BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. KLASIFIKASI
Klasifikasi CMV sangat bervariasi, dapat dibagi atas beberapa kondisi, yaitu : (Rawlinson
et al, 2003; Soedarmo dkk, 2008)
A. Infeksi CMV Kongenital.
a. Infeksi Akut
Manifestasi klinis yang umum terjadi dapat berupa hepatomegali, splenomegali,
petekia, ikterus, mikrosefali, karioretinitis dan intrauterine growth retardation (IUGR).
Selain karioretinitis, kelainan mata yang jarang ditemukan adalah mikroftalmus, katarak,
nekrosis retina, kebutaan, malformasi camera oculi anterior (COA), malformasi diskus
optikus. Apabila ditemukan mikroftalmus dan katarak maka dapat diduga bahwa kelainan
tersebut bukan disebabkan oleh CMV. Akibat infeksi kongenital, pertumbuhan janin
menjadi terhambat. Berat badan bayi yang menderita infeksi CMV kongenital secara
bermakna lebih rendah dari bayi sehat.
b. Penyakit Lanjut
Tulis sensoris merupakan kecacatan yang paling sering ditemukan, dan CMV
merupakan virus tersering yang menyebabkan gangguan psikomotor yang ditemukan
bersamaan dengan gangguan neurologik dan mikrosefal.
B. Infeksi CMV perinatal
Harus dipastikan bahwa infeksi CMV bukanlah infeksi kongenital. Masa inkubasi infeksi
CMV perinatal antara empat sampai 12 minggu. Kebanyakan infeksi CMV perinatal
asimtomatik dan berasal dari reaktivasi atau infeksi rekurens oleh karena mempunyai kadar
4
antibodi yang beragam. Manifestasi klinis yang sering dijumpai adalah pneumonitis pada
bayi berusia kurang dari empat bulan, prematuritas, hepatosplenomegali, neutropenia,
limfositosis dan trombositopenia.
C. Infeksi CMV akibat tranfusi darah, transplantasi jaringan, dan individu dengan
immunocompromised
Pada individu immunocompromised, risiko infeksi CMV meningkat untuk mendapatkan
infeksi primer dan infeksi ulang. Infeksi primer dengan manifestasi berupa pneumonitis,
hepatitis, korioretinitis, penyakit gastrointestinal, atau demam dengan leukopeni, seringkali
berakibat fatal. Komplikasi yang sering terjadi yaitu perdarahan dan perforasi
gastrointestinal, namun pankreatitis dan kolesistitis juga dapat terjadi. Retinitis dan penyakit
gastrointestinal merupakan manifestasi yang umum dapat ditemukan pada pasien HIV yang
terinfeksi CMV. Tetapi dengan tingginya aktivitas pengobatan dengan antiretroviral pada
pasien HIV saat ini, secara signifikan menurunkan insidensi CMV yang menimbulkan
beberapa kelainan atau keluhan.
Insidensi infeksi CMV pada pasien HIV positif mendekati 100 %, dan umumnya menjadi
pencetus infeksi dengan multiple srain. Penerima transplantasi tulang belakang dan stem
cell merupakan kelompok dengan risiko tinggi yang terancam pneumonitis CMV, penerima
donor organ-organ padat lebih sering terinfeksi CMV sehingga mengalami hepatitis. Infeksi
CMV juga dihubungkan dengan penolakan organ trasnplantasi yang bersifat kronik,
terutama pada organ-organ padat yang diterima resipien dengan CMV yang dihubungkan
dengan penyakit terminal. Penerima organ yang seronegatif dari donor yang seropositif
merupakan faktor risiko yang sifgnifikan untuk perkembangan menjadi penyakit CMV dan
meningkatkan risiko untuk terjadi infeksi bakterial sekunder dan infeksi jamur.
D. Infeksi CMV pada orang dewasa
Pada sebagian orang, infeksi primer CMV pada saat dewasa menimbulkan infeksi
mononukleosis (suatu kondisi di mana terdapat proliferasi monosit yang luar biasa di dalam
darah), gejalanya mirip infeksi yang disebabkan oleh Epstein Barr virus (EBV), bersifat
menular dengan gejala demam berkepanjangan, hepatitis ringan, sakit tenggorokan, rash
(bintik merah) di tubuh, pembengkakan kelenjar limfe di leher, rasa lelah hebat, kehilangan
nafsu makan, sakit kepala, nyeri otot dan pembesaran lien. Setelah infeksi, virus tetap
tersembunyi di dalam tubuh manusia. HCMV jarang menimbulkan penyakit parah kecuali
jika kekebalan tubuh tertekan oleh obat-obatan, infeksi atau usia tua. Penularan virus ini
berlangsung cepat tanpa tanda-tanda atau gejala. Gejala ini, sebagaimana gejala flu, bisa
sembuh sendiri tanpa diobati, cukup beristirahat dua sampai enam minggu.
5
3. ETIOLOGI
Cytomegalovirus (CMV) merupakan penyebab infeksi kongenital dan perinatal yang
paling umum di seluruh dunia. Prevalensi infeksi CMV kongenital bervariasi luas di antara
populasi yang berbeda, ada yang melaporkan sebesar 0,2 –3% 5, ada pula sebesar 0,7
sampai 4,1%. Peneliti lain mendapatkan angka infeksi 1%-2% dari seluruh kehamilan.
Ogilvie melaporkan bahwa penularan seperti ini terjadi kira-kira pada 1 dari 3 kasus wanita
hamil. Infeksi fetus in utero yang terjadi ketika ibu mengalami reaktivasi, reinfeksi, biasanya
bersifat asimtomatik saat lahir dan kurang menimbulkan sequelae (gejala sisa) dibandingkan
dengan infeksi primer. Hal ini disebabkan karena antibodi IgG anti-CMV maternal dapat
melewati plasenta dan bersifat protektif. Keadaan asimtomatik saat lahir dijumpai pada 5 –
17%, ada pula yang melaporkan 90% dari infeksi CMV kongenital. Infeksi kongenital
simtomatik dapat terjadi bila ibu terinfeksi dengan strain CMV lain. Numazaki melaporkan
sekitar 7% kasus dengan gejala cytomegalic inclusion disease (CID) dijumpai pada saat
lahir, sedangkan Lipitz melaporkan sebesar 10–15%, dan dapat menimbulkan risiko
kehilangan pendengaran sensorineural yang progresif (progressive sensorineural hearing
loss atau SNHL), atau lain-lain defek perkembangan neurologik (retardasi mental) di
kemudian hari. Progresivitas komplikasi neurologic ini berhubungan dengan infeksi CMV
yang persisten, replikasi virus atau respons tubuh anak (Budipardigdo, 2007).
4. FAKTOR RESIKO
Infeksi CMV lebih utama terjadi pada individu yang berada dalam keadaan immature
(belum matang), immunosuppressed (respons imun tertekan) atau immunocompromised
(respons imun lemah). Pada kondisi sistem imun yang tertekan atau lemah, tidak atau
kurang atau belum mampu membangun respon imun, baik seluler maupun humoral,
sehingga menimbulkan nekrosis atau kematian jaringan yang berat. Infeksi HCMV menjadi
penting untuk kelompok risiko tinggi, yaitu Ibu saat sebelum atau sesudah kelahiran bayi,
fetus, neonatus, bayi, penerima transplantasi organ, penderita leukemia, pernderita HIV,
usia tua, mengkonsumsi obat-obatan imunosupresi, dan penderita cancer atau keganasan.
(Chin, 2000; Ryan et al, 2004; Lisyani, 2007).
5. PATOFISIOLOGI
A. PATOGENESIS INFEKSI
CMV adalah virus litik yang menyebabkan efek sitopatik in vitro dan in vivo. Efek
patologis infeksi CMV adalah sel yang membesar dengan badan inklusi virus (viral
inclusion bodies). Sel yang terkena sitomegali juga terlihat pada infeksi yang
disebabkan oleh Betaherpesvirinae lain. Secara mikroskopis, sebutan bagi sel ini
adalah mata burung hantu. Walaupun merupakan suatu dasar diagnosis, tampilan
6
histologis seperti ini hanya ada sedikit atau tidak ada pada organ terinfeksi (Akhter &
Wills, 2010).
Virus CMV memasuki sel dengan cara terikat pada reseptor yang ada di permukaan
sel inang, kemudian menembus membran sel, masuk ke dalam vakuole di sitoplasma,
lalu selubung virus terlepas, dan nucleocapsid cepat menuju ke nukleus sel inang
(uncoating) (Budipardigdo, 2007)
Riwayat infeksi CMV sangat kompleks, setelah infeksi primer, virus diekskresi melalui
beberapa tempat dan ekskresi virus dapat menetap beberapa minggu, bulan, bahkan
tahun sebelum virus hidup laten. Episode infeksi ulang sering terjadi, karena reaktivasi
dari keadaan laten dan terjadi pelepasan virus lagi. Infeksi ulang juga dapat terjadi
eksogen dengan strain lain dari CMV. Infeksi CMV dapat terjadi setiap saat dan
menetap sepanjang hidup. ”Sekali terinfeksi, tetap terinfeksi”, virus hidup dormant
dalam sel inang tanpa menimbulkan keluhan atau hanya keluhan ringan seperti
common cold. Replikasi virus merupakan faktor risiko penting untuk penyakit dengan
manifestasi klinik infeksi CMV. Penyakit yang timbul melibatkan peran dari banyak
molekul baik yang dimiliki oleh CMV sendiri maupun molekul tubuh inang yang terpacu
aktivasi atau pembentukannya akibat infeksi CMV. CMV dapat hidup di dalam
bermacam sel seperti sel epitel, endotel, fibroblas, leukosit polimorfonukleus, makrofag
yang berasal dari monosit, sel dendritik, limfosit T (CD4 + , CD8+), limfosit B, sel
progenitor granulosit-monosit. Dengan demikian berarti CMV menyebabkan infeksi
sistemik dan menyerang banyak macam organ antara lain kelenjar ludah, tenggorokan,
paru, saluran cerna, hati, kantong empedu, limpa, pankreas, ginjal, adrenal, otak atau
7
sistem syaraf pusat. Virus dapat ditemukan dalam saliva, air mata, darah, urin, semen,
sekret vagina, air susu ibu, cairan amnion dan lain-lain cairan tubuh. Ekskresi yang
paling umum ialah melalui saliva, dan urin dan berlangsung lama, sehingga bahaya
penularan dan penyebaran infeksi mudah terjadi. Ekskresi CMV pada infeksi kongenital
sama seperti pada ibu, juga berlangsung lama (Budipardigdo, 2007).
Reaktivasi, replikasi dan reinfeksi umum terjadi secara intermiten, meskipun tanpa
menimbulkan keluhan atau kerusakan jaringan. Replikasi DNA virus dan pembentukan
kapsid terjadi di dalam nukleus sel inang. Sel-sel terinfeksi CMV dapat berfusi satu
dengan yang lain, membentuk satu sel besar dengan nukleus yang banyak. Endothelial
giant cells (multinucleated cells) dapat dijumpai dalam sirkulasi selama infeksi CMV
menyebar. Sel berinti ganda yang membesar ini sangat berarti untuk menunjukkan
replikasi virus, yaitu apabila mengandung inklusi intranukleus berukuran besar seperti
mata burung hantu (owl eye) (Budipardigdo, 2007).
Respons imun seseorang memegang peran penting untuk mengeliminasi virus yang
telah menyebabkan infeksi. Pada kondisi kompetensi imun yang baik (imunokompeten),
infeksi CMV akut jarang menimbulkan komplikasi, namun penyakit dapat menjadi berat
bila individu berada dalam keadaan immature (belum matang), immunosuppressed
(respons imun tertekan) atau immunocompromised (respons imun lemah), termasuk ibu
hamil dan neonatus, penderita HIV (human immunodeficiency virus), penderita yang
mendapatkan transplantasi organ atau pengobatan imunosupresan dan yang menderita
penyakit keganasan. Pada kondisi tersebut, sistem imun yang tertekan atau lemah,
belum mampu membangun respons baik seluler maupun humoral yang efektif,
sehingga dapat mengakibatkan nekrosis atau kematian jaringan yang berat, bahkan
fatal (Budipardigdo, 2007).
Respons imun terhadap infeksi CMV sama seperti terhadap infeksi terhadap virus
pada umumnya, bersifat kompleks yang meliputi baik faktor atau komponen yang
berperan dalam respons imun seluler maupun humoral. Kontrol yang cepat, segera
pada infeksi akut dilakukan oleh sistem imun yang diperantarai sel yaitu sel NK (natural
killer), sel T CD8+ dan dengan bantuan sel T CD4+. Sel NK, anggota limfosit nonT-nonB
yang beredar dalam sirkulasi darah dan jaringan, merupakan komponen nonspesifik
dari sistem imun bawaan, akan mengenal sel inang yang terinfeksi virus, kemudian
menghancurkan sel tersebut dengan cara lisis proteolitik. Pada awal infeksi akut, dalam
respons imun spesifik, antigen virus diproses oleh makrofag antigen presenting cells
(APC), dipresentasikan ke sel limfosit T CD4+ (T helper) yang memproduksi sitokin dan
memicu proliferasi klon tunggal sel T sitotoksik atau sitolitik (CD8+) yang tersensitasi.
Sel T CD8+ yang teraktivasi kemudian secara spesifik akan menghancurkan sel inang
yang mengekspresikan antigen virus yang berikatan dengan major histocompatibility
8
complex (MHC) atau human leucocyte antigen (HLA) kelas I di permukaan sel. MHC
atau HLA kelas I dijumpai pada hampir semua sel berinti. Respons imun ini ditargetkan
terhadap bermacam antigen seperti protein IE1, IE2, gB dan pp 65. Sel T-CD4 + spesifik
juga memegang peran penting di dalam mengontrol infeksi virus dengan cara
melepaskan interferon γ ( IFN-γ ) yang kemudian mengaktifkan makrofag sebagai
fagosit. Imunitas yang diperantarai sel ini memegang peran utama untuk menekan
aktivitas virus yang menetap secara laten (Budipardigdo, 2007).
Respons imun humoral terbentuk karena fragmen antigen yang berikatan dengan
molekul MHC kelas II dipresentasikan oleh APC kepada limfosit T-CD4+. Produksi
sitokin terpacu untuk mengaktifkan sel B, kemudian sel B berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi atau imunoglobulin. IgM
muncul pertama kali, setelah itu dengan mutasi somatik yang terjadi pada limfosit B
yang terstimulasi antigen, maka akan terjadi isotype switching dan terbentuk isotype
immunoglobulin yang lain seperti IgG, IgA., IgE, dan IgD. Antibodi yang terbentuk pada
awalnya memiliki kekuatan mengikat antigen yang masih lemah, selanjutnya terjadi
affinity maturation terhadap sebagian dari sel B, sehingga menghasilkan antibodi yang
mampu mengikat antigen dengan kuat. Kekuatan ikatan antibodi terhadap antigen ini
disebut high-affinity dan high avidity. Antibodi IgG adalah yang paling utama melakukan
neutralisasi dan eliminasi terhadap CMV yang beredar dalam sirkulasi. IgG tersebut
adalah antibody anti-gB (anti-glikoprotein B) yang merupakan antibodi terhadap antigen
paling imunogenik dari amplop CMV (Budipardigdo, 2007).
CMV kongenital terjadi karena virus yang beredar dalam sirkulasi (viremia) ibu
menular ke janin. Kejadian transmisi seperti ini dijumpai pada kurang lebih 0,5– 1% dari
kasus yang mengalami reinfeksi atau rekuren. Viremia pada ibu hamil dapat menyebar
melalui aliran darah (per hematogen), menembus plasenta, menuju ke fetus baik pada
infeksi primer eksogen maupun pada reaktivasi, infeksi rekuren endogen, yang mungkin
akan menimbulkan risiko 6 tinggi untuk kerusakan jaringan prenatal yang serius. Risiko
pada infeksi primer lebih tinggi daripada reaktivasi atau ibu terinfeksi sebelum konsepsi.
Infeksi transplasenta juga dapat terjadi, karena sel terinfeksi membawa virus dengan
muatan tinggi. Transmisi tersebut dapat terjadi setiap saat sepanjang kehamilan, namun
infeksi yang terjadi sampai 16 minggu pertama, akan menimbulkan penyakit yang lebih
berat (Dwindra, 2009).
Respons imun pada fetus dan anak diperantarai sel yang terbentuk 1 minggu
sebelum respons humoral, mencapai puncak sama dengan respons humoral. Respons
imun seluler mulai dapat terdeteksi dengan baik pada umur fetus 22 minggu. Aktivasi
dan diferensiasi sel T CD4+ dapat terjadi, meskipun kemampuan untuk menghasilkan
IFN-γ masih lemah. Hasil suatu studi menyatakan bahwa peran sel T CD4+ spesifik
9
dengan frekuensi yang tinggi pada neonatus memungkinkan terjadi stimulasi terhadap
imunitas seluler, sehingga infeksi CMV kongenital bersifat asimtomatik. Respons imun
humoral dimulai pada 9 – 11 minggu kehamilan, namun kadar antibodi dalam sirkulasi
tetap rendah sampai pertengahan kehamilan, kecuali terdapat virus dalam titer tinggi
dan ada perkembangan reseptor antigen di permukaan sel keadaan ini, kadar antibodi
meningkat dengan predominan IgM. Pada infeksi kongenital, IgG maternal dapat
menembus plasenta masuk ke sirkulasi fetus, sedangkan IgM atau IgA yang terdeteksi
pada darah tali pusat neonatus, menunjukkan bahwa antibodi tersebut diproduksi oleh
fetus atau bayi sendiri yang terinfeksi secara vertikal dari ibu. Pada reaktivasi, antibodi
anti-CMV terbentuk adekuat, sebaliknya terjadi defek imunitas yang diperantarai sel
dengan penurunan jumlah sel NK dan T CD8+ (Budipardigdo, 2007).
B. VIROLOGI CMV
Virus Cytomegalovirus (CMV) termasuk keluarga virus Herpes. Sekitar 50% sampai
80% orang dewasa memiliki antibodi anti CMV. Infeksi primer virus ini terjadi pada usia
bayi, anak - anak, dan remaja yang sedang dalam kegiatan seksual aktif. Penderita
infeksi primer tidak menunjukkan gejala yang khusus, tetapi virus terus hidup dengan
status laten dalam tubuh penderita selama bertahun – tahun (Karger, 2001).
Bersama dengan Cytomegalovirus hewan, Cytomegalovirus manusia (HCMV) juga
disebut dalam literatur terbaru sebagai manusia herpesvirus 5 (HHV-5), milik keluarga
Herpesviridae, subfamili Betaherpesvirinae, Cytomegalovirus genus. Nama ini berasal
dari fakta bahwa hal itu menyebabkan pembesaran sel yang terinfeksi (cytomegaly) dan
mendorong badan inklusi karakteristik. Genom HCMV terdiri dari DNA untai ganda
dengan sekitar 230.000 pasangan basa. Genom ini tertutup oleh kapsid icosahedral
(diameter 100-110 nm, 162 capsomers). Antara kapsid dan amplop virus terdapat
lapisan protein yang dikenal sebagai tegument. Amplop virus berasal dari membran sel.
Setidaknya delapan glikoprotein virus yang berbeda yang tertanam di lapisan ganda
lipid. Partikel virus matang memiliki diameter 150-200 nm. Seperti semua herpesvirus,
HCMV sensitif terhadap pH rendah, agen lipiddissolving dan panas. HCMV memiliki
waktu paruh sekitar 60 menit pada 37°C dan relatif stabil pada -20°C. Perlu disimpan di
setidaknya -70°C untuk mempertahankan infektivitasnya (Karger, 2001).
CMVs lebih besar dari herpesvirus lainnya (200-300 nm diameter) dan cenderung
disebabkan pleomorfik dengan bentuk amplop tidak teratur. Genom CMV juga
merupakan terbesar di antara genom virus herpes. ChCMV adalah relatif dekat CMV
manusia (HCMV). Genom HCMV dan ChCMV hampir sempurna. Pada saat yang sama
homologi urutan gen orthologous dalam genom ada di moderat rata-rata rendah.
Meskipun RhCMV jelas lebih jauh dari HCMV dari ChCMV, fitur penting dari infeksi
HCMV cukup erat tercermin pada monyet rhesus terinfeksi RhCMV. Model monyet
rhesus (RhCMV) menyediakan peluang bagus untuk mempelajari patogenesis penyakit
CMV dalam sebuah host immunocompromised, terutama SIV-imunosupresi kera
dengan SAIDS. Walaupun penyakit bawaan CMV tidak teramati di kera, dapat
eksperimen diinduksi oleh inokulasi langsung intrauterine fetus monyet rhesus dengan
RhCMV. Pengembangan vaksin profilaksis efektif dan HCMV terapi, kompleksitas tugas
yang tangguh, dapat difasilitasi oleh pengujian berbagai protokol imunisasi
menggunakan RhCMV / model monyet rhesus (Karger, 2001).
Virus CMV akan aktif apabila host mengalami penurunan kondisi fisik, seperti wanita
yang sedang hamil atau orang yang mengalami pencangkokan organ tubuh. Jika infeksi
pada wanita hamil terjadi pada awal kehamilannya maka kelainan yang ditimbulkan
semakin besar (Karger, 2001).
Hanya sekitar 5 hingga 10 bayi yang terinfeksi CMV selama masa kehamilan
menunjukkan gejala kelainan sewaktu dilahirkan. Gejala klinis yang umum dijumpai
adalah berat badan rendah, hepatomegali, splenomegali, kulit kuning, radang paru -
paru, dan kerusakan sel pada jaringan syaraf pusat. Gejala non syaraf akan muncul
pada beberapa minggu pertama, cacat pada jaringan syaraf yang akan berlanjut
menjadi kemunduran mental, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, dan
raikrosefali (Karger, 2001).
CMV lebih sering menyerang mata yang dapat dengan cepat menyebabkan
kebutaan. Bila tidak diobati CMV dapat menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi ke
beberapa organ lain sekaligus. Risiko infeksi CMV paling tinggi terjadi bila sel CD4
kurang dari 100 (Karger, 2001).
Transmisi CMV
Risiko mendapatkan sitomegalovirus (CMV) melalui kontak biasa sangat kecil. Virus
ini biasanya ditularkan dari orang yang terinfeksi kepada orang lain melalui kontak
langsung dari cairan tubuh, seperti urin, air liur, atau ASI. CMV ditularkan secara
seksual dan dapat menyebar melalui organ-organ transplantasi dan transfusi darah
(Karger, 2001).
11
Orang yang terinfeksi dengan CMV dapat menularkan virus ( terinfeksi virus dari
cairan tubuh mereka, seperti urin, air liur, darah, dan air mani, ke lingkungan). Anak-
anak kecil sering menularkan CMV selama berbulan-bulan setelah mereka pertama
terinfeksi. Walaupun orang tua dari anak-anak yang shedding virus dapat menjadi
terinfeksi dari anak-anak mereka, CMV tidak menyebar dengan mudah. Kurang dari 1
dari 5 orang tua dari anak-anak yang terinfeksi CMV penumpahan selama setahun
(Karger, 2001).
Meskipun CMV dapat ditularkan melalui ASI, infeksi yang terjadi dari pemberian ASI
biasanya tidak menimbulkan gejala atau penyakit pada bayi. Karena infeksi CMV
setelah lahir dapat menyebabkan penyakit pada bayi lahir prematur atau rendah sangat
berat, ibu bayi tersebut harus berkonsultasi dengan penyedia layanan kesehatan
mereka tentang menyusui (Karger, 2001).
iv. IgG pada bayi akan berkurang dan habis yang didapat dari ibunya.
Selanjutnya akan dibentuk sendiri pada usia 2-3 bulan
v. IgM tidak ditemukan pada bayi. Diagnosa Toxoplasmosis pada bayi
dipastikan dengan deteksi peningkatan IgG pada bayi berumur 2-3
bulan dan 6 bulan, dimana pada waktu itu IgG dari Ibu sudah habis.
vi. Serodiagnosis pada wanita hamil titer tunggal tidak mempunyai arti
klinis, oleh karenanya perlu 2x pengujian (2x) sedikitnya (secara serial).
vii. Serokonversi IgG dari negatif menjadi positif memastikan infeksi akut
primer.
Kenaikan titer IgG yang bermakna adalah 4x pada pemeriksaan serial,
menunjukkan infeksi akut (parah)
b. Rubella
a) Gejala (Marino et al, 2010) :
Gejala klinis Rubella bervariasi setiap orang dan sulit dikenali. Gejalanya
mirip dengan infection mononucleosis, drug induced rashes. Pada wanita
hamil dengan infeksi primer bisa menularkan ke janin dengan masa inkubasi
2 – 3 minggu rata-rata ± 18 hari. Kelainan kongenital tergantung pada saat
mana terjadi infeksi pada waktu hamil. Infeksi pada bulan pertama
kehamilan dapat menyebabkan fetal malformation ± 50% – 80%, 25% pada
bulan kedua dan 17% pada bulan ketiga. Congenital Rubella Syndrome
dapat terjadi pada infeksi di trimester 1 kehamilan. Kelainan lainnya adalah
CHD (PDA, VSD dan PT), katarak, chorioretinitis, microcephaly, retardasi
mental dan deafness.
b) Pemeriksaan Penunjang (Marino et al, 2010) :
Infeksi rubella primer pada penderita dari rubella dijumpai antibodi IgM
sesuai dengan gejala klinis yang ada. Pada infeksi rubella primer akut, IgM
dapat dideteksi hampir pada 100% kasus yaitu pada hari 4-15 setelah
munculnya ruam, menurun setelah 36-70 hari, dan menghilang setelah 180
hari Reinfeksi asimptomatik pada wanita hamil berbahaya untuk fetus,
dengan karakteristik IgG meninggi dan tidak dijumpai IgM. Pemeriksaan IgM
ini tidak hanya untuk wanita hamil tapi perlu juga untuk wanita yang belum
hamil. IgG meningkat cepat pada hari ke 7 s/d 21 kemudian menurun, dan
tetap tinggal sebagai pelindung
c. Herpes
a) Gejala (Marino et al, 2010) :
i. HSV-1
18
8. PENATALAKSANAAN
Pilihan terapi terbaik dan pencegahan penyakit CMV yaitu gansiklovir dan
valgansiklovir. Pilihan lainnya merupakan lini kedua antara lain foscarnet dan cidofovir .
Konsensus yang menyatakan hal yang lebih baik antara profilaksis dengan terapi
preemptive yang lebih baik untuk pencegahan infeksi CMV pada penerima organ
transplan solid (Schleiss, 2010).
a. Terapi medikamentosa
19
ini dengan individu risiko tinggi seperti yang telah disebutkan, tetapi tidak sesuai
pada terapi penyakit aktif. Terapi oral dengan valgansiklovir dipertimbangkan untuk
diinvestigasi pada anak (Schleiss, 2010).
1) Gansiklovir
Gansiklovir terlisensi untuk terapi infeksi CMV. Nukleotida asiklik sintetik
secara struktural serupa dengan guanin. Struktur tersebut serupa pada acyclovir
yang membutuhkan fosforilasi aktivitas antiviral. Enzim yang bertanggung jawab
untuk fosforilasi adalah produk gen UL97 virus, sebuah protein kinase. Resistensi
dapat terjadi pada penggunaan jangka panjang, secara umum terjadi karena
mutasi gen ini. Indikasi obat ini untuk anak immunocompromised seperti infeksi
HIV, postransplan, dan lain-lain jika secara klinis dan virologis membuktikan
penyakit spesifik berakhirnya organ yang spesifik (Schleiss, 2010).
Pada balita, terapi antiviral dengan gansiklovir mungkin berguna
menurunkan prevalensi sekuel perkembangan neural, umumnya tuli
sensorineural. Sebuah penelitian mengenai penyakit alergi dan infeksiinstitusi
nasional di negara peneliti menunjukkan perbaikan relatif pada pendengaran
pada tuli simtomatik kongenital CMV yang diterapi dengan gansiklovir. Meskipun
demikian, terapi pada neonatus harus dikonsultasikan oleh ahlinya (Schleiss,
2010).
2) Immunoglobulin
Imunoglobulin digunakan sebagai imunisasi pasif untuk mencegah penyakit
Cytomegalovirus simtomatik. Strategi ini telah digunakan pada kontrol penyakit
Cytomegalovirus pada pasien immunocompromised pada era aantivirus
prenuklosida. Bukti pada kehamilan menyarankan infus Ig CMV pada wanita
dengan infeksi primer dapat mencegah transmisi dan memeperbaiki kondisi
kelahiran (Schleiss, 2010).
3) Valgansiklovir (VGCV)
Valgansiklovir (VGCV) adalah sebuah prodrug turunan valyl dari gansiklovir.
Setelah absorbsi di intestinum, moase valine cepat diurai oleh hepar
menghasilkan GCV. Zat ini inaktif dan membutuhkan trifosforilasi untuk aktivitas
virostatis (Schleiss, 2010).
b. Pembedahan
Terapi operatif yang dibutuhkan seperti pada kejadian dengan cerebral palsy
yaitu dengan operasi ortopedik dan gastrotomy. Gastrotomy dilakukan untuk
mengganti nutrisi untuk ke enteral (Schleiss, 2010).
9. PENCEGAHAN
21
A. Pengkajian
Berikut merupakan pengakjian dasar dari CMV meliputi:
1. Riwayat Kesehatan
Hal-hal yang perlu ditanyakan/yang biasa ditemukan:
a. Adanya riwayat tranfusi.
b. Adanya riwayat transplantasi organ.
c. Ibu pasien penderita infeksi CMV.
d. Suami/istri penderita CMV
2. Pemeriksaan fisik
a. Tanda - tanda vital : Suhu( demam), pernapasan( takipnea,
dispnea), tekanan darah, nadi.
b. Kulit: petekia dan ekimosis, lesi berwarna ungu disebabkan oleh
eritripoiesis kulit.
c. Penurunan berat badan.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Kultur virus dari urin, secret faring, dan leukosit perifer.
b. Pemeriksaan mikroskopik pada sediment urin, cairan tubuh, dan jaringan untuk
melihat vius dalam jumlah besar( pemeriksaan urin untuk mengetahui adanya iklusi
intra sel tidaklah bermanfaat; verifikasi infeksi congenital harus dilakukan dalam 3
minggu pertama dari kehidupan).
c. Skrining toksoplasmosis, rubella, sitomegalo virus, herpes dan lain-
laia( toxoplasmosis, other, rubella, cytomegalovirus, herpes[TORCH])-digunakan
untuk mengkaji adanya virus lain.
d. Uji serologis
1) Titer antibody IgG dan IgM( IgM yang meningkat mengindikasikan pajanan
terhadap virus; IgG neonatal yang meningkat mengindikasikan infeksi yang
23
didapat pada masa prenatal; IgG maternital negative dan IgG neonatal positif
mengindikasikan didapatnya infeksi pada saat pascanatal.
2) Uji factor rheumatoid positif ( positif pada 35%-45% kasus)
e. Studi radiologis: foto tengkorak atau pemindaian CT kepala dengan maksud
mengungkapkan kalsifikasi intra cranial.
B. Diagnosa Keperawatan