Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PENDAHULUAN

INFEKSI CITOMEGALOVIRUS

Oleh Kelompok 2:
Suriyanti R014192007
Flavia Enykustia R014192034
Riventi Pali’ Kamoda R014192015
Fitrah Ardillah R014192016

Mengetahui:
Preseptor Institusi

(Tuti Seniwati S.Kep., Ns., M.Kep.)

PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN DASAR


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
BAB I

KONSEP MEDIS
A. Definisi
Citomegalovirus atau CMV termasuk dalam keluarga herpes virus
yang dikenal akibat penyebarannya yang luas pada manusia dan binatang.
CMV merupakan infeksi virus yang paling umum pada kongenital yang
terkadang mengakibatkan sindrom inklusi sitomegalik seperti hepatomegali,
ikterus, ptekie, purpura serta mikrosefali (Alford, 2010).
Infeksi akibat CMV merupakan infeksi kongenital terbanyak serta
mengakibatkan angka kecacatan tinggi pada bayi baru lahir yang tersebar di
seluruh dunia. Infeksi CMV terjadi pada 0,2-2,4% dari seluruh kelahiran
hidup di dunia. Infeksi CMV dapat mengakibatkan gangguan perkembangan
organ-organ pada janin. CMV juga merupakan penyebab terbanyak dari
gangguan pendengaran, gangguan perkembangan saraf, dan retardasi mental
pada anak (Oronzio, 2015).

B. Etiologi

Cytomegalovirus (CMV) merupakan virus DNA yang tergabung dalam


family Herpesviridae. Herpes Virus berdasarkan siklus replikasinya dapat
menyebabkan infeksi yang bersifat persisten, laten, dan adanya periode
reaktivasi. CMV dapat menginfeksi dan replikasi pada berbagai tipe sel di
tubuh manusia, termasuk didalamnya sel epitel kelenjar, sel mukosa, sel otot
polos, fibroblas, makrofag, sel dendritik, hepatosit, dan sel endotel pembuluh
darah. Pada periode laten, CMV akan bersifat dorman pada sel myeloid dari
sumsum tulang (Beltran P.,2014).

CMV dapat bertransmisi baik dari satu individu ke individu yang lain
dan dapat pula dari ibu ke janin. CMV yang ditransmisikan dari satu individu
ke individu lain dapat menular melalui cairan tubuh individu yang individu
yang terinfeksi CMV. CMV dapat ditemukan di dalam darah, urin, cairan
semen, sekret serviks, saliva, air susu ibu, dan organ yang ditransplantasi.
Transmisi CMV yang terjadi antara ibu ke janin dapat melalui cara in-utero
atau melalui jalur transplasenta dengan viremia CMV dalam sirkulasi
maternal, intrapratum atau paparan janin terhadap sekret serviks dan vagina
yang mengandung CMV saat proses persalinan serta pada fase post natal
ketika air susu ibu yang mengandung CMV atau melalui transfusi darah yang
terkontaminasi CMV (Kim, 2010).

Faktor risiko yang terkait dengan infeksi CMV (Marsico C., 2017),
yaitu:

- Usia bayi, balita, anak-anak, dan populasi usia lanjut

- Anak-anak yang sering dititipkan pada penitipan anak

- Pria dan wanita yang aktif secara seksual dengan pola perilaku berisiko
seperti berganti-ganti pasangan dan tidak menggunakan pelindung

- Riwayat imunokompromais, seperti penderita HIV/AIDS. Jika seseorang


positif menderita HIV, kemungkinan terserang CMV menjadi lebih besar
ketika jumlah CD4 < 100 sel/mikloliter dan pasien yang sedang dalam
pengobatan tumor ganas

- Riwayat transplantasi organ, umumnya pemberi donor 78% menularkan


virus CMV pada resipien. 40% resipien mengalami serokonversi menjadi
seropositive dan memasuki fase laten dari infeksi virus

- Penggunaan obat kortikosteroid jangka panjang, umumnya pada pasien


yang memiliki riwayat autoimun, seperti
penderita lupus eritematosus sistemik, maupun pengobatan setelah riwayat
transplantasi organ

- Higienitas yang buruk

- Transfuse darah dengan jarum suntik yang terkontaminasi

C. Patofisiologi

Patofisiologi infeksi Human cytomegalovirus (HCMV) mencakup


adanya peran dari biologi molekuler virus, peran manusia sebagai reservoir
virus, transmisi pada manusia, dan klasifikasi dari infeksi HCMV.
1. Biologi Molekuler Virus

Human Cytomegalovirus (HCMV) memiliki glikoprotein B yang


berfungsi untuk menginvasi virus ke dalam sel dan berfusi dengan
membran sel virus. Protein dari virus akan berikatan dengan nukleus sel
dan bereplikasi di dalam sel tersebut. Protein dari virus akan mengganggu
aktivitas regulasi dan metabolisme sel inang yang selanjutnya dimulai
proses replikasi dari virus. Virus HCMV sendiri memiliki sifat replikasi
yang lambat disebabkan karena produksi protein yang lambat pada tubuh
virus. Setelah virus bereplikasi dalam nukleus, virus akan keluar ke
sitoplasma sel dan dilepaskan ke aliran darah sehingga terbentuk fase
viremia dalam tubuh pasien (Griffiths P, 2015).

Setelah virus masuk ke dalam sitoplasma sel, virus akan


menginduksi suatu kaskade imun yang akan memasuki fase infeksi dari
herpesvirus. Pada fase infeksi, respon sistem imun tubuh juga akan
teraktivasi. Respon peradangan seluler terhadap infeksi ini terdiri atas sel
plasma, limfosit, makrofag dan monosit. Produksi antibodi dan respon
limfosit T akan berbanding terbalik dengan derajat keparahan penyakit.
Sel yang terinfeksi menjadi lebih besar dan umumnya berisi inklusi
intranuklear terletak agak ke tepi, dikelilingi daerah halo yang terang
sehingga tampak seperti “mata burung hantu” (Beltran P.,2014).

2. Transmisi Virus HCMV

Manusia merupakan satu-satunya reservoir dari HCMV. Virus


dapat ditemukan di saliva, urine, semen, sekresi serviks dan vagina, air
susu ibu, serta darah pasien. Virus HCMV menyebar melalui kontak yang
erat dan berulang. Pada usia remaja lanjut dan dewasa muda virus ini
sering ditularkan melalui hubungan seksual dari penderita yang terinfeksi
secara asimptomatik dan teraktivasi pada keadaan imunokompromais.
Sedangkan pada bayi, infeksi HCMV dapat ditularkan secara intrauterine,
intrapartum, dan antenatal. Setelah virus CMV ditransmisikan, dan infeksi
primer telah berlangsung, virus menetap secara dorman di sel myeloid
(Beltran P.,2014).

Transmisi intrauterine menjadi rute terbanyak yang menyebabkan


terjadinya infeksi CMV pada janin. Plasenta menjadi barrier antara ibu
dan janin pada trimester pertama kehamilan dan berfungsi untuk menjaga
janin dari sistem respon imun ibu yang sedang teraktivasi, namun
penularan infeksi ke janin masih tetap dapat terjadi. Penularan ke janin
disebabkan oleh karena sistem imunitas janin yang belum terbentuk.
Penularan secara intrapartum umumnya terjadi akibat paparan dari sekret
vagina yang terinfeksi CMV apabila bayi dilahirkan secara normal. Pada
masa antenatal, umumnya penularan disebabkan akibat bayi menyusu air
susu ibu yang terinfeksi CMV. Infeksi kongenital pada bayi memiliki
dampak paling parah dan kelainan saraf jangka panjang apabila
dibandingkan penularan yang terjadi secara intrapartum dan antenatal
(Swanson E., 2013).

Penderita imunokompromais lebih rentan terinfeksi CMV. Hal ini


dibuktikan dari 90% penderita yang terinfeksi HIV juga mengalami
predisposisi infeksi virus CMV karena menyerang limfosit T sehingga
terjadinya penurunan CD4. Hal ini juga didapati pada pasien yang
memiliki riwayat transplantasi organ. Selain itu, ada pasien yang memiliki
riwayat penyakit autoimun sebelumnya, seperti riwayat inflammatory
bowel disease, didapati bahwa adanya sitokin TNF-α dan IFN-γ pada
proses penyakit tersebut juga terkait dengan reaktivasi dari infeksi CMV
laten (Beltran P.,2014).

3. Klasifikasi Infeksi CMV

Infeksi CMV dapat diklasifikasikan menjadi infeksi primer, yaitu


adanya suatu infeksi CMV yang tidak bermanifestasi pada tubuh
penderita, umumnya hanya ditegakkan melalui pemeriksaan serologi
dimana didapatkan hasil seropositive CMV. Serokonversi positif pada
infeksi CMV umumnya akan meningkat berdasarkan usia dimana didapati
36% pada anak usia 6-11 tahun dan dapat mencapai 91% pada usia 80
tahun, serta seropositive kehamilan umumnya terjadi sekitar 1%-4%. Pada
infeksi CMV primer umumnya virus sudah ditularkan sejak lahir namun
tidak bergejala.

Klasifikasi kedua adalah infeksi CMV sekunder, yaitu adanya


penularan virus dari lingkungan luar dan bermanifestasi langsung pada
tubuh penderita, terutama pada pasien dengan status imun yang rendah
atau imunokompromais. Infeksi CMV primer maupun sekunder tidak
dapat dibedakan berdasarkan gejala klinis ataupun pemeriksaan serologi
(Yinon Y. 2010)

D. Tanda dan gejala

Manifestasi klinis yang dapat muncul akibat infeksi CMV diantaranya


adalah trombositopenia, hepatomegali, pembatasan pertumbuhan intra-uterin,
hepatitis, gangguan sistem saraf pusat, penyakit mata serta Sensori Neural
Hearing Loss atau SNHL (Rawlinson, 2017).

Pada penderita HIV, CMV dapat menyebar keseluruh tubuh apabila


tidak diobati. Penderita akan mengalami:

- Bintik hitam yang bergerak disebut ‘floaters’ pada sudut pandang mata

- Pandangan yang buram

- Kebutaan

- Diare

- Sakit pada perut

- Sulit atau sakit saat menelan

- Sakit, lemah atau kesemutan pada dasar tulang yang menyebabkan


kesulitan berjalan
E. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang

Dalam menegakkan diagnosis infeksi CMV pada bayi dan anak


diperlukan pemeriksaan diagnostik yang ideal untuk mendeteksi infeksi aktif
CMV serta membedakannya dari penyakit CMV. Terdapat banyak metode
yang digunakan baik sebagai pemeriksaan tunggal atau kombinasi untuk
mendiagnosis CMV. Pemeriksaan yang dilakukan harus mudah dan
memberikan hasil yang cepat dan terpercaya. Berikut pemeriksaan diagnostic
yang digunakan untuk mendeteksi oenyakit CMV (Novi H. 2015):

1. Amniosentesis

Pemeriksaan amniosentesis sangat akurat setelah usia kehamilan


21 minggu, ketika ginjal janin sudah cukup matang untuk mengeksresikan
virus ke cairan amnion. Meski demikian perlu dipertimbangkan besarnya
risiko terjadinya aborsi spontan bila dilakukan suatu amniosentesis.

2. Kultur virus

Pemeriksaan baku emas untuk infeksi CMV kongenital ialah


dengan kultur virus dari urin dan ludah yang diambil dalam 2 minggu
kehidupan. Pemeriksaan CMV melalui ludah dan urin pada bayi baru lahir
sangat diterima karena bayi dengan infeksi kongenital CMV mengandung
banyak virus dalam sampelnya. Teknik kultur jaringan tradisional dan
beberapa modifikasi, seperti metode kultur cepat dari sentrifugasi
menggunakan antibodi monoklonal untuk pewarnaan berkemampuan
mendapatkan protein pp72 dari CMV lebih cepat, sedang dipertimbangkan
menjadi pemeriksaan umum untuk diagnosis. Metode kultur cepat ini
menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas yang dapat dibandingkan dengan
kultur sel biasa. Hasil kultur cepat ini dapat diperoleh dalam 24-36 jam,
dibandingkan kultur urin konvensional yang memerlukan 7-10 hari.
Sensitivitas dan spesifisitas dari pemeriksaan ini ialah 94,5% dan 100%
untuk mendeteksi CMV dari urin bayi dengan infeksi kongenital CMV.

3. Polymerase chain reaction (PCR)

Diagnosis infeksi CMV secara tepat dapat dilakukan dengan


pemeriksaan DNA CMV. PCR merupakan pemeriksaan yang sangat
sensitif untuk mendeteksi CMV dari berbagai sumber, seperti darah, urin,
ludah dan jaringan. Pemeriksaan berkala DNA CMV dari darah tepi
dengan pemeriksaan kuantitatif PCR dapat bermanfaat untuk
mengidentifikasi penderita yang berisiko tinggi dan memantau efek terapi
antiviralAntigenemia

Antigenemia juga merupakan salah satu pemeriksaan yang sering


digunakan lebih dari satu dekade untuk mengetahui virus CMV secara
kuantitatif dalam darah. Uji tersebut berdasarkan antibodi monoklonal
yang mendeteksi antigen pp65 yaitu protein akhir yang diekspresikan
leukosit pada fase replikasi CMV awal. Antigen ini diukur berdasarkan
jumlah inti leukosit yang positif dengan uji imunofluoresens untuk matriks
fosfoprotein pp65 CMV dari 2x105 leukosit darah tepi dalam preparat
sitospin.

4. Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Pemeriksaan diagnostik lain untuk infeksi CMV ialah pemeriksaan


serologik yang mendeteksi CMV menggunakan ELISA indirek untuk
melihat antibodi IgG dan IgM CMV. Pemeriksaan antibodi merupakan
pemeriksaan yang umum dikerjakan. Deteksi antibodi IgM digunakan
sebagai penanda infeksi akut atau rekurens. Antibodi IgM ibu tidak dapat
ditransfer melalui plasenta. Hal ini berbeda dengan antibodi IgG pada bayi
dan anak umumnya berasal dari transfer antibodi ibu. Terdeteksinya
antibodi IgM dalam usia 2-3 minggu pascanatal menandakan adanya
infeksi kongenital CMV. Meskipun demikian, hanya 70% bayi dengan
infeksi kongenital CMV yang memiliki antibodi IgM saat lahir. Hal ini
menyebabkan angka spesifisitas yang rendah pada infeksi primer dan
hasilnya dapat positif palsu karena IgM dapat bertahan selama beberapa
bulan setelah infeksi dan dapat positif oleh karena reaktivasi infeksi CMV.

5. Pemeriksaan kombinasi

Ibu hamil dengan seronegatif 6 bulan sebelum konsepsi berpeluang


untuk terinfeksi primer saat hamil. Pemeriksaan IgG perlu dilakukan
sekurang-kurangnya dua kali yaitu pada 2 bulan dan 4 bulan kehamilan.
Bila hasil negatif, maka tindakan lanjut dapat ditunda, tetapi bila
didapatkan serokonversi, maka diagnosis infeksi primer ibu dan prenatal
bayi dapat ditegakkan. Reinfeksi sering terjadi ketika hamil dan penetapan
jumlah virus dapat dipakai untuk mengetahui risiko transmisi vertikal,
sedangkan pada masa kehamilan, isolasi virus dari cairan amnion dipakai
untuk mendeteksi infeksi in utero dikombinasikan dengan pemeriksaan
darah fetus setelah 20 minggu kehamilan memberi hasil sensitivitas
diagnostik 80-100%.

F. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada pasien terinfeksi CMV atau infeksi


cytomegalovirus yaitu:

- Kehilangan penengaran yang bervariasi

- Gangguan penglihatan

- Mikrosefali

- Gangguan sensorineral

G. Penatalaksanaan/Pengobatan

Penatalaksanaan infeksi CMV (cytomegalovirus) perlu dibedakan


untuk penatalaksanaan pada wanita hamil, bayi, pasien dewasa dengan status
imunokompromais seperti penderita HIV, pasien pasca transplantasi, Sistemik
Lupus Eritematosus, dan meminum obat kortikosteroid lama. Serta pasien
dewasa dengan status imunokompeten. Selain itu, tindak lanjut diperlukan
untuk dapat melihat progresifitas dari penyakit dan kemajuan pengobatan
yang diberikan.

1. Penatalaksanaan Khusus pada Wanita Hamil

Hyperimmunoglobulin (HIG) cytomegalovirus tidak
direkomendasikan untuk diberikan rutin pada ibu hamil dalam upaya
mencegah infeksi CMV. HIG sebaiknya hanya diberikan pada ibu hamil
yang sudah terbukti terinfeksi CMV. Hal ini disebabkan karena pemberian
HIG dapat menurunkan angka malformasi kongenital pada janin. HIG
dapat diberikan dengan dosis 200 U/kg (Rawlinson WD., 2017).

Penggunaan terapi antiviral tidak direkomendasikan untuk


diberikan pada kehamilan. Modifikasi perilaku gaya hidup dengan
menerapkan pola hidup bersih dan sehat diperlukan untuk mencegah
penularan infeksi CMV pada ibu hamil. Pola hidup yang diperlukan adalah
tidak berbagi makanan, minuman, maupun peralatan makan dengan anak-
anak, hindari kontak saliva dengan anak-anak, termasuk ketika mencium
ataupun membersihkan dot bayi, dan rajin mencuci tangan menggunakan
air dan sabun ketika memiliki kontak erat dengan anak-anak (Rawlinson
WD., 2017).

2. Antiviral pada Bayi

Penatalaksanaan infeksi CMV pada bayi hanya diberikan pada bayi


yang memiliki gangguan saraf pusat dan pada bayi yang mengalami
derajat berat ataupun adanya kerusakan organ (hepatitis, pneumonia, dan
trombositopenia). Pemberian antiviral tidak direkomendasikan pada
neonatus yang terkena infeksi CMV, namun bersifat asimptomatik, juga
pada pasien yang hanya memiliki gejala tuli sensorineural, serta pada
neonatus dengan gejala ringan dari infeksi CMV. Pemberian antiviral
dilakukan dalam usia 1 bulan pertama(Rawlinson WD., 2017).
Antiviral lini pertama yang digunakan adalah gansiklovir, yang
merupakan analog nukleosida asiklik. Gansiklovir bekerja dengan
fosforilasi pada sel yang terinfeksi virus dan kemudian mengeluarkan zat
yang berperan sebagai antiviral pada sel yang terinfeksi. Gansiklovir
hingga saat ini juga terbukti dapat memberikan dampak baik pada
gangguan sistem saraf pusat yang diakibatkan oleh infeksi CMV tersebut.
[3] Pada neonatus yang terinfeksi CMV yang bersifat simptomatik,
pemberian gansiklovir 6 mg/kg/kali dan diberikan 2 kali per harinya
selama 6 bulan menunjukkan perbaikan pada kelainan saraf (Rawlinson
WD., 2017).

Alternatif antiviral lain yang dapat digunakan selain gansiklovir


adalah valgansiklovir. Valgansiklovir juga hanya direkomendasikan untuk
pasien dengan infeksi CMV kongenital derajat sedang-berat dengan durasi
pemberian selama 6 bulan. Alternatif obat lainnya adalah valgansiklovir
dengan dosis pemberian 16 mg/kg/kali sebanyak 2 kali per harinya
(Rawlinson WD., 2017).

Pemberian antiviral dilakukan hingga didapatkan adanya perbaikan


pada fungsi pendengaran ataupun perkembangan positif dari penyakit,
namun tidak diberikan lebih dari 6 bulan. Selama pemberian antiviral,
kadar neutrophil perlu dipantau pada minggu ke-6 setelah terapi dimulai,
kemudian pada minggu ke-8, dan setiap bulannya selama pemberian
terapi. Selain neutrophil, enzim hati juga perlu rutin diperiksakan setiap
bulannya selama terapi (Rawlinson WD., 2017).

3. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang perlu dilakukan dari penatalaksanaan infeksi


CMV ini, yaitu lakukan pemeriksaan oftalmologis, auditorik, dan tumbuh
kembang secara rutin. Pemeriksaan oftalmologis perlu dilakukan
secepatnya sebelum terapi dimulai, ataupun setelah pemberian terapi.
Pemeriksaan auditori perlu dilakukan rutin setiap 6 bulan selama 3 tahun
pertama, dan dilakukan pemeriksaan lanjutan setiap tahunnya hingga usia
remaja. Tumbuh kembang anak harus rutin diperiksakan, terutama pada
usia 1 tahun pertama (Rawlinson WD., 2017).

4. Penatalaksanaan pada Pasien HIV/AIDS

Penatalaksanaan infeksi CMV pada pasien


dengan HIV/AIDS dilakukan apabila sudah adanya kerusakan organ,
umumnya pada kondisi retinitis. Pemberian obat antiretroviral (ART)
sebagai manajemen terapi HIV/AIDS tetap dilanjutkan. Manajemen terapi
ditambahkan dengan obat yang diperlukan untuk kondisi kerusakan organ,
contohnya pada kasus retinitis pemberian antivirus secara intravitreus,
seperti gansiklovir dikatakan memiliki manfaat untuk mencegah
perburukan retinitis yang cepat. Pada kasus pneumonitis, ataupun adanya
gangguan sistem saraf tepi, pemberian antivirus gansiklovir juga diberikan
sebagai tambahan terapi pada kasus infeksi CMV pada pasien dengan
riwayat HIV/AIDS

Pada kasus infeksi CMV terkait dengan pasien HIV/AIDS yang


sudah mengalami kegagalan fungsi organ, terutama retinitis, terapi
letermovir juga dapat dijadikan sebagai pengobatan. Pengobatan dengan
letermovir sendiri sudah terbukti dapat menyembuhkan retinitis dan angka
kekambuhan dapat diminimalisir dengan letermovir. Selain sebagai
pengobatan utama, letermovir juga dapat digunakan sebagai terapi lini
kedua, apabila pengobatan dengan lini pertama (gansiklovir atau
valgansiklovir) gagal (Turner N., 2019).

5. Penatalaksanaan pada Pasien dengan Riwayat Transplantasi Organ

Penatalaksanaan infeksi CMV sebaiknya sudah dilakukan dengan


terapi profilaksis pada semua pasien yang akan melakukan transplantasi
organ. Pemberian terapi bertujuan untuk menekan terjadinya replikasi
virus sebelum timbulnya manifestasi klinis infeksi CMV pada pasien.
Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antiviral, seperti gansiklovir
atau valgansiklovir, baik secara oral maupun intravena. Pemberian terapi
antiviral profilaksis ini dilakukan selama 90-180 hari dan pemberian terapi
antiviral dilanjutkan selama 2-3 minggu setelah transplantasi organ sampai
dipastikan dengan hasil serologi yang negatif (Azevedo L., 2015).
Letermovir menjadi obat alternatif pilihan sebagai terapi infeksi CMV dan
juga dapat digunakan sebagai terapi profilaksis pada pasien yang akan
menjalani transplantasi organ (Turner N., 2019).

6. Tata Laksana Infeksi CMV Resisten Obat

Gansiklovir dan valgansiklovir menjadi pilihan obat utama


terhadap kasus infeksi CMV, namun adanya mutasi pada protein virus,
seperti pada protein kinase (UL97) atau polymerase (UL54), dapat
menyebabkan terjadinya resistensi terhadap pemberian gansiklovir
ataupun valgansiklovir. Pasien yang mengkonsumsi gansiklovir dalam
jangka waktu panjang, seperti pemberian profilaksis ataupun pengobatan
berulang juga cenderung meningkatkan angka kejadian dari resistensi obat
gansiklovir tersebut. Umumnya resistensi gansiklovir ini seringkali
didapatkan pada pasien dengan status imunokompromais atau pada pasien
dengan riwayat transplantasi organ.

FDA sempat mengeluarkan cidofovir dan foscarnet sebagai obat


alternatif terhadap kasus resisten obat lini pertama. Namun, mutasi yang
terjadi pada gen UL97 akan menyebabkan terjadinya resistensi terhadap
gansiklovir, sedangkan mutasi yang terjadi pada gen UL54 akan
menyebabkan resistensi terhadap gansiklovir, cidofovir, dan foscarnet.
Selain itu, dikarenakan efek samping insufisiensi renal yang tinggi dan
adanya kelainan darah neutropenia yang dihasilkan, maka kedua obat ini
sudah tidak lagi dijadikan pilihan obat alternatif pada pasien dengan
resistensi gansiklovir. Obat alternatif yang sudah disetujui oleh FDA saat
ini sebagai terapi pengganti lini utama, yaitu letermovir. Letermovir
terbukti sensitif terhadap virus CMV, sekalipun mengalami mutasi, serta
pengobatan letermovir dapat digunakan sebagai terapi profilaksis dan
digunakan dalam jangka panjang (Turner N., 2019).

7. Tata Laksana Multi Disiplin Ilmu

Pada infeksi CMV kongenital, perlu dilakukan observasi selama


tumbuh kembang anak untuk melihat perkembangan dari sistem saraf.
Pemeriksaan oftalmologis bersama dengan dokter spesialis mata perlu
dilakukan secara rutin. Pemeriksaan auditorik juga sebaiknya dilakukan
setiap 6 bulan hingga usia 3-5 tahun dikarenakan tuli sensorineural yang
terjadi dapat baru bermanifestasi pada usia 1-5 tahun. Selain itu,
kemampuan anak berpikir dan intelegensi anak pun harus dinilai selama
masa tumbuh kembang untuk mendeteksi dini adanya sekuele menetap
dari kelainan sistem saraf yang terkena (Dietrich M., 2019).

Pada infeksi CMV dewasa, perlu diperhatikan kemajuan dari terapi


antiviral yang diberikan, karena tingginya kemungkinan kejadian resistensi
obat. Observasi terhadap fungsi ginjal dan hematologi diperlukan untuk
melihat kemajuan terapi. Selain itu, komplikasi yang mengancam nyawa
seperti gagal napas juga perlu dilakukan penanganan cepat dan umumnya
membutuhkan perawatan di ruang intensif (Li X, 2018).
BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Perawatan Anak

I. Biodata

A. Identitas Klien

1. Nama/Nama panggilan :

2. Tempat tgl lahir/usia :

3. Jenis kelamin :

4. A g a m a :

5. Pendidikan :

6. Alamat :

7. Tgl masuk :

8. Tgl pengkajian

9. Diagnosa medik :

10. Rencana terapi :

B. Identitas Orang tua


1. Ayah

a. N a m a :

b. U s i a :

c. Pendidikan :

d. Pekerjaan/sumber penghasilan :

e. A g a m a :

f. Alamat :

2. Ibu

a. N a m a :

b. U s i a :

c. Pendidikan :

d. Pekerjaan/Sumber penghasilan:

e. Agama :

f. Alamat :

C. Identitas Saudara Kandung

STATUS
No NAMA USIA HUBUNGAN
KESEHATAN
II. Keluhan Utama/Alasan Masuk Rumah Sakit

Keluhan utama saat pengkajian


: Keluhan masuk rumah
sakit :

III. Riwayat Kesehatan

A. Riwayat Kesehatan Sekarang :

B. Riwayat Kesehatan Lalu (khusus untuk anak usia 0 – 5 tahun)

1. Prenatal care

a. Pemeriksaan kehamilan : kali

b. Keluhan selama hamil : perdarahan ,PHS ,


infeksi , ngidam

Muntah-muntah , demam , perawatan selama


hamil

c. Riwayat : terkena sinar , terapi obat

d. Kenaikan BB selama hamil Kg

e. Imunisasi TT kali

f. Golongan darah ibu Golongan


darah ayah

2. Natal

a. Tempat melahirkan : RS , Klinik , Rumah


b. Lama dan jenis persalinan : spontan , forceps ,
operasi,

lain-lain

c. Penolong persalinan : dokter , bida , dukun

d. Cara untuk memudahkan persalinan : drips , obat


perangsang

e. Komplikasi waktu lahir : robek perineum ,


infeksi nifas

3. Post natal

a. Kondisi bayi : BB lahir gram, PB cm

b. Apakah anak mengalami : penyakit kuning , kebiruan


, kemerahan

problem menyusui , BB tidak stabil

(Untuk semua Usia)

¤ Penyakit yang pernah dialami : Batuk , demam ,


diare ,

kejang ,lain-lain

¤ Kecelakaan yang dialami : jatuh ,tenggelam ,lalu lintas


, keracunan

¤ Pernah alergi : makanan , obat–obatan ,zat/subtansi kimia


, textil

¤ Komsumsi obat-obatan bebas

¤ Perkembangan anak dibanding saudara-saudaranya : lambat


, sama , cepat
C. Riwayat Kesehatan Keluarga

¤ Penyakit anggota keluarga : alergi , asma , TBC


, hipertensi , penyakit jantung , stroke
, anemia , hemofilia , artritis
, migrain ,DM , kanker ,
jiwa

¤ Genogram

IV. Riwayat Immunisasi

NO Jenis immunisasi Waktu pemberian Reaksi setelah pemberian


1. BCG
2. DPT (I,II,III)
3. Polio (I,II,III,IV)
4. Campak
5. Hepatitis
6 Imunisasi Lainnya
……………..
…………….
……………..

V. Riwayat Tumbuh Kembang A. Pertumbuhan Fisik

1. Berat badan :

2. Tinggi badan ;

3. Waktu tumbuh gigi bulan, Tanggal gigi tahun


B. Perkembangan Tiap tahap

Usia anak saat

1. Berguling :

2. Duduk :

3. Merangkap : 4. Berdiri : 5. berjalan :

6. Senyum kepada orang lain pertama kali :

7. Bicara pertama kali :

8. Berpakaian tanpa bantuan :

VI. Riwayat Nutrisi

A. Pemberian ASI

1. Pertama kali disusui :

2. Cara pemberian : Setiap kali menangis , terjadwal

3. Lama pemberian tahun

B. Pemberian susu formula

1. Alasan pemberian :

2. Jumlah pemberian :

3. Cara pemberian : dengan dot , sendok

C. Pola perubahan nutrisi tiap tahap usia sampai nutrisi saat ini

Usia Jenis Nutrisi Lama Pemberian


1. 0 – 4 Bulan

2. 4 – 12 Bulan

3. Saat ini

VII. Riwayat Psikososial

¤ Apakah anak tinggal di : apartemen , rumah sendiri


, kontrak

¤ Lingkungan berada di : kota , setengah kota


, desa ¤ Apakah rumah dekat : sekolah , ada tempat
bermain , punya kamar tidur sendiri

¤ Apakah ada tangga yang bisa berbahaya ,Apakah


anak punya ruang bermain

¤ Hubungan antar anggota keluarga : harmonis ,berjauhan

¤ Pengasuh anak : Orang tua , Baby sister pembantu


, nenek/kakek

VIII. Riwayat Spiritual

¤ Support sistem dalam keluarga :

¤ Kegiatan keagamaan :

IX. Reaksi Hospitalisasi

REAKSI ANAK

A. Usia Bayi
Menangis keras (Ya / Tidak)

Pergerakan tubuh yang banyak (Ya / Tidak)

Ekspresi wajah yang tak menyenangkan (Ya / Tidak)

B. Usia Toddler

Menangis (Ya / Tidak), menjerit(Ya / Tidak), menolak perhatian orang lain


(Ya / Tidak) Putus asa menangis berkurang (Ya / Tidak), Anak tak aktif (Ya /
Tidak), Kurang menunjukkan minat bermain (Ya / Tidak), sedih(Ya / Tidak),
apatis (Ya / Tidak) Pengingkaran/ denial (Ya / Tidak)

C. Usia Pra sekolah

Menolak makan (Ya / Tidak), Sering bertanya (Ya / Tidak), Menangis


perlahan (Ya /

Tidak), Tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan (Ya / Tidak),

D. Usia Sekolah reaksi agresif(Ya / Tidak), marah(Ya / Tidak), berontak(Ya /


Tidak),tidak mau bekerja sama dengan perawat(Ya / Tidak).

E. Usia Remaja

Menolak perawatan / tindakan yang dilakukan (Ya / Tidak) Tidak kooperatif


dengan petugas (Ya / Tidak), bertanya-tanya (Ya / Tidak), menarik diri (Ya /
Tidak) menolak kehadiran orang lain (Ya / Tidak)

REAKSI ORANG TUA

Takut (Ya / Tidak), cemas (Ya / Tidak),perasaan sedih (Ya / Tidak) dan frustasi
(Ya / Tidak)

X. Aktivitas sehari-hari

A. Nutrisi
Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit

1. Selera makan

2. Menu makan

3. Frekuensi makan

4. Makanan pantangan

5. Pembatasan pola makan

6. Cara makan

7. Ritual saat makan


B. Cairan

Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit

• Jenis minuman
• Frekuensi minum
• Kebutuhan cairan
• Cara pemenuhan

C. Eliminasi (BAB & BAK)

Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit

BAB (Buang Air Besar) :


1. Tempat pembuangan

2. Frekuensi (waktu)

3. Konsistensi

4. Kesulitan

5. Obat pencahar BAK


(Buang Air Kecil) :
1. Tempat pembuangan

2. Frekwensi
3. Warna dan Bau

4. Volume

5. Kesulitan

D. Istirahat tidur

Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit

1. Jam tidur

• Siang
• Malam
2. Pola tidur

3. Kebiasaan sebelum tidur

4. Kesulitan tidur

E. Olah Raga

Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit

1. Program olah raga

2. Jenis dan frekuensi

3. Kondisi setelah olahraga

F. Personal Hygiene

Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit

1. Mandi

- Cara

- Frekuensi

- Alat
mandi
2. Cuci rambut -
Frekuensi
- Cara

3. Gunting kuku

- Frekuensi

- Cara

4. Gosok gigi

- Frekuensi

- Cara

G. Aktifitas/Mobilitas Fisik

Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit

1. Kegiatan sehari-hari

2. Pengaturan jadwal harian 3.


Penggunaan alat bantu
aktivitas
4. Kesulitan pergerakan tubuh

H. Rekreasi

Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit

1. Perasaan saat sekolah

2. Waktu luang

3. Perasaan setelah
rekreasi
4. Waktu senggang klg
5. Kegiatan hari libur

XI. Pemeriksaan Fisik

A. Keadaan umum klien

Baik , Lemah , Sakit berat

B. Tanda-tanda vital

=Suhu :

=Nadi :

= Respirasi :

= Tekanan darah :

C. Antropometri

= Tinggi Badan :

= Berat Badan :

= Lingkar lengan atas :

= Lingkar kepala :

= Lingkar dada :

= Lingkar perut :

= Skin fold :

D. Sistem pernapasan

= Hidung : simetris , pernapasan cuping hidung , secret , polip


, epistaksis
= Leher : pembesaran kelenjar , tumor

= Dada

¤ Bentuk dada normal , barrel , pigeon chest

¤ Perbandingan ukuran AP dengan transversal

¤ Gerakan dada : simetris , terdapat retraksi , otot Bantu


pernapasan

¤ Suara napas : VF , Ronchi , Wheezing , Stridor


, Rales

= Apakah ada Clubbing finger :

E. Sistem Cardio Vaskuler

= Conjunctiva anemia/tidak, bibir pucat/cyanosis, arteri carotis :


kuat/lemah, tekanan vena jugularis : meninggi/tidak

= Ukuran jantung : Normal , membesar , IC/apex

= Suara jantung : S1 , S2 , Bising aorta , Murmur , gallop

= Capillary Refilling Time : detik

F. Sistem Pencernaan

= Sklera : Ikterus/tidak, bibir : lembab , kering ,


pecah-pecah , labio skizis

= Mulut : Stomatitis , palato skizis , Jml gigi ,Kemampuan


menelan : baik/sulit

= Gaster : kembung , nyeri , gerakan peristaltic

= Abdomen : Hati : teraba , lien , ginjal , faeces

=Anus : lecet , haemoroid


G. Sistem indra

1. Mata

- Kelopak mata , bulu mata , alis

- Visus (gunakan Snellen chard)

- Lapang pandang

2. Hidung

- Penciuman , perih dihidung , trauma , mimisan

- Sekret yang menghalangi penciuman

3. Telinga

- Keadaan daun telinga , kanal auditoris : bersih


, serumen - Fungsi pendengaran :

H. Sistem saraf

1. Fungsi cerebral

a.Status mental : Oreintasi , daya ingat , perhatian & perhitungan

, Bahasa

b. Kesadaran : Eyes , Motorik, Verbal ,dengan GCS

c.Bicara ekspresif , Resiptive

2. Fungsi cranial

a.N I

b. N II : Visus , lapang pandang

c.N III, IV, VI : Gerakan bola mata , pupil : isoskor , anisokor


d. N V : Sensorik , Motorik

e. N VII : Sensorik , otonom , motorik

f. N VIII : Pendengaran , keseimbangan

g. N IX :

h. N X : Gerakan uvula , rangsang muntah/menelan

i. N XI : Sternocledomastoideus , trapesius

j. N XII : Gerakan lidah

3. Fungsi motorik : Massa otot , tonus otot ,kekuatan otot

4. Fungsi sensorik : Suhu , Nyeri , getaran , posisi ,

diskriminasi

5. Fungsi cerebellum : Koordinasi , keseimbangan

6. Refleks : Bisep , trisep , patella , babinski

7. Iritasi meningen : Kaku kuduk , laseque sign , Brudzinki I /II

I. Sistem Muskulo Skeletal

1. Kepala : Bentuk kepala , gerakan

2. Vertebrae : Scoliosis ,Lordosis ,kyposis ,gerakan ,


ROM ,Fungsi gerak

3. Pelvis : Gaya jalan , gerakan , ROM ,


Trendelenberg test , Ortolani/Barlow

4. Lutut : Bengkak , kaku , gerakan , Mc Murray test ,


Ballotement test
5. Kaki : bengkak , gerakan , kemampuan jalan , tanda
tarikan

6. Tangan : bengkak , gerakan , ROM

J. Sistem Integumen

= Rambut : Warna , Mudah dicabut

= Kulit : Warna , temperatur , kelembaban , bulu kulit ,


erupsi tai lalat , ruam , teksture
= Kuku : Warna , permukaan kuku , mudah patah ,kebersihan
K. Sistem Endokrin

= Kelenjar thyroid :

= Ekskresi urine berlebihan , poldipsi , poliphagi

= Suhu tubuh yang tidak seimbang , keringat berlebihan

= Riwayat bekas air seni dikelilingi semut

L. Sistem Perkemihan

= Oedema palpebra , moon face , oedema anasarka

= Keadaan kandung kemih

= Nocturia , dysuria , kencing batu

M. Sistem Reproduksi
1. Wanita

- Payudara : Putting , aerola mammae , besar

- Labia mayora & minora bersih , secret , bau

2. Laki-laki
- Keadaan glans penis : uretra , kebersihan

- Testis sudah turun

- Pertumbuhan rambut : kumis , janggut , ketiak

- Pertumbuhan jakun , perubahan suara

N. Sistem Imun

= Alergi (cuaca , debu , bulu binatang , zat kimia


)

= Penyakit yang berhubungan dengan perubahan cuaca : flu , urticaria,


lain-lain

XI. Pemeriksaan Tingkat Perkembangan

A. 0 – 6 Tahun

Dengan menggunakan DDST

Motorik kasar

Motorik halus

Bahasa

Personal social

B. 6 tahun keatas
Perkembangan
kognitif

Perkembangan Psikoseksual

Perkembangan Psikososial

XII. Test Diagnostik


= Laboratorium

= Foto Rotgen

= CT Scan

= MRI, USG, EEG, ECG dll

XIII. Terapi saat ini (ditulis dengan rinci)

XIV. Pengkajian Tambahan

B. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d mucus berlebihan

2. Hipertermi b/d Penyakit atau trauma

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d penurunan intake


makanan

4. Defisiensi pengetahuan b/d kurangnya informasi

C. Rencana/intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil


Intervensi (NIC)
Keperawatan (NOC)

Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan 1. Manajemen jalan nafas


bersihan jalan keperawatan 1x24 jam - Identifikasi kebutuhan
nafas b.d mucus pasien menunjukkan actual/potensial pasien untuk
berlebihan keefektifan jalan nafas membuka jalan nafas
dengan kriteria hasil: - Posisikan pasien untuk
Batasan Status pernafasan: memaksimalkan ventilasi
karakteristik: Ventilasi - Lakukan fisioterapi dada,
- Batuk Status pernafasan: sebagaimana mestinya
- Produksi sputum kepatenan jalan nafas - Instruksikan batuk efektif,
Pencegahan Aspirasi dengan bernafas pelan, dalam,
- Gelisah
1. Mendemonstrasikan berputar dan batuk
- Perubahan batuk efektif dan suara - Lakukan penyedotan lendir jika
frekuensi dan irama nafas yang bersih, tidak memungkinkan
nafas ada sianosis dan - Berikan bantuan terapi nafas jika
dyspneu memungkinkan (Nebulizer)
2. Menunjukkan jalan 2. Monitor pernafasan
nafas yang paten - Monitor kecepatan, irama,
3. Saturasi O2 dalam batas kedalaman dan kesulitan bernafas
normal - Monitor suara nafas tambahan
ngoorok atau mengi
- Monitor pola nafas
- Monitor saturasi oksigen sesuai
protokol
- Catat pergerakan dada,
ketidaksimetrisan, penggunaan
otot-otot bantu pernafasan
-

Hipertermi b/d Setelah diberikan intervensi Aktivitas Keperawatan


Penyakit atau keperawatan selama 1 x 24 1. Pantau aktivitas kejang
trauma jam klien akan menunjukkan 2. Pantau hidrasi (misalnya, turgor
Termoregulasi, yang kulit, kelembaban, membran
dibuktikan oleh indikator mukosa)
Batasan sebagai berikut (sebutkan 1- 3. Pantau tekanan darah, denyut nadi,
Karakteristik : 5: gangguan ekstrem, berat, dan frekuensi pernafasan.
- Kulit merah sedang, ringan, atau tidak 4. Kaji ketepatan jenis pakaian yang
- Suhu tubuh ada ganggun ): digunakan, sesuai dengan suhu
meningkat diatas lingkungan.
 Peningkatan suhu tubuh
rentang normal 5. Regulasi suhu (NIC):
 Hipertermia
- (Frekwensi nafas - Pantau suhu minimal setiap
 Dehidrasi
meningkat) dua jam sesuai dengn
 Mengantuk
- Kejang atau kebutuhan
Setelah diberikan intervensi
konvulsi
keperawatan selama … Aktivitas Kolaboratif
- Kulit teraba klien akan menunjukkan 1. Regulasi suhu: berikan obat anti
hangat Termoregulasi, yang piretik, jika perlu
- Takikardia dibuktikan oleh indikator 2. Gunakan matras dingin dan mandi
- Takipnea sebagai berikut (sebutkan 1- air hangat untuk mengatasi
5: gangguan ekstrem, berat, gangguan suhu tubuh, jika perlu.
sedang, ringan, atau tidak
ada gangguan ): Aktivitas Lain
 Berkeringat saat panas 1. Lepaskan pakaian yang berlebihan
 Denyut nadi radialis dan tutupi pasien dengan selimut
 Frekuensi pernapasan. saja
Setelah diberikan intervensi 2. Gunakan waslap dingin (kantong
keperawatan selama … klien es yang dibalut dengan kain) di
axilla, dahi, tengkuk, dan lipatan
dan keluarga akan: paha.
Gunakan selimut pendingin
 Menunjukkan metode
yang tepat untuk
mengukur suhu
 Menjelaskan tindakan
untuk mencegah atau
meminimalkan
peningkatan suhu tubuh.
Melaporkan tanda dan
gejala dini hipertermia.
Ketidakseimbangan Setelah dilakukan asuhan Manajemen gangguan makan:
nutrisi kurang dari keperawatan 2x24 jam 1. Kolaborasi dengan tim kesehatan
kebutuhan b/d nutrisi dapat terpenuhi lain untuk mengembangkan
penurunan intake dengan kriteria hasil: rencana perawatan dengan
makanan melibatkan klien dan orang-orang
Status nutrisi: Asupan
terdekatnya dengan tepat
Batasan makanan dan cairan:
2. Tentukan pencapaian berat badan
Karakteristik :
 Asupan makanan secara harian sesuai keinginan
- Berat badan 20% oral 3. Rundingkan dengan ahli gizi dalam
atau lebih di  Asupan makan secara menentukan asupan kalori harian
bawah rentang tube feeding yang diperlukan untuk
berat badan ideal  Asupan cairan secara oral mempertahankan berat badan yang
- Bising usus  Asupan nutrisi parenteral sudah ditentukan
heperaktif 4. Monitor tanda-tanda fisiologis
- Ketidakmampua Status nutrisi: Asupan (tanda-tanda vital, elektrolit), jika
nutrisi: diperlukan
n memakan
makanan 5. Timbang berat badan klien secara
 Asupan kalori
rutin (pada hari yang sama dan
- Kurang minat  Asupan protein
setelah bab/bak)
pada makanan  Asupan lemak
6. Monitor intake/asupan dan asupan
- Nyeri abdomen  Asupan karbohidrat
cairan secara tepat
- Penurunan berat  Asupan serat
badan dengan  Asupan vitamin
asupan makan  Asupan mineral Manajemen nutrisi
adekuat  Asupan zat besi
 Asupan kalsium 1. Tenttukan status gizi pasien dan
 Asupan natrium kemampuan (pasien) untuk
memenuhi kebutuhan gizi
2. menjadi preferensi makanan bagi
pasien
3. Tentukan jumlah kalori dan jenis
nutrisi yang dibutuhkan untuk
memenuhi persyaratan gizi
4. Monitor kalori dan asupan makanan
5. Monitor kecenderungan terjadinya
penurunan dan kenaikan berat
badan
Bantuan peningkatan berat badan

1. Timbang pasien pada jam yang


sama setiap hari
2. Diskusikan kemungkinan penyebab
berat badan berkurang
3. Monitor mual muntah
4. Kaji penyebab mual muntah dan
tangani dengan tepat
5. Berikan obat-obatan untuk
meredakan nyeri mual dan nyeri
sebelum makan
6. Monitor asupan kalori setiap hari

Monitor nilai albumin, limosit, dan


nilai elektrolit
Defisiensi Setelah dilakukan tindakan Pengajaran: proses penyakit
pengetahuan b/d keperawatan selama 1 x 24
- Buat hubungan perawata-klien
kurangnya jam diharapkan klien dapat
yang mendukung dan terus-
informasi memahami proses dan
menerus
aperjalanan/ perubahan
Batasan - Evaluasi pengetahuan dan
fisiologis yang sebenarnya.
karakteristik: keyakinan budaya saat ini
Pengetahuan: perilaku berkenaan dengan perubahan
- Memverbalisasik keseatan fisiologis/psikologis yang normal
an adanya pada kehamilan, serta keyakinan
masalah Dengan kriteria hasil:
tentang aktivitas, perawatan diri
- Ketidakakuratan - Menjelaskan dan sebagainya
mengikuti perubahan - Klarifikasi kesalahpahaman
instruksi fisilogis/psikologis - Pertahankan sikap terbuka terhadap
normal berkaitan keyakinan klien atau pasangan
- Perilaku tidak dnegan kehamilan - Berikan bimbingan antisipasi.
sesuai trimester pertama Meliputi diskusi tentang nutrisi,
- Menunjukkan latihan, tindakan yang nyaman,
perilaku perawatan istirahat, pekerjaa, perawatan
diri sendiri yang payudara, aktivitas seksual dan
meningkatkan kebiasaan gaya hidup sehat
kesehatan - Diskusikan perkebangan anak
- Mengidentifikasi dengan menggunakan gambar
tanda-tanda bahaya
kehamilan
D. Penyimpangan KDM

Faktor risiko: hubungan seksual


tidak aman, transmisi darah
jarum suntik terkontaminasi

Terpapar cairan tubuh yang terdapat


Ibu dengan CMV yang HIV menyerang limfosit T CD4 CMV (urine, saliva, darah, sperma,
melahirkan anaknya lendri vagina, transplantasi organ)

Menurunnya jumlah CD4

Kongenital Akut-didapat
AIDS (immunosupresan)

Citomegalovirus

Invasi virus memicu Reaksi makrofag, leukosit Reaksi hipermetabolik Kurang


respon inflamasi yang memfagosit virus terpapar
informasi
mengenai
Pelepasan mediator Penurunan nafsu makan
Peningkatan produksi penyakit
peradangan seperti
prostaglandin sputum Defisiensi
pengetahuan
Intake tidak mencukupi
Memicu pusat termostaf Batuk ridak efektif
hipotalamus
Ketidakseimbangan
Peningkatan suhu tubuh Ketidakefektifan bersihan nutrisi kurang dari
(>37,5) jalan nafas kebutuhan tubuh

Hipertermi
Referensi

Alford, B. W. (2010). Ilmu keperawatan anak Nelson (Vol. 3). Jakarta: EGC.

Azevedo L, Pierrotti L, Costa S, Strabelli T, Campos S, Ramos J, et al. (2015).


Cytomegalovirus infection in transplant recipients. Clinics; 70(7): 515-
523.

Beltran P, Cristea I. (2014). The life cycle and pathogenesis of human


cytomegalovirus infection: lessons from proteomics; 11(6): 697-711.

Bulechek, G. M., M Dochterman, J., & Butcher, H. (2013). Nursing Intervention


Classification (NIC) Edisi Bahasa Indonesia. Philadelphia: Elsevier.

Dietrich M, Schieffelin J. (2019). Congenital cytomegalovirus infection. Ochsner


Journal; 19:123-130.

Griffiths P, Baraniak I, Reeves M. (2015). The pathogenesis of human


cytomegalovirus. Journal of Pathology; 235:288-297.

Internasional, N. (2014). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015 -


21017 Edisi 10. Jakarta: EGC.

Kim, C. S. (2010). Congenital and perinatal cytomegalovirus infection. Korean


Journal of Pediatric , 53(1), 1420.

Li X, Huang Y, Xu Z, Zhang R, Liu X, Li Y, et al. (2018). Cytomegalovirus


infection and outcome in immunocompetent patients in the intensive care
unit: a systematic review and meta-analysis. BMC Infection; 18: 1-10.

Marsico C, Kimberlin D. (2017). Congenital Cytomegalovirus infection: advances


and challenges in diagnosis, prevention, and treatment. Italian Journal of
Pediatrics; 43(38): 1-8
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC) Pengukuran Outcomes Kesehatan. Philadelphia:
Elsevier.

Novi H. Rampengan. (2015). Diagnosis Infeksi Sitomegalovirus Pada Bayi Dan


Anak. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 7, Nomor 3.

Oronzio, U. A. (2015). Congenital cytomegalovirus infection. Bern: Swiss Society


of Neonatology.

Rawlinson, W. D. (2017). Congenital Cytomegalovirus Infection in Pregnancy


and the Neonate: Consensus Recommendations for Prevention, Diagnosis,
and Therapy. Lancet Infect Dis, 17(6).

Schleiss MR. (2010). Infectious Disease : Antibiotic Therapy. In: Nelson


Textbook Of Pediatrics. 18th ed.Elsevier

Swanson E, Schleiss M. (2013). Congenital Cytomegalovirus Infection: New


Prospects for Prevention and Therapy. Pediatric Clinic North America;
60(2): 1-17.

Turner N, Strand A, Grewal D, Cox G, Arif S, Baker A, et al. (2019). Use of


Letermovir as Salvage Therapy for Drug-Resistant Cytomegalovirus
Retinitis. American Society for Microbiology; 63(3): 1-6

Yinon Y, Farine D, Yudin M. (2010). Cytomegalovirus Infection in Pregnancy.


SOGC Clinical Practice Guideline; 240:1-7.

Keterangan partisipasi pembuatan Laporan Pendahuluan:

1. Kuning: Riventi Plai’Kamoda


2. Biru : Suriyanti
3. Hijau : Flavia

Anda mungkin juga menyukai