id
BAB II
LANDASAN TEORI
2. 1 Tinjauan Pustaka
2. 1. 1. Stres Pengasuhan (Parenting Stress)
a. Pengertian
Stres menurut Canon (1914) merupakan respon tubuh terhadap sesuatu. Selye
(1950) mendefinisikan stres adalah respon individu terhadap rangsangan yang
diberikan pada suatu kondisi tertentu. Lazarus dan Folkman (1984) menyebutkan
bahwa stres merupakan hubungan antara individu dengan lingkungannya terhadap
situasi yang berbahaya sehingga menimbulkan tekanan pada individu (Bartlett,
1998 cit. Gaol, 2016). Stres merupakan kondisi yang menuntut respon tertentu dan
sistem penyesuaian dari individu yang memerlukan kebutuhan energi fisiologis
dan psikologis sesuai presepsi terhadap bahaya dan tekanan situasi (Sundberg,
Winebarger & Taplin, 2002 cit Hidayati, 2012). Berdasarkan beberapa pengertian
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa stres merupakan respon individu
terhadap suatu situasi dan kondisi yang menimbulkan tekanan.
Stres dapat timbul pada siapapun dan dimanapun pada berbagai aspek
kehidupan manusia. Hubungan antar individu yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan akan menimbulkan reaksi psikologis, fisik dan perilaku yang
berdampak timbulnya stres. Orang tua memiliki peranan penting dalam
mendorong semua aspek pertumbuhan anak, memelihara, melindungi dan
menuntun kehidupan baru melalui proses perkembangan (Gupta, 2012). Tugas
dan tanggung jawab sebagai orang tua yang besar membutuhkan proses
pengasuhan yang tepat untuk mendukung tumbuh kembang anak. Pengasuhan
merupakan proses aksi dan interaksi antara orang tua dan anak yang dapat
memberikan perubahan kepada kedua belah pihak. Proses pengasuhan ini
melibatkan adanya pengasuhan, perlindungan, petunjuk, memberikan kebutuhan-
kebutuhan dasar (basic needs), perhatian, kasih sayang dan nilai-nilai dalam
menjalani kehidupan (Holditch-Davis & Miles, 2005 cit. Fitriani 2012).
commit to user
8
library.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id
commit to user
library.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id
fisik dan lingkungan merupakan kesulitan tersendiri bagi orang tua yang dapat
menimbulkan stres pengasuhan.
b) Child demands menjelaskan bahwa kebutuhan dan permintaan yang tinggi
terhadap perhatian dan bantuan pada anak terutama yang mengalami hambatan
perkembangan dan memiliki kemandirian yang rendah.
c) Child mood merupakan hilangnya perasaan hal-hal positif pada anak yang bisa
dilihat dari ekspresi kesehariannya.
d) Distracbility menjelaskan bahwa orang tua merasa anaknya menunjukkan
perilaku yang terlalu aktif dan sulit mengikuti perintah.
3) The Parent Child Dysfunctional Interaction
Stres yang menunjukkan ketidakberfungsian interaksi antara orang tua dan anak
yang berfokus pada tingkat penguatan anak terhadap orang tua serta tingkat
harapan orang tua terhadap anak. Indikatornya meliputi :
a) Child reinforced parent yaitu tidak adanya rasa penguatan dari anak sehingga
proses pengasuhan tidak menghasilkan perasaan yang nyaman terhadap anak.
b) Acceptability of child to parent yaitu stres pengasuhan yang diakibatkan karena
ketidaksesuaian harapan orang tua dengan keadaan anak sehingga menyebabkan
penolakan orang tua.
c) Attachment merupakan kedekatan emosional dengan anak yang mempengaruhi
perasaan orang tua.
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ada tiga domain pada aspek stres
pengasuhan. Domain orang tua meliputi emosi dan tingkat depresi orangtua.
Domain anak berasal dari perilaku, kesehatan dan gangguan anak. Domain
Interaksi orang tua dan anak meliputi hubungan dan kedekatan orangtua dengan
anak. Apek-aspek stres pengasuhan ini diambil dari teori P-C-R (Parent Child
Relationship). Domain stres pengasuhan pada Teori P-C-R ini relevan terhadap
penelitian ini karena menjelaskan penyebab stres pengasuhan lebih spesifik. Teori
P-C-R ini juga lebih relevan dengan aspek alat ukur Parenting Stres Index (PSI)
yang digunakan untuk mengukur stres pengasuhan dalam penelitian ini.
commit to user
library.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id
commit to user
library.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id
2) Faktor Eksternal
a) Tuntutan yang tinggi dan besar serta harus terpenuhi akan membuat individu
mengalami tekanan psikologis yang tinggi dan menimbulkan stres. Tuntutan yang
tinggi meliputi sosial ekonomi dan pekerjaan orang tua. Orang tua dengan anak
penyandang disabilitas dituntut untuk memenuhi kebutuhan anak yang lebih tinggi
dibanding kebutuhan anak normal (Nomaguchi et al, 2014). Tingginya biaya dan
kebutuhan anak penyandang disabilitas memberikan beban tersendiri bagi orang
tua. Tekanan psikologis yang tinggi pada orang tua akan mengakibatkan
timbulnya stres (Azeem et al, 2013).
b) Perubahan gaya hidup dan budaya akan menuntut individu beradaptasi dan
mengalami perubahan dalam hidup (transisi). Peran sosial orang tua yang
memiliki anak disabilitas baik saat lahir atau dalam masa perkembangan akan
dituntut untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada pada anaknya.
Perubahan ini akan menimbulkan tekanan tersendiri pada orang tua yang
berakibat timbulnya stres (Hayes et al, 2012)
2. 1. 2. Tingkat Pendidikan
a. Pengertian
Pendidikan menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
b. Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan
Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 pada Bab VI bagian satu pasal 13
tentang jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal
yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pada pasal 14 tentang jenjang
pendidikan formal yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi. pada pasal 15 yaitu tentang jenis pendidikan mencakup
pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
commit to user
library.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id
c. Pendidikan Dasar
Menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 pasal 17 ayat (1) dan (2)
menyebutkan bahwa pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang
melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah
Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk
lain yang sederajat.
d. Pendidikan Menengah
Menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 pasal 17 ayat (1), (2) dan (3)
menyebutkan bahwa pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan
menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas
(SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
e. Pendidikan Tinggi
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 19 ayat (1) menyebutkan
pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah
yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, doktor
yang disleenggarakan oleh perguruam tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Parkes et al (2015) menunjukkan bahwa stres
pengasuhan pada ibu dengan tingkat pendidikan rendah memiliki tingkat stres
lebih tinggi dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan yang tinggi.
2. 1. 3. Status Pekerjaan
a. Pengertian
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Pekerjaan merupakan suatu
kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan hasil maksimal sesuai dengan profesi
yang ditekuni atau dimiliki (Ulwan, 2009 cit Hidayati, 2012). Kahya & Kesen
commit to menghasilkan
(2014) mengungkapkan bahwa pekerjaan user kebutuhan materi yang
library.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id
berbagai kesulitan hidup dan mengubah setiap tantangan menjadi peluang (Hema,
2015).
Stoltz (1997) mengungkapkan bahwa kecerdasan adversitas merupakan
variabel yang menentukan apakah seseorang tetap menyimpan harapan dan terus
memegang kendali ketika dalam situasi yang sulit. Kemampuan individu untuk
terus berusaha bertahan dan menyelesaikan berbagai kesulitan dapat ditentukan
dengan indeks kecerdasan adversitas (Phoolka & Kaur, 2012 cit. Tian, 2014).
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan
adversitas merupakan suatu kemampuan untuk mengukur daya tahan seseorang
dalam menghadapi situasi sulit dalam kehidupannya.
Kecerdasan Adversitas terdiri dari komponen penting berupa teori ilmiah dan
aplikasinya dalam aktivitas keseharian. Kecerdasan adversitas mempunyai 3
bentuk yaitu :
1) Suatu pengetahuan yang baru untuk memahami dan meningkatkan keberhasilan
dari berbagai sisi.
2) Suatu tolak ukur untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan
3) Serangkaian peralatan praktis yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki
respon seseorang terhadap kesulitan yang akan berakibat perbaikan efektivitas
pribadi dan profesional secara keseluruhan (Stolzt, 1997 cit. Fadhilah, 2014).
b. Tipe Kepribadian Kecerdasan Adversitas
Stoltz membagi tipe kecerdasan menjadi 3 kelompok yaitu :
1) Kelompok Quitters
Kelompok quitters merupakan individu-individu yang memilih keluar dari
masalah, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti dari permasalahan
kehidupan yang dihadapi. Kehidupan kelompok Quitters tidak menyenangkan,
cenderung datar dan segalanya mudah. Kelompok quitters memilih untuk
meninggalkan harapan dan impian yang dalam mencapainya harus menghadapi
banyak masalah.
2) Kelompok Campers
Kelompok campers merupakan kelompok individu yang mampu menghadapi
commit
tantangan kehidupan dan mencapai to user
harapan serta impiannya pada tingkat tertentu.
library.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id
merasakan stres yang tinggi. Namun jika dirinya mendapat dukungan dari
pasangan dalam melakukan pengasuhan anak maka tingkat stres yang dialaminya
lebih rendah (Ratnani, 2014).
Dukungan dari pasangan menjadi pengaruh yang kuat terhadap stres
pengasuhan. Tanggung jawab pengasuhan yang dibebankan pada salah satu
pasangan akan mengakibatkan stres yang dialami sangat tinggi. Namun bila kedua
pasangan saling bekerja sama dan membagi peran pengasuhan maka tingkat stres
yang dialami akan lebih rendah (Kim et al, 2016). Selain itu kualitas pengasuhan
anak yang lebih baik dari kerjasama antara pasangan suami istri menunjukkan
tekanan psikologis yang lebih rendah secara signifikan (Thullen et al, 2017).
Penelitian yang dilakukan oleh Yamaoka et al (2016) menunjukkan bahwa
dukungan suami yang kuat pada ibu yang memiliki anak dengan disabilitas
memiliki tingkat stres lebih rendah dibandingkan dengan ibu yang mendapatkan
dukungan suami yang rendah.
b. Dukungan Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami dan istri
atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (UU
Nomor 52 Tahun 2009). Keluarga secara tradisional dibagi menjadi dua yaitu
keluarga inti (Nuclear Family) dan keluarga besar (Extended Family). Keluarga
inti terdiri dari ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunan atau adopsi atau
keduanya. Keluarga besar adalah keluarga inti ditambah dengan anggota lain yang
masih memiliki hubungan darah (Prasetyawati, 2011).
Dukungan sosial yang berasal dari keluarga memberi pengaruh terhadap
tingkat stres yang dialami ibu. Peran keluarga menjadi penting ketika ada anggota
keluarga yang cacat atau penyandang disabilitas. Apalagi lingkungan sosial
mayarakat yang masih sering memberikan stigma negatif pada penyandang
disabilitas, dukungan keluarga menjadi faktor yang kuat dalam memberikan
dampak positif tidak hanya pada anak penyandang disabilitas tetapi setiap anggota
keluarga terutama ibu dalam melakukan proses pengasuhan pada anaknya yang
penyandang disabilitas (Lara, 2017). Penelitian yang dilakukan oleh Mitchell
commit to user
(2015) menunjukkan bahwa dukungan keluarga memiliki pengaruh yang
library.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id
pada ibu yang memiliki anak autis. Pengambilan data menggunakan skala stres
pengasuhan (Parenting Stress Index-Short Form), skala kecerdasan adversitas
(Adversity Response Profile) dan skala dukungan pasangan. Analisi data
menggunakan regresi linier ganda. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan
kecerdasan adversitas dan dukungan pasangan dengan stres pengasuhan pada ibu
yang memilki anak autis. Koefisien determinasi diperoleh sebesar 0,538 artinya
terdapat pengaruh sebesar 53,8% yang berasal dari variabel kecerdasan adversitas
dan dukungan pasangan terhadap stes pengasuhan pada ibu dengan anak autis,
sedangkan sisanya sebesar 46,2% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
diajuakan dalam penelitian ini. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada
jumlah variabel yang diteliti, subyek penelitian dan analisis multivariatnya.
b. Penelitian yang dilakukan Fina Hidayati (2012) dengan judul “Pengaruh
Pelatihan “Pengasuhan Ibu Cerdas” terhadap Stres Pengasuhan pada Ibu dari
Anak Autis”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan
“Pengasuhan Ibu Cerdas” terhadap stres pengasuhan pada ibu dengan anak autis.
Stres pengasuhan diukur menggunakan skala PSI (Parenting Stress Index)
sebelum dilakukan pelatihan (pretest), sesudah diberikan pelatihan (posttest) dan
seminggu setelah perlakuan (follow up). Analisis kuantitatif menggunakan teknik
Wilcoxon signed rank (non parametric). Berdasarkan analisis data kuantitatif dari
pengukuran pretest dan posttest pada kelompok eksperimen didapatkan nila Z
sebesar -2,499 dan taraf signifikan 0,012 (p<0,05) yang menunjukkan adanya
penurunan stres pengasuhan yang signifikan pada kelompok eksperimen setelah
diberikan pelatihan. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada jenis penelitian,
subyek penelitian dan analisi data.
c. Penelitian yang dilakukan oleh Hutchison et al (2016) dengan judul Relation
between Parenting Stress, Parenting Style and Child Executive Function for
Children with ADHD or Autism. Penelitian ini menjelaskan hubungan stres
pengasuhan, pola asuh orang tua dan perkembangan anak pada anak dengan
ADHD atau autisme. Penelitian ini menggunakan sampel 82 anak dengan rentang
usia 7-18 tahun yang dibagi menjadi tiga kelompok yaitu 28 anak kelompok
commit
kontrol, 33 anak dengan ASD dan to user
21 anak dengan ADHD. Skala pengukuran
library.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id
yang digunakan yaitu Parenting Stress Index (PSI) untuk mengukur stres
pengasuhan, Parenting Practice Questionner (PPQ) untuk mengidentifikasi pola
asuh orang tua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua dengan anak
ADHD dan ASD memiliki mengalami stres pengasuhan dibandingkan anak-anak
yang normal dengan nilai d = 2.33 pada kelompok ADHD dan nilai d= 1.98 pada
kelompok ASD. Namun tidak ada perbedaan tingkat stres pengasuhan antara
kelompok ADHD dan ASD. Terdapat hubungan antara pola asuh dengan
perkembangan anak dan itu untuk semua kelompok. Perbedaan dengan penelitian
ini terletak pada jumlah variabel yang diteliti dan analisis data.
d. Penelitian yang dilakukan oleh Gupta et al (2012) dengan judul Parental Stress
in Raising a Child with Disabilities in India. Penelitian ini bertujuan untuk
mencari determinan stres pengasuhan pada orang tua yang memiliki anak
disabilitas. Skala pengukuran menggunakan The Parenting Stress Index-short
form pada 66 orang tua yang memiliki anak disabilitas. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa stres pengasuhan tinggi pada orang tua yang memiliki anak
perempuan dengan kecacatan dan dukungan keluarga rendah. Perbedaan dengan
penelitian ini terletak pada analisis data multivariat.
e. Penelitian yang dilakukan oleh Felizardo et al (2016) dengan judul Parental
Adjustment to Disability, Stress Indicator and the Influence of Social Support.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perbedaan stres pengasuhan dan
dukungan sosial pada orang tua yang memiliki anak penyandang disabilitas dan
orang tua yang memiliki anak normal. Metode penelitian menggunakan studi
deskripsi korelasi dengan menggunakan sampel 152 orang tua yang memiliki anak
penyandang disabilitas berbeda. Komposisi orang tua dengan memiliki anak
disabilitas intelektual sebesar 82 orang, orang tua dengan anak disabilitas sensorik
sebesar 37 orang dan orang tua dengan anak autis sebesar 33 orang. Alat ukur
penelitian ini menggunakan kuesioner Parenting Stess Index versi Portugis,
kuesioner dukungan sosial-short form dan kuesioner demografi orang tua. Hasil
penelitian menyebutkan bahwa ada perbedaan yang signifikan stres pengasuhan
dan dukungan sosial antara kelompok orang tua yang memiliki anak disabilitas
commit to user
library.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id
intelektual, disabilitas sensorik dan autis. Perbedaan dengan penelitian ini terletak
pada jumlah variabel yang diteliti dan analisis data.
f. Penelitian yang dilakukan oleh Dilara et al (2016) dengan judul Parenting
Stress and Home-Based Literacy Interactions in Low-Income Preschool Families.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pendidikan orang tua, stres
pengasuhan dan aktivitas pendidikan di rumah terhadap intreaksi orang tua-anak
pra-sekolah pada keluarga sosial ekonomi rendah. Subyek penelitian berjumlah 78
pengasuh anak pra-sekolah usia 3-5 tahun. Analisa data multivariat menggunakan
model regresi. Alat ukur stres pengasuhan menggunakan Parenting Stress Index-
short form dan Family Involvement Questionnaire-Early Childhood version. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orang tua memiliki hubungan
yang signifikan terhadap kerekatan interaksi orang tua-anak melalui pendekatan
aktivitas pendidikan di rumah. Stres pengasuhan menjadi prediktor yang kuat dari
rendahnya interaksi orang tua dengan anak. Perbedaan dengan penelitian ini
terletak pada jumlah variabel independen, analisis data multivariat dan subyek
penelitian.
g. Penelitian yang dilakukan oleh Azad et al (2013) dengan judul Mothers of
children with Developmental Disabilities : Stress in early and middle childhood.
Penelitian ini menggunakan 219 keluarga yang memiliki anak penyandang
disabilitas (94 anak) dan anak yang normal (125 anak). Tujuan penelitian ini
untuk mengetahui tingkat stres ibu yang memiliki anak penyandang disabilitasn
dan anak normal di usia 3-5 tahun dan usia 6-13 tahun. Alat ukur yang digunakan
adalah kuesioner Stanford-Binet Intelligence Scale-Fourt Edition, Vineland
Adaptive Behavior Scales, Family Impac Questionnaire, Child Behavior
Checklist, dan Social Skills Rating System. Metode penelitian menggunakan case
control. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres pada ibu dengan anak
penyandang disabilitas lebih tinggi dari ibu dengan anak yang perkembangannya
normal. Tingkat stres ibu juga lebih tinggi pada ibu yang memiliki anak usia
pertengahan yaity 6-13 tahun dari pada usia awal (3-5 tahun). Hal ini karena
faktor karakteristik anak, permasalahan perilaku dan keterampilan sosial yang
commit to user
library.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id
meningkat pada usia pertengahan. Perbedaan penelitian ini terletak pada metode
penelitian, alat ukur, analisis data multivariat dan subyek penelitian
2. 3 Kerangka Teori
Stres Pengasuhan
Sumber : Junida (2015); Sarafino dan Smith (2011); Kartiko (2016); Nomaguchi
et al (2014); Azeem et al (2013); Hayes et al (2012); Tian (2014); Sahban et al
(2015); Parkes et al (2015)
commit to user
library.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id
2. 4 Kerangka Berpikir
Stres Pengasuhan
2. 5 Hipotesis
2. 5. 1 Terdapat hubungan tingkat pendidikan terhadap stres pengasuhan pada ibu
dengan anak penyandang disabilitas. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan
yang rendah memiliki kecenderungan untuk mengalami stres pengasuhan.
2. 5. 2 Terdapat hubungan status pekerjaan ibu terhadap stres pengasuhan pada
ibu dengan anak penyandang disabilitas. Ibu yang bekerja memiliki
kecenderungan untuk mengalami stres pengasuhan lebih tinggi dari pada ibu
yang tidak bekerja.
2. 5. 3 Terdapat hubungan pendapatan keluarga terhadap stres pengasuhan pada
ibu dengan anak penyandang disabilitas. Ibu yang memiliki pendapatan
keluarga yang tinggi memiliki kecenderungan lebih rendah untuk mengalami
stres pengasuhan.
commit to user
library.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id
commit to user