TESIS
Oleh:
v
ABSTRAK
Supervisors : Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.M. and
Dr. H. Nahrowi, S.H., M.H.
vi
امللخص
vii
مقياس للذىب أتشيو ( 2مامي حوايل 3،3غراما) .مت تدوين العريف مبجتمع سالغور
بشكل القانون ،وميكن مالحظة ذلك يف تنظيم مقدار مهر كل بلد يف ماليزاي ،ألن
مقدار املهر حيدده جابتن اضام إسالم سالغور؛ .)3و من العوامل اليت تسبب
إىل ارتفاع قيمة املهر يف عادات أتشيو كان من شخصية الزوجة نفسها ،سواء من حيث
الدين أو الذكاء أو الطاعة أو اجلمال أو املكانة االجتماعية .ابإلضافة إىل ذلك ،أن
عائلة املرأة تعطي اهلبة (بعد فصلها) للزوجني املتزوجني ،كمعدات الغرفة ،أو املنزل أو
قطعة من حقول األرز للعروس والعريس ،وف ًقا لقدرة الوالد .وأما مباليزاي ،يعتمد حتديد
مقدار املهر بواسطة جابتن اضام إسالم سالغور يف كل بلد على الظروؼ
االقتصادية للمجتمع احمللي.
viii
KATA PENGANTAR
K
Alhamdulillah, Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta ‘inâyah-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan
tesis ini tidak lepas dari bantuan, dorongan, serta bimbingan berbagai pihak.
Untuk itu dengan segenap kerendahan hati, penulis menghaturkan ucapan terima
kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A., dan Dr. Ahmad Tholabi, M.A., Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
2. Dr. Syahrul Adam, M.Ag, dan Dr. Nahrowi, M.H., Ketua dan Sekretaris
Program Studi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. dan Dr. H.
Nahrowi, S.H., M.H., Dosen Pembimbing yang telah menyediakan waktu,
pikiran dan tenaganya untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan
petunjuknya kepada penulis dalam penyusunan Tesis ini
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program
Studi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak
pembelajaran serta motivasi dalam menuntut ilmu di kampus ini.
5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum, Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Nasional yang telah
membantu penulis dalam melengkapi referensi sebagai bahan rujukan tesis.
6. Istriku yang tercinta Mardiatul Hayat, M.Pd, dan juga buah hatiku yang
tersayang Ameera Ghaida Taqiyya, yang telah memberikan dukungan,
motivasi, doa, dan segala hal yang telah diberikan kepada penulis.
7. Orangtuaku : Ayah dan Ibu yang sangat penulis hormati dan banggakan (Dr.
M. Aminan, M.Pd., Siti Maryati, S.Pd, M.M), ayah dan ibu mertua terhormat
ix
(KH. A. Sambas Atmaja dan Hj. Akmaliyah) serta adik-adikku dan segenap
keluarga besar yang telah mendukung, memotivasi serta do’a yang tak pernah
putus untuk penulis dalam berjuang menuntut ilmu.
8. Rekan-rekan seperjuangan Magister Hukum Keluarga angkatan ke-3 UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang mengiringi perjuangan menuntut ilmu dan
saling memotivasi dalam kebaikan.
9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, semoga Allah SWT
membalas segala kebaikan dengan sebaik-baiknya balasan.
Hanya harapan dan do’a, semoga Allah SWT memberikan balasan yang
berlipat ganda kepada para pihak yang telah membantu penulis dalam
penyelesaikan Tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat. Aamiin.
Penulis
x
DAFTAR ISI
xi
BAB IV : PRAKTIK PEMBERIAN MAHAR DALAM PERKAWINAN
MASYARAKAT ACEH DAN SELANGOR ...................................... 83
A. Penerapan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia dan
Malaysia mengenai Kadar Mahar dan Penyelesaian Kasus
Hutang Mahar Pasca Perceraian dalam Putusan Mahkamah
Syar’iyah di Aceh dan Malaysia ...................................................... 83
B. Peran Adat dalam Menentukan Besaran Mahar Perkawinan ......... 115
C. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Nilai Mahar Menjadi
Meningkat ....................................................................................... 126
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
ب b Be
ت t Te
ث ts te dan es
ج j Je
خ kh ka dan ha
د d De
ر r Er
ز z Zet
س s Es
ش sy es dan ye
xiii
ط T te dengan garis dibawah
غ Gh ge dan ha
ؼ F Ef
ق Q Ki
ك K Ka
ل L El
م M Em
ن N En
و W We
ھـ H Ha
ء ` Apostrof
ي Y Ye
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
ــَـ a Fathah
ــِـ i Kasrah
ــُـ u Dammah
xiv
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
ــَـ ي ai a dan i
ــَـ و au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
4. Kata Sandang
xv
Knowledge, Piety, Integrity
BAB I
PENDAHULUAN
1
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 286
2
Al-Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 129
3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fikih Munakahat dan
UU Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 84
4
Harijah Damis, “Konsep Mahar dalam Perspektif Fikih dan Perundang-Undangan,”
dalam jurnal Yudisial No. 9 April 2016, h. 24
1
2
5
Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 84
6
Darmawan, Eksistensi Mahar & Walimah, (Surabaya: Srikandi, 2007), h. 1
7
Al-Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983), Jilid 2, h.135; Abû Mâlik
Kamâl bin al-Sayyid Sâlim, Sahih Fiqh al-Sunnah, (Mesir: Al-Maktabah al-Taufîqiyyah, 2003)
Jilid 3, h. 166; Abdul Adzîm Badawi, Al-Wajîz fî Fiqh al-Sunnah wa al-Kitâb al-„Azîz, (Mesir: Dâr
al-Ibn Rajab, 2001), h. 282; Mustofa al-Khin, Al-Fiqh al-Manhajî „Alâ Madzab al-Imâm al-Syâfi‟i,
(Damaskus: Dâr al-Qalam, 1996), Juz 4, h. 77; Al-Imâm „Alau al-ddin Abu Bakar bin Mas„ud,
Badâi„u al-Sanâi„i Fi Tartîbi al-Syarâi„, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah) Jilid 3, h.
519
8
Abd. Kohar, “Kedudukan dan Hikmah Mahar dalam Perkawinan”, dalam Asas Jurnal
Hukum dan Ekonomi Islam, Vol. 8, No. 2 tahun 2016, h. 42
9
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2015), h. 71
10
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2015), h. 85
3
mahar dan para fuqahâ telah sepakat bahwa mahar itu tidak ada batas tertinggi. 11
Hal ini karena mahar bukanlah harga untuk membeli kenikmatan bagi laki-laki,
namun merupakan pemberian (nihlah), yaitu pemberian yang tidak memerlukan
balasan.12
Namun para fuqahâ berbeda pendapat mengenai batas terendah atau
minimalnya mahar perkawinan, diantaranya ada dua pendapat yaitu yang
dikemukakan oleh Imâm Mâlik dan para pengikutnya dan juga Imam Abû
Hanîfah dan para pengikutnya. Imâm Mâlik berpendapat bahwa adalah paling
sedikit mahar itu harus mencapai seperempat dinar emas atau perak seberat tiga
dirham timbangan, atau barang yang sebanding dengan tiga dirham tersebut. 13
Sedangkan Ulama Hanafiyah menetapkan batas minimal mahar sebanyak 10
dirham perak, dan apabila kurang dari itu tidak memadai dan oleh karenanya
diwajibkan mahar mitsl, dengan pertimbangan bahwa itu adalah batas minimal
barang curian yang mewajibkan had terhadap pencurinya.14
Dalam Perundang-Undangan Indonesia, aturan mahar perkawinan banyak
dijelaskan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam. Salah satu pembahasannya adalah bahwa KHI tidak menetapkan
nominal mahar yang harus diberikan kepada calon mempelai wanita, karena
penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang
dianjurkan oleh ajaran Islam, sebagaimana disebutkan pasal 31. 15
11
Abû Mâlik Kamâl bin al-Sayyid Sâlim, Sahih Fiqh al-Sunnah, (Mesir: Al-Maktabah al-
Taufîqiyyah, 2003) Jilid 3, h. 162; Abdul Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, Cet. 2, h. 88; Abdul
Adzîm Badawi, Al-Wajîz fî Fiqh al-Sunnah wa al-Kitâb al-„Azîz, (Mesir: Dâr al-Ibn Rajab, 2001),
h. 282; Muhammad Abu Zahrah, Muhadarah fî „Aqdi al-Zuwâj wa âtsâruhu, (Dâr al-Fikr al-
„Arab), h. 232; Mustofa al-Khin, Al-Fiqh al-Manhajî „Alâ Madzab al-Imâm al-Syâfi‟i, (Damaskus:
Dâr al-Qalam, 1996), Juz 4, h. 77
12
Muhammad Washfi, Mencapai Keluarga Barokah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005),
h. 315
13
Wahbah al-Zuhailî, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1985)
Jilid 7, h. 256; Abdul Adzîm Badawi, Al-Wajîz fî Fiqh al-Sunnah wa al-Kitâb al-„Azîz, (Mesir:
Dâr al-Ibn Rajab, 2001), h. 232; Al-Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983),
Jilid 2, h.137
14
Muhammad Abu Zahrah, Muhadarah fî „Aqdi al-Zuwâj wa âtsâruhu, (Dâr al-Fikr al-
„Arab), h. 240; Wahbah al-Zuhailî, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikr,
1985) Jilid 7, h. 256
15
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), h.
148;
4
Dari Pasal di atas, dapat dipahami bahwa penyerahan mahar diberikan oleh
calon suami atau yang mewakili, kepada calon istri atau yang mewakili dengan
dihadiri petugas pencatat nikah dan dua orang saksi. Pada saat akad nikah
berlangsung, petugas nikah mencatatkan data pernikahan kedua mempelai dan
mencatat beberapa hal mengenai mahar secara rinci, seperti 1). Jumlah mahar 2).
Jumlah pemberian 3). Jumlah mahar atau pemberian, atau keduanya yang
dijanjikan tetapi belum diserahkan pada waktu akad nikah dan janji tanggal
penyerahannya 4). Keterangan yang dapat dijadikan jaminan untuk menyerahkan
mahar atau pemberian.17 Peraturan ini bertujuan untuk menghindari penipuan,
penganiayaan dan masalah yang tidak diinginkan muncul setelah berlangsungnya
sebuah pernikahan, serta untuk kemaslahatan bersama.18
16
Warta Kerajaan Selangor, Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri
Selangor) 2003, (Selangor: 28 April 2003), h. 170; Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor)
2003, Fatwa dibawah Seksyen 47, (Selangor: Februari 2010)
17
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1 dilengkapi Perbandingan UU Negara
Muslim Kontemporer, h. 157; Islamic Family Law Enactment 1984 Malaysia, pasal 21 ayat 1 dan
2; Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Bandung: PR. Remaja Rosdakarya, 1991), h.
42
18
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Bandung: PR. Remaja Rosdakarya,
1991), h. 42; Zurita Mohd Yusoff, “Amalan Pemberian Mas Kahwin di Malaysia”, dalam Jurnal
Islam & Masyarakat Kontemporari, Jilid 1 tahun 2008, h. 51
5
19
Sweet dan Maxwell, Islamic Family Law in Malaysia, (Selangor: Thomson Reuters,
2017), h. 80
20
Zurita Mohd Yusoff, “Amalan Pemberian Mas Kahwin di Malaysia”, dalam Jurnal
Islam & Masyarakat Kontemporari, Jilid 1 tahun 2008, h. 54
21
Jabatan Mufti Negeri Selangor, Garis Panduan Majlis Perkahwinan, 2012, h. 2
22
Noryamin Aini, “Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur
Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia,” dalam jurnal Ahkam, Vol. XIV, No. 1, Januari 2014, h.
6
21; Burhanuddin A. Gani, Ainun Hayati, “Pembatasan Jumlah Mahar Melalui Keputusan
Musyawarah Adat Kluet Timur”, dalam jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Vol. 1, No. 1
Januari-Juni 2017, h. 174
23
Warta Kerajaan Selangor, Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor) 2003,
Fatwa dibawah Seksyen 47, (Selangor: 4 Februari 2010); Jabatan Mufti Negeri Selangor, Hukum
Penetapan Kadar Maskahwin Bagi Negeri Selangor, dalam https://www.muftiselangor.gov.my,
diunduh pada 20 April 2018
24
Ahmad Baei Jaafar, Dara atau janda, Mas Kahwin tetap RM 300, dalam berita online
Malaysia yang diakses melalui http://ww1.utusan.com.my, diunduh pada 2 Juli 2018
25
Jabatan Agama Islam Melaka, Surat Pekeliling Jabatan Agama Islam Melaka 2016
Mengenai: Kadar Bayaran Upah Nikah bagi Imam/Jurunikah Seluruh Negeri Malaka, Kadar
Bayaran Upah Nikah Bagi Wali Hakim/Wali Raja, Kadar Maskahwin Bagi Negeri Malaka,
(Melaka: 26 Januari 2016)
26
Muhammad Najib Abd Wakil, Che Maryam Ahmad, “Mas Kahwin di Pahang: Satu
Penilaian Semasa,” dalam Journal of Contemporary Islamic Law, Vol. 2(2) (2017), h. 62
27
Muhammad Najib Abd Wakil, Che Maryam Ahmad, “Sejarah Kadar Mas Kahwin di
Johor,” dalam jurnal Isu Syariah dan Undang-Undang Sirri 22, h. 19
7
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut, timbul beberapa permasalahan pokok
yang dapat diinventarisasikan sebagai berikut:
1) Bagaimana konsep mahar dalam peraturan perundang-undangan Hukum
Keluarga Indonesia dan Malaysia?
2) Apa yang melatarbelakangi pemerintah Malaysia dalam menetapkan kadar
minimum mahar dalam perkawinan dan Mengapa ketetapan kadar mahar
setiap negeri di Malaysia berbeda-beda?
3) Bagaimana praktik pemberian mahar dan penerapan kadar mahar dalam
perkawinan masyarakat Aceh dan Selangor?
4) Bagaimana penyelesaian kasus hutang mahar dalam Mahkamah Syar‟iyah
Aceh dan Malaysia?
5) Mengapa mahar perkawinan masyarakat Aceh diberikan dalam bentuk emas
dengan sebutan mayam?
6) Bagaimana akibat dari nilai mahar yang tinggi dan apa faktor yang
menyebabkan nilai mahar menjadi meningkat?
7) Bagaimana peran adat dalam menentukan besaran mahar dalam perkawinan
dan apa sanksi adat mengenai mahar sebagai akibat hukum dari batalnya
suatu pernikahan?
8) Bagaimana perkembangan mahar saat ini di Aceh dan Selangor?
pembahasan tesis ini lebih terarah, maka penelitian ini dibatasi pada masalah
mahar, yang mencakup: latar belakang lahirnya peraturan perundang-undangan
mengenai mahar perkawinan, sikap masyarakat terhadap nilai mahar, peran adat
dalam mahar dan akibat sosial dari nilai mahar yang tinggi. Sedangkan dalam
hubungannya antara hukum adat, hukum agama dan hukum negara, penelitian ini
dibatasi pada masalah sampai sejauh mana penerapan kadar mahar pada
masyarakat Aceh dan Selangor.
Adapun perumusan masalah dalam tesis ini diuraikan dalam beberapa
pertanyaan berikut:
1. Apakah Peraturan Perundang-Undangan Indonesia dan Malaysia menentukan
penerapan kadar mahar dalam perkawinan dan bagaimana penyelesaian kasus
hutang mahar pasca perceraian dalam putusan Mahkamah Syar‟iyah di Aceh
dan Malaysia?
2. Bagaimana peran adat dalam menentukan besaran mahar dalam perkawinan
di Aceh dan Selangor?
3. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan nilai mahar menjadi meningkat?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Membandingkan penerapan kadar mahar yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia dan Malaysia serta menganalisis putusan
Mahkamah Syar‟iyah Aceh dan Malaysia terkait Hutang Mahar.
2. Mengetahui peran adat dalam menentukan besaran mahar dalam perkawinan.
3. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan nilai mahar menjadi
meningkat.
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
dan memperkaya khazanah keilmuan dan memberikan pengembangan ilmu dalam
kajian tentang Mahar Perkawinan di Indonesia dan Malaysia. Adapun secara
praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan menjadi bahan
bagi para peneliti selanjutnya. Bagi instansi atau lembaga pemerintah Indonesia
9
dan Malaysia, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kadar nilai
mahar di Aceh dan Selangor.
E. Review Kajian Terdahulu
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, ada beberapa karya ilmiah
yang secara spesifik serumpun dengan judul yang diangkat oleh penulis. Namun
meskipun objeknya sama yaitu mahar, namun terdapat perbedaan yang mendasar,
di antara karya ilmiah tersebut adalah:
1. Penerapan Batas Minimal Mahar dalam Peraturan Perundang-Undangan
(Studi Pandangan Pakar Hukum dan Praktisi KUA Kabupaten Jember). Tesis
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Tahun 2013 ditulis oleh Abdul Kadir.29
Tesis ini membahas tentang pandangan pakar Hukum dan Praktisi KUA
Kabupaten Jember terhadap penerapan batas minimal mahar dalam
perundangan serta jumlah rata-rata mahar dalam praktek perkawinan di
Kabupaten Jember. Dan hasilnya bahwa rata-rata jumlah mahar di Kabupaten
Jember adalah Rp. 100.000. jumlah tersebut merupakan yang paling banyak
ditemukan di tiga kecamatan, yaitu kecamatan sumbersari, Umbulsari dan
Tanggul. Sedangkan penelitian penulis membahas tentang Implementasi
pemberian mahar dalam perkawinan masyarakat Aceh dan Selangor.
2. Studi Komparasi Penerapan Mahar di Indonesia dan Malaysia, Tesis UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang tahun 2013 ditulis oleh Muhammad
Shobirin.30 Tesis ini membahas tentang persamaan dan perbedaan pengaturan
sistem mahar di Indonesia dan Malaysia. Dan hasilnya adalah bahwa
perbedaan dalam pelaksanaan mahar di Indonesia dan Malaysia tidak lepas
dari hukum adat dan pengaruh mazhab yang berperan besar dalam
pembentukan mahar di dalam undang-undang Negara. Sedangkan penelitian
penulis membahas tentang penerapan kadar mahar perkawinan pada
29
Abdul Kadir, Penerapan Batas Minimal Mahar dalam Peraturan Perundang-
Undangan (Studi Pandangan Pakar Hukum dan Praktisi KUA Kabupaten Jember), Tesis (Malang:
UIN Maulana Malik Ibrahim, 2013)
30
Muhammad Shobirin, Studi Komparasi Penerapan Mahar di Indonesia dan Malaysia,
Tesis (Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim, 2013).
10
31
Sandias Utami, Rekonseptualisasi Kadar Mahar Berbasis Kesederhanaan dan
Kemudahan (Studi Pasal 31 Inpres No. 1 Tahun 1991) Tentang Kompilasi Hukum Islam. Tesis
(Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim, 2015)
32
Aris Nur Qadar Ar-Razak, Praktek Mahar dalam Perkawinan Adat Muna (Studi di
Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara), Tesis (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2015)
11
F. Kerangka Teori
Adapun Teori yang digunakan dalam suatu penelitian, selain untuk mengkaji
dan menganalisis suatu permasalahan secara mendalam, juga untuk
mengungkapkan fenomena-fenomena hukum, baik dalam tataran hukum normatif
maupun empiris.33 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori, di
antaranya:
1. Teori ‘Urf
Menurut Abdul Wahhab Khalaf, „Urf adalah sesuatu yang telah diketahui
oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, baik dari perkataan atau
perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan. Hal ini juga dinamakan adat. Dan
menurut para ahli hukum Islam tidak ada perbedaan antara al-„urf dengan al-
„âdah. Para ulama sepakat bahwa „urf sahîh dapat dijadikan dasar hujjah Selama
tidak bertentangan dengan syarak. 34
Sebagaimana firman Allah pada surat Al-A‟raf ayat 199, yang
menyebutkan bahwa “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma‟ruf, serta berpalinglah dari orang-orang bodoh.” Ayat ini menjelaskan
bahwa Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma„rûf.
Sedangkan makna dari ma„rûf itu sendiri adalah suatu kebaikan, yang dikerjakan
berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar, yang
bimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.
2. Teori Realisme Hukum (Realist Jurisprudence)
Realisme Hukum adalah suatu studi tentang hukum sebagai sesuatu yang
benar-benar secara nyata dilaksanakan, daripada sekedar hukum sebagai sejumlah
aturan yang hanya termuat dalam perundang-undangan, tetapi tidak pernah
dilaksanakan.35 Bagi realisme hukum, hukum dapat direduksi sebagai fakta sosial
atau hukum dilihat sebagai produk interaksi sosial. Realisme Hukum memisahkan
33
Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitia Tesis dan
Disertasi Buku Ke-Satu, (Jakarta: Rajawali Press, 2017), h. 1
34
Abdul Wahhab Khallaf, „Ilmu Al-Usul Al-Fiqh, (Damaskus: Darul Qalam, 1978), h. 89
35
Mahrus Ali, Pemetaan Tesis dalam Aliran-Aliran Filsafat Hukum dan Konsekuensi
Metodologisnya, Jurnal Hukum Ius Quia Lustum Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia,
Vol. 24 Issue 2, April 2017, hal. 219
12
antara hukum dan moral, dan lebih mementingkan fakta sosial. Realisme Hukum
berarti berhubungan dengan dunia nyata, dunia sebagaimana ia nyata sekarang.
Menurut Karl N. Liewellyn, seorang realis yang terkemuka, Hukum adalah
sarana untuk mencapai tujuan sosial, dan bukan menjadi tujuan itu sendiri,
sehingga harus diketahui efeknya. Hukum dan masyarakat berada dalam
perubahan secara terus-menerus, walaupun perubahan hukum tertinggal dari
perubahan masyarakat, hukum harus terus menerus dikembangkan.36
3. Teori Sistem Hukum (Legal System Theory)
Teori ini menyatakan bahwa Lawrence M. Friedman membagi sistem
hukum (legal system) ke dalam tiga komponen, yaitu stuktur, substansi dan
budaya. Adapun budaya hukum (legal culture) didefinisikan Friedman sebagai
“the element of sosial attitude and value.” Budaya hukum adalah nilai-nilai dan
perilaku. Juga merupakan kekuatan sosial yang secara konstan, tetapi tidak secara
langsung bekerja dalam suatu sistem hukum. Budaya Hukum dapat berupa
kebiasaan, pendapat-pendapat, cara berpikir dan bertindak yang menentukan
kekuatan sosial untuk menuju atau menjauh dari hukum. Sehingga, Budaya
Hukum merupakan faktor yang menentukan terhadap pembentukan hukum pada
suatu Negara.37
G. Metode Penelitian
Dalam penulisan tesis ini ada beberapa aspek metode penelitian yang akan
digunakan yaitu :
1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan didukung data
empiris. Data empiris digunakan untuk mengetahui sejauhmana bekerjanya
hukum di dalam masyarakat, karena yang diteliti dalam penelitian hukum empiris
adalah perilaku hukum masyarakat sebagai fakta sosial, atau fakta tentang
36
Supriyanta, Realisme Hukum dan Kritiknya Terhadap Positivisme Hukum, h. 7
37
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Etika dan Budaya Hukum dalam Peradilan,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, Juli 2017), h. 28
13
2. Pendekatan Penelitian
Sifat penelitian menggunakan deskriptif-analisis, yakni penulis
menggunakan cara menggambarkan aturan, dan fenomena yang mempunyai
hubungan dengan mahar kemudian dianalisis dengan menggunakan beberapa
pendekatan sesuai dengan pendapat dari Peter Mahmud Marzuki, diantaranya:
Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach): merupakan pendekatan
yan dilakukan dengan cara menelusuri atau membahas konsep, doktrin atau
pendapat dari para para pakar sebagai pendukung dari pembahasan terhadap isu
hukum dalam penelitian ini.39 Pendekatan konseptual ini digunakan untuk
memperoleh kejelasan dan pembenaran ilmiah berdasarkan konsep-konsep hukum
yang bersumber dari prinsip-prinsip dan asas-asas hukum.40 Adapun konsep yang
akan dianalisa yaitu adalah konsep mahar dalam perundang-undangan dan
ketentuan adat.
Pendekatan Historis (Historical Approach): merupakan pendekatan yang
dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan
isu yang sedang dihadapi.41 Pendekatan ini diperlukan peneliti untuk mengungkap
filosofi dan pola pikir yang melahirkan sesuatu yang sedang dipelajari. Penulis
melakukan analisis latar belakang meningkatnya kadar mahar pada masyarakat
Indonesia dan Malaysia.
Pendekatan Komparatif (Comparative Approach) merupakan pendekatan
yang dilakukan untuk membandingkan undang-undang satu Negara dengan
38
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju,
2008), h. 123; Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia
UI-Press, 2015) H. 79
39
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 137
40
Ahmad Rifa‟I, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Prespektif Hukum Progresif,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.43
41
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 126
14
Negara lain mengenai hal yang sama. 42 Dengan pendekatan komparatif ini,
penulis membandingkan penerapan peraturan pemerintah Indonesia dan Malaysia
tentang pemberian mahar pada masyarakat Aceh dan Selangor.
3. Data penelitian
a. Sumber Data
1) Bahan Hukum Primer
a) Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat, Tokoh Agama, Ketua KUA,
masyarakat Aceh dan Selangor.
b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
c) Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
Pasal 30 s/d 38
d) Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 5 Tahun 2016
tentang Mahar dalam Perspektif Fiqh, Undang-Undang dan Adat Aceh
e) Enakmen 2 Tahun 2003, Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam
(Negeri Selangor) 2003, Seksyen 21
f) Warta Kerajaan Selangor, Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri
Selangor) 2003, Fatwa dibawah Seksyen 47, (Selangor: 4 Februari 2010)
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku tentang
Perkawinan Islam, Hukum Keluarga Islam, Kitab-Kitab Fikih, jurnal dan
artikel yang berkaitan dengan permasalahan mahar, seperti catatan atau
laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang
dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum yang digunakan penulis adalah Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Kamus Hukum dan Ensiklopedia.
b. Teknik pengumpulan data
Terdapat tiga macam cara pengumpulan data yang akan penulis
gunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
42
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 132
15
1
Ahmad Rabi‟ Jabir al-Rahili, Mahar kok Mahal Menimbang Manfaat dan Mudaratnya,
(Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2014), h. 10; Abdul Kohar, “Kedudukan dan Hikmah
Mahar Dalam Perawinan,” dalam jurnal Hukum dan Ekonomi Islam, Juni 2016, h.43
2
Abdul Rahman al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh „Alâ al-Madzâhib al-Arba‟ah, (Beirut-Lebanon:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2003), Jilid 4, h. 89; Wahbah al-Zuhailî, Al-Fiqh al-Islâmî wa
Adillatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1985) Jilid 7, h. 251; Al-Imâm „Alau al-ddin Abu Bakar bin
Mas„ud, Badâi„u al-Sanâi„i Fi Tartîbi al-Syarâi„, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah)
Jilid 3, h. 512
3
Halimah B, “Konsep Mahar (Mas Kawin) Dalam Tafsir Kontemporer,” dalam jurnal
Al-Risalah Vol. 15 No. 2 Nopember 2015, h. 162
16
17
wanita tersebut. Apabila wanita tersebut dikawinkan, mahar yang diberikan oleh
mempelai laki-laki akan menjadi milik wali atau penjaganya. Secara tidak
langsung, mahar digambarkan sebagai pembelian wanita.
Menurut „Abdurrahman al-Juzairi dalam kitab al-Fiqh „alâ Madzâhib al-
Arba‟ah disebutkan bahwa mengenai jumlah rukun maupun syarat nikah, para ahli
fiqih berlainan pendapatnya. Kalangan mazhab Malikiyah menyebutkan 5 macam
rukun nikah, yaitu: (1) wali mempelai perempuan (2) mahar (3) calon mempelai
suami (4) calon mempelai istri (5) sighat akad yaitu ijab dan kabul. Mazhab
Syafi‟iyah juga menyebutkan 5 macam rukun nikah, yaitu: (1) calon suami (2)
calon istri (3) wali nikah (4) dua orang saksi (5) sighat akad yaitu ijab dan kabul.
Dalam hal ini dapat dipahami bahwa rukun nikah yang disepakati oleh semua
kalangan mazhab fiqih (terutama Hanafiah, Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah)
ialah hanya sighat akad (Ijab dan Kabul). 4
Menurut Jumhur Ulama, mahar tidak menjadi salah satu syarat dan rukun
perkawinan, sehingga sebuah perkawinan tanpa mahar atau tanpa menyebut
mahar pada saat akad nikah berlangsung, tetap sah, sepanjang memenuhi syarat
dan rukun perkawinan. Namun demikian, kedudukan mahar sangat penting dalam
perkawinan karena mahar merupakan salah satu syarat yang dapat menghalalkan
hubungan suami istri, yaitu interaksi timbal balik yang disertai landasan kasih
sayang dengan peletakan status kepemimpinan keluarga kepada suami dalam
kehidupan berumah tangga.5 Selain untuk menunjukkan kesakralan akad
pernikahan, mahar juga sebagai tanda kesungguhan niat baik pihak laki-laki dalam
membangun mahligai rumah tangga.6
4
Abdul Rahman al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh „Alâ al-Madzâhib al-Arba‟ah, (Beirut-Lebanon:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2003), Jilid 4, h. 16; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm wa
Adillatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1989), Jilid VII, h. 36; Muhammad Amin Suma, Kawin Beda
Agama di Indonesia Telaah Syariah dan Qanuniah, (Jakarta: Lentera Hati, 2015), h. 39
5
Abdul Kohar, “Kedudukan dan Hikmah Mahar Dalam Perawinan,” dalam jurnal
Hukum dan Ekonomi Islam, Juni 2016, h.42; Harijah Damis, “Konsep Mahar Dalam Perspektif
Fikih dan Perundang-Undangan,” dalam jurnal Yudisial No. 9 April 2016, h. 22
6
Abu Bilal Juli Dermawan, Mahar, dalam Majalah Al-Sunnah Baituna, Edisi 9 Tahun
1437/2016, h. 10
18
7
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 61; Abu Malik Kamal bin Al-Sayyid
Salim, Sahih Fiqh al-Sunnah, (Mesir: Al-Maktabah At-Taufiqiyah, 2003) Jilid 3, h. 160
8
Abdul Kohar, “Kedudukan dan Hikmah Mahar Dalam Perawinan,” dalam jurnal
Hukum dan Ekonomi Islam, Juni 2016, h.42; Abdul Adzim Badawi, Al-Wajiz fi Fiqh Al-Sunnah
wa Al-Kitab Al-„Aziz, (Mesir: Darul Ibn Rajab, 2001), h. 228
9
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2015), h. 71
10
Harijah Damis, “Konsep Mahar Dalam Perspektif Fikih dan Perundang-Undangan,”
dalam jurnal Yudisial No. 9 April 2016, h. 23
11
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1 dilengkapi Perbandingan UU Negara
Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: Tafazza, 2013), h. 133
19
Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka
dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan
suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula),
Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan
ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa istri yang diceraikan sebelum
berhubungan dan jumlah mahar belum ditentukan, maka mahar boleh tidak
dibayarkan, tetapi suami harus memberikan uang konpensasi (mut‟ah) sesuai
dengan kemampuan suami.
)ٕٖٚ :ٕ/)البقرة
Artinya: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur
dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan
maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan
itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang
yang memegang ikatan nikah dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada
takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.”
)ٕٗ :ٗ/ )النساء… ...
Artinya: “…Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban…”
Ayat di atas menjelaskan bahwa mahar merupakan hak istri yang diterima
dari suami, pihak suami memberikannya dengan suka rela tanpa mengharapkan
imbalan, sebagai pernyataan kasih sayang dan tanggungjawab suami atas
kesejahteraan keluarganya.
Artinya: “…karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah
maskawin mereka menurut yang patut…”
Allah berfirman dalam surat Al-Nisâ ayat 4:
)٘ :٘/)املائدة
Artinya: “Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin
mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan
tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah
amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.”
Allah berfirman dalam surat Al-Mumtahanah ayat 10:
…
Artinya: “…dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah
mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu
bayar kepada mereka maharnya …”
12
Abd. Kohar, “Kedudukan dan Hikmah Mahar Dalam Perkawinan”, dalam Asas Jurnal
Hukum dan Ekonomi Islam, Vol. 8, No. 2 tahun 2016, h. 42
22
3. Syarat-Syarat Mahar
13
Abdul Rahman al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh „Alâ al-Madzâhib al-Arba‟ah, (Beirut-Lebanon:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2003), Jilid 4, h. 90; Abdul Kohar, “Kedudukan dan Hikmah Mahar
dalam Perawinan,” h.43
23
14
Darmawan MHI, Eksistensi Mahar & Walimah, (Surabaya: Srikandi, 2007), h. 19
15
Ahmad Rabi‟ Jabir al-Rahili, Mahar kok Mahal Menimbang Manfaat dan Mudaratnya,
(Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2014), h. 72
16
Al-Imâm „Alau al-ddin Abu Bakar bin Mas„ud, Badâi„u al-Sanâi„i Fi Tartîbi al-
Syarâi„, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah) Jilid 3, h. 530
24
5. Macam-Macam Mahar
Mahar dapat berupa sesuatu yang dapat dimiliki atau diambil manfaatnya,
atau sesuatu yang dapat dijadikan pengganti atau ditukarkan. Adapun macam-
macam mahar adalah:
a. Mahar Musammâ
Mahar Musammâ adalah mahar yang disebutkan/ditentukan/ dijanjikan
kadar dan besarnya dalam akad nikah.17 Mahar musammâ merupakan mahar yang
telah jelas dan ditetapkan bentuk dalam jumlahnya dalam sighat akad.18 Ulama
Fiqh sepakat bahwa dalam pelaksanaannya, mahar musammâ harus diberikan
secara penuh apabila:
1) Telah bercampur (bersenggama).19 Artinya, mahar musammâ wajib dibayar
oleh suami apabila telah terjadi hubungan suami istri, meskipun di
kemudian hari dinyatakan bahwa pernikahannya rusak dengan sebab-sebab
tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan
padahal janda, atau hamil dari bekas suami lama. Allah berfirman:
20
Abdullah bin Muhammad al-Mutlaq, Fiqh al-Sunnah al-Muyassar, (Riyâd: Kunûz
Isybaliyâ, 2008), jilid 3, h. 280; Abû Mâlik Kamâl bin al-Sayyid Sâlim, Sahih Fiqh al-Sunnah,
(Mesir: Al-Maktabah al-Taufîqiyyah, 2003) Jilid 3, h. 169; Abdul Adzîm Badawi, Al-Wajîz fî Fiqh
al-Sunnah wa al-Kitâb al-„Azîz, (Mesir: Dâr al-Ibn Rajab, 2001), h. 283; Al-Sayyid Sâbiq, Fiqh al-
Sunnah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983), Jilid 2, h.140
21
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: RM Books, 2012), h. 127; Muhammad Abu Zahrah, Muhadarah fî „Aqdi al-
Zuwâj wa âtsâruhu, (Dâr al-Fikr al-„Arab), h. 243; Harijah Damis, “Konsep Mahar Dalam
Perspektif Fikih dan Perundang-Undangan,” dalam jurnal Yudisial No. 9 April 2016, h. 25
22
Wahbah al-Zuhailî, Fiqh Imâm al-Syâfi‟î, Jilid 2, h. 243
26
sebagai bentuk jual beli. Dalam perkawinan, Islam memelihara hak istri atas suatu
kedudukan ekonomi yang sesuai dengan kedudukan sosialnya sendiri. 23
a. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika akad nikah,24
b. Apabila suami menyebutkan mahar musammâ, namun mahar tersebut tidak
memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat, seperti mahar
minuman keras.25
c. Apabila suami menyebutkan mahar musammâ, namun kemudian suami-istri
berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat
diselesaikan.26
23
Darmawan MHI, Eksistensi Mahar & Walimah, (Surabaya: Srikandi, 2007), h. 14
24
Muhammad Abu Zahrah, Muhadarah fî „Aqdi al-Zuwâj wa âtsâruhu, (Dâr al-Fikr al-
„Arab), h. 242
25
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Muhakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 89
26
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 8
27
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuhu, (Damaskus: Darul Fikr, 1985) Jilid 7,
h.251
27
berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimal dari jumlah mahar yang wajib
diberikan kepada istri, pendapat tersebut berdasarkan pada firman Allah:
)ٕٓ :ٗ/ ) النساء
Artinya:“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang
kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan
tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata”
ب فِْي ِو ِ ِ ِ
َ َو َذل. الَ أ ََرى أَ ْن تَ ْن ِك َح امل ْرأَةُ ِِبَقَ ّل ِم ْن ُربْ ِع ديْنَا ٍر:ك
ُ ك أدْنَى َما ََي
َ ِ َ َق
ُ ال َمال
َ ٕٛ
ال َقطْ ُع
Artinya: “Saya tidak pernah melihat seorang wanita dinikahkan dengan mahar
kurang dari ¼ dinar, dan itu adalah batasan minimal yang mewajibkan
adanya potong tangan”
Dalam hal ini Imam Mâlik menganalogikan mahar dengan sesuatu yang
mewajibkan adanya potong tangan dalam masalah pencurian. Artinya Imam
Mâlik berpendapat bahwa dalam perkawinan terdapat anggota tubuh yang
dihalalkan karena harta, oleh karenanya mahar harus ditentukan batas terendahnya
sebagaimana adanya batasan terendah harta yang dicari untuk dapat menghalalkan
adanya hukuman potong tangan dalam pencurian.
Ukuran ¼ dinar itu sama dengan 3 dirham atau sesuatu yang bermanfaat
dan untuk dimiliki yang sebanding dengannya. Apabila 1 dirham sama dengan
1,12 gr emas, maka 3 dirham sekitar 3,36 gr emas. 29 Apabila mahar tersebut
kurang dari 3 dirham dan suami telah dukhul maka akadnya tetap sah dan ia wajib
28
Mâlik bin Anas, Muwato‟ Mâlik, 1985, Jilid 2, h. 526
29
Abdul Rahman al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh „Alâ al-Madzâhib al-Arba‟ah, (Beirut-Lebanon:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2003), Jilid 4, h. 91; Husain bin Muhammad al-Mahalli al-Syâfî‟î, Al-
Ifsah „An „Aqdi Al-Nikah „Alâ Al-Madzahib al-Arba‟ah, (Syiria: Dâr al-Qalam al-„Arab,1995), h.
83
28
Menurut Imam Abû Hanîfah, hadis tersebut dilihat dari sanadnya, maka
statusnya adalah hasan. Apabila seorang suami dalam akad nikahnya memberikan
mahar kurang dari 10 dirham, maka pernikahannya dianggap sah, tetapi tetap
wajib membayar 10 dirham (dalam perjalanan pernikahannya, terutama setelah
terjadi khalwah atau dukhul), hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah di atas. 33
30
Imâm Mâlik bin Anas, Al-Mudawwanah al-Kubra, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah,
1994), Jilid 2, h. 152
31
Wahbah al-Zuhailî, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1985)
Jilid 7, h. 251; Husain bin Muhammad al-Mahalli al-Syâfî‟î, Al-Ifsah „An „Aqdi Al-Nikah „Alâ Al-
Madzahib al-Arba‟ah, (Syiria: Dâr al-Qalam al-„Arab,1995), h. 83
32
Muhammad „Ali Al-Syaukânî, Ahâdîs al-Ahkâm Nail al-Autâr, (Dâr al-hadits, 1993),
Jilid 6, h. 200
33
Al-Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983), Jilid 2, h.135
29
ِّ اع ِد ِ
َّ ي أ
َن ِ الس َّ ك َع ْن أَِب َحا ِزم بْ ِن ِدينَا ٍر َع ْن َس ْه ِل بْ ِن َس ْع ٍد ٍ ِح َّدثَِن ََْيي َعن مال
َ ْ َ َ
َِّ ول ِ َّ اّللِ صلَّى
ت ُ اّلل إِِّن قَ ْد َوَىْب َ ت َي َر ُس ْ َاّللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َجاءَتْوُ ْامَرأَةٌ فَ َقال َ َّ ول َ َر ُس
اّللِ َزِّو ْجنِ َيها إِ ْن َلْ تَ ُك ْن
َّ ول َ ال َي َر ُس َ ت قِيَ ًاما طَ ِو ًيل فَ َق َام َر ُج ٌل فَ َقْ ك فَ َق َام َ َنَ ْف ِسي ل
اّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َى ْل ِعْن َد َك ِم ْن َش ْي ٍء َّ صلَّى َ اّلل
َِّ ول ُ ال َر ُس َ اجةٌ فَ َق َ ك ِبَا َح
ِ َل
َ
اّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم
َّ صلَّى َِّ ول َ ال َما ِعْن ِدي إَِّال إَِزا ِري َى َذا فَ َق َ ص ِدقُ َها إِ َّيهُ فَ َق
َ اّلل ُ ال َر ُس ْ ُت
الَ َال َما أ َِج ُد َشيْ ئًا ق َ س َشيْ ئًا فَ َق ِ َ َإِ ْن أ َْعطَي تَ ها إِ َّيه جلَست َال إَِزار ل
ْ ك فَالْتَم َ َ ْ َ ُ َ ْ
34
Abdul Rahman al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh „Alâ al-Madzâhib al-Arba‟ah, (Beirut-Lebanon:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2003), Jilid 4, h. 91
35
Wahbah al-Zuhailî, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1985)
Jilid 7, h. 251
30
Hadis di atas menunjukkan bahwa mahar itu boleh dalam jumlah yang
sedikit, termasuk cincin dari besi, atau mengajarkan Al-Qur‟an. Bahkan Imam
Syâfi‟i membolehkan mahar dengan sepasang sandal atau segenggam gandum. 37
Walaupun Imam Syâfi‟i tidak membatasi jumlah maksimal mahar, tetapi beliau
menganjurkan agar kadar mahar yang diberikan kepada istri tidak melebihi 500
dirham, karena mencari keberkahan dengan mengikuti perbuatan yang dilakukan
oleh Rasulullah.38 Sebab mahar yang diberikan Rasulullah kepada istri-istrinya
kecuali Ummu Habibah adalah 12 ½ Uqiyah, 1 Uqiyah = 40 dirham, sehingga 12
½ Uqiyah sama dengan 500 dirham. Dan 1 dirham beratnya 1,12 gr emas.
Sehingga 500 Dirham beratnya sekitar 560 gr emas. Sedangkan yang diberikan
36
Abû Dâud Sulaimân bin Al-Asy‟at, Syarh Al-Zarqâni „Ala Al-Muata wa bihâmisyihi
sunan Abi Dâud, (Cairo: Maktabah Al-Tsaqâfah Al-Dîniyyah, 2003), Jilid ke 3, h. 5; Mâlik bin
Anas, Muwata‟ Mâlik, 1985, Jilid 2, h. 526
37
Mustofa al-Khin, Al-Fiqh al-Manhajî „Alâ Madzab al-Imâm al-Syâfi‟i, (Damaskus: Dâr
al-Qalam, 1996), Juz 4, h. 77
38
Muhammad bin Idrîs Al-Syâfi‟î, Al-Um, Jilid 6, 2001, h.152
31
Rasulullah kepada Ummu Habibah adalah 400 dinar, 1 dinar = 12 dirham, berarti
400 dinar = 4800 dirham atau seberat 5376 gr emas.39
Imam Zakariyâ Al-Ansârî (salah satu ulama Syâfi‟iyah) berpendapat
bahwa mahar yang melebihi dari 500 dirham ketika akad hukumnya adalah
makruh, dan sahabat Umar dalam salah satu khutbahnya berkata: “Janganlah
kamu semua berlebih-lebihan dalam memberikan mahar kepada wanita, karena
seandainya wanita itu dimuliakan di dunia atau taqwa di sisi Allah, maka
Rasulullah lebih utama daripada kamu semua tentang masalah tersebut”.
Dari dalil tersebut, Imam Syâfi‟i berpendapat bahwa makruh hukumnya
berlebih-lebihan dalam memberikan mahar kepada wanita. Maksudnya berlebih-
lebihan yang sampai menyulitkan suami, serta disunahkan meringankan beban
mahar. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi SAW:
39
Mustafa al-Khin, Al-Fiqh al-Manhajî „Alâ Madzab al-Imâm al-Syâfi‟i, (Damaskus: Dâr
al-Qalam, 1996), Juz 4, h. 78
40
Muhammad bin Alî Al-Syaukânî, Nailu al-Autar, (Dâr al-Hadîs, 1993) Jilid 6, hadis ke
2732, h. 199
41
Wahbah al-Zuhailî, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1985)
Jilid 7, h. 251; M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Siraja,
2003), h. 113
32
hubungan. Jadi, kewajiban membayar mahar bukan pada waktu transaksi tetapi
setelah terjadi berhubungan. Oleh karena itu, apabila fasakh terjadi sebelum
dukhul, maka suami tidak wajib membayar mahar. Begitu halnya apabila suami
sudah dukhul tetapi ia tertipu, maka suami tidak wajib membayar mahar.
Namun tidak ada penjelasan rinci mengenai maksud tertipu. Misalnya
tertipu dari segi keturunan atau keperawanan. 42 Dicontohkan, apabila dalam satu
perkawinan disyaratkan perawan/gadis tetapi ternyata yang bersangkutan janda
dapat menjadi alasan untuk terjadi fasakh. Sementara kalau ditalak sebelum
dukhul, mahar wajib dibayar setengah. Hal ini juga ditegaskan bahwa istri berhak
menolak hubungan dengan suami dengan alasan karena suami belum membayar
mahar. Dengan demikian, para prinsipnya pandangan mazhab Hanbalî ini sama
dengan mazhab lain, bahwa mahar tidak harus ada ketika melakukan akad nikah.
Demikian pula dari penjelasan di atas, bahwa jumlah mahar menurut mazhab
Hanbalî adalah sesuai dengan kepantasan (mitsl).
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa mahar yang dinyatakan dalam
bentuk tertentu dan rusak sebelum diterima atau sesudahnya sudah menjadi
tanggungan istri, sedangkan apabila mahar itu dalam bentuk yang tidak jelas dan
hilang atau rusak sebelum diterimanya, maka menjadi tanggungjawab suami.
7. Hikmah Mahar
Mahar sebagai salah satu sistem dan aturan yang ditetapkan Allah untuk para
hamba-Nya, juga memiliki hikmah yang dikehendaki-Nya, di antaranya:
a. Mahar sebagai simbol kesanggupan menafkahi seorang suami kepada
istri.
Dalam Islam, Allah menetapkan seorang laki-laki untuk bertanggungjawab
terhadap istrinya, baik dalam hal menafkahinya, merawatnya dan melindunginya.
Dalam surat Al-Talaq ayat 7, Allah berfirman:
42
Husain bin Muhammad al-Mahalli al-Syâfî‟î, Al-Ifsah „An „Aqdi Al-Nikah „Alâ Al-
Madzahib al-Arba‟ah, (Syiria: Dâr al-Qalam al-„Arab,1995), h. 85
33
ِ ِ ِ ِ ِِ ٍِ ِ ِ
ُ ّليُ ْنف ْق ذُ ْو َس َعة ّم ْن َس َعتو َوَم ْن قُد َر َعلَ ْي ِه ِرْزقُوُ فَ ْليُنْف ْق مَّآ أتَاهُ للاُ الَ يُ َكل
ُف للا
)ٚ :ٙ٘/نَ ْف ًسا إِالَّ َماأَتَ َىا َسيَ ْج َع ُل للاُ بَ ْع َد ُع ْس ٍر يُ ْسًرا (الطلق
Artinya: Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut
kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani
kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.
Seorang wanita baik seorang ibu, kakak, anak, istri, mampu bekerja
maupun tidak, miskin maupun kaya, tidak dibebani memberi nafkah keluarga,
meskipun suaminya miskin. Kepemimpinan laki-laki atas wanita adalah perkara
yang ditetapkan berdasarkan kehidupan hidup mulia dari dua sisi, yaitu fitrah dan
pemikiran. Adapun dari sisi fitrah, ciri dan sifat kejiwaan yang ada pada masing-
masing laki-laki dan wanita secara umum membuat laki-laki lebih mampu secara
sempurna untuk mengemban tugas administrasi dan pengaturan keluarga,
melindungi, memimpin, dan terus memikirkan kebaikannya, serta bisa
mengeluarkan perintah dan larangan untuk seluruh anggotanya. Oleh sebab itulah,
kewajiban membayar mahar hanya diwajibkan kepada pihak laki-laki, bukan
kepada perempuan.43
Dalam hal ini, mahar adalah simbol kesanggupan menafkahi seorang
suami kepada istri, karena kewajiban memberi nafkah hanya dibebankan kepada
pihak laki-laki, maka sekaya apapun seorang istri, sekonglomerat apapun seorang
istri, tidak menggugurkan kewajiban suami untuk menafkahi. Begitu halnya
mengenai mahar, sekaya apapun seorang perempuan, tidak menggugurkan
kewajiban suami untuk memberikan mahar.
b. Mahar bertujuan untuk memuliakan wanita
Mahar merupakan suatu simbol penghargaan untuk memuliakan,
menghormati dan simbol keinginan untuk membahagiakan perempuan yang akan
43
Ahmad Rabi‟ Jabir al-Rahili, Mahar kok Mahal Menimbang Manfaat dan Mudaratnya,
(Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2014), h. 20
34
menjadi istrinya.44 Hal itu berarti bahwa Islam sangat menjunjung tinggi hak
perempuan dengan dengan memberinya hak untuk menerima mahar dan
memberikan perlindungan hukum kepada kaum perempuan.
Mahar merupakan salah satu hak mutlak perempuan (hak istri) akibat
terjadinya perkawinan. Artinya, Mahar yang telah diberikan kepada istri, menjadi
hak milik istri, sehingga pemilik mahar mempunyai hak untuk mengelola sendiri
maharnya. Tidak seorang pun yang boleh bertindak hukum apapun terhadap
mahar itu, kecuali dirinya sendiri. Bahkan, orang yang paling dekat dengannya
tidak berhak, selama ia tidak mengizinkannya kecuali dengan kerelaan perempuan
tersebut.45 Mahar merupakan pemberian wajib, bukan ganti rugi dan pembelian
dari orangtuanya, sehingga tidak dapat ditarik kembali. 46
c. Mahar adalah modal seorang wanita dalam mempersiapkan dirinya
sendiri
Sebelum menikah, seorang wanita tinggal di rumah bapaknya dalam
keadaan terhormat dan masih dibiayai bapaknya sesuai kemampuan. Setelah
menikah, mahar menjadi dana pendukung bagi wanita dalam membeli segala
keperluan, perlengkapan dan kebutuhannya, baik berupa pakaian, perhiasan,
maupun keperluan lainnya.47 Oleh karena itu, Allah SWT mewajibkan mahar dan
disunnahkan bagi suami agar menyerahkan sebagian mahar kepada calon istrinya
walaupun sedikit, sebelum pernikahan dilangsungkan.
44
Engkos Kosasih, “Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya
dalam UU Perkawinan Aljazair,” dalam jurnal Bimas Islam, Vol. 9 No.2, Tahun 2016, h. 226;
Harijah Damis, “Konsep Mahar Dalam Perspektif Fikih dan Perundang-Undangan,” dalam jurnal
Yudisial No. 9 April 2016, h. 20
45
Al-Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983), Jilid 2, h.135; Abû
Mâlik Kamâl bin al-Sayyid Sâlim, Sahih Fiqh al-Sunnah, (Mesir: Al-Maktabah al-Taufîqiyyah,
2003) Jilid 3, h. 166; Abdul Adzîm Badawi, Al-Wajîz fî Fiqh al-Sunnah wa al-Kitâb al-„Azîz,
(Mesir: Dâr al-Ibn Rajab, 2001), h. 282; Mustafa al-Khin, Al-Fiqh al-Manhajî „Alâ Madzab al-
Imâm al-Syâfi‟i, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1996), Juz 4, h. 77; Al-Imâm „Alau al-ddin Abu Bakar
bin Mas„ud, Badâi„u al-Sanâi„i Fi Tartîbi al-Syarâi„, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah)
Jilid 3, h. 519; Abdul Majid Khon, Fikih Munakahat, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 177-178; Abdul
Kohar, “Kedudukan dan Hikmah Mahar Dalam Perawinan,” dalam jurnal Hukum dan Ekonomi
Islam, Juni 2016, h.49; Ahmad Rabi‟ Jabir al-Rahili, Mahar kok Mahal Menimbang Manfaat dan
Mudaratnya, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2014), h. 16
46
Harijah Damis, “Konsep Mahar Dalam Perspektif Fikih dan Perundang-Undangan,”
dalam jurnal Yudisial No. 9 April 2016, h. 24
47
Mustafa al-Khin, Al-Fiqh al-Manhajî „Alâ Madzab al-Imâm al-Syâfi‟i, (Damaskus: Dâr
al-Qalam, 1996), Juz 4, h. 76
35
48
Darmawan MHI, Eksistensi Mahar & Walimah, (Surabaya: Srikandi, 2007), h. 10
49
Harijah Damis, “Konsep Mahar Dalam Perspektif Fikih dan Perundang-Undangan,”
dalam jurnal Yudisial No. 9 April 2016, h. 25
50
Linda Firdawaty, Analisis Terhadap UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Peradilan Agama, dalam jurnal Al-„Adalah Vol. X, No. 2 Juli 2011
36
kepastian hukum bahwa mahar bukanlah rukun nikah; 3). Untuk menetapkan etika
mahar dengan asas kesederhanaan dan kemudahan, bukan didasarkan atas asas
prinsip ekonomi, status, dan gengsi; 4). Dan untuk menyeragamkan konsepsi
yuridis dan etika mahar agar terbina ketentuan dan persepsi yang sama di
kalangan masyarakat dan aparat penegak hukum.
Kompilasi Hukum Islam disahkan pada tanggal 10 Juni 1991 sebagai
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991. Selain Instruksi
Presiden, juga dalam bentuk Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991. Dalam KHI, pembahasan
mahar diawali dengan penegasan kewajiban calon mempelai suami memberikan
mahar kepada calon istri, seperti diatur pada Pasal 30 KHI sebagai berikut:
Pasal 30: Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon
mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua
belah pihak.
Ada dua hal yang menjadi pedoman dan acuan dalam penentuan bentuk
dan jenis mahar, di antaranya pertama mahar ditentukan berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak. Kedua, mahar ditentukan berdasarkan asas kesederhanaan dan
51
H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.
25
37
Garis hukum dari Pasal 32 KHI, bahwa mahar merupakan hak mutlak bagi
pihak calon mempelai wanita. Mahar diberikan langsung kepadanya tanpa
perantara. Hal ini menunjukkan bahwa hak pribadi itu melekat pada diri istri
sepenuhnya, oleh karena itu, pemanfaatan mahar harus sesuai keikhlasan pemilik
hak tersebut.
Pasal 33: 1). Penyerahan mahar dilakukan secara tunai. 2). Apabila calon
mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan, baik
untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan
penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria. 55
52
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), h.
148
53
Mahmud Ibrahim, Mahar Dalam Prespektif Fiqh, Undang-Undang dan Adat Aceh,
Kumpulan Makalah/Risalah Sidang Paripurna V, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, 11
Agustus 2016
54
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2015), h. 85
55
Budi Durachman, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Fokus Media, 2005), h. 14
38
Garis Hukum Pasal 34 KHI di atas, bahwa mahar bukan merupakan rukun
dalam pelaksanaan perkawinan, melainkan salah satu syarat sahnya suatu
hubungan perkawinan antara suami dengan istrinya atau istri dengan suaminya. 57
Dalam arti, apabila mahar tidak disebutkan dalam proses akad nikah, tidak
menyebabkan akad nikah tersebut menjadi batal. 58 Apabila terjadi perceraian, baik
cerai hidup maupun cerai mati, penyerahan mahar diatur pada pasal 35 KHI
sebagai berikut:59
Pasal 35:1). Suami yang menalak istrinya qobla al-dukhul wajib
membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah. 2).
Apabila suami yang meninggal dunia qobla al-dukhul, seluruh mahar yang
ditetapkan menjadi hak penuh istrinya. 3). Apabila perceraian terjadi qobla
al-dukhul, tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib
membayar mahar mitsl
Garis Hukum Pasal 35 KHI di atas, bahwa suami yang mentalak istrinya
sebelum bercampur, maka mahar yang diberikan adalah separuh. Apabila suami
meninggal sebelum bercampur, maka mahar yang diberikan adalah penuh.
Penyelesaian sengketa mahar menjadi kewenangan pengadilan agama yang diatur
secara eksplisit pada Pasal 37 KHI sebagai berikut:60
Pasal 37: Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar,
penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.
56
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan), (Jakarta: Kencana, 2014), h. 98
57
H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.
25
58
Mahmud Ibrahim, Mahar Dalam Prespektif Fiqh, Undang-Undang dan Adat Aceh,
Kumpulan Makalah/Risalah Sidang Paripurna V, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, 11
Agustus 2016
59
Abdul Rahman Ghozali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 95
60
M.A. Tihami dan Drs. Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap),
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014, h. 55
39
61
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1 dilengkapi Perbandingan UU Negara
Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: Tafazza, 2013), h. 155
62
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011) h.
147
40
tidak mengatur secara eksplisit yang menjelaskan batasan minimal dan maksimal
mahar.63
Untuk wilayah Aceh, para ulama yang terhimpun dalam Majelis
Permusyawaratan Ulama Aceh mengeluarkan fatwa Nomor 5 Tahun 2016 tentang
Mahar dalam Perspektif Fiqh, Undang-Undang dan Adat Aceh, disebutkan bahwa
Mahar adalah harta yang wajib diberikan oleh laki-laki kepada perempuan, karena
nikah, watha‟ syubhat dan atau perkosaan, fatwa ini dikeluarkan karena adanya
praktik pemberian mahar yang bernuansa adat dan membebankan pihak suami,
seperti sanksi adat apabila pernikahan dibatalkan. Sehingga para ulama setempat,
memberikan pandangan kepada masyarakat terkait mahar dalam perspektif
Hukum Islam, Hukum Positif dan Hukum Adat.
(1-5); Bab II: Penetapan (6); Bab III: Perkawinan dan Pendaftaran (7-30); Bab IV:
Perceraian (31-46); Bab V: Nafkah Isteri, Anak dan Lain-Lain (47-69); Bab VI:
Hadanah (70-94); Bab VII: Kesalahan-Kesalahan (95-112); Bab VIII: Ketentuan
Umum (113-129).
Meskipun Malaysia adalah Negara Federal, namun Undang-Undang
perkawinan Islam (Hukum Keluarga) yang berlaku di Malaysia saat ini adalah
Undang-Undang Perkawinan masing-masing negeri. Artinya, Malaysia belum
mempunyai Undang-Undang Hukum Keluarga yang berlaku secara nasional.
Usaha penyeragaman Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia pernah
dilakukan oleh Tengku Zaid, sebagai ketua komite dan bertugas untuk membuat
draf Undang-Undang Keluarga Islam. Setelah mendapat persetujuan dari Majlis
Raja-Raja, draf tersebut disebarkan ke seluruh Negeri untuk digunakan sebagai
Undang-Undang Keluarga. Namun, tidak semua Negeri menerima isi secara
keseluruhan dalam Undang-Undang ini. Misalnya Kelantan melakukan perbaikan
yang sangat mutlak terhadap draf yang disediakan pemerintah Federal, akibatnya
Undang-Undang Keluarga Islam yang berlaku di Malaysia, tidak seragam sejak
sebelum merdeka sampai sekarang.64
Di Malaysia, persoalan mahar menjadi tanggungjawab Mahkamah Syariah
dan Jabatan Agama Islam (JAI) di bawah bidang kuasa sultan di setiap Negeri. 65
Kadar mahar disetiap Negeri berbeda-beda, mengikuti ketentuan JAI setiap
negeri. Dalam Enakmen 2 Tahun 2003, Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam
(Negeri Selangor) 2003, Seksyen 2 tentang Tafsiran, disebutkan makna dari
maskawin.
Maskahwin artinya pembayaran kahwin yang wajib dibayar di bawah
Hukum Syara‟ oleh suami kepada isteri pada masa perkahwinan
diakadnikahkan, sama ada berupa wang yang sebenarnya dibayar atau
diakui sebagai hutang dengan atau tanpa cagaran, atau berupa sesuatu yang
menurut Hukum Syara‟ dinilai dengan wang.
64
M. Atho‟ Muzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern
(Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fikih), Jakrta: Ciputat
Press, 2003, h. 23
65
Sweet dan Maxwell, Islamic Family Law in Malaysia, (Selangor: Thomson Reuters,
2017), h. 80
42
Dari Pasal di atas dapat dipahami bahwa pada saat akad nikah, jumlah dan
bentuk mahar akan disebutkan secara rinci. Sedangkan penyerahan mahar, dapat
diberikan oleh calon suami atau yang mewakili, kepada calon istri atau yang
mewakili dengan dihadiri petugas pencatat nikah dan dua orang saksi. Hal ini
67
dilakukan untuk kemaslahatan bersama. Selain itu, juga disebutkan bahwa
petugas pencatat nikah mencatatkan data pernikahan kedua mempelai dan
mencatat beberapa hal, di antaranya 1). Jumlah mahar 2). Jumlah pemberian 3).
Jumlah mahar atau pemberian, atau keduanya yang dijanjikan tetapi belum
diserahkan pada waktu akad nikah dan janji tanggal penyerahannya 4).
Keterangan yang dapat dijadikan jaminan untuk menyerahkan mahar atau
66
Warta Kerajaan Selangor, Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri
Selangor) 2003, (Selangor: 28 April 2003), h. 170; Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor)
2003, Fatwa di bawah Seksyen 47, (Selangor: Februari 2010)
67
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Bandung: PR. Remaja Rosdakarya,
1991), h. 42
43
Dari Pasal di atas, dapat dipahami bahwa suami yang menikah bersalah,
maka ia wajib membayar maskawin dan hantaran kepada istri-istrinya, dan apabila
tidak dibayarkan, maka boleh dituntut sebagai hutang perkawinan. Makna dari
seseorang yang menikah bersalah adalah suami yang menikahi istri yang kedua
dan seterusnya, namun belum mendapatkan kebenaran secara tertulis dari
mahkamah, maka ia telah melakukan kesalahan dan hendak dihukum dengan
denda sebesar RM 1.000.00 atau penjara tidak melebihi 6 bulan atau kedua-
duanya denda dan penjara itu, sebagaimana disebutkan dalam Seksyen 124
tentang Poligami tanpa kebenaran Mahkamah. Dalam Seksyen 57 tentang hak
terhadap mas kahwin, pemberian yang tidak akan tersentuh disebutkan bahwa:
Tiada apa-apa jua yang terkandung dalam akta ini boleh menyentuh apa-
apa hak yang mungkin ada pada seseorang isteri di bawah Hukum Syara‟
terhadap mas kahwinnya dan pemberian kepadanya atau apa-apa bahagian
daripadanya apabila perkahwinannya dibubarkan.
Dari Pasal di atas, dapat dipahami bahwa maskawin dan pemberian
lainnya yang diberikan saat akad nikah, adalah hak mutlak istri. Istri berhak
menggunakannya untuk apapun, tanpa izin dari suami. Bahkan ketika terjadi
perselisihan rumah tangga dan berakhir dengan perpisahan atau perceraian, mahar
yang telah diberikan tetap menjadi hak milik istri.
68
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1 dilengkapi Perbandingan UU Negara
Muslim Kontemporer, h. 157; Islamic Family Law Enactment 1984 Malaysia, pasal 21 ayat 1 dan
2
69
Zurita Mohd Yusoff, “Amalan Pemberian Mas Kahwin di Malaysia”, dalam Jurnal
Islam & Masyarakat Kontemporari, Jilid 1 tahun 2008, h. 51
44
75.00 yang berstatus janda. Dan nilai mas kawin untuk cucu orang besar adalah
RM 200.00 bagi gadis, dan RM 50.00 bagi janda. Dan bagi orang kebanyakan,
nilai mas kawinnya adalah RM 80.00 bagi gadis dan RM 40.00 bagi janda.
Ketentuan ini berlaku sejak tahun 1978 sampai dengan tahun 2009. 70
Namun pada 1 Januari 2010 lalu, Pemerintah Kerajaan Negeri Selangor
telah menaikkan kadar mahar bagi orang kebanyakan dari RM 80.00 dan RM
40.00 menjadi RM 300.00 (Tiga Ratus Ringgit Malaysia) untuk gadis maupun
janda.71 Ketentuan RM 300 tersebut telah disatukan dengan uang hantaran bagi
calon mempelai pria yang ingin menikahi wanita asal negeri tersebut. 72
Begitu juga di Negeri Melaka, Jabatan Agama Islam Melaka pada tanggal
1 Juni 2016 lalu telah menetapkan kadar Maskawin baru bagi Negeri Malaka yaitu
menaikkan kadar maskawin dari RM 40.00 menjadi RM 100.00. 73 Lain halnya
dengan kadar maskawin Negeri Pahang dan Johor yaitu RM 22.50. Kadar tersebut
tidak berubah sejak hampir satu abad setelah penetapan, hal ini tidak relevan
dengan kenyataan hari ini. Karena pada saat penetapan kadar maskawin, mata
uang bersandarkan emas dan perak sedangkan kini, mata uang bersandarkan nilai
Dolar Amerika Serikat.74 Sehingga, terjadi beberapa peralihan zaman atau
sandaran mata uang dunia, yang menyebabkan kadar maskawin setiap Negeri di
Malaysia berubah nilainya.75
70
Zurita Mohd Yusoff, “Amalan Pemberian Mas Kahwin di Malaysia”, dalam Jurnal
Islam & Masyarakat Kontemporari, Jilid 1 tahun 2008, h. 53-54
71
Warta Kerajaan Selangor, Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor) 2003,
Fatwa dibawah Seksyen 47, (Selangor: 4 Februari 2010); Jabatan Mufti Negeri Selangor, Hukum
Penetapan Kadar Maskahwin Bagi Negeri Selangor, dalam https://www.muftiselangor.gov.my,
diunduh pada 20 April 2018
72
Ahmad Baei Jaafar, Dara atau janda, Mas Kahwin tetap RM 300, dalam berita online
Malaysia yang diakses melalui http://ww1.utusan.com.my, diunduh pada 2 Juli 2018; Megat Ramli
Megat Raof, Mas Kahwin Selangor RM 300, dalam berita online Malaysia yang diakses melalui
http://ww1.kosmo.com.my, diunduh pada 23 September 2018
73
Jabatan Agama Islam Melaka, Surat Pekeliling Jabatan Agama Islam Melaka 2016
Mengenai: Kadar Bayaran Upah Nikah bagi Imam/Jurunikah Seluruh Negeri Malaka, Kadar
Bayaran Upah Nikah Bagi Wali Hakim/Wali Raja, Kadar Maskahwin Bagi Negeri Malaka,
(Melaka: 26 Januari 2016)
74
Muhammad Najib Abd Wakil, Che Maryam Ahmad, “Mas Kahwin di Pahang: Satu
Penilaian Semasa,” dalam Journal of Contemporary Islamic Law, Vol. 2(2) (2017), h. 62
75
Muhammad Najib Abd Wakil, Che Maryam Ahmad, “Sejarah Kadar Mas Kahwin di
Johor,” dalam jurnal Isu Syariah dan Undang-Undang Sirri 22, h. 19
46
Sedangkan Kerajaan Negeri Sembilan, pada oktober 2006 lalu juga telah
menaikkan kadar nilai maskawin menjadi RM 200.00 bagi gadis dan RM 100.00
bagi janda.76 Adapun untuk Negeri Kedah, Perlis, Terengganu dan Kelantan kadar
mahar perkawinan tidak ditetapkan, hal ini menandakan bahwa bagi pasangan
yang menikah di negeri yang tidak menetapkan nilai kadar mahar, maka mereka
bebas menetapkan kadar maharnya masing-masing, tanpa ada yang membatasi
atau menentukan berapa jumlah mahar yang diberikan pada saat akad nikah.
Di Sarawak, nilai maskawin yang menjadi adat kebiasaan kepada
kebanyakan orang islam ialah sebagai berikut: 1). RM 120.00 bagi gadis dan
menikah mengikuti adat pertunangan; 2). RM 50.00 bagi perempuan nikah
bersalah, baik gadis maupun janda; 3). RM 25.00 bagi perempuan yang bersalah
bagi kali kedua dan seterusnya. Maksud dari „nikah bersalah‟ ialah nikah yang
terpaksa, karena hamil terlebih dahulu atau ditangkap karena berkhalwat. Dalam
Undang-Undang Keluarga Islam Sarawak No. 5 tahun 1991, maskawin tidak
ditentukan kadarnya oleh Undang-Undang, tetapi ia hendaklah diserahkan di
hadapan sekurang-kurangnya 2 orang saksi. Dan nilai maskawin dan pemberian
lainnya, hendaklah dituliskan oleh pendaftar.77
76
Berita Harian 2006, Negeri Sembilan Naikkan Mas Kahwin.
77
Siti Zalikhah Md. Nor, Pemilikan Harta Dalam Perkahwinan, (Malaysia: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur, 1996), h. 80
78
Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi
dan Tesis, Buku Kedua, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015), h. 5
47
normative maupun empiris. Kajian teori hukum dari normative merupakan teori
yang mengkaji dan menganalisis norma-norma dan aturan-aturan hukum yang
terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan
pengadilan, maupun doktrin. Fokus kajiannya pada mengapa norma-norma hukum
itu dirumuskan seperti itu. Adapun teori hukum dari dimensi empirik, merupakan
teori yang mengkaji dan menganalisis hukum dari keberlakuannya dalam
masyarakat.79
Menurut Meuwissen tugas teori hukum yaitu menganalisis dan
menerangkan pengertian hukum (pengertian dari hukum) dan berbagai pengertian
hukum atau konsep yuridis (konsep yang digunakan dalam hukum), seperti
hukum subjektif, hukum objektif, hubungan hukum, asas hukum, hak milik,
kontrak, hukuman, itikad baik, dan sejenisnya, selain itu teori hukum juga
berfungsi untuk mengkaji hubungan antara hukum dan logika, serta mengkaji hal-
hal yang bertalian dengan metodologi. 80
Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang
mengindikasikan adanya hubungan diantara konsep-konsep tersebut yang
membantu dalam memahami sebuah fenomena. Teori merupakan salah satu
konsep dasar penelitian sosial. Secara khusus, teori adalah seperangkat
konsep/konstruk, definisi dan proposisi yang berusaha menjelaskan hubungan
sistimatis suatu fenomena dengan cara memerinci hubungan sebab-akibat yang
terjadi. Diantara teori-teori yang digunakan untuk analisa kajian tesis ini adalah
sebagai berikut:
1. Teori ‘Urf
Kata „Urf secara etimologi berarti sesuatu yang di pandang baik dan
diterima oleh akal sehat, sedangkan secara terminologi berarti sesuatu sesuatu
yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan
menyatu dengan kehidupan mereka, baik berupa perbuatan atau perkataan. 81
79
Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi
dan Tesis, Buku Kedua, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015), h. 7
80
Meuwissen, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat
Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, (Bandung: Refika Aditama, 2008), h. 7
81
Effendi Satria, M. Zein, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 21
48
Menurut Abdul Wahhab Khalaf, „Urf adalah sesuatu yang telah diketahui
oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, baik dari perkataan atau
perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan. Hal ini juga dinamakan adat. Dan
menurut para ahli hukum Islam tidak ada perbedaan antara al-„urf dengan al-
„âdah. vPara ulama sepakat bahwa „urf sahîh dapat dijadikan dasar hujjah Selama
tidak bertentangan dengan syarak.82
Dasar hukum „urf, dijelaskan dalam firman Allah pada surat Al-A„raf ayat
199, yang menyebutkan bahwa “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma‟ruf, serta berpalinglah dari orang-orang bodoh.” Ayat ini
menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan
yang ma„rûf. Sedangkan makna dari ma„rûf itu sendiri adalah suatu kebaikan,
yang dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak manusia
yang benar, yang bimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.83 Dalam hadis
yang diriwayatkan Ibnu Mas‟ud, Rasulullah bersabda:
ِس يِئا فَه و ِعْن َد للا ِ ِ ِ
َ ُ ًّ َ َ ْْ ال ُمسْل ِل ُم ُفَ َما َرأَهُ املُ ْسل ُم ْو َن َح َسنًا فَ ُه َو عْن َد للا َح َس ٌن َو َم َارآه
)َسيِّ ٌئ (رواه أْحد
Artinya: “Apa yang dipandang oleh orang-orang Islam baik, maka baik pula
disisi Allah SWT, dan apa yang dipandang orang-orang Islam jelek, maka
jelek pulalah di sisi Allah SWT” (H.R. Ahmad)
82
Abdul Wahhab Khallaf, „Ilmu Al-Usul Al-Fiqh, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1978), h. 89
83
Abdul Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 209
49
Macam-Macam ‘Urf
Para ulama ushul fiqh membagi „urf kepada tiga macam:
a. Dari segi objeknya, „urf dibagi kepada : al-„urf al-lafzi (kebiasaan yang
menangkut ucapan) dan al-„urf al-„amali (kebiasaan yang berbentuk
perbuatan).84
1) al-„urf al-lafzi ialah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafaz
atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna
ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.
Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi, padahal kata
“daging” mencakup seluruh daging yang ada. Namun, apabila seseorang
mendatangi penjual daging, dan pembeli mengatakan “saya beli daging 1
kg”, maka pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena
kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata
daging pada daging sapi.
2) al-„urf al-„amali ialah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan suatu
perbuatan. Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam memakan makanan
atau minuman tertentu, atau kebiasaan masyarakat dalam memakai
pakaian tertentu dalam acara-acara khusus. Contoh lainnya adalah seperti
kebiasaan masyarakat yang melakukan jual beli, dimana pembeli
mengambil barang, kemudian membayar di kasir tanpa adanya suatu
akad ucapan yang dilakukan keduanya.
b. Dari segi cakupannya, „urf dibagi dua, yaitu al-„urf al-„am (kebiasaan yang
bersifat umum) dan al-„urf al-khas (kebiasaan yang bersifat khusus).
1) al-„urf al-„am ialah kebiasaan masyarakat yang berlaku pada suatu
tempat, masa, dan keadaan tertentu. Misalnya, dalam jual beli mobil,
seluruh peralatan yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti
kunci, tang, dongkrak, dan ban serep, sudah termasuk dalam harga jual,
tanpa akad sendiri dan biaya tambahan.
2) al-„urf al-khas ialah kebiasaan masyarakat yang berlaku di daerah dan
masyarakat tertentu. Misalnya, kebiasaan mengenai penentuan masa
84
A. Syafi‟I Karim, Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 85
50
85
Satria Effendi, M. Zein, Ushul FIqh, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 154-155
51
c. „Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan huku itu telah ada (berlaku
pada saat itu, bukan yang akan muncul kemudian.
d. „Urf tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara‟ yang ada atau
bertentangan dengan prinsip yang pasti.
86
Mahrus Ali, Pemetaan Tesis dalam Aliran-Aliran Filsafat Hukum dan Konsekuensi
Metodologisnya, Jurnal Hukum Ius Quia Lustum Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia,
Vol. 24 Issue 2, April 2017, hal. 219
87
Zulfadli Barus, “Analisis Filosofis tentang Peta Konseptual Penelitian Hukum
Normatif dan Penelitian Sosiologis”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13 No. 2, 2013, h. 311-312;
Mahrus Ali, “Pemetaan Tesis dalam Aliran-Aliran Filsafat dan Konsekuensi Metodologisnya”,
dalam jurnal Hukum Ius Quia Iustum Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Vol. 24, Issue
2, April 2017, h. 219
88
Supriyanta, Realisme Hukum dan Kritiknya Terhadap Positivisme Hukum, h. 7
52
doktrinal induktif dengan ruang lingkup yang sempit (kasuistik), yaitu fakta-fakta
sosial yang kasuistik. Dalam memutuskan kasus yang sedang ditangani, hakim
tidak lagi berpedoman kepada norma-norma positif, melainkan beralih kepada
realitas sosial dan kebutuhan masyarakat. Norma-norma positif ini tidak lagi
digunakan oleh hakim jika tidak sesuai dengan realitas dan kebutuhan masyarakat.
Contoh penelitian hukum yang menggunakan aliran realism hukum adalah
pengambilan sisa hasil panen (gresek/gasak) padi, randu, daun cengkeh dan hasil
pertanian lainnya yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat desa di Jawa.
Pertanyaannya adalah apakah warga masyarakat yang mengambil hasil pertanian
tersebut dikategorikan sebagai mengambil barang kepunyaan orang lain secara
melawan hukum sebagaimana maksud Pasal 362 KUHP. Tentu saja hakim tidak
perlu melihat KUHP untuk memutus perkara tersebut, melainkan berdasarkan
kepada kebiasaan masyarakat desa di Jawa yang sudah menjadi pola perilaku yang
ajeg. Kesimpulannya adalah bahwa mengambil sisa hasil pertanian, bukanlah
pencurian karena hal itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat desa di Jawa.
Dalam hal ini, hakim berperan sebagai pembuat hukum (judge made law),
daripada pelaksana undang-undang.
Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara das
sollen dan das sein. Agar antara hukum itu mempunyai tujuan, maka hendaknya
diperhatikan adanya nilai-nlai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh
dipengaruhi oleh kehendak observer. Realism tidak mendasarkan pada konsep-
konsep hukum positivistic yaitu aturan aturan oleh karena realism bermaksud
melukiskan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan dan orang-orangnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menjelaskan realism yaitu
suatu paham atau ajaran yang selalu bertolak dari kenyataan. Realisme terdiri dari
2 cabang, yaitu American Realism dan Scandinavian Legal Realism. American
Realism merupakan reaksi terhadap aliran positivism, dimana realisme Amerika
Serikat ini, merupakan pendekatan secara pragmatis dan behavioritis terhadap
lembaga-lembaga sosial. Teori Realisme ini menekankan hukum sebagai law in
53
action dan menganggap hukum itu sebagai pengalaman, sumber hukum dalam
teori realism ini merupakan putusan hakim.89
Tokoh-tokoh dalam teori realisme di Amerika ini adalah Oliver Wendell
Holmes, John Dewey, Jarome Frank, K. Llewellyn, Axel Hagerstrom, W.
Twinning.90 Menurut Karl N. Liewellyn, ciri-ciri teori realism adalah 1). Realisme
adalah konsepsi hukum yang terus terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan
sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realism
mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat daripada
hukum; 2). Realisme menganggap adanya pemisahan antara hukum yang ada dan
yang seharusnya ada, untuk tujuan-tujuan studi. Realisme berpokok pangkal pada
pemisahan das sein dan das sollen; 3). Realism berpendapat bahwa tidak ada
hukum yang mengatur suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap perkara
itu. Apa yang dianggap sebagai hukum pada buku-buku, baru merupakan taksiran
tentang bagaimana hakim akan memutuskan.
Jarome Frank membuat tulisan yang terdiri dari: 1). Law and the modern
mind: suatu peraturan mengandung sesuatu yang tetap dan prinsip-prinsip hukum
yang selalu baik dan benar yang dapat digunakan sebagai acuan dalam
memutuskan suatu perkara, namun tidak selamanya peraturan perundang-
undangan itu lengkap dan dapat menyelesaikan permasalahan hukum; 2). Court
on trial: dalam tulisan ini Frank mempersoalkan pemeriksaan perkara di
pengadilan dengan menggunakan metode pemikiran common law traditional.
Adapun teori Scandinavian Legal Realism berkeyakinan bahwa hukum
hanya bisa dijelaskan melalui fakta-fakta yang bisa diobservasi. Jadi, teori
realisme hukum menyatakan beberapa hal di antaranya: 1). Hukum bergerak terus
menerus sesuai dengan perkembangan zaman dinamika masyarakat; 2) Hukum
adalah alat untuk mencapai tujuan sosial; 3). Harus ada pemisahan antara das
89
Muhammad Syukri Albani Nasution, Zul Pahmi Lubis, dkk, Hukum dalam Pendekatan
Filsafat, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 151
90
Munawir, Sosiologi Hukum, (Ponorogo, Lembaga Penerbitan dan Pengebangan Ilmiah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo, 2010), h. 42
54
sollen dan das sein; 4). Hukum adalah apa yang dilakukan sebenarnya oleh
pengadilan dengan orang-orangnya; 5). Bahwa hukum tidak statis.91
Teori realisme ini membatasi tugasnya pada pengamatan hukum secara
ilmiah yang mengenai terjadinya, berlakunya, dan akibatnya dari fakta-fakta yang
ada. Jadi, ilmu hukum realis ini adalah suatu usaha untuk merasionalisasikan dan
memodernisasi hukum, baik mengenal perkara di depan pengadilan maupun
mengenal bahan-bahan untuk perubahan perundang-undangan dengan
menggunakan metode-metode ilmiah dan hasil yang dicapai di bidang
penghidupan masyarakat (yang berhubungan erat dengan hukum dan sosial).
Sehingga dapat diartikan bahwa realisme Amerika itu adalah suatu cara
berfikir yang juga menggunakan eksperimen, yaitu yang biasa digunakan untuk
ilmu pengetahuan kealaman. Akan tetapi tingkah laku orang tidak bisa
diperhitungkan seperti ilmu kealaman. Teori realisme Amerika ini hanya
menggunakan logika sebagai salah satu jalan (cara) pendekatan hukum.
Adapun realisme Skandinavia adalah semata-mata kritik filsafafiah atas
dasar metafisis dari hukum. Dengan menolak pendekatan bahasa yang sederhana
dari para realis Amerika, realis Skandinavia jelas bercorak continental dalam
pembahasan yang kritis, dan abstrak. Sehingga orang dapat menyebutkan “realism
skandinavia” modern dalam pemikiran hukum, karena ahli hukum Skandinavia
modern telah mengembangkan pendekatan yang khas pada hukum yang sedikit
ada persamaan di negara-negara lain.92
3. Teori Sistem Hukum (Legal System Theory)
Dalam memahami hukum sebagai suatu sistem, maka kita harus
memahami hukum secara komprehensif. Makna dasar sistem yaitu: 1). Selalu
berorientasi pada tujuan; 2). Keseluruhan yaitu lebih dari sekedar jumlah dan
bagian-bagiannya; 3). Selalu berorientasi dengan sistem yang lebih besar; 4).
Bekerjanya bagian dari sistem sosial itu menciptakan sesuatu yang berharga.93
91
Muhammad Syukri Albani Nasution, Zul Pahmi Lubis, dkk, Hukum dalam Pendekatan
Filsafat, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 160
92
Muhammad Syukri Albani Nasution, Zul Pahmi Lubis, dkk, Hukum dalam Pendekatan
Filsafat, h. 114
93
Muhammad Syukri Albani Nasution, Zul Pahmi Lubis, dkk, Hukum dalam Pendekatan
Filsafat, h. 333
55
94
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System-A
Social Science Perspective), (Bandung: Nusamedia, 2009), h. 18
57
kekuatan sosial yang secara konstan, tetapi tidak secara langsung bekerja
dalam suatu sistem hukum. Budaya Hukum dapat berupa kebiasaan,
pendapat-pendapat, cara berpikir dan bertindak yang menentukan kekuatan
sosial untuk menuju atau menjauh dari hukum. Sehingga, Budaya Hukum
merupakan faktor yang menentukan terhadap pembentukan hukum pada suatu
Negara.95
Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman adalah sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran,
serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan
kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari,
atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum
masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta
budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai
hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap
hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum. Hubungan
antara tiga unsur sistem hukum itu sendiri tak berdaya, seperti pekerjaan
mekanik. Struktur diibaratkan seperti mesin, substansi adalah apa yang
dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin, sedangkan kultur hukum adalah apa
saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan
mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.
Di antara ketiga komponen utama dalam sistem hukum di atas harus
berjalan beriringan, yaitu struktur harus kuat, kredibel, akuntabel, dan kapabel.
Substansi harus selaras dengan rasa keadilan masyarakat, sedang budaya
hukumnya harus mendukung tegaknya hukum jika salah satunya timpang, misal
struktur aparat (law unforercement officer) tidak akuntabel, kredibel, dan kapabel,
mustahil hukum bisa ditegakkan. Jadi, struktur, substansi dan budaya hukum tidak
dapat dipisahkan, karena apabila salah satu terlepas, maka sistem itu akan
berubah.
95
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Etika dan Budaya Hukum dalam Peradilan,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, Juli 2017), h. 28
58
96
Muhammad Syukri Albani Nasution, Zul Pahmi Lubis, dkk, Hukum dalam Pendekatan
Filsafat, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 335
59
agar sejalan dengan tingkat perkembangan masyarakat itu, dengan kata lain
hukum harus selalu siap untuk berubah menyesuaikan diri dengan masyarakat.
97
Muhammad Syukri Albani Nasution, Zul Pahmi Lubis, dkk, Hukum dalam Pendekatan
Filsafat, h. 337
60
sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula
atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat
tersebut.
Manusia dan hukum ialah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan
dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas
ibi jus” (di mana ada masyarakat, di situ ada hukumnya). Artinya, bahwa dalam
setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat,
maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas
berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu dan yang berfungsi sebagai
“semen perekat” tersebut adalah hukum.98
Budaya hukum merupakan tanggapan yang bersifat penerimaan atau
penolakan terhadap suatu peristiwa hukum, ia menunjukkan sikap perilaku
manusia terhadap masalah hukum dan peristiwa hukum yang terbawa ke dalam
masyarakat. Sistem hukum itu merupakan hubungan yang kait mengait di antara
manusia, masyarakat, kekuasaan, dan aturan-aturan, maka titik perhatian
antrpologi hukum pada perilaku manusia yang terlibat dalam peristiwa hukum.
Kaitan antara perilaku hukum manusia dan budaya hukumnya terletak
pada tanggapannya terhadap hukum yang ideologis dan hukum yang praktis
dengan sudut pandangan yang elektika. Secara konseptual, budaya hukum
menunjuk pada sikap dan tindakan yang nyata terlibat, merupakan refleksi dari
nilai-nilai dan orientasi serta harapan yang ada pada seseorang atau kelompok.
Maka sikap dan tindakan apa pun yang dilakukan oleh siapapun, khususnya yang
berkaitan dengan hukum, dirumuskan dan diterima sebagai budaya hukum.
Walaupun norma-norma hukum yang terdapat dalam setiap undang-undang secara
positif dianggap merupakan panduan nilai dan orientasi dari setiap orang. Akan
tetapi secara empiris selalu saja terlihat ada cacat celanya. Perilaku masyarakat
tidak selalu sejalan dengan norma-norma yang ada dalam undang-undang.
Penyebabnya sangat beragam, satu di antaranya norma itu tidak sejalan dengan
orientasi dan mimpi mereka.
98
Muhammad Syukri Albani Nasution, Zul Pahmi Lubis, dkk, Hukum dalam Pendekatan
Filsafat, h. 341
61
99
Muhammad Syukri Albani Nasution, Zul Pahmi Lubis, dkk, Hukum dalam Pendekatan
Filsafat, h. 343
Knowledge, Piety, Integrity
BAB III
1
Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Provinsi Aceh dalam Angka 2018, (Aceh: CV.
Almufadar Insu, 2018), h. 10
62
63
diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 700.350 ha, dan lahan industri mempunyai
luas terkecil yaitu 2.096 ha.2
Luas wilayah Aceh secara total mencapai 7,2 juta hektar, terdiri dari
sebagian besar daerah daratan dan juga daerah kepulauan. Luas daratan Aceh
sekitar 5,7 juta hektar, sekitar 60% merupakan kawasan hutan, dan 40% lainnya
merupakan kawasan yang dimanfaatkan untuk pertanian (persawahan dan
pertanian lahan kering) dan perkebunan (perkebunan besar dan perkebunan
rakyat). Luas lahan daratan kecil dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman
penduduk, kegiatan pertambangan, perairan darat dan lainnya. 3 Secara topografi,
wilayah daratan Aceh berada pada ketinggian rata-rata mencapai 125 meter di atas
permukaan laut. Aceh terdiri dari 119 pulau, 35 gunung, 73 sungai. Dengan
potensi alam yang besar, provinsi Aceh ini mempunyai peluang untuk
pengembangan wilayah untuk meningkatkan perekonomian daerah dan
masyarakatnya.
Jumlah penduduk Provinsi Aceh pada tahun 2017 dihasilkan dari Sensus
Penduduk dan Survei Penduduk Antar Sensus-SUPAS yang dilaksanakan oleh
BPS adalah sebanyak 5.189.466 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,89
persen dibandingkan data penduduk tahun 2016 sejumlah 5,096 juta jiwa. Secara
gender, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 2.592.140 jiwa dan penduduk
perempuan sebanyak 2.597.326 jiwa. Kabupaten Aceh Utara mempunyai jumlah
penduduk yang paling besar, yaitu 602,55 ribu jiwa, diikuti Kabupaten Bireuen
453,22 ribu jiwa dan kabupaten Pidie 432,60 jiwa.
Kepadatan penduduk Aceh pada tahun 2017 adalah 91 jiwa per kilometer
perseginya. Kepadatan penduduk di kota, umumnya lebih tinggi dibandingkan
dengan kepadatan penduduk di kabupaten. Kota Banda Aceh mempunyai
kepadatan penduduk tertinggi yaitu 4.641 jiwa/km2. Sedangkan kepadatan
penduduk terendah adalah di Kabupaten Gayo Lues dengan 16 jiwa/km2.
Selama tahun 2014-2017, Provinsi Aceh mencatat angka presentase
penduduk miskin yang berfluktuatif. Demikian juga dengan tingkat kemiskinan
2
Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Provinsi Aceh dalam Angka 2018, (Aceh: CV.
Almufadar Insu, 2018), h. 11
3
Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Statistik Daerah Provinsi Aceh 2018, H. 1
64
nasional jauh lebih rendah. Tahun 2017, Aceh mencatat sebanyak 16,89% dari
total populasinya merupakan penduduk miskin meningkat sebesar 0,16 persen
dibandingkan dengan tahun 2016, tercatat sebesar 16,73%. Sementara rata-rata
nasional tercatat sebesar 10,64% penduduk miskin dari seluruh populasi penduduk
di Indonesia. Berdasarkan jumlahnya, penduduk miskin Aceh bertambah dari
848,44 ribu jiwa pada tahun 2016 menjadi 872,61 ribu jiwa pada tahun 2017.
Berdasarkan lokasi perkotaan dan pedesaan, mayoritas penduduk miskin yang
tercatat di Aceh adalah mereka berdomisili di pedesaan, sebanyak 700,26 ribu
orang tercatat sebagai penduduk miskin di wilayah pedesaan, sekitar 80,25%.
Sedangkan di perkotaan, jumlah penduduk miskinnya sebesar 172,25 atau sebesar
19,75%.4
Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511-1959),
kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959-2001), Nanggroe Aceh Darussalam
(2001-2009), dan terakhir Aceh (2009-sekarang). Sebelumnya nama Aceh biasa
ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin. Persentase penduduk Aceh berdasarkan etnis
adalah etnis Aceh 70.65 %, jawa 8.94 %, Gayo 7.22%, Batak 3.29 %, Alas 2.13%,
Simeulue 1.49%, Aneuk Jamee 1.40%, Tamiang 1.11%, Singkil 1.04%,
Minangkabau 0.74%.
Suku bangsa Provinsi Aceh memiliki 13 suku asli, yaitu suku Aceh, suku
Tamiang, suku Gayo, suku Alas, suku Kluet, suku Julu, suku Pakpak, suku Aneuk
Jamee, suku Sigulai, suku Lekon, suku Devayan, suku Haloban dan suku Nias.
Bahasa daerah yang paling banyak dipakai di Aceh adalah bahasa Aceh yang
dituturkan oleh etnis Aceh di sepanjang pesisir Aceh. Bahasa terbesar kedua
adalah Gayo di dataran tinggi Gayo, Alas di dataran tinggi Alas, Aneuk Jamee di
pesisir barat selatan, Singkil dan Pakpak di tanah Singkil, Kluet di Aceh Selatan
dan Tamiang di Tamiang.
Aceh dikenal dengan julukan Serambi Mekkah karena Aceh berperan
besar dalam penyebaran agama Islam di kepulauan-kepulauan di Indonesia dan
Asia Tenggara lainnya. Mayoritas penduduk di Provinsi Aceh memeluk agama
Islam. Selain itu, provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan
4
Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Statistik Daerah Provinsi Aceh 2018, H. 8
65
6
Isabela L. Bird, The Golden Chersonese, (Kuala Lumpur: Oxford University Press), h.
208; Selangor, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Selangor, diunduh pada 2 Februari 2019
7
Nasaruddin Umar, Studi Hukum Perbandingan Sistm Ketatanegaraan Malaysia dan
Indonsia, dalam jurnal Tahkim, Vol. IX No. 2, Desember 2013
8
Mohd. Koharuddin bin Mohd. Balwi, Peradaban Melayu, (Universitas Teknologi
Malaysia: Johor Darul Ta‟zim, 2005) h. 38-39
67
tinggi dan kadar kemiskinan yang paling rendah di Malaysia. Selangor juga
merupakan negeri yang mempunyai bilangan penduduk bekerja tertinggi, yaitu 3.4
juta pekerja. Selain itu, Selangor menyumbangkan 23% kepada Keluaran Dalam
Negeri Kasar (KDNK). Pertumbuhan ekonomi negeri Selangor pada tahun 2017
dalam sektor Perkhidmatan, Pembuatan dan Pertumbuhan, meningkat 7%,
dibandingkan tahun 2016 hanya 4.8%. Keluaran Dalam Negeri Kasar per kapita
di peringkat nasional mencapai RM 48,091.9
Negeri Selangor menjalankan sistem kerajaan berpelembagaan sejak turun
menurun dan kini di bawah naungan Sultan Sharafuddin Idris Shah Al-Haj. Sejak
10 Maret 2008, Pakatan Rakyat (PR) telah mengambil alih negeri ini daripada
pemerintahan Barisan Nasional (BN). Menteri Besar terkini adalah Amirudin
Shari yang dilantik sejak 18 Juni 2018.
Ibu negeri Selangor ialah Shah Alam yang merupakan Bandar raya
pertama di negeri ini. Bandar diraja negeri ini adalah Klang. Bandar utama yang
lain ialah Petaling Jaya, yang mendapat status sebagai Bandar raya kedua di
negeri ini pada 20 Juni 2006. Petaling Jaya merupakan sebuah Bandar satelit
untuk Kuala Lumpur yang ditubuhkan pada tahun 1952. Selangor merupakan satu
daripada dua buah negeri yang mempunyai daripada satu Bandar raya, selain
daripada negeri Sarawak. Selangor juga mempunyai pembangunan yang pesat
daripada pemodenan di kawasan Lembah Klang.
Selangor merupakan negeri yang paling kaya di Malaysia, berdasarkan
Keluaran Dalam Negeri Kasar (KDNK) per kapita. Hal ini karena adanya
infrastruktur yang terbaik seperti lebuhraya dan pengangkutan awam yang
menghubungkan Bandar-bandar di Selangor dengan ibu negeri Malaysia, Kuala
Lumpur, Pusat Pemerintahan Kerajaan Pusat, Wilayah Persekutuan Putrajaya dan
Cyberjaya. Selain itu, negeri ini juga mempunyai ciri kemajuan yang terbaik,
dengan pembinaan pasaraya PKNS, Plaza Alam Sentral, Masjid Sultan
Salahuddin Abdul Aziz Shah yang merupakan masjid rasmi Negeri Selangor yang
9
Jabatan Perangkaan Malaysia, Siaran Akhbar Laporan SosioEkonomi Negeri 2017, di
unduh dari halaman website https://www.down.gov.my
68
diresmikan oleh DYMM Sultan Selangor Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah Ibni
Al-Marhum Sultan Sir Hisamuddin Alam Shah.
Bilangan penduduk di negeri Selangor juga merupakan yang paling ramai
di Malaysia dengan taraf hidup yang sangat tinggi dan kadar kemiskinan yang
paling rendah di Malaysia. Selangor juga telah menyumbang lebih daripada 23%
dalam sektor ekonomi di Malaysia, ini menjadikan Selangor sebagai negeri paling
banyak memperoleh hasil di Malaysia.
Berdasarkan statistik menurut Jabatan Statistik Malaysia, jumlah
penduduk di Negeri Selangor adalah 6.39 juta orang pada tahun 2017, sekitar
19.9% penduduk Malaysia tinggal di dalam negeri Selangor. Menurut statistik ini,
populasi Selangor meningkat pada kadar 1.4 % pada tahun 2016-2017.
Berdasarkan kepercayaan masyarakat Selangor, jumlah penganut agama di negeri
Selangor adalah 57.9% Islam, 24.4% Budha, 11.6% Hindu, 3.8 Kristian, 1%
Kepercayaan tidak diketahui, 0.5% agama tradisional Cina, 0.4% agama lain,
0.4% tidak beragama. Semua penduduk Melayu adalah penganut agama Islam,
karena perkara 160 Perlembagaan Malaysia menetapkan orang Melayu mestilah
beragama Islam.10
10
Jabatan Perangkaan Malaysia, Taburan Penduduk dan Ciri-Ciri Asas Demografi 2010,
h. 9; juga bisa dilihat pada link dibawah ini yang diunduh pada 2 Februari 2019
http://www.statistics.gov.my/portal/download_Population/files/census2010/Taburan_Pen
duduk_dan_Ciri-ciri_Asas_Demografi.pdf
11
Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Provinsi Aceh dalam Angka 2018, h. 3
69
menulis kitab fikih mazhab syâfî‟i dalam bahasa melayu Al-Sirat Al-Mustaqîm
dan Syeikh Abdul Ra‟uf al-Singkili juga menulis kitab fikih seperti Mir‟at al-
Tullâb fî-Al-Ma‟rifat Al-Ahkam al-Asyar‟iyah li Al-Malik Al-Wahhab.
Adapun perkembangan mazhab fikih di Aceh setelah Kesultanan Aceh,
dikembangkan melalui lembaga pendidikan dan organisasi masyarakat yang
bergerak di bidang pendidikan dan keagamaan. Lembaga-lembaga dan ormas
terdiri dari Dayah, perguruan Tinggi Islam, Organisasi masyarakat yang terdiri
dari Muhammadiyah, Alwasliyah Nahdatul Ulama, Persatuan Dayah Insyafuddin,
Himpunan Ulama Dayah Aceh, Majelis Ulama Nanggero Aceh (MUNA),
Persatuan Majelis Taklim di desa-desa dan lainnya.
Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-17, pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu, pengaruh agama dan
kebudayaan Islam begitu besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh,
sehingga Aceh mendapatkan julukan “Seuramo Mekkah” (Serambi Mekkah).
Hukum Islam pada masa Iskandar Muda diterapkan secara kaffah dengan mazhab
Syâfî‟i yang meliputi bidang ibadah, ahwal al-syakhsiyyah (hukum keluarga),
mu‟âmalat mâliyah (perdata), jinâyah (pidana Islam), „uqûbah (hukuman),
murâfa‟ah, iqtisâdiyah (peradilan), dustûriyah (perundang-undangan),
akhlâqiyyah (moralitas), dan „alaqah dauliyah (kenegaraan). Hal ini diketahui dari
adanya manuskrip-manuskrip karya Ulama Aceh, seperti karya Syeikh Nuruddin
Ar-Raniry, Karya Abdurrauf as-Singkilli dan karya-karya ulama lainnya.12
Fenomena perkembangan dalam masyarakat sekarang ini dapat dikatakan
bahwa perbedaan pendapat antar mazhab semakin marak dan memicu perbedaan
dikalangan umat Islam di Aceh. Sehingga muncul ide ulama-ulama yang
tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Timur
melalui muzakarah ulama, menyetujui menjadikan mazhab syâfî‟i sebagai mazhab
mahalli (lokal) untuk masyarakat Aceh melalui qanun yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk menetapkan satu mazhab dalam
12
Syamsul Bahri, Pelaksanaan Syari‟at Islam di Aceh sebagai Bagian Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12, No. 2 Mei 2012,
H. 360
70
pengamalan masyarakat Aceh supaya tidak mudah terpengatuh oleh aliran sesat
dan tidak menimbulkan kebingungan dalam masyarakat awam.13
Muzakarah ulama MPU tingkat Kabupaten Aceh Utara tahun 2015 juga
mengisyarahkan bahwa pemerintah Aceh hendaknya menetapkan mazhab syâfî‟i
atau mazhab yang empat sebagai landasan hukum Islam di Aceh. Karena
masyarakat Aceh di masa kerajaan Aceh Darussalam, sejak masa Sultan Iskandar
Muda bermazhab Syâfî‟i, dan karena mazhab Syâfî‟i di Aceh lebih mapan dan
lebih tsiqah (terpercaya) baik guru-gurunya maupun kitab-kitabnya.
Dalam Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat
Islam, Pasal 14 disebutkan bahwa14:
(1) Penyelenggaraan Ibadah di Aceh wajib dijalankan sesuai dengan
tuntutan syariah.
(2) Penyelenggaraan ibadah sebagaimana diatur ayat (1) diamalkan
dengan memprioritaskan tata cara pengamalan ibadah menurut
mazhab syâfî‟i.
(3) Penyelenggaraan ibadah yang tidak mengacu pada tata cara mazhab
syâfî‟i dibolehkan selama dalam bingkai mazhaf Hanafî, Mâlikî,
dan Hanbali dengan selalu mengedepankan kerukunan, ukhuwah
islamiyah dan ketentraman dikalangan umat Islam.
(4) Dalam hal ada kelompok masyarakat di Aceh yang sudah
mengamalkan mazhab Hanafî, Mâlikî, atau Hanbali tidak dapat
dipaksakan untuk mengamalkan mazhab Syâfî‟i.
13
Muhammad Zukhdi, Dinamika Perbedaan Madzhab Dalam Islam (Studi terhadap
Pengamalan Madzhab di Aceh), dalam Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. 17, No. 1, Agustus 2017,
h. 123
14
Gubernur Aceh, Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat
Islam, ditetapkan di Banda Aceh pada tanggal 22 Oktober 2014
71
15
Zulkifli Hasan, Kedudukan Mazhab dan Isu Tuduhan Liwat dan Qazaf Menurut
Perspektif Undang-Undang, dalam Jurnal Syariah dan Undang-Undang Universiti Sains Islam
Malaysia, h. 3
16
Luqman Haji Abdullah dan Nima Jihatea, Bermazhab dan Fanatik Mazhab: Satu
Sorotan Dalam Kerangka Amalan Bermazhab Syafi‟I Masyarakat Melayu, dalam jurnal Fiqh, No.
4, Tahun 2007, H. 109
72
disebutkan bahwa “Hukum Syarak mengikut mazhab Syâfî‟i atau mengikut mana-
mana satu mazhab Mâlikî, Hanafî, atau Hanbali.” Dalam hal ini dijelaskan bahwa
Undang-Undang Keluarga Islam Selangor merujuk kepada 4 mazhab sunni yang
muktabar, penekanan diberikan kepada mazhab Syâfî‟i namun terdapat
kecenderungan untuk merujuk kepada mazhab lainnya jika tidak terdapat
pandangan dalam mazhab syâfî‟i mengenai sesuatu isu atau mazhab syâfî‟i tidak
dapat menyelesaikan isu tersebut.
Dalam Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor) 2003, juga
disebutkan bahwa dalam mengeluarkan fatwa, pendapat yang lazim diikuti adalah
qaul atau pendapat muktamad mazhab Syâfî‟i. Penggunaan pendapat dari mazhab
Syâfî‟i lebih diutamakan dalam pengambilan hujah atau alasan untuk menyokong
suatu pendapat atau keputusan yang dibuat. Pendapat mazhab syâfî‟i, tidak hanya
digunakan pada saat mengeluarkan fatwa namun juga digunakan pada saat
mengeluarkan pendapat atau pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara di
Mahkamah Syariah. Seksyen 54(1), Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri
Selangor) 2003, mengenai Qaul Muktamad yang hendaklah diikuti, disebutkan
bahwa:
(1) Dalam mengeluarkan apa-apa fatwa di bawah seksyen 48 atau
memperakukan apa-apa pendapat di bawah seksyen 53 Jawatankuasa
Fatwa hendaklah pada lazimnya mengikut qaul muktamad (pendapat-
pendapat yang diterima) Mazhab Syafie.
Selain pendapat mazhab Syâfî‟i, qaul dari mazhab ahli sunnah wa al-
jama‟ah yang lainnya ialah mazhab Hanafî, Mâlikî dan Hanbali juga digunakan,
apabila qaul muktamad dari mazhab syâfî‟i berlawanan dengan kepentingan
umum. Dalam Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor) 2003,
Bagian III- Pelantikan Mufti, Kuasa Dalam Hal Ehwal Agama, Jawatankuasa
Fatwa dan Fatwa Yang Berhubungan Dengan Kepentingan Nasional, Seksyen 54
(2) mengenai Qaul Muktamad yang hendaklah diikuti disebutkan bahwa:
(2) Jika Jawatankuasa Fatwa berpendapat bahawa dengan mengikut qaul
muktamad Mazhab Syafie suatu keadaan yang berlawanan dengan
kepentingan awam akan terhasil, Jawatankuasa Fatwa bolehlah mengikut
qaul muktamad Mazhab Hanafî, Mâlikî atau Hanbali.
73
17
Idris Awang dan Teungku Sarina Aini Tengku Kasim, Pembudayaan Mazhab Syafi‟I
Dalam Masyarakat Islam di Malaysia, dalam jurnal Fiqh, No. 4, Tahun 2007, h. 166
18
Idris Awang dan Teungku Sarina Aini Tengku Kasim, Pembudayaan Mazhab Syafi‟I
Dalam Masyarakat Islam di Malaysia, h.168
74
19
Muhammad Ikhlas Rosele, Mohd Anuar Ramli, Mohd Farhan Md. Ariffin, Syamsul
Azizul Marinsah, dalam jurnal “Legasi Madzhab Syafi‟I di Malaysia: Antara Kekangan
Tradisionalisme dan Tuntutan Liberalisme”, dalam 1ST International Islamic Heritage Conference
(ISHEC 2015), h. 532
20
Idris Awang dan Teungku Sarina Aini Tengku Kasim, Pembudayaan Mazhab Syafi‟I
Dalam Masyarakat Islam di Malaysia, H. 165
75
21
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan, (Bandung:
Alfabeta, 2015), h. 204
22
Badruzzaman Ismail dan Syamsuddin Daud, Romantika Warna-Warni Adat
Perkawinan Etnis-Etnis Aceh, (Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Aceh, 2012), h. 2
23
Badruzzaman Ismail dan Syamsuddin Daud, Romantika Warna-Warni Adat
Perkawinan Etnis-Etnis Aceh, h. 161
76
24
Darwis A. Soelaiman, Kompilasi Adat Aceh, (Banda Aceh: Pusat Studi Melayu Aceh
(PUSMA), 2011, h. 68
25
Syamsuddin Daud, Adat Meukawen (Adat Perkawinan Aceh), Aceh: Majelis Adat
Aceh, 2014, h. 40; Badruzzaman Ismail dan Syamsuddin Daud, Romantika Warna-Warni Adat
Perkawinan Etnis-Etnis Aceh, (Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Aceh, 2012), h. 165
26
Ny. Cut Intan Elly Arby, Tata Rias dan Upacara Adat Perkawinan Aceh, (Aceh:
Yayasan Meukuta Alam, Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia “MELATI” Yayasan Insani,
1989), h. 5
77
sebagaimana diungkapan dalam pribahasa, “Han tom mon, jak mita tima” yang
artinya sumur tidak mencari timba.
Meulake (Meminang). Pada tahan meulake (meminang), peran orangtua
pihak laki-laki digantikan oleh seorang yang disebut seulangke bersama dengan
Keucik dan Teungku untuk datang ke rumah calon mempelai perempuan untuk
meminang secara resmi. Peran orangtua pihak laki-laki digantikan dengan maksud
untuk menghindari rasa malu atau kehilangan muka, pada saat tidak mendapatkan
respon dalam meminang. Tugas seulangke adalah sebagai utusan pihak keluarga
pengantin laki-laki dan menjadi pembawa pesan dari keluarga pengantin
perempuan.27
Pada saat acara peminangan, keluarga mempelai laki-laki membawa sirih
yang telah disusun dengan rapi dalam tempatnya yang disebut bate ranub (tempat
sirih), oleh-oleh atau pemberian berupa kain baju, selendang, kain sarung serta
kue-kue adat (peunajoh). Namun yang terpenting adalah tanda pengikat (tanda
kong haba), biasanya yang menjadi tanda adalah cincin emas seberat satu atau dua
mayam. Ba Tanda ini ditempatkan di dalam “talam/dalong” yang dihias
sedemikian rupa; kemudian tempat-tempat itu dikosongkan dan diisi dengan kue-
kue sebagai balah idang (balasan) dari pihak calon dara baro. Acara balah idang
ini dilaksanakannya bisa langsung atau setelah beberapa hari kemudian. Pada
upacara peminangan, ditentukan juga beberapa kesepakatan lain, seperti besarnya
mas kawin, hari akad nikah, intat linto dan hal hal lain yang berkaitan dengan
tindak lanjut dari acara pemingangan. 28
Meugatib dan Intat Linto. Meugatib (acara pernikahan) dan Intat Linto
(Upacara mengantar pengantin pria ke rumah pengantin wanita), antara keduanya
ada yang berjarak waktu beberapa hari dan ada juga yang berlangsung pada hari
yang bersamaaan, tapi ada juga yang berselang waktu sampai satu tahun yang
disebut dengan nikah gantung, maksudnya si suami belum boleh pulang ke rumah
27
Badruzzaman Ismail dan Syamsuddin Daud, Romantika Warna-Warni Adat
Perkawinan Etnis-Etnis Aceh, (Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Aceh, 2012), h. 167; Darwis A.
Soelaiman, Kompilasi Adat Aceh, (Banda Aceh: Pusat Studi Melayu Aceh (PUSMA), 2011, h. 478
28
Ny. Cut Intan Elly Arby, Tata Rias dan Upacara Adat Perkawinan Aceh, (Aceh:
Yayasan Meukuta Alam, Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia “MELATI” Yayasan Insani,
1989), h. 5
78
istrinya sekalipun mereka secara resmi telah menikah, tetapi nikah gantung ini
sudah tidak dilakukan.
Upacara adat meugatib biasanya dilakukan di masjid atau di meunasah
dan terkadang juga dilaksanakan di rumah pengantin perempuan atau di Kantor
Urusan Agama. Dalam upacara tersebut, dibacakan perjanjian atau akad nikah
antara seorang laki-laki dengan perempuan yang akan menjadi istrinya. Perjanjian
tersebut tidak langsung diucapkan dihadapan calon istri, tetapi dihadapan orangtua
atau wali si calon istri dengan disaksikan oleh petugas urusan agama yang
mencatatkannya dalam buku nikah.
Selesai upacara akad nikah, suami tidak boleh langsung serumah dengan
istrinya, tetapi harus menunggu dilangsungkan acara peresmian, karena apabila
aturan ini dilanggar maka akan menimbulkan reaksi adat, seperti yang terjadi di
sebuah desa di Kabupaten Aceh Utara, seorang gadis menikah dengan seorang
pemuda lalu suaminya mengajak istrinya pergi ke luar daerah, tetapi ayah istrinya
melarang mereka, karena belum diresmikan. Oleh karena itu, suami menceraikan
istrinya. Dari kasus ini, dapat dipahami bahwa budaya adat lebih dominan dalam
masyarakat Aceh, meskipun menurut hukum agama perkawinan kedua mempelai
sudah sah, tetapi menurut adat masih harus diresmikan dengan upacara adat,
“meunyo hana ta lakee nhon bu lekat, meu oh rambat bek taba aneuk kamoe”,
maksudnya adalah kalau ada seseorang yang ingin meminta atau meminang
seorang wanita, maka hendaklah ia datang ke rumahnya dengan membawa “Bu
Lekat”, jika tidak membawanya maka jangan harap bisa membawa atau
meminang anak tersebut, bahkan sampai di teras rumahnya pun tidak boleh
dilewati. Bu Lekat adalah makanan khas Aceh yang dibawa dalam upacara adat
Aceh sebagai tanda penghormatan kepada ahli bait dan biasanya dipakai untuk
upacara “Tepung Tawar”.29
Upacara adat intat linto biasa dilakukan setelah calon linto tiba di rumah
dara baro, sekaligus dirayakan dengan pesta perkawinan atau kanduri. Jadi,
29
Wawacara dengan Shaumiati, Masyarakat Desa Lampulo, Kec. Kuta Alam, hari Kamis,
14 Maret 2019.
79
upacara adat intat linto adalah upacara penyambutan linto baro (mempelai pria)
yang diantar ke rumah orangtua dara baro (mempelai wanita). 30
Tueng Dara Baro (mengundang mempelai wanita). Upacara tueng dara
baro adalah upacara mengundang dara baro beserta rombongan ke rumah mertua
(orangtua linto baro). Upacara ini biasanya dilaksanakan pada hari ke tujuh
setelah upacara wo linto. Pada upacara ini, cara penyambutannya sama seperti
pada upacara wo linto, hanya pada upacara tueng dara baro tidak ada berbalas
pantun dan cuci kaki.
Pada saat memasuki halaman rumah, rombongan dara baro disambut
dengan upacara tukar-menukar sirih oleh para orangtua kedua belah pihak. Dara
baro disambut oleh keluarga linto baro dengan memayungi dan membimbingnya
menuju rumah linto baro. Tiba di tangga pintu masuk rumah, rombongan ditaburi
breuh pade (beras padi), bungong rampo (bunga rampai), on seunijeuk (daun-
daun sebagai tepung tawar). Dara baro dipersilahkan menuju tempat istimewa
yang telah disediakan, lalu ibu linto baro melakukan tepung tawar dan dara baro
pun bersujud kepada orangtua linto baro. Orangtua linto baro memegang tangan
dara baro dan membimbingnya mengarah suatu tempat untuk mengambil
perhiasan yang berada di dalam air kembang di suatu wadah khusus. Perhiasan
tersebut diserahkan oleh dara baro kepada ibu mertuanya untuk dipakaikan
kepada dara baro. Biasanya perhiasan terdiri dari kalung, gelang atau cincin emas
sesuai dengan kemampuan pihak linto baro.
Pada upacara ini dara baro menginap di rumah orangtua linto baro selama
tujuh hari. Selama menginap, ia ditemani oleh satu atau dua orang peunganjo.
Setelah tujuh hari, dara baro diantar kembali oleh pihak linto baro ke rumah
orang tua dara baro dengan dibekali beberapa perangkat pakaian, bahan-bahan
makanan, seperti pisang yang disusun dalam dalong, emping dari beras, uang
balah idang dan lain-lain sebagai balasan (balas hidang). Sesampainnya di rumah
orangtua dara baro, maka akan disambut dengan upacara jamuan makan bersama,
maka selesailah upacara adat perkawinan Aceh. 31
30
Tata rias dan upacara adat perkawinan aceh, h. 16
31
Tata rias dan upacara adat perkawinan aceh, h. 19
80
tanda, biasanya tanda berbentuk cincin untuk dikenakan pada jari tunangannya
dan dilakukan di rumah mempelai perempuan. Cincin ini disebut dengan „cincin
tanda‟. 33
Upacara Hantaran Belanja, yaitu untuk menunjukkan rasa
tanggungjawab dari pihak laki-laki untuk mempersunting pihak perempuan yang
pada hakekatnya mencerminkan rasa senasib, sepenanggungan, seaib semalu,
yang berat sama dipikul yang ringan sama dijinjing. Dalam ungkapan Melayu
disebutkan: “Adat orang berantar belanja, Tanda beban sama dipikul, Tanda
hutang sama dibayar, Tanda adat sama diisi, Tanda lembaga sama dituang”. 34
Upacara hantaran belanja dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan kedua
belah pihak, ada yang melaksanakan pada hari tunangan, pada hari lainnya setelah
tunangan, atau pada hari akad nikah. Pada tanggal yang sudah ditentukan, kedua
belah pihak diketuai oleh Ketua Kampung atau Ketua Syarak mengantarkan uang
hantaran belanja perkawinan. Bentuknya pun beragam, ada yang dalam bentuk
cek, dalam jumlah full atau hanya sebagian saja. Uang hantaran belanja itu
digunakan untuk melaksanakan upacara walimah di rumah mempelai
perempuan.35 Uang hantaran itu, biasanya diiringi dengan persalinan untuk
mempelai perempuan dan diubah dalam berbagai macam bentuk atau dibungkus
dalam kain, mengikuti adat daerah masing-masing. Adapun iringan lainnya yaitu
bunga rampai, sirih junjung atau tepak sireh, pahar telor merah dan nasi semangat,
alat solek, buah-buahan dan lain sebagainya.
Menjemput. Keluarga pihak laki-laki akan berkunjung ke rumah orang
tua mereka di kampung untuk memberitahukan tentang hari perkawinan. Saat
berkunjung, mereka membawa tepak sireh untuk menjemput dan meminta sanak
saudara agar datang ke rumahnya. Adapun majlis kenduri perkawinan pertama
kali dilaksanakan di rumah pengantin perempuan. Dalam hal ini, pada hakekatnya
33
Haji Mohd. Yussop Bakar, Adat Perkahwinan Orang Melayu Brunai di Mukim Saba,
(Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan,
1989), h. 50
34
M. Ishak Thaib, Ramlan H. Hitam, Agussuandi Johari, Lazuardy Usman, Nita Trisna
Tabruni, Tata Cara Adat Perkawinan Melayu di Daik Lingga, h 23
35
Wawancara dengan Ahmad Fikri, selaku masyarakat daerah Petaling Jaya, Selangor
Malaysia, 24 September 2018
82
36
Tenas Effendy, Pemakaian Ungkapan Dalam Upacara Perkawinan Orang Melayu,
(Yogyakarta, Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, 2004), h. 43
37
Kementrian Komunikasi dan Multimedia Malaysia, Perkahwinan Tradisional
Masyarakat Melayu, http://www.kkmm.gov.my, diunduh pada tanggal 23 September 2018
Knowledge, Piety, Integrity
BAB IV
83
84
sahnya pernikahan sesuai dengan ketentuan agama dan adat istiadat. 1 Berbeda
halnya dengan masyarakat yang bersistem sosial patrinial seperti masyarakat
Gayo dan Alas, di mana mahar sebagai syarat pernikahan dan juga mengandung
arti sebagai harta pengganti atau pembayaran anak gadis dengan istilah umum
“uang jujur”.
Proses adat perkawinan dikalangan etnis atau suku Aceh merupakan
serangkaian kegiatan yang tidak hanya menjadi urusan pribadi atau keluarga,
tetapi juga menjadi urusan masyarakat setempat. Sebelum melakukan perkawinan,
biasanya diawali dengan peminangan atau pertunangan. Pada pasal 1 Bab 1
Kompilasi Hukum Islam huruf a memberikan pengertian bahwa peminangan ialah
terjadi hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. 2 Apabila
keluarga perempuan telah menerima lamaran dari pihak laki-laki, maka keluarga
si perempuan tidak dibenarkan untuk menerima lamaran orang lain. Dari
pertunangan tersebut ada yang berakhir dengan perkawinan, dan ada pula yang
tidak berakhir dengan perkawinan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Mukhlis M, S.Kom, selaku ADC
Ketua Majelis Adat Aceh bahwa biasanya yang ikut hadir pada saat mengantar
tanda (meminang) adalah seulangkue, keuchik, tuha peut, imeum meunasah,
tokoh-tokoh masyarakat, kerabat dekat dari kedua belah pihak.3 Pada saat
pertunangan, biasanya diadakan kesepakatan atau perjanjian dihadapan semua
yang hadir pada acara tersebut, di antaranya mengenai:
a. Jumlah Jeunamee (Mahar/Mas kawin)
b. Jumlah Peng Angoh (Uang Hangus)
Ialah sejumlah uang yang diminta atau ditetapkan pihak perempuan untuk
diserahkan oleh pihak laki-laki bersamaan dengan penyerahan mahar.
Penetapan uang hangus, biasanya secara musyawarah, bersamaan saat
melakukan lamaran.
1
Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat
dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: Balai Pustaka, 1979), h. 59
2
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, tahun 2001, h. 1
3
Wawancara dengan Mukhlis M, S.Kom, selaku ADC Ketua Majelis Adat Aceh, hari
Senin, tanggal 19 November 2018
85
4
Wawancara dengan Shaumiati, masyarakat desa Lampulo, Kec. Kuta Alam, hari kamis,
tanggal 22 November 2018
5
Wawancara dengan H. Badruzzaman Ismail, S.H, M.Hum, Ketua Majelis Adat
Pemerintah Aceh, hari Senin, tanggal 19 November 2018
86
Jadi dalam perkawinan adat Aceh, terdapat aturan adat yang mengatur
besaran pemberian mahar pada saat pertunangan dan pada saat akad nikah. Di
sejumlah daerah di Aceh Besar, mahar yang diserahkan pada saat pertunangan
adalah ½ dari jumlah mahar yang ditentukan, berbeda dengan di daerah Pidie,
mahar yang diserahkan sekitar 2 mayam sebagai tanda jadi, tanda janji, tanda
pengikat atau lambang kesepakatan bagi kedua belah pihak, bahwa perempuan
tersebut telah dilamar. Adapun sisa mahar, diserahkan pada saat akad nikah,
namun yang disebutkan atau dilafadzkan dalam akad nikah adalah jumlah mahar
secara keseluruhan. 6
History penetapan mahar dalam adat Aceh, ditentukan oleh wali nikah
keluarga perempuan dengan kadar mahar yaitu mahar mitsl. Namun berbeda
halnya apabila yang dinikahkan adalah anak emas atau anak tunggal, biasanya
orangtua atau wali memiliki pertimbangan lain dalam menetapkan mahar selain
hanya melihat pada mahar para pendahulunya. Seperti dengan mempertimbangkan
beberapa hal yang terdapat pada diri calon istri, misalnya tingkat kecerdasannya
atau keilmuannya, ketaatannya atau agamanya, kecantikannya atau paras dan
rupanya, pendidikannya, juga melihat kedudukan status sosial calon istri dan
keluarganya. Sebagaimana disampaikan oleh Tgk. H. Faisal Ali, Wakil Ketua
Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh:
“Jadi, kami masyarakat Aceh menentukan jumlah mahar itu berdasarkan
ketentuan fikih. Kami mempertimbangkan dari segi nasab, kecantikan,
kekayaan dan agama. Namun biasanya status sosial suatu keluarga itu juga
mempengaruhi. Status tertinggi adalah ulama, pejabat pemerintahan dan
keluarga yang dipandang kaya dan status terendah adalah orang miskin,
dan orang yang tidak mempunyai lapangan pekerjaan tertentu.”7
6
Wawancara dengan Fakhrurrazi M. Yunus, Lc, M.A, dosen UIN Ar-Raniry Aceh, hari
senin, tanggal 19 November 2018
7
Wawancara dengan Tgk. H. Faisal Ali, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama
Aceh, hari rabu, tanggal 21 November 2018
87
10
Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh
Nomor 5 Tahun 2016 tentang Mahar Dalam Perspektif Fiqh, Undang-Undang dan Adat Aceh,
ditetapkan di Banda Aceh pada tanggal 21 Dzulqaidah 1438 H/25 Agustus 2016 M
89
adanya undang-undang negara, Qanun Aceh, dan Fatwa MPU Aceh. Dalam hal
praktik pemberian mahar di Aceh tidak bisa terlepas dari kebiasaan masyarakat
yang sudah dilakukan berulang-ulang sejak dulu, yaitu mahar ditetapkan oleh
pihak keluarga perempuan dan diberikan dalam bentuk emas dengan sebutan
mayam. Tradisi ini menjadi kesepakatan sosial dan kebudayaan yang diwarisi dari
generasi ke generasi.
11
Sweet dan Maxwell, Islamic Family Law in Malaysia, (Selangor: Thomson Reuters,
2017), h. 80
90
butir-butir lain apa-apa bahagian mas kahwin atau pemberian atau kedua-
duanya yang telah dijanjikan tetapi tidak dijelaskan pada masa akad nikah
itu, dan tarikh yang dijanjikan untuk penjelasan; dan (d) butir-butir
jaminan yang diberi bagi menjelaskan mas kahwin atau pemberian. 12
Dari Pasal di atas dapat dipahami bahwa pada saat akad nikah, jumlah dan
bentuk mahar akan disebutkan secara rinci. Sedangkan penyerahan mahar, dapat
diberikan oleh calon suami atau yang mewakili, kepada calon istri atau yang
mewakili dengan dihadiri petugas pencatat nikah dan dua orang saksi. Hal ini
dilakukan untuk kemaslahatan bersama.13 Selain itu, petugas pencatat nikah
mencatatkan data pernikahan kedua mempelai dan mencatat beberapa hal, di
antaranya 1). Jumlah mahar 2). Jumlah pemberian 3). Jumlah mahar atau
pemberian, atau keduanya yang dijanjikan tetapi belum diserahkan pada waktu
akad nikah dan janji tanggal penyerahannya 4). Keterangan yang dapat dijadikan
jaminan untuk menyerahkan mahar atau pemberian. 14 Peraturan ini bertujuan
untuk menghindari penipuan, penganiayaan dan masalah yang tidak diinginkan
muncul setelah berlangsungnya sebuah pernikahan.15
Adanya penetapan kadar mahar minimum di Malaysia, bertujuan sebagai
panduan masyarakat dalam memberikan mahar dan agar masyarakat tidak
sewenang-wenang meletakkan kadar mahar pada tahap yang paling rendah,
sehingga menjatuhkan martabat wanita ataupun meletakkan kadar mahar pada
tahap yang maksimal sehingga membebankan kaum laki-laki untuk menikah. Hal
ini dikarenakan untuk menjaga kemaslahatan bersama, untuk menjaga hak wanita
dan memberi kemuliaan terhadapnya serta memberi perlindungan sosio-ekonomi.
Bagi pasangan yang menikah di negeri yang mempunyai panduan kadar
minimum, maka mempelai laki-laki tidak boleh mengurangi kadar mahar yang
12
Warta Kerajaan Selangor, Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri
Selangor) 2003, (Selangor: 28 April 2003), h. 170; Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor)
2003, Fatwa di bawah Seksyen 47, (Selangor: Februari 2010)
13
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Bandung: PR. Remaja Rosdakarya,
1991), h. 42
14
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1 dilengkapi Perbandingan UU Negara
Muslim Kontemporer, h. 157; Islamic Family Law Enactment 1984 Malaysia, pasal 21 ayat 1 dan
2
15
Zurita Mohd Yusoff, “Amalan Pemberian Mas Kahwin di Malaysia”, dalam Jurnal
Islam & Masyarakat Kontemporari, Jilid 1 tahun 2008, h. 51
91
yang ditentukan, tapi boleh memberikan jumlah mahar lebih dari ketentuan
tersebut. Artinya, jumlah yang ditentukan adalah kadar minimum sebagai panduan
bagi mempelai laki-laki. Sedangkan bagi pasangan yang menikah di negeri yang
yang tidak terlibat dengan panduan minimum mas kawin, mereka bebas
menetapkan kadar mahar perkawinan, tanpa ada yang menghalangi.
Adapun kadar mahar yang ditetapkan oleh Jabatan Agama Islam adalah
kadar minimum, sedangkan kadar maksimal tidak ada batasnya. Jabatan Agama
Islam Selangor tidak menetapkan kadar maksimum atau nilai mahar yang tinggi,
karena membebankan pihak laki-laki dalam menikah adalah bertentangan dengan
hikmah perkawinan.16 Peraturan ketetapan JAIS ini mengikat dan wajib diikuti
oleh seluruh masyarakat yang bermukim atau yang ingin menikah di negeri
Selangor.
Jadi, apabila suatu fatwa yang telah diwartakan dalam Warta Kerajaan,
hendaklah mengikat orang Islam yang tinggal dalam negeri Selangor sebagai
ajaran agamanya dan hendaklah menjadi kewajibannya untuk mengikuti dan
berpegang teguh dengan fatwa itu, kecuali jika ia dibenarkan oleh hukum syarak
menyimpang daripada fatwa itu dalam hal kewajiban pribadi, kepercayaan atau
pendapat, dan hanya fatwa yang diwartakan saja yang boleh dikuatkuasakan
menurut undang-undang, itu pun hanya di dalam kawasan negeri yang
mewartakan itu.17
Dalam Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor) 2003,
Bagian III-Pelantikan Mufti, Kuasa Dalam Hal Ehwal Agama, Jawatankuasa
Fatwa dan Fatwa Yang Berhubungan Dengan Kepentingan Nasional, Seksyen 49
mengenai Fatwa yang disiarkan dalam Warta adalah mengikat, disebutkan bahwa:
(1). Apabila disiarkan dalam Warta, sesuatu fatwa hendaklah mengikat
tiap-tiap orang Islam yang berada di Negeri Selangor sebagai ajaran
agamanya dan hendaklah menjadi kewajipannya di sisi agama Islam untuk
mematuhi dan berpegang dengan fatwa itu, melainkan jika dia dibenarkan
oleh Hukum Syarak untuk tidak mengikut fatwa itu dalam perkara-perkara
amalan peribadi. (2) Sesuatu fatwa hendaklah diiktiraf oleh semua
16
Jabatan Mufti Negeri Selangor, Garis Panduan Majlis Perkahwinan, 2012, h. 2
17
Zaini Nasohah, Undang-Undang Penguatkuasaan Fatwa di Malaysia, dalam Jurnal
Islamiyyat Vol. 27 No. 1, tahun 2005, h. 41
92
18
Wawancara dengan Siti Mariam binti Safii, Penolong Pegawai Hal Ehwal Islam,
Bahagian Undang-Undang Keluarga, Seksyen Dokumen Nikah, Cerai dan Rujuk, hari Rabu,
tanggal 14 November 2018
19
Mohd Shahizan Bin Ahmad, Penolong Pengarah Kekeluargaan/Kemasyarakatan, Naskah
Kertas Cadangan/Proposal untuk Mensyuarat Jawatankuasa Fatwa Negeri Selangor, h. 2
20
Wawancara dengan Siti Mariam binti Safii, Penolong Pegawai Hal Ehwal Islam,
Bahagian Undang-Undang Keluarga, Seksyen Dokumen Nikah, Cerai dan Rujuk, hari Rabu,
tanggal 14 November 2018
93
21
Warta Kerajaan Selangor, Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor) 2003,
Fatwa dibawah Seksyen 47, (Selangor: 4 Februari 2010); Jabatan Mufti Negeri Selangor, Hukum
Penetapan Kadar Maskahwin Bagi Negeri Selangor, dalam https://www.muftiselangor.gov.my,
diunduh pada 20 April 2018
22
Ahmad Baei Jaafar, Dara atau janda, Mas Kahwin tetap RM 300, dalam berita online
Malaysia yang diakses melalui http://ww1.utusan.com.my, diunduh pada 2 Juli 2018; Megat Ramli
Megat Raof, Mas Kahwin Selangor RM 300, dalam berita online Malaysia yang diakses melalui
http://ww1.kosmo.com.my, diunduh pada 23 September 2018
94
23
Wawancara dengan Adim Hidayat bin Mukim, Penolong Pendaftar Nikah/Imam Masjid
Saujana Utama 2 Sungai Buloh Selangor, hari selasa, tanggal 13 November 2018; Bahagian
Undang-Undang Keluarga, Jabatan Agama Islam Selangor, Prosedur Operasi Seragam (SOP)
Pelaksanaan Pengurusan Majlis Akad Nikah
24
Mimi Kamariah Majid, Undang-Undang Keluarga di Malaysia, Malaysia: Butterworths
Asia, 1992, h. 33; Mimi Kamariah Majid, Malaysia: Malayan Law Journal Sdn Bhd, 1999, h. 51
25
(1911) 12 FMSLR 61
26
Wawancara dengan Syariffudin bin Mustafa, Pimpinan Pesantren Tahfidz Al-Gontory,
Masyarakat Kuala Selangor, hari selasa, tanggal 13 November 2018
95
ekonomi yang berkembang pada masyakarat setempat. Dari paparan kadar mahar
diseluruh negeri di Malaysia, ketetapan kadar mahar di negeri Selangor adalah
yang tertinggi. Hal ini dikarenakan ekonomi masyarakat Selangor itu baik, mapan,
dan maju. Berbeda dengan negeri Kelantan, Kedah, Perlis dan sebagainya.
Sehingga, apabila diseragamkan seluruh negeri di Malaysia dengan kadar mahar
yang sama, itu bisa memberatkan suatu negeri yang kemampuan ekonominya
rendah.
Dalam melaksanakan peraturan mengenai mahar yang telah ditetapkan
oleh Jabatan Agama Islam Selangor, terutama bagi kaum laki-laki, apabila
melanggar atau tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan, maka tidaklah
dikenakan sanksi, baik kurungan maupun denda. Pelanggaran yang dilakukan,
bukanlan pelanggaran pidana, melainkan aturan ini dibuat untuk menjamin
kedudukan wanita dengan memberikannya mahar dan untuk mengawal jumlah
mahar yang terkadang pihak keluarga perempuan meminta mahar yang tinggi,
sehingga membebankan pihak laki-laki dalam mempersiapkan pernikahan.
Dari paparan pembahasan di atas dapat dipahami bahwa dalam hal
pemberian mahar di Selangor, masyarakat menerapkan ketentuan Jabatan Agama
Islam Selangor yang menetapkan kadar mahar senilai RM 300.00. Dengan adanya
ketetapan kadar mahar ini, menjamin para calon istri untuk mendapatkan dan
memiliki mahar, sebagai hak mutlak baginya.
Kata „Urf secara etimologi berarti sesuatu yang di pandang baik dan
diterima oleh akal sehat, sedangkan secara terminologi berarti sesuatu sesuatu
yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan
menyatu dengan kehidupan mereka, baik berupa perbuatan atau perkataan.27
Dalam hal pertunangan pada masyarakat Aceh, biasanya kedua belah pihak
keluarga mengadakan kesepakatan dan perjanjian di hadapan semua yang hadir
pada acara tersebut, di antaranya mengenai Jumlah Jeunamee, Jumlah Peng
Angoh (Uang Hangus), Jadwal Perkawinan, dan Sanksi-sanksi terhadap hal hal
27
Effendi Satria, M. Zein, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 21
96
yang mungkin terjadi di kemudian hari. Kebiasaan ini sudah dilakukan berulang-
ulang sejak dulu. Semua perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah
keluarga pada saat pertunangan berlangsung dan dihadiri oleh banyak saksi, harus
dilaksanakan di kemudian hari. Dengan demikian, kadar mahar yang telah
ditentukan tidak boleh dikurangi, karena akan menjadi aib keluarga.
Adapun mengenai sanksi adat mengenai pembatalan pernikahan di
kemudian hari, kedua belah pihak baik calon suami dan calon istri diwajibkan
untuk menerima dan menerapkan sanksi yang telah disepakati. Apabila calon
suami membatalkan pernikahan maka hilanglah semua barang-barang bawaan dan
emas sebagai tanda pertunangan yang telah diserahkan kepada pihak calon istri.
Apabila calon istri yang membatalkan pernikahan, maka pihak wanita harus
membayar dua kali lipat dari nilai barang-barang yang telah diterimanya.
Kesepakatan dan perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak pada saat
pertunangan, meskipun tidak dituangkan dalam bentuk tulisan namun kesepakatan
tersebut dilihat dan didengar oleh semua yang hadir di acara pertunagan tersebut.
Sehingga apabila terdapat hal yang dilanggar atau tidak dipatuhi, tentu akan
dikenakan sanksi dari lingkungan masyarakat, misalnya seperti cibiran dan lain-
lain.
Menurut Abdul Wahhab Khalaf, „Urf adalah sesuatu yang telah diketahui
oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, baik dari perkataan atau
perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan. Merupakan tradisi masyarakat Aceh
bahwa dalam penetapan nilai mahar perkawinan, ditentukan oleh wali nikah
keluarga perempuan. Tradisi ini telah menyatu dalam kehidupan masyarakat
secara turun-menurun. Sehingga hal tersebut tumbuh dan terbentuk dalam
masyarakat yang dianggap memiliki nilai dan harus dipatuhi.
Dari segi objeknya, mahar perkawinan pada masyarakat Aceh diberikan
dalam bentuk emas, dengan sebutan mayam. Hal ini termasuk dalam al-„urf al-
lafzi yang merupakan kebiasaan masyarakat Aceh dalam mempergunakan lafaz
mayam dalam mengungkapkan mahar yang diberikan oleh mempelai pria.
Mayam adalah emas 24 karat atau emas murni 90 % sampai 99 %. 1 Mayam
sekitar 3,3 gram, dalam hitungan rupiah 1 gr emas 24 karat sekitar Rp. 668.000.
97
28
Harga emas hari ini, Kamis 22 November 2018, diakses melalui http://harga-emas.org
29
Wawancara dengan M. Iqbal, Ketua KUA Kec. Kuta Alam, hari kamis, tanggal 22
November 2018
98
Dari paparan pasal 31 KHI, dapat dipahami bahwa ada dua hal yang
menjadi pedoman dan acuan dalam penentuan bentuk dan jenis mahar,
di antaranya pertama mahar ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah
99
30
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), h.
148; Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015),
h. 85
31
Mahrus Ali, Pemetaan Tesis dalam Aliran-Aliran Filsafat Hukum dan Konsekuensi
Metodologisnya, Jurnal Hukum Ius Quia Lustum Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia,
Vol. 24 Issue 2, April 2017, hal. 219
32
Effendi Satria, M. Zein, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 21
100
memberikan ketentuan berapa kadar minimum yang harus diberikan kepada calon
mempelai perempuan saat akad nikah.
Jabatan Agama Islam Selangor menetapkan kadar mahar sejumlah RM
300 untuk masyarakat Selangor. Adanya penetapan kadar mahar di Malaysia,
bertujuan sebagai panduan masyarakat dalam memberikan mahar, agar
masyarakat tidak sewenang-wenang meletakkan kadar mahar pada tahap yang
paling rendah, sehingga menjatuhkan martabat wanita ataupun meletakkan kadar
mahar pada tahap yang paling tinggi, sehingga membebankan kaum laki-laki
untuk menikah. Hal ini dikarenakan untuk menjaga kemaslahatan bersama, untuk
menjaga hak wanita dan memberi kemuliaan terhadapnya serta memberi
perlindungan sosio-ekonomi. Tindakan dan kebijaksanaan pemerintah negeri
Selangor dalam menetapkan kadar mahar sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang
berbunyi:
ِ ِحة
ِ ىِالرعِيِةِِمِنِ ِوطِِبِمل صِِل
ِ ِالمِامِِ ِعل
ِ ِف
ِ تِصِِر
Artinya: “Tindakan Imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan
kemaslahatan”
minimum, sedangkan kadar maksimal tidak ada batasnya. Jabatan Agama Islam
Selangor tidak menetapkan kadar maksimum atau nilai mahar yang tinggi, karena
membebankan pihak laki-laki dalam menikah adalah bertentangan dengan hikmah
perkawinan.33
Dalam prespektif hukum Islam, bahwa Islam tidak menetapkan kadar
mahar baik dalam jumlah besar atau kecilnya mahar. Karena Islam menyerahkan
masalah jumlah mahar berdasarkan kemampuan masing-masing orang. Segala nas
dalam Al-Qur‟an maupun hadis yang memberikan keterangan mengenai kadar
mahar, tidaklah dimaksudkan kecuali untuk menunjukkan pentingnya nilai mahar
tersebut, tanpa melihat besar kecilnya jumlah mahar yang diberikan. Bahkan
diperbolehkan untuk memberi mahar dengan sebuah cincin besi atau mengajarkan
beberapa ayat Al-Qur‟an dan lain sebagainya, dengan persyaratan sudah saling
disepakati oleh kedua belah pihak yang melakukan akad.
Dari paparan analisis di atas, dapat dipahami bahwa teori „Urf berlaku
dalam hal pemberian mahar pada masyarakat Aceh dan Selangor, di mana
menjadi kebiasaan masyarakat setempat bahwa mahar ditentukan oleh pihak
keluarga perempuan bagi masyarakat Aceh dan mahar ditentukan oleh pihak
Jabatan Agama Islam Selangor (JAIS) bagi masyarakat Selangor.
33
Jabatan Mufti Negeri Selangor, Garis Panduan Majlis Perkahwinan, 2012, h. 2
102
34
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup, 2010, h. 48
35
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian (Jakarta:
Sinar Grafika, 2013), h. 181
36
Rusdi Malik, Memahami Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Universitas Trisakti,
2009), h. 31
106
lebih besar. Oleh karena itu, perceraian adalah pintu daruratnya perkawinan guna
keselamatan bersama.”
Sebagaimana disebutan pada pembahasan di atas bahwa mahar adalah hak
ekslusif perempuan dan menjadi harta pribadinya.37 Mahar adalah miliknya secara
keseluruhan, di mana ia boleh membelanjakan atau menggunakan secara bebas
sesuai dengan kehendak hatinya, tanpa harus meminta izin terlebih dahulu kepada
suaminya.38 Apabila terjadi perceraian, di antara hak-hak yang diperoleh istri
setelah terjadinya perceraian di antaranya adalah 1). Hak Nafkah, Maskan/Tempat
Tinggal dan Kiswah/Pakaian, 2). Hak Mut‟ah 3). Mahar yang masih terhutang 4).
Biaya Hadhanah untuk anak-anak sampai ia mumayyiz berumur sebelum 21
tahun.39
37
Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟rawi, (Jakarta:
„Eraju, 2004), h. 101
38
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, dengan penerjemah Abdul Ghoffar, Fiqih Wanita,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), cetakan 4, h. 439
39
Anita Marwing, Perlindungan Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian (Studi Terhadap
Putusan Pengadilan Agama Palopo), dalam Jurnal PALITA: Journal of Social-Religi Research,
April 2016, Vol. 1, No. 1, h.60
107
antaranya bahwa antara Pemohon dan Termohon telah terjadi perselisihan dan
pertengkaran terus-menerus, sehingga Termohon tidak keberatan dan setuju untuk
bercerai dengan Pemohon, sedangkan untuk hak-hak Termohon sebagai isteri
yang akan dicerai Termohon tidak menuntut uang „Iddah dan Mut„ah, namun
Termohon mohon agar mahar dan hutang emas sebanyak 28 mayam dikembalikan
Pemohon kepada Termohon. Pemohon bersedia mengembalikan hutang emas dan
mahar dengan memberikannya dengan dicicil setiap bulan 1 mayam emas.
Setelah melalui proses peradilan, maka Mahkamah Syar„iyah Banda Aceh
menyatakan untuk memberi izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu
Raj‟i terhadap Termohon di depan sidang Mahkamah Syar‟iyah Banda Aceh dan
menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon berupa: 1) Mahar yang
terhutang berupa emas sebesar 16 mayam dan hutang emas sebesar 12 mayam. 40
40
0055/Pdt.G/2017/Ms.Bna
108
ada beberapa hal yang perlu dijelaskan secara ringkas dan dianggap mendukung
dan memperjelas permasalahannya.
Hukum taklîfi dari mahar itu adalah wajib. Artinya, laki-laki yang
menikahi seorang perempuan, wajib menyerahkan mahar kepada istrinya dan
berdosa bagi suami yang tidak menyerahkan mahar kepada istrinya.41 Allah
berfirman dalam surat Al-Nisâ ayat 24:
Ayat di atas menjelaskan bahwa mahar merupakan hak istri yang diterima
dari suami, pihak suami memberikannya dengan suka rela tanpa mengharapkan
imbalan, sebagai pernyataan kasih sayang dan tanggungjawab suami atas
kesejahteraan keluarganya.
Kewajiban pemberian mahar merupakan satu gambaran dari sebuah
kemauan dan tanggungjawab seorang suami untuk memenuhi nafkah yang
diperlukan dalam kehidupan berumah tangga, karena memang menjadi kodrat
bahwa hanya laki-laki yang berkewajiban dalam memberi nafkah dan memiliki
tanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. Sedangkan
tugas dari seorang wanita dalam keluarga adalah menjaga rumah tangga, terutama
mendidik anak.42
Semua mahar, baik yang disebutkan maupun yang tidak disebutkan pada
saat akad nikah, maka kewajiban memberikan mahar itu harus ditunaikan selama
masa perkawinan sampai putusnya perkawinan. Artinya, kewajiban memberi
mahar tidak gugur atau tidak hilang baik karena putusnya perkawinan maupun
kematian. Maka apabila mahar belum dibayarkan atau baru dibayar sebagian,
41
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 61; Abu Malik Kamal bin As-
Sayyid Salim, Shahih Fiqh As-Sunnah, (Mesir: Al-Maktabah At-Taufiqiyah, 2003) Jilid 3, h. 160
42
Abdul Kohar, “Kedudukan dan Hikmah Mahar Dalam Perawinan,” dalam jurnal
Hukum dan Ekonomi Islam, Juni 2016, h.42; Abdul Adzim Badawi, Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah
wa Al-Kitab Al-„Aziz, (Mesir: Darul Ibn Rajab, 2001), h. 228
109
maka dianggap sebagai hutang yang wajib dilunasi oleh mempelai laki-laki.43 Hal
ini merupakan tuntutan yang telah diformulasikan oleh syariah untuk
direalisasikan.44
Kembali kepada kasus yang sedang dibahas, seperti yang dikemukakan di
atas bahwa majelis hakim hanya fokus pada perkara perceraian, sebagaimana
dikutip dalam pertimbangan hukum, yaitu berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah
Agung Nomor 38/K/AG/1990 tanggal 5 Oktober 1991, bahwa dalam pemeriksaan
perceraian dengan alasan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 jo Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, di mana doktrin yang harus
diterapkan dalam perkara perceraian adalah “broken marriage” atau “az-zawaj al-
maksuroh” (pecahnya rumah tangga), sehingga Pengadilan tidak menitik beratkan
pada kesalahan siapa yang menjadi pemicu adanya perselisihan, akan tetapi
haruslah menekankan pada kondisi senyatanya rumah tangga itu sendiri.
Selain itu, berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor
379/K/AG/1995 tanggal 22 Maret 1997 bahwa suami istri yang tidak berdiam
serumah lagi dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi/kembali, maka rumah
tangga tersebut telah terbukti retak dan pecah. Dalam kaidah fiqhiyyah
disebutkan:
درءِاملفاسدِمقدمِعلىِجلبِاملصاحل
Artinya: “Menghindari kerusakan paling diutamakan, untuk mendapatkan
kemaslahatan atau kebaikan.”
43
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2015), h. 71
44
Harijah Damis, “Konsep Mahar Dalam Perspektif Fikih dan Perundang-Undangan,”
dalam jurnal Yudisial No. 9 April 2016, h. 23
110
untuk kembali kepada istrinya tanpa melalui akad baru, selama istrinya itu masih
dalam masa iddah. Status hukum perempuan dalam masa talak Raj‟i itu adalah
sama dengan istri dalam masa pernikahan dalam semua keadaannya, kecuali
dalam satu hal, yaitu tidak boleh bergaul dengan mantan suaminya. 45 Majelis
hakim juga menghukum Pemohon untuk melunasi mahar yang terhutang sebesar
16 mayam dan hutang emas sebesar 12 mayam. Hal ini sesuai dengan aturan
dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 149 huruf c, yang berbunyi:
Pasal 149 huruf c : “Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya,
dan separoh apabila qobla al dukhul”.
45
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012), h. 196; M.A. Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), h. 243; Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan), (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2014), h. 221
46
Ica Rezky, Tinjauan Yuridis Pengembalian Mahar Setelah Perceraian Menu rut
Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Agama Wonosari Nomor:
1023/Pdt.G/2009/PA.Wno), dalam Jurnal JOM Fakultas Hukum, Vol. III, Oktober 2016, h. 13
111
2. Nomor: 267/Pdt.G/2011/MS.Bna
Duduk perkara: Bahwa pada tanggal 07 Maret 2009, Pemohon dan
Termohon telah menikah dan telah tercatatkan dalam akte nikah nomor
16/1/VI/III/2009. Selama menikah Pemohon dan Termohon berpindah-pindah
tempat tinggal, dan terakhir bertempat tinggal di Seutui Banda Aceh dan telah
hidup sebagaimana layaknya suami istri namun belum dikaruniai anak keturunan.
Pada awalnya kehidupan rumah tangga rukun dan damai, namun sejak bulan
kedua pernikahan terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran antara
keduanya sehingga membuat kehidupan rumah tangga tidak harmonis lagi. Replik
dari Pemohon dan Duplik dari Termohon yang pada pokoknya mereka tetap
dengan prinsipnya masing-masing, yaitu Pemohon ingin bercerai dengan
Termohon sedangkan Termohon tidak ingin bercerai dengan Pemohon, namun
apabila perceraian itu terjadi maka Termohon menuntut Pemohon untuk
membayar/menyerahkan kepada Termohon biaya hidup, uang iddah, uang mut‟ah
dan kiswah serta hutang mahar Pemohon kepada Termohon yang jumlahnya
sebagaimana tercantum dalam jawaban Termohon.
Setelah melalui proses peradilan, maka Mahkamah Syar„iyah Banda Aceh
menyatakan untuk memberi izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu
Raj‟i terhadap Termohon di depan sidang Mahkamah Syar‟iyah Banda Aceh dan
menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon yang jumlahnya
berupa: 1). Nafkah Iddah sejumlah Rp. 1.700.000, 2). Nafkah Mut‟ah sejumlah
Rp. 1.000.000;, 3). Hutang Mahar sejumlah 3 mayam emas. 4). Setoran Kredit
pada PT.CCM Sub. Lhokseumawe sejumlah Rp. 1.458.00047
Setelah membaca duduk perkara dalam kasus ini, dapat dipahami bahwa
Pemohon ingin bercerai dengan Termohon sedangkan Termohon tidak ingin
bercerai dengan Pemohon, namun apabila perceraian itu terjadi maka Termohon
menuntut Pemohon untuk membayar/menyerahkan kepada Termohon biaya
47
267/Pdt.G/2011/MS.Bna
112
hidup, uang iddah, uang mut‟ah dan kiswah serta hutang mahar Pemohon kepada
Termohon.
Masalah pokok dalam pembahasan ini adalah mengenai hutang mahar
Pemohon terhadap Termohon. Dalam pertimbangan hukum, Majelis Hakim
Mahkamah Syar‟iyah Banda Aceh menyebutkan bahwa tentang nafkah iddah,
mut‟ah, kiswah dan hutang mahar merupakan akibat dari cerai talak, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 149 huruf a, b, dan c Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 149 huruf c : “Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya,
dan separoh apabila qobla al dukhul”.
48
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012), h. 196; M.A. Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), h. 243; Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan), (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2014), h. 221
113
maupun kematian. Maka apabila mahar belum dibayarkan atau baru dibayar
sebagian, maka dianggap sebagai hutang yang wajib dilunasi oleh mempelai laki-
laki.49
49
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2015), h. 71
50
Mahmood Zaki Abdul Majid dan Raihanah Azhari, Undang-Undang Keluarga Islam
Konsep dan Pelaksanaannya di Malaysia, (Kuala Lumpur: Fakulti Syariah Akademi Islam,
Universiti Malaya, 1989), h. 90
114
terhadap mas kahwinnya dan pemberian kepadanya atau apa apa bahagian
daripadanya apabila perkahwinannya dibubarkan”.
51
(1986) 6 JH 130.
52
(1983) JH 108.
53
((1191) 2 Federated Malay States Law Reform, 6
54
Mal. No. 48/82
115
Nerang, Kedah memutuskan bahwa Mat Akhir bin Mansor menghukum Tergugat
untuk membayar Nafkah Iddah sebanyak $500, Nafkah Mut‟ah $500, Maskawin
terhutang $600. Adapun pembayaran tersebut, boleh secara berangsur selama 16
bulan, dan Hakim juga memerintahkan pendapatan gaji Mat bin Mansor untuk
dipotong sebanyak $100 mulai bulan September 1983 hingga bulan Desember
1984.
Dari pemaparan pembahasan di atas, dapat dipahami bahwa segala
pemberian yang dijanjikan dan telah dicatatkan pada saat akad nikah, menjadi hak
mutlak istri, dan istri mendapatkan jaminan untuk memilikinya secara pribadi.
Apabila dikemudian hari terjadi perceraian, maka istri berhak untuk mengajukan
gugatan kepada mahkamah syar‟iyah mengenai mahar atau pemberian lainnya
yang dijanjikan namun belum ditunaikan.
55
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan, (Bandung:
Alfabeta, 2015), h. 15
116
adat agar terhindar dari penyimpangan dan pelanggaran yang akan menjatuhkan
martabat, kehormatan keluarga dan kerabat yang bersangkutan. 56
Dalam perkawinan adat Aceh, kadar mahar perkawinan ditentukan oleh
pihak keluarga perempuan, baik itu jumlah mahar, uang hangus, hantaran, dan
pemberian lainnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Mukhlis M, S.Kom,
selaku ADC Ketua Majelis Adat Aceh bahwa Majelis Adat Aceh (MAA) tidak
mengeluarkan seruan atau maklumat kepada masyarakat mengenai mahar, hal ini
dikarenakan mahar bersifat dinamis, dan tidak ada ketentuan khusus yang
ditentukan oleh pemerintah daerah maupun majelis adat.
“Di Aceh ini peraturan yang berlaku bisa dalam bentuk Qanun Aceh yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Aceh, bisa Fatwa yang dikeluarkan
oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) ataupun dari kami yaitu
seruan atau Maklumat yang dikeluarkan oleh Majelis Adat Aceh. Untuk
mahar sendiri, Majelis Adat Aceh tidak mengeluarkan seruan atau
maklumat khusus kepada masyarakat, karena dari 23 kabupaten/kota di
Aceh, memiliki tradisi yang berbeda dalam menentukan mahar”57
56
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan, h. 203
57
Wawancara dengan Mukhlis M, S.Kom, selaku ADC Ketua Majelis Adat Aceh, hari
Senin, tanggal 19 November 2018
58
Wawancara dengan Saifullah, Ketua KUA Kec. Baiturrahman, hari rabu, tanggal 21
November 2018
117
59
Harga emas hari ini, Kamis 22 November 2018, diakses melalui http://harga-emas.org
60
Wawancara dengan H. Badruzzaman Ismail, S.H, M.Hum, Ketua Majelis Adat Aceh,
hari Senin, tanggal 19 November 2018
61
Wawancara dengan M. Iqbal, Ketua KUA Kec. Kuta Alam, hari kamis, tanggal 22
November 2018
62
Burhanuddin A. Gani, Ainun Hayati, “Pembatasan Jumlah Mahar Melalui Keputusan
Musyawarah Adat Kluet Timur”, dalam jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Vol. 1, No. 1
Januari-Juni 2017, h. 174
118
dewasa jika sudah berumur 16-20 tahun atau sudah mendapatkan haid pertama.
Inisiatif untuk melakukan perkawinan datangnya dari pihak pemuda, sedangkan
wanita hanya menerima saja. Dalam hal ini ada istilah Aceh yang menyebutkan
bahwa kon mon mita tima, yang artinya bukanlah sumur mencari timba, tetapi
sebaliknya.63
Bagi masyarakat Aceh Besar, jeunamee merupakan syarat mutlak bagi
orang yang akan melangsungkan perkawinan. Hal ini sesuai dengan aturan dalam
agama Islam, di mana pihak pengantin laki-laki diharuskan membayarkan
sejumlah uang kepada calon istrinya. Jeunamee tersebut kemudian menjadi hak
istri dan tidak diperuntukkan keluarganya. Pada masa pertunangan, biasanya pihak
orangtua laki-laki membawa emas 1 atau 2 mayam sebagai tanda pertunangan dan
tidak jarang pula dibawa 1 stel pakaian dan panganan, dan apabila dikemudian
hari pihak laki-laki membatalkan perkawinan, maka emas yang dibawa tersebut
hilang (hangus), sedangkan apabila pihak perempuan yang membatalkan
perkawinan, maka emas tanda pertunangan tersebut dikembalikan dengan ganda
dua. Ketentuan ini hampir dilaksanakan di setiap kecamatan di Aceh.
Saat ini penentuan jeunamee tidak lagi dengan jumlah ringgit, tetapi telah
diganti dengan sejumlah emas atau dengan uang yang diukur dengan harga emas.
Pada zaman kerajaan Aceh dahulu, besarnya jeunamee untuk seorang gadis,
ditentukan menurut tingkat dan kedudukannya dalam masyarakat, misalnya 1).
Untuk putri sultan, sebesar 1.000 ringgit; 2). Anak perempuan dari seorang
tuanku, sebesar 500 Ringgit Aceh (sekati emas); 3). Anak perempuan dari
ureueng ulee (orang terkemuka) dalam kelompok keluarga raja, seperti cut dan
meurah, uleebalang dan lain-lain yang sederajat, sebesar 100 Ringgit Aceh (4
bungkal emas); 4). Anak perempuan dari orang pertengahan, seperti Imeum,
Keuchik, Teungku Meunasah dan sebagainya ditentukan sebesar 50 Ringgit Aceh
(2 bungkal emas); 5). Maskawin dari anak perempuan yang sangat miskin orang
63
Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan Pada
Masyarakat Aceh, (Aceh: Majelis Adat Aceh) h. 38
119
tuanya adalah 1 atau 2 tahil. Sedangkan besarnya jeunamee untuk wanita janda,
ditentukan menurut kesepakatan kedua belah pihak (di bawah tangan).64
Sedangkan amalan adat pada masyarakat Melayu di Malaysia telah
menyatu dan bertransformasi dalam kerangka agama Islam. Kedatangan Islam
merupakan satu revolusi dan transformasi di kalangan suku Melayu, di mana
kehidupan masyarakat dan kebudayaannya ditransformasi hampir keseluruhannya
menjadi Islam sehinga terbentuk suatu sistem kehidupan dan kemasyarakatan
yang beridentitaskan Islam.65
Di Malaysia, beberapa norma-norma Hukum Islam dan sebagian adat
resam Melayu telah dikodifikasikan dalam bentuk perundang-undangan agar
kehidupan masyarakat lebih sistematik dan teratur. Dalam hal mahar perkawinan,
menunjukkan kompromi di antara Undang-Undang Islam dan adat Melayu yang
lama. Dalam Islam, terdapat satu bayaran wajib dalam perkawinan yaitu mahar,
sebaliknya dalam adat Melayu terdapat beberapa pembayaran adat yang wajib
ditunaikan, bermula dari pertunangan, hingga lahirnya anak pertama, dan
seterusnya. Pada asalnya mahar diberikan kepada ibu bapak pengantin perempuan,
tetapi kini diserahkan kepada pengantin perempuan. Kompromi lainnya adalah
dengan mencantumkan mahar dalam Undang-Undang Keluarga Islam, baik di
Malaysia maupun Indonesia.
Dalam adat pada masyarakat Melayu biasanya saat pertunanganan,
ditentukan tanggal perkawinan, jumlah mahar dan hantaran, di samping
menetapkan beberapa hal yang diperlukan untuk acara akad nikah. Rundingan
mengenai berapa banyak mahar dan hantaran yang diberikan, ditentukan oleh
pihak keluarga perempuan dengan melihat pada status sosial keluarga perempuan
dan tahap pendidikannya.
Bagi orang Melayu di Selangor, masalah mahar dan hantaran akan
ditentukan pihak keluarga perempuan, ketika pihak keluarga perempuan memberi
keputusan untuk menerima lamaran atau pinangan dari pihak keluarga laki-laki.
64
Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan Pada
Masyarakat Aceh, (Aceh: Majelis Adat Aceh) h. 41
65
Zainal Kling, Islam dan Kebudayaan Alam Melayu, dalam dialog Budaya ke-2:
Kebudayaan sebagai Wahana Keamanan di Pattani, Thailand pada 2-4 Februari 2007, h. 11
120
Jika pihak perempuan menerima pinangan tersebut, maka pihak keluarga akan
berbincang mengenai kadar mahar dan hantaran. Biasanya, pihak keluarga
perempuan telah bersepakat terlebih dahulu dengan ahli keluarga mengenai kadar
mahar dan hantaran sebelum mengemukakannya kepada pihak laki-laki. Apabila
pihak laki-laki setuju dengan kadar yang ditetapkan pihak perempuan, maka akan
diadakan suatu pertemuan antara kedua belah pihak keluarga untuk melaksanakan
adat istiadat Melayu Selangor yaitu adalah hari pertunangan resmi atau mengantar
Tanda.
Di Malaysia, hukum syariat Islam terwujudkan dalam dua keadaan, yaitu
dalam bentuk fatwa dan dalam bentuk undang-undang tertulis atau Enakmen-
Enakmen syarak seperti Enakmen Keluarga Islam, Enakmen Keterangan Syariah,
Enakmen Prosedur Mal Syariah serta Enakmen Prosedur Jenayah Syariah. Oleh
karena itu, hukum syarak berada di bawah bidang kuasa badan legislatif, maka
perubahan fatwa dan enakmen syariat Islam dikuatkuasakan oleh badan negeri
tersebut.66
Semua Enakmen Pentadbiran Agama Islam Negeri-Negeri di Malaysia
memperuntukkan bahwa pihak yang berhak dan bertanggungjawab mengeluarkan
hukum apabila diperlukan ialah Institusi Fatwa setiap negeri. Institutsi Fatwa
setiap negeri terdiri dari Mufti dan Jawatankuasa Syariah bagi setiap negeri
tersebut. Fatwa yang hendak dikeluarkan oleh Majlis Agama Islam Negeri
hendaklah melalui Jawatankuasa Syariah dengan mufti menjadi pengerusinya.
Adapun mufti dilantik oleh Raja atau Sultan kecuali negeri Melaka, Wilayah
Persekutuan dan Pulau Pinang, mufti dilantik oleh yang di Pertuan Agong atau
yang di Pertua Negeri.
Di negeri Selangor, suatu fatwa yang telah diwartakan dalam Warta
Kerajaan, hendaklah mengikat orang Islam yang tinggal dalam negeri Selangor
sebagai ajaran agamanya dan hendaklah menjadi kewajibannya untuk mengikuti
dan berpegang teguh dengan fatwa itu, kecuali jika ia dibenarkan oleh hukum
syarak menyimpang daripada fatwa itu dalam hal kewajiban pribadi, kepercayaan
66
Hasnan Kasan, Prosedur Mengeluar dan Menguatkuasakan Fatwa di Semenanjung
Malaysia, h.2
121
atau pendapat. Jadi hanya fatwa yang diwartakan saja yang boleh dikuatkuasakan
menurut undang-undang, itupun hanya di dalam kawasan negeri yang mewartakan
itu.67
Dalam praktik pemberian mahar di Selangor, Adim Hidayat bin Mukim
menyampaikan bahwa dalam adat Melayu, biasanya jumlah mahar ditentukan
pihak keluarga perempuan tetapi apabila tidak ada ketentuan oleh pihak keluarga,
maka ketentuan pemerintah atau JAI akan terpakai. Dalam Warta Kerajaan
Selangor, Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor) 2003, Fatwa di
bawah Seksyen 47 disebutkan bahwa kadar mahar untuk negeri Selangor adalah
RM 300.00 (Tiga Ratus Ringgit Malaysia) untuk gadis maupun janda, ketetapan
ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010 sampai hari ini. 68 Ketentuan RM 300.00
tersebut telah disatukan dengan uang hantaran bagi calon mempelai pria yang
69
ingin menikahi wanita asal negeri Selangor. Berikut ini adalah ketetapan
kerajaan negeri Selangor mengenai mahar bagi masyarakat Selangor:
67
Zaini Nasohah, Undang-Undang Penguatkuasaan Fatwa di Malaysia, dalam Jurnal
Islamiyyat Vol. 27 No. 1, tahun 2005, h. 41
68
Warta Kerajaan Selangor, Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor) 2003,
Fatwa dibawah Seksyen 47, (Selangor: 4 Februari 2010); Jabatan Mufti Negeri Selangor, Hukum
Penetapan Kadar Maskahwin Bagi Negeri Selangor, dalam https://www.muftiselangor.gov.my,
diunduh pada 20 April 2018
69
Ahmad Baei Jaafar, Dara atau janda, Mas Kahwin tetap RM 300, dalam berita online
Malaysia yang diakses melalui http://ww1.utusan.com.my, diunduh pada 2 Juli 2018; Megat Ramli
Megat Raof, Mas Kahwin Selangor RM 300, dalam berita online Malaysia yang diakses melalui
http://ww1.kosmo.com.my, diunduh pada 23 September 2018
122
Teori Budaya Hukum merupakan suatu nilai, pemikiran, serta harapan atas
kaidah atau norma dalam kehidupan sosial masyarakat. Budaya hukum (legal
culture) didefinisikan Friedman sebagai “the element of sosial attitude and
value.” Budaya hukum adalah nilai-nilai dan perilaku. Di antara nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat Aceh adalah bahwa kadar mahar perkawinan ditentukan
oleh pihak keluarga perempuan, baik itu jumlah mahar, uang hangus, hantaran,
dan pemberian lainnya.
Budaya hukum merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang menentukan
kekuatan sosial untuk menuju suatu hukum. Merupakan suatu kebiasaan
masyarakat Aceh yang sudah mengakar secara turun menurun bahwa kadar mahar
ditentukan oleh pihak perempuan, sehingga kebiasaan tersebut tumbuh dan
membentuk suatu budaya hukum yang harus dipatuhi. Budaya dapat
mengendalikan kehidupan bermasyarakat di suatu daerah, meskipun ketentuan
atau aturan yang hidup di kalangan masyarakat tersebut tidak tertulis, dan apabila
dilanggar, terkadang dikenakan sanksi keras dari lingkungan masyarakat,
misalnya seperti cibiran dan lain-lain.
Sehingga dapat dikatakan bahwa budaya hukum erat kaitannya dengan
kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka
akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat
123
mengenai hukum selama ini. Dalam hal ini, Budaya Hukum merupakan salah satu
faktor yang menentukan terhadap pembentukan hukum pada suatu Negara. 70
70
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Etika dan Budaya Hukum dalam Peradilan,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, Juli 2017), h. 28
124
sudah ditetapkan oleh pihak keluarga perempuan, tidak boleh dikurangi dari
ketentuan adat yang berlaku sebab ia dapat menjadi aib bagi keluarga. Adapun
bentuk emas yang diberikan adalah perhiasan, baik dalam bentuk cincin, gelang,
dan kalung. Tradisi ini menjadi kesepakatan sosial dan kebudayaan yang diwarisi
dari generasi ke generasi.
Norma Hukum yang terdapat dalam peraturan perundangan-undangan
Indonesia, khususnya dalam Kompilasi Hukum Islam, tidak menentukan jumlah
atau nominal kadar mahar yang harus diberikan calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita. Dalam pasal 31 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa ada
dua hal yang menjadi pedoman dan acuan dalam penentuan bentuk dan jenis
mahar, di antaranya pertama mahar ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak. Kedua, mahar ditentukan berdasarkan asas kesederhanaan dan
kemudahan.71 Norma hukum tersebut seara positif merupakan sebagai panduan
nilai dalam memberikan mahar. Akan tetapi secara empiris, masyarakat Aceh
tidak sejalan dengan norma-norma yang ada dalam undang-undang. Penyebabnya
sangat beragam, satu di antaranya norma itu tidak sejalan dengan budaya adat
yang secara turun-menurun telah mengakar dan mendarah daging pada diri
mereka.
Darwis A. Soelaiman dalam bukunya Kompilasi Adat Aceh menyebutkan
bahwa tradisi dalam masyarakat Aceh mencakup agama dan budaya yang bermula
ketika agama Islam mulai bertapak di Aceh. Tradisi sebelum Islam bukanlah
tradisi masyarakat Aceh, karena agama dan budaya sebelum Islam masuk ke Aceh
tidak lagi diturunkan ke generasi berikutnya. Dengan kata lain tradisi masyarakat
Aceh adalah tradisi yang diwarnai oleh agama Islam. Nilai-nilai filsafat
masyarakat yang terkandung dalam adat Aceh itu berintikan ajaran Islam. Adat
dan agama merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ada beberapa ungkapan yang
menunjukkan betapa agama dan adat itu tidak dapat dipisahkan dalam tata
kehidupan masyarakat Aceh, di antaranya: Hukom ngon adat hanjeut cree, lagee
71
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), h.
148; Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015),
h. 85
125
zat ngon sipheut, yang artinya “Hukum Islam dan Adat tidak boleh bercerai,
hubungan keduanya seperti zat dan sifat”. Hukom ngon adat lagee mata itam
ngon mata puteh, yang artinya “Hukum dengan adat seperti menyatunya mata
hitam dengan mata putih pada biji mata kita”.72
Dalam Perspektif Hukum Islam terdapat dua pendapat dalam hal yang
menentukan mahar, yaitu Pertama adalah walinya. Dalam hal ini juga terdapat
beberapa ketentuan, di antaranya apabila perempuan itu gadis, dan mahar yang
diajukan oleh pihak laki-laki, lebih kecil dari mahar mistl, maka yang berhak
menentukan mahar adalah walinya. Misalnya, mahar yang berlaku pada keluarga
perempuan tersebut adalah 1 milyar, maka wali boleh menentukan mahar dengan
jumlah tersebut. Namun, apabila perempuan itu janda, maka boleh baginya (bagi
perempuan tersebut) untuk menentukan mahar, baik mahar itu lebih dari mahar
mistl atau kurang dari mahar mistl. Kedua, pendapat kedua (Jumhur Ulama)
menyatakan bahwa yang memiliki otoritas dalam menentukan mahar adalah pihak
perempuan, baik gadis maupun janda. Adapun peran wali atau orangtua dalam
menentukan mahar adalah memberikan nasehat. Misalnya orangtua memberikan
pertimbangan atau masukan, bahwa perempuan nanti akan hidup mandiri, tapi
orangtua tidak boleh memberikan keputusan final, seperti maharnya dengan
nominal sekian.
Adapun nominal atau jumlah mahar yang diberikan kepada calon istri,
berpulang kepada kemampuan suami dan kerelaan istri dalam menerimanya. Hal
ini dikarenakan mahar adalah hak mutlak istri, sehingga apabila istri tersebut tidak
meminta mahar dalam perkawinan, maka pernikahan tetap berlangsung dan
hukumnya sah. Dalam hukum Islam, penentuan nilai mahar itu tidak ada
standarisasinya atau tidak ada ketentuan berapa jumlah mahar yang harus
diberikan. Menikah tanpa mahar hukumnya sah atau dengan nilai mahar
menengah, standar, rendah, bahkan tinggi pun, tidak merubah hukum pernikahan
seseorang. Hal ini dikarenakan mahar adalah kewajiban yang harus ditunaikan,
72
Darwis A. Soelaiman, Kompilasi Adat Aceh, (Banda Aceh: Pusat Studi Melayu Aceh
(PUSMA), 2011, h. 17
126
bukan syarat atau rukun yang bisa membatalkan pernikahan, sehingga apabila
pernikahan berlangsung tanpa adanya mahar, maka pernikahan tersebut tetap sah.
Dari paparan analisis di atas, dapat dipahami bahwa norma agama dan
adat tidak dapat dipisahkan dalam tata kehidupan masyarakat Aceh. Tradisi yang
sudah mengakar secara turun-menurun tidak bisa diubah, meskipun telah
tertuliskan dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai asas penentuan mahar di
Indonesia harus berdasarkan kesederhanaan dan kemudahan, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 31 KHI, namun dalam praktiknya masyarakat Aceh lebih
patuh terhadap nilai adat.
73
Pemerintah Aceh, Upacara Adat Perkawinan Aceh, dalam https://acehprov.go.id,
diunduh pada 1 Juli 2018
127
dua tahun biaya hidupnya bersama istri menjadi tanggungan mertuanya dan linto
baro hanya datang pada waktu menjelang hari raya membawa pulang daging
meugang dan pakaian untuk istri dan anaknya. Biasanya setelah satu sampai dua
tahun (mendapatkan anak pertama dan anak kedua), dilakukan pemisahan yang
disebut peme ungkleh di jawa disebut dengan mencar yang dilakukan dengan
upacara khusus.74
“Jadi dalam adat Aceh, pasangan yang telah menikah akan tinggal di
rumah orangtua istri sampai mereka diberi rumah sendiri. Selama masih
bersama-sama tinggal dengan mertua, maka kebutuhan rumah tangga akan
ditanggung semuanya oleh keluarga dari pihak perempuan. Biasanya
seperti itu”.75
74
Syamsuddin Daud, Adat Meukawen (Adat Perkawinan Aceh), h. 77
75
Wawancara dengan Shaumiati, masyarakat desa Lampulo, Kec. Kuta Alam, hari kamis,
tanggal 22 November 2018
76
Wawancara dengan Fakhrurrazi M. Yunus, Lc, M.A, dosen UIN Ar-Raniry Aceh, hari
senin, tanggal 19 November 2018
128
menikah. Sehingga ada peribahasa dalam bahasa Aceh: Na peng Na inong “Ada
uang, Ada istri”, hal ini menunjukkan bahwa apabila ingin menikah, maka harus
berusaha, bekerja, mencari uang untuk mempersiapkan pernikahan agar lebih
matang. 77
“Jadi, apabila bertanya kepada kami mengenai dampak negatif dari
tingginya mahar di Aceh, kami akan menjawab tidak ada dampaknya.
Adanya kasus kawin lari, banyaknya perzinaaan, kasus khalwat, itu semua
terjadi karena banyak faktor, bukan hanya terjadi semata-mata karena
tingginya mahar di Aceh, namun lebih dominan pada tidak mendapatkan
izin atau restu orangtua untuk menikah, maka para pasangan lebih memilih
untuk kawin lari. Menurut saya, di antara dampak atau akibat dari
tingginya mahar di Aceh adalah bertambahnya wanita-wanita yang
memasuki usia tua dan belum menikah.78
77
Wawancara dengan H. Badruzzaman Ismail, S.H, M.Hum, Ketua Majelis Adat
Pemerintah Aceh, hari Senin, tanggal 19 November 2018
78
Wawancara dengan M. Iqbal, Ketua KUA Kec. Kuta Alam, hari kamis, tanggal 22
November 2018
79
Zurita Mohd Yusoff, “Amalan Pemberian Mas Kahwin di Malaysia”, dalam Jurnal
Islam & Masyarakat Kontemporari, Jilid 1 tahun 2008, h. 53-54
129
80
Warta Kerajaan Selangor, Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor) 2003,
Fatwa dibawah Seksyen 47, (Selangor: 4 Februari 2010); Jabatan Mufti Negeri Selangor, Hukum
Penetapan Kadar Maskahwin Bagi Negeri Selangor, dalam https://www.muftiselangor.gov.my,
diunduh pada 20 April 2018
81
Ahmad Baei Jaafar, Dara atau janda, Mas Kahwin tetap RM 300, dalam berita online
Malaysia yang diakses melalui http://ww1.utusan.com.my, diunduh pada 2 Juli 2018; Megat Ramli
Megat Raof, Mas Kahwin Selangor RM 300, dalam berita online Malaysia yang diakses melalui
http://ww1.kosmo.com.my, diunduh pada 23 September 2018
82
Jabatan Mufti Negeri Selangor, Garis Panduan Majlis Perkahwinan, 2012, h. 2
130
wenang meletakkan kadar mahar pada tahap yang paling rendah, sehingga
menjatuhkan martabat wanita ataupun meletakkan kadar mahar pada tahap yang
maksimal sehingga membebankan kaum laki-laki untuk menikah. Hal ini
dikarenakan untuk menjaga kemaslahatan bersama, untuk menjaga hak wanita dan
memberi kemuliaan terhadapnya serta memberi perlindungan sosio-ekonomi.
Menurut Syariffudin bin Mustafa, Pimpinan Pesantren Tahfidz Al-
Gontory, Masyarakat Kuala Selangor, saat ini masyarakat lebih mengutamakan,
memperhatikan dan mempersiapkan pemberian hantaran daripada dengan
pemberian mahar.83 Hantaran adalah hadiah berupa uang atau sesuatu yang
diberikan suami kepada istri pada saat berlangsungnya akad nikah. 84 Hantaran
juga dapat menentukan status seseorang. Misalnya bagi golongan menengah ke
atas, memberikan hantaran lebih tinggi dan bagi yang berpendapatan rendah,
maka hantarannya lebih rendah.85 Hal ini menandakan bahwa peran dan potensi
hantaran lebih luas dibandingkan dengan peran mahar, sehingga masyarakat lebih
mempersiapkan uang belasan ribu ringgit untuk memenuhi pemberian hantaran
dibandingkan dengan mahar.86 Dampak dari nilai mahar dan pemberian hantaran
yang tinggi adalah banyaknya pemuda-pemudi yang menikah pada usia lanjut.
Usia lanjut dalam adat Melayu di Malaysia, bagi laki-laki pada usia 35 tahun, dan
bagi perempuan pada usia 30 tahun.87
“Menurut saya, kadar mahar di Selangor ini tidak ada masalah. Tapi uang
hantaranlah yang terkadang bermasalah. Mahar biasanya mengikuti
ketetapan negeri, tetapi uang hantaran mengikuti ketetapan pihak keluarga
perempuan. Dulu, ada kawan saya maharnya RM 300.00, tapi hantarannya
diminta RM 10.000.00. jadi, sepertinya uang senilai RM 300 ini, seolah-
83
Wawancara dengan Syariffudin bin Mustafa, Pimpinan Pesantren Tahfidz Al-Gontory,
Masyarakat Kuala Selangor, hari selasa, tanggal 13 November 2018
84
Tan Sri Datuk Professor Ahmad Ibrahim, Family Law in Malaysia, Malayan Law
Journal, 1997, h. 208
85
Siti Zalikhah MD. Nor, Pemelikan Harta Dalam Perkahwinan, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS Ampang/Hulu Kelang, Selangor Darul
Ehsan, 1996
86
Hasbi Haji Muh. Ali, “Mahar sebagai satu bentuk Jaminan Sosio-Ekonomi Wanita:
Kajian di Tawau, Sabah”, dalam Disertasi Jabatan Fiqh dan Usul Akademi Pengajian Islam
Universiti Malaya Kuala Lumpur 2013, halaman iii
87
Siti Zaleha Ibrahim, Gejala Kahwin Lewat: Implikasinya Terhadap Maqasid Al-Syariah,
dalam Muzakarah Fiqh & International Fiqh Conference, Shah Alam, 15 November 2017, h. 62
132
olah mahar hanya sebatas pelengkap dalam majlis pernikahan saja, dan
tidak banyak memberikan manfaat yang besar kepada wanita.” 88
Fenomena ini membuat pasangan yang akan menikah terpaksa
menanggung beban perbelanjaan di luar kemampuan dan bakal pengantin terpaksa
berhutang melalui berbagai macam pinjaman. Sehingga, penetapan kadar mahar
dan uang hantaran yang tinggi, menyebabkan pengantin laki-laki terpaksa berfikir
beberapa kali sebelum memberikan persetujuan untuk menikah dan mengambil
waktu yang lama untuk menyimpan uang sebelum mendirikan rumah tangga. Di
antara alasan untuk menangguhkan perkawinan adalah disebabkan oleh faktor
keuangan yang bermula dari masalah uang belanja perkawinan yang tinggi.89
88
Wawancara dengan Mohammad Adan bin Yusof, masyarakat Petaling Jaya Selangor,
hari rabu, tanggal 14 November 2018
89
Nurul Athirah Mohd Azmi dan Sanep Ahmad, SKIM ZAWAJ: Produk Perkhidmatan
Untuk Perkahwinan, dalam Jurnal „Ulwan, Universiti Kebangsaan Malaysia, Jilid 1 2016, h. 77
90
Mahrus Ali, Pemetaan Tesis dalam Aliran-Aliran Filsafat Hukum dan Konsekuensi
Metodologisnya, Jurnal Hukum Ius Quia Lustum Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia,
Vol. 24 Issue 2, April 2017, hal. 219
133
realisme hukum, hukum dapat direduksi sebagai fakta sosial atau hukum dilihat
sebagai produk interaksi sosial.91
Teori realisme hukum menyatakan beberapa hal di antaranya: 1). Hukum
bergerak terus menerus sesuai dengan perkembangan zaman dinamika
masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari penetapan kadar mahar oleh Jabatan Islam
tiap negeri di Malaysia dan ketetapannya berubah sesuai dengan perkembangan
zaman. Seperti pemaparan pada pembahasan di atas bahwa mulai tanggal 1
Januari 2010 telah berlaku ketetapan kadar mahar terbaru untuk negeri Selangor
92
yaitu RM 300.00 (Tiga Ratus Ringgit Malaysia) untuk gadis maupun janda.
Ketentuan RM 300.00 tersebut telah disatukan dengan uang hantaran bagi calon
mempelai pria yang ingin menikahi wanita asal negeri Selangor. 93 Ketetapan ini
tertuliskan dalam Warta Kerajaan Selangor, Enakmen Pentadbiran Agama Islam
(Negeri Selangor) 2003, Fatwa di bawah Seksyen 47. Hal ini menjelaskan bahwa
hukum keluarga di Malaysia terus bergerak dan berkembang mengikuti
perkembangan zaman dinamika masyarakat.
2). Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan sosial. Di antara tujuan
sosial dari penetapan kadar mahar di Malaysia adalah sebagai panduan
masyarakat dalam memberikan mahar dan agar masyarakat tidak sewenang-
wenang meletakkan kadar mahar pada tahap yang paling rendah, sehingga
menjatuhkan martabat wanita atau pun meletakkan kadar mahar pada tahap yang
maksimal sehingga membebankan kaum laki-laki untuk menikah. Selain itu untuk
menjaga kemaslahatan bersama, untuk menjaga hak wanita dan memberi
kemuliaan terhadapnya serta memberi perlindungan sosio-ekonomi. Dengan
91
Zulfadli Barus, “Analisis Filosofis tentang Peta Konseptual Penelitian Hukum
Normatif dan Penelitian Sosiologis”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13 No. 2, 2013, h. 311-312;
Mahrus Ali, Pemetaan Tesis dalam Aliran-Aliran Filsafat dan Konsekuensi Metodologisnya,
dalam jurnal Hukum Ius Quia Iustum Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Vol. 24, Issue
2, April 2017, h. 219
92
Warta Kerajaan Selangor, Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor) 2003,
Fatwa dibawah Seksyen 47, (Selangor: 4 Februari 2010); Jabatan Mufti Negeri Selangor, Hukum
Penetapan Kadar Maskahwin Bagi Negeri Selangor, dalam https://www.muftiselangor.gov.my,
diunduh pada 20 April 2018
93
Ahmad Baei Jaafar, Dara atau janda, Mas Kahwin tetap RM 300, dalam berita online
Malaysia yang diakses melalui http://ww1.utusan.com.my, diunduh pada 2 Juli 2018; Megat Ramli
Megat Raof, Mas Kahwin Selangor RM 300, dalam berita online Malaysia yang diakses melalui
http://ww1.kosmo.com.my, diunduh pada 23 September 2018
134
adanya tujuan sosial yang mulia ini dan agar terealisasikan dengan baik, maka
hukum hadir untuk sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut.
3). Harus ada pemisahan antara das sollen dan das sein. Menurut Karl N.
Liewellyn, di antara ciri-ciri teori realisme hukum adalah adanya pemisahan
antara hukum yang ada dan hukum yang seharusnya. Dalam hal ini, hukum yang
ada adalah penetapan kadar mahar di Selangor dan hukum yang seharusnya adalah
penetapan kadar mahar dan hantaran. Menurut Syariffudin bin Mustafa,
Masyarakat Kuala Selangor, saat ini masyarakat lebih mengutamakan,
memperhatikan dan mempersiapkan pemberian hantaran daripada pemberian
mahar. Fenomena yang terjadi di Malaysia bahwa kadar mahar sudah ditetapkan
oleh Jabatan Agama Islam tiap negeri, sehingga tidak banyak dipermasalahkan
oleh pihak keluarga perempuan dalam hal berapa banyak mahar yang diberikan
oleh calon mempelai laki-laki. Namun yang menjadi masalah adalah penetapan
nilai hantaran yang tinggi oleh pihak keluarga perempuan.
Fenomena ini membuat pasangan yang akan menikah terpaksa
menanggung beban perbelanjaan di luar kemampuan dan bakal pengantin terpaksa
berhutang melalui berbagai macam pinjaman. Sehingga, penetapan kadar mahar
dan uang hantaran yang tinggi, menyebabkan pengantin laki-laki terpaksa berfikir
beberapa kali sebelum memberikan persetujuan untuk menikah dan mengambil
waktu yang lama untuk menyimpan uang sebelum mendirikan rumah tangga. Di
antara alasan untuk menangguhkan perkawinan adalah disebabkan oleh faktor
keuangan yang bermula dari masalah uang belanja perkawinan yang tinggi. 94
Dampak dari nilai mahar dan pemberian hantaran yang tinggi adalah banyaknya
pemuda-pemudi yang menikah pada usia lanjut. Usia lanjut dalam adat Melayu di
Malaysia, bagi laki-laki pada usia 35 tahun dan bagi perempuan pada usia 30
tahun.95
4). Hukum adalah apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan dengan
orang-orangnya. Dalam hal ini dapat dilihat dari bagaimana Mahkamah Syar‟iyah
94
Nurul Athirah Mohd Azmi dan Sanep Ahmad, SKIM ZAWAJ: Produk Perkhidmatan
Untuk Perkahwinan, dalam Jurnal „Ulwan, Universiti Kebangsaan Malaysia, Jilid 1 2016, h. 77
95
Siti Zaleha Ibrahim, Gejala Kahwin Lewat: Implikasinya Terhadap Maqasid Al-Syariah,
dalam Muzakarah Fiqh & International Fiqh Conference, Shah Alam, 15 November 2017, h. 62
135
96
0055/Pdt.G/2017/Ms.Bna
97
Muhammad Syukri Albani Nasution, Zul Pahmi Lubis, dkk, Hukum dalam Pendekatan
Filsafat, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 160
98
Abdul Rahman al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh „Alâ al-Madzâhib al-Arba‟ah, (Beirut-Lebanon:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2003), Jilid 4, h. 89; Wahbah al-Zuhailî, Al-Fiqh al-Islâmî wa
Adillatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1985) Jilid 7, h. 251; Al-Imâm „Alau al-ddin Abu Bakar bin
Mas„ud, Badâi„u al-Sanâi„i Fi Tartîbi al-Syarâi„, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah)
Jilid 3, h. 512
136
99
Muhammad „Ali Al-Syaukânî, Ahâdîs al-Ahkâm Nail al-Autâr, (Dâr al-hadits, 1993),
Jilid 6, h. 201
137
PENUTUP
A. Kesimpulan
138
139
untuk gadis maupun janda, ketetapan ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010
sampai hari ini. Ketentuan RM 300.00 tersebut telah disatukan dengan uang
hantaran bagi calon mempelai pria yang ingin menikahi wanita asal negeri
Selangor. Adanya penetapan kadar mahar minimum di Malaysia, bertujuan
sebagai panduan masyarakat dalam memberikan mahar dan agar masyarakat
tidak sewenang-wenang meletakkan kadar mahar pada tahap yang paling
rendah, sehingga menjatuhkan martabat wanita ataupun meletakkan kadar
mahar pada tahap yang maksimal sehingga membebankan kaum laki-laki
untuk menikah.
Adapun penyelesaian kasus hutang mahar dalam Putusan Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh Nomor : 0055/Pdt.G/2017/Ms.Bna dan Nomor :
267/Pdt.G/2011/MS. Bna dan dalam Putusan Mahkamah Syar’iyah Malaysia
(1986) 6 JH 130, (1983) JH 108, Mal. No. 48/82 bahwa Majelis Hakim
menghukum Pemohon/suami untuk melunahi mahar yang terhutang. Hal ini
sesuai dengan aturan Perundang-Undangan Indonesia dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 149 huruf c yang berbunyi: “Melunasi mahar yang masih
terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul”. Dalam seksyen
59 Enakmen Undang Undang Keluarga Islam Negeri Selangor Tahun 2003,
disebutkan bahwa mahar dan segala pemberian yang dijanjikan dan telah
dicatatkan pada saat akad nikah, menjadi hak mutlak istri, dan istri
mendapatkan jaminan untuk memilikinya secara pribadi. Hal ini dikarenakan
mahar merupakan pemberian wajib oleh calon suami kepada istri, maka
kewajiban memberikan mahar itu harus ditunaikan selama masa perkawinan
sampai putusnya perkawinan. Artinya, kewajiban memberi mahar tidak gugur
atau tidak hilang baik karena putusnya perkawinan maupun kematian. Maka
apabila mahar belum dibayarkan atau baru dibayar sebagian, maka dianggap
sebagai hutang yang wajib dilunasi oleh mempelai laki-laki.
2. Peran adat dalam hal mahar perkawinan di Aceh adalah keikutsertaan wali
nikah atau pihak keluarga perempuan dalam menentukan jumlah mahar, uang
hangus, hantaran, dan pemberian lainnya. Majelis Adat Aceh (MAA) tidak
mengeluarkan seruan atau maklumat kepada masyarakat mengenai ketentuan
140
jenis dan jumlah mahar, hal ini dikarenakan mahar bersifat dinamis. Dari 23
kabupaten/kota di Aceh, memiliki tradisi yang berbeda dalam menentukan
mahar. Adapun yang menjadi kebiasaan masyarakat setempat, bahwa mahar
yang diberikan kepada calon istri adalah emas dengan sebutan mayam. Hal
ini dikarenakan masyarakat Aceh masih berpegang teguh pada prinsip adat.
Merupakan adat Aceh dalam pemberian mahar perkawinan adalah emas,
sebagai simbol dari kemewahan dan kekayaan. Mayam adalah ukuran emas
untuk orang Aceh. Satu mayam kira-kira sama dengan 3,3 gram. Biasanya
jeunamee berkisar dari 5 sampai 25 mayam emas 24 karat.
Adapun amalan adat pada masyarakat Melayu di Selangor telah
menyatu dan bertransformasi dalam kerangka agama Islam. Beberapa norma-
norma Hukum Islam dan sebagian adat resam Melayu telah dikodifikasikan
dalam bentuk perundang-undangan agar kehidupan masyarakat lebih
sistematik dan teratur. Hal ini dapat dilihat dalam aturan kadar mahar setiap
negeri di Malaysia, karena kadar mahar ditentukan oleh Jabatan Agama Islam
di setiap negeri.
3. Adapun Faktor yang menyebabkan nilai mahar dalam adat Aceh menjadi
meningkat adalah dari kepribadian calon istri itu sendiri, baik dari segi
agama, kepintaran, ketaatan, kecantikan, dan kedudukan sosial, dan
dikarenakan keluarga pihak perempuan memberikan feedback atau
peumulang (pemberian setelah dipisahkan) terhadap pasangan yang baru
menikah, seperti perlengkapan isi kamar, bahkan rumah atau sepetak tanah
sawah untuk kedua mempelai, sesuai dengan kemampuan orangtua pihak
perempuan.
Berbeda dengan Malaysia, ketetapan kadar mahar berdasarkan
keadaan ekonomi masyarakat setempat. Pemerintah negeri Selangor
menetapkan kadar mahar adalah RM 300.00, dikarenakan keadaan ekonomi
masyarakat Selangor itu baik, mapan dan maju, berbeda dengan negeri
lainnya seperti Kelantan, Kedah, Perlis dan sebagainya, sehingga apabila
kadar mahar diseragamkan seluruh negeri di Malaysia, akan memberatkan
suatu negeri yang kemampuan ekonominya rendah.
141
B. Saran
Sebagai bagian akhir dari penulisan tesis ini, ada beberapa saran yang perlu
diberikan, diantaranya:
Arby, Ny. Cut Intan Elly, Tata Rias dan Upacara Adat Perkawinan Aceh, Aceh:
Yayasan Meukuta Alam, Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia
“MELATI” Yayasan Insani, 1989.
Badan Pusat Statistik Kota Banda Aceh, Kecamatan Kuta Alam Dalam Angka
2018, Aceh: CV. ODAIBA, 2018.
Bakar, Haji Mohd. Yussop, Adat Perkahwinan Orang Melayu Brunai di Mukim
Saba, (Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian
Kebudayaan Belia dan Sukan, 1989.
Bird, Isabela L., The Golden Chersonese, (Kuala Lumpur: Oxford University
Press), h. 208;
Daud, Syamsuddin, Adat Meukawen (Adat Perkawinan Aceh), Aceh: Majelis Adat
Aceh, 2014.
Dermawan, Abu Bilal Juli, Mahar, dalam Majalah As-Sunnah Baituna, Edisi 9
Tahun 1437/2016.
142
143
Friedman, Lawrence M, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System-
A Social Science Perspective), Bandung: Nusamedia, 2009.
Hasan, Muhammad Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta:
Siraja Prenada Media Grup, 2006.
Hasan, Mustofa, Pengantar Hukum Keluarga, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011.
Jabatan Agama Islam Melaka, Surat Pekeliling Jabatan Agama Islam Melaka
2016 Mengenai: Kadar Bayaran Upah Nikah bagi Imam/Jurunikah
Seluruh Negeri Malaka, Kadar Bayaran Upah Nikah Bagi Wali
Hakim/Wali Raja, Kadar Maskahwin Bagi Negeri Malaka, Melaka: 26
Januari 2016.
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Etika dan Budaya Hukum dalam Peradilan,
Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, Juli
2017.
Mas‟ud, Imam „Alauddin Abu Bakar bin, Badaai‟u As-Shanaai‟I Fi Tartiibi As-
Syarai‟u, Beirut-Lebanon: Darul Kutub Al-„Ilmiyyah
Nasution, Bahder Johan Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju,
2016
Nurbani, Salim HS, Erlies Septiana, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi Buku Ke-Satu, Jakarta: Rajawali Press, 2017
Qarii, „Ali bin Sulthan Muhammad, Muraqaatu Al-Mafatih Syarh Misykat Al-
Mashobiih, Darul Fikr, 2002.
Rahili, Ahmad Rabi‟ Jabir, Mahar Kok Mahal: Menimbang Manfaat dan
Mudaratnya, Solo: PT. Tiga Serangkai Mandiri, 2014.
Razak, Aris Nur Qadar, Praktek Mahar dalam Perkawinan Adat Muna (Studi di
Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara), Tesis, Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga, 2015.
Salim, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid, Shahih Fiqh As-Sunnah, Mesir: Al-
Maktabah At-Taufiqiyah, 2003
Soelaiman, Darwis A., Kompilasi Adat Aceh, Banda Aceh: Pusat Studi Melayu
Aceh (PUSMA), 2011
Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004.
Syafi‟I, Husain bin Muhammad Al-Mahalli, Al-Ifshoh „an „Aqdi An-Nikah „Ala
Al-Mazahib Al-Arba‟ah, Syiria: Darul Qalam Al-„Arabi, 1995.
Tihami, M.A., dan Drs. Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah
Lengkap), Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014.
Tirmidzi, Muhammad bin „Isa bin Surah, Al-Jami‟ As-Shahih Sunan At-Tirmidzi,
Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Jilid 1, hadist ke 1113
Wibowo, Rusdi Sufi dan Agus Budi, Adat-Istiadat dan Upacara Perkawinan
Pada Masyarakat Aceh, Aceh: Majelis Adat Aceh.
147
Jurnal
Aini, Noryamin, “Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan
Struktur Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia,” dalam jurnal Ahkam,
Vol. XIV, No. 1, Januari 2014.
Alfida, Rida, Saiful Usman, dan Ruslan, “Penetapan Mahar bagi Perempuan di
Desa Kampung Paya, Kecamatan Kluet Utara, Kabupaten Aceh Selatan,”
dalam jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Unsyiah,
Vol. 1, No. 1, Agustus 2016.
Arifin, Muhammad, Islam dan Akulturasi Budaya Lokal di Aceh (Studi Terhadap
Ritual Rah Ulei di Kuburan Dalam Masyarakat Pidie Aceh), dalam jurnal
Ilmiah Islam Futura, Vol. 15. No. 2, Februari 2016.
Jihatea, Luqman Haji Abdullah dan Nima, Bermazhab dan Fanatik Mazhab: Satu
Sorotan Dalam Kerangka Amalan Bermazhab Syafi‟I Masyarakat Melayu,
dalam jurnal Fiqh, No. 4, Tahun 2007.
Kasim, Idris Awang dan Teungku Sarina Aini Tengku, Pembudayaan Mazhab
Syafi‟I Dalam Masyarakat Islam di Malaysia, dalam jurnal Fiqh, No. 4,
Tahun 2007.
Kohar, Abd., “Kedudukan dan Hikmah Mahar Dalam Perkawinan”, dalam Asas
Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam, Vol. 8, No. 2 tahun 2016.
Malik, Helga Septiani, “Makna dan Fungsi Tradisi Sinamot dalam Adat
Perkawinan Sukubangsa Batak Toba di Perantauan Surabaya”, dalam
jurnal BioKultur, Vol. I/No.1/Januari-Juni 2012.
Sudaryanto, Agus, “Dinamika Hukum Adat dan Agama di Aceh”, dalam jurnal
Mimbar Hukum.
Wakil, Muhammad Najib Abd, dan Che Maryam Ahmad, “Mas Kahwin di
Pahang: Satu Penilaian Semasa,” dalam Journal of Contemporary Islamic
Law, Vol. 2(2), 2017.
Undang-Undang
Website
Harga emas hari ini, Kamis 22 November 2018, diakses melalui http://harga-
emas.org
150
Jaafar, Ahmad Baei, “Dara atau janda, Mas Kahwin tetap RM 300,” dalam berita
online Malaysia yang diakses melalui http://ww1.utusan.com.my, diunduh
pada 2 Juli 2018
Nizam, Mohd Khairul, “Nilai Mas Kahwin Mengikuti Negeri 2018,” dalam
https://www.kahwinmall.com, diunduh pada 14 April 2018
Raof, Megat Ramli Megat, Mas Kahwin Selangor RM 300, dalam berita online
Malaysia yang diakses melalui http://ww1.kosmo.com.my, diunduh pada
23 September 2018.
Nama : Shaumiati
Jabatan : Masyarakat Aceh Desa Lampulo
Hari/ Tanggal : Senin, 19 November 2018
Waktu/ Tempat : 16. 30 WIB / Rumah
Nama : M. Iqbal
Jabatan : Ketua KUA Kec. Kuta Alam
Hari/ Tanggal : Kamis, 22 November 2018
Waktu/ Tempat : 10 30 WIB / Kantor KUA
~~'~'~1~ ~~".
I
MAJELIS PERMUSYAWARATAN
ULAMAACEIj,
iI 1 i
I ; !
...
0f!f94 ;~I 1..,:;I;j
Artinya:
Dan berilah maskawin (mahar) kepada peretnpuari (yang
Kamu nikahi) sebagai pemberian yang; penuh kerelaan.
kemudian, jika mereka menuerahkaii kepada kamu
sebagian dari (mas kawin) itu dengan s~*ang hati, maka
terimalah dan nikmaiilah. pemberian i4J, sdenqari senang
hati. I ,
2. Al-Hadits
~I ~ 2h1
"""
J~) J1 ~t;'19;~ :J~'~~YJ'IF J. ~ ;; : "."
AUI)
",
,U :JW «~~~);.
~...."
~ !l~~» :JW "~Y1J)~G- fo'';
~ ~
J", f" I J "" , ".
J1, ~~I»
", ." 0 0
~.u «~~~W
,
~ )oJ\; ~ i :JW ,AUI
,
J~) l
'" 6J ,J ".",;, ,~" " """ ;: J
.illI ~ AUIJ~)
,
JW ,I~:::'~~) ~ ,AUI)!
,
,p :JW ,
'E:-) ~
,. ,. ",,. J ...." ....
1 I J '" ,
~
S " !.!JJJ~
1'.1 ,. -:" ~ "
~
'I' ~"\
1.;4»
" ,.. ", I". " ",,.
,. ,
Artinya: ' I
, I
I
Dan Sahl bin Sa'ad al-sa'idi, sesunggqJinyaRasulullah
SAW kedatangan tamu seorang iI II wanita yang
mengatakan : "YaRasullullah, sesunggiiflrtya aku serah-
kan diriku kepadamu". Lalu wanita itif berdiri cukup
lama sekali. Kemudian tampil seora'n.~laki-laki dan
berkata : --- I
3. Ijma' Ulama : I i
I
; I
4. Kaidah Fiqh jUshul Fiqh; i j
, i
~~ :11 ~y);.~ JjJ:lJ y,H}J ./'\11 j ~c
i
, i
Artinya:
"Pada dasamya amar (perintah) iiu m~*unjukkan far
wajib dan tidak menunjukkan kepada (d.,rti)selain waj
J
I
p. Undang -/ -~
-4-
I •
Memperhatikan :
. i
I b. "Mahar / - 5 -
i
-5-
.
i
I
I
!
c. "Mahar (JEUNAME) dan Masalahnya dafa!m Masyarakat
Aceh" oleh Tgk. H. Faisal Ali (WakilKetju~MPU).
d. "Mahar dan Pennasalahannya Dalam Prdang-Undang
Perkawinan" oleh Dr. Tgk. H. Abdul GainiIsa, SH, M.Ag
(AnggotaMPUAceh). i
dengan ,
bertawakkal kepada Allah SWTdan Persetuj~4n
SIDANGPARIPURNA i I
I i
MAJELISPERMUSYAWARATAN ULAMAAC~H
MEMUTUSKAN :
I
Menetar'
KESATUi Mahar adalah harta yang wajib diberikan oleh laki-laki
I kepada perempuan, karena nikah, wat~~' syubhat dan
I
i
i
atau perkosaan; .
KEDUAi Penentuan jenis, sifat dan kadar : mahar untuk
perempuan perawan yang walinya mu!~qiradalah wali
I
I mujbir itu sendiri. I
I
dikembalikan ketika gagal pemikahan.
KEDELApAN
I
Akad Nikah yang tidak disebutkan m~~ar dalam akad
I hukumnya sah.
I
. I
T4qSHIYAH/ -6-
I ;
-6-
TAUSHr¥AH
i
i )
Ditetapkan di Banda Aceh . i
pada tanggal 21 Dzulqaidah 143$!H
25 Agustus 2016 l'4
Majelis Permusy~~aratan Ulama Aceh
'Ketua, ~
rl _..r
amzamy
NEGERI SELANGOR
Warta Kerajaan
DITERBITKAN DENGAN KUASA
Sel. P.U. 3.
ENAKMEN PENTADBIRAN AGAMA ISLAM
(NEGERI SELANGOR) 2003
“Menetapkan had minima kadar nilai Maskahwin sebanyak RM 300.00 bagi anak
dara atau janda tanpa ada had maksima. Sekiranya terdapat wang hantaran
daripada pihak lelaki, ianya dikira sebagai Maskahwin”.