama lingkungan keluarga. Keluarga
merupakan dunia pertama yang akan ditemui dan di alami anak. Maka dari itu,
orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter
anak. Pendidikan Agama merupakan pendidikan terpenting yang harus diajarkan
dan ditanamkan kepada anak sejak dini. Karena agama sebagai unsur esensi dalam
kepribadian manusia dapat memberikan peranan positif dalam perjalanan
kehidupan manusia, selain kebenarannya masih dapat diyakini secara mutlak.
Pendidikan agama berperan sebagai pengendali dan pengontrol tingkah laku atau
perbuatan yang terlahir dari sebuah keinginan yang berdasarkan emosi. Jika
pendidikan agama sudah terbiasa dijadikannya sebagai pedoman dalam kehidupan
sehari-hari dan sudah ditanamkannya sejak dini, maka tingkah lakunya akan lebih
terkendali dan terkontrol.

3
MATERI I
METODE PEMBENTUKAN KARAKTER

Pembentukan karakter itu sifat dasarnya pareliniel (batini), namun ia juga


harus dapat dilakukan melalui pendidikan. Pendidikan karakter itu bersifat
’developmental’. Materi pendidikan yang bersifat ’developmental’ menghendaki
proses pendidikan yang cukup panjang dan bersifat saling menguat (reinforce)
antara kegiatan belajar dengan kegiatan belajar lainnya, antara proses belajar di
kelas dengan kegiatan kurikuler di sekolah dan di luar sekolah.
Materi belajar ranah pengetahuan/kognitif dapat dijadikan pokok bahasan
sedangkan materi nilai dalam pendidikan karakter tidak dapat dijadikan pokok
bahasan karena mengandung resiko akan menjadi materi yang bersifat kognitif.
Pengembangan materi pendidikan karakter sikap menyukai, ingin memiliki, dan
mau menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai dasar bagi tindakan dalam perilaku
kehidupan merupakan persyaratan awal yang mutlak untuk keberhasilan
pendidikan karakter. Proses pembelajaran Pendidikan Karakter Bangsa
dilaksanakan melalui proses belajar aktif. Sesuai dengan prinsip pengembangan
nilai harus dilakukan secara aktif subyek yang akan menerima, menjadikan nilai
sebagai miliknya dan menjadikan nilai-nilai yang sudah dipelajarinya sebagai
dasar dalam setiap tindakan maka posisi subyek yang aktif dalam belajar adalah
prinsip utama belajar aktif.
Pendidikan karakter bagi generasi muda calon pemimpin akan lebih tepat
jika dilakukan secara terintegrasi dan saling menguatkan antara 3 (tiga) teori
pembelajaran. Pertama: Metode Rekognisi, yaitu menekankan pentingnya
perubahan maindset generasi muda tentang keunggulan dan keajegan adat,
budaya, agama dan nilai-nilai yang terdapat dalam sistin nilai adat Minangkabau.
Strategi menjadikan pembelajaran adat, budaya, bahasa dan tata nilai
Minangkabau melalui jalur pendidikan formal, dengan dimasukkan dalam
kurikulum sekolah adalah cara jitu untuk terjadinya proses belajar mengajar yang
terencana. Begitu juga dapat dilakukan pada lembaga pendidikan non formal,
melalui penguatan institusi LKAAN, Karang Taruna, LPM, Organisasi Pemuda

4
dan sejenisnya. Strategi informal, adalah melalui jalur keluarga. Menyiapkan
keluarga atau calon kepala keluarga yang cerdas, beradab, dan berakhlak sejak pra
nikah, relasi dalam keluarga dan mendidik anak adalah strategi mangkus dalam
menjalan metode perubahan maindset.
Kedua, Teori Behavioristik, metode pembiasaan. Generasi muda harus
dibiasakan dengn kegiatan positif. Dalam hal ini dibutuhkan pengkondisian yang
efektif. Peran ninik mamak, alim ulama, tokoh masyarakat begitu penting dalam
menciptakan lingkungan, dalam hal tertentu mengintervensi hadirnya lingkungan
yang kondusif dan memungkinkan tumbuh dan berkembangnya kebiasaan baik
dan bernilai.
Ketiga, Metode Modeling, Albert Bandura menekankan pentingnya
permodelan atau keteladanan dari orang sekitar. Uswatun hasanah adalah metode
efektif yang dilakukan Rasul untuk mengubah karakter buruk bangsa Arab
jahiliyah dan kaum munafiqin yang terkenal culas, licik dan menelikung. Modeing
dapat efektif bila semua pihak pendukung budaya taat pada strategi penyadaran
kolektif. Tegur setiap kesalahan, kealpaan, pelanggaran moral sekecil apapun.
Beri sanksi kepada siapa saja yang tidak mentaati atau melanggar nilai, moral dan
kepatutan sosial.
Terkait metodologi yang sesuai untuk pendidikan karakter, Lickona (1991)
menyarankan agar pendidikan karakter berlangsung efektif maka guru dapat
mengusahakan implementasi berbagai metode seperti bercerita tentang berbagai
kisah, cerita atau dogeng yang sesuai, menugasi siswa membaca literatur,
melaksanakan studi kasus, bermain peran, diskusi, debat tentang moral dan juga
penerapan pembelajaran kooperatif. Pada prinsipnya guru dan seluruh warga
sekolah tidak dapat mengelak dan berkewajiban untuk selalu mengajarkan nilai-
nilai yang baik yang seharusnya dilakukan, serta nilai-nilai yang buruk yang
seharusnya dicegah dan tidak dilakukan pada setiap program sekolah. Dalam
kesempatan ini disinggung serba-sedikit berbagai jenis metode yang disampaikan
Lickona di depan.
Hal yang perlu diingat bahwa penggunaan berbagai metode pembelajaran di
bawah ini tentu akan lebih leluasa pada mata pelajaran yang mengandung

5
instructional effect maupun nurturant effecty aitu mata pelajaran Pendidikan
Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Sedangkan mata pelajaran yang lain
yang hanya berdampak nurturant effect penggunaan metode pembelajaran
disesuaikan dengan bahan ajar. Sejumlah metode pembelajaran berikut ini berasal
dari best practices di negara-negara maju, khususnya di Amerika Serikat, tetapi
tentu saja guru secara leluasa boleh menggunakan metode yang lain. Yang penting
nilai-nilai karakter yang akan dibelajarkan dapat disampaikan sesuai dengantujuan
pembelajaran. Beberapa metode itu antara lain adalah:
1. Metode Bercerita, Mendongeng (Telling Sfory)
Metode ini pada hakikatnya sama dengan metode ceramah, tetapi guru
lebih leluasa berimprovisasi. Misalnya melalui perubahan mimik, gerak tubuh,
mengubah intonasi suara seperti keadaan yang hendak dilukiskan dan
sebagainya. Jika perlu menggunakan alat bantu sederhana seperti bel kelinting,
beberapa macam boneka, baik boneka manusia maupun boneka binatang,
perangkat simulasi tempat duduk kecil-kecil, dan sebagainya. Di tengah-
tengah mendongengpara siswa boleh saja berkomentar atau bertanya, tempat
duduk pun dapat diatur bebas, bahkan duduk di lantai, karena suasananya
memang dibuat santai. HaI yang penting guru harus membuat simpulan
bersama siswa (tidak dalam kondisi terlalu formal) karakter apa saja yang
diperankan para tokoh protagonis yang dapat ditiru oleh para siswa, dan
karakter para tokoh antagonis yang harus dihindari dan tidak ditiru para siswa.
Sayangnya bermacam dongeng yang ada di Indonesia tidak terlalu menunjang
pendidikan karakter. Dongeng anak-anak Kancil Mencuri ketimun justru
memupuk sikap negatif berupa kebiasaan mencuri dan korupsi.Dongeng
Malin kundang bicara tentang anak yang durhaka.Dongeng Asal Mula
Gunung Tangkuban perahu bercerita tentang kedurhakaan anak yang
mencintai ibu kandungnya sendiri. Sementara yang lain umumnya tentang
percintaan dua sejoli.
Dengan demikian guru mesti mengambil hikmah dari cerita keberhasilan
para tokoh perjuangan, para tokoh ternama, dan para pesohor yang berjuang
mati-matian sebelum mencapai keberhasilan.Esensi cerita oleh guru berupa

6
biografi singkat para tokoh atau para pesohor, orang-ormg yang berhasil
tersebut.Pada umunnya mereka berangkat dari bawah dengan perjuangan yang
penuh semangat, berkarakter tidak kenal putus asa, atau pantang menyerah,
gigih dan tangguh, cerdas memaknai kehidupan, tidak berhenti belajar dengan
kegairahan yang tinggi, jujur terhadap diri sendiri dan orang lain, serta peduli
kepada orang yang menderita dan memerlukan bantuan. Atau dapat juga guru
bercerita tentangkasih sayang seorang ibu membuat anak-anak mereka
menjadi orang besar. Ibunda mantan presiden soekarno dan ibunda mantan
presiden B.J. Habibie Ibunda Wakil presiden Yusuf Kallah,membuktikan hal
tersebut. Slogan ini dapat dipakai sebagai esensi cerita:
“ Ibu adalah satu-satunya makhluk didunia yang dapat mengubah anak
yang biasa-biasa saja menjadi seseorang yang luar biasa”.
Sebagai variasi boleh saja justru para siswa yang bercerita, secara
bergantian. Misalnya mereka bercerita tentang keindahan alam yang mereka
jumpai pada saat bertamasya ke luar kota di hari libur sekolah. Kegiatan
semacam ini dapat menumbuhkan rasa cinta tanah air dan menghormati alam
lingkungan. Dapat juga anak-anak itu bercerita tentang cita-citanya serta
alasan mengapamemilih cita-cita itu, berbagai nilai karakter akan muncul
dalam kesempatan seperti ini.

2. Metode diskusi dan berbagai variannya.


Kata diskusi berasal dari bahasa Latin discussio, discussum atau discussi
yang maknanya memeriksa, memperbincangkan, mempercakapkan,
pertukaran pikiran, atau membahas.Bahasa inggrisnya discussion. Diskusi
didefinisikan sebagai proses bertukar pikiran antara dua orang atau lebih
tentang sesuatu masalah untuk mencapai tujuan tertentu. Atau dapat juga
didefinisikan diskusi adalah pertukaran pikiran (sharing of opinion) antara dua
orang atau lebih yang bertujuan memperoleh kesamaan pandang tentang
sesuatu masalah yang dirasakan bersama.Berdasarkan definisi di atas maka
suatu dialog dapat disebut diskusi jika memenuhi kriteria; (i) antara dua orang
atau lebih, (ii) adanya suatu masalah yang perlu dipecahkan bersama, dan (iii)

7
adanya suatu tujuan atau kesepakatan bersama untuk menyelesaikan masalah
tersebut.
Dalam pembelajaran umumnya diskusi terdiri dari dua macarn, diskusi
kelas (whole group) dan diskusi kelompok.Diskusi kelas umumnya dipimpin
oleh guru, bentuk diskusi ini tepat bagi siswa sekolah dasar kelas IV sampai
VI. Dalam diskusi kelas itu, karena guru dianggap punya kompetensi dan
pengetahuan yang luas serta punya otoritas, maka arah diskusi tetap dapat
dikendalikansementara itu, diskusi kelompok berupa kelompok kecil yang
anggotanya 2-6 orang, atau kelompok yang lebih besar, anggotanya dapat
mencapai 20 orang. Biasanya dilakukan bagi anak-anak SMPdan SMA/SMK.

3. Metode Simulasi (Bermain peran / Playing dan Sosiodrama)


Simulasi artinya peniruan terhadap sesuatu, jadi bukan sesuatu
yang terjadi sesungguhnya.Dengan demikian orang yang bermain drama atau
memerankan sesuatu adalah orang yang sedang menirukan atau membuat
simulasi tentang sesuatu.Dalam pembelajaran suatu simulasi dilakukan dengan
tujuan agar peserta didik memperoleh keterampilan tertentu, baik yang bersifat
profesional maupun yang berguna bagi kehidupan sehari-hari.Dapat pula
simulasi ditujukan untuk memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau
prinsip,serta bertujuan untuk memecahkan suatu masalah yang relevan dengan
pendidikan karakter.
Langkah-langkah permainan simulasi umumnya terdiri dari,
a. Penentuan tema dan tujuan permainan simulasi.
b. Menentukan bentuk simulasi berupa bermain peran, psikodrama atau
sosiodrama.
c. Guru sebagai “sutradara", memberi gambaran secara garis besar kepada
siswa situasi yang akan disimulasikan.
d. Kemudian guru menunjuk siapa berperan menjadi apa atau sebagai siapa.
e. Guru memberi waktu kepada para pemeran untuk mempersiapkan diri,
untuk meminta keterangan kepada guru jika kurang jelas tentang perannya.
f. Melaksanakan simulasi pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.

8
g. Karena ini hanya permainan, guru boleh ikut "nimbrung" memberi saran
perbaikan dan nasihat yang berharga bagi siswa selama berlangsung
h. Penilaian baik dari guru atau kawan sekelas serta pemberian umpan balik.
i. Latihan ulang demi kesempurnaan simulasi.
Beberapa tema yang dapat dijadikan permainan simulasi dalam
pendidikan karakter antara lain:
a. melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K)
b. bagaimana bergotong-royong untuk membangun tempat peribadatan di
kampung
c. melakukan pertolongan bagi korban gempa bumi, atau korban bencana
banjir
d. pada anak SD kelas I pada saat pembelajaran tematik dengan tema
keluargaku dapat dilakukan simulasi siapa berperan sebagai kakek,
nenek,ibu, ayah, diri sendiri, kakak, dan adik atau saudara yang lain.
Esensi temanya adalah seorang kakek sedang berupaya menasihati
cucunya agar berperilaku baik dan jujur.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1985) menyatakan ada sedikit
perbedaan antara metode sosiodrama dan metode bermain peran. Dalam kaitan
ini, metode sosiodrama dimaknai sebagai cara mengajar yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatau memainkan peran
tertentu seperti yang terdapat dalam kehidupan masyarakat (kehidupan sosial).
Beda antara metode sosiodrama dan metode bermain peran.
4. Metode Live In
Ada ungkapan yang menyatakan bahwa "pengalaman adalah guru yang
terbaik". Ungkapan ini kiranya tepat, terlebih apabila pengalaman ini sungguh
menyentuh hati dapat mengubah sikap dan pandangan hidup orang secara
mendalam. Pengalaman yang mendalam lebih sulit terlupakan dalam hidup
manusia.
Metode Live In dimaksudkan agar anak mempunyai pengalaman
hidupbersama orang lain langsung dalam situasi yang sangat berbeda dari
kehidupan sehari-harinya. Dengan pengalaman langsung anak dapat mengenal

9
lingkungan hidup yang berbeda dalam cara berpikir, tantangan, permasalahan,
termasuk tentang nilai-nilai hidupnya. Live in tidak harus berhari-hari secara
berturut-turut dilaksanakan. Kegiatan ini dapat juga dilaksanakan secara
periodik.Misalnya anak diajak berkunjung dan membantu di suatu panti
asuhan anak-anak cacat.Anak diajak terlibat untuk melaksanakan tugas-tugas
harian yang mungkin dijalankannya, tidak membutuhkan keahlian khusus, dan
tidak berbahaya bagi kedua belah pihak. Membantu dan melayani anggota
panti asuhan yang tergantung pada orang lain akan memberi pengalaman yang
tidak hanya sekadar lewat.
Dengan cara ini anak diajak untuk mensyukuri hidupnya yang jauh lebih
baik dari orang yang dilayani. Lebih baik dari segi fisik maupun kemampuan
sehingga tumbuh sikap toleran dan sosial yang lebih tinggi pada kehidupan
bersama.Anak perlu mendapat bimbingan untuk merefleksikan pengalaman
tersebut, baik secara rasional intelektual maupun dari segi batin rohaninya.Hal
ini perlu dijaga jangan sampai anak menanggapi pengalaman ini berlebihan,
tetapi haruslah secara wajar dan seimbang.

10
MATERI II
TAHAP PEMBENTUKAN KARAKTER

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang


terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakininya
dan digunakannya sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan
bertindak (Puskur, 2010). Ada beberapa cara dalam proses pembentukan karakter
pada anak diantaranya adalah dengan memberikan pendidikan karakter di
sekolah , mengenalkan dan membiasakan hal-hal positif pada anak dalam lingkup
kluarga dan memberikan pengarahan atau pengertian tentang hal- hal positif yang
bisa diterapkan dan dilakukan dalam lingkungan masyarakat. Oleh karena itu,
untuk membentuk/membangun karakter positif pada anak diperlukan upaya
terencana dan sungguh-sungguh diterapkan yang dikenal sebagai pendidikan
karakter. Ada beberapa proses untuk terjadinya pembentukan yaitu pengenalan,
pemahaman, penerapan, pengulangan / pembiasaan, pembudayaan, internalisasi
menjadi karakter.

A. Pengertian Proses Pembentukan Karakter


Merupakan usaha atau suatu proses yang dilakukan untuk menanamkan
hal positif pada anak yang bertujuan untuk membangun karakter yang sesuai
dengan norma , dan kaidah moral dalam bermasyarakat. Ada tiga faktor yang
sangat penting dalam proses pembentukan karkter anak yaitu faktor
pendidikan (sekolah), lingkungan masyarakat, dan lingkungan keluarga.
1. Pembentukan Karakter Di Sekolah
Dalam lingkungan sekolah seorang figur yang berperan penting
dalam pembentukan karakter seorang anak adalah guru. Guru merupakan
salah satu komponen yang vital dalam proses pendidikan. Hal tersebut
dikarenakan proses pendidikan tanpa adanya guru akan menghasilkan hasil
yang tidak maksimal. Fungsi guru bukan hanya sekedar tenaga pengajar
tetapi juga merupakan tenaga pendidik. Mendidik dalam moral dan
kualitas peserta didiknya. Di sekolah, pendidikan karakter juga hendaknya

11
diwujudkan dalam setiap proses pembelajaran, seperti pada metode
pembelajaran, muatan kurikulum, penilaian dan lain-lain.Selain itu di
sekolah juga diajarkan beberapa macam hal yang dapat membentuk
karakter pada anak diantaranya adalah tentang pendidikan religius,
kedisiplinan, toleransi, jujur dan semangat kebangsaan. Semua hal tersebut
diajarkan demi terciptanya seorang anak yang berkarakter positif dalam
dirinya.

2. Pembentukan Karakter Di Lingkungan Masyarakat


Lingkungan adalah salah satu tempat yang menentukan proses
pembentukan karakter diri seseorang. Lingkungan yang positif bisa
membentuk diri seseorang menjadi pribadi berkarakter positif, sebaliknya
lingkungan yang negatif dan tidak sehat bisa membentuk pribadi yang
negatif pula. Lingkungan memiliki peran yang sangat penting dalam
membangun karakter-karakter individu yang ada di dalamnya. Seorang
anak kecil yang terbiasa berkata kotor, tentu saja ia meniru dari sekitarnya.
Hal itu terjadi karena hasil meniru dari lingkungannya. Untuk
mengatasinya, lebih baik dengan cara mengatasi dari sumber masalahnya.
Lingkungan yang berkarakter sangatlah penting bagi perkembangan
individu. Lingkungan yang berkarakter adalah lingkungan yang
mendukung terciptanya perwujudan nilai-nilai karakter dalam kehidupan,
sepeti karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, kemandirian dan
tanggung jawab, kejujuran / amanah, diplomatis, hormat dan santun,
dermawan, suka tolong-menolong, gotong royong / kerjasama dan lain-
lain. Karakter tersebut tidak hanya pada tahap pengenalan dan pemahaman
saja, namun menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Sangat susah
membentuk lingkungan yang berkarakter. Semua itu harus dimulai dari
diri sendiri yang selanjutnya diteruskan dalam lingkungan keluarga. Diri
sendiri harus dibenahi terlebih dahulu sebelum membenahi orang lain.
Biasakan membangun pola pikir positif, melakukan kebiasaan-kebiasaan
yang baik, membangun karakter diri yang pantang menyerah.

12
3. Pembentukan Karakter Dalam Keluarga
Dalam keluarga yang berperan penting dalam proses pembentukan
karakter pada anak adalah orang tua dan yang paling dominan adalah ayah
atau kepala keluarga yang berkewajiban mempin dalam suatu keluarga.
Dalam kehidupan keluarga kita harus membiasakan menerapkan nilai-nilai
kebiaasaan-kebiasaan positif yang pada akhirnya akan diteruskan oleh si
anak pada lingkungan sosial yang lebih besar, yakni di sekolah dan
masyarakat. Dalam keluarga kita dapat menanamkan sikap jujur dan
terbuka pada anak, memberi kesempatan anak berpendapat dalam
menentukansebuah pilihan, mengajak anak berunding, dan mengajak anak
untuk ikut berbagi peran dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
Hal itu bagian dari proses membangun karakter anak. Saling tolong-
menolong sesama anggota keluarga. Membiasakan anak mengeksplor
dirinya. Memberi kesempatan pada anak untuk mengambil keputusan
untuk dirinya. Pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada anak
hendaknya berorientasi pada kebutuhan anak sebagai makhluk
biopsikososialreligius serta menggunakan cara-cara yang sesuai dengan
perkembangan anak, baik perkembangan fisik-biologisnya, perkembangan
psikisnya, perkembangan sosial serta perkembangan religiusitasnya. Selain
itu dalam keluarga harus dilakukan pembiasaan sifat – sifat atau sikap –
sikap yang baik yang diperoleh dalam lingkungan sekolah atau masyarakat
yang dapat membentuk karakter anak. Cara yang lain yang dapat
dilakukan adalah dengan metode belajar pengalaman (experiential
learning) . Salah satu contoh pembiasaan sederhana membentuk karakter
anak dalam keluarga adalah dengan mengajarkan pembiasaan berdoa
sebelum melakukan suatu hal contohnya ketika akan makan, tidur,dll.
Pada intinya keluarga adalah lingkungan yang sangat penting dalam
perkembangan pembentukan karakter pada anak ketika anak sudah tidak
dalam lingkungan sekolah atau masyarakat.

13
Pembentukan karakter diklasifikasikan dalam 5 tahapan yang
berurutan dan sesuai usia, yaitu:
a. Tahap pertama adalah membentuk adab, antara usia 5 sampai 6 tahun.
Tahapan ini meliputi jujur, mengenal antara yang benar dan yang
salah, mengenal antara yang baik dan yang buruk serta mengenal mana
yang diperintahkan, misalnya dalam agama.
b. Tahap kedua adalah melatih tanggung jawab diri antara usia 7 sampai
8 tahun. Tahapan ini meliputi perintah menjalankan kewajiban shalat,
melatih melakukan hal yang berkaitan dengan kebutuhan pribadi
secara mandiri, serta dididik untuk selalu tertib dan disiplin
sebagaimana yang telah tercermin dalam pelaksanaan shalat mereka.
c. Tahap ketiga adalah membentuk sikap kepedulian antara usia 9sampai
10 tahun. Tahapan ini meliputi diajarkan untuk peduli terhadap orang
lain terutama teman-teman sebaya, dididik untuk menghargai dan
menghormati hak orang lain, mampu bekerjasama serta mau
membantu orang lain.
d. Tahap keempat adalah membentuk kemandirian, antara usia 11 sampai
12 tahun. Tahapan ini melatih anak untuk belajar menerima resiko
sebagai bentuk konsekuensi bila tidak mematuhi perintah, dididik
untuk membedakan yang baik dan yang buruk.
e. Tahap kelima adalah membentuk sikap bermasyarakat, pada usia 13
tahun ke atas. Tahapan ini melatih kesiapan bergaul di masyarakat
berbekal pada pengalaman sebelumnya. Bila mampu dilaksanakan
dengan baik, maka pada usia yang selanjutnya hanya diperlukan
penyempurnaan dan pengembangan secukupnya. (Miya Nur Andina
dalam Chacha.blog: 2013):
Pendidikan yang diajarkan oleh guru di sekolah merupakan proses
untuk membentuk karakter anak yang kurang baik menjadi yang lebih
baik. Sehingga diusia sekolah anak harus selalu dikontrol dan diawasi
dengan baik. Sehingga pendidikan yang ia peroleh tidak disalahgunakan
dan bisa diterapkan serta diaplikasikan dengan baik dan benar. Unsur

14
terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikirankarena pikiran/i9,
yang di dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari
pengalaman hidupnya (Rhonda Byrne, 2007:17). Program ini kemudian
membentuk system kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola
berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya. Jika program yang
tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka
perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku
tersebut membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program
tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum universal, maka
perilkaunya membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Oleh
karena itu, pikiran harus mendapatkan perhatian serius.
Menurut Muslich, (2011: 6) beberapa langkah yang dapat diambil
pemerintah untuk membangun karakter bangsa, yaitu pertama
menginternalisasikan pendidikan karakter pada instansi pendidikan
semenjak tingkat dini atau kanak-kanak. Pendidikan karakter yang
dilakukan di instansi pendidikan dapat dilakukan dengan selalu
memberikan arahan mengenai konsep baik dan buruk sesuai dengan tahap
perkembangan usia anak. Sebagai contoh, penerapan pendidikan karakter
di instansi pendidikan dapat mengikuti pilot project SBB dan TK Karakter
milik Indonesia Heritage Foundation.
Kedua, menanamkan sebuah koordinasi gerakan revitalisasi
kebangsaan bersama generasi muda, yang diarahkan terutama pada
penguatan ketahanan masyarakat dan bangsa terhadap upaya nihilisasi
pihak luar terhadap nilai-nilai budaya positif bangsa Indonesia. Upaya ini
memerlukan andil generasi muda sebagaai subjek program karena para
generasi muda adalah penerus bangsa yang akan menetukan masa depan
dan integritas bangsa Indonesia.
Ketiga, Meningkatkan daya saing bangsa dalam bentuk kemajuan
IPTEK. Menurut Porter (dalam Rajasa, 2007 dalam Muslich, 2011),
pemahaman daya saing sebagai salah satu keunggulan yang dimiliki suatu
entitas dibandingkan dengan entitas lainnya, bukanlah baru muncul diera

15
ke-21 sekarang ini. Peran daya saing dalam mewujudkan suatu entitas
lebih unggul dibandingkan lainnya yang sebenarnya suatu keniscayaan
semenjak masa lampau. Daya saing di sini tentunya harus dipahami dalam
arti yang sangat luas. Peran teknologi informasi dan telekomunikasi
menurut Porter, hanya sebatas mempercepat sekaligus memperbesar peran
daya saing dalam menentukan keunggulan suatu entitas dibandingkan
dengan entitas lainnya.
Keempat, menggunakan media massa sebagai penyalur upaya
pembangunan karakter bangsa. Menurut Oetama, 2006 peran media ada
tiga, yaitu sebagai penyampai informasi, edukasi dan hiburan. Peran
strategis ini hendaknya dapat diberdayakan pemerintah bekerjasama
dengan pemilik media dalam penayangan informasi yang positif dan
mendukung terciptanya karakter bangsa yang kompetitif.
Untuk membentuk karakter pada anak memerlukan waktu dan proses
yang tepat, agar anak mampu memahami dan mengimplementasikan dengan
tepat juga. Untuk membentuk karakter seseorang juga melalui proses yang
panjang. Segala sesuatu memang memerlukan proses dan tata cara yang tepat
dan benar. Anak-anak bukanlah komputer yang apabila kita klik dan kita
perintah langsung mengikuti apa yang kita perintahkan. Anak-anak ibarat
masakan yang apabila kita memasak dan mengolahnya dengan baik dan benar
serta kita bisa mengukur kematangannya, masakan itu akan menjadi makanan
yang enak dan lezat. Proses pembentukan karakter pada anak bukanlah suatu
proses sehari dua hari, namun bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Misalnya, seorang anak asal Indonesia yang mempunyai karakter buruk
tinggal di Malaysia menyusul orang tuanya selama tiga tahun dengan harapan
apabila ia kembali pulang ke Indonesia karakternya berubah menjadi anak
yang baik, tetapi ternyata setelah tiga tahun dan kembali ke Indonesia karakter
buruknya belum berubah..
1. Pengenalan
Pengenalan merupakam tahap pertama dalam proses pembentukan
karakter. Untuk seorang anak, dia mulai mengenal berbagai karakter yang

16
baik melalui lingkungan keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan
pertama tempat anak belajar dan membentuk kepribadiannya sejak kecil.
Apabila anggota keluarga memberi contoh yang baik, maka anak juga
akan meniru perbuatan yang baik pula. Akan tetapi, apabila keluarga
memberi contoh yang tidak baik maka anak juga akan meniru yang tidak
baik pula. Misalnya, orang tua memberi contoh selalu disiplin dan tepat
waktu dalam segala hal, maka secara tidak langsung si anak akan meniru
dan melakukan hal yang sama seperti orang tuanya, selalu tepat waktu dan
bersikap disiplin dalam segala hal. Akan tetapi apabila orang tua memberi
contoh kepada anak untuk selalu menunda-nunda pekerjaan, maka anak
juga akan selalu menunda-nunda apa yang akan ia kerjakan. Maka dari itu
keluarga mempunyai peran penting dalam perkembangan kepribadian
anak. Melalui tahap inilah seorang anak akan mengenal kebiasaan.
2. Pemahaman
Tahap pemahaman berlangsung setelah tahap pengenalan. Setelah
anak mengenal dan melihat orang tuanya selalu disiplin dan tepat waktu,
bangun pagi pukul lima, selalu sarapan setiap pagi, berangkat ke sekolah
atau kerja tepat waktu, pulang sekolah atau kerja tepat waktu, dan shalat
lima waktu sehari dengan waktu yang tepat dan sebagainya, maka anak
akan mencoba berpikir dan bertanya, “Mengapa kita harus melakukan
semuanya dengan baik dan tepat waktu?” Setelah anak bertanya mengenai
kebiasaan orang tuanya, kemudian orang tuanya menjelaskan, “Apabila
kita melakukan sesuatu dengan tepat waktu maka berarti kita menghargai
waktu yang kita miliki, kita akan diberi kepercayaan oleh orang lain, dapat
diandalkan, dan tidak akan mengecewakan orang lain. Misalnya kalau
ayah biasanya pulang kerja pukul empat dan ayah sebelumnya sudah
berjanji setelah ayah pulang kerja kita akan diajak jalan-jalan, tetapi pada
saat itu ayah pulang kerja tidak seperti biasanya pukul empat melainkan
pukul tujuh malam dan kita tidak jadi jalan-jalan bersama, perasaan adik
bagaimana? Sedih dan kecewa kan! Maka dari itu kita tidak boleh menyia-
nyiakan waktu.” Dengan penjelasan yang baik dan pelan-pelan maka si

17
anak akan berpikir apabila dia pulang sekolah terlambat akan membuat
orang tuanya khawatir dan panik, sehingga ia akan berusaha tidak menyia-
nyiakan waktu. Dengan begitu pemahaman telah ia dapatkan melalui
penjelasan orang tuanya.
3. Penerapan
Melalui pemahaman yang telah ia dapatkan dari orang tuanya maka
si anak akan mencoba menerapkan dan mengimplementasikan hal-hal
yang telah diajarkan oleh orang tuanya. Pada awalnya anak hanya sekedar
melaksanakan dan meniru kebiasaan orang tuanya. Anak belum menyadari
dan memahami bentuk karakter apa yang ia terapkan.
4. Pengulangan/Pembiasaan
Didasari oleh pemahaman dan penerapan yang secara bertahap ia
lakukan, maka secara tidak langsung si anak akan terbiasa dengan
kedisiplinan yang diajarkan oleh orang tuanya..Setelah setiap hari dia
melakukan hal tersebut hal itu akan menjadi kebiasaan yang sudah biasa ia
lakukan bahkan sampai besar nanti. Pembiasaan ini juga harus diimbangi
dengan konsistensi kebiasaan orang tua. Apabila orang tua tidak konsisten
dalam mengajarkan pembiasaan, maka anak juga akan melakukannya
dengan setengah-setengah. Apabila anak sudah tebiasa, maka hal apapun
jika tidak ia lakukan dengan tepat waktu maka dalam hatinya ia akan
merasakan kegelisahan.
5. Pembudayaan
Apabila kebiasaan baik dilakukan berulang-ulang setiap hari maka
hal ini akan membudaya menjadi karakter. Terminologi pembudayaan
menunjukkan ikut sertanya lingkungan dalam melakukan hal yang sama.
Kedisiplinan seakan sudah menjadi kesepakatan yang hidup di lingkungan
masyarakat, apalagi di lingkungan sekolah. Ada orang yang senantiasa
mengingatkan apabila seseorang telah melanggar peraturan. Sama halnya
dengan masalah kedisiplinan di dalam keluarga, apabila salah satu anggota
keluarga tidak disiplin sesuai peraturan yang ditetapkan, maka anggota
keluarga lain mengingatkan dan saling menegur. Tidak jauh berbeda di

18
lingkungan sekolah, misalnya seorang siswa datang terlambat ketika guru
sudah menerangkan pelajaran panjang lebar, kemudian siswa tersebut
masuk kelas dengan keadaan gugup dan takut apabila dimarahi oleh
gurunya, belum lagi disorakin oleh teman-temannya. Setelah itu gurunya
mengingatkan dan memberi peringatan kepada siswa agar tidak datang
terlambat lagi. Akhirnya dia akan berusaha agar ia tidak datang terlambat
lagi.
6. Internalisasi
Tahap terakhir adalah internalisasi menjadi karakter. Sumber
motivasi untuk melakukan respon adalah dari dalah hati nurani. Karakter
ini akan semakin kuat apabila didukung oleh suatu ideology atau believe.
Si anak percaya bahwa hal yang ia lakukan adalah baik. Apabila ia tidak
disiplin maka ia akan menjadi anak yang tidak bisa menghargai waktu dan
susah di komtrol.

19
MATERI III
PEMBENTUKAN KARAKTER YANG INTEGRAL

A. Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter hanya akan menjadi sekadar wacana jika tidak
dipahami secara lebih utuh dan menyeluruh dalam konteks pendidikan
nasional kita. Bahkan, pendidikan karakter yang dipahami secara parsial dan
tidak tepat sasaran justru malah bersifat kontraproduktif bagi pembentukan
karakter anak didik. Pendekatan parsial yang tidak didasari pendekatan
pedagogi yang kokoh alih-alih menanamkan nilai-nilai keutamaan dalam diri
anak, malah menjerumuskan mereka pada perilaku kurang bermoral. Selama
ini, jika kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan
sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai yang sering kali
dipahami secara sempit, hanya terbatas pada ruang kelas, dan sering kali
pendekatan ini tidak didasari prinsip pedagogi pendidikan yang kokoh.
Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak sekolah beramai-
ramai membuat kantin kejujuran.
Di sini, anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang
yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Dengan praksis ini diharapkan
anak-anak kita akan menghayati nilai kejujuran dalam hidup mereka. Namun,
sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai
kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi pendidikan berupa
kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak
didik. Alih-alih mendidik anak menjadi jujur, di banyak tempat anak yang
baik malah tergoda menjadi pencuri dan kantin kejujuran malah bangkrut. Ini
terjadi karena kultur kejujuran yang ingin dibentuk tidak disertai dengan
pembangunan perangkat sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama.
Tiap orang bisa tergoda menjadi pencuri jika ada kesempatan. Menjaga
keutuhan Pendidikan karakter semestinya terarah pada pengembangan kultur
edukatif yang mengarahkan anak didik untuk menjadi pribadi yang integral.

20
Adanya bantuan sosial untuk mengembangkan keutamaan merupakan ciri
sebuah lembaga pendidikan.
Dalam konteks kantin kejujuran, bantuan sosial ini tidak berfungsi,
sebab anak malah tergoda menjadi pencuri. Kegagalan kantin kejujuran adalah
sebuah indikasi, bahwa para pendidik memiliki kesalahan pemahaman tentang
makna kejujuran dalam konteks pendidikan. Mereka tidak mampu melihat
persoalan yang lebih mendalam yang menggerogoti sendi pendidikan kita.
Kejujuran semestinya tidak dipahami sekadar anak jujur membeli barang di
toko. Padahal, di depan mata, nilai-nilai kejujuran dalam konteks pendidikan
telah diinjak-injak, seperti mencontek, menjiplak karya orang lain, melakukan
sabotase, vandalisme halaman buku yang disimpan di perpustakaan, dan
simulasi, yaitu mengaku telah mengumpulkan dan mengerjakan tugas, padahal
sebenarnya tidak.
Hal-hal inilah yang mesti diseriusi oleh para pendidik jika ingin
menanamkan nilai kejujuran dalam konteks pendidikan. Mencontek telah
menjadi budaya dalam lembaga pendidikan kita. Ia bukan hanya berkaitan
dengan kelemahan individu per individu, melainkan telah membentuk sebuah
kultur sekolah yang tidak menghargai kejujuran. Masifnya perilaku
ketidakjujuran itu telah menyerambah dalam diri para pendidik, siswa, dan
anggota komunitas sekolah lain. Untuk itu, pendekatan yang lebih utuh dan
integrallah yang dibutuhkan untuk melawan budaya tidak jujur ini.
Tiga basis Pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti
menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu,
program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi wacana semata.
Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada
relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas.
Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam
konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan
dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa
yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan
pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini,

21
termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen
kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana
belajar yang nyaman.
Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini
mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak
didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan
terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup
hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral
ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata
peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku
ketidakjujuran.
Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam
mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar
lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga
memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan
karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah
dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah
mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya
untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.
Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan
karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan
kita hanya akan bersifat parsial, inkonsisten, dan tidak efektif.

B. Pendidikan Integral
Pesantren Hidayatullah sejak awal didirikannya di Balikpapan,
Kalimantan Timur,oleh ustadz Abdullah Said (almarhum) telah
mencanangkan diri bukan saja sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran
yang hanya transfer ilmu (transfer of knowledge), tetapi lebih dari itu adalah
sebagai sarana (wasilah) untuk membumikan keagungan nilai-nilai Islam pada
realitas kehidupan yang berupa transfer nilai (transfer of value). Jadi,

22
sebenarnya bukan merupakan trend baru jika kemudian muncul istilah integral
sebagai brand image pada lembaga pendidikan hidayatullah akhir-akhir ini.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia integral berarti meliputi seluruh
bagian untuk menjadikan lengkap; utuh; bulat; sempurna. Bisa juga berarti
tidak terpisahkan; terpadu. Sedangkan menurut kamus bahasa Inggris,
Integrated berarti menyatu-padukan / menggabungkan (two towns into one).
Berbicara masalah pendidikan tentunya tidak terlepas dari kurikulum. Dengan
demikian, pendidikan integral berarti pendidikan yang mengarah pada
prinsip-prinsip kurikulum yang dikembangkan secara utuh dan sempurna
sehingga semua aspek merupakan bagian yang menyeluruh dan tidak
terpisahkan/terpadu. Untuk memahami definisi ini kita perlu memahami
beberapa hal. Yang pertama adalah mengetahui prinsip kurikulum yang wajib
dilaksanakan pada pendidikan integral antara lain :
1. Siswa harus mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu, serta
memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas,
dinamis, dan menyenangkan.
2. Menegakkan 5 pilar belajar :
a. Belajar untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT (ajaran
tauhid).
b. Belajar untuk memahami dan menghayati arti kehidupan.
c. Belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif dan
efisien.
d. Belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain.
e. Belajar untuk menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang
aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
3. Suasana hubungan siswa dan guru yang saling menerima dan menghargai,
akrab, terbuka dan hangat.
4. Menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar
dan teknologi yang memadai dan memanfaatkan lingkungan sekitar
sebagai sumber belajar.
5. Mendayagunakan kondisi alam sekitar, sosial dan budaya.

23
6. Diselengggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan dan kesinambungan
yang cocok dan memadai antar kelas dan jenis serta jenjang pendidikan.

Adalah merupakan suatu keharusan bagi para orang tua, para pengajar
maupun para pendidik, bertanggung jawab terhadap pendidikan dan
pembinaan anak-anak serta mempersiapkan mereka untuk menghadapi masa
depan.
Kedua, para orang tua dan pendidik harus mengetahui tanggung jawab
pendidikan terpenting, yang mana ini merupakan komponen-komponen dalam
kurikulum pendidikan tauhid, adalah :
1. Tanggungjawab pendidikan tauhid (spiritual)
2. Tanggungjawab pendidikan akhlaq/moral
3. Tanggungjawab pendidikan fisik
4. Tanggungjawab pendidikan intelekktual
5. Tanggungjawab pendidikan psikis (interpersonal)
6. Tanggungjawab pendidikan sosial
7. Tanggungjawab pendidikan seksual
Tanggungjawab pendidikan intelektual merupakan pembentukan dan
pembinaan berpikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, ilmu
pengetahuan, peradaban ilmiah serta kesadaran berpikir dan berbudaya.
Dengan pendidikan ini ilmu rasio dan peradaban anak benar-benar terbina.
Sedangkan pendidikan psikis adalah melatih anak supaya berani,
berterus terang, merasa sempurna, suka berbuat baik kepada orang lain,
menahan diri ketika amarah dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan
psikis dan moral. Tujuan pendidikan ini adalah membentuk,
menyempurnakan, dan menyeimbangkan kepribadian anak sehingga kelak ia
dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada dirinya
dengan baik dan mulia. Dalam hal ini faktor-faktor terpenting yang harus
dihindarkan oleh para pendidik dari anak-anak dan siswa-siswi adalah sifat-
sifat berikut :
1. Sifat minder

24
2. Sifat penakut
3. Sifat rasa rendah diri
4. Sifat hasut/iri/dengki
5. Sifat pemarah
Pendidikan sosial adalah pendidikan agar anak terbiasa menjalankan
adab sosial yang baik yang bersumber pada aqidah Islamiyah serta perasaan
keimanan yang mendalam agar di dalam masyarakat ia bisa tampil dengan
pergaulan dan adab yang baik serta tindakan bijaksana. Oleh karena itu para
pendidik harus berusaha keras untuk melaksanakan tanggungjawabnya dengan
sebaik mungkin dalam pendidikan sosial.Sehingga mereka dapat memberikan
andil di dalam mengusung suatu peradaban Islam yang berpusat pada
keimanan, akhlaq, pendidikan sosial terbaik dan norma-norma Islami yang
tinggi.
Sedangkan pendidikan seksual meliputi upaya pengajaran, penyadaran
dan penerangan tentang masalah seksual yang diberikan kepada anak,sejak ia
mengerti masalah-masalah yang dihalalkan dan diharamkan. Bahkan mampu
menerapkan tingkah laku Islami sebagai akhlaq, kebiasaan, dan tidak
mengikuti syahwat.
Tanggungjawab terhadap tujuh masalah ini saling berkait erat dalam
pembentukan karakter anak secara integral dan dalam mendidik anak secara
sempurna agar menjadi seorang insan yang konsisten dalam melaksanakan
kewajiban, risalah dan tanggungjawab. Alangkah hebatnya, jika intelektual
yang tinggi dilandasi dengan tauhid yang kuat. Alangkah indahnya, jika
akhlak mulia itu diiringi kesehatan jasmani dan rohani. Alangkah agungnya,
ketika anak bertolak mengarungi kehidupan praktis dengan membawa
persiapan yang telah dirancang oleh para pendidik dari seluruh aspek
kehidupannya.

C. Konsep Pendidikan Integral


Sebagaimana yang tertuang dalam pengertian istilah, maka dalam
pendidikan integral tentu saja memadukan berbagai aspek, yang mana antara

25
satu dengan yang lain saling terkait sehingga terbentuk satu kesatuan yang
utuh dan sempurna. Dalam hal ini ada banyak hal yang diintegrasikan dalam
model pendidikan integral.
Pertama, mendesain lingkungan belajar yang terdiri dari 3 institusi yaitu
sekolah, keluarga, dan masyarakat. Ketiga institusi ini saling terkait erat antara
yang satu dengan yang lain. Keluarga merupakan institusi pendidikan yang
utama dan pertama, karena sebagian besar waktu anak-anak dihabiskan di
dalam lingkungan keluarga. Jika anak ingin sukses di sekolah maka orang tua
tentu saja tidak tinggal diam terhadap perkembangan anaknya. Orang tua tidak
boleh menyerahkan sepenuhnya pendidikan anaknya kepada pihak sekolah,
demikian sebaliknya. Harus ada komunikasi hangat antara sekolah dan
keluarga. Komunikasi antara orang tua dan guru merupakan media untuk
mengetahui perkembangan psikologis anak.
Prinsipnya, orang tua harus aktif mengikuti perkembangan anaknya
ketika di sekolah, termasuk mencermati pelaksanaan kurikulum sekolah
tempat anak mereka menuntut ilmu. Guru adalah orang tua ketika anak di
sekolah, dan orang tua adalah guru ketika anak di rumah. Sungguh indah jika
para pendidik bisa memahami kalimat ini. Yang jelas, kualitas pertemuan
antara orang tua dan anak-anak di rumah harus diciptakan semenarik mungkin
agar anak sukses di sekolah.
Sekolah, merupakan institusi pendidikan formal yang mutlak dicari oleh
orang tua. Dalam sistem pendidikan integral lingkungan sekolah didesain
semenarik mungkin agar anak didik betah belajar di dalamnya. Mulai dari
kelas tempat mereka belajar, halaman tempat mereka bermain, masjid tempat
mereka belajar beribadah kepada Allah, dan sebagainya. Bukan hanya itu,
dalam konsep pendidikan integral guru bukan saja transfer ilmu (transfer of
knowledge) tapi juga transfer nilai (transfer of value), sebagai implementasi
tanggungjawab pendidikan dari seluruh aspek. Dalam hal ini sudah seharusnya
kita meneladani Rasulullah Muhammad SAW sebagai uswatun
hasanah,seperti firman Allah SWT dalam Alqur’an surat Al-Ahzab ayat 21,
yang artinya ‘Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang

26
baik bagimu.’ Pendekatan dan metodologi pengajaran integral mesti dilandasi
dengan teladan yang baik dari guru/pendidik. Tidak dapat disangkal lagi
bahwa aplikasi paling nampak dari seorang pendidik yang baik adalah karimul
akhlaq. Akhlaq bukan semata-mata sopan santun atau tata krama yang berasal
dari tradisi suatu bangsa. Akhlaq seorang muslim adalah refleksi dari
keimanan kepada Allah dan RasulNya. Muhammad adalah satu-satunya
manusia yang dijadikan Allah sebagai model untuk diikuti dan diteladani,
karena akhlaq Rasulullah adalah Alqur’an itu sendiri. Allah berfirman dalam
surat Al-Qalam ayat 4 yang artinya: ”Dan sungguh engkau (Muhammad))
benar-benar memiliki akhlaq yang agung.” Dalam bahasa Jawa, guru adalah
akronim dari digugu lan ditiru, didengarkan nasihatnya dan ditirukan/diikuti
tingkah lakunya. Adalah sebuah kesalahan besar jika pendidik memberikan
contoh yang salah sehingga murid pun akan melakukan kesalahan untuk
selamanya.
Selain itu, sekolah integral juga memadukan antara pendekatan dan
metodologi pengajaran, siswa dengan guru, guru dengan orang tua/wali murid
serta lingkungan sekolah. Materi pelajaran yang mencakup seluruh ilmu
pengetahuan dipandang secara komprehensif di mana keseluruhannnya
merupakan satu kesatuan yang utuh sehingga tidak ada pemisahan antara ilmu
agama (ulumuddin) dan ilmu pengetahuan umum, duniawi dan ukhrowi.
Oleh karenanya seorang pendidik dalam lembaga pendidikan integral
mesti memiliki karakter siddiq (jujur), tawadlu’ (rendah hati), dan selalu
menjaga ukhuwah yang ditandai dengan ruhama’ (kasih sayang). Tidak kalah
penting, keikhlasan adalah karakter utama yang harus dimiliki seorang
pendidik. Dalam sistem pendidikan integral semua guru adalah guru agama
(Islam, red.), sedangkan murid dipandang secara utuh dari seluruh instrumen
yang dimiliki manusia sehingga aspek intelektual, emosional, dan spiritual
dikembangkan secara integrated.
Institusi pendidikan ketiga adalah masyarakat, lingkungan sekitar yang
sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak sampai kelak mereka
dewasa. Masyarakat dengan sosio-kultur yang beragam akan membawa anak

27
kepada berbagai pilihan. Mulai dari tradisi, paradigma, life style dan
keberagaman yang lain, yang mana semuanya mudah ditirukan oleh anak.
Biarkan mereka membaur dengan masyarakat, bermain dengan teman-teman,
dan bergaul dengan lingkungan tempat tinggal mereka, karena ini merupakan
bagian dari proses belajar mereka. Sopan santun, tata krama, memahami
karakter orang lain, memberi dan menerima perbedaan, dan mengalami
kekalahan akan mereka peroleh di sana. Di sinilah perlunya pendampingan
dan peran aktif orang tua dan pendidik dalam mengontrol tumbuh kembang
karakter spiritual dan emosional mereka. Orang tua dan pendidik dapat
memberikan penjelasan serta pencerahan tentang fenomena yang terjadi di
lingkungan sekitar dan memberikan solusi bagaimana mengatasinya.
Kedua, sekolah integral mengembangkan beragam kecerdasan yang
sudah dimiliki anak didik di dalam diri masing-masing sebagai karakter dasar.
Beragam kecerdasan itu adalah kecerdasan intelektual atau IQ (Intelektual
Quotient), kecerdasan emosi atau EQ (Emotional Quotient), dan kecerdasan
spiritual atau SQ (Spiritual Quotient) yang ternyata mengikuti konsep Rukun
Iman dan Rukun Islam yang menjadi pondasi dalam agama Islam.
1. Kecerdasan intelektual (IQ) dikembangkan dengan cara membantu siswa
melalui 4 tahap discovery learning, yaitu merencanakan kegiatan belajar
untuk membantu siswa dalam menjawab pertanyaan, menggunakan
berbagai sumber untuk mendapatkan informasi dan mencatat hasil
temuannya, merenungkan apa yang telah dilakukan, dan menyimpulkan
apa yang telah ditemukan. Dalam konsep pendidikan integral kemampuan
akademik, nilai rapor, predikat kelulusan yang cumlaude, bukan menjadi
satu-satunya tolok ukur dalam menilai kecerdasan anak. Kelak ketika
mereka sudah terjun di dunia yang sesungguhnya, nilai yang bagus belum
tentu bisa dijadikan tolak ukur seberapa baik kinerja seseorang dalam
pekerjaannya atau seberapa tinggi sukses yang dicapai.
2. Kecerdasan emosional (EQ) adalah kemampuan untuk merasa. Kunci
kecerdasan emosi adalah kejujuran diri kita terhadap suara hati. EQ
merupakan inti kemampuan pribadi dan social yang merupakan kunci

28
utama keberhasilan seseorang. Pengembangan kecerdasan ini dimulai
dengan membantu siswa untuk mengembangkan strategi belajar
cooperative learning melalui proses belajar. Juga membantu siswa dalam
berbagi ilmu atau apa yang telah mereka pelajari kepada teman-teman
yang berbeda kemampuan berpikirnya, serta belajar berkomunikasi secara
lisan dan tertulis. Dalam pengembangan kecerdasan ini anak diajarkan
tentang integritas, kejujuran, komitmen, visi, ketahanan mental
menghadapi kegagalan, kebijaksanaan, keadilan, penguasaan diri,
keberanian, kerjasama dan lain-lain.
Berdasarkan survei di Amerika Serikat pada tahun 1918 tentang IQ
ditemukan ‘paradoks’ membahayakan; “Sementara skor IQ anak-anak
makin tinggi, kecerdasan emosi mereka justru turun. Lebih
mengkhawatirkan lagi, data hasil survei besar-besaran 1970 dan 1980
terhadap para orang tua dan guru menunjukkan,’Anak-anak generasi
sekarang lebih sering mengalami masalah emosi ketimbang generasi
terdahulunya. Secara pukul rata anak-anak sekarang cenderung kesepian
dan depresi, mudah marah dan lebih sulit diatur, lebih gugup dan
cenderung cemas, impulsif dan agresif.” Dalam pengkajiannya kemudian
ditemukan suatu inti kemampuan pribadi dan social yang sama, yang
terbukti menjadi kunci utama keberhasilan, yaitu kecerdasan emosi.
3. Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kecerdasan tertinggi yang dimiliki
manusia karena ia sebagai landasan yang diperlukan untuk memfungsikan
IQ dan EQ secara efektif. Kecerdasan spiritual merupakan temuan ilmiah
yang digagas oleh Danah Zohar dari Harvard University dan Marshall dari
Oxford University. Menurut mereka kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu
kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks
yang lebih luas, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Pengembangan kecerdasan jenis ini dimulai dari ketakjuban akan
tanda-tanda kebesaran Allah SWT melalui pengalaman belajar, yang bisa

29
dilihat dari diri sendiri, alam sekitar tempat belajar, sejarah, serta tulisan
sehingga hati dan pikiran anak bisa diaktifkan selama proses belajar
sedang berlangsung. Setelah usai pelajaran anak-anak dilatih menerapkan
dalam lingkungan sekitar bersama teman mereka, yang merupakan
implementasi ibadah harian seperti wirid, qiyamul lail, sedekah, muamalah
dan berbagai jenis ibadah yang lain, sehingga menjadi sebuah kebiasaan
yang positif.

DAFTAR PUSTAKA

Aat Syafaat dan Sohari Sahrani. 2008. Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam
Mencegah Kenakalan Remaja. Serang: Rajawali Pers.

Budiyono, Kabul. 2007. Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia.


Bandung: Alfabeta.

Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter “Menjawab Tantangan Krisis


Multidimensional”. Jakarta: Bumi Aksara.

Sain, Syahrial. 2001. Samudera Rahmat. (Jakarta: Karya Dunia Pikir).

30
LAMPIRAN

EVALUASI

1. Pendidikan karakter bagi generasi muda calon pemimpin akan lebih tepat jika
dilakukan secara terintegrasi dan saling menguatkan antara 3 (tiga) teori
pembelajaran, diantaranya kecuali, ….
a. Metode Rekognisi
b. Teori Behavioristik
c. Metode Modeling
d. Instructional Effect

2. Metode pembelajaran berikut ini berasal dari best practices di negara-negara


maju, khususnya di Amerika Serikat, tetapi tentu saja guru secara leluasa
boleh menggunakan metode yang lain Beberapa metode itu antara lain kecuali,
….
a. Metode Bercerita, Mendongeng (Telling Sfory)
b. Metode diskusi
c. Metode Modeling
d. Metode Simulasi (Bermain peran / Playing dan Sosiodrama)

3. Ada tiga faktor yang sangat penting dalam proses pembentukan karakter anak
yaitu, kecuali,…
a. Faktor pendidikan (sekolah)
b. Lingkungan Teman
c. Lingkungan masyarakat
d. Lingkungan keluarga.

4. Pembentukan karakter diklasifikasikan dalam 5 tahapan yang berurutan dan


sesuai usia, kecuali….

31
a. Tahap pertama adalah membentuk adab, antara usia 5 sampai 6 tahun.
b. Tahap kedua adalah melatih tanggung jawab diri antara usia 7 sampai 8
tahun.
c. Tahap ketiga adalah membentuk sikap kepedulian antara usia 9 sampai 10
tahun
d. Tahap keempat adalah membentuk kemandirian, antara usia 13 sampai 14
tahun.

5. Menurut Muslich, beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah untuk


membangun karakter bangsa, yaitu kecuali,..
a. Menginternalisasikan pendidikan karakter pada instansi pendidikan
semenjak tingkat dini atau kanak-kanak.
b. Menanamkan sebuah koordinasi gerakan revitalisasi kebangsaan bersama
generasi muda,
c. Pemahaman daya saing sebagai salah satu keunggulan yang dimiliki suatu
entitas dibandingkan dengan entitas lainnya
d. Meningkatkan daya saing bangsa dalam bentuk kemajuan IPTEK.

6. Hal ini membuktikan bahwa untuk merubah atau membentuk karakter baik
pada anak membutuhkan waktu yang tidak sebentar , kecuali
a. Pengenalan
b. Bermain
c. Pemahaman
d. Pengulangan

7. Tiga basis Pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan
tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program
pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi wacana semata, kecuali
a. desain pendidikan karakter berbasis kelas.
b. desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah
c. desain pendidikan karakter berbasis komunitas

32
d. desain pendidikan karakter berbasis lingkungan

8. Prinsip kurikulum yang wajib dilaksanakan pada pendidikan integral antara


lain, kecuali
a. Para orang tua dan pendidik harus mengetahui tanggung jawab pendidikan
terpenting
b. Siswa harus mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu, serta
memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas,
dinamis, dan menyenangkan.
c. Suasana hubungan siswa dan guru yang saling menerima dan menghargai,
akrab, terbuka dan hangat.
d. Mendayagunakan kondisi alam sekitar, sosial dan budaya.

9. Menegakkan 5 pilar belajar, kecuali


f. Belajar untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT (ajaran tauhid).
g. Belajar untuk memahami dan menghayati arti kehidupan.
h. Belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif dan efisien.
i. Belajar untuk hidup sendiri

10. faktor-faktor terpenting yang harus dihindarkan oleh para pendidik dari anak-
anak dan siswa-siswi adalah sifat-sifat berikut, kecuali
a. Sifat minder
b. Sifat pemberani
c. Sifat rasa rendah diri
d. Sifat hasut/iri/dengki

33
Jawaban
1. D
2. C
3. B
4. D
5. C
6. B
7. D
8. A
9. D
10. A

34

Anda mungkin juga menyukai