Anda di halaman 1dari 27

7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini dikemukakan teori-teori, konsep dan kerangka konsep yang

berhubungan dengan masalah penelitian meliputi : 1) Konsep Dasar Peran Ibu, 2)

Konsep Dasar Toilet Training, 3) Konsep Dasar Anak Usia Toddler, 4) Kerangka

Teori, 5) Kerangka Konseptual, dan 6) Hipotesis.

2.1 Konsep Dasar Peran

2.1.1 Pengertian Peran

Peran adalah sesuatu yang diharapkan secara normatif dari seseorang

dalam situasi social tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan (Setiadi,

2008).

Sebuah peran didefinisikan sebagai kumpulan dari prilaku yang secara

relatif homogen dibatasi secara normatif dan diharapkan dari seorang yang

menempati posisi sosial yang diberikan. Peran berdasarkan pada pengharapan

atau penetapan peran yang membatasi apa saja yang harus dilakukan oleh

individu di dalam situasi tertentu agar memenuhi pengharapan diri atau orang

lain terhadap mereka.

Peran adalah perilaku yang dikaitkan dengan seseorang yang

memegang sebuah posisi tertentu, posisi mengidentifikasi status atau tempat

seseorang dalam sistem sosial (Friedmen, 2010).


8

2.1.2 Peran Keluarga

Keluarga adalah sebuah kelompok yang terdiri dari dua individu atau

lebih yang dihubungkan dengan kelahiran, perkawinan, atau adopsi dan

tinggal bersama dalam suatu rumah tangga (Kyle, 2014).

Peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh

seseorang dalam konteks keluarga. Jadi peranan keluarga menggambarkan

seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan, yang berhubungan dengan

individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga

didasari oleh harapan dan pola prilaku dari keluarga, kelompok, dan

masyarakat (Setiadi, 2008).

Peran anggota keluarga dijalankan untuk menjaga keseimbangan

dalam keluarga, yang dijalankan melalui peran formal maupun informal.

Peran formal yang dijalankan keluarga menentukan tercapainya

keseimbangan dalam keluarga atau tidak. Banyak hal yang menjelaskan

tentang peran formal dalam keluarga, (Friedman, 2010) mengemukakan

bahwa beberapa peran dasar laki-laki sebagai ayah dan wanita sebagai ibu

yang mempunyai posisi sosial sebagai pemberi layanan, yaitu peran penjaga

rumah, pemelihara anak, peran sosialisasi anak, peran rekreasi,

mempertahankan hubungan dengan keluarga wanita atau lain-lain,

pemenuhan kebutuhan pasangan, dan peran seksual.

Sedangkan peran informal dalam keluarga bisa menentukan

keseimbangan keluarga dan bisa juga tidak, tetapi lebih bersifat adaptif dan
9

mempertahankan kesejahteraan keluarga. Peran informal adalah peran

sebagai pemberi dorongan, peran mempertahankan keharmonisan, peran

untuk kompromi, peran untuk memulai atau berkontribusi dalam menghadapi

masalah, peran untuk pelopor, koordinator dan peran informal lainnya

(Friedman, 2010).

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Keluarga

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peran keluarga terhadap anak

usia toddler (1-3) tahun, antara lain :

1. Pendidikan orang tua


Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk dapat menjadi lebih siap

dalam menjalankan peran adalah dengan terlibat aktif dalam setiap upaya

pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada

masalah anak dengan secara regular memeriksakan dan mencari pelayanan

imunisasi, memberikan nutrisi adekuat, memperhatikan keamanan dan

melaksanakan praktik pencegahan kecelakaan, selalu berupaya

menyediakan waktu untuk anak, dan menilai perkembangan fungsi

keluarga dalam perawatan anak.


2. Pekerjaan atau pendapatan
Pekerjaan keluarga akan mempengaruhi peran orang tua karena

waktu yang diberikan orang tua tidak maksimal.

3. Jumlah anak
Jumlah anak yang banyak dan jarak yang terlalu dekat akan

mengurangi kasih sayang pada anak.


4. Usia orang tua
10

Apabila terlalu tua atau terlalu muda, mungkin tidak dapat

mengerjakan peran tersebut secara optimal.


5. Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak
Hasil riset menunjukkan bahwa orang tua yang mempunyai

pengalaman sebelumnya dalam merawat anak akan lebih siap dalam

menjalankan peran.
6. Stres Orang Tua
Stres yang dialami orang tua akan mempengaruhi kemampuan

orang tua dalam menjalankan peran, terutama dalam kaitannya dengan

strategi koping yang dimiliki dalam menghadapi permasalahan anak.


7. Hubungan suami istri
Hubungan yang kurang harmonis antara suami istri akan

berdampak pada kemampuan mereka menjalankan perannya sebagai orang

tua dan merawat anak serta mengasuh anak dengan penuh rasa

kebahagiaan karena satu sama lain dapat saling memberi dukungan dan

menghadapi segala masalah dengan koping yang positif (Soetjiningsih,

2013).
Peran dapat dipelajari melalui proses sosialisasi selama tahapan

perkembangan anak yang dijalankan melalui interaksi antar anggota

keluarga, peran yang di pelajari akan mendapat penguatan melalui

pemberian penghargaan baik dengan kasih sayang, perhatian dan

persahabatan. Kemampuan orang tua yang menjalankan peran ini tidak di

pelajari melalui pendidikan secara formal, melainkan berdasarkan

pengalaman orang tua lain. Dengan bertambahnya anak atau anggota

keluarga, orang tua diharapkan semakin terampil dalam mengelolah segala

sumber yang dimiliki untuk kepentingan anak tersebut untuk dapat

menjalankan peran tersebut (Wong, 2009).


11

2.1.4 Peran Keluarga dalam Perkembangan Anak Toddler

Menurut Friedman (2010) tugas perkembangan keluarga dengan anak

usia toddler diantaranya: memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti

rumah, ruang bermain, privasi, keamanan, mensosialisasikan anak,

mengintegrasikan anak yang baru sementara tetap memenuhi kebutuhan anak

anak yang lain, mempertahankan hubungan yang sehat dalam keluarga

(hubungan perkawinan dan hubungan orangtua dan anak) dan di luar keluarga

(keluarga besar dan komunitas).

Sedangkan menurut Indriyani (2014) kebutuhan perkembangan

keluarga sesuai tahap perkembangan anak usia toddler adalah :

1. Memenuhi kebutuhan anggota keluarga, misalnya kebutuhan tempat

tinggal, privasi, dan rasa aman.


2. Membantu anak untuk bersosialisasi
3. Beradaptasi dengan anak yang baru lahir, sementara kebutuhan anak yang

lain (tua) juga harus terpenuhi.


4. Mempertahankan hubungan yang sehat, baik di dalam atau di luar

keluarga (keluarga lain dan lingkungan sekitar).


5. Pembagian waktu untuk individu, pasangan, dan anak (biasanya keluarga

mempunyai tingkat kerepotan yang tinggi).


6. Pembagian tanggung jawab anggota keluarga.
7. Merencanakan kegiatan dan waktu untuk menstimulasi pertumbuhan dan

perkembangan anak.

2.1.5 Peran Ibu

Peran ibu adalah seseorang yang mempunyai peran mendidik,

mengasuh, atau merawat dan memberikan kasih sayang, dan diharapkan dapat
12

ditiru oleh anaknya. Peran ibu dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak,

dikelompokkan menjadi 3 yaitu :

1. Asih, adalah memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan

kepada anggota keluarga sehingga memungkinkan mereka tumbuh dan

berkembang sesuai usia dan kebutuhannya.


2. Asuh, adalah menuju kebutuhan pemeliharaan dan keperawatan anak agar

kesehatannya selalu terpelihara, sehingga diharapkan menjadikan mereka

anak-anak yang sehat baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.


3. Asah, adalah memenuhi kebutuhan pendidikan anak, sehingga siap

menjadi manusia dewasa yang mandiri dalam mempersiapkan masa

depannya (Setiadi, 2008).

2.1.6 Peran Ibu dalam Keluarga

1. Pemberi pendorong
Pendorong memuji, setuju dengan menerima kontribusi dari orang

lain, akibatnya dapat merangkul orang lain dan membuat mereka merasa

bahwa pemikiran mereka penting dan bernilai untuk didengar. Contohnya

dalam hal toilet training yaitu mengenalkan tentang sarana yang harus

dipakai pada saat BAB/BAK.


2. Mengajari / membimbing
Peran orang tua dalam mengajari / memberikan bimbingan belajar

sangatlah penting dalam perkembangan si anak. Jika bimbingan telah

dicapai sang anak, orang tua harus memberi pujian, hadiah, dan lain-lain

agar anak merasa senang. Contohnya dalam hal toilet training yaitu

mengajari anak cara berkomunikasi pada saat anak hendak BAB/BAK,

mengajari cara mencuci tangan setelah BAB/BAK.


13

3. Memberikan kasih sayang


Siapa yang tidak menyukai kasih sayang, sekarang ini banyak anak

yang merasa diberi cukup kebutuhan finansial, kebutuhan properti, tetapi

tidak dalam hal kasih sayang dari orang tua. Oleh karena itu luangkanlah

waktu setidaknya seminggu sekali dengan berlibur, berkomunikasi, dan

mengembangkan hobi bersama anak tersebut. Contohnya dalam hal toilet

training yaitu memberi motivasi dengan memberikan pujian saat anak

berhasil dalam suatu hal seperti dapat memberitahu bila anak mau

BAB/BAK.
4. Pengharmonisan
Pengharmonisan menengahi perbedaan yang terdapat diantara para

anggota keluarga, menghibur, mengatakan kembali perbedaan pendapat.


5. Pelopor koordinator
Sebagai penggerak awal pada keluarganya, koordinator kegiatan-

kegiatan, yang berfungsi mengangkat ketertarikan atau keakraban dan

memerangi kesedihan. Contohnya dalam hal toilet training yaitu

mengingatkan anak untuk BAB/BAK di toilet, mengingatkan pada anak

apakah anak perlu bantuan saat hendak BAB/BAK dan melatih prosedur

BAB/BAK (Friedman, 2010).

2.1.7 Kriteria Penilaian Peran

Untuk mengklasifikasikan peran ibu dilakukan dengan

menggunakan skala Likert, dapat dikategorikan sebagai berikut :

Positif Negatif

Selalu :4 Selalu :1
14

Sering :3 Sering :2

Jarang :2 Jarang :3

Tidak Pernah : 1 Tidak Pernah : 4

Hasil interprestasi digunakan untuk mengelompokkan sikap responden

termasuk dalam peran positif atau negatif.

Untuk mengetahui peran ibu maka digunakan rumus sebagai berikut :

T = 50 + 10

Keterangan :

X = skor responden yang hendak diubah menjadi skor T

X= = skor rata-rata responden dalam kelompok (mean)

S= = Deviasi standart skor kelompok

n = jumlah responden
15

Dalam penilaian peran dikatakan positif jika skor lebih dari standar

(skor T) mean T > 50 dan dikatakan negatif atau bila skornya kurang dari skor

standar (skor T) mean T < 50. (Azwar, 2007)

2.2 Konsep Toilet Training

2.2.1 Definisi Toilet Training

Toilet training pada anak merupakan suatu usaha untuk melatih anak

agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air

besar. Toilet training ini dapat berlangsung pada fase kehidupan anak yaitu

umur 18 bulan sampai 3 tahun. Dalam melakukan latihan buang air kecil dan

besar pada anak membutuhkan persiapan baik secara fisik, psikologis,

maupun secara intelektual, melalui persiapan tersebut diharapkan anak

mampu mengontrol buang air besar atau kecil secara sendiri.

Toilet training secara umum dapat dilaksanakan pada setiap anak yang

sudah mulai memasuki tahap kemandirian pada anak. Suksesnya toilet

training tergantung pada kesiapan yang ada pada diri anak dan keluarga,

seperti kesiapan fisik, dimana kemampuan anak secara fisik sudah kuat dan
16

mampu. Hal ini dapat ditunjukkan anak mampu duduk atau berdiri sehingga

memudahkan anak untuk dilatih buang air besar dan kecil, demikian juga

kesiapan psikologis dimana anak membutuhkan suasana yang nyaman agar

mampu mengontrol dan konsentrasi dalam merangsang untuk buang air besar

atau kecil. Persiapan intelektual pada anak juga dapat membantu dalam

proses buang air besar dan kecil sangat memudahkan proses dalam

pengontrolan, anak dapat mengetahui kapan saatnya harus buang air kecil dan

kapan saatnya harus buang air besar, kesiapan tersebut akan menjadikan diri

anak selalu mempunyai kemandirian dalam mengontrol khususnya buang air

kecil dan buang air besar (toilet training). Pelaksanaan toilet training dapat

dimulai sejak dini untuk melatih respons terhadap kemampuan untuk buang

air kecil dan buang air besar (Hidayat, 2012).

2.2.2 Waktu Toilet Training

Latihan untuk berkemih dan defekasi adalah tugas perkembangan

anak usia toddler. Tahapan usia 18 bulan sampai 3 tahun atau usia toddler

kemampuan spingter uretra untuk mengontrol rasa ingin berkemih dan

spingter ani untuk mengontrol rasa ingin defekasi mulai berkembang.

Walaupun demikian setiap anak mengalami kejadian tersebut berbeda-beda

tergantung dari beberapa faktor, psikis maupun psikologis yang biasanya

sampai usia 2 tahun kedua faktor tersebut belum siap, kemampuan

mengontrol buang air besar akan lebih dulu dibanding dengan kemampuan

buang air kecilnya. Sensasi untuk buang air besar lebih besar dirasakan oleh
17

anak dan kemampuan dalam mengkomunikasikan lebih dulu pula dicapai

oleh seorang anak (Priyoto, 2015).

2.2.3 Cara Toilet Training

Latihan buang air besar atau kecil pada anak atau dikenal dengan

nama toilet training merupakan suatu hal yang harus dilakukan pada orang

tua anak, mengingat dengan latihan itu diharapkan anak mempunyai

kemampuan sendiri dalam melaksanakan buang air besar atu kecil tanpa

merasakan ketakutan atau kecemasan sehingga anak akan mengalami

pertumbuhan dan perkembangan sesuai tumbuh kembang anak. Banyak cara

yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam melatih toilet training kepada

anaknya diantaranya :

1. Teknik lisan
Merupakan usaha untuk melatih anak dengan cara memberikan

instruksi pada anak dengan kata – kata sebelum atau sesudah buang air besar

atau kecil. Cara ini kadang – kadang menjadi hal yang biasa di lakukan pada

orang tua akan tetapi apabila kita perhatikan bahwa tehnik lisan ini

mempunyai nilai yang cukup besar dalam memberikan rangsangan untuk

buang air besar atau kecil di mana dengan lisan ini persiapan psikologis anak

akan semakin matang dan akhirnya anak akan mampu dengan baik dalam

melaksanakan buang air besar atau kecil (Hidayat, 2012).


2. Teknik modeling
Merupakan suatu usaha untuk melatih anak dalam melakukan buang

air besar dengan cara meniru untuk buang air besar atau memberi contoh.

Cara ini juga dapat dilakukan dengan memberikan contoh –contoh buang air
18

kecil dan buang air besar atau membiasakan buang air besar dan kecil secara

benar. Dampak yang jelek pada cara ini adalah apabila contoh yang diberikan

salah sehingga akan dapat diperlihatkan pada anak akhirnya anak juga

mempunyai kebiasaan yang salah. Selain cara tersebut di atas terdapat

beberapa hal yang dapat dilakukan seperti melakukan observasi waktu pada

saat anak merasakan buang air besar atau kecil, tempatkan anak diatas pispot

atau ajak ke kamar mandi, berikan pispot dalama posisi aman dan nyaman,

ingatkan pada anak bila akan melakukan buang air besar atau buang air kecil,

dudukan anak di atas pispot atau orang tua duduk atau jongkok di hadapannya

sambil mengajak bicara atau bercerita, berikan pujian jika anak berhasil

jangan disalahkan dan dimarai, biasakan anak pergi ke toilet pada jam-jam

tertentu dan beri anak celana yang mudah dilepas dan dipakai kembali

(Hidayat, 2012).

2.2.4 Tanda-tanda Penting Anak Sudah Siap Toilet Training

Mengenal kesiapan anak dalam pelaksanaan toilet training ditandai

dengan kesiapan fisik, mental, psikologis dan kesiapan orang tua,

diantaranya:

1. Kesiapan Fisik
1) Usia telah mencapai 18 sampai 24 bulan
2) Dapat duduk atau jongkok kurang lebih 2 jam
3) Ada gerakan usus yang reguler
4) Kemampuan motorik kasar (seperti duduk, berjalan)
5) Kemampuan motorik halus (membuka baju)
2. Kesiapan Mental
1) Mengenal rasa yang datang tiba-tiba untuk berkemih dan defekasi
19

2) Komunikasi secara verbal dan nonverbal jika merasa ingin berkemih

dan defekasi
3) Keterampilan kognitif untuk mengikuti perintah dan meniru perilaku

orang lain

3. Kesiapan Psikologis
1) Dapat duduk atau jongkok di toilet selama 5-10 menit tanpa berdiri

dulu
2) Mempunyai rasa penasaran atau rasa ingin tahu terhadap kebiasan

orang dewasa dalam buang air


3) Merasa tidak betah dengan kondisi basah dan adanya benda padat di

celana dan ingin segera diganti segera


4. Kesiapan Orang tua
1) Mengenal tingkat kesiapan anak untuk berkemih dan defekasi
2) Ada keinginan untuk meluangkan waktu yang diperlukan untuk

latihan berkemih dan defekasi pada anaknya


3) Tidak mengalami konflik atau stres keluarga yang berarti (misal,

perceraian) (Supartini, 2008).

2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Toilet Training

1. Lingkungan Internal
Meliputi :
1) Kesiapan Fisik
Kesiapan fisik anak sangat penting, pada usia anak mencapai 18-24

bulan volume anal dan uretra sudah dapat dikontrol oleh anak,

kemampuan motorik kasarnya mencangkup duduk, berjalan, jongkok,

dan kemampuan motorik halusnya yaitu anak sudah mampu membuka

pakaian sendiri.
20

2) Kesiapan Mental
Mental anak juga berperan dalam kemampuan toilet training.

Anak diharapkan sudah mampu memahami 1-2 kalimat perintah, sudah

bisa berkomunikasi dengan orang tua saat anak mau BAB/BAK,

dengan menggunakan verbal maupun nonverbal.


3) Kesiapan Psikologis
Mengekspresikan keinginan untuk menyenangkan orang tua

mampu duduk di toilet selama 5 sampai 10 menit tanpa bergoyang atau

jatuh.
4) Kesiapan Parental
Anak berkeinginan untuk meluangkan waktu untuk toilet training,

ketiadaan setres atau perubahan keluarga.


2. Lingkungan Eksternal
Meliputi :
1) Lingkungan Keluarga
Merupakan sumber yang paling dekat untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan dasar tumbuh kembang anak. Faktor determinan

yang paling penting di dalam keluarga adalah persiapan kehidupan

keluarga (jasmani, mental, dan sosial) kerukunan yang harmonis,

pendidikan orang tua, penghasilan orang tua, sosial budaya, kondisi

rumah.
Lingkungan keluarga mencakup keadaan rumah dan ruang tempat

belajar, sarana dan prasarana belajar yang ada, suasana dalam rumah,

dan suasana lingkungan di sekitar rumah, keutuhan keluarga, iklim

psikologis, iklim belajar, dan hubungan antara anggota keluarga.

Suasana rumah dimaksutkan sebagai situasi atau kejadian-kejadian yang

sering terjadi dalam keluarga dimana anak berada dan belajar. Suasana

rumah juga merupakan faktor yang penting yang tidak termasuk faktor
21

yang disengaja. Suasana rumah yang gaduh, ramai dan semrawut tidak

akan memberi ketenangan kepada anak yang belajar. Suasana tersebut

dapat terjadi pada keluarga yang besar yang terlalu banyak penghuninya.

Suasana rumah yang tegang, ribut dan sering terjadi cekcok,

pertengkaran antara anggota keluarga atau dengan keluarga lain

menyebabkan anak menjadi bosan di rumah, suka keluar rumah

(ngeluyur), akibatnya belajarnya kacau.


Orang tua adalah orang pertama yang mengajak anak untuk

berkomunikasi, sehingga anak mengerti bagaimana cara berinteraksi

dengan orang lain menggunakan bahasa. Lingkungan (keluarga) adalah

salah satu faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.


2) Teman Sebaya
Anak cenderung akan meniru disekitarnya, sehingga teman sebaya

berperan penting dalam kemampuan toilet training, karena setiap hari

anak bersama teman sebaya.


3) Stimulasi
Lingkungan stimulasi ialah mencakup pengasuhan, pendidikan di

rumah, pendidikan formal lainnya dan pendidikan di luar rumah dan

pendidikan di masyarakat, pendidikan non formal dengan kebijakan-

kebijakan sarana, prasarana dan sumberdaya manusia tersedianya dana

(Hidayat, 2012).

2.2.6 Pengkajian Masalah Toilet Training

Pengkajian kebutuhan terhadap toilet training merupakan sesuatu

yang harus diperhatikan sebelum anak melakukan buang air kecil dan buang

air besar, mengingat anak yang melakukan buang air besar atau baung air
22

kecil akan mengalami proses keberhasilan dan kegagalan, selama buang air

kecil atau besar. Proses tersebut akan dialami oleh setiap anak, untuk

mencegah terjadinya kegagalan maka dilakukan suatu pengkajian sebelum

melakukan latihan toilet training yang meliputi pengkajian fisik, pengkajian

psikologis dan pengkajian intelektual :

1. Pengkajian Fisik
Pengkajian fisik yang harus diperhatikan pada anak yang akan

melakukan buang air kecil dan besar dapat meliputi kemampuan motorik

kasar seperti berjalan, duduk, meloncat dan kemampuan motorik halus

seperti mampu melepas celana sendiri. Kemampuan motorik ini harus

mendapat perhatian karena kemampuan untuk buang air besar ini lancar

dan tidaknya dapat ditunjang dari kesiapan fisik sehingga ketika anak

berkeinginan untuk buang air kecil dan besar sudah mampu dan siap untuk

melaksanakannya. Selain itu, yang harus dikaji adalah pola buang air besar

yang sudah teratur, sudah tidak mengompol setelah tidur, dan lain-lain.
2. Pengkajian Psikologis
Pengkajian psikologis yang dapat dilakukan adalah gambaran

psikologis pada anak ketika akan melakukan buang air kecil dan besar

seperti anak tidak rewel ketika akan buang air besar, anak tidak menangis

sewaktu buang air besar atau kecil, ekspresi wajah menunjukkan

kegembiraan dan ingin melakukan secara sendiri, anak sabar dan sudah

mau tetap tinggal di toilet selama 5-10 menit tanpa rewel atau

meninggalkannya, adanya keingintahuan kebiasaan toilet training pada


23

orang dewasa atau saudaranya, adanya ekspresi untuk menyenangkan pada

orang tuanya.
3. Pengkajian Intelektual
Pengkajian intelektual pada latihan buang air kecil dan besar antara

lain kemampuan anak untuk mengerti buang air kecil atau besar,

kemampuan mengkomunikasikan buang air kecil dan besar, anak

menyadari timbulnya buang air besar dan buang air kecil, mempunyai

kemampuan kognitif untuk meniru prilaku yang tepat seperti buang air

kecil dan besar pada tempatnya serta etika dalam buang air kecil dan

buang air besar (Hidayat, 2012).

2.2.7 Memulai Toilet Training

1. Memulai latihan toilet juga dapat dimulai dengan menjelaskan apa

yang kita ingin ia lakukan dengan bahasa yang sederhana. Ajari kata-

kata untuk dipakai saat ingin buang air. Beritahukan bahwa sangat baik

untuk pup atau pipis di pispot. Boleh juga jika ia dibiarkan untuk

memilih pispot dengan warna kesukaannya.


2. Taruhlah pispot ditempat yang sama tempat ia dapat melakukannya dan

juga pispot tidak mudah terguling.


3. Pakaikan si kecil baju yang mudah dilepas dan ajari cara

memelorotkan celananya. Celana khusus latihan akan bermanfaat dan

lebih mudah dilepaskan daripada popok.


4. Dudukan si kecil di atas pispot secara teratur. Misalnya, setelah makan

dan sebelum pergi keluar rumah. Temanilah ia pada saat belajar.

Doronglah si kecil untuk duduk di pispot selama beberapa menit. Ia

juga akan lebih cepat mengerti jika melihat kita duduk di atas toilet.
24

5. Jika si kecil anak laki-laki, jangan paksa ia berdiri sewaktu pipis

karena saat pertama lebih mudah dilakukan sambil duduk. Jika ia ingin

berdiri, taruhlah sebilah balok sehingga ia lebih mudah mencapai

lubang toilet. Bila ia berhasil memakai pispot, berikan pujian dan

semangat tetapi jangan berlebihan, supaya jika lain kali tidak berhasil,

ia tidak terlalu kecewa. Jangan berharap si kecil cepat bisa dan jangan

memarahinya atau mengungkit-ungkit hal ini. Jika ia kesal dan terjadi

pertengkaran, singkirkan dulu pispot tersebut untuk satu atau dua

minggu atau sampai anak sudah siap. Jangan pernah memarahi anak

atau memaksanya duduk di pipot (Priyoto, 2015).

2.2.8 Dampak Toilet Training


Dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training seperti

adanya perlakuan atau aturan yang ketat bagi orang tua kepada anaknya

yang dapat mengganggu kepribadian anak atau cenderung bersifat relatif

dimana anak cenderung bersikap keras kepala bahkan kikir. Hal ini dapat

dilakukan orangtua apabila sering memarahi anak pada saat buang air besar

atau kecil, atau melarang anak saat bepergian. Bila orang tua santai dalam

memberikan aturan dalam toilet training maka anak akan dapat mengalami

kepribadian ekspresif dimana anak lebih tega, cenderung ceroboh, suka

membuat gara-gara, emosional dan seenaknya dalam melakukan kegiatan

sehari-hari (Hidayat, 2012).


25

2.2.9 Penilaian Kemampuan Toilet Training


Berdasarkan kriteria kemampuan toilet training yang telah ditentukan,

maka kemampuan toilet training dinilai dari setiap pertanyaan yang dijawab

oleh responden jika ya mendapatkan nilai 1 dan jika tidak mendapatkan nilai

nol.
Kemudian dianalisis dengan menggunakan rumus :

Keterangan :
P : Presentase
F : Jumlah jawaban benar
N : Jumlah skor maksimal jika semua jawaban benar
Kemudian hasilnya dimasukkan dalam kriteria standar penilaian

meliputi :
1. Kemampuan Baik : 76 - 100%
2. Kemampuan Cukup : 56 – 75%
3. Kemampuan Kurang : < 56%

2.3 Konsep Anak Usia Toddler


2.3.1 Pengertian

Anak usia toddler adalah anak usia 12-36 bulan (1-3 tahun). Pada usia

toddler anak mulai berjalan, mulai mengeksplorasi secara giat tentang

lingkungannya seperti berusaha mengetahui bagaimana sesuatu bekerja, apa

kata-kata, dan bagaimana mengontrolnya dengan tuntutan, negativisme, dan

keras kepala. Masa ini merupakan masa yang penting terhadap perkembangan

kepandaian dan pertumbuhan intelektual anak (Soetjiningsih, 2013).

Peningkatan ketrampilan daya gerak, kemampuan untuk melepas

pakaian termasuk melepas celana pada anak akan buang air besar atau buang
26

air kecil, dan perkembangan kontrol spingter uretra dan spingter ani

memungkinkan anak usia toddler ini melakukan toilet training (Riyadi,

2010).

2.3.2 Tahap-tahap Perkembangan Anak Usia Toddler

Menurut Erick Ericson dalam Kyle (2014) anak usia toddler akan

melalui tahapan perkembangan sebagai berikut :

1. Otonomi versus rasa malu


Pada usia ini alat gerak dan rasa telah matang dan ada rasa percaya

terhadap ibu dan lingkungannya. Perkembangan otonomi selama periode

balita berfokus pada peningkatan kemampuan anak untuk mengontrol

tubuhnya, dirinya dan lingkungan. Anak menyadari bahwa anak dapat

menggunakan kekuatannya untuk bergerak dan berbuat sesuai dengan

kemauannya sendiri. Misalnya anak akan puas jika bisa berjalan, mampu

melakuakn toilet training dengan baik. Selain itu anak menggunakan

kekuatan mentalnya untuk menolak dan mengambil sebuah keputusan. Rasa

otonomi ini perlu untuk dikembangkan karena sangat penting untuk

terbentuknya rasa percaya diri dan harga diri di kemudian hari. Hubungan

dengan orang tua yang bersifat egosentris atau mementingkan diri sendiri.

Adapun peranan lingkungan dalam hal ini adalah memberikan dukungan

dan memberikan keyakinanyang jelas. Perasaan negatif pada anak adalah

rasa malu dan rasa ragu yang timbul jika anak merasa tidak mampu untuk

mengatasi segala tindakan yang dipilihnya sendiri serta kurangnya

dukungan dari kedua orang tua dan lingkungan, misalnya orang tua selalu
27

mengintervensi anak, orang tua tidak memberiakan keleluasaan bagi anak

untuk memilih satu atau dua pilihan dari berbagai alternatif pilihan yang

ada.
2. Fase anal (Umur 1-3 tahun)
Fungsi tubuh yang memberikan kepuasan terpusat pada anus.

Misalnya, anak akan melakukan buang air besar dan buang air kecil sendiri.

Orang tua jangan memarahi anak jika dia tidak bersih menyiram WC, atau

jangan dimarahi jika anak kedapatan kencing di tembok belakang rumah.

Jika hal tersebut terjadi berikan pengertian dan contohkan dimana dia harus

buang air kecil dan buang air besar serta bagaimana cara menyiram bekas

kencing dan BAB dan bagaimana cara bercebok yang baik. Apabila ibu

memarahi anak akibatnya dilain hari jika anak ingin buang air besar dan

buang air kecil dia akan menahannya dan tidak memberitahukan orang tua,

atau dia akan buang air kecil dan buang air besar setelah selesai akan

mengacak-ngacaknya. Pada fase ini ajarkan anak konsep bersih, ketetapan

waktu dan cara mengontrol diri. (Riyadi, 2009)


3. Menurut Piaget dalam Kyle (2014), anak usia toddler mengalami tahapan

perkembangan intelektual sebagai berikut :


a) Tahap Sensorik-Motorik (sejak lahir 1-2 tahun)
Anak mempunyai kemampuan dalam mengasimilasi dan

mengakomodasi informasi dengan cara melihat, mendengar, menyentuh,

dan aktivitas motorik. Semua gerakan pada masa ini akan diarahkan

kemulut dengan merasakan keingintahuan sesuatu dari apa yang dilihat,

didengar, disentuh, dan lain-lain.


b) Tahap Praoperasional (umur 1-3 tahun)
Anak belum mampu mengoperasionalisasikan apa yang dipikirkan

melalui tindakan dalam pekiran anak, perkembangan anak masih bersifat


28

egosentrik, seperti dalam penelitian piaget anak selalu menunjukkan

egosentrik seperti anak akan memilih sesuatu atau ukuran yang besar

walaupun isi sedikit. Masa ini sifat pikiran bersifat transduktif

menganggap semuanya sama, seperti seorang pria dikeluarga adalah ayah

maka semua pria adalah ayah, pikiran yang kedua adalah pikiran

animisme selalu memperhatikan adanya benda mati, seperti apabila anak

terbentur benda mati maka anak akan memukulnya kearah benda tersebut.
2.3.3 Tugas Perkembangan
Tugas perkembangan pada anak usia 1-3 tahun adalah :
1. Belajar berjalan
2. Belajar makan makanan padat
3. Belajar berbicara
4. Belajar mengendalikan pembuangan sampah tubuh
5. Belajar membedakan jenis kelamin dan kesopanan sosial
6. Mencapai stabilitas fisiologis
7. Membentuk konsep sederhana mengenai kenyataan sosial dan fisik
8. Belajar berhubungan secara emosional dengan orang tua, saudara

kandung dan orang lain


9. Belajar membedakan yang benar dan yang salah serta mengembangkan

nurani
10. Pada usia 3 tahun toilet training yang baik (tepat pada tempatnya) dapat

mengontrol emosionalnya dalam BAB/BAK (Kyle, 2014).


2.3.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Anak
Secara umum terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap

tumbuh kembang anak, yaitu :


1. Faktor Genetik
Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir

proses tumbuh kembang anak. Yang termasuk faktor genetik antara lain

adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin,

suku bangsa atau bangsa. Penelitian menegaskan bahwa rata-rata anak


29

laki-laki memang memulai dan menguasai toilet training lebih lama

dibanding anak perempuan.


2. Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai

atau tidaknya potensi bawaan. Lingkungan cukup baik akan

memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan yang kurang baik

akan menghambatnya. Lingkungan merupakan lingkungan “bio-fisiko-

psiko-sosial” yang mempengaruhi individu setiap hari, mulai dari

konsepsi sampai akhir hayatnya. Faktor lingkungan ini secara garis besar

dibagi menjadi :
1) Pranatal
Faktor lingkungan yang mempengaruhi anak pada waktu masih

di dalam kandungan, seperti gizi waktu ibu hamil, mekanis/trauma,

toksin/zat kimia, hormon, radiasi, infeksi, stres, imunitas dan anoksia

embrio.
2) Postnatal
Faktor lingkungan yang mempengaruhi tumbuh kembang anak

setelah lahir, seperti :


a) Lingkungan biologis (pertumbuhan somatik, jenis kelamin, umur,

gizi, perawatan kesehatan, penyakit kronis, metabolisme, dan

hormon).
b) Faktor fisik (cuaca, sanitasi, keadaan rumah dan sanitasi).
c) Faktor psikososial (stimulasi, motivasi belajar, ganjaran, kelompok

sebaya, stress, cinta dan kasih sayang, interaksi).


d) Faktor keluarga dan istiadat (pendidikan, pekerjaan, jumlah

saudara, jenis kelamin, adat istiadat, agama dan kehidupan politik)

(Soetjiningsih, 2013).
30

Anak usia toddler


Tumbuh kembang anak usia 3
Peran Ibu (1-3) tahun
tahun:
Peran Ibu dalam Toilet
Faktor-faktor yang Belajar berjalan
Training :
mempengaruhi Belajar makan
Pemberi tumbuh kembang : makanan padat
Pendorong
Genetik Belajar berbicara
Mengajari/
Lingkunga Belajar mengendalikan
Membimbing
n pembuangan sampah
2.4 Kerangka Teori
Memberikan (Soetjining tubuh
Kasih Sayang sih, 2013).
Belajar membedakan
Pengharmonis
jenis kelamin dan
Pelopor kesopanan social
Koordinator
Mencapai stabilitas
Konsep
(Friedmen, 2010).
fisiologis
Toilet Training
Membentuk konsep
Tanda Kesiapan Toilet
sederhana mengenai
Training : Cara Toilet kenyataan social dan
Kesiapan Fisik Training: fisik

Kesiapan Mental Teknik Lisan Belajar berhubungan


secara emosional
Kesiapan Teknik
dengan orang tua,
Psikologis Modeling
saudara kandung, dan
(Hidayat,
Kesipan Orang orang lain (Kyle,
2012).
2008).

31

Gambar 2.4 Kerangka Teori Hubungan Peran Ibu Dengan Kemampuan


Ibu beserta
Toilet Training Pada anak Toddler di Dusun Rangka Desa
Anak Usia
Faktor-faktor yang Sumberjati Kec. Mojoanyar
usia toddlerKab. Mojokerto
2.5 Kerangka Konseptual
mempengaruhi Positif
Peran ibu dalam Keluarga:
peran : dengan
Kerangka Konsep penelitian adalah upaya merangkaikan variabel-variabel
Pemberi pendorong nilai >
Pendidikan
ke dalam suatu bagan sehingga jelas hubungan masing-masing variabel.50%
Mendidik/ membimbing
Pekerjaan
Negatif
Memberi Kasih sayang
Jumlah anak dengan
Tanda-tanda penting
Pengharmonis nilai <
Usia orang tua
anak sudah siap toilet 50%
Pengalaman training :
sebelumnya Kemampuan toilet
Kesiapan Fisik training
Stress orang tua
Kesiapan
Hubungan suami Mental
Kurang
istri Baik Cukup
Kesiapan
Psikologis

Kesiapan Orang
32

Keterangan : : Variabel diteliti

: Variabel tidak diteliti

Gambar 2.5 Kerangka Konseptual Hubungan Peran Ibu Dengan


Kemampuan Toilet Training Pada Anak Usia Toddler di Desa
Sumberjati Kecamatan Mojoanyar
Berdasarkan kerangka konseptual di atas dapat dijelaskan bahwa

kemampuan toilet training tergantung pada kesiapan yang ada pada diri anak dan

keluarga, seperti kesiapan fisik, dimana kemampuan anak secara fisik sudah kuat

dan mampu. Hal ini dapat ditunjukkan anak mampu duduk dan berdiri sehingga

memudahkan anak untuk dilatih buang air besar dan kecil, demikian juga kesiapan

mental pada anak juga dapat membantu dalam proses buang air besar dan kecil

Faktor-faktor
sangat memudahkan proses yang
dalam pengontrolan, mempengaruhi
anak dapat mengetahui kapan
Kepatuhan ibu mengkonsumsi tablet besi
saatnya harus buang air kecil dan kapan saatnya buang air besar. Kesiapan
(Fe):

a. Pemahaman
psikologis anak juga membutuhkan tentangyang
suasana instruksi
nyaman agar mampu
b. Kualitas Interaksi
mengontrol dan konsentrasic.dalam
Isolasi sosial dan untuk
merangsang keluarga
buang air besar atau kecil.
d. Keyakinan, sikap dan kepribadian
e. Pengetahuan
Dari kesiapan-kesiapan tersebut tentunya ada faktor lain yang mempengaruhi
f. Tingkat Pendidikan
g. Pemeriksaan ANC
33

kemampuan toilet training pada anak usia toddler, yaitu peran orangtua terutama

ibu. Dalam proses tumbuh kembang anak menjadi optimal jika orangtua terutama

ibu yang ikut berperan terhadap proses tumbuh kembang anak, sehingga tidak

terjadi penyimpangan-penyimpangan yang tidak diharapkan misalnya masih

mengompol saat anak seharusnya dapat mengontrol kandung kemihnya (Hidayat,

2012).

2.6 Hipotesis

Hipotesis adalah suatu kesimpulan sementara dari rumusan masalah atau

pernyataan penelitian (Nursalam, 2016).

H1 : Ada hubungan peran ibu dengan kemampuan toilet training pada anak usia

toddler di Dusun Rangka Desa Sumberjati Kec. Mojoanyar Kab. Mojokerto

Ho : Tidak ada hubungan peran ibu dengan kemampuan toilet training pada anak

usia toddler di Dusun Rangka Desa Sumberjati Kec. Mojoanyar Kab. Mojokerto.

Anda mungkin juga menyukai