Anda di halaman 1dari 22

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
LANDASAN TEORI

2. 1 Tinjauan Pustaka
2. 1. 1. Stres Pengasuhan (Parenting Stress)
a. Pengertian
Stres menurut Canon (1914) merupakan respon tubuh terhadap sesuatu. Selye
(1950) mendefinisikan stres adalah respon individu terhadap rangsangan yang
diberikan pada suatu kondisi tertentu. Lazarus dan Folkman (1984) menyebutkan
bahwa stres merupakan hubungan antara individu dengan lingkungannya terhadap
situasi yang berbahaya sehingga menimbulkan tekanan pada individu (Bartlett,
1998 cit. Gaol, 2016). Stres merupakan kondisi yang menuntut respon tertentu dan
sistem penyesuaian dari individu yang memerlukan kebutuhan energi fisiologis
dan psikologis sesuai presepsi terhadap bahaya dan tekanan situasi (Sundberg,
Winebarger & Taplin, 2002 cit Hidayati, 2012). Berdasarkan beberapa pengertian
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa stres merupakan respon individu
terhadap suatu situasi dan kondisi yang menimbulkan tekanan.
Stres dapat timbul pada siapapun dan dimanapun pada berbagai aspek
kehidupan manusia. Hubungan antar individu yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan akan menimbulkan reaksi psikologis, fisik dan perilaku yang
berdampak timbulnya stres. Orang tua memiliki peranan penting dalam
mendorong semua aspek pertumbuhan anak, memelihara, melindungi dan
menuntun kehidupan baru melalui proses perkembangan (Gupta, 2012). Tugas
dan tanggung jawab sebagai orang tua yang besar membutuhkan proses
pengasuhan yang tepat untuk mendukung tumbuh kembang anak. Pengasuhan
merupakan proses aksi dan interaksi antara orang tua dan anak yang dapat
memberikan perubahan kepada kedua belah pihak. Proses pengasuhan ini
melibatkan adanya pengasuhan, perlindungan, petunjuk, memberikan kebutuhan-
kebutuhan dasar (basic needs), perhatian, kasih sayang dan nilai-nilai dalam
menjalani kehidupan (Holditch-Davis & Miles, 2005 cit. Fitriani 2012).
commit to user

8
library.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

Pengasuhan merupakan proses membesarkan dan mendidik seorang anak


sejak lahir sampai dewasa yang melibatkan usaha untuk mewujudkan kebutuhan
fisik, emosional, psikologis, dan perkembangan anak. Komitmen jangka panjang
yang membutuhkan tugas fisik dan tanggung jawab psikologis seperti
memberikan kasih sayang, stimulasi dan disiplin yang efektif. Tahap
perkembangan tersebut melalui pola asuh yang efektif yang ditandai dengan
konsistensi, kehangatan, responsif, pemeliharaan, struktur, pengawasan dan
otonomi yang sesuai dengan perkembangan anak (Rampou et al, 2015).
Pengasuhan menjadi sebuah pengalaman yang unik bagi setiap orang tua dalam
perubahan kehidupan mereka. Kesulitan dan tuntutan dalam memenuhi tugas
sebagai orang tua dalam proses pengasuhan anak mengakibatkan munculnya stres
pengasuhan atau parenting stress (Hayes et al, 2012). Parenting stress
didefinisikan sebagai serangkaian proses pada kondisi psikologis yang tidak
disukai dan reaksi psikologis orang tua serta merupakan situasi penuh tekanan
dalam melaksanakan tugas perkembangan anak (Lestari, 2012).
Stres pengasuhan timbul akibat ketidaksesuaian antara tuntutan dan
kemampuan yang dimiliki orang tua dalam memenuhi tuntutan tersebut. Peran
sebagai orang tua akan bermasalah sehingga dapat menimbulkan stres pengasuhan
(Craig et al, 2016). Respon yang dihasilkan berupa psikologis negatif orang tua
dalam menghadapi konflik dengan anak (Batool et al, 2015).
Pengertian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa stres pengasuhan
merupakan kondisi dimana fungsi peran sebagai orang tua dalam pengasuhan dan
interaksi dengan anak mengalami ketidakseimbangan sehingga mengakibatkan
respon negatif dan menimbulkan konflik.
b. Aspek-Aspek Stres Pengasuhan
Model stres pengasuhan Abidin (Ahern, 2004 cit. Junida, 2015) memberikan
penjelasan bahwa stres mendorong kearah tidak berfungsinya pengasuhan orang
tua dalam menghadapi konflik dengan anak.
Model pengasuhan orang tua ini dapat dibagi dalam beberapa aspek yaitu :

commit to user
library.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

1) The Parent Distress


Stres pengasuhan disini menunjukkan pengalaman stres orang tua sebagai fungsi
dari faktor pribadi dalam memecahkan permasalahan stres lain yang secara
langsung berhubungan dengan peran orang tua dalam pengasuhan anak. Tingkat
stres pengasuhan ini berhubungan dengan karakteristik individu yang mengalami
gangguan. Indikatornya meliputi :
a) Feeling of competence yaitu orang tua diliputi oleh tuntutan dari perannya dan
kurangnya perasaan dalam kemampuan merawat anak. Orang tua yang memiliki
pengetahuan yang kurang dalam hal perkembangan dan keterampilan anak
berhubungan dengan indikator ini.
b) Social isolation merupakan kondisi orang tua yang terisolasi secara sosial dan
tidak adanya dukungan emosional sehingga meningkatkan pengabaian anak dalam
pengasuhan.
c) Restrictim imposed by parent role merupakan pembatasan pada kebebasan
pribadi. Orang tua melihat dirinya sebagai hal yang dikendalikan dan dikuasai
oleh kebutuhan dan permintaan anak sehingga mengakibatkan frustasi.
d) Relationship with spouse merupakan konflik antar hubungan orang tua yang
menjadi sumber stres utama. Konflik utama melibatkan tidak adanya dukungan
emosional dan material dari pasangan.
e) Health of parent yaitu efektivitas proses pengasuhan orang tua dengan anak
yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan orang tua pada taraf tertentu.
f) Parent depression yaitu orang tua mengalami beberapa gejala depresi ringan
hingga menegah. Depresi orang tua ini dapat mengurangi kemampuan dalam
pengasuhan yang dihubungkan dengan tingkatan depresi meliputi hilangnya
energi.
2) The Difficult Child
Stres pengasuhan yang dijelaskan dengan munculnya perilaku anak yang terlibat
dalam mempermudah atau mempersulit orang tua dalam pengasuhan. Indikator ini
disebabkan karena anak memiliki gangguan karakteristik tingkah laku yaitu :
a) Child adaptability menunjukkan karakteristik perilaku yang membuat anak
commit
sulit diatur. Ketidakmampuan anak to menyesuaikan
untuk user diri dengan perubahan
library.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

fisik dan lingkungan merupakan kesulitan tersendiri bagi orang tua yang dapat
menimbulkan stres pengasuhan.
b) Child demands menjelaskan bahwa kebutuhan dan permintaan yang tinggi
terhadap perhatian dan bantuan pada anak terutama yang mengalami hambatan
perkembangan dan memiliki kemandirian yang rendah.
c) Child mood merupakan hilangnya perasaan hal-hal positif pada anak yang bisa
dilihat dari ekspresi kesehariannya.
d) Distracbility menjelaskan bahwa orang tua merasa anaknya menunjukkan
perilaku yang terlalu aktif dan sulit mengikuti perintah.
3) The Parent Child Dysfunctional Interaction
Stres yang menunjukkan ketidakberfungsian interaksi antara orang tua dan anak
yang berfokus pada tingkat penguatan anak terhadap orang tua serta tingkat
harapan orang tua terhadap anak. Indikatornya meliputi :
a) Child reinforced parent yaitu tidak adanya rasa penguatan dari anak sehingga
proses pengasuhan tidak menghasilkan perasaan yang nyaman terhadap anak.
b) Acceptability of child to parent yaitu stres pengasuhan yang diakibatkan karena
ketidaksesuaian harapan orang tua dengan keadaan anak sehingga menyebabkan
penolakan orang tua.
c) Attachment merupakan kedekatan emosional dengan anak yang mempengaruhi
perasaan orang tua.
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ada tiga domain pada aspek stres
pengasuhan. Domain orang tua meliputi emosi dan tingkat depresi orangtua.
Domain anak berasal dari perilaku, kesehatan dan gangguan anak. Domain
Interaksi orang tua dan anak meliputi hubungan dan kedekatan orangtua dengan
anak. Apek-aspek stres pengasuhan ini diambil dari teori P-C-R (Parent Child
Relationship). Domain stres pengasuhan pada Teori P-C-R ini relevan terhadap
penelitian ini karena menjelaskan penyebab stres pengasuhan lebih spesifik. Teori
P-C-R ini juga lebih relevan dengan aspek alat ukur Parenting Stres Index (PSI)
yang digunakan untuk mengukur stres pengasuhan dalam penelitian ini.

commit to user
library.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi Stres Pengasuhan


Sarafino dan Smith (2011) menyebutkan bahwa stres timbul karena beberapa
faktor. Faktor penyebab stres dibagi menjadi dua yaitu :
1) Internal (Personal)
a) Intelektual yaitu kemampuan individu untuk melakukan pemecahan masalah,
uji nalar, berpikir dan aktivitas mental. Individu yang memiliki kecerdasan
intelektual tinggi akan merasa mampu dan yakin dalam memandang dan
menghadapi suatu masalah. Permasalahan yang dihadapi dipandang sebagai suatu
tantangan bukan ancaman. Orang tua dengan anak penyandang disabilitas yang
memiliki tingkat intelektual yang tinggi akan memiliki kemampuan untuk mencari
informasi dan pengetahuan tentang cara perawatan dan pengasuhan yang tepat
bagi anaknya. Sehingga dapat permasalahan anaknya yang penyandang disabilitas
mampu ditangani dan dapat mengurangi risiko timbulnya stres.
b) Motivasi dan persepsi merupakan suatu hal yang menjelaskan tentang
pandangan, kekuatan, intensitas dan ketekunan individu dalam mencapai tujuan.
Masalah yang dihadapi individu saat mencapai suatu tujuan menjadi ancaman
yang dapat menimbulkan stres yang tinggi. Faktor motivasi dan persepsi yang
dimiliki orang tua dengan anak peyandang disabilitas dapat menentukan tinggi
rendahnya tingkat stres yang timbul. Motivasi tinggi dan persepsi kuat akan
memberikan kekuatan, intensitas, arah dan ketekunan orang tua dalam
menghadapi masalah anaknya yang penyandang disabilitas (Deater Dekard, 2004
cit. Kartiko, 2016).
c) Karakteristik kepribadian yaitu cara individu bereaksi dan berinteraksi dengan
individu yang lain. Karakteristik kepribadian individu dapat menentukan
tanggapan terhadap suatu masalah yang timbul. Permasalahan yang kecil dapat
dianggap menjadi permasalahan yang besar sehingga menimbulkan ketegangan
emosional dan dapat mengancam kesehatan jika berlangsung lama. Faktor
karakteristik kepribadian orang tua yang berbeda-beda akan memberikan
tanggapan yang berbeda pula terhadap masalah yang dihadapi.

commit to user
library.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

2) Faktor Eksternal
a) Tuntutan yang tinggi dan besar serta harus terpenuhi akan membuat individu
mengalami tekanan psikologis yang tinggi dan menimbulkan stres. Tuntutan yang
tinggi meliputi sosial ekonomi dan pekerjaan orang tua. Orang tua dengan anak
penyandang disabilitas dituntut untuk memenuhi kebutuhan anak yang lebih tinggi
dibanding kebutuhan anak normal (Nomaguchi et al, 2014). Tingginya biaya dan
kebutuhan anak penyandang disabilitas memberikan beban tersendiri bagi orang
tua. Tekanan psikologis yang tinggi pada orang tua akan mengakibatkan
timbulnya stres (Azeem et al, 2013).
b) Perubahan gaya hidup dan budaya akan menuntut individu beradaptasi dan
mengalami perubahan dalam hidup (transisi). Peran sosial orang tua yang
memiliki anak disabilitas baik saat lahir atau dalam masa perkembangan akan
dituntut untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada pada anaknya.
Perubahan ini akan menimbulkan tekanan tersendiri pada orang tua yang
berakibat timbulnya stres (Hayes et al, 2012)
2. 1. 2. Tingkat Pendidikan
a. Pengertian
Pendidikan menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
b. Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan
Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 pada Bab VI bagian satu pasal 13
tentang jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal
yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pada pasal 14 tentang jenjang
pendidikan formal yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi. pada pasal 15 yaitu tentang jenis pendidikan mencakup
pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
commit to user
library.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

c. Pendidikan Dasar
Menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 pasal 17 ayat (1) dan (2)
menyebutkan bahwa pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang
melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah
Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk
lain yang sederajat.
d. Pendidikan Menengah
Menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 pasal 17 ayat (1), (2) dan (3)
menyebutkan bahwa pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan
menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas
(SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
e. Pendidikan Tinggi
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 19 ayat (1) menyebutkan
pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah
yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, doktor
yang disleenggarakan oleh perguruam tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Parkes et al (2015) menunjukkan bahwa stres
pengasuhan pada ibu dengan tingkat pendidikan rendah memiliki tingkat stres
lebih tinggi dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan yang tinggi.
2. 1. 3. Status Pekerjaan
a. Pengertian
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Pekerjaan merupakan suatu
kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan hasil maksimal sesuai dengan profesi
yang ditekuni atau dimiliki (Ulwan, 2009 cit Hidayati, 2012). Kahya & Kesen
commit to menghasilkan
(2014) mengungkapkan bahwa pekerjaan user kebutuhan materi yang
library.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

menjadi kebutuhan keluarga. Kebutuhan yang tidak terpenuhi akan berdampak


pada kondisi emosional anggota keluarga. Penjelasan diatas memberikan
kesimpulan bahwa status pekerjaan merupakan kegiatan menghasilkan barang dan
jasa yang dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
b. Jenis Pekerjaan
Pekerjaan yang dilakukan seseorang menurut Badan Pusat Statistik dibedakan
menjadi 7 kategori yaitu :
1) Berusaha sendiri.
Seseorang yang bekerja dengan menanggung risiko secara ekonomis artinya
mengeluarkan modal untuk usahanya secara mandiri.
2) Berusaha dibantu buruh tidak tetap atau tidak dibayar.
Seseorang yang bekerja atas resiko sendiri dan menggunakan tenaga atau pekerja
tak dibayar atau buruh tidak tetap.
3) Berusaha dibantu buruh tetap atau buruh dibayar.
Seseorang yang bekerja atas risiko sendiri dan mempekerjakan paling sedikit satu
orang pekerja tetap yang dibayar.
4) Pegawai, Karyawan atau Buruh.
Seseorang yang bekerja pada orang lain atau instansi atau perusahaan secara tetap
dengan menerima upah berupa uang atau barang.
5) Pekerja bebas di pertanian.
Seseorang yang bekerja pada orang lain atau institusi yang tidak tetap di usaha
pertanian baik berupa usaha rumah tangga maupun usaha bukan usaha rumah
tangga atas dasar balas jasa dengan menerima imbalan baik berupa uang atau
barang dengan sistem pembayaran harian maupun borongan.
6) Pekerja bebas di non pertanian.
Seseorang yang bekerja pada orang lain atau institusi yang tidak tetap di usaha
non pertanian dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang atau barang.
7) Pekerja keluarga atau tidak dibayar.
Seseorang yang bekerja membantu usaha orang lain dengan tidak mendapat upah
atau gaji berupa uang atau barang.
commit to user
library.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

Penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa status pekerjaan merupakan jenis


kedudukan seseorang dalam melakukan pekerjaan di suatu unit usaha atau
kegiatan yang dibedakan menjadi 7 kategori yaitu usaha sendiri, usaha dibantu
buruh yang tidak dibayar, usaha yang dibantu buruh yang dibayar, karyawan atau
pegawai, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di nonpertanian dan pekerja
keluarga. Penelitian Sinai (2012) menunjukkan bahwa ibu yang bekerja memiliki
tingkat stres lebih tinggi dibandingkan ibu rumah tangga.
2. 1. 4. Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan riil dari total anggota keluarga di
rumah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun
perseorangan dalam rumah tangga. Undang-undang No 10 Tahun 1994 pasal 4
ayat 1 mendefiniskan pengasilan adalah “Setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun
luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apapun”.
Status ekonomi keluarga memiliki dampak pada kehidupan hampir setiap
orang. Kondisi ekonomi yang tidak stabil akan membuat individu menjadi cemas
dan khawatir untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kekhawatiran dan kecemasan
yang berlebihan akan memicu timbulnya stres mempengaruhi pada timbulnya
stres, seperti penelitian yang dilakukan Zalewski et al (2012) bahwa pendapatan
keluarga yang rendah memiliki hubungan dengan tingkat stres pada ibu. Status
sosial ekonomi menjadi prediktor kuat terhadap kesehatan mental. Tingkat stres
ibu terbukti lebih tinggi pada keluarga yang memiliki pendapatan keluarga yang
rendah.
2. 1. 5. Kecerdasan Adversitas
a. Pengertian
Kecerdasan adversitas atau Adversity Quotient pertama kali diperkenalkan oleh
Paul G. Stoltz yang ingin mengungkapkan hubungan manusia dan kesulitan hidup.
Kecerdasan adversitas
secara luas digunakan untuk mengukur dan
commit to untuk
mengembangkan kemampuan individu user bertahan dalam menghadapi
library.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

berbagai kesulitan hidup dan mengubah setiap tantangan menjadi peluang (Hema,
2015).
Stoltz (1997) mengungkapkan bahwa kecerdasan adversitas merupakan
variabel yang menentukan apakah seseorang tetap menyimpan harapan dan terus
memegang kendali ketika dalam situasi yang sulit. Kemampuan individu untuk
terus berusaha bertahan dan menyelesaikan berbagai kesulitan dapat ditentukan
dengan indeks kecerdasan adversitas (Phoolka & Kaur, 2012 cit. Tian, 2014).
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan
adversitas merupakan suatu kemampuan untuk mengukur daya tahan seseorang
dalam menghadapi situasi sulit dalam kehidupannya.
Kecerdasan Adversitas terdiri dari komponen penting berupa teori ilmiah dan
aplikasinya dalam aktivitas keseharian. Kecerdasan adversitas mempunyai 3
bentuk yaitu :
1) Suatu pengetahuan yang baru untuk memahami dan meningkatkan keberhasilan
dari berbagai sisi.
2) Suatu tolak ukur untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan
3) Serangkaian peralatan praktis yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki
respon seseorang terhadap kesulitan yang akan berakibat perbaikan efektivitas
pribadi dan profesional secara keseluruhan (Stolzt, 1997 cit. Fadhilah, 2014).
b. Tipe Kepribadian Kecerdasan Adversitas
Stoltz membagi tipe kecerdasan menjadi 3 kelompok yaitu :
1) Kelompok Quitters
Kelompok quitters merupakan individu-individu yang memilih keluar dari
masalah, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti dari permasalahan
kehidupan yang dihadapi. Kehidupan kelompok Quitters tidak menyenangkan,
cenderung datar dan segalanya mudah. Kelompok quitters memilih untuk
meninggalkan harapan dan impian yang dalam mencapainya harus menghadapi
banyak masalah.
2) Kelompok Campers
Kelompok campers merupakan kelompok individu yang mampu menghadapi
commit
tantangan kehidupan dan mencapai to user
harapan serta impiannya pada tingkat tertentu.
library.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

Kelompok campers akan menghentikan kemampuannya saat menghadapi situasi


dan kondisi yang tidak bersahabat. Kelompok campers mengorbankan bagian
puncak yaitu aktualisasi diri dan bertahan pada apa yang telah diperoleh.
3) Kelompok Climbers
Stoltz menyebut kelompok climbers sebagai para pendaki. Kelompok ini
merupakan individu-individu yang kuat dan berani untuk terus mendaki ke puncak
tujuannya. Berbagai masalah, latar belakang, keuntungan atau kerugian, umur,
jenis kelamin tidak dihiraukan untuk mencapai keinginannya.
c. Dimensi Kecerdasan Adversitas
Stolzt (2000) membagi dimensi kecerdasan adversitas seseorang menjadi 4 yaitu :
1) Kendali diri (Control)
Kendali diri merupakan kemampuan individu dalam mengendalikan respon
terhadap situasi. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi akan
mampu mengendalikan respon terhadap peristiwa-peristiwa dalam kesehariannya
dibandingkan dengan individu yang memiliki kecerdasan adversitas rendah.
2) Asal-usul pengakuan (Origin dan Ownership)
Dimensi origin dan ownership merupakan kemampuan individu dalam
menempatkan rasa bersalah terhadap masalah yang terjadi. Individu dengan
kecerdasan adversitas rendah cenderung menempatkan rasa bersalah pada
peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi.
3) Jangkauan (Reach)
Reach merupakan dimensi kemampuan individu dalam menjangkau dan
membatasi masalah agar tidak menjadi lebih besar. Respon individu dengan
kecerdasan adversitas rendah akan membuat kesulitan berdampak ke berbagai segi
kehidupan. Jika dibiarkan akan membuat individu merasa cemas dan tidak tenang.
4) Daya tahan (Endurance)
Daya tahan merupakan kemampuan individu dalam memandang kesulitan dan
masalah yang dihadapi menjadi sebuah kekuatan untuk menyeleseikan masalah
tersebut. Dimensi ini berupaya melihat persepsi seseorang terkait berapa lama
kesulitan berlangsung. Individu yang mempunyai kecerdasan adversitas rendah
mempunyai kemungkinan yangcommit besarto user
untuk menganggap kesulitan dan
library.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

penyebabnya akan berlangsung lama. Keadaan ini akan menyebabkan munculnya


sifat pesimistik dan ketidak berdayaan individu.
Kecerdasan adversitas memiliki 4 dimensi yang dijadikan penilaian pada
individu. Dimensi ini disusun oleh Stoltz (2000) cit. Tian (2014) untuk
menciptakan skala Adversity Response Profile yang digunakan untuk mengukur
kecerdasan adversitas individu. Dimensi kontrol, kepemilikan, jangkauan dan
daya tahan menjadi domain dalam skala Adversity Response Profile. Penelitian
Ratnani (2014) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sebesar 53,8% yang
berasal dari variabel kecerdasan adversitas terhadap stres pengasuhan pada ibu
dengan anak penyandang disabilitas..
2. 1. 6 Anak Penyandang Disabilitas
a. Pengertian
Disabilitas atau berkebutuhan khusus menurut Convention on the Rights of
Persons with Disabilities merupakan suatu konsep yang terus berkembang dimana
penyandang disabilitas mencakup mereka yang memiliki keterbatasan fisik,
mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama dan ketika berhadapan
dengan berbagai hambatan dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektivitas
mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya
(Kemenkes, 2014). Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 menyebutkan bahwa
penyandang cacat merupakan setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan
atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan secara layak yang terdiri dari penyandang cacat fisik,
penyandang cacat mental serta penyandang cacat fisik dan mental. Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa
definisi anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
Anak penyandang disabilitas berdasarkan penjelasan di atas merupakan anak
yang berusia dari 0 tahun hingga 18 tahun yang mengalami kelainan fisik, mental
atau ganda yang menghalangi partisipasi penuh dan efektivitas mereka dalam
kehidupan bermasyarakat. Penelitian ini mengambil subyek penelitian pada ibu
commit to berusia
yang memiliki anak penyandang disabilitas user 0 tahun hingga 18 tahun.
library.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

b. Klasifikasi Anak Penyandang Disabilitas


Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 mengklasifikasikan penyandang cacat
menjadi tiga, yaitu :
1) Disabilitas Fisik
Disabilitas fisik terdiri dari cacat tubuh, cacat rungu dan wicara serta cacat netra.
2) Disabilitas Mental
Disabilitas mental terdiri dari cacat mental retardasi dan cacat perkembangan
(psikologis).
3) Disabilitas Fisik dan Mental
Seseorang yang memiliki keterbatasan pada fisik dan mentalnya.
WHO (1980) yang dikutip Badan Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial
Kementerian Sosial mengklasifikasikan penyandang cacat dalam International
Clasification of Functioning for Disability and Health (ICF) dibagi dalam tiga
aspek yaitu Impairment (kehilangan), Disability (ketidakmampuan) dan Handicap
(kesulitan). Klasifikasi ini kemudian mengkategorikan penyandang disabilitas
dalam beberapa kategori yaitu
1) Gangguan Penglihatan
Kelainan seseorang pada penglihatannya yang dikategorikan menjadi tiga yaitu
penglihatan sisa, persepsi cahaya dan buta total.
2) Gangguan Pendengaran
Seseorang dikatakan gangguan pendengaran jika tidak dapat mendengar suara
dengan jelas seperti membedakan sumber, volume dan kualitas suara.
3) Gangguan Bicara
Seseorang dikatakan gangguan bicara jika mengalami kesulitan berbicara saat
berhadapan tanpa terhalang sesuatu, tidak dapat berbicara sama sekali atau
pembicaraannya tidak dimengerti atau dapat berkomunikasi dengan bahasa
isyarat.
4) Gangguan Penggunaan lengan dan jari tangan
Gangguan pada koordinasi lengan dan tanga untuk menggerakkan benda atau
lainnya.
commit to user
library.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

5) Gangguan penggunaan kaki


Gangguan pada seseorang saat berjalan termasuk yang tidak memiliki jari, kaki
maupun pergelangan kaki.
6) Gangguan kelainan bentuk tubuh
Kelainan seseorang pada tulang, otot atau sendi, kelumpuhan anggota gerak, tidak
ada atau lengkapnya anggota gerak sehingga menimbulkan gangguan gerak.
7) Gangguan mental retardasi
Kelainan yang sering terjadi sejak kecil dimana anak mengalami hambatan
perkembangan kecerdasan, perkembangan perilaku, fungsi sosial.
8) Gangguan eks penyakit jiwa atau psikotik
Kelainan seseorang yang pernah mengalami gangguan jiwa yang telah dinyatakan
sembuh secara medis namun masih memerlukan pemulihan fungsi sosialnya.
Klasifikasi anak penyandang disabilitas diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa anak penyandang disabilitas dapat dibagi dalam kategori keterbatasan pada
fisik, mental dan ganda (fisik dan mental). Anak dengan jenis disabilitas ganda
memiliki resiko terjadinya tingkat stres pengasuhan yang lebih tinggi
dibandingkan anak dengan jenis disabilitas tunggal. Penelitian dari Yasser (2015)
menyebutkan bahwa ibu dengan anak penyandang disabilitas ganda memiliki
tingkat skor stres pengasuhan 5,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang
memiliki anak penyandang disabilitas tunggal. Penelitian yang sama juga
dilakukan oleh Craig (2016) yang menyebutkan bahwa tingkat stres orang tua
dengan anak penyandang disabilitas gandalebih tinggi dibandingkan dengan orang
tua yang memiliki anak penyandang disabilitas tunggal.
2. 1. 7. Dukungan Suami dan Keluarga
a. Dukungan Suami
Proses pengasuhan atau parenting memiliki komponen penting yang tidak
lepas dari dukungan sosial. Dukungan dari pasangan, saudara, tetangga dan teman
dapat mengurangi risiko orang tua mengalami parenting stress (Batool et al,
2015). Dukungan sosial yang berasal dari pasangan menjadi dukungan yang
paling berpengaruh terhadap parenting stress. Ketika salah satu pasangan
mendapat tanggung jawab penuhcommit
dalamtopengasuhan
user anak maka dirinya akan
library.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

merasakan stres yang tinggi. Namun jika dirinya mendapat dukungan dari
pasangan dalam melakukan pengasuhan anak maka tingkat stres yang dialaminya
lebih rendah (Ratnani, 2014).
Dukungan dari pasangan menjadi pengaruh yang kuat terhadap stres
pengasuhan. Tanggung jawab pengasuhan yang dibebankan pada salah satu
pasangan akan mengakibatkan stres yang dialami sangat tinggi. Namun bila kedua
pasangan saling bekerja sama dan membagi peran pengasuhan maka tingkat stres
yang dialami akan lebih rendah (Kim et al, 2016). Selain itu kualitas pengasuhan
anak yang lebih baik dari kerjasama antara pasangan suami istri menunjukkan
tekanan psikologis yang lebih rendah secara signifikan (Thullen et al, 2017).
Penelitian yang dilakukan oleh Yamaoka et al (2016) menunjukkan bahwa
dukungan suami yang kuat pada ibu yang memiliki anak dengan disabilitas
memiliki tingkat stres lebih rendah dibandingkan dengan ibu yang mendapatkan
dukungan suami yang rendah.
b. Dukungan Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami dan istri
atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (UU
Nomor 52 Tahun 2009). Keluarga secara tradisional dibagi menjadi dua yaitu
keluarga inti (Nuclear Family) dan keluarga besar (Extended Family). Keluarga
inti terdiri dari ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunan atau adopsi atau
keduanya. Keluarga besar adalah keluarga inti ditambah dengan anggota lain yang
masih memiliki hubungan darah (Prasetyawati, 2011).
Dukungan sosial yang berasal dari keluarga memberi pengaruh terhadap
tingkat stres yang dialami ibu. Peran keluarga menjadi penting ketika ada anggota
keluarga yang cacat atau penyandang disabilitas. Apalagi lingkungan sosial
mayarakat yang masih sering memberikan stigma negatif pada penyandang
disabilitas, dukungan keluarga menjadi faktor yang kuat dalam memberikan
dampak positif tidak hanya pada anak penyandang disabilitas tetapi setiap anggota
keluarga terutama ibu dalam melakukan proses pengasuhan pada anaknya yang
penyandang disabilitas (Lara, 2017). Penelitian yang dilakukan oleh Mitchell
commit to user
(2015) menunjukkan bahwa dukungan keluarga memiliki pengaruh yang
library.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

signifikan pada stres pengasuhan. Dukungan keluarga yang tinggi berdampak


pada kualitas hubungan perkawinan yang baik sehingga terjalin kerja sama yang
kuat antara suami dan istri serta istri dengan anggota keluarga yang lainya yang
berdampak pada tingkat stres pengasuhan rendah pada ibu dengan anak
penyandang disabilitas.
c. Bentuk Dukungan Sosial
Sarafino (1994) yang dikutip dalam Sahban et al (2015) menggolongkan
dukungan sosial dalam 4 dimensi sebagai berikut:
1) Dukungan Emosional
Dukungan ini melibatkan ekspresi empati dan perhatian individu, sehingga
individu merasa nyaman, merasa dicintai dan diperhatikan. Dukungan emosional
merupakan dukungan sosial yang paling penting.
2) Dukungan Penghargaan
Dukungan penghargaan mengacu pada penilaian positif terhadap dorongan
individu, dan pernyataan atas opini individu. Dukungan ini akan membantu
individu merasa berharga, sehingga dapat meningkatkan rasa percaya diri dan
harga diri individu.
3) Dukungan Instrumental
Dukungan instrumental adalah dukungan dalam bentuk bantuan atau tindakan
nyata yang diberikan oleh suami dan keluarga.
4) Dukungan Informasi
Dukungan informasi mencakup pemberian saran, bimbingan, atau umpan balik
tentang cara mengatasi masalah.
Berdasarkan penjelasan diatas dukungan suami dan keluarga terdiri dari
empat dimensi yaitu dukungan emosional, penghargaan, instrumental dan
informasi.
2. 2 Penelitian yang Relevan
a. Penelitian yang dilakukan Indah Ratnani (2014) dengan judul “Hubungan
Kecerdasan Adversitas dan Dukungan Pasangan dengan Stres Pengasuhan pada
ibu yang memiliki Anak Autis”. Penelitian ini menjelaskan adanya hubungan
antara kecerdasan adversitas dancommit to user
dukungan pasangan terhadap stres pengasuhan
library.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

pada ibu yang memiliki anak autis. Pengambilan data menggunakan skala stres
pengasuhan (Parenting Stress Index-Short Form), skala kecerdasan adversitas
(Adversity Response Profile) dan skala dukungan pasangan. Analisi data
menggunakan regresi linier ganda. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan
kecerdasan adversitas dan dukungan pasangan dengan stres pengasuhan pada ibu
yang memilki anak autis. Koefisien determinasi diperoleh sebesar 0,538 artinya
terdapat pengaruh sebesar 53,8% yang berasal dari variabel kecerdasan adversitas
dan dukungan pasangan terhadap stes pengasuhan pada ibu dengan anak autis,
sedangkan sisanya sebesar 46,2% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
diajuakan dalam penelitian ini. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada
jumlah variabel yang diteliti, subyek penelitian dan analisis multivariatnya.
b. Penelitian yang dilakukan Fina Hidayati (2012) dengan judul “Pengaruh
Pelatihan “Pengasuhan Ibu Cerdas” terhadap Stres Pengasuhan pada Ibu dari
Anak Autis”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan
“Pengasuhan Ibu Cerdas” terhadap stres pengasuhan pada ibu dengan anak autis.
Stres pengasuhan diukur menggunakan skala PSI (Parenting Stress Index)
sebelum dilakukan pelatihan (pretest), sesudah diberikan pelatihan (posttest) dan
seminggu setelah perlakuan (follow up). Analisis kuantitatif menggunakan teknik
Wilcoxon signed rank (non parametric). Berdasarkan analisis data kuantitatif dari
pengukuran pretest dan posttest pada kelompok eksperimen didapatkan nila Z
sebesar -2,499 dan taraf signifikan 0,012 (p<0,05) yang menunjukkan adanya
penurunan stres pengasuhan yang signifikan pada kelompok eksperimen setelah
diberikan pelatihan. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada jenis penelitian,
subyek penelitian dan analisi data.
c. Penelitian yang dilakukan oleh Hutchison et al (2016) dengan judul Relation
between Parenting Stress, Parenting Style and Child Executive Function for
Children with ADHD or Autism. Penelitian ini menjelaskan hubungan stres
pengasuhan, pola asuh orang tua dan perkembangan anak pada anak dengan
ADHD atau autisme. Penelitian ini menggunakan sampel 82 anak dengan rentang
usia 7-18 tahun yang dibagi menjadi tiga kelompok yaitu 28 anak kelompok
commit
kontrol, 33 anak dengan ASD dan to user
21 anak dengan ADHD. Skala pengukuran
library.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

yang digunakan yaitu Parenting Stress Index (PSI) untuk mengukur stres
pengasuhan, Parenting Practice Questionner (PPQ) untuk mengidentifikasi pola
asuh orang tua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua dengan anak
ADHD dan ASD memiliki mengalami stres pengasuhan dibandingkan anak-anak
yang normal dengan nilai d = 2.33 pada kelompok ADHD dan nilai d= 1.98 pada
kelompok ASD. Namun tidak ada perbedaan tingkat stres pengasuhan antara
kelompok ADHD dan ASD. Terdapat hubungan antara pola asuh dengan
perkembangan anak dan itu untuk semua kelompok. Perbedaan dengan penelitian
ini terletak pada jumlah variabel yang diteliti dan analisis data.
d. Penelitian yang dilakukan oleh Gupta et al (2012) dengan judul Parental Stress
in Raising a Child with Disabilities in India. Penelitian ini bertujuan untuk
mencari determinan stres pengasuhan pada orang tua yang memiliki anak
disabilitas. Skala pengukuran menggunakan The Parenting Stress Index-short
form pada 66 orang tua yang memiliki anak disabilitas. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa stres pengasuhan tinggi pada orang tua yang memiliki anak
perempuan dengan kecacatan dan dukungan keluarga rendah. Perbedaan dengan
penelitian ini terletak pada analisis data multivariat.
e. Penelitian yang dilakukan oleh Felizardo et al (2016) dengan judul Parental
Adjustment to Disability, Stress Indicator and the Influence of Social Support.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perbedaan stres pengasuhan dan
dukungan sosial pada orang tua yang memiliki anak penyandang disabilitas dan
orang tua yang memiliki anak normal. Metode penelitian menggunakan studi
deskripsi korelasi dengan menggunakan sampel 152 orang tua yang memiliki anak
penyandang disabilitas berbeda. Komposisi orang tua dengan memiliki anak
disabilitas intelektual sebesar 82 orang, orang tua dengan anak disabilitas sensorik
sebesar 37 orang dan orang tua dengan anak autis sebesar 33 orang. Alat ukur
penelitian ini menggunakan kuesioner Parenting Stess Index versi Portugis,
kuesioner dukungan sosial-short form dan kuesioner demografi orang tua. Hasil
penelitian menyebutkan bahwa ada perbedaan yang signifikan stres pengasuhan
dan dukungan sosial antara kelompok orang tua yang memiliki anak disabilitas
commit to user
library.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

intelektual, disabilitas sensorik dan autis. Perbedaan dengan penelitian ini terletak
pada jumlah variabel yang diteliti dan analisis data.
f. Penelitian yang dilakukan oleh Dilara et al (2016) dengan judul Parenting
Stress and Home-Based Literacy Interactions in Low-Income Preschool Families.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pendidikan orang tua, stres
pengasuhan dan aktivitas pendidikan di rumah terhadap intreaksi orang tua-anak
pra-sekolah pada keluarga sosial ekonomi rendah. Subyek penelitian berjumlah 78
pengasuh anak pra-sekolah usia 3-5 tahun. Analisa data multivariat menggunakan
model regresi. Alat ukur stres pengasuhan menggunakan Parenting Stress Index-
short form dan Family Involvement Questionnaire-Early Childhood version. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orang tua memiliki hubungan
yang signifikan terhadap kerekatan interaksi orang tua-anak melalui pendekatan
aktivitas pendidikan di rumah. Stres pengasuhan menjadi prediktor yang kuat dari
rendahnya interaksi orang tua dengan anak. Perbedaan dengan penelitian ini
terletak pada jumlah variabel independen, analisis data multivariat dan subyek
penelitian.
g. Penelitian yang dilakukan oleh Azad et al (2013) dengan judul Mothers of
children with Developmental Disabilities : Stress in early and middle childhood.
Penelitian ini menggunakan 219 keluarga yang memiliki anak penyandang
disabilitas (94 anak) dan anak yang normal (125 anak). Tujuan penelitian ini
untuk mengetahui tingkat stres ibu yang memiliki anak penyandang disabilitasn
dan anak normal di usia 3-5 tahun dan usia 6-13 tahun. Alat ukur yang digunakan
adalah kuesioner Stanford-Binet Intelligence Scale-Fourt Edition, Vineland
Adaptive Behavior Scales, Family Impac Questionnaire, Child Behavior
Checklist, dan Social Skills Rating System. Metode penelitian menggunakan case
control. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres pada ibu dengan anak
penyandang disabilitas lebih tinggi dari ibu dengan anak yang perkembangannya
normal. Tingkat stres ibu juga lebih tinggi pada ibu yang memiliki anak usia
pertengahan yaity 6-13 tahun dari pada usia awal (3-5 tahun). Hal ini karena
faktor karakteristik anak, permasalahan perilaku dan keterampilan sosial yang
commit to user
library.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

meningkat pada usia pertengahan. Perbedaan penelitian ini terletak pada metode
penelitian, alat ukur, analisis data multivariat dan subyek penelitian

2. 3 Kerangka Teori

Ibu dengan anak penyandang Tingkat Pendidikan


disabilitas 1.Pendidikan Dasar
2.Pendidikan Menengah
3.Pendidikan tinggi
Anak Penyandang Disabilitas
1. Disabilitas Fisik
2. Disabilitas Mental
3. Disabilitas Ganda Pendapatan Keluarga

Parenting Stress Index


1. The Parent Distress
Status Pekerjaan
2. The Difficult Child
3. The parent child
Dysfunctional Interaction

Stres Pengasuhan

Dukungan Pasangan Kecerdasan Adversitas :


1. Emosional 1. Control
2. Penghargaan 2. Origin and Owner
3. Instrumental 3. Reach
4. Informasi 4. Endurance

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Junida (2015); Sarafino dan Smith (2011); Kartiko (2016); Nomaguchi
et al (2014); Azeem et al (2013); Hayes et al (2012); Tian (2014); Sahban et al
(2015); Parkes et al (2015)

commit to user
library.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

2. 4 Kerangka Berpikir

Ibu dengan anak Anak Penyandang


penyandang disabilitas Disabilitas

Tingkat Status Dukungan Dukungan


Pendidikan Pekerjaan Keluarga Pasangan

Kecerdasan Pendapatan Jenis


Adversitas Keluarga Disabilitas

Stres Pengasuhan

Gambar 2.2 Kerangka berpikir


Sumber : Craig et al (2016); Tian (2014); Kim et al (2016); Parkes et al (2015);
Zalewski et al (2012); Kahya & Kesen (2014)

2. 5 Hipotesis
2. 5. 1 Terdapat hubungan tingkat pendidikan terhadap stres pengasuhan pada ibu
dengan anak penyandang disabilitas. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan
yang rendah memiliki kecenderungan untuk mengalami stres pengasuhan.
2. 5. 2 Terdapat hubungan status pekerjaan ibu terhadap stres pengasuhan pada
ibu dengan anak penyandang disabilitas. Ibu yang bekerja memiliki
kecenderungan untuk mengalami stres pengasuhan lebih tinggi dari pada ibu
yang tidak bekerja.
2. 5. 3 Terdapat hubungan pendapatan keluarga terhadap stres pengasuhan pada
ibu dengan anak penyandang disabilitas. Ibu yang memiliki pendapatan
keluarga yang tinggi memiliki kecenderungan lebih rendah untuk mengalami
stres pengasuhan.
commit to user
library.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

2. 5. 4 Terdapat hubungan jenis disabilitas terhadap stres pengasuhan pada ibu


dengan anak penyandang disabilitas. Ibu dengan anak penyandang disabilitas
ganda memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami stres pengasuhan.
2. 5. 5 Terdapat hubungan kecerdasan adversitas terhadap stres pengasuhan pada
ibu dengan anak penyandang disabilitas. Ibu dengan nilai skor kecerdasan
adversitas tinggi memiliki kecenderungan lebih rendah mengalami stres
pengasuhan
2. 5. 6 Terdapat hubungan dukungan suami terhadap stres pengasuhan pada ibu
dengan anak penyandang. Ibu yang memiliki dukungan suami yang tinggi
memiliki kecenderungan lebih rendah untuk mengalami stres pengasuhan.
2. 5. 7 Terdapat hubungan dukungan keluarga terhadap stres pengasuhan pada ibu
dengan anak penyandang disabilitas. Ibu yang memiliki dukungan keluarga
yang tinggi memiliki kecenderungan lebih rendah untuk mengalami stres
pengasuhan.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai