Anda di halaman 1dari 11

“PANDANGAN ULAMA TENTANG

RIBA DAN HUKUMNYA”

Muhammad Ridwannudin
(2286050024)
Latar Belakang Masalah
Masyarakat modern saat ini dihadapkan pada permasalahan bunga oleh bank
konvensional yang menerapkan sistem bunga atas pinjaman yang diberikan kepada
nasabahnya. Sistem perbankan merupakan sistem keuangan yang hanya ada pada era modern
seperti saat ini. Orang-orang pada periode awal Islam belum mengenal sistem perbankan saat
ini dalam arti praktis. Oleh karena itu, menanggapi fenomena hukum bunga bank, di
kalangan ulama-ulama terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan pandangan dalam menilai
permasalahan tersebut membawa pada kesimpulan hukum yang berbeda pula, dalam hal
dibolehkan atau tidaknya halal haram bagi umat Islam untuk bertransaksi dengan bank.
Pendapat yang melarang bunga bank karena disamakan dengan riba yang harus
dijauhi. Hal-hal serius yang terjadi di masyarakat saat ini sangat erat kaitannya dengan
pendapat tentang bunga bank. Di satu sisi, masyarakat di zaman modern hampir tidak bisa
lepas dari interaksi dengan dunia perbankan, namun di sisi lain terdapat rasa takut dan tidak
nyaman akibat opini yang melarang bunga bank. Beberapa diantaranya beralih ke bank
berbasis syari'ah, namun kenyataannya bank syariah tidak jauh berbeda dengan bank
konvensional dalam sistem keuangannya, walaupun dalam penerapannya berbeda.
PANDANGAN ULAMA TENTANG
RIBA DAN HUKUMNYA

Pandangan Pragmatis Pandangan konservatif


Pandanngan Ulama yang Melarang Riba (Bunga Bank)
Menurut pendapat kelompok ini bunga bank sama dengan riba, sehingga
hukumnya haram. Mereka mendalilkan dengan Alquran Surat al-Baqarah (2) ayat
275- 276, Ali Imran (3) ayat 130, dan al-Rum (30) ayat 39. Dalam terjemahan
Alquran disebutkan bahwa Yang dimaksud dengan riba disini adalah riba nasi'ah.
Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu haram selamanya meski tidak
dilipatgandakan. Mereka yang melarang bunga bank mengatakan bahwa illat (tanda
hukum atau motif hukum) riba terlarang adalah pinjaman tambahan, berapapun
jumlahnya. Jadi menurut mereka illat larangan riba adalah penambahan, padahal
dalam pinjaman dan simpanan di bank selalu ada penambahan pokok. Jadi karena
adanya kesamaan antara sifat hukum bunga bank dan riba, kelompok ini
menganggap bunga bank sama dengan riba, sehingga hukum bunga bank itu haram
Pendapat tersebut antara lain diungkapkan oleh ulama besar Pakistan Abul A'la al-Mawdudi, Pengacara
Kongres Islam Kairo Muhammad Abdullah al-Arabi, serta ulama kontemporer terkemuka Muhammad Abu
Zahra. Mereka mengatakan bahwa bunga bank, termasuk riba yang dilarang oleh syariah Islam. Oleh karena itu
umat Islam hendaknya meninggalkan bank yang menggunakan sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat
atau terpaksa karena kesulitan.

Yûsuf Al-Qaradhāwi, meskipun termasuk salah seorang sarjana muslim kontemporer, ternyata
pandangannya cenderung mendukung pandangan dari ulama konservatif, yaitu memandang bahwa semua
tambahan dari pokok pinjaman yang dipersyaratkan sebelumnya, adalah riba dan hukumnya haram. Dengan
demikian, maka menurutnya, bunga bank juga termasuk dalam tambahan yang dipersyaratkan sebelumnya,
karena illat yang terdapat di dalamnya, sama dengan illat riba yang terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu
bertambahnya harta dari pokok yang dipinjamkan,
Menurut Muhammad Abdul Mannan bahwa bunga uang atau bunga bank termasuk
riba. Bunga uang dapat mencekik kalangan ekonomi atau pengusaha kecil, mereka ambil
kredit dengan harapan usahanya dapat tumbuh dan berkembang. Namun karena bunga yang
tiap bulan harus dibayar maka usahanya bukan saja tidak bisa berkembang bahkan akhirnya
gulung tikar. Itulah sebabnya sebagian ulama mengharamkan sistem bunga dan dinyatakan
sebagai riba. Seperti telah dijelaskan lebih dahulu sesuai dengan al-Qur'an dan hadis yang
mengharamkan riba.
Ahli-ahli filsafat seperti Plato dan Aristoteles pun tidak membenarkan riba. Mereka
menganggap bunga uang bukan keuntungan yang wajar karena pemilik uang tersebut tidak
turut serta menanggung resiko. Mannan berpegang kepada dalil al-Qur’an surah al-Baqarah
[2]: 275-276, 278-279 yang isinya tentang pelarangan riba secara tegas dan jelas, dalam
berbagai bentuknya tidak dibedakan besar atau kecilnya dan tidak membedakan banyak atau
sedikitnya. Bagi yang melakukannya maka ia telah mekakukan tidakan kriminalisasi. Dan ini
adalah merupakan ayat yan terakhir turun, yang merupakan syariat yang terakhir pula. Dalam
ayat ini jika seseorang melakukan transaksi riba, makan Allah dan Rasul-Nya akan
memerangi orang tersebut.
Menurut MUI, bunga pinjaman (qardh) yang diberlakukan di atas lebih buruk
daripada riba yang dilarang dalam Alquran, karena selain riba hanya diberlakukan pada saat
jatuh tempo. Sedangkan pada sistem bunga, penambahan tersebut langsung dibebankan sejak
terjadinya transaksi (fatwa MUI No. 1 tahun 2004 tentang hukum Bunga Bank dalam Islam).
Pandangan Ulama yang Membolehkan Riba (Bunga Bank)

Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum bank konvensional adalah


haram. Namun beberapa ulama yang membolehkan bunga bank memberikan
argumentasi mengenai kebolehan transaksi di bank. Berbeda dengan pendapat
ulama yang mengharamkan bunga bank, karena adanya kewajiban tambahan
pengembalian sebesar bunga pada praktek bank. Sehingga, praktek tersebut
termasuk dalam kategori macam-macam riba dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa ulama berpendapat bahwa bunga bank halal. Berikut ini adalah beberapa
alasan para ulama yang membolehkan bank konvensional dan sistem bunganya:
Jenis
Adanya
Muamalah
Kerelaan
Baru

Tidak Berlipat Penyimpangan


ganda Sementara
Menurut pendapat Fazlurrahman (1984), Muhammad Asad (1984), dan Said Najjar
(1989) bahwa riba dikatakan haram karena eksploitatif. Mereka memahami ayat-ayat riba lebih
melihat pada aspek moral dari pada legal-formalnya. Sehingga mereka berpendapat bahwa
hukum bunga bank menjadi fleksibel dan relatif. Jadi bunga bank yang dilarang adalah yang
dalam prakteknya ada unsur eksploitasi terhadap debitur. Jika tidak, maka bunga bank tidak
dilarang. Douallibi (Syiria) membedakan antara pinjaman produktif dan konsumtif. Ia
berpendapat bahwa dalam pinjaman produktif diperbolehkan ada bunga, sedangkan dalam
pinjaman konsumtif tidak diperbolehkan karena ada unsur eksploitasi terhadap orang lemah.
Quraish Shihab memberikan pendapat terhadap hukum bunga bank. Menurutnya yang
diharamkan itu adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur
penganiayaan atau penindasan, bukan sekedar kelebihan atau penambahan jumlah utang. Quraish
Shihab menjelaskan bahwa illat dari keharaman riba itu adalah sifat aniaya, sebagaimana yang
terdapat di akhir ayat 273 surat al-Baqarah. Dengan demikian, apabila tidak terdapat unsur aniaya
atau penindasan, maka belum termasuk dalam kategori riba.
KESIMPULAN
Menurut pandangan pragmatis, transaksi-transaksi yang berdasarkan bunga dianggap sah selama tidak ada unsur
yang belipat ganda, tetapi menjadi terlarang secara hukum apabila jumlah yang ditambahkan pada uang yang
dipinjamkan itu luar biasa tinggi. Bunga yang dimaksudkan di sini adalah bunga yang dipakai menggalakan tabungan
dan mengerahkan modal untuk membiayai investasi-investasi yang produktif. Kedua, pandangan konservatif.
Pandangan ini berpendapat bahwa riba harus diartikan sebagai bunga, baik bersifat interest maupun riba. Menurut
pendapat mereka, penafsiran yang demikian itu didukung oleh al-Qur’an maupun oleh Hadits. Setiap pembayaran
yang ada unsur penambahannya, sedikit ataupun banyak, maka dikatakan riba

Perbedaan-perbedaan di atas umumnya disebabkan oleh beragamnya interpretasi terhadap riba. Kendati riba dalam
al-Qur’an dan Hadits secara tegas dihukumi haram, tetapi karena tidak diberi batasan yang jelas, hal ini akhirnya
menimbulkan beragam interpretasi terhadapnya. Selanjutnya persoalan ini berimplikasi juga terhadap pemahaman
para ulama sesudah generasi sahabat. Sampai saat ini pun persoalan terhadap interpretasi riba masih menjadi
perdebatan tiada henti.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai