Anda di halaman 1dari 9

p-ISSN : 0215-742X

e-ISSN : 2655-8033

Buletin Keslingmas Vol.40 No.4

FAKTOR RISIKO KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE


DI KABUPATEN BANYUMAS
Mohamad Ilham Maulana Latif, M. Choiroel Anwar, Tri Cahyono

Poltekkes Kemenkes Semarang

Abstrak
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) atau dengue hemoragic fever (DHF) sampai saat ini
merupakan salah satu masalah kesehatan masyaraktat di Indonesia yang cenderung meningkat jumlah
penderita serta semakin luas penyebarannya. Jumlah kasus DBD pada periode Bulan Januari-Oktober
tahun 2018 sebanyak 33 kasus dan meninggal 1 orang. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
hubungan faktor risiko dengan kejadian DBD di Kabupaten Banyumas Tahun 2019. Jenis penelitian ini
adalah analitik observasional dengan desain studi case control. Jumlah sampel 34 kasus dan 34 kontrol
yang diperoleh menggunakan teknik purposive sampling. Variabel yang diteliti meliputi kebiasaan
menggunakan repellent, kebiasaan menggunakan kelambu, kebiasaan menggantung pakaian, breeding
place dan upaya 3M Plus. Data yang diperoleh dianalisis kedalam analisis univariat, bivariat
menggunakan uji Chi-square dan OR serta multivariat menggunakan uji regresi logistik dengan metode
backward LR. Hasil analisis bivariat menunjukkan variabel yang berhubungan dengan kejadian DBD
yaitu kebiasaan menggunakan repellent (p= 0,002, OR= 8,158), kebiasaan menggantung pakaian (p=
0,027, OR= 3,519), breeding place (p= 0,028, OR= 3,429) dan upaya 3M Plus (p= 0,015, OR= 3,833).
Hasil analisis multivariat menunjukkan variabel yang paling berisiko dengan kejadian DBD yaitu
kebiasaan menggunakan repellent (p= 0,003, OR= 8,957). Simpulan penelitian ini adalah variabel yang
berhubungan dengan kejadian DBD yaitu kebiasaan menggunakan repellent, kebiasaan menggantung
pakaian, breeding place dan upaya 3M Plus. Saran bagi pemerintah meningkatkan promosi kesehatan
tentang pencegahan penyakit DBD kepada masyarakat dengan menerapkan kegiatan PSN-DBD dalam
bentuk 3M Plus dan lebih memperhatikan pada membiasakan menggunakan repellent pada pagi dan
sore hari serta menghilangkan kebiasaan menggantung pakaian di luar almari.

Kata Kunci: DBD, Faktor risiko, Kabupaten Banyumas

Abstract
Risk factors with dengue hemorrhagic fever (DHF) case in Banyumas Regency. Demam
Berdarah Dengue (DBD) or Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is currently one of the most public
health problems in Indonesia that tends to increase the number of sufferer and the wider spread. The
number of dengue cases in the January-October period of 2018 was 33 cases and 1 person died. The
purpose of this research is to analyze the relationship of risk factors with DHF case in Banyumas
Regency in 2019. Type of research is observasional analytic with case control study design. The number
of sample was 34 cases and 34 control obtained using purposive sampling technique. The variables
studied included habit of using repellent, habit of using mosquito nets, habit of hanging clothes,
breeding places, 3M Plus efforts. The obtained data were analyzed into univariate, bivariate using Chi-
square test and OR test, multivariate analysis using logistic regression test with backward method LR.
The result of bivariate analysis showed variable related with DHF case is the habit of using repellent
(p= 0,002, OR= 8,158), habit of hanging clothes (p= 0,027, OR= 3,519), breeding place (p= 0,028,
OR= 3,429) and 3M Plus effort (p= 0,015, OR= 3,833). The result of multivariate analysis showed the
most risky variable with DHF case is the habit of using repellent (p= 0,003 and OR= 8,957). The
conclusion of this research is variable related with DHF case is the habit of using repellent, habit of
hanging clothes, breeding place and 3M Plus effort. Suggestions for government to improve health
promotion about prevention of DHF by implementing PSN-DHF activities in the form of 3M Plus and
more attention to getting used to using repellent in the morning and evening and eliminate the habit of
hanging clothes outside the cupboards.
Keywords: Environment, Behavior, PSN, DHF

https://ejournal.poltekkes-smg.ac.id/ojs/index.php/keslingmas/issue/view/303 | H. 179
1. Pendahuluan kesehatan, termasuk dalam upaya penanggulangan
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) atau penyakit ini, faktor perilaku senantiasa berperan
dengue hemoragic fever (DHF) sampai saat ini penting. Perhatian terhadap faktor perilaku sama
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat pentingnya dengan perhatian terhadap faktor
di Indonesia yang cenderung meningkat jumlah lingkungan, khususnya dalam hal upaya pencegahan
pasien serta semakin luas penyebarannya. Penyakit penyakit (Sitio, 2008).
ini ditemukan hampir di seluruh belahan dunia Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten
terutama di negara-negara tropik dan subtropik, baik Banyumas jumlah kasus DBD tahun 2016 didapatkan
sebagai penyakit endemik maupun epidemik. Hasil 990 kasus dan kasus meninggal 18 orang sehingga
studi epidemiologik menunjukkan bahwa penyakit ini ditetapkan KLB. Jumlah penderita DBD tahun 2017
menyerang kelompok umur balita sampai dengan terdapat 68 orang dengan meninggal 1 orang
umur sekitar 15 tahun. Kejadian luar biasa (KLB) sedangkan pada tahun 2018 periode bulan Januari
dengue biasanya terjadi di daerah endemik dan hingga Oktober sudah mencapai 33 kasus dengan
berkaitan dengan datangnya musim hujan, sehingga kasus meninggal 1 orang.
terjadi peningkatan aktifitas vektor dengue pada Tujuan penelitian ini adalah menganalisis
musim hujan yang dapat menyebabkan terjadinya hubungan faktor risiko dengan kejadian demam
penularan penyakit ini pada manusia melalui vektor berdarah dengue di Kabupaten Banyumas..
aedes. Sehubungan dengan morbiditas dan
mortalitasnya, penyakit ini disebut the most mosquito 2. Bahan dan Metode
transmitted disease (Djunaedi, 2006). Jenis penelitian ini adalah analitik
Jumlah kasus DBD di Indonesia tahun 2017 observasional dengan dengan desain studi case
adalah 59.047 penderita DBD dengan kematian control. Jumlah sampel sebanyak 68 orang terdiri dari
sebanyak 444 orang. Angka kesakitan di Provinsi 34 kasus dan 34 kontrol yang diperoleh menggunakan
Jawa Tengah sebesar 21,60 per 100.000 penduduk
teknik purposive sampling. Pengumpulan data
mengalami penurunan bila dibandingkan tahun 2016
meliputi data umum dan data khusus. Analisis yang
yaitu 43,4 per 100.000 penduduk. Data kasus DBD di
Kabupaten Banyunas pada tahun 2018 periode bulan digunakan pada penelitian ini adalah analisis
Januari hingga Oktober sudah mencapai 33 kasus dan univariat, bivariat, dan multivariat.
kasus meninggal sebanyak 1 orang. (Profil Kesehatan
3. Hasil dan Pembahasan
Indonesia Tahun 2017).
A. Gambaran Umum Responden
Menurut teori The Environmental of Health,
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten
Hendrik L. Blum (1974), yaitu membagi konsep sehat
Banyumas dengan jumlah penduduk berjumlah
menjadi empat faktor yang berperan dalam status
1.791.480 jiwa yang terdiri dari 902.873 jiwa laki-
kesehatan. Empat faktor tersebut adalah faktor
laki dan 888.607 jiwa perempuan. Berdasarkan data
hereditas, faktor pelayanan kesehatan, gaya hidup,
hasil penelitian diketahui bahwa karakteristik
dan faktor lingkungan. Di negara berkembang, faktor
responden menurut kelompok umur paling banyak
lingkungan dan perilaku berperan besar dalam
pada usia 0-20 tahun Pada usia ini merupakan
mempengaruhi status kesehatan. Lingkungan sendiri
kalangan balita, anak-anak dan remaja sehingga
adalah semua faktor luar yang berpengaruh pada
banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah dan
suatu individu yang dapat berupa lingkungan sosial,
di sekolah.
lingkungan biologis, dan lingkungan fisik (Wirayoga,
Karakteristik responden menurut jenis
2013). Sedangkan perilaku merupakan faktor terbesar
kelamin adalah laki-laki sebanyak 20 orang dan
kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi
perempuan 14 orang. Penyakit DBD tidak menyerang
kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat
penderita dengan jenis kelamin, tetapi dari penelitian
(Notoatmodjo, 2007, h. 15).
yang ada menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak
Penyakit DBD belum ada vaksin/obatnya
menderita DBD dibandingkan dengan perempuan.
sehingga cara satu-satunya untuk menghindari
Hal ini disebabkan karena laki-laki yang berangkat
terjangkit penyakit ini dengan pencegahan.
sekolah maupun bekerja tidak menggunakan
Pencegahan penyakit ini adalah dengan mencegah
repellent sehingga vektor DBD dapat menggigit
gigitan nyamuk Aedes yang mengandung virus
responden.
dengue terhadap manusia. Salah satu cara pencegahan
penyakit ini adalah dengan menjaga kebersihan
lingkungan agar tidak menjadi media perindukkan
nyamuk Ae. aegypti, yaitu berupa pemberantasan B. Hubungan kebiasaan menggunakan repellent
sarang nyam uk (PSN), fogging, abatisasi, dan dengan kejadian DBD
Responden yang tidak mempunyai kebiasaan
pelaksanaan 3M (menguras, menutup, dan
menggunakan repellent pada kelompok kasus adalah
mengubur) (Fathi dkk, 2005). Dalam setiap persoalan
15 responden dengan persentase 44,1% lebih besar

Email Koresponden :
projectzero555@gmail.com | H. 180
dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu 3 menggunakan repellent. Penelitian serupa dilakukan
responden dengan persentase 8,8%. Responden yang oleh Luluk Lidya Ayun dkk (2016) di Kecamatan
mempunyai kebiasaan menggunakan repellent pada Gunungpati dengan hasil analisis statistik
kelompok kasus sebesar 19 responden dengan menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan
persentase 55,9% lebih kecil dibandingkan dengan memakai losion anti nyamuk dengan kejadian DBD
kelompok kontrol 31 responden dengan persentase pada responden di Kecamatan Gunungpati dimana
yaitu 91,2%. nilai p= 0,041 dan OR= 4,200 (95% CI = 1,213-
Hasil analisis hubungan antara variabel 14,541) dengan demikian orang yang tidak
kebiasaan menggunakan repellent dengan kejadian mempunyai kebiasaan menggunakan repellent
DBD menggunakan uji Chi-square menunjukan hasil memiliki risiko 4,200 kali lebih besar terkena DBD
p value 0,002 lebih kecil dari α : 0,05 maka dibandingkan yang mempunyai kebiasaan
dinyatakan ada hubungan antara kebiasaan menggunakan repellent.
menggunakan repellent dengan kejadian DBD. Responden penderita kalangan dewasa tidak
Karena hasil pengujian Odds Ratio (OR) menunjukan mempunyai kebiasaan menggunakan repellent pada
nilai 8,158 (95% CI = 2,084-31,938) yang artinya saat pagi hari dan sore hari sehingga mudah terkena
kebiasaan menggunakan repellent menjadi faktor gigitan nyamuk di tempat kerja, hal ini dikarenakan
risiko, menghasilkan nilai OR 8,158 karena batas kesadaran masyarakat tentang tindakan pencegahan
bawah CI > 1, hasil ini menunjukkan bahwa gigitan nyamuk itu kebanyakan hanya pada malam
responden yang tidak mempunyai kebiasaan hari, mereka tidak menyadari bahwa aktivitas
menggunakan repellent memiliki risiko 8,158 kali nyamuk Aedes aegypti pada pagi hari (pukul 08.00-
lebih besar terkena DBD. Hasil paling tinggi 12.00) dan sore hari (pukul 15.00-17.00). Berbeda
didapatkan pada kelompok kontrok yaitu jumlah dengan beberapa penderita kalangan balita, anak-
responden yang mempunyai kebiasaan menggunakan anak dan remaja yang orang tuannya sering
repellent. Hal ini menunjukkan kesadaran masyarakat memberikan perlindungan terhadap gigitan nyamuk
akan pentingnya mencegah DBD yang sudah dengan mengolesi kulit dengan losion anti nyamuk
menyebar di sekitar lingkungan rumah responden (repellent) tetapi karena aktivitasnya selama di rumah
kontrol, sehingga masyarakat di sekitar responden maupun di sekolah terkadang menyebabkan tubuh
kasus banyak melakukan pencegahan yang paling berkeringat yang dapat membuat kulit yang sudah
mudah yaitu menggunakan repellent. Melindungi dibaluri repellent menjadi kurang efektif sehingga
pribadi dari risiko penularan virus DBD dapat mudah terkena gigitan nyamuk di rumah maupun di
dilakukan secara individu yaitu dengan menggunakan sekolah.
repellent dan menggunakan pakaian yang Solusi pada faktor risiko ini adalah
mengurangi gigitan nyamuk. Baju lengan panjang meningkatkan rasa waspada kepada gigitan nyamuk
dan celana panjang bisa mengurangi kontak dengan yang tidak hanya pada malam hari saja tetapi juga
nyamuk meskipun sementara (Depkes RI, 2010). pada pagi hari dan sore hari, selalu gunakan baju
Selain itu jalan lain yang dapat ditempuh untuk lengan panjang dan celana panjang serta mengolesi
mencegah penyakit demam berdarah adalah dengan kulit yang tidak tertutup repellent bila olesan
mengeliminasi atau menurunkan populasi nyamuk- repellent pada kulit mulai luntur karena keringat
nyamuk vektor seperti Aedes sp. Penyemprotan maupun air untuk segera mengolesi repellent kembali
dengan ULV melathion masih merupakan cara yang pada bagian olesan repellent luntur. Maka dari itu
umum dipakai untuk membunuh nyamuk-nyamuk untuk anak-anak diberi pengarahan oleh orang tua
dewasa. Di Indonesia banyak orang menggunakan cara mengolesi repellent pada kulit dan selalu
obat nyamuk bakar untuk mengusir nyamuk pada membawa repellent bila pergi meninggalkan rumah
malam hari dan siang hari (Sembel, 2009). pada pagi hari dan sore hari sedangkan untuk orang
Menurut penelitian yang dilakukan Wahyu dewasa juga demikian untuk selalu membawa
Mahardika (2009) di Kecamatan Cepiring bahwa repellent bila akan berangkat kerja pada pagi hari dan
hasil Chi-square untuk mengetahui hubungan antara sore hari. Solusi dan pengendalian tidak hanya
kebiasaan memakai losion anti nyamuk (repellent) dilakukan oleh masyarakat saja namun juga oleh
dengan kejadian DBD di Kecamatan Cepiring kader-kader atau tenaga kesehatan dari puskesmas
diperoleh p value sebesar 0,002 dengan nilai OR 6,00 tentang DBD untuk memuat masyarakat lebih
(95% CI = 1,787-20,147). Hal ini dapat diartikan mengerti penanganan DBD.
bahwa ada hubungan antara kebiasaan memakai
losion anti nyamuk (repellent) dengan kejadian DBD
di Kecamatan Cepiring dan orang yang tidak C. Hubungan kebiasaan menggunakan kelambu
mempunyai kebiasaan menggunakan repellent dengan kejadian DBD
memiliki risiko 6,00 kali lebih besar terkena DBD Responden kelompok kasus dan kelompok
dibandingkan yang mempunyai kebiasaan kontrol tidak mamakai kelambu 100%. Sehingga

| H. 181
variabel kebiasaan menggunakan kelambu tidak DBD menggunakan uji Chi-square menunjukan hasil
dapat dianalisis dengan menggunakan uji Chi-square. p value 0,027 lebih kecil dari α : 0,05 maka
Hal ini dikarenakan jumlah responden kelompok dinyatakan ada hubungan kebiasaan menggantung
kasus dan kontrol tidak ada yang memiliki kelambu kelambu dengan kejadian DBD, pengujian Odds
di kamar tidurnya. Sehingga kelompok kasus dan Ratio (OR) menunjukan nilai 3,519 (95% CI = 1,270-
kelompok kontrol mempunyai variasi dan jenis risiko 9,750) yang artinya kebiasaan menggantungkan
yang sama maka tidak dapat dibandingkan dan kelambu menjadi faktor risiko, menghasilkan nilai
besarannya risiko tidak dapat diukur. OR 3,519 karena batas bawah CI >1, hasil ini
Pada kelompok kasus dan kontrol tidak ada menunjukkan bahwa responden yang mempunyai
yang memakai kelambu, hal ini disebabkan oleh kebiasaan menggantung pakaian memiliki risiko
semua responden kasus dan kontrol tidak ada yang 3,519 kali lebih besar terkena DBD dibandingkan
memiliki kelambu, mereka tidak menyadari bahwa dengan responden yang tidak mempunyai kebiasaan
pentingnya pemakaian kelambu pada saat tidur pagi menggantung pakaian.
(08.00-12.00) atau sore (15.00-17.00) dapat Menurut teori bahwa nyamuk Aedes aegypti
menghalau nyamuk Aedes aegypti untuk menggigit biasanya hinggap atau istirahat dalam rumah
sehingga dapat mengurangi penularan penyakit DBD. khususnya ditempat yang gelap atau pakaian yang
Berdasarkan penelitian dilakukan oleh Luluk digantung (Dinkes Provinsi Jateng, 2005, h.10).
Lidya Ayun dkk (2016) diperoleh nilai p= 0,164 yang Setelah menghisap darah, nyamuk beristirahat pada
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang tempat yang lembab dan gelap diantaranya pada
bermakna kebiasaan menggunakan kelambu dengan pakaian yang digantung menunggu proses
kejadian DBD. Hasil ini disebabkan karena pematangan telurnya (Kemenkes RI, 2013, h.14).
penggunaan kelambu sudah dianggap bukan lagi Hasil penelitian ini menunjukkan ada
sebagai alternatif praktis utuk mencegah DBD. hubungan kebiasaan menggantung pakaian dengan
Sehingga masyarakat lebih memilih alternatif lain kejadian DBD hal ini dikarenakan terdapat variabel
yang mereka anggap praktis seperti menggunakan faktor lainnya yang lebih berkaitan dan mendukung
raket nyamuk dan memakai losion anti nyamuk. kebiasaan menggantung pakaian seperti lokasi
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh pakaian tergantung tersebut memiliki suhu yang
Luluk Masruroh (2016), tentang Hubungan faktor sesuai, lembab, gelap dan sedikit angin sehingga
lingkungan dan praktek pemberantasan sarang nyamuk tertarik untuk beristirahat di pakaian yang
nyamuk (PSN) dengan kejadian DBD di Kecamatan menggantung. Maka dari itu kebiasaan menggantung
Ngawi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pakaian dapat menyebabkan jumlah nyamuk di dalam
hubungan antara pemakaian kelambu dengan rumah bertambah dikarenakan baju yang digantungan
kejadian DBD karena p value 0,001. merupakan baju yang sudah kotor atau terkena
Menggunakan kelambu adalah salah satu keringat dan baju yang sudah digunakan berhari-hari.
cara yang efektif dan aman untuk mencegah gigitan Berdasarkan observasi yang telah dilakukan,
nyamuk, baik kelambu yang berinsektisida maupun aktivitas menggantung pakaian ini merupakan
tidak (Depkes RI, 2005). Intervensi agar masyarakat kebiasaan yang sering dilakukan masyarakat,
mau menggunakan kelambu adalah dengan menurut masyarakat bahwa menggantung pakaian
meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang adalah cara praktis dan efisien dalam menyimpan
fungsi kelambu secara benar. Masyaratkat bisa pakaian yang akan dipakai kembali. Artinya, selain
menggunakan kelambu bukan hanya untuk mencegah ada manfaat dari menggantung pakaian itu, ternyata
DBD tetapi juga mencegah gigitan nyamuk lain ( keberadaan pakaian menggantung dapat dijadikan
Delmala Sari, 2012). salah satu tempat hinggap yang disukai nyamuk
D. Hubungan menggantung pakaian dengan Aedes aegypti. Dimana dalam pakaian yang telah
kejadian DBD dipakai terdapat beberapa zat yang membuat nyamuk
Responden yang mempunyai kebiasaan tertarik untuk mendekat seperti asam amino, asam
menggantung pakaian pada kelompok kasus laktat dan zat-zat lainnya yang berasal dari keringat
sebanyak 19 responden dengan persentase 55,9% manusia. Nyamuk juga senang dengan aroma tubuh
lebih besar dibandingkan dengan responden manusia yang mengeluarkan karbondioksida dari
kelompok kontrol 9 responden dengan persentase pernafasan yang kemudian menempel pada pakaian
26,5%. Responden yang tidak mempunyai kebiasaan (Ardha Dinata dkk, 2012).
menggantung pakaian pada kelompok kasus Menurut penelitian yang dilakukan Teguh
sebanyak 15 responden dengan persentase 41,1% Widyanto (2007) di Kota Purwokerto hasil analisis
lebih rendah dari responden kelompok kontrol yaitu statistik mendapatkan nilai p= 0,014 yang
25 responden dengan persentase 73,5%. menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna
Hasil analisis hubungan antara variabel secara statistik antara kebiasaan menggantung baju
kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian dengan kejadian DBD di Kota Purwokerto.

| H. 182
Sedangkan menurut Wahyu Mahardika (2009) di 41,2% lebih rendah dari rumah responden kelompok
Kecamatan Cepiring, yang menyatakan bahwa ada kontrol yaitu 24 rumah dengan persentase 70,6%.
hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian di Hasil analisis hubungan antara variabel
Kabupaten Kendal dengan nilai p= 0,001 dengan nilai breeding place dengan kejadian DBD menggunakan
OR= 4,896, hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan uji Chi-square menunjukan hasil p value 0,028 lebih
menggantung pakaian memiliki risiko 4,896 kali kecil dari α : 0,05 maka dinyatakan ada hubungan
lebih besar terkena DBD dibandingkan dengan yang antara breeding place dengan kejadian DBD.
tidak mempunyai kebiasaan menggantung pakaian. Pengujian Odds Ratio (OR) menunjukan nilai 3,429
Penelitian serupa dilakukan oleh Luluk Lidya Ayun (95% CI = 1,255-9,370) yang artinya breeding place
dkk (2016), tentang Hubungan antara faktor menjadi faktor risiko, menghasilkan nilai OR 3,429
lingkungan fisik dan perilaku dengan kejadian DBD karena batas bawah CI > 1, hasil ini menjukkan
di wilayah kerja Puskesmas Sekaran Kecamatan bahwa responden yang rumah terdapat breeding
Gunungpati Kota Semarang. Hasil penelitian place memiliki risiko 3,429 kali lebih besar terkena
menunjukkan bahwa ada hubungan antara kebiasaan DBD dibandingkan dengan responden yang
menggantung pakaian dengan kejadian DBD dimana rumahnya tidak ada breeding place. Hal ini
p value 0,002 dan nilai OR sebesar 7,933 (95% CI = dikarenakan nyamuk Aedes aegypti betina bertelur
2,236-28,151) artinya orang yang mempunyai dan menetaskan telurnya di atas permukaan air yang
kebiasaan menggantung pakaian memiliki risiko berada di sekitar rumah atau jauh dari rumah warga
7,933 kali lebih besar terkena DBD dibandingkan yang bersarang pada tempat penampungan alamiah
yang tidak mempunyai kebiasaan menggantung yang sulit untuk ditemukan sehingga luput dari
pakaian. pengawasan responden yang pada umumnya warga
Adanya resting place akan membuat semakin masyarakat hanya membersihkan di dalam dan di
banyak nyamuk yang ada di dalam rumah sehingga halaman rumah saja yang terlihat dan kurang
memudahkan kontak antara nyamuk penular DBD memperhatikan tempat-tempat yang dapat menjadi
dengan penghuni. Jarak terbang nyamuk yaitu 100 tempat perindukan nyamuk.
meter, walaupun di sekitar rumah tidak ditemukan Kejadian DBD erat kaitannya dengan faktor
jentik tetapi pada radius 100 meter ditemukan lingkungan yang menyebabkan tersedianya tempat-
nyamuk maka risiko penularan DBD juga menjadi tempat perkembangan vektor nyamuk Aedes aegypti,
besar (Belliya Yulis Ramdani, 2016). dimana nyamuk Aedes aegypti berkembangbiak
Untuk mengatasi masalah pada faktor risiko dalam air tergenang dan terbuka, misalnya tempat
ini yaitu diharapkan masyarakat perlu meningkatkan yang cocok untuk berkembang biak adalah tong,
kepedulian tentang penyakit DBD, dan juga drum, pot, ember, vas bunga, batang atau daun
mengurangi kebiasaan sehari-hari yang dapat tanaman, tangki, botol buangan, kaleng, ban bekas
menimbulkan penyakit ini salah satunya dan lain-lain (Warsidi, 2009). Tempat
menghilangkan kebiasaan menggantung pakaian di perkembangbiakan utama nyamuk Aedes aegypti
luar almari hingga berhari-hari terlebih baju yang ialah tempat-tempat penampungan air berupa
sudah dipakai lebih dari dua hari sehingga baju-baju genangan air yang tertampung di suatu tempat atau
tersebut menumpuk tidak beraturan. Masyarakat tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak
sebaiknya dapat membiasakan diri untuk melipat baju 100 meter dari rumah (Trixie Salawati, 2010).
yang sudah dipakai namun tidak begitu kotor Menurut penelitian yang dilakukan Teguh
sehingga tidak ada pakaian yang bergelantungan. Widyanto (2007) di Kota Purwokerto diperoleh hasil
Namun akan lebih baik jika pakaian yang sudah p value sebesar 0,017 yang menunjukkan bahwa ada
dipakai langsung dimasukkan ke dalam wadah yang hubungan yang bermakna secara statistik antara
kering dan tertutup agar tidak menjadi tempat untuk tempat perindukan (breeding place) dengan kejadian
nyamuk istirahat. Bila memungkinkan segera DBD di Kota Purwokerto. Sedangkan menurut Luluk
mencuci pakaian yang sudah dipakai jika tidak Lidya Ayun dkk (2016) di Kecamatan Gunungpati,
dipakai kembali. yang menyatakan bahwa ada hubungan antara
keberadaan tempat perindukan dengan kejadian DBD
E. Hubungan breeding place dengan kejadian dengan nilai p= 0,012 dan nilai OR= 5,127 (95% CI=
DBD 1,568-16,765), hal ini menunjukkan bahwa seseorang
Rumah responden yang ada breeding place yang rumahnya terdapat tempat perindukan memiliki
pada kelompok kasus adalah 20 rumah dengan risiko 5,127 kali lebih besar terkena DBD
persentase 58,8% lebih besar dibandingkan dengan dibandingkan orang dengan yang rumahnya tidak
rumah responden kelompok kontrol yaitu 10 rumah terdapat perindukan. Penelitian serupa dilakukan Sri
dengan persentase 29,4%. Rumah responden yang Purwaningrum (2016) di Kabupaten Banjarnegara,
tidak ada breeding place pada kelompok kasus yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
sebanyak 14 rumah responden dengan persentase keberadaan breeding place nyamuk dengan kejadian

| H. 183
DBD. Penelitian ini didapakan hasil p value sebesar Odss Ratio (OR) menunjukan nilai 3,833 (95% CI =
0,001 dengan nilai OR= 10,524 (95% CI= 2,271- 1,403-10,477) yang artinya upaya 3M Plus menjadi
48,757). Hal ini berarti seseorang yang rumahnya faktor risiko, menghasilkan nilai OR 3,833 karena
terdapat breeding place memiliki risiko 10,524 kali batas bawah CI > 1, hasil ini menunjukkan bahwa
lebih besar terkena DBD dibandingkan orang yang responden yang tidak melakukan salah satu upaya 3M
rumahnya tidak ada breeding place. Plus memiliki risiko 3,833 kali lebih besar terkena
Kontainer atau tempat penampungan air menjadi DBD dibandingkan dengan responden yang
perhatian sebagai tempat berkembangnya jentik- melakukan upaya 3M Plus. Hal ini dikarenakan
jentik nyamuk, termasuk nyamuk Aedes aegypti yang partisipasi individu pada responden kelompok kasus
merupakan vektor penularan penyakit DBD. yang rendah dalam melakukan upaya 3M Plus
Keberadaan jentik di kontainer memang cukup disebabkan karena mereka belum mengerti dan
berpengaruh mengingat vektor dari penularan menyadari pentingnya upaya 3M Plus, sehingga
penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti siklus bersikap masa bodoh (tidak peduli) dengan anjuran
hidupnya saat bertelur lalu menjadi larva ada di dalam dan ajakan pemerintah dalam melakukan kegiatan
kontainer. Adanya jentik pada kontainer, maka upaya 3M Plus. Sehingga dengan upaya 3M Plus
peluang besar terbentuknya nyamuk muda yang akan dapat membatasi keberadaan tempat berkembang
menjadi vektor dari penularan penyakit DBD biak Aedes aegypti dan membantu mengurangi
semakin tinggi (Hikmawan Suryanto, 2018). kepadatan nyamuk yang berdampak pada
Sehingga dengan membatasi keberadaan tempat kemungkinan berkurangnya penularan penyakit
berkembang biak Aedes aegypti akan membantu DBD.
mengurangi kepadatan nyamuk yang berdampak Menurut penelitian yang dilakukan Islamiah
pada kemungkinan berkurangnya penularan penyakit (2012) di Kelurahan Bajo Kecamatan Bajo
(Amrul Hasan dkk, 2007). Kabupaten Luwu diperoleh nilai p= 0,014 yang
Solusi atau pemecahan masalah untuk faktor menunjukkan bahwa ada hubungan antara kegiatan
risiko ini adalah melalui kegiatan pemberantasan 3M dengan kejadian DBD. Hasil ini disebabkan
sarang nyamuk (PSN) 3M akan memberikan hasil karena kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam
yang baik apabila dilakukan secara luas dan serentak, membersihkan lingkungan dan upaya pemberantasan
terus menerus berkesinambungan. PSN sebaiknya sarang nyamuk dalam bentuk kegiatan 3M tidak
dilakukan sekurang-kurangnya seminggu sekali dilakukan secara keseluruhan seperti mengubur
sehingga pertumbuhan nyamuk tidak menjadi benda-benda yang tidak digunakan lagi yang dapat
dewasa. Masyarakat disarankan untuk melaksanakan menjadi tempat bersarang nyamuk dan menguras atau
kegiatan PSN diantaranya yaitu rutin membersihkan mengganti air di tempat penampungan air serta
halaman rumah, mengeringkan kolam di taman yang menutup dengan rapat tempat penampungan air yang
tidak terpakai, menguras bak mandi/bak penampung dimiliki masyarakat. Penelitian ini sesuai dengan
air seminggu sekali, menutup rapat-rapat tempat penelitian Fuka Priesley dkk (2018) di Kelurahan
penampungan air dan memanfaatkan Andalas, yang menunjukkan bahwa terdapat
kembali/mendaur ulang barang bekas yang hubungan antara 3M Plus dengan kejadian DBD.
berpotensi menjadi tempat perkembangan jentik Penelitian ini didapakan hasil p value sebesar 0,001
nyamuk. dengan nilai OR 5,842. Hal ini berarti orang tidak
melakukan salah satu 3M Plus memiliki risiko 5,842
F. Hubungan upaya 3M Plus dengan kejadian kali lebih besar terkena DBD dibandingkan yang
DBD melakukan 3M Plus. Penelitian sejenis juga
Responden yang tidak melakukan salah satu dilakukan oleh penelitian Amrul Hasan dkk (2007) di
upaya 3M Plus pada kelompok kasus adalah 22 Kota Bandar Lampung, yang menyatakan bahwa ada
responden dengan persentase 64,7% lebih besar hubungan antara 3M dengan kejadian DBD dimana
dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu 11 nilai p= 0,01 dan OR= 5,85 (95% CI = 2,86-11,99)
responden dengan persentase 32,4%. Responden dengan demikian orang yang tidak melakukan salah
yang melakukan semua upaya 3M Plus pada satu 3M memiliki risiko 5,85 kali lebih besar terkena
kelompok kasus sebesar 12 responden dengan DBD dibandingkan yang melakukan 3M.
persentase 35,3% lebih kecil dibandingkan dengan Permasalahan utama dalam upaya menekan
kelompok kontrol 23 responden dengan persentase angka kesakitan DBD adalah masih belum
yaitu 67,6%. berhasilnya upaya penggerakkan peran dalam
Hasil analisis hubungan antara variabel upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) DBD dalam
3M Plus dengan kejadian DBD menggunakan uji Chi- bentuk 3M Plus yaitu melakukan pengendalian jentik
square menunjukan hasil p value 0,015 lebih kecil Aedes aegypti melalui cara fisik, kimia, dan biologi
dari α : 0,05 maka dinyatakan ada hubungan antara yang mulai diintesifkan sejak tahun 1992 (Depkes RI,
upaya 3M Plus dengan kejadian DBD. Pengujian 2005). Masyarakat benar-benar tidak memahami

| H. 184
bahwa partisipasi mereka pada pembersihan sarang pentingnya PSN-DBD dalam bentuk 3M Plus yang
nyamuk berkontribusi sangat besar terhadap dapat meningkatkan kesadaran dan pengetahuan
pengendalian DBD (Nasrin, 2006). masyarakat sehingga masyarakat mengerti akan
Apabila masyarakat bersedia menjaga kondisi bahaya penyakit DBD dan cara pencegahan serta
tempat tinggal mereka terutama mencegah penanggulangannya. Dalam tahap selanjutnya
berkembang biak nyamuk Ae.aegypti di lingkungan pelaksanaan PSN-DBD harus dilaksanakan serentak
rumah, maka rantai penularan DBD akan terputus dan luas, terus menerus/berkesinambungan.
yang pada gilirannya menurunkan angka kesakitan Sosialisasi masyarakat untuk menggerakan
demam berdarah dengue. Perilaku masyarakat juga masyarakat dengan penguatan peran serta tokoh
selalu dihubungkan dengan keseriusan penyakit dan masyarakat harus dilakukan melalui kegiatan
berdampak kepada upaya mencari kebiasaan yang promosi kesehatan, penyuluhan serta reward bagi
mendukung pencegahan penyakit. Bila upaya PSN- yang berhasil melaksanakannya (Kemenkes RI,
DBD dengan 3M Plus telah menjadi kebutuhan dan 2011).
berakar pada kehidupan masyarakat di suatu daerah Kegiatan PSN-DBD dalam bentuk 3M Plus
atau wilayah, maka akan terjadi perilaku sehat yang meliputi:
mendukung mengatasi dan meniadakan tempat a. Menguras dan menyikat tempat-tempat
perindukan nyamuk disekitar rumah tinggal (Amrul penampungan air, seperti bak mandi/WC, drum
Hasan dkk, 2007). dan lain-lain seminggu sekali.
Perilaku PSN 3M Plus merupakan perilaku b. Menutup rapat-rapat tempat penamppungan air
hidup sehat yang bertujuan untuk mengendalikan seperti gentong air/tempayan, dan lain-lain.
tempat perindukan sarang nyamuk dan upaya c. Mendaur ulang barang bekas yang dapat
menghindari kontak dengan Aedes yang merupakan menampung air hujan.
vektor DBD. Apabila perilaku ini dilakukan dengan d. Mengganti air vas bunga, tempat minum burung
baik, maka dapat memutus rantai penularan DBD atau sejenisnya seminggu sekali
sehingga hasil yang diharapkan adalah angka e. Memperbaiki saluran air yang tidak lancar,
kejadian DBD dapat menurun (Fuka Priesley dkk, menutup lubang pada potongan bambu/pohon
2018). dengan tanah
Solusi atau pemecahan masalah terhadap f. Menaburkan bubuk abate
partisipasi individu yang rendah dalam melakukan g. Memelihara predator/ikan pemakan jentik
upaya 3M Plus yaitu memberikan penyuluhan tentang
Dan lain-lain.

G. Ringkasan hasil uji stastik Chi-square


Tabel 1 Ringkasan hasil menggunakan uji statistik Chi-square
No. Variabel p OR CI Ket
1. Kebiasaan menggunakann repellent 0,002 8,158 2,084-31,938 Hubungan
signifikan
2. Kebiadaan menggunakan kelambu - - - Tidak dapat
dianalisis
3. Kebiasaan menggantung pakaian 0,027 3,519 1,270-9,750 Hubungan
signifikan
4. Breeding place 0,028 3,429 1,255-9,370 Hubungan
signifikan
5. Upaya 3M Plus 0,015 3,833 1,403-10,477 Hubungan
signifikan

I. Analisis multivariat
Tabel 2 Hasil akhir analisis regresi logistik Menggunakan metode backward LR pada penelitian faktor risiko
kejadian DBD di Kabupaten Banyumas Tahun 2019
No. Variabel B p OR CI (95%)
1. Kebiasaan menggunakan repellent 2,192 0,029 3,824 2,122-37,801
2. Upaya 3M Plus 1,443 0,011 4,234 1,391-12,890

| H. 185
Setelah dilakukan uji regresi logistik dengan yang mengurangi gigitan nyamuk. Baju lengan
menguji seluruh variabel yang dapat dianalisis panjang dan celana panjang bisa mengurangi kontak
bivariat secara bersama-sama diketahui bahwa dengan nyamuk meskipun sementara (Depkes RI,
hubungan variabel dengan kejadian DBD yang paling 2010). Selain itu jalan lain yang dapat ditempuh untuk
berpengaruh adalah variabel kebiasaan menggunakan mencegah penyakit demam berdarah adalah dengan
repellent (p= 0,003) yang disusul variabel upaya 3M mengeliminasi atau menurunkan populasi nyamuk-
Plus (p= 0,011). Variabel yang paling berpengaruh nyamuk vektor seperti Aedes sp. Penyemprotan
yaitu kebiasaan menggunakan repellent didapatkan dengan ULV melathion masih merupakan cara yang
nilai p= 0,003 dengan derajat kepercayaan 95%, umum dipakai untuk membunuh nyamuk-nyamuk
dimana hubungan antar variabel dikatakan bermakna dewasa. Di Indonesia banyak orang menggunakan
jika p < 0,05 dan tidak bermakna jika p > 0,05. obat nyamuk bakar untuk mengusir nyamuk pada
Tingkat kesadaran dan pengetahuan malam hari dan siang hari (Sembel, 2009).
masyarakat tentang tindakan pencegahan gigitan
nyamuk itu kebanyakan hanya pada malam hari saja, 4. Kesimpulan
namun mereka tidak menyadari bahwa aktivitas Variabel yang berhubungan dengan kejadian
nyamuk Aedes aegypti pada pagi hari (pukul 08.00- DBD di Kabupaten Banyuamas adalah kebiasaan
12.00) dan sore hari (pukul 15.00-17.00). Hal ini menggunakan repellent (p= 0,002 dan OR= 8,158),
berkaitan dengan aktivitas bekerja bagi responden kebiasaan menggaantung pakaian(p= 0,027 dan OR=
kalangan dewasa dimana mereka tidak mempunyai 3,519), breeding place (p= 0,028 dan OR= 3,429) dan
kebiasaan menggunakan repellent sebelum bekerja upaya 3M Plus (p= 0,015 dan OR= 3,833).
pada saat pagi hari dan sore hari sehingga mudah Sedangkan untuk variabel kebiasan
terkena gigitan nyamuk di tempat kerja. Berbeda menggunakan kelambu tidak dapat di analisis
dengan beberapa responden kalangan balita, anak- menggunakan uji Chi-square.
anak dan remaja yang orang tuannya sering Masyarakat diharapkan dapat melakukan
memberikan perlindungan terhadap gigitan nyamuk pencegahan penyakit DBD dengan menerapkan
dengan mengolesi kulit mereka menggunakan losion kegaitan PSN-DBD dalam bentuk 3M Plus yaitu
anti nyamuk (repellent) tetapi karena aktivitasnya menguras tempat penampungan air minimal
selama di rumah maupun di sekolah terkadang seminggu sekali, menutup tempat penampungan air,
menyebabkan tubuh berkeringat yang dapat membuat mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat
kulit yang sudah dibaluri repellent menjadi kurang menampung air saat musim hujan, menaburkan abate
efektif sehingga mudah terkena gigitan nyamuk pada tempat penampungan air, memelihara ikan
dirumah maupun di sekolah. pemakan jentik dan membiasakan menggunakan
Melindungi pribadi dari risiko penularan virus repellent pada pagi dan sore hari serta menghilangkan
DBD dapat dilakukan secara individu yaitu dengan kebiasaan menggantung pakaian di luar almari..
menggunakan repellent dan menggunakan pakaian

Daftar Pustaka

Amrul Hasan dan Dian Ayubi. 2007. Hubungan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2012.
Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk dan Jakarta: FKM UI
Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Depkes RI. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan
Bandar Lampung. Jakarta: FKM UI Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta:
Ardha Dinata, dkk. 2012. Karakteristik Lingkungan Departemen Kesehatan RI
Fisik, Biologi, dan Sosial di Daerah Endemis 2010. Pencegahan dan Pemberantasan
DBD Kota Banjar tahun 2011. Jurnal Ekologi Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta:
Kesehatan: Vol. 11 No.4 DIT.JEN.PP & PL
Belliya Yulis Rahmadani. 2016. Faktor Risiko 2016.
Lingkungan dan Perilaku yang Berhubungan Profil Kesehatan Kabupaten Banyumas Tahun
dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah 2016. Banyumas: Dinas Kesehatan Kabupaten
Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Banyumas
Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas. 2017.
Semarang: Universitas Politeknik Kesehatan Profil Kesehatan Kabupaten Banyumas Tahun
Kementrian Kesehatan Semarang 2017. Banyumas: Dinas Kesehatan Kabupaten
Delmala Sari. 2012. Hubungan Pengetahuan dan Banyumas
Perilaku Responden dengan Kejadian Demam Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2005. Standar
Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Prosedur Operasional Klinik Sanitasi

| H. 186
Puskesmas Untuk Puskesmas. Semarang Dinas Luluk Lyda Ayun dan Eram Tunggul Pawenang. 2016.
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Hubungan antara Faktor Lingkungan Fisik dan
. 2017. Perilaku dengan Kejadian Demam Berdarah
Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengan Tahun Dengue (DBD) Di Wilayah Kerja Puskesmas
2017. Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Sekaran, Kecamatan Gunungpati, Kota
Jawa Tengah Semarang. Semarang: FK UNNES
Dindukcapil Kabupaten Banyumas. 2018. Agregat Luluk Masruroh. 2016. Hubungan Faktor Lingkungan
Perkembangan Kependudukan Bersih (DKB) dan Praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk
Semester 2 Tahun 2018. Banyumas: Dinas (PSN) dengan Kejadian Demam Berdarah
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Dengue (DBD) di Kecamatan Ngawi Kabupaten
Banyumas Ngawi. Semarang: FK UNDIP
Djunaedi D. 2006. Demam Berdarah [Dengue DBD] Mahardika, W. 2009. Hubungan Perilaku Kesehatan
Epidemiologi, Imunopatologi, Patogenesis, dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue
Diagnosis dan Penatalaksanaannya. Malang: (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Cepiring
UMM Press Kecamatan Cepiring Kabupaten Kendal
Fathi, Soedjajadi Kemam, Chatarine U.W. 2005. (Skripsi). Semarang: FKM UNNES
Peranan Faktor Lingkungan dan Perilaku Mustazahid Agfadi Wirayoga. 2013. Hubungan
Terhadap Penularan di Kota Mataram. Jurnal Kejadian Demam Berdarah Dengue Dengan
Kesehatan Lingkungan: Vol. 2 No. 1 Iklim di Kota Semarang Tahun 2011-2016.
Fuka Priesley, dkk. 2018. Hubungan Perilaku Semarang: FKM UNNES
Pemberantasn Sarang Nyamuk dengan Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu
Menutup, Menguras dan Mengukubur Ulang Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta
Plus (PSN 3M Plus) terhadap Kejadian Demam Sembel, T. 2009. Entomologi Kedokteran. Yogyakarta:
Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Andi
Andalas. Padang: FK UNAND Sitio, A. 2008. Hubungan Perilaku Tentang
Hikmawan Suryanto. 2018. Analisis Faktor Perilaku, Pemberantasan Sarang Nyamuk dan Kebiasaan
Penggunaan Kasa, dan House Index dengan Keluarga dengan Kejadian Demam Berdarah
Kejadian DBD di Kecamatan Dringu Dengue di Kecamatan Medan Perjuangan Kota
Kabupaten Probolinggo. Surabaya: FK UNAIR Medan. (Tesis), Semarang: Universitas
Islamiah. 2012. Faktor yang Berhubungan dengan Diponegoro
Kejadian Demam Berdarah di Kelurahan Bajo Sri Purwaningrum. 2016. Faktor-Faktor Lingkungan
Kecamatan Bajo Kabupaten Luwu Tahun 2012. yang Berhubungan dengan Kejadian Demam
Makassar: FKM UMI Makassar Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Puskesmas
Kemenkes RI. 2011. Direktorat Jenderal Pengendalian Banjarnegara 1 Kabupaten Banjarnegara.
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Modul Semarang: Universitas Politeknik Kesehatan
Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Kementrian Kesehatan Semarang
Jakarta: DIT.JEN.PP & PL Teguh Widiyanto. 2007. Kajian Managemen
2013. Pedoman Lingkungan Terhadap Kejadian Demam
Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Purwokerto
Indonesia. Jakarta: DIT.JEN.PP & PL Jawa-Tengah. Semarang: FKM UNDIP
2017. Profil Trixie Salawati. 2010. Kejadian Demam Berdarah
Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Dengue Berdasarkan Faktor Lingkungan dan
Kementrian Kesehatan RI Praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk. Vol 6
Kodim Nasrin. 2006. Mencegah dan Mengendalikan No 1. Semarang: FKM UMS
Petaka Kesehatan Masyarakat Dengan Siklus
Kebijakan Yang Berbasis Evidens Warsidi. 2009. Bahaya Dan Pencegahan DBD.
Epidemiologi. Jakarta: FKM UI Bekasi: Mitra Utama.

| H. 187

Anda mungkin juga menyukai