Anda di halaman 1dari 16

Ijtihad Jama’i Nahdatul Ulama (NU) dan Ijtihad Qiyasi Muhammadiyah tentang.....

(Rizal Bin Jami’an)

IJTIHAD JAMA’I NAHDATUL ULAMA (NU) DAN IJTIHAD QIYASI


MUHAMMADIYAH TENTANG BUNGA BANK
DALAM PRAKTIK PERBANKAN

Oleh: Rizal Bin Jami’an


Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
Email: rizal_jamian@gmail.com

Abstrak

Bunga bank perbankan di Indonesia masih tetap menjadi perdebatan di kalangan umat
Islam dengan status hukum: haram mutlak, dapat dibenarkan, atau status hukum yang
lain. Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai 2 (dua) organisasi Islam terbesar
di Indonesia berusaha memberikan status hukum bunga bank. Analisis dalam artikel ini
difokuskan pada pola ijtihad yang dilakukan oleh kedua organisasi Islam tersebut. Hasil
analisis menunjukkan bahwa NU melakukan ijtihad Jama’I dalam menetapkan hukum
bunga bank dengan tetap menyandarkan pendapat ulama (Syafi’iyah). NU berpendapat
bahwa bunga adalah riba baik sedikit atau banyak, ada kategori ad’afan muda’afah atau
tidak. NU tidak membedakan bank yang dimiliki oleh Negara atau swasta. Bahkan
nasabah yang menerima bunga bank sebagai penabung juga diharamkan karena
dianggap memperoleh tambahan atas harta pokok tanpa berusaha. Muhammadiyah
menggunakan qiyas sebagai metode ijtihad dalam merespon bunga bank. Bagi
Muhammadiyah ‘illat diharamkan riba adalah adanya penganiayaan (az-Zulm) terhadap
peminjaman dana. Konsekuensinya adalah jika ‘illat itu ada pada bunga bank maka
bunga bank sama dengan riba dan hukumnya riba. Sebaliknya, jika ‘illat itu tidak ada
pada bunga bank maka bunga bank bukan riba, karena itu tidak haram. Bagi
Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba disinyalir juga ada pada bunga bank, sehingga
bunga bank disamakan dengan riba dan hukumnya haram. Meskipun NU dan
Muhammadiyah sama-sama sependapat bahwa riba hukumnya adalah haram, tetapi
NU dan Muhammadiyah memiliki cara pandang atau berpikir yang berbeda. Bagi NU
hukum bunga bank haram, baik bank Negara maupun swasta. Bagi Muhammadiyah,
bunga bank dibolehkan dalam keadaan darurat yang merujuk pada pendapat Mustafa
az-Zarqani.

Abstract

Bank interest banking in Indonesia is still a debate among Muslims with the legal status:
an absolute bastard, justifiable, or other legal status. Nahdlatul Ulama (NU) and
Muhammadiyah as two (2) Indonesia’s largest Islamic organization tried to give legal
status of bank interest. The analysis in this article is focused on the pattern of diligence
conducted by both the Islamic organizations. The results show that NU perform ijtihad
jama’i in determining bank interest law while leaning scholarly opinion (Shafi’ites). NU
believes that interest is riba either little or a lot, there is a category ad’afan muda’afah or
not. NU does not distinguish banks owned by the state or private. Even customers who
receive interest bank as savers are also forbidden because they earn extra on principal
assets without trying. Muhammadiyah use as a method of ijtihad qiyas in response to
bank interest. For Muhammadiyah ‘illat is forbidden usury persecution (az-zulm) against
the borrowing of funds. The consequence is that if ‘illat it exists on the bank interest rate

20
Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 1 Tahun 2016 : 20 - 35

equal to the bank and its legal usury usury. Conversely, if the ‘illat was not there at the
bank interest is not usurious interest rates, because it is not haram. For Muhammadiyah
‘illat Prohibition of usury was allegedly also in the interest of the bank, so the bank
interest is equated with usury and haraam. Although NU and Muhammadiyah both
agreed that riba is haraam, but NU and Muhammadiyah have a perspective or a different
thinking. For legal NU illicit bank interest, both State and private banks. For
Muhammadiyah, bank interest allowed in emergencies refers to the opinion of az-Zarqani
Mustafa.

Kata kunci: Riba, Ijtihad Jama,I, Ijtihad Qiyasi, Nahdatul Ulama (NU), dan
Muhammadiyah

Pendahuluan Majlis Tarjih menggunakan qiyas sebagai


Kegiatan ekonomi dari masa ke masa metode ijtihad. Bagi Muhammadiyah ‘illat
terus mengalami perkembangan yang diharamkannya riba karena adanya pengisapan
memunculkan persoalan baru dalam hukum atau penganiayaan (az-Zulm) terhadap
Islam kontemporer di bidang muamalah terkait peminjaman dana. Konsekuensinya, kalau ‘illat
dengan riba dalam transaksi perbankan. Bunga itu ada pada bunga bank, bunga bank sama
bank (interest bank) terperangkap dalam kriteria dengan riba dan hukumnya riba. Sebaliknya,
riba dalam hukum Islam, namun bank memiliki jika ‘illat itu tidak ada pada bunga bank maka
fungsi sosial yang besar. bunga bank bukan riba dan tidak haram.
Tujuan suatu bank mencari keuntungan Berdasarkan latar belakang masalah di
yang dicapai dengan berniaga kredit. Bank atas, rumusan masalah dalam artikel ini sebagai
memberikan kredit kepada nasabah dengan berikut: 1. Metode Istinbat hukum apakah yang
memungut bunga yang lebih besar dari yang digunakan oleh Nahdatul Ulama (NU) dan
dibayarkannya. Dalam transaski kredit itu, Muhammadiyah dalam menilai hukum bunga
bunga bank merupakan tambahan yang harus bank? 2. Bagaimana pandangan Nahdatul
dibayarkan oleh debitur kepada bank. Ulama (NU) dan Muhammadiyah mengenai
Fenomena di atas mendapat respon dari hukum bunga bank dari perspektif hujjahnya?
2 (dua) organisasi besar Islam Indonesia dalam
menyikapi masalah bunga bank tersebut, yaitu Metode Penelitian
Nahdatul Ulama (NU) dalam Bahsul Masail dan Artikel ini adalah hasil penelitian, yang
Muhammadiyah dalam Majlis Tarjih. Keputusan merupakan jenis penelitian hukum normatif atau
Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung penelitian hukum doktrinal dengan menfokuskan
tanggal 21-25 Januari 1992 tentang hukum dari sistematika hukum. Sebagai penelitian
bunga Bank ditempuh melalui prosedur yang hukum normatif maka sumber data yang
lebih metodologis, yakni 1) Haram, karena dipergunakan adalah data sekunder, terdiri dari
bunga bank dipersamakan dengan riba secara bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
mutlak, 2) Boleh, karena bunga bank tidak Analisis data dalam penelitian ini dilakukan
dipersamakan dengan riba, 3) Subhat, kerena dengan suatu tahapan ilmiah dilakukan dengan
masih belum jelas. cara kualitatif. Akhir dari pembahasan penelitian
Dalam menetapkan hukum bunga bank, ini akan ditarik kesimpulan secara deduktif, yakni
Majlis Tarjih mengaitkan dengan masalah riba, penarikan kesimpulan yang diawali oleh hal-hal
apakah bunga bank identik dengan riba atau yang bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat
tidak? Untuk memastikan jawaban tersebut, khusus.

21
Ijtihad Jama’i Nahdatul Ulama (NU) dan Ijtihad Qiyasi Muhammadiyah tentang.....(Rizal Bin Jami’an)

Pembahasan bank telah berkembang di tengah-tengah


Dasar Hukum Penetapan Riba dan masyarakat sebelum datangnya Islam. Ajaran
Kontekstualisasi Riba dengan Bunga Bank Islam menolak riba dengan mengatur transaksi
Bank merupakan lembaga keuangan bisnis dengan sistem bagi hasil dalam
yang berfungsi menerima dan menyalurkan perekonomian.
dana. Penerimaan dana masyarakat selalu Dalam dataran pemikiran tersebut baik
dihubungkan dengan penyalurannya kepada NU dan Muhammadiyah sepakat bahwa riba
orang atau lembaga yang memerlukan dana itu. hukumnya haram karena nash sudah jelas,
Besarnya bunga yang diberikan oleh bank tetapi kedua organisasi tersebut masih berbeda
kepada investor disesuaikan dengan bunga pendapat dalam melihat hukum bunga bank
yang diberikan kepada nasabah bank. Selisih karena pada dasarnya al-Qur’an dan al-Hadits
antara bunga yang diberikan kepada investor yang tegas tentang pelarangan bunga bank tidak
dan bunga yang dikenakan kepada peminjam ada. Untuk menganalisis pernyataan NU dan
merupakan keuntungan bank itu sendiri. Muhammadiyah tentang bunga bank, perlu
Biasanya bank hanya memberikan kredit dikemukakan terlebih dahulu tentang
kepada orang atau lembaga yang diduga kuat keharaman riba dalam al-Qur’an secara
dapat mengembangkan usahanya yang bersifat berangsur-angsur (tadriji) yang biasa berlaku
produktif.1 dalam proses penetapan hukum:
Pemilik modal dan bank mendapatkan
keuntungan seiring dengan keuntungan yang
diperoleh pengusaha yang meminjamkan
modal. Bagi orang yang memerlukan bantuan
keuangan untuk kebutuhan harian atau
(misalnya untuk biaya pengobatan), tidak 3

selayaknya menggunakan jasa bank dengan


sistem bunga tersebut, sehingga perlu adanya
lembaga sosial yang menyediakan dana yang
bersifat non-profit. Jika kepada orang yang
terakhir ini dibebankan bunga, kemungkinan
adanya unsur “pemerasan” yang menjadi illat
4
haramnya riba menjadi lebih besar.
Terjadinya riba (yang sekarang sering
lebih dikenal dengan istilah bunga bank)
merupakan kenyataan “normatif tekstual” yang
dinyatakan jelas dalam al-Qur ’an 2 yang
5
didukung oleh kenyataan “historis” bahwa bunga

Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Cetakan I (Jakarta: Logos Publishing
1

House, 1995), hlm. 128.


2
Ali-Imran (3) Ayat (130) dan al-Baqarah (2) Ayat (278-279).
3
Ar-Rum (30) Ayat (39).
4
An-Nisa’ (4) Ayat (161).
5
Ali Imran (3) Ayat (130).

22
Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 1 Tahun 2016 : 20 - 35

Penalaran Bayani dan Ta’lili Dalam Analisis


Terhadap Bunga Bank
Dalam Ali Imran (3) Ayat (130) terdapat
kata-kata ad’afan muda’afah (berlipat ganda).
Persoalannya adalah apakah kata ad’afan
muda’afah dalam ayat tersebut dianggap
sebagai kriteria (syarat) dalam pelarangan riba
atau untuk menerangkan kondisi obyektif dan
sekaligus mengecam terhadap perbuatan atau
6
praktik riba. Menurut Fuad Zein diperlukan
analisis hukum bunga bank dengan penalaran
bayani dan ta’lili untuk menelusuri karakteristik
Tahapan dalam pengharaman riba dalam riba yang disebutkan dalam al-Qur’an.9
beberapa ayat di atas yang relevan untuk Penalaran Bayani dalam menganalisis
analisis dalam artikel ini pada tahap Ayat ke (3) surat Ali Imran Ayat (130) bahwa riba diberi sifat
dan ke (4). 2 Ayat yang lain masih menjadi “berlipat ganda”, namun tidak demikian dengan
perdebatan panjang oleh para ahli. Artikel ini yang tersurat dalam al-Baqarah Ayat (278)
menekankan pada kedua ayat tersebut.7 menyebutkan bahwa setiap pengambilan yang
Ayat ke (3) dan ke (4) di atas, terlihat melebihi jumlah pokok modal merupakan riba.
dengan jelas tentang pengharaman riba, namun Ada kesan paradok antara dua ayat di atas,
masih bersifat parsial (juz’i), karena belum sehingga ada ulama yang mengatakan, riba
bersifat menyeluruh (kulli). Pengharaman yang terlarang adalah yang mempunyai unsur
tersebut sebatas pada katagori riba yang berlipat ganda (ad’afan muda’afah), ada pula
berlipat ganda (ad’afan muda’afah) dan sangat yang tidak membatasi riba harus berlipat ganda.
memberatkan bagi peminjam. Sebab turunnya Dalam akhir surat al-Baqarah Ayat
(asbab an-Nuzul) ayat tersebut, menurut satu (278):”..…kamu tidak berbuat zalim, dan tidak
riwayat dari ‘Ata’ disebutkan bahwa, kaum Saqif pula menjadi korbannya”. Jika ini dijadikan tolak
biasa meminjamkan uang kepada keluarganya ukur riba maka jalan tengah dapat ditemukan
Mugirah, pada waktu jatuh tempo mereka adalah betapapun kecilnya tambahan itu apabila
berjanji akan membayar lebih dikemudian hari menimbulkan kesengsaraan (zulm) termasuk
apabila diberi tenggang waktu. Dalam hukum riba. Pada masa Rasulullah Saw riba selalu
Islam disebut dengan riba nasi’ah. 8 mengambil bentuk ad’afan muda’afah, sehingga

6
Al-Baqarah (2) Ayat (278-279).
7
Uraian tentang penjelasan ayat tersebut di atas, dapat dibaca Abu Zahra, Buhus fi ar-Riba, (ttp:Dar al-
Buhus al-Ilmiyyah, 1970), hlm. 25-30.
8
Riba nasi’ah juga disebut riba duyun, yakni riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi
kriteria untung muncul bersama risiko (al-Gummu bi al-Gummi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-
Kharaj bi ad-Damam). Transaksi semacam ini karena mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban
hanya karena berjalannya waktu. Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan
Ilustrasi, Cetakan I (Yogyakarta: Ekonsia, 2003), hlm. 6.
9
Fuad Zein, Aplikasi Ushul Fiqh Dalam Mengkaji Keuangan Kontemporer, dalam Ainur Rafiq (ed.),
Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Cetakan I (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), hlm.
175.

23
Ijtihad Jama’i Nahdatul Ulama (NU) dan Ijtihad Qiyasi Muhammadiyah tentang.....(Rizal Bin Jami’an)

ad’afan muda’afah relevan dengan ketidak- minuman yang memabukkan” maka khamr
adilan.10 adalah sesuatu yang didefinisikan, minuman
Fuad Zein mengungkapkan bahwa perlu sebagai an-nau’ atau spicies, dan memabukkan
dijadikan pertimbangan pada masa Rasulullah sebagai al-jins atau genus atau ‘illat.
Saw tidak ada inflasi, karena mata uang yang Dalam analisis ini, esensi riba adalah
berlaku emas dan perak (dinar dan dirham). “tambahan” dan ada juga yang mengatakan
Oleh karena itu, pengembalian utang sebesar esensinya adalah zulm. Jika kembali pada
jumlah pinjaman menggambarkan keadilan. persoalan larangan riba maka “tambahan” tidak
Pada masa sekarang inflasi melanda mata memiliki makna apa-apa. Sebaliknya,
uang tertentu maka pengembalian suatu utang ketidakadilan adalah hal yang bertentangan
sebesar jumlah pinjaman tidak mengambarkan dengan tujuan penetapan prinsip ekonomi Islam,
keadilan bahkan menimbulkan kerugian sehingga, ‘illat pelarangan riba seharusnya
sepihak. Jika statemen la tazlimun wa la adalah zulm bukan “tambahan”. 11
tuzlamun dalam al-Baqarah Ayat (278) maka
pengembalian utang sebesar pinjaman berikut Ad’afan Muda’afah Sebagai Ukuran dalam
bunga yang proporsional dengan besarnya Praktik Riba
inflasi akan menjamin keadilan daripada tanpa Ahli hukum Islam yang menyatakan
tambahan. Pemahaman yang lebih adil tentang bahwa ad’afan muda’afah merupakan syarat
pokok modal masa sekarang untuk kasus keharaman riba adalah Rasyid Rida. Anwar
Indonesia adalah modal yang dihitung Abbas menjelaskan tiga alasan yang
berdasarkan nilai kurs, bukan berdasarkan nilai dikemukakan Rida untuk membuktikan bahwa
nominal. kata riba yang termaktub dalam surat al-
Dalam penalaran Ta’lili, merujuk pada Baqarah adalah riba yang merujuk kepada riba
pengertian riba pada pembahasan sebelumnya, yang berbentuk ad’afan muda’afah. 12
riba didefinisikan dengan kata-kata ziyadah, Pertama, kaidah kebahasaan. Kaidah
yakni “tambahan yang diperjanjikan atas pengulangan kosa kata yang berbentuk
besarnya pinjaman ketika pelunasan utang…”. makrifah berulang maka pengertian kosa kata
Jadi fokusnya adalah pada “ziyadah” sebagai kedua (yang diulang) sama dengan kosa kata
ciri pokok riba. yang pertama. Kata riba pada Ali-Imran Ayat
Riba dapat juga didefinisikan dengan (130) dalam bentuk makrifah demikian halnya
“tambahan atas besarnya pinjaman ketika dalam al-Baqarah Ayat (287), sehingga riba
pelunasan utang yang mendatangkan yang dimaksud pada ayat tahapan terakhir sama
kesengsaraan pihak peminjam.” Di sini titik dengan riba yang dimaksud pada ayat pada
fokusnya pada “kesengsaraan atau zulm”, tahapan kedua, yakni ad’afan muda’afah.
bukan “tambahan”. “Tambahan” sebagai an- Kedua, kaidah memahami ayat yang tidak
nau’ atau spicies, sedangkan “kesengsaraan” bersyarat berdasarkan ayat yang sama tetapi
sebagai al-jins atau genus atau ‘illat. Sama bersyarat. Penerapan kaidah ini pada ayat-ayat
halnya dengan ungkapan “khamr adalah riba adalah memahami arti riba pada ayat al-

10
Ibid, hlm. 176.
11
Abu Umar Faruq dan Muhammad Kabir Hassan, Riba and Islamic Banking, Journal of Islamic Economic,
Banking, and Finance, Volume 7, Nomor 2, 2009, hlm. 29.
12
Anwar Abbas Hukum Bunga Bank Konvensional, makalah disampaikan pada diskusi Majlis Tarjih
tentang Bunga Bank, diselenggarakan oleh Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Jakarta, 22 Desember
2003, hlm. 1-2.

24
Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 1 Tahun 2016 : 20 - 35

Baqarah yang tidak bersyarat itu berdasarkan berpeluang ke arah pinjaman yang berlipat
kata riba yang bersyarat ad’afan muda’afah ganda. Pada al-Baqarah Ayat (280) ditegaskan
pada ayat Ali Imran,sehingga yang dimaksud bahwa, “jika orang yang berutang tidak mampu
dengan riba pada ayat tahapan terakhir adalah membayar pada waktu yang ditetapkan maka
riba yang berlipat ganda. berilah tangguh sampai ia berkelapangan”.
Ketiga, diamati oleh Rasyid Rida bahwa Kelebihan yang dipungut dalam bentuk
pembicaraan al-Qur’an tentang riba selalu pelipatgandaan merupakan penganiayaan
digandengkan dengan pembicaraan tentang terhadap peminjam.14
sedekah dan riba dinamainya sebagai “zulm” Ketika membahas ad’afan muda’afah,
(penganiayaan atau penderitaan). Jadi, riba yang pakar hukum Islam Ali ash-Shabuni mengata-
diharamkan itu adalah riba yang ad’afan kan bahwa pertama, lafaz tersebut bukanlah
muda’afah (yang berlipat ganda), sedangkan qayyid dan syarat. Tujuan dari ungkapan ini
riba yang kecil seperti 8 % atau 10 %, tidak hanya menerangkan tentang praktik yang
termasuk riba yang diharamkan al-Qur’an. dilakukan orang-orang Jahiliyah Arab pra-Islam.
Pendapat Rasyid Rida ini masih Kedua, kaum muslimin telah sepakat tentang
menimbulkan sebuah pertanyaan apa pengharaman riba baik sedikit maupun banyak.
penambahan atau kelebihan itu tidak bersifat Pengharaman riba yang sedikit karena dari yang
“berlipat ganda” menjadi tidak diharamkan oleh riba sedikit mendorong riba yang banyak. Ash-
al-Quran? Jawaban untuk pertanyaan tersebut, Shabuni beralasan, Islam ketika mengharam-
menurut Quraish Syihab adalah terdapat pada kan seluruhnya (kulli) sebab kaidah sadd az-
kata kunci berikutnya, yakni fa lakum ru’usu zari’ah, dan kebolehan yang sedikit niscaya akan
amwalikum (bagimu modal-modal kamu) dalam menarik kepada yang banyak.
Al Baqarah Ayat (279). Dalam arti bahwa yang Penafsiran-penafsiran para ahli di atas
berhak mereka peroleh kembali hanyalah modal- dapat dikatakan bahwa riba yang dilarang Allah
modal mereka. Jika demikian, setiap dalam ayat-ayat al-Quran adalah bersifat
penambahan atau kelebihan dari modal yang umum, tidak membedakan sedikit atau banyak,
dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa produktif atau konsumtif. Jenis riba ini adalah
yang terjadi pada masa turunnya ayat-ayat riba riba yang telah dipraktikkan dalam sistem
ini tidak dapat dibenarkan. Kata kunci ini perekonomian masyarakat jahiliyah Arab pra-
menetapkan bahwa segala bentuk penambahan Islam. Dengan demikian, akad perdagangan
atau kelebihan baik berlipat ganda atau tidak yang dibebankan bunga terhadap debitur oleh
dalam sebuah transaksi, telah diharamkan oleh kreditur tetap haram.
al-Quran dengan turunnya ayat tersebut. Kata
ad’afan muda’afah bukan syarat tetapi sekadar Keharaman Riba Dalam Perspektif Nahdatul
penjelasan tentang riba yang sudah lumrah Ulama (NU) dan Muhammadiyah
mereka praktikkan.13 Pemberian kredit oleh bank kepada
Solusi atas penindasan terhadap orang- nasabah mempersyaratkan bunga tertentu
orang yang membutuhkan dengan sedekah, dalam persentase pinjamannya. Bahkan
bukan pinjaman yang memberatkan yang apabila nasabah tidak dapat melunasi kredit

13
M. Quraish Syihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
Cetakan XXVI, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 266.
14
Nur Chamid, Problematika Riba dan Bunga Bank, Jurnal Empirisma, Volume 14, Nomor 2, 2005,
hlm. 131.

25
Ijtihad Jama’i Nahdatul Ulama (NU) dan Ijtihad Qiyasi Muhammadiyah tentang.....(Rizal Bin Jami’an)

pada waktu yang telah ditentukan oleh pihak diharamkan. Artinya, apa yang diambil
bank (kreditur) maka pinjaman itu bisa menjadi seseorang tanpa melalui usaha perdagangan
berlipat ganda. Nasabah yang dibebani bunga, dan tanpa bersusah payah sebagai tambahan
kemungkinan adanya unsur “penambahan atas pokok hartanya adalah riba. Akibatnya
jumlah pinjaman dengan tenggang waktu” seseorang tidak boleh memberikan zakat atau
menjadi lebih besar, sehingga pembebanan bersedekah dengan hasil bunga bank tersebut.
tambahan atas pokok pinjaman menjadi riba.15 Berbeda dengan NU, Muhammadiyah
Pemberian bunga oleh bank atas tampaknya masih ragu terhadap ada atau tidak
simpanan para nasabah dan diberikannya adanya ‘illat riba pada bank milik Negara.
dalam persentasi oleh pihak bank sendiri untuk Muhammadiyah berpendapat bahwa hukum
kepentingan para nasabahnya, sepanjang para bunga bank milik Negara merupakan musyta-
nasabah tidak mempersyaratkan tambahan bihat. Alasannya karena ada kecenderungan
bunga kepada bank tentu tidak dikategorikan halal atau haram,17 di samping juga karena
sebagi riba. Pemberian bunga tersebut atas dalam bank itu tidak dibedakan antara orang
kehendak bank sebagai debitur. yang meminjam uang untuk konsumsi dan
NU menyatakan bahwa menitipkan uang meminjam untuk produksi.
di bank dengan alasan demi keamanan dan Keputusan Muhammadiyah ini sejalan
uangnya tidak digunakan untuk larangan agama dengan pendapat yang mengatakan bahwa
adalah makruh.16 Pernyataan NU ini tidak bunga bank boleh karena darurat seperti
disertai dengan ungkapan yang jelas, yakni pendapat Mustafa az-Zarqani. Menurut az-
pada kalimat “larangan agama”. Tampaknya Zarqani, bank merupakan kenyataan yang tidak
batasan “larangan agama” yang dimaksud dapat dihindarkan, sehingga umat Islam boleh
adalah meliputi larangan bagi pihak bank untuk bermu’amalah dengan bank atas pertimbangan
menyalurkan uang kepada debitur yang darurat.18 Muhammadiyah menyatakan bahwa
memakai jasa bank dengan tambahan riba yang diharamkan oleh agama adalah sifat
pinjaman atau pihak bank sebagai kreditur pembungaan yang selalu disertai unsur
meminjamkan dana kepada perseorangan penyalahgunaan kesempatan dan penindasan,
(bunga konsumtif). Jadi, apabila bank tempat sedangkan yang berlaku dewasa ini sama sekali
para nasabah menyimpan uang untuk larangan tidak menimbulkan rasa penindasan atau
agama, NU tetap mengharamkan praktik bunga kekecewaan oleh siapapun yang ber-
bank tersebut. kepentingan.19
NU sependapat dengan Yusuf al- Menurut Muahmmadiyah,‘illat haramnya
Qardawi yang menyatakan bahwa bunga yang riba adalah pemerasan (zulm) yang dapat
diambil oleh penabung di bank adalah riba yang dijadikan sebagai dasar penetapan hukum yang

15
Mohammad Anton Athoillah, Ekonomi Islam: Transaksi dan Problematiknya, Ijtihad, Jurnal Wacana
Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 13, Nomor 2, Desember 2013, hlm. 269. Mohammad Anton Athoillah
dan Sofyan al Hakim, Reinterpreting The Ratio Legis of Prohibition of Usury, Middle East Journal of Scientific
Research, Volume 14, Nomor 10, 2013, hlm. 1390.
16
Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid, Ahkam al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat Nahdatu al-Ulama’,
Juz II, (Semarang: Toha Putra, t.t.), hlm. 71.
17
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta:
Persatuan, t.t), hlm. 304-305. Lihat juga Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad…., Op.Cit., hlm. 129.
18
A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri, (Yogyakarta: LKPSM: 1994), hlm. 71.
19
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan…,Op.Cit., hlm. 305.

26
Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 1 Tahun 2016 : 20 - 35

tegas bahwa bunga bank negara itu haram atau sudah membenarkan praktik bank konvensional
halal. Apabila ‘illat itu ada maka dapat dinyatakan (yang memakai sistem bunga). Argumentasi
bahwa bunga adalah haram, dan apabila tidak yang dimajukannya adalah bahwa penjelasan
ada ‘illat maka bunga bank dapat dinyatakan Majlis Tarjih Muhammadiyah tentang bunga
halal. 20 Alasan yang mendasari Muham- bank disebutkan: “kecuali apabila ada suatu
madiyah masih ragu untuk menetapkan kepentingan masyarakat atau kepentingan
kehalalan bunga bank Negara karena adanya pribadi yang sesuai dengan maksud dari tujuan
pendapat anggota panitia perumus hasil agama Islam pada umumnya maka tidak ada
mu’tamar tarjih yang menyatakan bahwa dalam halangan perkara musytabihat tersebut dikerja-
masyarakat terdapat praktik pembungaan uang kan sekedar sesuai dengan kepentingan itu”.23
yang berlaku pada salah satu bank swasta di Pertanyaan yang diajukan oleh Kasman
Indonesia. Seseorang yang menitipkan Singodimedjo apakah ketika putusan itu
sejumlah uang pada bank tersebut untuk diambil telah terdapat kepentingan-kepentingan
memperoleh bunga tiap bulannya sebanyak 10 seperti yang disebutkan di atas? Ternyata,
%, kemudian bank itu memberikan pinjaman jawabannya telah terdapat dalam konsideran
kepada pedagang dengan menarik bunga dan penjelasan dari putusan tersebut. Di antara
sebesar 15 %.21 konsideran dan penjelasan yang menjawab
Gambaran dalam keadaan ekonomi persoalan tersebut sebagai berikut:24
seperti di Indonesia dewasa ini, besar sekali “1. Konsideran “mengingat” nomor 2: “bahwa
adanya kemungkinan pedagang meminjamkan fungsi bunga bank dalam perekonomian
lagi uang pinjaman itu kepada pihak keempat modern sekarang ini bukan hanya menjadi
untuk mendapatkan keuntungan bunga lagi. sumber penghasilan bagi bank, melainkan
Sebenarnya, jika praktik itu ada, tindakan itu juga berfungsi sebagai alat politik
telah menyalahi ketentuan yang telah perekonomian negara untuk kesejahteraan
ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI). Dalam umat (stabilitasi ekonomi)”.
ketentuan itu disebutkan bahwa suku bunga 2. Konsideran “menimbang” nomor 3: “bahwa
maksimal pada saat Majlis Tarjih bermu’tamar hasil keuntungan bank-bank milik negara
adalah 18 % pertahunnya. Jadi tindakan pada akhirnya akan kembali untuk
tersebut merupakan penyimpangan dari kemaslahatan umat”.
peraturan yang berlaku.22 3. Konsideran “menyadari” nomor 3: “bunga
Asumsi yang menguatkan bahwa adalah sendi dari sistem perbankan yang
Muhammadiyah pada dasarnya cenderung berlaku selama ini”.
kepada halalnya bunga bank milik negara, 4. Konsideran “menyadari” nomor 1: “bahwa
dikuatkan oleh pengamatan Kasman bank dalam sistim ekonomi pertukaran
Singodimedjo (wakil ketua-III PP. Muham- adalah mempunyai fungsi yang vital bagi
madiyah periode 1971-1974) terhadap putusan perekonomian pada masa sekarang”.
Majlis Tarjih tentang bunga bank itu. Menurut 5. Konsideran “menyadari” nomor 4: ‘bahwa
pengamatannya, Muhammadiyah sebenarnya umat Islam sebagai umat pada dewasa ini

20
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad..., Op.Cit., hlm. 129.
21
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan…, Op.Cit., hlm. 307.
22
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad..., Op.Cit., hlm. 133.
23
Ibid.
24
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan…, Op.Cit., hlm. 307.

27
Ijtihad Jama’i Nahdatul Ulama (NU) dan Ijtihad Qiyasi Muhammadiyah tentang.....(Rizal Bin Jami’an)

tidak dapat melepaskan diri daripada suatu hukum hanya dapat dilakukan oleh
pengaruh perbankan yang lansung atau orang-orang yang telah memenuhi kapasitas
tidak langsung mengenai perekonomian berijtihad.
umat Islam”. Ijtihad dapat dikatakan sebagai upaya
6. Konsideran “mengingat” nomor 3: “bahwa berfikir secara optimal dalam menggali hukum
adanya undang-undang yang mengatur Islam dari sumbernya untuk memperoleh
besar kecilnya bunga adalah untuk jawaban terhadap permasalahan hukum yang
mencegah terjadinya penghisapan pihak muncul dalam masyarakat.25 Ijtihad dipengaruhi
yang kuat terhadap yang lemah, di samping oleh perubahan-perubahan sosial yang harus
untuk melindungi berlangsungnya diberi arah oleh hukum sehingga dapat
kehidupan bank itu sendiri”. mewujudkan kemaslahatan umat manusia.
7. Penjelasan dari mu’tamar tarjih sendiri: Ijtihad dalam kehidupan manusia
“bank negara dianggap badan yang merupakan kebutuhan yang bersifat kontinuitas
mencakup hampir semua kebaikan dalam dan situasi masyarakat yang senantiasa
alam perekonomian modern dan dipandang mengalami perubahan dan perkembangan.
memiliki norma yang menguntungkan Ijtihad yang benar dapat menjelaskan kehendak
masyarakat dibidang kemakmuran. Bunga agama (maqasid at-tasyri’) dengan kebutuhan
yang dipungut dalam sistem perkreditan masyarakat. Oleh karena itu, hukum Islam
adalah sangat rendah sehingga sama sebagai produk ijtihad hendaknya mampu
sekali tidak ada pihak yang dikecewakan”. mengelaborasikan nilai-nilai dan aturan normatif
8. Penjelasan dari mu’tamar tarjih sendiri: yang telah mentradisi dalam sebuah tatanan
“…tetapi terang diinsafi bahwa segi positif suci (syari’ah) yang telah menjadi landasan
daripada bank perkreditan sangat besar hidup beragama.
bagi dunia perekonomian”. Suatu hukum hendaknya dapat memain-
9. Penjelasan dari mu’tamar tarjih sendiri: kan peranan ganda yang sama-sama penting.
“…sedang (pembangunan) yang berlaku Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai kontrol
selama ini sama sekali tidak menimbulkan sosial terhadap perubahan-perubahan yang
rasa penindasan atau kekecewaan oleh berlangsung dalam kehidupan manusia.
siapapun yang bersangkutan”. Kedua, hukum dapat dijadikan sebagai alat
rekayasa sosial dalam rangka mewujudkan
Istinbat Hukum Nahdatul Ulama (NU) Dalam kemaslahatan umat manusia, sebagai tujuan
Penetapan Bunga Bank Sebagai Riba hakikat hukum itu sendiri.26
NU memiliki metode pemahaman dalil Bunga bank pada hakikatnya berada
(istinbat) dalam memutuskan atau menetap- pada level peraturan syar ’i dan kondisi
kan suatu hukum. Penetapan suatu hukum masyarakat (sosio kultural) yang diturunkan
tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa menjadi berbagai interpretasi. Pandangan NU
tanpa menggunakan kaidah-kaidah yang telah dan Muhammadiyah sebenarnya bermuara
ditetapkan dalam hukum Islam. Penetapan pada nash yang sama mengenai riba, yakni

25
Muhammad Muflih, Rekonstruksi Pemahaman Terhadap Konsep Riba Pada Transaksi Perbankan Konvensional,
Jurnal Ahkam, Volume XIII, Nomor 1, Januari 2013, hlm. 22. Lihat juga Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Usul Fiqh
(Kairo: Dar al-Kuwaitiyyah, 1968), hlm. 216.
26
Soerjono Soekamto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Rajawali Press, 1980), hlm. 115-116.

28
Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 1 Tahun 2016 : 20 - 35

Surat Ali Imran Ayat (130) dan al-Baqarah Ayat bertanggung jawab penuh atas uang yang
(278-279). dipinjamnya dan bunganya ditentukan atas
Persoalan riba tidak dapat lepas dari teori dasar untung rugi atau besar kecilnya
pembungaan uang. Identifikasi ini juga telah keuntungan dari hasil usahanya. Transaksi
begitu kuat di masyarakat. Bunga (interest) tersebut termasuk aqad qard dan dengan
dalam institusi keuangan dewasa ini menjadi sendirinya bunga bank yang terikat aturan
instrumen yang sangat urgen dihampir sistem haram hukumnya, karena termasuk riba qard.
ekonomi dunia. Bunga (interest) telah diterima NU berpendapat bahwa setiap pinjaman kredit
sebagai suatu kewajaran dan dianggap sebagai yang menarik manfaat yang diberikan oleh
salah satu ciri perekonomian modern. Bahkan debitur yang dipersyaratkan oleh kreditur,
bunga telah menjadi daya tarik tersendiri bagi bukan merupakan kebaikan hati dari pihak
masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan debitur. Karena hal ini juga bertentangan dengan
dalam proses perputaran keuntungan dan firman Allah:
kegiatan bisnis. Lembaga-lembaga keuangan
internasional seperti IMF dan IDB sebagai
lembaga perantara antara sektor riil dan
moneter telah mendesain sedemikian rupa 28

untuk menjadikan bunga supaya bisa


merangsang terlaksananya tabungan dan kredit
baik konsumtif dan produktif.27 Ikhtiar dari permasalahan itu tidak
Kredit dari bank yang dimaksudkan untuk terlepas dari praktik riba dalam pemikiran
usaha produktif yang menghasilkan keuntungan hukum, bukan pada ayat-ayat mengenai
kepada debitur seharusnya perlu ditinjau keharaman riba itu sendiri, melainkan pada
kembali. Tidak ada jaminan bahwa pinjaman benda-benda yang boleh atau tidak tatkala
selamanya mendapat keuntungan dari dilakukan secara riba. Hal ini bermula dari tidak
usahanya, sedangkan bunga akan terus adanya permasalahan yang muncul
dikenakan selama masih ada simpanan atau menyangkut pemahaman masalah riba nasi’ah
pinjaman, tidak terbatas jangka waktunya dan dikalangan para ulama dalam kurun waktu yang
pihak bank tidak melihat, apakah peminjam lama sebagaimana yang telah dipraktikkan oleh
mendapat keuntungan atau rugi dari pinjaman kaum jahiliyah pra-Islam. Hadits yang menjadi
tersebut. Dengan sistem bunga, kelihatan pihak dasar para ulama untuk riba sebagai berikut:
pemberi pinjaman (kreditur) membiarkan
wiraswastawan menanggung risiko ketidak-
pastian yang sebenarnya menjadi risiko kedua
belah pihak. Keadaan semacam ini yang
menggambarkan ketidakadilan diantara kedua
belah pihak.
NU berpendapat bahwa pihak debitur
yang bertransaksi dengan bank harus

27
Abd. Salam Arief, Bank Islam: Suatu Alternatif Pemberdayaan Ekonomi Umat, Jurnal Asy-Syir’ah,
Volume 6, Nomor 7. 2000, hlm. 63-64.
28
Al-Baqarah (2) Ayat 279.

29
Ijtihad Jama’i Nahdatul Ulama (NU) dan Ijtihad Qiyasi Muhammadiyah tentang.....(Rizal Bin Jami’an)

menutup riba yang besar haram li sadd az-


zari’ah.
29

Istinbat Hukum Muhammadiyah Dalam


Rumusan yang digunakan para ulama Penetapan Bunga Bank Sebagai Riba
terhadap ketidakbolehan terjadi riba nasi’ah Muhammadiyah dalam menetapkan
pada kebutuhan jenis barang tersebut, bila bunga bank bermaksud menggunakan qiyas
dibandingkan dengan rumusan mufassirin tidak sebagai metode penetapan hukumnya. Bagi
ada perbedaan, dan rumusan itu dapat dilihat Muhammadiyah, ‘illat diharamkannya riba
bahwa riba nasi’ah mempunyai unsur: 1. Terjadi karena adanya penganiayaan terhadap pihak
karena peminjaman dalam jangka waktu peminjam. Konsekuensinya, jika‘illat itu ada
tertentu. 2. Pihak peminjam berkewajiban pada bunga bank maka bunga pada bank sama
memberi tambahan kepada debitur untuk dengan riba dan hukumnya haram. Sebaliknya,
mengangsur atau melunasi, sesuai dengan jika‘illat tidak ada pada bunga bank maka bunga
pinjaman. 3. Obyek peminjaman berupa benda bank bukan riba, karena itu tidak haram.31
ribawi.30 Untuk memahami masalah ini secara
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik utuh, berikut ini dijelaskan cara kerja qiyas
kesimpulan bahwa menurut metode dalam menetapkan kasus bunga bank. ‘Asl
pengambilan hukum yang dilakukan NU dalam kasus ini adalah riba yang terdapat dalam
mengikuti prosedur pengambilan dengan cara al-Quran. Far’u-nya adalah bunga bank. Hukmu
ilhaq al-masail bi nazairiha. NU menjadikan riba al-Asl-nya adalah bahwa riba itu hukumnya
qard sebagai mulhaq ‘alaihi, transaksi bank haram. ‘Illat diharamkannya riba adalah zulm
adalah mulhiq. Hukum mulhaq ‘alaihi adalah atau penghisapan dan pemerasan terhadap
haram dan wajh al-‘ilhaqnya adalah timbangan peminjam. Menurut Muhammadiyah, oleh
atau takaran dan juga standar harga emas dan karena riba itu telah terdapat pada bunga bank
perak atau harga saja. Kecenderungan maka bunga bank sama dengan riba dan
pernyatan NU ini agaknya memperlihatkan hukumnya haram. Tetapi, kesimpulan ini hanya
corak pemahaman hukum Islam yang berlaku untuk bank swasta. Adapun bunga bank
dikembangkan oleh Idrus Syafi’i. pada bank-bank milik negara, ‘illat-nya belum
NU menetapkan hukum bunga bank meyakinkan, sehingga menurut Muham-
diharamkan baik kecil atau besar, sedikit atau madiyah, hukum bunga bank milik pemerintah
banyak. Keharaman yang berlipat ganda atau adalah musytabihat, tidak haram dan tidak pula
besar, hukumnya sama dengan ad’afan halal secara mutlak.32
muda’afah (riba jahiliyyah), yakni haram li zatihi. Illat adalah sifat tertentu yang dapat
Adapun bunga yang kecil atau sedikit termasuk diketahui secara objektif (zahir), dapat diketahui
riba khafi yang hukumnya haram karena untuk tolak ukurnya (mundabit), dan sesuai dengan

29
Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, Bab as-Sarf wa
Bai’ az-Zahab bi al-Waraq Naqdan, (Bandung: al-Ma’arif, t.t.), hlm, 692. Lihat juga al-, afiz Ibnu Hajar al-
‘Asqalani, Bulugu al-Maram, Juz I, (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), hlm. 170.
30
Muhammad Zuhri, Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipatif, Cetakan
I (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hlm. 109.
31
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad..., Op.Cit, hlm. 125-126.
32
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan..., Op.Cit, hlm. 304-306.

30
Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 1 Tahun 2016 : 20 - 35

ketentuan hukum (munasib). ‘illat dapat diambil dapat dijadikan ‘illat haramnya riba. Pada tahap
dari hikmah ditetapkannya hukum. Hikmah baru ini diperoleh informasi bahwa sifat yang dapat
dapat ditetapkan sebagai ‘illat jika terdapat dijadikan riba adalah pemerasan atau
mazhinnat atau indikator yang menunjukkan penganiayaan (istiglal wa az-zulm), tambahan
bahwa hikmah itu telah ada pada kasus tanpa risiko (ziyadah al-Khaliyat ‘an al-‘Iwad)
tersebut. Hubungannya dengan masalah riba, dan tambahan yang berlipat ganda (ziyadah al-
apakah sifat zulm itu sudah dapat dikatakan ‘illat Muda’afat). Tahap berikutnya diadakan seleksi,
atau baru hikmah? Jika sudah termasuk ‘illat mana di antara ketiga sifat itu yang dianggap
apakah indikator yang menunjukkan hal relevan. Dalam tahap ini, dapat diketahui bahwa
tersebut? Dengan memperhatikan praktik riba sifat “tambahan tanpa risiko” tidak dapat
pada masa ayat al-Quran ini diturunkan, dapat dijadikan ‘illat, karena ternyata Nabi sendiri
dipahami bahwa pemerasan merupakan pernah memberikan kelebihan pembayaran
hikmah diharamkannya riba. Hikmah ini dapat kepada kreditur. Begitu pula sifat “tambahan
menjadi ‘illat setelah adanya mazhinnat, yakni yang berlipat ganda” semata-mata tidak dapat
bahwa tambahan itu dipersyaratkan ketika dijadikan ‘illat, karena Allah SWT menyatakan
transaksi utang-piutang itu berlangsung. Oleh “wa in tubtum falakum ru’usu amwalikum”. Dari
karena itu,‘Illat ini tidak secara eksplisit sini tinggalah sifat “pemerasan dan penga-
disebutkan dalam al-Quran maupun al-Hadits niayaan” yang dapat dijadikan ‘illat haramnya
maka kedudukannya termasuk ‘illat riba. Sifat yang terakhir ini, di samping dapat
mustanbatah, dan bukan ‘illat mansusat. Ketika dilihat dalam sabab an-Nuzul ayat terakhir
Muhammadiyah menyatakan bahwa’illat tentang riba, juga diisyaratkan oleh ungkapan
diharamkan riba adalah pemerasan kreditur al-Quran sendiri: “la tazlimuna wa la tuzlamun”.35
kepada debitur, tentu sudah melalui proses Melalui proses pencarian ‘illat seperti di
pencarian ‘illat, atau yang dalam ushul fiqih atas dapat disimpulkan bahwa pemerasan dan
dikenal sebagai masalik al-‘illat.33 penganiayaan merupakan ‘illat diharamkannya
Secara garis besar proses penemuan riba. ‘Illat di sini masih perlu diteliti lagi, dalam
‘illat dapat dilakukan melalui tiga tahap. Tahap kaitannya dengan penerapan kasus bunga
pertama adalah takhrij al-manat, yakni bank, karena sifat itu belum dapat diketahui tolak
menginventarisasi beberapa sifat yang dapat ukurnya (mundabit). Untuk itu, ditetapkan
dijadikan ‘illat. Tahap kedua adalah tanqih al- ketentuan bahwa unsur pemerasan itu telah
manat, yakni menyeleksi beberapa sifat yang dianggap ada manakala ada “perjanjian pada
telah diinventarisasi pada tahap pertama. Tahap awal transaksi utang piutang itu”. Persyaratan
ketiga adalah tahqiq al-manat, yakni ini dianggap sebagai mazinnat, yakni
membuktikan keefektifan ‘illat haramnya riba, pemerasan. Inilah yang dianut mayoritas oleh
apakah dapat diterapkan dalam kasus bunga ahli ushul fiqh.36
bank atau tidak.34 Pernyataan Muhammadiyah mengenai
Berdasarkan cara kerja itu, pertama bunga bank seperti di atas tidak lepas dari
sekali dicari dan dihimpun beberapa sifat yang komitmennya untuk menggunakan tolak ukur

33
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad…, Op.Cit, hlm. 127.
34
Ibid.
35
Ibid.
36
Ibid, hlm. 128.

31
Ijtihad Jama’i Nahdatul Ulama (NU) dan Ijtihad Qiyasi Muhammadiyah tentang.....(Rizal Bin Jami’an)

kemaslahatan yang menjadi tujuan utama mengambil pendapat ahli hukum Syafi’iyah.
disyariatkan hukum dalam Islam. Menurut Ijtihad bagi NU dilakukan dalam persoalan
pendapatnya, bahwa kepentingan dan hukum Islam yang tidak ditemukan dalam
kebutuhan umat Islam tidak boleh diabaikan. kitab-kitab mu’tabar. Penerapkan metode
Dalam kondisi demikian, kemungkinan ijtihad jama’I yang telah dibangun oleh
terjadinya kemiskinan dikalangan umat Islam ulama terdahulu dijadikan sebagai
akan semakin besar pula. Tidak mustahil hal sandaran penetapan hukum bunga bank
ini akan membawa kepada kekufuran. Jadi, dalam praktik perbankan di Indonesia. NU
menjaga stabilitas ekonomi umat Islam berarti berpendapat bahwa hukum bunga bank
menjaga keutuhan agama yang dianut mereka. adalah haram karena termasuk utang yang
Menjaga harta dari kepunahan dan menjaga dipungut dengan memberikan pembe-
agama merupakan aspek esensial (daruriyat).37 banan yang berlebihan kepada peminjam
Muhammadiyah menggunakan qiyas atau nasabah (ad’afan muda’afah).
sebagai metode penetapan hukum bunga bank. 2. Sementara Muhammadiyah menggunakan
Hikmah dan ‘illat, yang menjadi faktor penentu qiyas sebagai metode ijtihad dalam
dalam metode ini, dipahami oleh organisasi ini merespon bunga bank. Bagi Muham-
sebagai satu istilah yang tidak dapat dipisahkan madiyah ‘illat diharamkannya riba adalah
satu sama lain. Oleh karena itu, Muham- adanya penganiayaan (az-Zulm) terhadap
madiyah mengalami kesulitan untuk peminjaman dana. Konsekuensinya adalah
memutuskan kasus bunga bank ini. Selain itu, jika ‘illat itu ada pada bunga bank maka
organisasi ini juga menggunakan istihsan bi ad- bunga bank sama dengan riba dan
darurat sebagai metode penetapan hukum hukumnya riba. Sebaliknya, jika ‘illat itu tidak
bunga bank. Namun, metode ini juga tidak ada pada bunga bank maka bunga bank
sepenuhnya ditetapkan. Baginya, meskipun bukan riba dan tidak haram. Bagi
berdasarkan qiyasjali ternyata bunga bank itu Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba
sama dengan riba, tapi demi kepentingan umat disinyalir juga ada pada bunga bank,
Islam maka hukum haram riba tidak dapat sehingga bunga bank disamakan dengan
diterapkan sepenuhnya pada kasus bunga riba dan hukumnya adalah haram. Namun,
bank.38 keputusan tersebut hanya berlaku untuk
bank milik swasta. Adapun bunga bank yang
Kesimpulan diberikan oleh bank milik Negara pada para
Berdasarkan analisis dalam pembahasan nasabahnya atau sebaliknya, termasuk
di atas, artikel ini dapat menyimpulkan hasil perkara musytabihat, tidak haram dan tidak
analisis sebagai berikut: pula halal secara mutlak. Pendapat
1. NU telah melakukan ijtihad (jama’i) ketika Muhammadiyah mengacu pada hasil
menghadapai persoalan hukum Islam mu’tamar Majlis Tarjih Muhammadiyah di
kontemporer terkait dengan bunga bank. Sidoarjo Jawa Timur, tahun 1968 yang
NU tidak meninggalkan metode yang biasa memutuskan: Pertama, riba hukumnya
digunakan di lingkungan NU, yakni haram dengan nash sarih al-Qur’an dan
bermazhab secara qauli dengan as-Sunnah. Kedua, bank dengan sistem

37
Ibid, hlm. 129.
38
Ibid, hlm. 133.

32
Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 1 Tahun 2016 : 20 - 35

riba hukumnya haram dan bank tanpa riba rungan, yaitu halal atau haram. Di samping
hukumnya halal. Ketiga, bunga yang itu, karena dalam bank itu tidak dibedakan
diberikan oleh bank milik negara kepada antara orang yang meminjam uang untuk
para nasabahnya atau sebaliknya, konsumsi dan meminjam untuk produksi,
termasuk perkara musytabihat (yang sehingga harus dihindari, kecuali dalam
meragukan). Keempat, menyarankan pada keadaan darurat (terpaksa). Tampaknya
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah keputusan Muhammadiyah ini sejalan
untuk mengusahakan terwujudnya dengan pendapat yang mengatakan bahwa
konsepsi sistem perekonomian, khususnya bunga bank boleh karena darurat, seperti
lembaga perbankan, yang sesuai dengan pendapat Mustafa az-Zarqani, yang
kaidah Islam. mengatakan bahwa bank merupakan
3. Baik NU maupun Muhammadiyah sama- kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.
sama sependapat bahwa riba hukumnya Oleh karena itu, umat Islam boleh
adalah haram hal ini berdasarkan al- bermu’amalah dengan bank atas
Qur’an dan Hadits yang dengan tegas telah pertimbangan darurat. Muhammadiyah
mengharamkan riba. Meskipun keduanya menyatakan bahwa riba yang diharamkan
dalam melihat aplikasi hukum Islam tentang oleh agama adalah sifat pembungaan yang
riba sama-sama mengharamkannya, tetapi selalu disertai unsur penyalahgunaan
NU dan Muhammadiyah memiliki cara kesempatan dan penindasan, sedangkan
berpikir yang berbeda. Bagi NU bahwa yang berlaku dewasa ini sama sekali tidak
hukum bunga bank adalah haram, baik itu menimbulkan rasa penindasan atau
bank milik swasta maupun bank milik kekecewaan oleh siapapun yang
Negara. Lebih lanjut, NU mengungkapkan berkepentingan.
bahwa bunga yang diambil oleh penabung
di bank adalah riba yang diharamkan. Saran
Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa Saran dalam artikel ini diberikan kepada
melalui usaha perdagangan dan tanpa pemangku kepentingan terutama NU dan
bersusah payah sebagai tambahan pokok Muhammadiyah sebagai organisasi besar
hartanya maka yang demikian itu termasuk umat Islam di Indonesia sebagai berikut:
riba. NU kemudian menguatkan 1. Dalam melihat permasalahan hukum
pendapatnya bahwa pengambilan bunga Islam yang akan diberi ketetapan
bank oleh nasabah yang menyimpan norma hukumnya, baik NU maupun
uangnya di bank adalah haram. Dalam hal Muhammadiyah hendaknya mengkaji
ini NU lebih tegas dalam menetapkan permasalahan yang ada tersebut dari
keharaman bunga bank, yakni apabila berbagai sudut pandang yang menyangkut
pihak bank menggunakannya untuk hakikat permasalahan, latar belakang
perbuatan yang telah dilarang agama. sosial, ekonomi politik, budaya dan yang
Berbeda dengan NU, bagi Muhammadiyah semisalnya dengan tidak mengesamping-
agaknya masih ragu terhadap ada atau kan al-Qur’an dan Hadits sebagai rujukan
tidak adanya ‘illat riba pada bank milik utama dalam menetapkan hukum Islam.
Negara. Hukum bunga bank milik negara Karena fiqh sebagai suatu bentuk
adalah musytabihat. Alasan mengatakan ketetapan hukum akan selalu berubah
musytabihat karena ada dua kecende- sesuai dengan masyarakat yang

33
Ijtihad Jama’i Nahdatul Ulama (NU) dan Ijtihad Qiyasi Muhammadiyah tentang.....(Rizal Bin Jami’an)

dihadapinya (salih li kulli zaman wa makan). Abdul Wahid Zaini. 1994. Dunia Pemikiran
Dalam memberikan norma hukum yang Kaum Santri. Yogyakarta: LKPSM.
ada dapat bersesuaian dengan kebutuhan Abu Hamdan Abdu al-Jalil Hamid. T.t.t. Ahkam
yang telah berkembang dan berlaku di al-Fuqaha’ fi al-Muqarrarat Mu’tamarat
tengah-tengah masyarakat. Diperlukan Nahdatu al-Ulama’. Juz II. Semarang:
adanya forum kajian atau musyawarah Toha Putra.
yang harus dilakukan oleh NU dan Abu Umar Faruq dan Muhammad Kabir Hassan.
Muhammadiyah yang diikuti oleh para ahli Riba and Islamic Banking. Journal of
hukum Islam dan ahli-ahli perbankan agar Islamic Economic, Banking, and
kajiannya lebih komprehensif dan hasilnya Finance. Volume 7. Nomor 2. 2009.
diharapkan lebih mendekati bahkan sesuai Abu Zahra. 1970. Buhus fi ar-Riba. ttp:Dar al-
dengan realitas dalam praktik perbankan Buhus al-Ilmiyyah.
di Indonesia. Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-
2. Dalam menyikapi perbedaan persepsi Naisaburi. T. t. Sahih Muslim.
tentang bunga bank pada persoalan Bandung: al-Ma’arif.
prosedurnya, disarankan agar prosedur itu Fathurrahman Djamil. 1995. Metode Ijtihad
dapat disesuaikan dengan keyakinan Majlis Tarjih Muhammadiyah. Cetakan
banyak pihak yang akan menggunakan I. Jakarta: Logos Publishing House.
jasa bank, karena sesuai dengan Fuad Zein. 2002. Aplikasi Ushul Fiqh Dalam
perundang-undangan yang berlaku saat Mengkaji Keuangan Kontemporer,
ini, masih ada kemungkinan untuk Ainur Rafiq (ed.), Mazhab Jogja:
diupayakan terwujudnya ketentuan hukum Menggagas Paradigma Ushul Fiqh
bunga bank yang lebih sempurna bagi Kontemporer. Cetakan I. Yogyakarta:
masyarakat. Ar-Ruzz.
3. Untuk para cendekiawan agar proaktif dan Heri Sudarsono. 2003. Bank dan Lembaga
serius menggali sekaligus ikut meme- Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan
cahkan masalah-masalah hukum Islam Ilustrasi. Cetakan I. Yogyakarta:
kontemporer, agar dapat memperkaya Ekonsia.
khazanah pemikiran dengan tidak Ibnu Hajar al-‘Asqalani. T.t, Bulugu al-
membatasi disiplin ilmu, tokoh maupun Maram.Juz I. Surabaya: al-Hidayah.
kelompoknya, sehingga tidak membuka M. Quraish Syihab. 2003. Membumikan Al-
ruang konflik, serta dapat mengembang- Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
kan sikap toleran dan saling memahami dalam Kehidupan Masyarakat.
sehingga sikap mengklaim diri atau Cetakan XXVI. Bandung: Mizan.
kelompoknya yang paling benar dapat Mohammad Anton Athoillah. Ekonomi Islam:
terhindarkan. Transaksi dan Problematiknya. Ijtihad.
Jurnal Wacana Hukum Islam dan
Referensi Kemanusiaan. Volume 13. Nomor 2.
Abd. Salam Arief. Bank Islam: Suatu Alternatif Desember 2013.
Pemberdayaan Ekonomi Umat, Jurnal Mohammad Anton Athoillah dan Sofyan al
Asy-Syir’ah. Volume 6. Nomor 7. Hakim. Reinterpreting The Ratio Legis
2000. of Prohibition of Usury. Middle East
Abdul Wahab Khallaf. 1968. ‘Ilm Usul Fiqh. Journal of Scientific Research.
Kairo: Dar al-Kuwaitiyyah. Volume 14. Nomor 10. 2013.

34
Jurnal Hukum Respublica, Vol. 16, No. 1 Tahun 2016 : 20 - 35

Muhammad Muflih. Rekonstruksi Pemahaman Nur Chamid. 2005. Problematika Riba dan
Terhadap Konsep Riba Pada Bunga Bank. Jurnal Empirisma.
Transaksi Perbankan Konvensional. Volume 14. Nomor 2. 2005.
Ahkam. Volume XIII. Nomor 1. Januari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. T.t.t.
2013. Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muham-
Muhammad Zuhri. 1996. Riba dalam al-Qur’an madiyah. Yogyakarta: Persatuan.
dan Masalah Perbankan: Sebuah Soerjono Soekamto. 1990. Pokok-pokok
Tilikan Antisipatif. Cetakan I. Jakarta: Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali
Raja Grafindo. Press.

35

Anda mungkin juga menyukai