Anda di halaman 1dari 64

TINDAK PIDANA TURUT SERTA DENGAN SENGAJA

MENGABAIKAN PELAKSANAAN KEWENANGAN


OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) UNDANG-UNDANG
NOMOR 21 TAHUN 2011 DI LEMBAGA PEMBIAYAAN
BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 851
K/PID.SUS/2020

TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

JAMHARI KUSNADI
2002190055

MAGISTER HUKUM PROGRAM PASCASARJANA


UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
2021
Lampiran 1

HALAMAN PENGESAHAN
USULAN PENELITIAN PADA SEMINAR PRA TESIS
JUDUL

TINDAK PIDANA TURUT SERTA DENGAN SENGAJA


MENGABAIKAN PELAKSANAAN KEWENANGAN OTORITAS JASA
KEUANGAN (OJK) UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 DI
LEMBAGA PEMBIAYAAN BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG NO. 851 K/PID.SUS/2020
Oleh
NAMA: JAMHARI KUSNADI
NIM: 2002190055

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Guna Memperoleh Gelar Magister Hukum
Program Studi Hukum, Program Magister, Program Pascasarjana
Konsentrasi Hukum Pidana

Jakarta, 28 Januari 2022


Pembimbing 1

Dr. Dian Puji M. Simatupang, S.H.,M.H

Pembimbing 2

Dr. Andari Yurikosari., S.H., M.H.

Mengetahui
Program Studi Hukum Program Magister

Dr. Gindo. L. Tobing, S.H., M.H.


DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL....................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN TESIS…..…………...................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

1. Latar Belakang Masalah..........................................................1

2. Rumusan Masalah...................................................................15

3. Maksud dan Tujuan dan Penelitian.........................................15

4. Kerangka Teoritis dan Konsep................................................16

a. Kerangka Teori................................................................16

b. Kerangka Konsep.............................................................22

5. Metode Penelitian...................................................................24

6. Sistematika Penulisan..............................................................26

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Kebutuhan dana bagi masyarakat terus meningkat untuk pembiayaan

kebutuhannya, terlebih dijaman modern dan globalisasi saat ini, muncul bentuk-

bentuk penyandang dana selain perbankan. Kehadiran penyandang dana selain

perbankan tersebut ditujukan untuk membantu pelaku usaha maupun konsumen

dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Lembaga penyandang dana selain perbankan

tersebut merupakan lembaga penyandang dana yang lebih fleksibel dan moderat

dibanding dengan lembaga perbankan, yaitu berupa lembaga keuangan non bank

(LKNB) dan lembaga pembiayaan. Lembaga keuangan yang tergolong dalam

lembaga keuangan non bank (LKNB) ini, yaitu: lembaga pembiayaan, lembaga

perasuransian, lembaga dana pensiun, lembaga pegadaian dan lembaga pasar modal

(capital Market)

Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan

dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. 1 Sedangkan Perusahaan

Pembiayaan adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan Sewa Guna

Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen, dan/atau usaha Kartu Kredit. 2

Lembaga pembiayaan juga berperan dalam pembangunan Indonesia. Hal ini

disebabkan oleh keberadaan lembaga pembiayaan dapat menampung dan

menyalurkan aspirasi dan minat masyarakat untuk berperan aktif dalam

pembangunan (ekonomi) Indonesia, yaitu melalui fasilitas dana yang disediakan.3

1
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan,
Pasal 1.
2
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan,
Pasal 1.
3
Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 1.
1
2

Pembiayaan konsumen merupakan salah satu model pembiayaan yang dilakukan

oleh perusahaan financial, di samping kegiatan seperti leasing, factoring, kartu kredit

dan sebagainya. Target pasar dari model pembiayaan konsumen ini sudah jelas yaitu

para konsumen. Suatu istilah yang dipakai sebagai lawan dari kata produsen. 4

Menurut A. Abdulrahman, pembiayaan konsumen adalah kredit yang diberikan

kepada konsumen-konsumen guna pembelian barang-barang konsumen dan jasa-jasa

seperti yang dibedakan dari pinjaman-pinjaman yang digunakan untuk tujuan-tujuan

produktif atau dagang. Kredit ini dapat mengandung resiko yang lebih besar daripada

kredit dagang biasa.5 Pembiayaan konsumen merupakan kegiatan yang mirip sewa

guna usaha dengan hak opsi, dengan tetap memperhatikan unsur resiko dan keamanan

dalam pemberian pembiayaan. Bedanya hanya pada besar kecilnya pinjaman. 6

Sebagai salah satu bidang usaha pembiayaan, ternyata lembaga pembiayaan

konsumen pada prinsipnya memiliki kesamaan dengan sewa beli karena sama-sama

membayar barang konsumen dengan cara angsuran, hanya perbedaannya dalam sewa

beli tidak ada pihak ketiga yang ikut serta dalam pembiayaan. 7

Berkaitan dengan lembaga pembiayaan konsumen ini, terdapat pertanyaan yang

cukup menarik untuk dibahas dan dikaji, yaitu bagaimana keberadaan lembaga

pembiayaan konsumen dalam industri jasa keuangan Indonesia dan kriteria yang

membedakannya dengan lembaga keuangan lain serta pengaturannya dalam pranata

hukum Indonesia sehingga lembaga ini dikatakan sebagai salah satu sumber dana

alternatif bagi pribadi ataupun badan usaha yang memerlukan dana untuk memenuhi

4
Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hal.
161.
5
Juli Irmayanto dkk, Bank & Lembaga Keuangan, Universitas Trisakti, Jakarta, 2009, hlm.
175.
Endang Purwaningsih, Hukum Bisnis, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 18.
6

Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT. Raja
7

Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 126.


3

kebutuhannya. Secara substansi, kegiatan pembiayaan konsumen sebenarnya sama

saja dengan pengertian kredit konsumsi yang diberikan oleh bank, yaitu kredit yang

diberikan kepada konsumen guna pembelian barang-barang konsumsi dan jasa-jasa

seperti yang dibedakan dari pinjaman yang digunakan untuk tujuan-tujuan produktif.

Kehadiran lembaga pembiayaan konsumen sebenarnya secara informal sudah

tumbuh sejak lama sebagai bagian dari trading. Namun baru diakui sejak

diundangkannya Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga

Pembiayaan yang diikuti dengan dikeluarkannya SK Menteri Keuangan Nomor

1251/KMK.013/1988 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga

Pembiayaan, yang secara resmi mengakui lembaga pembiayaan konsumen ini sebagai

salah satu lembaga pada sektor jasa keuangan. 8

Dalam melakukan kegiatannya, lembaga pembiayaan dilaksanakan oleh

perusahaan pembiayaan, perusahaan modal ventura dan perusahaan pembiayaan

infrastruktur (Pasal 2 Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga

Pembiayaan). Selanjutnya, Pasal 6 Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 Tentang

Lembaga Pembiayaan ini dijelaskan bahwa perusahaan pembiayaan, perusahaan

modal ventura dan perusahaan pembiayaan infrastruktur berbentuk Perseroan

Terbatas dan Koperasi. Sehingga, untuk dapat menjalankan usaha di bidang

pembiayaan maka perusahaan pembiayaan, perusahaan modal ventura dan

perusahaan pembiayaan infrastruktur harus berbentuk badan hukum yaitu berbentuk

Perseroan Terbatas atau Koperasi.

Badan hukum meliputi sesuatu yang menjadi pendukung hak dan kewajiban.

Meijers menambahkan, badan hukum itu merupakan suatu realitas konkret, riil,

8
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rieka Cipta, Jakarta, 2003,
hlm.117
.
4

walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, atau merupakan suatu juridische realiteit

(kenyataan yuridis). Sementara itu, E. Utrecht, menyatakan badan hukum adalah

badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak.

Selanjutnya, E. Utrecht menjelaskan, badan hukum itu adalah setiap pendukung hak

yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia. R.Subekti mengatakan

badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat

memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki

kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.9

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang

Perseroan Terbatas, organ perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),

Direksi, dan Dewan Komisaris. RUPS adalah organ perseroan yang memegang

kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak

diserahkan kepada Direksi atau Dewan Komisaris. Direksi adalah organ perseroan

yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan

tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan

sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Dewan Komisaris adalah organ perseroan

yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta

memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan perseroan. 10

Perseroan sebagai makhluk atau subjek hukum artifisial disahkan oleh negara

menjadi badan hukum memang tetap tidak dapat dilihat dan diraba (invicible and

intangible). Eksistensinya riil ada sebagai subjek hukum yang terpisah (separate) dan

bebas (independent) dari pemiliknya atau pemegang sahamnya maupun dari pengurus

9
Mulhadi, Hukum Perusahaan, Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2010, hlm.73.
10
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: PT.Citra Aditya
Bakti, bandung, 2010), hlm.115.
5

dalam hal ini Direksi Perseroan. Secara terpisah dan independen perseroan melalui

pengurus dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling, legal act), seperti

melakukan kegiatan untuk dan atas nama perseroan membuat perjanjian, transaksi,

menjual aset dan menggugat atau digugat serta dapat hidup dan bernapas

sebagaimana layaknya manusia (human being) selama jangka waktu berdirinya yang

ditetapkan dalam anggaran dasar belum berakhir. Namun tidak dapat dipenjarakan,

akan tetapi dapat menjadi subjek perdata maupun tuntutan pidana dalam bentuk

hukuman “denda”.11

Dalam realitasnya perusahaan pembiayaan sampai saat ini masih dikuasai oleh

perusahaan pembiayaan yang berbentuk Perseroan Terbatas. Hal ini disebabkan oleh

kondisi koperasi yang belum memungkinkan untuk bergerak di bidang lembaga

pembiayaan mengingat modal yang dibutuhkan sangat besar. Selain itu untuk

bergerak di bidang ini diperlukan pula keahlian dan keuletan serta pengelolaan

manajemen yang baik.12

Atas dasar kepemilikannya, perusahaan pembiayaan konsumen dapat dibedakan

menjadi tiga (3) jenis, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen yang merupakan anak

perusahaan dari pemasok barang dan jasa yang akan dibeli oleh debitor, perusahaan

pembiayaan konsumen yang merupakan satu grup usaha dengan pemasok barang dan

jasa yang akan dibeli oleh debitor, dan perusahaan pembiayaan konsumen yang tidak

mempunyai kaitan kepemilikan dengan pemasok barang dan jasa yang akan dibeli

oleh debitor.13

11
M.Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.37.
12
Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009), hlm. 5.
13
Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba
Empat, Jakarta, 2008, hlm. 204.
6

Perusahaan pembiayaan mendapatkan dana dengan mengeluarkan warkat niaga

(commercial papers/CP),14 dan menggunakannya untuk memberikan pinjaman

(biasanya dalam jumlah kecil) yang terutama ditujukan bagi kebutuhan konsumen

dan bisnis. Proses intermediasi keuangan dari perusahaan pembiayaan yaitu nasabah

meminjam dalam jumlah besar namun dengan memberikan pinjaman dalam jumlah

kecil. Ciri utama perusahaan pembiayaan adalah perusahaan tersebut memberikan

pinjaman kepada konsumen (yang juga meminjam ke bank umum) dan perusahaan

pembiayaan tidak tunduk pada regulasi seperti halnya bank umum atau komersial.

Kurangnya aturan regulasi ini lebih memungkinkan perusahaan pembiayaan untuk

menyesuaikan sendiri pinjamannya berdasarkan kebutuhan konsumen daripada

institusi perbankan.15

Pembiayaan konsumen ini merupakan salah satu model lembaga keuangan yang

masih baru berkembang bila dibandingkan lembaga keuangan bank, sehingga hal ini

juga menjadi bahan pertanyaan yang perlu dibahas dan dikaji, yaitu bagaimana dalam

praktiknya bentuk pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa

Keuangan, yang sekarang ini kewenangannya berada pada Otoritas Jasa Keuangan,

dan apakah pengaturan dan pengawasan yang dilaksanakan tersebut sudah dapat

mengatasi permasalahan-permasalahan yang begitu komplek pada bisnis di lembaga

pembiayaan konsumen.

Kemajuan di bidang teknologi telah memacu perusahaan untuk menghasilkan

produk yang semakin canggih dan beragam. Kelebihan-kelebihan atas suatu produk

terbaru mendorong masyarakat (konsumen) tergiur untuk memilikinya meskipun

14
Ahmad Muqorrobin, Pasar Uang, diakases dari
http://warungekonomiislam.blogspot.com/2013/10/pasar-uang.html, pada tanggal 27 Des 2021,
pukul. 21.20
15
Ktut Silvanita Mangani, Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, Erlangga, Jakarta, 2009),
hlm.55.
7

secara finansial dana untuk membelinya tidak mencukupi. Bagi masyarkat kelas

menengah ke bawah yang berpenghasilan rendah hal ini tentu merupakan suatu

problem tersendiri. Kondisi inilah yang antara lain menyebabkan tumbuh dan

berkembangnya lembaga pembiayaan konsumen sebagai salah satu sumber

pembiayaan alternatif untuk memenuhi kebutuhan konsumen atas barang-barang

konsumtif yang dibutuhkannya. Melalui pembiayaan konsumen, masyarakat yang

tadinya kesulitan untuk membeli barang secara tunai, akan dapat teratasi dengan

mudah dan cepat. Hal ini akan menimbulkan tingginya tingkat persaingan bisnis

diantara perusahaan pembiayaan konsumen dalam mencari calon konsumen untuk

menjadi nasabahnya.

Selanjutnya, proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di

bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan

yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik

dalam hal produk maupun kelembagaan. Lembaga jasa keuangan yang memiliki

hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah

menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan di

dalam sistem keuangan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa

keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan

konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin

mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawas di sektor jasa keuangan

yang terintegrasi.16 Berdasarkan pengalaman Indonesia sebelumnya (masa krisis

ekonomi pada tahun 1997-1998), khususnya pada saat stabilitas keuangan

terguncang, tentunya

16
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2005, hlm. 214.
8

permasalahan-permasalahan tersebut haruslah mendapat perhatian yang lebih serius

dalam menanganinya.

Selama ini sebelum keluarnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang

Otoritas Jasa Keuangan, pengawasan yang dilakukan terhadap perusahaan yang

bergerak di bidang keuangan dilakukan oleh dua (2) lembaga yang ditunjuk

pemerintah, yaitu:17 1. Lembaga keuangan bank (perbankan) dilakukan oleh Bank

Indonesia (BI). Artinya semua aktivitas perbankan sepenuhnya dilakukan oleh Bank

Indonesia, termasuk dalam hal memberi izin, menindak, atau membubarkan bank. 2.

Lembaga keuangan bukan bank seperti pasar modal, perasuransian, dana pensiun,

lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya, kegiatannya diawasi oleh

Kementerian Keuangan, BI dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga

Keuangan (Bapepam-LK). Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan berawal dari adanya

keresahan dari beberapa pihak dalam hal fungsi pengawasan Bank Indonesia. Ada

tiga hal yang melatarbelakangi pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, yaitu

perkembangan industri sektor jasa keuangan di Indonesia, permasalahan lintas

sektoral industri jasa keuangan, dan amanat Undang-Undang No.3 Tahun 2004

Tentang Bank Indonesia (Pasal 34). Pasal 34 Undang-Undang No.3 Tahun 2004

Tentang Bank Indonesia merupakan respon dari krisis Asia yang terjadi pada 1997-

1998 yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia, khususnya sektor perbankan.

Berdasarkan Pasal 34 Undang- Undang No.3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, pemerintah

diamanatkan membentuk lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen,

selambat-lambatnya akhir tahun 2010 dengan nama Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Lembaga ini bertugas mengawasi

17
Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2014, hlm.323.
9

industri perbankan, asuransi, dana pensiun, pasar modal, modal ventura, dan

perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan dana

masyarakat. Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia telah diatur dalam

sebuah Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas

Jasa Keuangan yang disahkan pada 22 November 2011. Dalam peraturan itu

disebutkan defenisi dari Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain,

kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang Otoritas Jasa

Keuangan ini.

Oleh karena itu, dengan adanya OJK, pengawasan atas semua industri jasa

keuangan akan disatukan ke dalam satu atap, yaitu perbankan, pasar modal, asuransi,

dana pensiun, lembaga keuangan nonbank. 18 Selain itu, latar belakang didirikannya

OJK juga karena makin rumitnya produk keuangan serta pemasaran atas produk ini

dilakukan lintas industri seperti produk pasar modal (seperti reksadana) ditawarkan

juga oleh bank atau produk asuransi juga ditawarkan bank (bancaassurance). Otoritas

Jasa Keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan

jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun,

lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya, antara lain melakukan

pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain

terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan

sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa

keuangan, termasuk kewenangan perizinan kepada lembaga jasa keuangan.

Permasalahan di atas menjadikan dasar penelitian tesis ini, dikarenakan keberadaan

Otoritas Jasa Keuangan

18
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2014),
hlm.36.
10

yang masih baru berdiri di Indonesia sebagai badan yang mempunyai kewenangan

untuk melakukan pengaturan dan pengawasan kegiatan perusahaan yang bergerak di

sektor industri jasa keuangan, sehingga bagaimana dalam praktiknya Otoritas Jasa

Keuangan dapat mengatur, mengawasi, memberikan sanksi terhadap perusahaan-

perusahaan pembiayaan konsumen yang dalam menjalankan usahanya melakukan

pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan pengaruh sanksi

atas perjanjian-perjanjian yang telah diadakan sebelumnya oleh perusahaan

pembiayaan konsumen dengan nasabahnya serta jenis sanksi yang diberikan atas

pelanggaran ketentuan tersebut. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka

penelitian tesis ini akan difokuskan mengenai kewenangan Otoritas Jasa Keuangan

dalam melakukan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga pembiayaan

konsumen sebagai perusahaan yang bergerak di bidang industri jasa keuangan yang

akan dituangkan ke dalam proposal penelitian tesis “Analisis Yuridis Kewenangan

Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengaturan Dan Pengawasan Terhadap Lembaga

Pembiayaan Konsumen”.

Seiiring berkembangnya lembaga pembiayaan disertai banyaknya permintaan

dari masyarakat dalam bidang pembiayaan, para pemilik perusahaaan pembiayaan

memerlukan dana segar agar menjalankan perusahaannya, salah satunya dengan jalan

meminjam dana usaha kepada lembaga keuangan yaitu bank. Lembaga pembiayaan

meminjam dana usaha dari Bank dengan menyajikan data-data dari nasabahnya yang

dijadikan sebagai data dari lembaga pembiayaannya membutuhkan dana segar untuk

dapat memberikan pinjaman kepada nasabahnya. Dalam pelaksanaannya dapat terjadi

penyelewengan yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan tersebut dan salah

satunya adalah dengan menjual data nasabahnya yang tidak valid. Perusahaan

pembiayaan yang nakal akan menggelumbangkan data nasabah sehingga terlihat


11

banyak agar pihak bank melihat kebutuhan dana dari perusahaan tersebut besar,

walaupun sebenarnya nasabahnya tidak sebanyak yang disajikan dan hutang

piutangnya tidak seperti yang sebenarnya, lembaga pembiyaan bertujuan untuk

memperkaya diri sendiri dengan jalan menggelapkan dana usaha yang akan didapat

melalui bank tersebut.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga pengawas untuk industri jasa

keuangan baik berupa Bank atau Non Bank yang bertujuan melindungi kepentingan

konsumen dan masyarakat serta menjaga agar industri tersebut dapat berjalan secara

sehat. Melalui Undang-Undang 21 Tahun 2011 tentang OJK, mempunyai wewenang

mengatur dan memerintahkan lembaga jasa keuangan dalam mengambil keputusan-

keputusan dalam bisnis perusahaan sebagai bentuk pengawasan.

Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang 21 Tahun 2011 tentang OJK menyatakan

setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan perintah

tertulis maka dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan pidana

denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).atau pidana penjara

paling lama enam tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima

belas miliar rupiah). Lebih lanjut, dalam ayat 2 nya dinyatakan apabila pelanggaran

dilakukan korporasi maka korporasi dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp

Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).atau paling banyak Rp.

45.000.000.000,- (empat puluh lima miliar rupiah).

Kewenangan perintah OJK tersebut tercantum pada Pasal 9 huruf d UU 21/2011

yang menyatakan untuk melaksanakan tugas pengawasan sektor jasa keuangan

otoritas mempunyai wewenang memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa

keuangan termasuk lembaga pembiayaan maupun pihak tertentu. Terdapat sanksi

pidana penjara dan pidana denda bagi pihak yang tidak melaksanakan perintah OJK

tersebut.
12

Terkait dengan yang telah diutarakan diatas mengenai tindak pidana turut serta

mengabaikan perintah dari Otoritas Jasa Keuangan perihal pelarangan bagi Pemegang

Saham, Dewan Komisaris dan Direksi PT. Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP)

menggunakan dana keuangan perusahaan melakukan transaksi keuangan yang tidak

wajar, menerbitkan Surat Hutang dalam bentuk apapun termasuk menerbitkan

Medium Term Notes, melakukan perbuatan hukum yang memperburuk kondisi

perusahaan dan melakukan penggantian pengurus tanpa persetujuan OJK yang

dilakukan oleh Leo Chandra dengan pada tahun 2018 yang telah diputus pada

tingkatan Kasasi berdasarkan putusan No. 851/K/Pid.Sus/2020, dan telah diadili

karena telah terbukti dengan secara sah dan meyakinkan telah melakukan “Tindak

pidana turut serta dengan sengaja mengabaikan pelaksanaan kewenangan Otoritas

Jasa Keuangan (OJK) dalam hal pengawasan terhadap Lembaga Jasa Keuangan

secara berlanjut” dan menjatuhkan pidana kepada Leo Chandra oleh karena itu

dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar

Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).

Berdasarkan uraian sebelumnya Leo Chandra ini dengan mendeskripsikan

beberapa inti permasalahan dengan pembahasan mengenai tindak pidana turut serta

dengan sengaja mengabaikan pelaksanaan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan

(OJK) dalam hal pengawasan terhadap Lembaga Jasa Keuangan secara berlanjut

dalam kaitannya dengan undang-undang Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011

tentang Otoritas Jasa Keuangan dengan judul “TINDAK PIDANA TURUT

SERTA DENGAN SENGAJA MENGABAIKAN PELAKSANAAN

KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) UNDANG-

UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 DI LEMBAGA PEMBIAYAAN

BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 851

K/PID.SUS/2020”.
13

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mengidentifikasi permasalahan

yang ada sesuai dengan judul Tesis sebagai berikut:

1. Bagaimana tindak pidana serta pidana terhadap pelaku yang melanggar peraturan

Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2011, Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang 21

Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan di lembaga pembiayaan?

2. Bagaimana Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam putusan

Nomor. 851/K/Pid.Sus/2020 telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor. 21

Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan?

3. Mengapa Majelis Hakim menyatakan pelaku lembaga pembiayaan dianggap sah

dan meyakinkan melanggar Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan?

3. Maksud dan Tujuan Penelitian

a. Maksud Penelitian

1. Untuk mengetahui panegakkan hukum bagi pelaku yang melanggar peraturan

Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan di

lembaga pembiayaan.

2. Untuk mengetahui putusan Mahkamah Agunng No. 851/K/Pid.Sus/2020 telah

sesuai dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan.

3. Untuk mengetahui alasan Majelis Hakim menyatakan pelaku lembaga

pembiayaan dianggap sah dan meyakinkan melanggar Undang-Undang No. 21

Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.


14

b. Tujuan Penelitian

1. Aspek Teoretis

Memberikan sumbangan pemikiran dan memperkaya konsep dan pemahaman

dari teori-teori hukum mengenai tindak pidana, penegakkan hukum dan

penggunaan hukum didalam undang-undang Otoritas Jasa Keuangan.

2. Aspek Praktis

Hasil dari penelitian ini secara praktis diharapkan dapat menyumbangkan

wawasan dalam pemikiran terhadap hukuman yang akan dijatuhkan bagi

pelaku tindak pidana yang mengabaikan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

khususnya dilembaga pembiyaan.

4. Kerangka Teoritis dan Konsep

a. Kerangka Teoretis

Theoria merupakan dasar dari kata Teori yang berarti

“perenungan”, yang pada gilirannya berasal dari kata “thea” dalam bahasa

Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan

realitas. Dari kata dasar thea ini pula datang kata modern “theater” yang

berarti “pertunjukan” atau “tontonan”. Dalam banyak literatur, beberapa

ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang

tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), juga

simbolis.19

Teori menurut Malcolm Waters hendaknya meliputi semua

19
H.R.Otje Salman S, Anthon F.Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali), PT.Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm.21.
15

perangkat pernyataan yang disusun dengan sengaja yang dapat memenuhi

kriteria:20

1. Pernyataan itu harus abstrak yaitu, harus dipisahkan dari praktik-praktik sosial

yang dilakukan. Teori biasanya mencapai abstraksi melalui pengembangan

konsep teknis yang hanya digunakan dalam komunitas tertentu;

2. Pernyataan itu harus tematis. Argumentasi tematis tertentu harus diungkapkan

melalui seperangkat pernyataan yang menjadikan pernyataan itu koheran dan

kuat;

3. Pernyataan itu harus konsisten secara logika. Pernyataan-pernyataan itu tidak

boleh saling berlawanan satu sama lain dan jika mungkin dapat ditarik

kesimpulan dari satu dan lainnya;

4. Pernyataan itu harus dijelaskan. Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau

argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk

substansi atau eksistensinya;

5. Pernyataan itu harus umum pada prinsipnya, pernyataan itu harus dapat

digunakan dan menerangkan semua atau contoh fenomena apapun yang akan

coba diterangkan dan pernyataan-pernyataan itu harus independen;

6. Pernyataan itu tidak boleh dikurangi hingga penjelasan yang ditawarkan para

partisipan untuk tingkah laku diri sendiri;

7. Pernyataan-pernyataan itu secara substantif harus valid. Pernyataan itu harus

konsisten tentang apa yang diketahui tentang dunia sosial oleh partisipan dan

ahli-ahli lainnya. Minimal harus ada aturan-aturan penerjemahan yang dapat

menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain.

20
Ibid., hlm.22-23.
16

Teori adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam

dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana

pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris.

Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang

berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar

bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris

untuk dapat dinyatakan benar.21

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir

pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem)

yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.28 Dalam setiap

penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran yang teoritis. Teori

adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses

tertentu terjadi.22

Dalam menjawab rumusan masalah yang ada, secara teoritis tesis

ini menggunakan pendekatan kerangka konsep hukum yang

dikembangkan oleh Jhon Austin, yaitu teori positivisme hukum yang

analitis.

Jhon Austin dalam buku kumpulan kuliahnya mengatakan “Law is

a command of the lawgiver”, hukum merupakan perintah dari penguasa,

dalam arti perintah dari yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari

yang memegang kedaulatan. Selanjutnya, Jhon Austin berkata hukum

adalah

21
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV.Mandar Maju, Bandung, 2004), hlm.
27.
22
J. J. J. M.Wuisma, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, UI Press, Jakarta, 2006, hlm. 203.
17

perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir, perintah yang

dilakukan oleh makhluk yang berpikir yang memegang dan mempunyai

kekuasaan. Jhon Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang

logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system), hukum secara

tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang

baik atau buruk.23

Jhon Austin membagi hukum terdiri atas: 24

1. Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia.

2. Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia:

a. Hukum dalam arti yang sebenarnya atau hukum yang tepat untuk

disebut hukum. Jenis hukum ini disebut juga sebagai hukum positip.

Hukum yang sesungguhnya ini terdiri dari:

1) Hukum yang dibuat oleh penguasa seperti undang-undang,

peraturan pemerintah dan lain-lain.

2) Hukum yang dibuat atau disusun oleh rakyat secara individuil

yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan

kepadanya. Contohnya: hak kurator terhadap badan/orang dalam

kuratele atau hak wali terhadap orang yang berada di bawah

pengampuan.

b. Hukum dalam arti yang tidak sebenar-benarnya, hukum yang tidak

23
Lili Rasjidi, Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, PT.Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, hlm.58.
24
Ibid., hlm.58
18

memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak dibuat

atau ditetapkan oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang.

Seperti contoh, misalnya ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh

perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu dalam bidang

keolahragaan, mahasiswa dan sebagainya.

Terdapat empat unsur penting menurut Jhon Austin untuk dinamakan

sebagai hukum, yaitu perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan.

Ketentuanketentuan yang tidak mengandung keempat unsur tersebut bukanlah

merupakan hukum positip malainkan hanyalah sebagai moral positif. Keempat

unsur itu kaitannya satu dengan yang lain dapat dijelaskan sebagai berikut: unsur

perintah ini berarti satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan

kehendaknya, pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah itu

tidak dijalankan atau ditaati. Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban

terhadap yang diperintah, dan yang terakhir ini hanya dapat terlaksana jika yang

memerintah itu adalah pihak yang berdaulat. Pihak yang memiliki kedaulatan itu

dapat berupa seseorang atau sekelompok orang (a souvereign person, or a

souvereign body of person).25

Teori positivisme hukum yang analitis ini diperlukan untuk dapat

menjelaskan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam melakukan tugas

pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan, khususnya terhadap

lembaga pembiayaan konsumen, dan peraturan-peraturan dari Otoritas Jasa

Keuangan di sektor jasa keuangan merupakan suatu ketentuan yang harus

dijalankan oleh perusahaan pembiayaan konsumen yang bila dilanggar akan

dikenakan sanksi.

25
Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, CV.Mandar Maju, Bandung,
2002, hlm.57.
19

Dalam hal ini, untuk menjawab rumusan masalah tesis ini, digunakan

juga teori Pragmatic Legal Realism, yaitu teori hukum yang dikemukakan oleh

Rescoe Pound, yang mengatakan hukum dilihat dari fungsinya dapat berperan

sebagai alat untuk mengubah masyarakat (Law as a tool of social engineering).

Hukum dapat berperan di depan untuk memimpin perubahan dalam kehidupan

masyarakat dengan cara memperlancar pergaulan masyarakat, mewujudkan

perdamaian dan ketertiban serta mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat.

Supaya dalam pelaksanaan untuk pembaharuan itu dapat berjalan dengan baik,

hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang

menjadi inti pemikiran Sociological Jurisprudence yaitu hukum yang baik adalah

hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebab jika ternyata tidak, maka

akibatnya secara efektif dan akan mendapat tantangan.26

Teori Pragmatic Legal Realism ini diperlukan untuk dapat menjelaskan

dengan adanya Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga pengatur dan pengawas

di sektor jasa keuangan maka kebijakan-kebijakan peraturan yang dikeluarkannya

dapat menciptakan keteraturan dan ketertiban kegiatan bisnis di lembaga

pembiayaan konsumen dalam masyarakat.

b. Kerangka Konsep

Kerangka konsep atau konsepsional perlu dirumuskan dalam penelitian

sebagai pegangan ataupun konsep yang digunakan dalam penelitian. Biasanya

kerangka konsepsional dirumuskan sekaligus dengan definisi-definisi tertentu,

yang dapat dijadikan pedoman operasional didalam proses pengumpulan,

26
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006,
hlm. 20.
20

pengolahan, analisis, dan kontruksi data.27 Oleh karena itu untuk menjawab

perumusan masalah dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep

dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan

tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

1. Penjatuhan Pidana adalah sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan

kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat

tertentu. Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini

berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimakan negara pada pelaku

delik itu.28

2. Kewenangan adalah kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan

yang diberikan oleh undang-undang. 29

3. Pengaturan adalah suatu kewenangan berdasarkan legalitas yang dimiliki oleh

Otoritas Jasa Keuangan dalam menetapkan peraturan untuk seluruh lembaga

keuangan dan menetapkan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan tugas

mengatur kegiatan usaha lembaga keuangan tersebut agar tercipta ketertiban.

4. Pengawasan adalah untuk menentukan apa yang telah dicapai, mengadakan

evaluasi atasnya, dan mengambil tindakan-tindakan korektif bila diperlukan

untuk menjamin agar hasilnya sesuai dengan rencana.30

5. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari

campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang

27
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya
Bhakti, Bandung, 2003, hlm. 137.
28
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 186.
29
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan
Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia, Edisi IV, Universitas Parahyangan, Bandung, 2000), hlm.
22.
30
Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2006),
hlm. 17.
21

pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang ini.31

6. Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah kegiatan pembiayaan

untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan

pembayaran secara angsuran.32

5. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan

konstruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten. 33 Penelitian

(research) sesuai dengan tujuannya dapat didefinisikan sebagai usaha untuk

menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. 34

Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat deskriptif

analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci

dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan

berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat

untuk menjawab permasalahan.35 Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian

hukum yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder

yang dimulai dengan analisis terhadap permasalahan hukum yang baik berasal dari

literatur maupun peraturan perundang-undangan.36

31
Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 1 angka 1.
32
Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan, Pasal 1 angka 7.
33
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.
2.
34
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta 2007, hlm. 14.
35
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni,
Bandung, 2004, hlm. 101.
36
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2010, hlm. 37.
22

Data yang dikumpulkan dalam penulisan tesis ini meliputi data sekunder yang

terdiri dari:

1. Bahan hukum primer.

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang utama, sebagai

bahan hukum yang bersifat autoritatif, yakni bahan hukum yang mempunyai

otoritas, Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan dan segala

dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum.37

Bahan hukum primer yang dipakai dalam rangka penelitian adalah yakni

bahan hukum yang mengikat dengan penelitian tesis ini terdiri dari bahan utama

dalam pokok permasalahan adalah Putusan Perkara No. 851/K/Pid.Sus/2020,

Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa

Keuangan dan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga

Pembiayaan

2. Bahan-bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa jurnal ilmiah, hasil seminar/hasil karya serta

buku- buku ilmiah yang berhubungan dengan dan hukum pidana yang berkaitan

dengan undang-undang tentang Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga

Pembiayaan.

3. Bahan-bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan

yang

37
I Ketut Suardita, Pengenalan Bahan Hukum, Universitas Udayana, Bali, 2017, hlm. 2.
23

dipergunakan dalam penelitian ini adalah kamus hukum, surat kabar,

ensiklopedia, makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.38

Penelitian ini dalam hal analisis data dilakukan dengan cara kualitatif, yaitu

data-data yang diperoleh oleh penulis kemudian disusun secara sistematis sesuai

dengan metodologi penelitian, setelah itu dianalisa secara kualitatif untuk mencapai

pemahaman terhadap masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini,

sementara itua nalisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan

data deskriptif analisis.

6. Sitematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan menguraikan Latar Belakang Masalah, Perumusan

Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Kerangka Teoritis dan Konsep,

Metode Penelitian diakhiri dengan Sistematika Penulisan.

BAB II KEWENANGAN OTORITAS JAS KEUANGAN DALAM

MELAKUKAN ENGAWASAN DALAM LEMBAGA KEUANGAN

Pada bab ini akan dijelaskan tentang Tinjauan Umum Mengenai Undang-

Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pengertian

Perbuatan Melawan Hukum, Tugas dan Kewenangan Otoritas Jasa

Keuangan dan Tinjauan Tentang Lembaga Keuangan, Lembaga

Pembiayaan.

38
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm.13.
24

BAB III TINDAK PIDANA TURUT SERTA DENGAN SENGAJA

MENGABAIKAN PELAKSANAAN KEWENANGAN OTORITAS

JASA KEUANGAN DI LEMBAGA PEMBIAYAAN

Pada bab ini diuraikan Pemberlakuan Ketentuan Pidana Dalam Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Tindak

Pidana Turut Serta dengan Sengaja Mengabaikan Pelaksanaan

Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan, Bentuk Pemberian Sanksi Dan

Akibat Hukum Terhadap Mengabaikan Pelaksanaan Kewenangan Otoritas

Jasa Keuangan di Lembaga Pembiayaan, Posisi Kasus Putusan Mahkamah

Agung No. 851 K/PID.SUS/2020.

BAB IV TINDAK PIDANA TURUT SERTA DENGAN SENGAJA

MENGABAIKAN PELAKSANAAN KEWENANGAN OTORITAS

JASA KEUANGAN (OJK) UNDANG-UNDANG NO 21 TAHUN

2011 DILEMBAGA PEMBIAYAAN BERDASARKAN PUTUSAN

NO. 851 K/PID.SUS/2020

Pada bab ini diuraikan tentang tindak pidana serta pidana terhadap pelaku

yang melanggar peraturan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan di lembaga pembiayaan, tentang putusan

Mahkamah Agunng No. 851/K/Pid.Sus/2020 telah sesuai dengan Undang-

Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, tentang

pernyataan Majelis Hakim terhadap pelaku lembaga pembiayaan yang

dianggap sah dan meyakinkan melanggar Undang-Undang No. 21 Tahun

2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pertimbangan Hukum dan Putusan

Majelis Hakim dalam Putusan Perkara No. 851 K/PID.SUS/2020.


25

BAB V PENUTUP

Pada bab ini diuraikan tentang Kesimpulan dan Saran.


26

BAB II
KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM MELAKUKAN
PENGAWASAN DALAM LEMBAGA KEUANGAN

1. TUGAS DAN WEWENANG OJK SESUAI UNDANG-UNDANG NO 21


TAHUN 20111

Lembaga Otoritas Jasa Keungan (OJK) telah didirikan dengan Undang-

Undang No 21 tahun 2011 akan diberlakukan mulai tahun 1 Januari 2013, dengan

tugas untuk mengawasi lembaga keuangan baik bank maupun non bank. Lembaga

ini didirikan sesuai dengan amanat pasal 34 UU No 23 tahun 1999 tentang Bank

Indonesia. Sesuai dengan bunyi pasal 34 tersebut bahwa yang dialihkan adalah

tugas pengawasan bank, namun dalam perkembangannya malah tugas pengaturan

perbankan juga diambilalih, berarti tidak sesuai dengan bunyi pasal tersebut.

Tugas pengaturan perbankan yang diambilalih dari Bank Indonesia, dapat

mengakibatkan pelaksanaan tugas pengelolaan moneter dapat terganggu karena

ketika timbul masalah dengan perbankan, Bank Indonesia sudah tidak berhak

mengatur perbankan, padahal pengelolaan moneter tidak lepas dari kinerja

perbankan nasional karena sebagaimana disebutkan di atas, perbankan adalah

lembaga yang menguasai sekitar 80% sistem keuangan nasional. Sekalipun

terdapat pasal-pasal yang memungkinkan OJK dapat berkoordinasi dengan Bank

Indonesia apabila perekonomian dalam kondisi krisis, namun pekerjaan

koordinasi di negeri ini masih relatif mahal dan penanganan harus dilakukan

secara cepat.

OJK mempunyai wewenang sebagaimana ditetapkan dalam pasal 9 UU No

21 tahun 2011 adalah sebagai berikut :

a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa

1
Jurnal, Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Pengawas Lembaga Keuangan Baru Yang Memiliki Kewenangan
Penyidikan Value Added, Vol.8, No.2, Maret 2012 T Agustus 2012.
27
keuangan;

b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala

Eksekutif;

c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen,

dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang

kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-

undangan di sektor jasa keuangan;

d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak

tertentu;

e. melakukan penunjukan pengelola statuter;

f. menetapkan penggunaan pengelola statuter;

g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran

terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

h. memberikan dan/atau mencabut:

1. izin usaha;

2. izin orang perseorangan;

3. efektifnya pernyataan pendaftaran;

4. surat tanda terdaftar;

5. persetujuan melakukan kegiatan usaha;

6. pengesahan;

7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan

8. penetapan lain,

Hal yang baru dalam UU OJK ini adalah bahwa OJK berwenang untuk

melakukan penyidikan. Wewenang ini tidak dimiliki oleh Bank Indonesia sebagai
28
pengawas bank selama ini. Wewenang yang lebih luas dalam konteks

pemeriksaan

ini seperti wewenang aparat penegak hukum. OJK dapat bertindak lebih tegas

lagi apabila menemukan pelanggaran/penyelewengan dari hasil pemeriksaannya.

Namun perlu diingat bahwa sebagaimana diuraikan di atas, industri perbankan

adalah industri kepercayaan yang bersifat sistemik. Bagi institusi

pengawas/pemeriksa perbankan punya tugas dilihat dari dua sisi.Sisi penegakan

hukum/ketentuan dan sisi lain yakni agar perbankan nasional terus tumbuh

dengan sehat, sehingga harus punya strategi agar apabila menemukan pelanggaran

ibarat menangkap ikan, jangan sampai airnya keruh. Hal ini agak berbeda dengan

aparat penegak hukum lainnya. Selain hal tersebut, anggaran operasional OJK

akan dibiayai melalui APBN dan dipungut dari institusi yang diawasi (lembaga

keuangan & perbankan) (Pasal 37 UU OJK). Hal ini agak aneh, di satu sisi OJK

diberi wewenang lebih luas (sampai proses penyidikan), di lain sisi biaya

operasionalnya dapat dipungut dari institusi yang diawasi, sehingga dapat

menimbulkan conflict of interest. Bagaimana pembuatan UU dapat terjadi seperti

ini.

2. OTORITAS PENGAWAS LEMBAGA KEUANGAN/BANK DI NEGARA


LAIN

Pembentukan OJK di Indonesia dipicu oleh krisis ekonomi(multi dimensi)

pada tahun 1997 dan mengikuti trend Bank Sentral di beberapa negara antara lain

Inggris (1997), Jerman (1949), Jepang (1998) yang menginginkan agar bank

sentral independen, bebas dari campur tangan pihak manapun termasuk

pemerintah. Ironisnya beberapa negara termasuk Inggris sendiri dengan Finansial


29
Services Authority (FSA)-nya telah gagal sehingga Bank Sentralnya (Bank Of

England England) kembali diberikan akses kepada lembaga-lembaga keuangan di

negara tersebut. Perkembangan terkini, pada tanggal 28 Oktober 2012 Bank Of

England

bersama FSA menandatangai MOU untuk mendirikan the Prudential

Regulation Authority (PRA) pada awal tahun 2013.

Preparing for the Prudential Regulation Authority (RPA) RPA adalah bagian

dari dari Bank of England(BoE) mempunyai wewenang yang luas. Selain

mengawasi bank juga perusahaan asuransi dan perusahaan-perusahaan yang

bergerak di bidang investasi. Tujuan pembentukan model regulasi ini untuk men-

judgement risiko kunci yang ada pada perusahaan-perusahaan itu sehingga

kondisi yang tidak diingatkan dapat diketahui sejak dini, bahkan seandainya

menemui kegagalan dapat segera diselesaikan. Tujuan dibentuknya OJK yaitu

untuk mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis,

menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan, dan mencari efisiensi di sektor

perbankan dan keuangan lainnya. Namun demikian, perlu dipahami bahwa

sesungguhnya pembentukan lembaga sejenis OJK ini sudah banyak dipraktekkan

di Negara lain, dan berbagai dampak signifikan terhadap kehidupan perbankan

dan keuangan. Mengapa Negara-negara yang telah membentuk OJK justru

membubarkannya? Untuk mengetahuinya, mari kita lihat efektivitas penerapan

OJK atau FSA (Financial Supervisory Agency) di beberapa Negara di bawah ini:

1. Negara Inggris, Efektivitas OJK di Inggris sangat kurang, oleh karena Inggris

yang menjadi pionir pembentukan lembaga sejenis OJK justru mengalami

kegagalan. Sebagaimana diketahui, pembentukan OJK di Inggris dilatar


30
belakangi oleh kasus jatuhnya beberapa bank, seperti Neal Banker dan Baring

Bank sampai dengan penutupan 12 bank lain. Tepatnya pada 1 Juni 1998

dibentuklah OJK di Inggris yang dinamakan Financial Supervisory Authority

(FSA). FSA ini kemudian mengemban tugas melaksanakan kegiatan

pengawasan terhadap lembaga keuangan, termasuk perbankan. Kasus

Northern Rock Bank pada September 2008 menjadi bom waktu yang menjadi

bukti kegagalan FSA di negara ini. Perlu diketahui bahwa kejatuhan Northern

Rock Bank kemudian diikuti intitusi keuangan lain, seperti Bradford Bingley

dan Royal Bank of Scotland Lloyds. (Saat ini FSA posisinya tidak jelas.

Bersama BoE akan membentuk Prudential Regulation Authority (PRA)

dibawah BoE akan mengawasi Bank, Asuransi & lembaga investasi

2. Negara Jepang, Di Jepang, pengalihan fungsi pengawasan kepada The

Financial Supervision Agency (FSA) telah dilakukan sejak 22 Juni 1998.

Sementara, Bank of Japan (BOJ) hanya menangani kebijakan, perumusan

sistem moneter, dan implementasinya. Untuk mengetahui kondisi perbankan

secara akurat dan cepat, BOJ melakukan on site examination dengan

pendekatan risk based supervision terhadap lembaga keuangan dan perbankan

di negara itu. Berbagai informasi tentang kondisi keuangan lembaga keuangan

yang diperoleh BOJ tersebut sangat bermanfaat bagi BOJ, baik dalam hal

menjaga stabilitas payment dan financial settlement system di Jepang maupun

dalam hal perumusan kebijakan moneter. Hingga saat ini, kinerja FSA di

Jepang belum efektif, dibuktikan karena hingga saat ini masih dihantui resiko

sistemik yang tinggi, dan penerapan prinsip prudensial yang belum ketat.

3. Negara Australia, Seperti Inggris, Negara ini memiliki Australian Prudential


31
Regulation Authority (APRA) sejak 1 Juli 1998. -Tahun 2001, tiga tahun

setelah APRA berdiri, konglomerat asuransi terbesar kedua di Australia (yaitu

grup HIH) bangkrut karena mismanajemen keuangan. APRA kemudian

mengakui kegagalannya dalam mendeteksi dan mencegah kebangkrutan

tersebut tidak

lepas dari minimnya waktu untuk menuntaskan transfer di atas, termasuk

penyempurnaan sistem pengawasannya.

4. Negara Korea, Di Korea, Financial Supervisory Service (FSS) dipimpin oleh

seorang Gubernur, yang juga merangkap Gubernur Komisi Jasa Keuangan

bertanggung jawab kepada pemerintah. Tatanan seperti ini ternyata banyak

menimbulkan banyak persoalan independensi dan kerancuan koordinasi

dengan otoritas moneter.

Melihat dari beberapa kenyataan yang terjadi di berbagai negara di atas, dapat

disimpulkan bahwa pembentukan lembaga sejenis OJK tidak sepenuhnya efektif,

malahan selalu bermasalah dalam hal independensi dan koordinasi selama tidak

ada Good Corporate Governance dalam dunia keuangan dan perbankan. Terdapat

empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep Good Corporate

Governance, yaitu fairness, transparency, accountability, dan responsibility.

Keempat komponen tersebut penting karena penerapan prinsip Good Corporate

Governance secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas dan juga dapat

menjadi penghambat aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan

keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan. Dari berbagai

hasil penelitian lembaga independen menunjukkan bahwa pelaksanan Corporate

Governance di Indonesia masih sangat rendah. Melihat dari berbagai konflik yang
32
mungkin akan timbul nantinya, melihat kenyataan kondisi politik dan ekonomi di

Indonesia, serta setelah melihat bahwa dibeberapa negara lain penerapan

OJK/FSA kurang efektif, maka ada baiknya jika pembentukan OJK dikaji ulang,

fungsi pengawasan itu bukan terletak dari dibentuknya lembaga baru atau tidak.

Tapi dari ada atau tidaknya penerapan good corporate goverment.

Akan halnya Indonesia, pembentukan OJK telah diamanatkan dalam UU No

23 tahun 1999 yang paling lambat akhir tahun 2002. Dalam kenyataan baru

terbentuk tahun 2010, sudah begitu terlambat sehingga kondisi makro dan mikro

sudah jauh berbeda baik di dalam negeri maupun di luar negeri, contohnya di

Inggris sebagaimana disebutkan di atas. Karena telah tercantum Undang-Undang

padahal kondisinya sudah tidak ceteris paribus.

3. WEWENANG OJK UNTUK MELAKUKAN PENYIDIKAN

Wewenang baru yang diemban oleh OJK sesuai dengan pasal 9(c) adalah

melakukan penyidikan. Berbeda dengan Bank Indonesia selama ini yang punya

wewenang dalam pengawasan bank, namun tidak memiliki kewenangan

penyidikan, sebatas melakukan investigasi kalau menemukan dugaan terjadinya

tindak pidana. Kewenangan penyidikan sendiri meliputi kewenangan untuk

a. menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dari seseorang tentang

adanya tindak pidana di sektor jasa keuangan;

b. melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan

dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan;

c. melakukan penelitian terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan atau

terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;

d. memanggil, memeriksa, serta meminta keterangan dan barang bukti dari Setiap
33
Orang yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam tindak pidana di sektor

jasa keuangan;

e. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan

dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan;

f. melakukan penggeledahan di setiap tempat tertentu yang diduga terdapat setiap

barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan

penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak

pidana di sektor jasa keuangan;

g. meminta data, dokumen, atau alat bukti lain, baik cetak maupun elektronik

kepada penyelenggara jasa telekomunikasi;

h. dalam keadaan tertentu meminta kepada pejabat yang berwenang untuk

melakukan pencegahan terhadap orang yang diduga telah melakukan tindak

pidana di sektor jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

i. meminta bantuan aparat penegak hukum lain;

j. meminta keterangan dari bank tentang keadaan keuangan pihak yang diduga

melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan perundang-

undangan di sektor jasa keuangan;

k. memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari pihak yang

diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;

l. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana

di sektor jasa keuangan; dan m. menyatakan saat dimulai dan dihentikannya

penyidikan.

Wewenang penyidikan menurut DR Sundari Ary (2003), meliputi antara lain


34
dapat langsung menggeledah dan menyita dokumen yang diperlukan serta

menemukan, menangkap dan menahan tersangka.Namun mengingat OJK adalah

lembaga independen yang dibentuk dengan Undang-Undang tersendiri, dimana

pegawainya bukan termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka apabila OJK

melakukan penyidikan harus menggunkan/bekerja sama dengan PNS yang

memiliki hak untuk melakukan penyidikan atau dengan POLRI. Hal ini juga

membawa konsekuensi penyediaan anggaran OJK untuk keperluan ini.

Lembaga OJK sebagai lembaga independen pengawas dan pengatur lembaga

keuangan baik bank maupun non-bank di Indonesia akan mulai beroperasi per 1

Januari 2013, Kelembagaan baru tersebut berwenang untuk melakukan

penyidikan, yang merupakan kewenangan baru lembaga pengawas perbankan

yang selama ini tidak dimiliki oleh Bank Indonesia sebagai pengawas bank

sebelumnya. Kiranya perlu dibuat aturan main yang jelas apa itu kewenangan

penyidikan sehingga institusi yang diawasinya khususnya perbankan sebagai

lembaga kepercayaan masyarakat tidak terkaget-kaget dengan kewenangan

otoritas yang mengawasinya. Anggaran operasional OJK berasal dari APBN dan/

atau hasil pungutan dari lembaga keuangan yang diawasi. Hal ini juga merupakan

praktek baru otoritas pengawas khususnya perbankan. Kalau tidak dikelola

dengan hati-hati dapat menimbulkan benturan kepentingan. Lembaga yang

diawasi memungut fee dari lembaga yang diawasi. Sekalipun hal ini dikatakan

mencontoh di berbagai negara, namun tentu kondisinya berbeda. Alangkah lebih

elegant dan berwibawa kalau anggaran operasional OJK dibebankan pada APBN

seluruhnya. Saat ini Indonesia sedang gencar-gencarnya melawan korupsi, suap,

gravitasi.
35
Sesuai dengan Pasal 44 UU No 21/2011 tentang OJK, untuk menjaga

stabilitas sistem keuangan, dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem

Keuangan dengan anggota terdiri atas:

a. Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator;

b. Gubernur Bank Indonesia selaku anggota;

c. Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota; dan

d. Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota.

Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dibantu kesekretariatan yang

dipimpin salah seorang pejabat eselon I di Kementerian Keuangan. Pengambilan

keputusan dalam rapat Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan berdasarkan

musyawarah untuk mufakat. Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) tidak tercapai maka pengambilan keputusan dilakukan

berdasarkan suara terbanyak. Sementara dalam Pasal 45 diatur pula bahwa dalam

kondisi normal, Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan:

a. wajib melakukan pemantauan dan evaluasi stabilitas sistem keuangan;

b. melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan;

c. membuat rekomendasi kepada setiap anggota untuk melakukan tindakan

dan/atau membuat kebijakan dalam rangka memelihara stabilitas sistem

keuangan; dan

d. melakukan pertukaran informasi.

Dalam kondisi tidak normal untuk pencegahan dan penanganan krisis,

Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK,

dan/atau Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan yang

mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem
36
keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas

Sistem Keuangan untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-

langkah pencegahan atau penanganan krisis.

Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner

OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan berwenang

mengambil dan melaksanakan keputusan untuk dan atas nama institusi yang

diwakilinya dalam rangka pengambilan keputusan Forum Koordinasi Stabilitas

Sistem Keuangan, dalam kondisi tidak normal sebagaimana dimaksud pada ayat

(2). Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan menetapkan dan

melaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan

penanganan krisis pada sistem keuangan sesuai dengan kewenangan masing-

masing.

Keputusan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang terkait dengan

penyelesaian dan penanganan suatu bank gagal yang ditengarai berdampak

sistemik mengikat Lembaga Penjamin Simpanan. Aturan seperti tersebut di atas

mengingatkan kita pada era Undang-Undang No 13 tahun 1968 tentang Bank

Sentral dimana dalam UU tersebut diatur adanya Dewan Moneter yang

anggotanya terdiri dari 3 orang yaitu 2 orang dari Menteri yang membidangi

Keuangan dan Perekonomian

Dan 1 orang dari Gubernur Bank Indonesia. Bertindak selaku ketua Dewan

Moneter adalah Menteri Keuangan, sementara dalam Forum Koordinasi Stabilitas

Sistem Keuangan bertindak sebagai Koordinator adalah Menteri Keuangan.

Forum koordinasi ini, anggotanya tidak melibatkan Menteri lain, namun Ketua

Dewan Komisioner OJK dan ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjaminan


37
Simpanan (LPS).Alat kelengkapan forum adalah kesekratariatan yang secara ex-

officio dipimpin oleh pejabat eselon I dari Kementrian Keuangan. Forum

Koordinasi harus melakukan rapat paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali. Dengan

komposisi sebagaimana tersebut di atas dimana kementerian keuangan sebagai

leader maka sangat tipislah kriteria independen yang disandang baik oleh Bank

Indonesia maupun OJK. Walaupun secara explisit memang telah ditetapkan

Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan menetapkan dan melaksanakan

kebijakan yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada

sistem

keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Seandainyapun masing-

masing institusi meleburkan diri membuat keputusan bersamapun demi

kesejahteraan bangsa tentu tidak ada yang salah, tergantung bagaimana political

will yang akan dibangun. Namun tentunya kata-kata manis independensi juga

tidak menjadi populer lagi.


38

BAB III

TINDAK PIDANA TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MENGABAIKAN

PELAKSANAAN KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN DI LEMBAGA

PEMBIAYAAN

1. Tindak Pidana Turut Serta dengan Sengaja Mengabaikan Pelaksanaan

Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan

Tindak Pidana Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas

Jasa Keuangan diatur dalam Pasal 52, Pasal 53 dan Pasal 54 akan diuraikan

sebagai berikut:

1. Setiap orang perseorangan dan korporasi melanggar ketentuan Pasal 33 ayat

(1), ayat (2), dan/atau ayat (3). Pasal 33 ayat:

(1) Setiap orang perseorangan yang menjabat atau pernah menjabat sebagai

anggota Dewan Komisioner, pejabat atau pegawai OJK dilarang menggunakan

atau mengungkapkan informasi apapun yang bersifat rahasia kepada pihak lain,

kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas,dan wewenangnya berdasarkan


39
keputusan OJK atau diwajibkan oleh UndangUndang.

(2) Setiap Orang yang bertindak untuk dan atas nama OJK, yang dipekerjakan

di OJK, atau sebagai staf ahli di OJK, dilarang menggunakan atau

mengungkapkan informasi apapun yang bersifat rahasia kepada pihak lain,

kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan

keputusan OJK atau diwajibkan oleh Undang-Undang.

(3) Setiap Orang yang mengetahui informasi yang bersifat rahasia, baik karena

kedudukannya, profesinya, sebagai pihak yang diawasi, maupun hubungan

apapun dengan OJK, dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi

tersebut kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan

wewenangnya berdasarkan keputusan OJK atau diwajibkan oleh Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UndangUndang

Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Pasal 1

angka 1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,

termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,

electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic maill, telegram,

teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau

perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang

yang mampu memahaminya. Rahasia, geheim, secret ialah: hal yang dipercayakan

kepada orang, untuk tidak diberitahukan kepada orang lain yang tidak berwenang

mengetahui.2 Pembocoran rahasia, open baarmaking van geheim; geheim

schennis ialah: perbuatan yang sengaja dan melawan hukum mengumumkan

rahasia orang karena jabatannya.

Pembocoran rahasia jabatan, ambts geheim schennis; openbaarmaking van


2
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta, 2008. hlm. 128.
40
geheim, ialah: perbuatan yang sengaja dan melawan hukum mengumumkan

rahasia orang karena jabatannya. Pembocoran rahasia profesi, beroeps geheim

schennis, ialah: perbuatan yang sengaja dan melawan hukum mengumumkan

rahasia orang karena profesinya.3

Pembocoran rahasia harkat dan/atau martabat, standsgeheimschennis, ialah:

perbuatan yang sengaja dan melawan hukum mengumumkan rahasia orang karena

martabatnya. Pembocoran rahasia surat; briefspgeheimschennis, ialah: perbuatan

yang sengaja dan melawan hukum, membuka, membaca, mengumumkan rahasia

suratmenyurat, baik oleh petugas pos, maupun oleh orang perseorangan.

Pembocoran rahasia pembicaraan telpon, telefoon geheim schennis ialah:

perbuatan yang sengaja dan melawan hukum mengumumkan rahasia

pembicaraan, mendengarkan dan mencatat pembicaraan telepon oleh petugas

telepon. Dalam KUHP Belanda, perbuatan mendengar pembicaraan orang lain

ditelepon secara melawan hukum (afluisteren) sudah diancam pidana4

Pembocoran rahasia, openbaarmaking van geheim; geheimschennis ialah:

perbuatan yang sengaja dan melawan hukum mengumumkan rahasia orang karena

jabatannya. Pembocoran rahasia jabatan, ambtsgeheimschennis; openbaarmaking

van geheim, ialah: perbuatan yang sengaja dan melawan hukum mengumumkan

rahasia orang karena jabatannya.5 Informasi atau fakta material, informasi atau

fakta penting dan relevan mengenai peristiwa kejadian atau fakta yang dapat

mempengaruhi harga efek pada bursa efek dan atau keputusan pemodal, calon

pemodal atau pihak lain yang berkepentingan atau informasi atau fakta tersebut

3
Ibid, hlm. 129.
4
Ibid, hlm. 130.
5
ibid
41
(pasar modal).6

Penyalahgunaan hak (misbruik van recht, abus de droit) terjadi apabila seseorang

mempergunakan haknya secara tidak sesuai dengan tujuannya atau dengan kata

lain, bertentangan dengan tujuan kemasyarakatannya. Hukum bermaksud untuk

melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat, maka penggunaan hukum tanpa

suatu kepentingan yang wajar, dipandang sebagai penggunaan hukum yang

melampaui batas atau menyalahgunakan hukum atau hak7

2. Setiap Orang atau korporasi yang dengan sengaja mengabaikan, tidak

memenuhi, atau menghambat pelaksanaan kewenangan OJK sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan/atau

Pasal 30 ayat (1) huruf a.

Pasal 9. Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: huruf (c) melakukan pengawasan,

pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap

Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan

sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa

keuangan; (d) memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan

dan/atau pihak tertentu; (e) melakukan penunjukan pengelola statuter; (f)

menetapkan penggunaan pengelola statuter; (g) menetapkan sanksi administratif

terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-

undangan di sektor jasa keuangan. Pasal 30 ayat (1) Untuk perlindungan

Konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan pembelaan hukum,

yang meliputi: huruf (a) memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu


6
Rocky Marbun, Deni Bram, Yuliasara Isnaeni dan Nusya A., Kamus Hukum Lengkap (Mencakup Istilah
Hukum & Perundang-Undangan Terbaru, Cetakan Pertama, Visimedia, Jakarta. 2012.hlm. 134.
7
Said Sampara, dkk, Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum, cetakan II, Total Media, Yogyakarta, 2011. hlm.
143-144.
42
kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan Konsumen

yang dirugikan Lembaga Jasa Keuangan dimaksud.

3. Setiap Orang atau korporasi yang dengan sengaja mengabaikan dan/atau

tidak melaksanakan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf

d atau tugas untuk menggunakan pengelola statuter sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 9 huruf f. Pasal 9 huruf (d) memberikan perintah tertulis kepada

Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu dan huruf (f) menetapkan

penggunaan pengelola statuter.

Bilamana suatu perbuatan dapat disebut sebagai suatu tindak pidana, maka

perbuatan tersebut harus memenuhi 5 (lima) unsur, sebagai berikut:

1. Harus ada suatu kelakuan (gedraging);

2. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang

(wetterlijkeomshrijving);

3. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak (melawan hukum); 4. Kelakuan itu

dapat diberatkan (dipertanggungjawabkan) kepada pelaku; 5. Kelakuan itu

diancam dengan pidana.8

2. Bentuk Pemberian Sanksi Dan Akibat Hukum Terhadap Mengabaikan

Pelaksanaan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan di Lembaga Pembiayaan,

Posisi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 851 K/PID.SUS/2020.

Keistimewaan hukum pidana terletak pada daya paksanya yang berupa

ancaman pidana sehingga memungkinkan hukum ini dipatuhi dan ditaati oleh

tiap-tiap individu atau subjek hukum yang lain. Dalam hal ini dapat dilihat dalam
8
Roni Wiyanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan ke-l. Mandar Maju, Bandung, 2012, hlm. 163-164.
43
kehidupan nyata bahwa hukum pidana tidak mengadakan kaidah-kaidah baru, ia

tidak menimbulkan kewajiban-kewajiban yang tidak ada. Ia mempertahankan

kaidah-kaidah yang diadakan di lapangan lain dengan pengancaman hukuman.

Kewajiban-kewajiban yang ditimbulkan dilapangan lain mendapat sifat memaksa

yang dipertajam sungguhpun seringkali kewajiban-kewajiban hanya tinggal

dipertegas dalam undang-undang pidana. Hukum pidana bekerja dengan sanksi

yang sangat mendalam dan memperkuat-peraturanperaturan yang telah ada

dengan

sehebathebatnya, tetapi ia sendiri tidak mengadakan peraturan-peraturan itu.

Hukum pidana pada hakikatnya adalah sanksi.9

Ditentukan oleh kaidah-kaidah pidana sesuai dengan perkembangan dan

pertumbuhan hukum. Maksud ancaman pidana tersebut adalah untuk melindungi

kepentingan orang dalam pergaulan hidup. Dalam hal ini hukum pidana

menggunakan ancaman pidana dan penjatuhan pidana apabila

kepentingankepentingan tersebut seimbang dengan pengorbanan yang harus

ditanggung oleh korban kejahatan atau pelanggaran.10

Tujuan hukum pidana ada dua macam, yaitu:

1. Untuk menakut-nakuti setiap orang agar tidak melakukan perbuatan pidana

(fungsi preventif/pencegahan);

2. Untuk mendidik orang yang telah melakukan perbuatan pidana agar menjadi

orang yang baik dan dapat diterima kembali dalam masyarakat (fungsi represif)

kekerasan. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk

9
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kelima, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 211.
10
Ibid, hlm. 211-212.
44
melindungi masyarakat. Apabila seseorang takut untuk melakukan perbuatan tidak

baik, karena takut dihukum, semua orang dalam masyarakat akan tenteram dan

aman. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik.

Beberapa sarjana hukum mengemukakan tentang tujuan hukum pidana, ialah:

1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik dengan

menakutnakuti orang banyak (generale preventie), maupun secara menakut-nakuti

orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak

melakukan kejahatan lagi (special prventie);

2. Untuk mendidik atau memperbaiki orangorang yang suka melakukan kejahatan

agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat;

3. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara,

masyarakat dan penduduk, yakni:

4. Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang

berbudi baik dan berguna;

5. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana.11

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

mengatur mengenai Ketentuan Pidana.

Pasal 52 ayat:

(1) Setiap orang perseorangan yang melanggar ketentuan Pasal 33 ayat (1), ayat

(2), dan/atau ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)

tahun dan pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas

miliar rupiah).

(2) Apabila pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan/atau ayat (3)

11
Siswantoro Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika, Dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2004. hlm. 73.
45
dilakukan oleh korporasi, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp

45.000.000.000,00 (empat puluh lima miliar rupiah) dan/atau sebesar jumlah

kerugian yang ditimbulkan akibat pelanggaran tersebut.

Pasal 53 ayat:

(1) Setiap Orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, atau

menghambat pelaksanaan kewenangan OJK sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 9 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan/atau Pasal 30 ayat (1)

huruf a,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana denda

paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana penjara paling

lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima

belas miliar rupiah).

(2) Apabila pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

korporasi, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp15.000.000.000,00

(lima belas miliar rupiah) atau paling banyak Rp45.000.000.000,00 (empat puluh

lima miliarrupiah).

Pasal 54 ayat:

(1) Setiap Orang yang dengan sengaja mengabaikandan/atau tidak melaksanakan

perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d atau tugas untuk

menggunakan pengelola statuter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana denda

paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana penjara paling

lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima
46
belas miliar rupiah).

(2) Apabila pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

korporasi, korporasi dipidana dengan pidana denda paling sedikit

Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) atau paling banyak

Rp45.000.000.000,00 (empat puluh lima miliar rupiah).

Korporasi juga disebut dalam bidang hukum perdata sebagai badan hukum

(rechtpersoon). Secara etimologis, kata korporasi berasal dari kata “corporatio”

dalam bahasa Latin. Seperti kata-kata lainnya berakhiran dengan “tio”, maka

korporasi sebagai kata benda (substantium), berasal dari kata kerja “corporare”

yang banyak dipakai orang pada abad pertengahan sesudah itu. “corporare” itu

sendiri berasal dari kata “corpus” yang berarti memberikan badan atau

membadankan. Dengan demikian, “corporatio” adalah hasil dari pekerjaan yang

membadankan atau dengan kata lain, badan yang dijadikan orang, badan yang

diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang

terjadi menurut alam12 Pada awalnya korporasi atau biasa disebut sebagai

perseroan perdata hanya dikenal dalam hukum perdata. Dalam Pasal 1654 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa korporasi definisikan

sebagai: “perseroan perdata adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih,

yang berjanji untuk memasukkan sesuatu ke dalam perseroan, itu dengan maksud

supaya keuntungan yang diperoleh dari perseroan itu dibagi di antara mereka. 13

Berbicara mengenai badan hukum, sebenarnya bermula sekedar dalam konsep

hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatan yang diharapkan

12
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi,
Cetakan Pertama, PT. Sofmedia, Jakarta. 2010, hlm. 11.
13
Muhammad Yamin, Tindak Pidana Khusus, Cet. 1. Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm. 89.
47
lebih berhasil. Keberadaan korporasi sebagi suatu badan hukum, bukan muncul

dengan begitu saja. Maksudnya, munculnya suatu korporasi sebagai badan hukum

bukan ada dengan sendirinya, melainkan didirikan oleh pendiri-pendiri yang

menurut ilmu hukum perdata memiliki kewenangan untuk mendirikan korporasi

Penegakan hukum (pidana) meliputi tiga tahap. Tahap pertama, tahap

formulasi yakni tahap penegakan hukum in abtracto oleh badan pembuat undang-

undang (tahap legislatif). Tahap kedua, tahap aplikasi yakni tahap penerapan

hukum

pidana oleh para aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai

pengadilan (tahap yudikatif). Tahap ketiga, tahap eksekusi, yakni tahap

pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana

(tahap eksekutif atau administrasi).

Keistimewaan hukum pidana terletak pada daya paksanya yang berupa

ancaman pidana sehingga memungkinkan hukum ini dipatuhi dan ditaati oleh

tiap-tiap individu atau subjek hukum yang lain. Dalam hal ini dapat dilihat dalam

kehidupan nyata bahwa hukum pidana tidak mengadakan kaidah-kaidah baru, ia

tidak menimbulkan kewajiban-kewajiban yang tidak ada. Ia mempertahankan

kaidah-kaidah yang diadakan di lapangan lain dengan pengancaman hukuman.

Kewajiban-kewajiban yang ditimbulkan dilapangan lain mendapat sifat memaksa

yang dipertajam sungguhpun seringkali kewajiban-kewajiban hanya tinggal

dipertegas dalam undang-undang pidana. Hukum pidana bekerja dengan sanksi

yang sangat mendalam dan memperkuat-peraturanperaturan yang telah ada

dengan sehebathebatnya, tetapi ia sendiri tidak mengadakan peraturan-peraturan

itu. Hukum pidana pada hakikatnya adalah sanksi.

Tindak pidana menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang


48
otoritas jasa keuangan diantaranya seperti:

a. Perseorangan atau korporasi yang menjabat atau pernah menjabat sebagai

anggota Dewan Komisioner, pejabat atau pegawai OJK atau yang bertindak

untuk dan atas nama OJK atau dipekerjakan di OJK, atau sebagai staf ahli di

OJK atau yang mengetahui informasi yang bersifat rahasia, baik karena

kedudukannya, profesinya, sebagai pihak yang diawasi, maupun hubungan

apapun dengan OJK menggunakan atau mengungkapkan informasi apapun

yang bersifat rahasia kepada

pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas,dan wewenangnya

berdasarkan keputusan OJK atau diwajibkan oleh Undang-Undang.

b. Perseorangan atau korporasi dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi,

atau menghambat pelaksanaan kewenangan OJK;

c.Perseorangan atau korporasi dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak

melaksanakan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak

tertentu menetapkan penggunaan pengelola statuter.

d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,

berupa pidana penjara bagi perseorangan dan pidana denda terhadap korporasi

sesuai dengan tindak pidana yang telah terbukti secara sah berdasarkan peraturan

perundang-undangan dilakukan oleh pelaku tindak pidana.


49

BAB IV

TINDAK PIDANA TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MENGABAIKAN

PELAKSANAAN KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)

UNDANG-UNDANG NO 21 TAHUN 2011 DILEMBAGA PEMBIAYAAN

BERDASARKAN PUTUSAN NO. 851 K/PID.SUS/2020

A. Kronologi Kasus

Kewenangan perintah OJK tersebut tercantum pada Pasal 9 huruf d UU

21/2011 yang menyatakan untuk melaksanakan tugas pengawasan sektor jasa

keuangan otoritas mempunyai wewenang memberikan perintah tertulis kepada

lembaga jasa keuangan termasuk lembaga pembiayaan maupun pihak tertentu.

Terdapat sanksi pidana penjara dan pidana denda bagi pihak yang tidak

melaksanakan perintah OJK tersebut Terkait dengan yang telah diutarakan diatas

mengenai tindak pidana turut serta mengabaikan perintah dari Otoritas Jasa

Keuangan perihal pelarangan bagi Pemegang Saham, Dewan Komisaris dan

Direksi PT.

Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) menggunakan dana keuangan


50
perusahaan melakukan transaksi keuangan yang tidak wajar, menerbitkan Surat

Hutang dalam bentuk apapun termasuk menerbitkan Medium Term Notes,

melakukan perbuatan hukum yang memperburuk kondisi perusahaan dan

melakukan penggantian pengurus tanpa persetujuan OJK yang dilakukan oleh Leo

Chandra dengan pada tahun 2018 yang telah diputus pada tingkatan Kasasi

berdasarkan putusan No. 851/K/Pid.Sus/2020, dan telah diadili karena telah

terbukti dengan secara sah dan meyakinkan telah melakukan “Tindak pidana turut

serta dengan sengaja mengabaikan pelaksanaan kewenangan Otoritas Jasa

Keuangan (OJK) dalam hal pengawasan terhadap Lembaga Jasa Keuangan secara

berlanjut” dan menjatuhkan pidana kepada Leo Chandra oleh karena itu dengan

pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp.

10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).

B. Tindak Pidana Serta Pidana Terhadap Pelaku Yang Melanggar Peraturan

Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Di

Lembaga Pembiayaan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga Negara yang dibentuk

berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi

menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap

keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan baik di sektor perbankan,

pasar modal, dan sektor jasa keuangan non-bank seperti Asuransi, Dana Pensiun,

Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.

Secara lebih lengkap, OJK adalah lembaga independen dan bebas dari campur
51
tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,

pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-

undang Nomor 21 tersebut. Tugas pengawasan industri keuangan non-bank dan

pasar modal secara resmi beralih dari Kementerian Keuangan dan Bapepam-LK

ke OJK pada 31 Desember 2012. Sedangkan pengawasan di sektor perbankan

beralih ke OJK pada 31 Desember 2013 dan Lembaga Keuangan Mikro pada

2015. Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK menyebutkan bahwa OJK

dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan

terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel dan mampu mewujudkan

sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu

melindungi kepentingan konsumen maupun masyarakat.14

Dengan pembentukan OJK, maka lembaga ini diharapkan dapat mendukung

kepentingan sektor jasa keuangan secara menyeluruh sehingga meningkatkan

daya saing perekonomian. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan

nasional. Antara lain meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian,

dan kepemilikan di sektor jasa keuangan dengan tetap mempertimbangkan aspek

positif globalisasi. OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola

yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban,

transparansi, dan kewajaran (fairness). OJK berfungsi menyelenggarakan sistem

pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di

dalam sektor jasa keuangan.

Sementara berdasarkan pasal 6 dari UU No 21 Tahun 2011, tugas utama dari

OJK adalah melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap:

a.  Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

b.  Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;

c.  Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga


14
Otoritas Jasa Keuangan, https://www.ojk.go.id/id/Pages/FAQ-otoritas-jasa-keuangan.aspx.
52
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Nilai-nilai OJK

Integritas

Bertindak objektif, adil, dan konsisten sesuai dengan kode etik dan kebijakan

organisasi dengan menjunjung tinggi kejujuran dan komitmen.   

Profesionalisme

Bekerja dengan penuh tanggung jawab berdasarkan kompetensi yang tinggi untuk

mencapai kinerja terbaik.

Sinergi

Berkolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan baik internal maupun

eksternal secara produktif dan berkualitas.

Inklusif

Terbuka dan menerima keberagaman pemangku kepentingan serta memperluas

kesempatan dan akses masyarakat terhadap industri keuangan.

Visioner

Memiliki wawasan yang luas dan mampu melihat kedepan (Forward looking)

serta dapat berpikir di luar kebiasaan (Out of The Box Thinking).

Asas OJK yaitu

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya Otoritas Jasa Keuangan

berlandaskan asas-asas sebagai berikut:

1. Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan

pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan
53
perundang-undangan yang berlaku;

2. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam

setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;

3. Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi

kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;

4. Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak

masyarakat

untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang

penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan

perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk

rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

5. Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam

pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap

berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

6. Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral

dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan

Otoritas Jasa Keuangan; dan

7. Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan

dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus

dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Maka bagi yang tidak menjalankan tugasnya seperti yang di harapkan oleh

ojk maka akan di berikan sanksi sesuai dengan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang

21 Tahun 2011 tentang OJK menyatakan setiap orang yang dengan sengaja
54
mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan perintah tertulis maka dipidana dengan

pidana penjara paling singkat dua tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.

5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).atau pidana penjara paling lama enam tahun

dan pidana denda paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).

Lebih lanjut, dalam ayat 2 nya dinyatakan apabila pelanggaran dilakukan

korporasi maka korporasi dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp Rp.

15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).atau paling banyak Rp.

45.000.000.000,- (empat puluh lima miliar rupiah).

C. Pertimbangan Hukum Dan Putusan Majelis Hakim Dalam Putusan Perkara

No.851K/PID.SUS/2020

Dalam asas ius coriat novi adalah hanya hakim yang tau apa hukumnya pada

penyelesaian apapun dan ditambah dengan kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

pancasila dan undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945, demi

terselenggaranya negara hukum republik indonesia. Memutus suatu perkara

merupakan suatu beban kepada Hakim untuk menegakkan dari tujuan keadilan

dimana Hakim harus memperhatikan bukti-bukti yang di buktikan dalam

persidangan jika sudah sesuai menurut hukum dan ditambah dengan keyakinan

Hakim maka Hakim berhak untuk menjatuhkan hukuman kepada Terdakwa

Namun dalam putusan tersebut kepada Leo Chandra yang di berikan pidana

penjara selama 5 (lima) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp.

10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) yang berdasarkan dengan Pasal 54 ayat

(1) Undang-Undang 21 Tahun 2011 tentang OJK sebenarnya harus di

pertimbangkan oleh Hakim di karenakan Leo Chandra hanya sebagai turut serta
55
bukan otak dari kejahatan dan ini diperlukan dengan logika hukum untuk

menerapkan hukuman tersebut kepada Terdakwa saya mengutip pandangan dari

Roscoe Pound15 menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as

a tool of social engineering and social controle) ini yang ditakutin jika hanya di

jadikan hukuman ini sebagai alat rekayasa hanya untuk memenuhi kepastian

hukumnya namun tidak mempertimbangkan tentang keadilan dimana kita hidup

dalam hukum pidana modern dan saya mengutip pada determinasi hukum dari

Satjipto Rahardjo dengan mengatakan kita hidup dalam hukum pidana modern

namun sayang yang menang belum tentu benar dan yang kalah belum tentu salah

tergantung argumentasi masing-masing di Pengadilan.

15
Hukum Menurut Ahli, https://redlineindonesia.org/hukum-menurut-roscoe-pound/#:~:text=Roscoe
%20Pound%20menganggap%20bahwa%20hukum,dan%20kepentingan%20manusia%20dalam
%20masyarakat..
56

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan Pembahasan, maka dapat penulis

simpulkan :

1. Tindak pidana serta pemidanaan terhadap pelaku yang melanggar

peraturan Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2011, Pasal 54 ayat (1)

Undang-Undang 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan di

lembaga pembiayaan?

2. Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam putusan Nomor.

851/K/Pid.Sus/2020 telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor. 21

Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan?

3. Alasan Majelis Hakim menyatakan pelaku lembaga pembiayaan

dianggap sah dan meyakinkan melanggar Undang-Undang Nomor. 21


57
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dimana pada pemberian

hukuman kepada Leo Chandra agar di perhatikan lagi mengenai

hal-hal yang meringankan karena Terdakwa Leo Chandra turut

serta untuk melakukan bukan otak dari perbuatan tersebut dan ini

menjadi pertimbangan Hakim agar melihat dari berbagai faktor

orang melakukan kejahatan dan di tambah dengan kita hidup

dalam hukum modern tidak lagi pada hukum pembalasan

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan Pembahasan, maka dapat penulis

memberikan saran sebagai berikut :

Ini menjadi catatan bagi Leo Chandra agar kedepan semakin berhati-hati

dan ini juga menjadi pembelajaran bagi yang lain agar tida mengikutin

perbuatan tersebut, dan untuk pemberian hukuman agar seharusnya di

pertimbangkan oleh Hakim mengenai penyalahgunaan kewenangan dalam

tugas OJK
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012
Asyhadie, Zaeni, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2005
Burton Simatupang, Richard, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rieka Cipta, Jakarta, 2003
Fuady, Munir, Hukum Tentang Pembiayaan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014
Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni,
Bandung, 2004
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2005
Irmayanto, Juli dkk, Bank & Lembaga Keuangan, Universitas Trisakti, Jakarta, 2009
Johan Nasution, Bahder, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008
Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2014
Ketut Silvanita Mangani, I, Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, Erlangga, Jakarta,
2009
Ketut Suardita, I, Pengenalan Bahan Hukum, Universitas Udayana, Bali, 2017
Manan, Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta,
2006
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perusahaan Indonesia, PT.CitraAditya Bakti,
Bandung, 2010
Mulhadi, Hukum Perusahaan, Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2010
M.Wuisma, J.J.J, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, UI Press, Jakarta, 2006
Otje Salman S, H.R, Anthon F.Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan
dan Membuka Kembali), PT.Refika Aditama, Bandung, 200
Purwaningsih, Endang, Hukum Bisnis, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010
Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, CV.Mandar Maju,
Bandung, 2002
Rasjidi, Lili dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, PT.Citra Aditya
Bakti, Bandung, 200
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta 2007
Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya
Bhakti, Bandung, 2003
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001
Solly Lubis, M, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV.Mandar Maju, Bandung, 2004
Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2006
Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, PT.RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2010
Sutedi, Adrian, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2014
Syafrudin, Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih
dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia, Edisi IV, Universitas Parahyangan,
Bandung, 2000
Triandaru, Sigit, dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba
Empat, Jakarta, 2008
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2006
Yahya Harahap, M, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2011

B. Jurnal
Usman, Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.2
No. 1,Universitas Jambi, 2011.

C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan
Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan yang diikuti
dengan dikeluarkannya
Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 Tentang Ketentuan
Dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan
D. Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Agung No. 851/K/Pid.Sus/2020

E. Web
Ahmad Muqorrobin, Pasar Uang, diakases dari
http://warungekonomiislam.blogspot.com/2013/10/pasar-uang.html, pada tanggal 27
Des 2021, pukul. 21.20.

Anda mungkin juga menyukai