Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH PENDIDIKAN LANJUTAN ROCK CLIMBING

MPA SANGGURU

Di susun oleh :
Anindya Avinka Putri (Kileng)
Izzulhaq Arsyandi (Bongsor)
Yulia Putri Untari (Cicing)

UNIT KEGIATAN MAHASISWA


MAHASISWA PECINTA ALAM SANGGURU
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN 2020
ABSTRAK
PENDIDIKAN LANJUTAN ROCK CLIMBIING MPA SANGGURU

Oleh :
Anindya Avinka Putri (Kileng)
Izzulhaq Arsyandi (Bongsor)
Yulia Putri Untari (Cicing)

Makalah Pendidikan Lanjutan Rock Climbing (DIKJUT ROCK CLIMBING)


Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) Sangguru Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Surakarta Angkatan ke-XVII ini dibuat untuk memenuhi
persyaratan dalam mengikuti kegiatan Diklat Lanjutan (Dikjut) Rock Climbing, telah
dilaksanakan Training Center pada 3-14 Agustus 2020. Berhubung saat ini masa darurat
COVID-19 maka Training Center dilaksanakan dirumah masing-masing dengan pemberian
materi secara online.
Makalah ini dibuat secara berkelompok dan pembuatan makalah ini menggunakan
cara pengumpulan materi berkaitan tentang rock climbing yang diberikan saat Training
Center.

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER ...................................................................................i
HALAMAN ABSTRAK...............................................................................ii
DAFTAR ISI ...............................................................................................iii
KATA PENGANTAR..................................................................................iv
BAB 1 : Pendahuluan
1.1 Latar Belakang…….................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................... 2

BAB II : Pembahasan
2.1 Pengertian Rock Climbing........................................................ 3
2.2 Sejarah Rock Climbing............................................................. 3
2.3 Peralatan Rock Climbing …..................................................... 3
2.4 Anchor …................................................................................. 9
2.5 Rigging……............................................................................. 12
2.6 Jenis-jenis Pemanjatan…......................................................... 13
2.7 Teknik Pemanjatan…………….…......................................... 15
2.8 Teknik Menuruni Tebing…………..…................................... 15
2.9 Mengenali Cacat Bantuan…………………………...…......... 17
2.10 Resiko Kegiatan Rock Climbing………………………......... 17
2.11 Self and Rescue....................................................................... 18

BAB III : Penutup


3.1 Kesimpulan.............................................................................. 29
3.2 Saran........................................................................................ 29
3.3 Daftar Pustaka......................................................................... 29

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah
memberikan rahmat-Nya kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
Makalah Pendidikan Lanjutan Rock Climbing (DIKJUT ROCK CLIMBING) Mahasiswa
Pencinta Alam (MPA) Sangguru Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Surakarta Angkatan ke-XVII, yang kami susun berdasarkan hasil kegiatan
kami selama mengikuti Training Center. Dan tak lupa juga kita panjatkan shalawat serta
salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, berkat beliaulah kita bisa merasakan
manisnya iman dan nikmatnya Islam.
Makalah ini kami susun berdasarkan tahap demi tahap kegiatan Training Center.
Semoga laporan ini dapat menjadi tolak ukur kemampuan kami dalam melakukan kegiatan
dialam bebas. Kami juga berharap semoga laporan ini dapat menambah wawasan kami,
terutama kepada calon anggota baru yang telah mengikuti kegiatan Pendidikan Lanjutan
Rock Climbing (DIKJUT ROCK CLIMBING) dikemudian hari.
Kami mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya jika didalam penulisan
laporan ini, masih bayak kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan kata maupun kalimat
yang masih rancu dan kurang dimengerti. Kami mengharapkan dukungan dengan
memberikan masukan yang bersifat membangun kesempurnaan dalam penulisan laporan ini.
Dalam pelaksanaan kegiatan Pendidikan Lanjutan Rock Climbing (DIKJUT ROCK
CLIMBING) ini, tak luput dari dukungan beberapa pihak. Kami mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan
anugerah kepada kami berupa kesempatan dan kesehatan, sehingga kegiatan Pendidikan
Lanjutan Rock Climbing (DIKJUT ROCK CLIMBING) ini berjalan dengan lancar. Kedua
orang tua kami yang selalu mendukung kami untuk mengikuti kegiatan Pendidikan Lanjutan
Rock Climbing (DIKJUT ROCK CLIMBING) Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) Sangguru
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Selanjutnya
krpada seluruh pengurus MPA Sangguru yang telah meluangkan waktunya dalam
pelaksanaan kegiatan ini. Dan yang terakhir kepada panitia Pendidikan Lanjutan Rock
Climbing (DIKJUT ROCK CLIMBING) Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) Sangguru
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta yang selalu
membimbing kami selama kegiatan.

Surakarta, 23 Agustus 2020

iv
Anindya Avinka Putri Izzulhaq Arsyandi Yulia Putri Untari

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Panjat tebing atau istilah asingnya dikenal dengan sebutan Rock Climbing merupakan
salah satu daru sekian banyak olahraga di alam bebas dan merupakan salah satu dari
bagian mendaki gunung yang tidak bisa dilewati dengan berjalan kaki melainkan harus
menggunakan peralatan dan teknik tertentu untuk dapat melewatinya. Pada umumnya
panjat tebing dilakukan pada batuan tebing berkontur lebih dari 45 derajat kemiringan
dan memiliki tingkat kesulitan tertentu. Olahraga ini mengutamakan kelenturan, daya
tahan fisik, kecerdikan, kerja sama team serta pengalaman atau keterampilan dari setiap
individu itu sendiri untuk dapat menyiasati tebing itu sendiri. Dalam menambah
ketinggian dengan memanfaatkan cacat batuan maupun rekahan atau celah yang terdapat
di tebing tersebut serta pemanfaatan alat yang efektif serta efisien untuk mencapai
kesuksesan dalam pemanjatan.
Saat ini olahraga panjat tebing berkembang dengan sangat pesat, bukan hanya
menjadi olahraga dibidang alam bebas lagi. Olahraga panjat tebing ini telah menjadi
olahraga prestasi terutama di Indonesia. Olahraga ini sudah bisa dibilang akrab ditelinga
untuk masyarakat, hal ini terbukti dengan banyaknya organisasi atau badan badan yang
menggeluti olahraga ini, baik di lingkungan SMP, SMA, Universitas maupun
masyarakat, serta banyaknya perlombaan dan kejuaraan yang telah diselenggarakan. Hal
ini terbukti dari PON XIV(Eksebisi). Panjat tebing merupakan olahraga yang baru bagi
masyarakat Indonesia. Sehingga sebagai langkah untuk mempromosikan olahraga ini,
banyak organisasi yang mengenalkan dengan cara turut serta mengadakan kejuaraan atau
perlombaan, dan pelatihan yang dibuka untuk umum baik nasional maupun internasional.
Di kota Surakarta sendiri sudah banyak organisasi yang mempelajari tentang panjat
tebing, kebanyakan organisasi adalah SISPALA dan MAPALA. Tujuan pembuatan
organisasi ini juga untuk menyambung tali silaturahmi antar anggota yang ada
didalamnya. Para pecinta alam dapat berlatih bersama dengan menggunakan wall yang
tersedia. Perkembangan ini tidak hanya menuai pujian tetapi juga menuai kritikan dari
atleth pemanjat karena banyak yang lebih suka memanjat di tebing buatan daripada di
tebing alami.
Pada hakikatnya, pemanjat membutuhkan pengalaman baru, kebutuhan untuk
berprestasi dan kebutuhan untuk diakui masyarakat dan bangsanya. Memanjat tebing
secara umum tidak salah, disadari atau tidak itu adalah sah. Dan yang mendasari semua
itu adalah rasa ingin tahu yang ada pada setiap jiwa manusia. Dari penjelasan diatas
dapat disimpulkan bahwa seseorang yang ingin mencapai puncak tebing atau tujuannya
dan mempunyai keterampilan dalam memanjat selain untuk kebutuhan.

1
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan, maka rumusan masalah pada
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa itu panjat tebing ?
2. Bagaimana panjat tebing dilakukan ?
3. Apa saja alat alat yang dibutuhkan ?

1.3 Tujuan Penelitian

Penetapan tujuan dalam suatu kegiatan adalah hal yang sangat penting sebagai awal
untuk kegiatan selanjutnya. Tujuan penelitian yang erat dengan rumusan masalah adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui apa itu kegiatan panjat tebing
2. Mengetahui cara melakukan kegiatan panjat tebing
3. Mengetahui alat alat apa saja yang dibutuhkan untuk kegiatan panjat tebing.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Rock Climbing

Panjat Tebing atau istilah asingnya dikenal dengan Rock Climbing merupakan salah
satu dari sekian banyak olahraga alam bebas dan merupakan salah satu bagian dari
mendaki gunung yang tidak bisa dilakukan dengan cara berjalan kaki melainkan harus
menggunakan peralatan dan teknik-teknik tertentu untuk bisa melewatinya. Pada
umumnya panjat tebing dilakukan pada daerah yang berkontur batuan tebing dengan
sudut kemiringan mencapai lebih dari 45° dan mempunyai tingkat kesulitan tertentu.
Pada perkembangannya kegiatan panjat tebing berevolusi menjadi berbagai dimensi
kegiatan: olahraga yang mengejar prestasi, petualangan yang mengejar kepuasan pribadi,
dan sebagai kegiatan profesi untuk mencari nafkah yaitu Kerja pada Ketinggian.

2.2 Sejarah Rock Climbing

Pada awalnya rock climbing lahir dari kegiatan eksplorasi alam para pendaki gunung
dimana ketika akhirnya menghadapi medan yang tidak lazim dan memiliki tingkat
kesulitan tinggi,yang tidak mungkin lagi didaki secara biasa (medan vertical dan tebing
terjal).Maka dari itu lahirlah teknik rock climbing untuk melewati medan yang tidak
lazim tersebut dengan teknik pengamanan diri (safety procedur).Seiring dengan
perkembangan zaman rock climbing menjadi salah satu kegiatan petualangan dan olah
raga tersendiri.
Terdapat informasi tentang sekelompok orang Perancis di bawah pimpinan Anthoine
de Ville yang mencoba memanjat tebing Mont Aiguille (2097 mdpl) di kawasan Vercors
Massif pada tahun 1492. Tidak jelas benar tujuan mereka, tetapi yang jelas, beberapa
dekade kemudian, orang-orang yang naik turun tebing-tebing batu di pegunungan Alpen
diketahui adalah para pemburu Chamois (sejenis kambing gunung). Jadi pemanjatan
mereka kurang lebih dikarenakan oleh faktor mata pencaharian.
Pada tahun 1854 batu pertama zaman keemasan dunia pendakian di Alpen diletakan
oleh Alfred Wills dalam pendakiannya ke puncak Wetterhorn (3708 mdpl). Inilah cikal
bakal pendakian gunung sebagai olah raga. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya
barulah terdengar manusia-manusia yang melakukan pemanjatan tebing-tebing di seluruh
belahan bumi.Lalu pada tahun 1972 untuk pertama kalinya panjat dinding masuk dalam
jadwal olimpiade, yaitu didemonstrasikan dalam olimpiade Munich.
Baru pada tahun 1979 olah raga panjat tebing mulai merambah di Indonesia.
Dipelopori oleh Harry Suliztiarto yang memanjat tebing Citatah, Padalarang. Inilah patok
pertama panjat tebing modern di Indonesia.

2.3 Peralatan Rock Climbing

Berikut merupakan peralatan yang digunakan dalam kegiatan Rock Climbing :


1. Harness

3
Sebuah alat untuk menopang tubuh. Harness berdasarkan bentuk dibedakan
menjadi tiga yaitu sit harness, chest harness, dan full body harness. Ketiga bentuk
ini memiliki fungsi yang berbeda pula. Sit harness biasanya digunakan oleh para
pemanjat tebing, sedangkan full body harness biasanya digunakan oleh pekerja
bangunan yang berada diketinggian seperti membersihkan kaca gedung, dan lain-
lain. Yang sering kita gunakan adalah sit harness:

Sebelum ada harness yang praktis, dahulu para pecinta alam menggunakan tali
webbing yang diikatkan sedemikian rupa ke tubuh bagian bawah yang
dihubungkan oleh carabiner ke tali Karmantel. Namun sekarang ada harness yang
lebih praktis yang tinggal pakai.
2. Tali Karmantel
Adalah salah satu peralatan wajib yang harus dimiliki para climber. Fungsinya
untuk melindungi pemanjat dari kecelakaan seperti jatuh ke tanah. Secara umum
tali karmantel dibedakan menjadi 2 jenis yaitu elastis dan dinamis. Kedua jenis tali
tersebut memiliki kegunaan yang berbeda juga. Tali statis biasanya digunakan saat
rappeling (turun dari ketinggian). Tali statis ini memiliki tingkat kerenggangan
sekitar 15%.
Sedangkan tali dinamis biasanya digunakan saat menaiki atau memanjat
tebing. Tingkat kelenturan tali dinamis ini dua kali lipat dari tali statis. Sebuah tali
karmantel sanggup menahan beban sebesar 100 kilogram atau lebih.

3. Carabiner screw
Berfungsi untuk menghubungkan alat yang satu dengan alat yang lain.
Carabiner juga disebut cincin kait yang memang berguna sebagai pengait antar
alat. Terbuat dari bahan logam yang sangat kuat. Carabiner atau peralatan climbing
lainnya yang terbuat dari logam tidak boleh jatuh ke permukaan yang keras karena
bisa menyebabkan keretakan dan tentunya bisa mengancam jiwa pengguna.

4
4. Ascender
Sebuah peralatan mekanis untuk melintasi sebuah tali saat naik atau memanjat.
Sebelum alat ini muncul, para climber biasanya menggunakan tali prusik namun
penggunaan tali prusik tersebut lebih rumit dan sulit.
Secara fungsi ascender dibagi menjadi 2 jenis yaitu Sprung Cam (Petz Basic
dan Croll) dan Cam Loaded (Gibbs Shunt dan Hiebler). Sedangkan berdasarkan
bentuk pegangan, ascender terbagi menjadi 2 juga yaitu Heandle Ascender (SRT,
Petzl Expedition dan Ascention) dan Non Heandle Ascender (Petzl Basic, Croll,
Gibbs Shunt). Ascender ini juga sering disebut jumar. Namun sebenarnya jumar
adalah merek terkenal sebuah ascender yang berasal dari Swiss. Kebalikan dari
ascender, descender adalah alat yang digunakan untuk menuruni lintasan tali.

5. Figure of Eight
Disebut figure 8 karena bentuknya yang seperti angka 8. Alat ini biasanya
digunakan saat rappeling ataupun membiley. Alat ini berfungsi untuk
menghambat jalannya tali karmantel saat rappeling. Figure 8 terbuat dari partikel
baja sehingga sangat kuat untuk menahan beban berat. Namun seperti carabiner,
figure 8 ini tidak boleh jatuh di permukaan yang keras.

6. Webbing
Webbing adalah sebuah tali yang berbentuk pita yang sangat kuat yang
memiliki multi fungsi seperti alat tali tubuh, pengganti harness, anchor dan lain-
lain. Webbing bisa diperoleh dengan mudah di toko peralatan outdoor.

5
7. Sepatu Panjat
Sepatu khusus untuk memanjat tebing. Sepatu ini memiliki kelenturan karet
solnya yang sangat kuat yang sangat cocok digunakan pada tebing yang memiliki
permukaan yang tidak beraturan dan kasar, sehingga mempermudah climber
dalam menaklukkan tebing yang sulit sekalipun.

8. Chalk Bag
Berguna untuk tempat penyimpanan magnesium atau sering disebut juga
tepung anti keringat yang berguna agar tangan si pemanjat tidak basah oleh
keringat. Biasanya Chalk bag diletakkan di belakang pinggang.

9. Chock stone
Adalah pengaman yang disisipkan ke rekahan, celah – celah, atau lubang pada
permukaan tebing. Chock stone mempunyai berbagai jenis dan ukuran yang dapat
disesuaikan dengan bentuk rekahan atau celah pada tebing.

6
10. Helm
Penggunaan helm sangatlah dianjurkan dalam pemanjatan, helm melindungi
kepala dari serpihan atau batuan yang jatuh, juga bahaya lainnya. Helm yang baik
adalah yang ringan namun juga kuat, umumnya dibuat dari bahan polycarbonate.

11. Palu Tebing


Berguna untuk memasang piton atau membukanya. Adapula palu yang sudah
dilengkapi dengan pemutar baut.

12. Sling webing


Sangat bermanfaat pada panjat tebing maupun panjat dinding, sling dapat
digunakan sebagai runners, back up maupun menjadi bagian pengaman lainnya.
Sling dibagi menjadi dua macam, sling prusik dan sling webbing, untuk panjang
dan diameter sling memiliki banyak variasi.

13. Alat penambat / Belay Device


Dipergunakan untuk mengamankan pemanjat dari jatuh ketika melakukan
pemanjatan

7
14. Sarung tangan
Akan melindungi tangan bagi belayer ketika mengamankan pemanjat maupun
rapler dari bahaya gesekan telapak tangan dengan tali pengaman.

15. Quickdraw/runner
Merupakan gabungan antara prusik dan dua buah carabiner. Biasanya
digunakan untuk menjadi bagian penyambung antara chocks, friends, tricams,
bolts ataupun pitons terhadap tali carnmantel.

16. Sling prusik


Pengaman tubuh, biasanya dikaitkan dengan harness saat melakukan pemanjatan.

17. Padding
Berfungsi untuk memberi perlindungan pada tali dari gesekan benda tajam,
seperti gesekan tali dengan sudut tebing, dinding,dll. Padding terbuat dari bahan
terpal, canvas, matras, karet tebal yang tahan terhadap gesekan.

8
2.4 Anchor

Anchor atau dalam bahasa indonesianya penambat sering juga disebut angker adalah
sebuah system pengaman dalam instalasi tali-telami yang dianggap beresiko tinggi.
Anchor paling sering digunakan dalam kegiatan olahraga di alam bebas terutama yang
berhubungan dengan ketinggian seperti gunung, tebing atau tempat-tempat curam seperti
lembah, goa dan sebagainya. Oleh karena itu kegiatan seperti panjat tebing (rock
climbing), penyusuran goa (caving), vertical rescue hampir selalu menggunakan system
anchor. Anchor bisa terpasang secara vertical bisa juga secara horizoltal tergantung
karakter jalur ataupun medan dalam kegiatan. Anchor adalah point atau obyek yang akan
dijadikan tambatan. Dalam pemilihan anchor perlu adanya perhitungan antara lain:
1. Jenis Tambatan
2. Posisi tambatan
3. Kekuatan tambatan

Berdasarkan jenisnya, Anchor dibagi menjadi:


a. Natural Anchor (Tambatan Alam)
1. Pohon
Sebelum kita memakai jenis ini kita harus memeriksa jenis pohon
(Dimensinya), tempat tumbuh, posisi tumbuh maupun dari kondisi pohon
tersebut. Penentuan jenis pohon adalah dari jenis kekuatan pohon tersebut (bisa
dilihat dari melukai pohon tersebut), maupun dari jenis akarnya (serabut /
tunggang), penentuan kekuatan dari jenis akar ini dipengaruhi dari media
tumbuhnya (andesit, kapur dll) pemekaian jenis ini harus pula memperhatikan
posisi tambatan yang kita pasang pada bagian pohon tersebut.

2. Lubang Tembus
Lubang tembus yang bisa kita temui didinding, lantai maupun atap gua bisa
berbentuk vertikal maupun horisontal. Sebelum menggunakan kita harus
menggesek kelayakannya dengan memeriksa kekuatan batuan, keutuhan dan
struktur batuannya.

9
3. Rekahan (Crack)
Celah yang terbentuk dari pengikisan lapisan vertikal maupun horisontal.
Untuk jenis ini kita menggunakan sisip maupun paku tebing, bentuk celah, jenis
celah, lebar celah, arah penyempitan celah, kondisi permukaan bidang yang
akan digunakan dan arah tarikan yang akan diinginkan harus selalu
diperhitungkan.

4. Chok Stone
Batu yang terjepit pada celah sehingga sehingga berfungsi sebagai pengaman
sisip disebut Natural Chok, Sebelum digunkan terlebih dahulu periksa celah dan
batu yang terjepit. Untuk celah harus diperhatiakan pada kondisi permukaan
bidang (bidang friksi : kekerasan pelapis). Untuk batu yang terjepit perika jenis
dan keadaan dan bentuk dan posisi terjepitnya. Setelah itu tentukan arah tarikan
yang akan dibuat lalu perhatikan posoisi peletakan webbing pengikatnya

5. Tanduk (Horn)
Jenis ini berupa pinggiran dinding yang menonjol hasil dari aktifitas air.
Bentuk tonjolan harus selalu diperhatikan untuk tentukan arah tarikan dan
teknik pemasangan webbingnya.

10
6. Ornament
Biasanya hanya digunakan untuk mendapat beban horisontal (deviasi), karena
ornament ini hanya menempel pada bidang tumbuhnya. Jenis anchor ini jarang
digunakan karena praktis akan merusak pertumbuhannya.

7. Boulder (Bongkahan Batu)


Ini juga bisa digunakan sebagai anchor, asalkan ukurannya besar dan tidak
akan bergeser apabila dibebani. Posisi boulder yang menumpuk biasanya lebih
kuat karena boulder yang satu dengan yang lainnya saling menahan.

b. Anchor Buatan

Pada pembuatan lintasan jika sudah tidak dapat menemukan natural anchor yang
layak digunakan maka satu-satunya cara adalah menggunakan anchor buatan yang
menggunakan bolts/spit/tebing.

Berdasarkan posisi dan urutan penerimaan beban maka anchor dibagi atas :
a. Main anchor, anchor utama, yaitu anchor yang secara langsung mendapatkan
beban saat lintasan digunakan
b. Back-up, berfungsi sebagai cadangan jika main anchor terlepas atau jebol,
jumlah anchor ini bisa lebih dari satu, dan nilai kekuatannya harus lebih besar
dari main anchor.Penempatan posisi back-up harus tetap memperhatikan
keamanan tali dari friksi dan kerusakan lainnya ketika main anchor jebol.

Y-Anchor
Adalah anchor yang berbentuk “ Y “ dimana ada dua anchor yang selalu dibebani bersama.
Selain untuk menempatkan lintasan pada posisi friksi, juga untuk membagi beban pada dua
anchor.

11
Pembagian beban lebih pada satu sisi anchor, dilakukan dengan menggeser posisi
jatuhnya tali mendekati anchor tersebut. Pembagian ini harus selalu
memperhitungkan kekuatan tiap anchor. Yang paling perlu diperhatikan adalah besar
sudut yang terbentuk oleh pertemuan dua sisi tali (yang tertabat di anchor)

PERHITUNGAN FALL FACTOR

Fall Factor Adalah beban hentakan yang diterima oleh tali,back-up anchor,
maupun penelusur ketika main anchor jebol. Untuk itulah harus selalu diperhatikan
posisi antara main anchor dan back-up anchor.

Dalam kondisi medan tertentu kadang kita kesulitan untuk mendapatkan posisi
back-up yang lebih tinggi dari pada main anchor. Untuk mengatasi hal tersebut kita
menurunkan nilai fall factornya dengan memendekkan panjang lengkungan tali,
memanjangkan simptul pada main anchor maupun memanjangkan anchor.

Dibawah ini cara pemasangan back up anchor dan main anchor yang
memperhatikan atau memperhitungkan FF nya.

Deviasi
Sama fungsinya dengan intermediate, yaitu mengindarkan tali dari
friksi dengan batu. bedanya dengan intermediate tali tidak dibuat
ancor tetapi dibuat dengan cara menarik tali kesamping menjauh dari
batu. Deviasi menggunakan sling yang diujungnya dipasang carabiner
yang dikaitkan ketali.
Yang harus diperhatikan dalam membuat deviasi yaitu besaran
sudutnya. Semakin besar sudut deviasi semakin besar juga beban
masuk ke anchor. Umum digunakan 15° atau sebaiknya 10° – 30°. Hal
lain yang penting juga adalah jarak tali kedeviasi jangan terlalu jauh
karena akan susah dilewati.

2.5 Rigging

Merupakan teknik pemasangan lintasan tali baik vertikal, horizontal, maupun lintasan
untuk rescue.

12
Syarat :
1. Aman
2. Tidak merusak peralatan
3. Dapat dilewati
4. Siap digunakan dalam keadaan darurat

MANAJEMEN RIGGING
a. Organisasi
Dilakukan minimal dua orang, yaitu:
1. Rigging Man (RM), orang yang bertugas memasang lintasan utama, memiliki
tanggung jawab atas keamanan dan kekuatan lintasan.
2. Asisten Rigging (AR), orang yang bertugas membantu RM dalam menyiapkan
peralatan yang dibutuhkan dan memastikan keamanan RM dalam melakukan
belaying.
b. Packing
Untuk mengefisiensi proses pemasangan lintasan, packing harus dilakukan dengan
benar. Packing antara tali dilakukan secara terpisah, lalu untuk logam dibedakan dan
dikelompokkan berdasarkan jenis dan fungsi.
c. Prosedur pemasangan
1. Persiapkan peralatan yang akan digunakan.
2. RM dan AR memakai harness dan back up.
3. Orientasi medan, jika sudah mendapat rekahan atau lotem, diskusikan dan
rencanakan untuk jenis anchor yang akan digunakan.
4. Pembuatan lintasan diawali dengan memasang webbing yang disimpul pita,
kemudian dilanjutkan dengan memasang tali karnmantel sesuai dengan anchor
yang akan digunakan.

KODE
Kode digunakan untuk berkomunikasi, seperti :
1. Rope Free, lintasan bebas / siap untuk digunakan
2. Rock Free, peringatan batu yang terlepas atau jatuh
3. Belay on, kode untuk menggunakan lintasan

2.6 Jenis-jenis Pemanjatan

Beberapa jenis pemanjatan :


1. Scrambing
Merupakan pemanjatan setahap demi setahap pada permukaan ysng tidak begitu
terjal.

13
a. Face Climbing, pemanjatan pada permukaan tebing yang masih terdapat
tonjolan atau rongga sebagai pijakan kaki.
b. Friction Climbing, teknik yang mengandalkan gaya gesek sebagai gaya
pengampu.
c. Fissure Climbing, teknik yang memanfaatkan celah oleh anggota badan yang
berfungsi sebagai pasak.
 Jamming, teknik yang memanfaatkan celah yang tidak begitu lebar.
 Chimaeying, teknik yang memanfaatkan celah vertikal yang cukup lebar.
 Bindging, teknik yang memanfaatkan celah vertikal yang lebih lebar.
 Lie back, teknik pemanjatan pada celah vertikal menggunakan kaki dan
tangan.
 Hand traverse, teknik pemanjatan pada tebing dengan gerakan menyamping
(horizontal)
 Mantel self, teknik memanjat tonjolan-tonjolan yang letaknya agak tinggi
namun cukup besar dan dapat diandalkan.

2. Gerakan dasar
 Kekuatan bertumpu pada kaki. Sebisa mungkin posisi tangan lurus supaya
beban yang diterima relatif lebih kecil.
 Dalam memegang point, tidak perlu menggunakan keseluruhan jari, namun
hanya jari yang digunakan atau seperlunya saja asalkan aman / tidak tergelincir.
Jari harus relaks.
 Saat mencapai pegangan, usahakan posisi lengan dekat dengan tebing supaya
gravitasi tubuh dekat dengan tebing. Saat memegang point, jangan langsung
dibebani, namun biasakan jari pada point tersebut untuk mendapat posisi
terbaik.
 Saat memanjat, usahakan jangkauan tidak terlalu jauh, sehingga berat beban
masih tetap terkonsentrasi bidang tumpuan.
 Dalam pergerakan, menyilangkan kaki dapat dihilangkan.

3. Macam-macam pegangan tangan


1. Open grip
2. Cling grip
3. Cling grip + Thumb
4. Vertikal grip
5. Pocket grip
6. Pinch grip

4. Belayer
Merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengulur tali, juga teknik untuk secara
cepat menahan atau mengamankan pemanjat apabila terjatuh.
Alat atau cara melakukan belaying :

14
1. Sticht plate
2. Lower tubber
3. Munter hitch/ Itacian Hitch
4. Figur of eight

2.7 Teknik Pemanjatan

a. Free climbing
Dalam teknik ini, pemanjat memanfaatkan alat hanya sebagai pengaman. Tali, sling,
chock, dan pito tetap dipakai namun hanya sebagai pengaman.
b. Free soloing climbing
Bagian dari free climbing, namun dalam pergerakan tidak memerlukan pengaman.
Peralatan yang digunakan adalah sepatu dan chalk bag
c. Artificial climbing
Pemanjat tebing dengan bantuan peralatan tambahan, seperti paku tebing, bor,
stirrup. Alat tersebut digunakan untuk menambahkan ketinggian dengan cara
dijadikan pegangan atau pijakan.

2.8 Teknik Menuruni Tebing

Definisi Rappelling
Rappelling atau Abseling adalah sebuah teknik menuruni bidang vertical dengan alat
bantu utama berupa tali. Bidang vertical disini seperti tebing, menara atau gedung dan
lain sebagainya. Rappelling merupakan kebalikan dari panjat tebing, kalau arah gerak
pada panjat tebing vertical keatas maka arah gerak rappelling vertical kebawah. Dalam
beberapa kondisi rappelling juga merupakan sebuah model transportasi perjalanan ke
bawah.

Manfaat Rappelling
Pada dasarnya setiap kegiatan yang mengharuskan kita keluar dari zona nyaman akan
memberi dampak yang besar terhadap perkembangan mental dan fisik, begitu juga
dengan kegiatan rappelling. Banyak sekali manfaat dari kegiatan rappelling dan yang
terpenting adalah kegiatan ini sesuai untuk segala tingkat keterampilan karena mudah
dipelajari. Hanya dengan beberapa kali berlatih anda akan meluncur seperti seorang ahli.
Saran dari penulis bagi anda yang phobia ketinggian cobalah kegiatan ini, karena
rapplling adalah salah satu cara mendobrak diri mengatasi rasa takut dan meningkatkan
rasa percaya diri, banyak yang awalnya takut belakangan malah jadi ketagihan.

Variasi Dalam Rappelling

1. Body Rappel
Teknik ini adalah yang paling sederhana karena hanya menggunakan sebuah tali
tanpa alat tambahan apapun. Caranya adalah dengan melilitkan tali utama
sedemikian rupa ke tubuh, teknik ini penting untuk dikuasai mengingat anda tak

15
akan pernah tau kapan anda berada dalam situasi darurat yang mengharuskan teknik
ini digunakan.

2. Arm Rappel
Hampir sama dengan body rappel hanya saja pada arm rappel tali terlebih dahulu
dililitkan di kedua tangan melewati bagian belakang badan. Cara ini biasa digunakan
untuk menuruni tebing yang tidak terlalu curam.

3. Sling Rappel
Pada teknik ini peralatan yang digunakan bukan hanya tali tetapi ada tambahan
sling/webbing dan sebuah carabiner umumnya carabiner screw jenis pear.
Sling/webbing digunakan sebagai pengganti fungsi harness yang dililitkan ke
pinggang. Carabiner dihubungkan ke sling/webbing tersebut yang berfungsi sebagai
alat rappel.

4. Breakebar Rappel
Teknik ini adalah yang paling umum digunakan dalam Rappelling, peralatan yang
digunakan sudah lebih lengkap untuk kegiatan rappelling, seperti tali, harness (bisa
dari webbing), dan breakbar. Modifikasi dari breakbar adalah penggunaan alat
descender seperti Figure 8, ATX dan sebagainya.

Standar Operation Procedur (SOP) Dalam Rappelling


Agar kegiatan berjalan lancar dan juga untuk meminimalisir kecelakaan maka
mengikuti SOP menjadi sebuah keharusan apalagi dalam kegiatan di alam bebas yang
rawan terjadi kecelakaan. Berikut SOP dalam Rappeling yang harus diketahui :
1. Pastikan anchor terpasang dengan baik
2. Pastikan tali sudah terpasang dan ujung tali menyentuh dasar (tanah)
3. Sesuaikan ritme saat turun agar tidak terlalu cepat
4. Jaga posisi badan tetap tegak lurus dengan tebing dan hindari benturan pada tubuh
5. Selalu melakukan pengamatan keatas dan kebawah saat turun

Peralatan Rappelling

Peralatan dalam rappelling meliputi Alat Pelindung Diri (ADP) seperti Sepatu, Sarung
tangan, Helm dan alat untuk Rapplling, yaitu :

1. Tali
Umumnya tali yang digunakan adalah tali karmantel statis, karena tali ini sangat kuat
dan bersifat kaku jadi sangat nyaman digunakan untuk rappelling.
2. Harness

16
Harness digunakan sebagai penghubung antara tali dengan tubuh, bisa dibuat dari
webbing (harness webbing) dipakai ke pinggang, juga sebagai tempat memasang alat
desender saat rappelling.
3. Carabiner
Carabiner atau cincin kait hampir selalu dipakai dalam sistem tali temali dalam
olahraga alam bebas, berfungsi sebagai penghubung antara tali dengan tali atau tali
dengan alat lainnya.
4. Descender
Desender adalah alat yang berfungsi memperlambat laju gerak tali, menahan gesekan
sehingga dapat membantu pengereman. Desender yang umum di gunakan untuk
rappelling adalah Figure 8 dan ATX.
5. Anchor
Anchor adalah tempat menahan semua system tali temali dalam proses rappelling,
anchor ada dua jenis yaitu anchor alam (natural anchor) dan anchor buatan (artificial
anchor). Untuk membuat anchor alam peralatan yang biasa digunakan adalah Sling
dan Carabiner.

2.9 Mengenali Cacat Bantuan

a. Crack, biasanya terjadi pada permukaan tebing karena proses alami. Dalam
pendakian dikenal adanya crack, yaitu: slant, horizontal dan vertikal.
b. Hold, tidak jauh berbeda dengan crack, karena bentuknya berbeda-beda, maka untuk
melakukan pemanjatan yang baik dibutuhkan teknik yang berbeda-beda, yaitu:
 Hand hold: Semua tangan menggenggam erat hold, karena bentuk hold besar
 Finger hold: Bentuk hold pipih, maka jari tangan hanya menempel satu ruas.
 Pinch grip: Bentuk hold amat kecil sehingga untuk memegangnya hanya dengan
cubitan saja.
 Undercling:Bentuk hold tidak memungkinkan untuk dipegang dari atas,
sehingga dipegang dari bawah dengan kaki menempel erat pada tebing.
 Jamming: Sering dijumpai crack terlalu lebar, harus disiasati dengan
mengandalkan jepitan tangan dan kaki.
 Laybacking: Digunakan pada celah vertikal, gaya tidak jauh berbeda dengan
undercling dengan memanfaatkan tekanan antar tubuh.
 Bridging : Dengan cara merentangkan tangan dan kaki.

2.10 Resiko Kegiatan Rock Climbing

Rock Climbing merupakan jenis olahraga lama yang belakangan eksistensinya


semakin meningkat, dimana para pemulanya biasanya akan berlatih dalam tebing buatan.
Kegiatan panjat tebing adalah kegiatan yang banyak mengandung risiko. Mengaburkan
informasi sehingga orang menganggap suatu kegiatan tidak mengandung risiko adalah
suatu tindakan yang salah. Jika orang telah beranggapan tidak ada risiko maka tidak
perlu hati-hati, tidak perlu pengamanan, tidak perlu peralatan dan seterusnya.Dengan

17
menginformasikan adanya risiko jelas akan membuat orang untuk berhati-hati: harus
belajar dulu kegiatan memanjat yang benar, harus punya alat-alat yang dapat diandalkan,
harus punya fisik yang prima, dan harus punya rekan memanjat yang kompeten. Perlu
diingat bahwa tujuan dari kegiatan memanjat adalah mencapai kepuasan pribadi yang
tidak didapat dari kegiatan lain, tapi kegiatan itu harus dicapai dengan selamat dan bisa
kembali mengulang kegiatan itu atau kegiatan lain sesudahnya.

Hal Yang Harus di Hindari saat melakukan kegiatan panjat tebing


1. Lupa mengecek simpul dan tali
Jangan anggap enteng simpul dan tali pengikatmu. Pemanjat paling berpengalaman
sekalipun harus selalu memeriksa kondisi tali pengikat dan perlengkapan belay. Cek
setiap simpul, ikatan, dan mekanisme pengaman minimal dua kali.
2. Terlalu percaya diri tapi ceroboh
Walau olahraga ini menantangmu untuk menjajal kemampuan dan daya tahan, kamu
tetap harus mempertimbangkan tingkat keahlian dan kemampuan. Hindari
memaksakan diri saat menempuh jalur sulit, dan prioritaskan keselamatan.
3. Terlalu fokus ke pegangan tangan
Kunci sukses memanjat adalah keseimbangan antara pijakan kaki, pegangan tangan,
dan posisi tubuh. Pemanjat pemula biasanya masih belum percaya diri untuk “melihat
ke bawah”, sehingga lebih sering berfokus pada pegangan tangan dan melupakan
pijakan kaki. Jika terlalu sering melakukan ini, kamu akan cepat lelah, dan bahkan
terpeleset.
Saat memanjat, kamu harus mementingkan pijakan kaki yang mantap dan kuat.
Jangan bernafsu menaklukkan tebing, bahkan saat jiwa petualanganmu tertantang.
Pelan tapi pasti (dan aman) adalah prinsip utama sport climbing.
4. Tidak mengenakan helm
Dalam sport climbing, keselamatan harus menjadi prioritas. Helm harus selalu berada
di kepalamu, terutama karena risiko terbentur, terhantam tebing saat tergantung di tali,
atau terjatuh dari ketinggian sangat besar. Batu yang berjatuhan juga merupakan
bahaya umum saat panjat tebing, terutama jika kamu sedang menjajal lokasi yang
baru.
5. Tidak melapor sebelum memanjat
Jika kamu hendak menaklukkan dinding tebing di tempat terpencil, jangan lupa
melapor ke pos pendakian atau pihak berwenang setempat.

2.11 Self and Rescue (SAR)

Operasi SAR merupakan suatu misi kemanusiaan yang bertindak dalam usaha
penyelamatan jika terjadi suatu kecelakaan ataupun bencana dengan adanya suatu
kerjasama dan koordinasi yang matang sehingga penyebarannya dapat terwujud sebagai
suatu tindak operasi yang serasi dan efektif. Dalam operasi SAR dibutuhkan personil
yang mampu dan memenuhi kriteria sebagai tim SAR, selain itu juga mampu membaca
18
medan dan menguasai tekniknya. Seorang tim SAR harus memenuhi kaidah yang baku
dan tidak pamrih baik dari segi materi maupun jasa.

Sejarah
Lahirnya organisasi SAR di Indonesia yang saat ini bernama BASARNAS diawali
dengan adanya penyebutan Black Area, bagi suatu negara yang tidak memiliki organisasi
SAR.
Dengan berbekal kemerdekaan, maka tahun 1950 Indonesia masuk menjadi anggota
organisasi penerbangan internasional ICAO (International Civil Aviation Organization).
Sejak saat itu Indonesia diharapkan mampu menangani musibah penerbangan dan
pelayaran yang terjadi di Indonesia.
Sebagai konsekuensi logis atas masuknya Indonesia menjadi anggota ICAO tersebut,
maka pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1955 tentang
Penetapan Dewan Penerbangan untuk membentuk panitia SAR. Panitia teknis
mempunyai tugas pokok untuk membentuk Badan Gabungan SAR, menentukan pusat-
pusat regional serta anggaran pembiayaan dan materil.
Sebagai negara yang merdeka, tahun 1959 Indonesia menjadi anggota International
Maritime Organization (IMO). Dengan masuknya Indonesia sebagai anggota ICAO dan
IMO tersebut, tugas dan tanggung jawab SAR semakin mendapat perhatian. Sebagai
negara yang besar dan dengan semangat gotong royong yang tinggi, bangsa Indonesia
ingin mewujudkan harapan dunia international yaitu mampu menangani musibah
penerbangan dan pelayaran.
Dari pengalaman-pengalaman tersebut diatas, maka timbul pemikiran bahwa perlu
diadakan suatu organisasi SAR Nasional yang mengkoordinir segala kegiatan-kegiatan
SAR dibawah satu komando. Untuk mengantisipasi tugas-tugas SAR tersebut, maka
pada tahun 1968 ditetapkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor T.20/I/2-4
mengenai ditetapkannya Tim SAR Lokal Jakarta yang pembentukannya diserahkan
kepada Direktorat Perhubungan Udara. Tim inilah yang akhirnya menjadi embrio dari
organisasi SAR Nasional di Indonesia yang dibentuk kemudian.
Pada tahun 1968 juga, terdapat proyek South East Asia Coordinating Committee on
Transport and Communications, yang mana Indonesia merupakan proyek payung
(Umbrella Project) untuk negara-negara Asia Tenggara. Proyek tersebut ditangani oleh
US Coast Guard (Badan SAR Amerika), guna mendapatkan data yang diperlukan untuk
rencana pengembangan dan penyempurnaan organisasi SAR di Indonesia
Dalam kegiatan survey tersebut, tim US Coast Guard didampingi pejabat - pejabat
sipil dan militer dari Indonesia, tim dari Indonesia membuat kesimpulan bahwa :
Instansi pemerintah baik sipil maupun militer sudah mempunyai unsur yang dapat
membantu kegiatan SAR, namun diperlukan suatu wadah untuk menghimpun unsur-
unsur tersebut dalam suatu sistem SAR yang baik. Instansi-instansi berpotensi tersebut
juga sudah mempunyai perangkat dan jaringan komunikasi yang memadai untuk
kegiatan SAR, namun diperlukan pengaturan pemanfaatan jaringan tersebut.
Personil dari instansi berpotensi SAR pada umumnya belum memiliki kemampuan
dan keterampilan SAR yang khusus, sehingga perlu pembinaan dan latihan.

19
Peralatan milik instansi berpotensi SAR tersebut bukan untuk keperluan SAR,
walaupun dapat digunakan dalam keadaan darurat, namun diperlukan standardisasi
peralatan.
Hasil survey akhirnya dituangkan pada Preliminary Recommendation yang berisi
saran-saran yang perlu ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk mewujudkan suatu
organisasi SAR di Indonesia.
Berdasarkan hasil survey tersebut ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 11 tahun
1972 tanggal 28 Februari 1972 tentang pembentukan Badan SAR Indonesia (BASARI).
Adapun susunan organisasi BASARI terdiri dari :
• Unsur Pimpinan
• Pusat SAR Nasional (Pusarnas)
• Pusat-pusat Koordinasi Rescue (PKR)
• Sub-sub Koordinasi Rescue (SKR)
• Unsur-unsur SAR
Pusarnas merupakan unit Basari yang bertanggungjawab sebagai pelaksana
operasional kegiatan SAR di Indonesia. Walaupun dengan personil dan peralatan yang
terbatas, kegiatan penanganan musibah penerbangan dan pelayaran telah dilaksanakan
dengan hasil yang cukup memuaskan, antara lain Boeing 727-PANAM tahun 1974 di
Bali dan operasi pesawat Twinotter di Sulawesi yang dikenal dengan operasi Tinombala.
Secara perlahan Pusarnas terus berkembang dibawah pimpinan (alm) Marsma S.
Dono Indarto. Dalam rangka pengembangan ini pada tahun 1975 Pusarnas resmi menjadi
anggota NASAR (National Association of SAR) yang bermarkas di Amerika, sehingga
Pusarnas secara resmi telah terlibat dalam kegiatan SAR secara internasional. Tahun
berikutnya Pusarnas turut serta dalam kelompok kerja yang melakukan penelitian tentang
penggunaan satelit untuk kepentingan kemanusiaan (Working Group On Satelitte Aided
SAR) dari International Aeronautical Federation.
Bersamaan dengan pengembangan Pusarnas tersebut, dirintis kerjasama dengan
negara-negara tetangga yaitu Singapura, Malaysia, dan Australia.
Untuk lebih mengefektifkan kegiatan SAR, maka pada tahun 1978 Menteri
Perhubungan selaku kuasa Ketua Basari mengeluarkan Keputusan Nomor 5/K.104/Pb-78
tentang penunjukkan Kepala Pusarnas sebagai Ketua Basari pada kegiatan operasi SAR
di lapangan. Sedangkan untuk penanganan SAR di daerah dikeluarkan Instruksi Menteri
Perhubungan IM 4/KP/Phb-78 untuk membentuk Satuan Tugas SAR di KKR (Kantor
Koordinasi Rescue).
Untuk efisiensi pelaksanaan tugas SAR di Indonesia, pada tahun 1979 melalui
Keputusan Presiden Nomor 47 tahun 1979, Pusarnas yang semula berada dibawah
Basari, dimasukkan kedalam struktur organisasi Departemen Perhubungan dan namanya
diubah menjadi Badan SAR Nasional (BASARNAS).

Tugas
Seorang tim SAR memiliki tugas antara lain:
1. Pencarian
2. Triase
3. Penyelamatan dan PPGD

20
4. Pendataan

Penguasaan Materi
Seorang tim SAR harus mampu menguasi materi sebagau berikut :
1. Navigasi darat
2. Survival
3. Manajemen PPM (Perlengkapan Pakaian Makanan)
4. Teknik pencarian
5. Teknik evakuasi
6. Water rescue
7. Medical first responder
8. Prosedur operasi heli
9. Komunikasi SAR
10. Filosifi SAR

Organisasi operasi SAR


1. SAR Coordinator (SC)
SAR Coordinator adalah suatu badan yang bertanggung jawab membentuk dan
mengelola sistem SAR termasuk tentang hokum dan pendanaan untuk
berlangsungnya operasi SAR. SC biasanya biasanya dijabat oleh pejabat : gubernur,
bupati atau kapolda.
2. SAR Mission Coordinator (SMC)
SAR Mission Coordinator adalah salah satu komponen organisasi operasi SAR yang
bertugas mengkoordinasikan, merencanakan dan melaksanakan operasi SAR hingga
operasi SAR dihentikan.
3. On scene Comander (OSC)
On scene Comander adalah suatu unit atau kelompok yang bertanggung jawab
mengkoordinasikan SRU di lokasi kejadian. OSC menjadi jembatan penghubung
antara SRU dan SMC. OSC biasanya dijabat oleh SRU yang pertama kali pertama
kali datang dengan membawa alat komunikasi lengkap dan durasi terlama.
4. Search and Rescue Unit (SRU)
Search and Rescue Unit adalah salah satu komponen dalam operasi SAR yang secara
nyata melakukan operasi SAR di lapangan atau di tempat kejadian. Wewenang SRU
adalah terbatas dalam pelaksanaan tugas pencarian di lapangan dan di bawah
koordinasi OSC atau SMC.

Posko SAR
Dalam suatu operasi SAR diperlukan adanya posko (Pos Komando) yaitu sutu tempat
untuk pusat koordinasi operasi SAR.
Berikut merupakan posko saat dilakukan operasi SAR:
1. Posko Pusat : BASARNAS
2. Posko Wilayah : Kantor SAR
3. Posko Lapang : OSC

21
Visualisasi data Posko
1. Data unsur / SRU
2. Organisasi-organisasi SAR
3. Garis koordinasi dan pengendalia
4. Peta lokasi
5. Pembagian tugas / gerakan unsur
6. Jurnal kegiatan posko
7. Data hasil kegiatan operasi

Pembagian Tugas
Di dalam operasi SAR ini akan dibagi tugas masing-masing SRU, diantaranya :
1. Komandan Pos Komando Operasi (OSC)
Bertugas memimpin Pos Komando dan menyediakan segala fasilitas yang diperlukan
untuk mendukung kelancaran jalannya operasi. Sedangkan dalam tugasnya
Komandan Pos Komando Operasi dibantu oleh Koordinator Dapur Umum,
Koordinator Umum, Kesehatan, dan Back Up Emergency Team
2. Koordinasi Dapur Umum
Bertugas menyediakan fasilitas konsumsi dan perbekalan dalam suatu operasi.
3. Koordinator Umum
4. Bertugas mengkoordinasi pengadaan sarana dan prasaran yang mungkin dibutuhkan
dalam suatu operasi.
5. Kesehatan
Selain bertugas sebagai back up emergency, juga bertugas sebagai mengawasi dan
menangani kesehatan terhadap pelaku operasi. Dalam hal ini kesehatan melibatkan
pengetahuan tentang rescue.
6. Back Up Emergency Team
Yang terdiri dari satu tim atau lebih yang bertugas mengadakan pertolongan apabila
sewaktu-waktu terjadi sesuatu terhadap semua pelaku operasi.

Tahapan SAR
Dalam penyelenggaraan operasi SAR terdapat 5 tahapan, yaitu :
1. Awareness Stage (Tahap Kekhawatiran)
Adalah kekhawatiran bahwa suatu keadaan darurat diduga akan muncul,
termasuk didalamnya penerimaan informasi dari seseorang atau organisasi.
Dalam tahap ini menyadari bahwa suatu kejadian darurat telah terjadi dan
perlunya mengambil suatu tindakan.
2. Initial Action Stage (Tahap Kesiagaan)
Adalah tahapan tindakan awal, tanggap bahwa suatu musibah telah terjadi
serta berusaha mengumpulkan berbagai keterangan mengenai musibah. Aksi
persiapan yang diambil antara lain menyiagakan fasilitas SAR dan mendapatkan
informasi yang lebih jelas, termasuk di dalamnya menyeleksi informasi yang
diterima, untuk segera dianalisa untuk dapat dilakukan tindakan selanjutnya.
Dalam penyeleksian informasi tersebut, keadaan darurat dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :

22
a. Incerfa (Uncertainity Phase/ Fase meragukan) :
Adalah suatu keadaan emergency yang ditunjukkan dengan adanya keraguan
mengenai keselamatan jiwa seseorang karena diketahui kemungkinan
mereka dalam menghadapi kesulitan.
b. Alerfa (Alert Phase/ Fase Mengkhawatirkan/ Siaga) :
Adalah suatu keadaan emergency yang ditunjukkan dengan adanya
kekhawatiran mengenai keselamatan jiwa seseorang karena adanya informasi
yang jelas bahwa mereka menghadapi kesulitan yang serius yang mengarah
pada kesengsaraan (distress).
c. Ditresfa (Ditress Phase/ Fase Darurat Bahaya) :
Adalah suatu keadaan emergency yang ditunjukkan bila bantuan yang cepat
sudah dibutuhkan oleh seseorang yang tertimpa musibah karena telah terjadi
ancaman serius atau keadaan darurat bahaya. Berarti, dalam suatu operasi
SAR informasi musibah yang diterima bisa ditunjukkan tingkat keadaan
emergency dan dapat langsung pada tingkat Ditresfa.
3. Planning Stage (Tahap Perencanaan)
Adalah suatu pengembangan perencanaan yang efektif dari sistem SAR. Di
dalamnya dapat berupa :
• Perencanaan pencarian dimana sepatutnya dilaksanakan
• Perencanan pertolongan dan pembebasan akhir
Dapat ditambahkan pula antara lain meliputi posisi yang paling mungkin dari
korban, luas areal SAR, tipe pola pencarian, perencanaan pencarian optimum,
perencanaan pencarian yang telah dicapai, memilih metode pertolongan terbaik,
memilih titik pembebasan yang paling aman bagi korban, memilih fasilitas
kesehatan yang baik bagi korban yang mengalami cedera atau penderitaan.
4. Operation Stage (Tahap Operasional)
Detection Mode/ Tracking Mode And Evacuation Mode, yaitu dilakukan
operasi pencarian dan pertolongan serta penyelamatan korban secara fisik.
Tahap operasi meliputi :
Fasilitas SAR bergerak ke lokasi kejadian.
 Melakukan pencarian dan mendeteksi tanda-tanda yang ditemui yang
diperkirakan ditinggalkan survivor (Detection Mode).Mengikuti jejak atau
tanda-tanda yang ditinggalkan survivor (Tracking Mode).
 Menolong/menyelamatkan dan mengevakuasi korban (Evacuation Mode),
dalam hal ini memberi perawatan gawat darurat pada korban yang
membutuhkannya dan membawa korban yang cedera kepada perawatan
yang memuaskan (evakuasi).
 Mengadakan briefing kepada SRU.
 Mengirim/memberangkatkan fasilitas SAR.
 Melaksanakan operasi SAR di lokasi kejadian.
 Melakukan penggantian/penjadwalan SRU di lokasi kejadian.
5. Mission Conclusion Stage (Tahap Akhir Misi)

23
Merupakan tahap akhir operasi SAR, meliputi membuat laporan kegiatan
SAR secara menyeluruh, penarikan kembali SRU dari lapangan ke posko,
penyiagaan kembali tim SAR untuk menghadapi musibah selanjutnya yang
sewaktu-waktu dapat terjadi, evaluasi hasil kegiatan, mengadakan pemberitaan
(Press Release) dan menyerahkan korban/survivor kepada yang berhak serta
mengembalikan SRU pada instansi induk masing-masing dan pada kelompok
masyarakat.

Teknik-teknik Pencarian
Dalam pencarian terdiri dari empat unsur yang dapat dijadikan standar dalam
menentukan ketrampilan tertentu yang dibutuhkan bagi suatu operasi SAR :
Unsur Pengetahuan
1. Locate (menentukan lokasi korban)
Pengetahuan tentang navigasi darat, data peristiwa, keadaan korban, keadaan medan
dll.
2. Reach (mencapai korban)
Ketrampilan mendaki gunung, RC, hidup di alam, mencari jejak, penguasan peta dan
kompas, dll.
3. Stabilize (menentramkan korban)
Pengetahuan dan ketrampilan PPPK, gawar darurat.
4. Evacuate (membawa kembali korban)
Sama dengan reach serta penguasaan P3K.

Teknik pencarian disini merupakan teknik pencarian yang dilakukan di darat.


Walaupun tidak secara khusus untuk di darat, teknik ini juga yang membedakan antara
SAR dan ESAR. Teknik pencarian ini bertumpu pada lima tahap.
1. Tahap Awal (Preliminary Mode)
Yaitu mengumpulkan informasi-informasi awal, saat dari mulai tim-tim pencari
diminta bantuannya sampai kedatangannya di lokasi. Melakukan perencanaan
pencarian awal, perhitungan-perhitungan, mengkoordinasikan regu pencari,
memebentuk pos pengendali perencanaan, mencari identitas subjek, perencanaan
operasi dan evakuasi.
2. Tahap Pemagaran (Confinement Mode)
Yaitu memantapkan garis batas untuk mengurung orang yang dinyatakan atau
dikhawatirkan hilang agar berada di dalam areal pencarian (search area). Untuk lebih
jelasnya akan dibahas dalam bagian tersendiri.
3. Tahap Pengenalan (Detection Mode)
Yaitu pemeriksaan-pemeriksaan terhadap tempat-tempat yang dicurigai. Apabila
dirasa perlu, dilakukan pencarian dengan cara menyapu (sweep searches). Bisa juga
dilakukan pemeriksaan terhadap tempat-tempat yang diketemukan tanda-tanda atau
barang-barang yang ditinggalkan oleh survivor. Untuk lebih jelasnya akan dibahas
dalan bagian tersendiri.
4. Tahap Pelacakan (Tracking Mode)

24
Yaitu mengikuti dan melacak jejak yang ditinggalkan oleh survivor atau pelacakan
terhadap barang-barang yang tercecer dari survivor. Tracking bisa benar-benar
dilakukan oleh orang-orang yang terlatih dan berpengalaman serta mempunyai
kemampuan melacak yang tinggi antara lain membaca jejak, medan peta kompas,
mengerti maksud dan tujuan korban, makna dari benda-benda yang terjatuh dan
sengaja ditinggal korban atau dengan menggunakan anjing pelacak. Dari beberapa
pengalaman, pelacakan dengan anjing pelacak masih belum bisa dilakukan secara
baik untuk kondisi alam Indonesia. Hal ini dikarenakan faktor alam yang sulit dan
ekstrim serta cepat berubah.
5. Tahap Evakuasi (Evacuation Mode)
Yaitu memberikan pertolongan pertama dan membawa survivor ke titik penyerahan
untuk perawatan lebih lanjut.
Tiga hal pokok yang harus dilakukan pencari apabila berhasil menemukan Survivor
dalam keadaan hidup:
a. Memberikan pertolongan pertama bila diperlukan. Dalam hal ini personil harus
benar-benar memiliki kemampuan pertolongan pertama, karena kalau salah
menangani akan mengakibatkan korban bertambah parah bahkan bisa meninggal.
b. Meyakinkan pada survivor bahwa Ia akan selamat
c. Mengabarkan ke pangkalan pengendali tentang kondisi dan lokasi ditemukannya
survivor.
Bila survivor dalam keadaan meninggal :
a. Tidak boleh merubah posisi survivor sebelum ada perintah dari SMC
b. Menjaga survivor dari segala gangguan yang mungkin terjadi
c. melaporkan ke pangkalan untuk dievakuasi
Teknik yang digunakan dalam evakuasi :
a. Memapah
b. Memandu
c. Bantuan helikopter
d. Modifikasi dari teknik yang ada

Tahap Pemagaran (Confinement Mode)


Dasar pemikirannya adalah menjebak survivor dalam area yang jelas dan kita dapat
mengetahui batasan-batasannya, sehingga :
• Area tersebut dapat dilakukan pencarian atau disapu.
• Sebagai petunjuk bagi survivor untuk menuju tempat yang dapat diketahui tim
pencari.
Kerja awal dari tahap ini adalah memagari kemungkinan gerak dari pencarian yang
padat yang mungkin diperlukan bila areal pencarian menjadi terlalu luas.
Metode Confinement :
1. Trail Blocking (razia pada jalan setapak)
Yaitu menempatkan tim kecil pada jalan masuk ke areal pencarian untuk menjaga
kemungkinan korban melalui daerah tersebut. Mencatat nama-nama yang keluar
masuk areal pencarian tersebut.
2. Road Bolcks (razia pada jalan keluar)

25
Pada dasarnya sama dengan trail blocks, hanya saja disini masyarakat, pamong desa
dapat diminta bantuan untuk melakukan pengawasan kemungkinan korban keluar
melalui desa mereka atau dengan meminta bantuan petugas keamanan atau tenaga
yang lainnya.
3. Look Outs
Mengadakan “pengintaian” dengan menempatkan regu-regu kecil di ketinggian untuk
dapat mendeteksi dan mengawasi daerah-daerah sekitar yang lebih rendah untuk
mendeteksi dan mengawasi bila ada yang bergerak, membuat asap, tanda-tanda dari
survivor jika berada di sekitar daerah itu. Juga menggunakan tanda-tanda yang
menyolok untuk menarik perhatian survivor, misalnya bunyi-bunyian, lampu, sinar,
api, asap dll.
4. Camp I
Yaitu mendirikan pos-pos di lokasi yang strategis, misalnya saja persimpangan jalan
atau pertemuan aliran sungai. Dari Camp In ini tim pencari dapat bergerak
melakukan pencarian di daerah sekitar.
5. Track Traps (jalur jebakan)
Yaitu jalur setapak atau tempat-tempat tertentu yang kemungkinan besar akan dilalui
oleh korban karena tempat tersebut secara alamiah dan naluri, besar kemungkinannya
akan dipilih atau dilewati korban, misal jalur air, mata air, gua, tempat datar dsb. Tim
pencari dapat membuat jebakan buatan, misal dengan menggemburkan tanah
disekitar jalur. Periksalah secara berulang area itu secara berkala untuk melihat jejak
korban.
6. String Lines
Yaitu pembatas buatan berupa jalur benang atau tali yang ditarik mengikuti jalur
tertentu yang diharapkan akan membatasi ruang gerak korban. Bila string line
tersebut diketemukan oleh korban, ia akan dituntun menuju tempat tertentu misal
jalan setapak, camp in dsb (lihat gambar). Secara khusus akan efektif bila dilakukan
pada daerah-daerah terbuka dimana cara pandangnya baik.
Bila daerahnya berpohon dan bersemak lebat, dapat lebih sempurna dengan
menggunakan Tagged String Lines (bentangan tali yang bertanda). Tags (tanda-
tanda) pada string lines akan menarik perhatian survivor untuk bergerak mengikuti
tali itu dan keluar menuju tempat yang ditunjukkan oleh tanda-tanda itu.
Tujuan menggunakan string line adalah menjadikan ruang-ruang atau kotak-kotak
search area menjadi sektor yang terkuasai untuk pencarian tim pencari. Setelah Initial
Confinement (pemagaran awal), tambahan string line dapat digunakan untuk
membagi-bagi area itu. String line dapat digunakan untuk pemagaran dan untuk
menandai sektor pencarian. Pemisahan lebih lanjut ini bertujuan untk mempersempit
areal pencarian yang dilakukan oleh tim pencari.

Tahap Pengenalan (Detection Mode)


Detection adalah usaha untuk mencari korban atau benda yang tercecer/terjatuh atau
sengaja ditinggalkan survivor. Pada keadaan inilah pasukan atau tenaga dari tim ESAR
terutama diperlukan atau digunakan.

26
Metode detection, dikelompokkan ke dalam tiga kategori. Penamaan dari ketiga kategori
di bawah ini telah digunakan dalam ESAR untuk beberapa tahun ini, diambil karena hal
ini secara umum bertalian terhadap tahapan dari pengembangan operasi pencarian. Tipe I
umumnya mendahului tipe II, tipe II muncul sebelum tipe III.
1. Tipe I Search
Yaitu pemeriksaan tidak resmi yang segera dilakukukan terhadap areal yang
dianggap paling memungkinkan. Penamaan lain untuk tipe ini adalah Reconnaisance
atau Hayt Searching/pencarian terburu-buru.
a. Metode ini digunakan pada :
 Tahap pencarian awal
 Memeriksa ulang daerah dimana diduga survivor berada
b. Sasaran metode ini :
 Pemeriksaan yang segera atas area yang spesifik dimana survivor diduga berada
 Memperoleh informasi mengenai areal pencarian
c. Teknik yang digunakan
Sebuah tim kecil yang terdiri dari 3-6 orang yang mampu bergerak cepat untuk
memeriksa daerah pencarian. Bila menemukan barang yang tercecer dan bila SMC
(SAR Mission Coordinator) menghendaki barang tersebut dibawa, maka sebuah
marker akan dipasang dan ditempatkan di lokasi penemuan.
2. Tipe II Search
Kriterianya adalah efisiensi, pemeriksaan yang cepat dan sistematis atas area yang
luas, dengan metode penyapuan yang akan menghasilkan hasil akhir yang tinggi dari
setiap pencari per jam kerjanya. Nama lain dari tipe ini adalah open grids (pencarian
grid renggang/penyapuan renggang).
a. Metode ini digunakan pada :
 Tahap awal operasi pencarian, terutama bila jangka waktu orang yang bertahan
hidup diperkirakan sangat pendek
 Bila areal pencarian luas dan tidak ada areal tertentu yang dapat dicurigai dan
tidak tersedia cukup tenaga pencari yang dapat mengcover keseluruhan area.
c. Sasaran metode ini adalah pencarian yang tepat dan cepat pada areal yang luas.
d. Teknik yang digunakan
Sebuah tim kecil yang terdiri dari 3-6 orang, yang sejajar dengan jarak yang cukup
lebar antara 10 sampai 20 meter dengan arah yang telah ditentukan. Ada baiknya ada
seorang pemimpin tim yang bergerak mengawasi penyapuan, tugasnya :
 Memperhatikan apakah penegang kompas dapat menjaga sudut kompas yang
sejajar
 Mengatasi hal-hal yang muncul mendadak
 Memeriksa penemuan-penemuan yang ditemukan oleh tim
Ada cara umum untuk mencegah regu pencari saling tumpang tindih satu sama lain
atau tidak bisa menjaga jarak yang telah ditentukan diantara mereka yaitu dengan
memakai pita atau ribbon dan menggunakan kompas.
Pada metode I dan II pada selang waktu tertentu regu berhenti untuk memperhatikan
sekilas sekitarnya serta memanggil survivor sambil menanti kemungkinan jawaban.
3. Tipe III Search

27
Kriterianya adalah kecermatan, pencarian dengan sistematika yang ketat atas area
yang lebih kecil menggunakan metode penyapuan yang cermat. Dinamakan juga
close grids (pencarian grid rapat/ penyapuan rapat).
a. Metode ini digunakan pada :
 Besarnya kemungkinan objek yang ditemukan dalam areal pencarian pada
metode tipe II, lebih rendah dari apa yang diharapkan
 Bila areal pencarian terbatas dan tenaga yang tersedia mencukupi
b. Sasaran metode ini adalah pencarian yang cermat atas areal yang spesifik
c. Teknik yang digunakan
Penyapuan dengan jarak yang sempit. Jumlah anggota tim 3-9 orang dengan jarak
kira-kira antar personil 3 sampai 5 meter. Pita-pita atau sring line banyak digunakan
untuk mengontrol dalam memberi tanda yang jelas antara areal yang sudah dicari dan
yang belum. Contoh pencarian dan penyapuan pada metode tipe III

28
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Olahraga panjat tebing pertama dikenal di kawasan Eropa tepatnya di pegunungan


Alpen dan pada tahun 1910, penggunaan alat dalam panjat tebing mulai diperkenalkan
meskipun masih terbatas namun untuk teknik pemanjatan tebing dengan menggunakan
tali mulai dikenal tahun 1920. di Indonesia sendiri panjat tebing mulai dikenal tahun 1960
yang dirintis oleh Mapala UI dan Wanadri diantaranya: Harry Suliztianto, Agus
Resmonohadi, Heri Hermanu, dan Deddy Hikmat yang memulai latihan di tebing Citatah
Jawa Barat setelah itu berdirilah FPTGI diikrarkan di tugu monas 21 April 1988 lalu
FPTGI berubah nama menjadi FPTI (Federasi Panjat Tebing Indonesia). Dan tahun 1992
diakui sebagai anggota Union Internationale des Association d Alpinisme (UIAA) yang
mewadahi organisasai panjat tebing dan gunung Internasional.
Untuk kegiatan panjat tebing kita harus mempersiapkan banyak hal, seperti
mengetahui bahaya apa saja yang mengancam dan cara untuk mengatasinya. Untuk para
pemula wajib mengetahui peralatan dasar dan cara menggunakannya, sehingga kegiatan
rock climbing dapat berjalan dengan baik dan meminimalisir terjadinya hambatan dan
kecelakaan.

3.2 Saran

Dalam melakukan kegiatan panjat tebing, pastikan selalu mengutamakan keselamatan,


mempersiapkan ilmu, fisik, dan mental sejak awal, dan menggunakan peralatan yang
sesuai dikarena risiko kegiatan yang cukup berbahaya

3.3 Daftar Pustaka


https://www.superadventure.co.id/news/1729/rock-climbing-antara-etika-dan-seni-menaklukan-
tebing-penuh-risiko/
http://my-bivouac.blogspot.com/2010/11/risiko-kegiatan-panjat-tebing.html?m=0
http://rwind60.blogspot.com/2015/04/makalah-panjat-tebing.html

29
30

Anda mungkin juga menyukai