Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

KISTA OVARIUM

A. KONSEP DASAR MEDIS


1. Anatomi Fisiologi
Ovarium terletak di belakang ligamentum latum, di belakang dan
bawah tuba fallopii. Ovarium adalah badan oval yang mempunyai panjang 3
cm. Pada saat lahir ovarium mengandung ratusan sel-sel telur yang sangat
kecil atau ova. Ovarium dan tuba fallopii disebut adneksa.
Pada saat pubertas (biasanya antara usia ke-12 dan 14) ,ovum mulai
matang. Selama periode yang dikenal dengan fase folikular, sebuah ovum
membesar seperti sejenis kista yang dikenal sebagai folikel graafian sampai
ia mencapai permukaan ovarium, kemudian ruptur. Ovum (atau oosit)
dikeluarkan ke dalam rongga peritoneal. Periode pelepasan ovum matang ini
disebut ovulasi. Ovum biasanya menemukan jalannya ke dalam tuba fallopii,
tempat dimana ovum dibawa ke uterus. Jika ovum ini bertemu dengan
spermatozoa, sel reproduksi pria, akan terjadi penyatuan dan terjadi
konsepsi. Setelah pelepasan ovum, sel-sel folikel graafian mengalami
perubahan yang cepat. Secara bertahap mereka menjadi kuning (korpus
luteum) dan menghasilkan progesteron, hormon yang menyiapkan uterus
untuk menerima ovum yang dibuahi.
Jika tidak terjadi konsepsi, ovum berdisintegrasi dan membran
mukosa yang melapisi uterus (endometrium) , yang telah menebal dan
memadat, menjadi hemoragik. Lapisan teratas sel-sel yang melapisi dan
darah yang tampak dalam rongga uterus dikeluarkan melalui serviks dan
vagina (menstruasi) setiap kurang lebih 28 hari selama tahun-tahun
reproduktif. Setelah menstruasi berhenti, endometrium berproliferasi dan
menebal akibat stimulasi estrogen, ovulasi terjadi lagi, dan siklus dimulai
kembali. Ovulasi biasanya terjadi pertengahan periode menstruasi.

2. Definisi
Kista ovarium merupakan salah satu tumor jinak ginekologi yang
paling sering dijumpai pada wanita di masa reproduksinya. Kista ovarium
adalah suatu kantong berisi cairan seperti balon berisi air yang terdapat di
ovarium.
Ovarium merupakan sumber hormonal wanita yang paling utama,
sehingga mempunyai dampak kewanitaan dalam pengatur proses
menstruasi. Ovarium terletak antara rahim dan dinding panggul, dan
digantung ke rahim oleh ligamentum ovari propium dan ke dinding panggul
oleh ligamentum infudibulo-pelvikum.Fungsinya sebagai tempat folikel,
menghasilkan dan mensekresi estrogen dan progesteron. Fungsi ovarium
dapat terganggu oleh penyakit akut dan kronis. Salah satu penyakit yang
dapat terjadi adalah kista ovarium (Oxhorn, 2010).
Kista ovarium adalah tumor ovarium yang bersifat neoplastik dan non
neoplastik. Kista ovarium merupakan suatu tumor, baik kecil maupun yang
besar, kistik atau padat, jinak atau ganas yang berada di ovarium. Dalam
kehamilan tumor ovarium yang paling sering dijumpai ialah kista dermoid,
kista coklat atau kista lutein. Tumor Ovarium yang cukup besar dapat
menyebabkn kelainan letak janin dalam Rahim atau dapat menghalang-
halangi masuknya kepala kedalam panggul.(Prawirohardjo, 2010).
Kista ovarium adalah tumor jinak yang diduga timbul dari bagian
ovum yang normalnya menghilang saat menstruasi, asalnya tidak
teridentifikasi dan terdiri atas sel- sel embrional yang tidak berdiferensiasi,
kista ini tumbuh lambat dan ditemukan selama pembedahan yang
mengandung material sebasea kental berwarna kuning yang timbul dari
lapisan kulit.
3. Etiologi
a. Gangguan pembentukan hormone
Kista ovarium disebabkan oleh 2 gangguan (pembentukan) hormon
yaitu pada mekanisme umpan balik ovarium dan hipotalamus. Estrogen
merupakan sekresi yang berperan sebagai respon hipersekresi folikel
stimulasi hormon. Dalam menggunakan obat-obatan yang merangsang pada
ovulasi atau misalkan pola hidup yang tidak sehat itu bisa menyebabkan
suatu hormone yang pada akhirnya dapat menyebabkan ketidakseimbangan
hormone. (Mansjoer, 2000) Gangguan keseimbangan hormon dapat berupa
peningkatan hormon Luteinizing Hormon (LH) yang menetap sehingga dapat
menyebabkan ganguan ovulasi.
b. Memiliki Riwayat kista ovarium atau keluarga memiliki riwayat kista ovarium.
c. Penderita kanker payudara yang pernah menjalani kemoterapi (tamoxifen)
Tamoxifen dapat menyebabkan kista ovarium fungsional jinak yang biasanya
menyelesaikan penghentian pengobatan tersebut.
d. Pada pengobatan infertilitas
Pasien dirawat karena infertilitas dengan induksi ovulasi dengan
gonadotropin atau agen lainnya , seperti clomiphene citrate atau letrozole,
dapat mengembangkan kista sebagai bagian dari sindrom hiperstimulasi
ovarium
e. Gaya hidup yang tidak sehat
Gaya hidup yang tidak sehat dapat memicu terjadinya penyakit kista
ovarium. Risiko kista ovarium fungsional meningkat dengan merokok, risiko
dari merokok mungkin meningkat lebih lanjut dengan indeks massa tubuh
menurun. Selain dikarenakan merokok pola makan yang tidak sehat seperti
konsumsi tinggi lemak, rendah serat, konsumsi zat tambahan pada makanan,
konsumsi alcohol dapat juga meningkatka risiko penderita kista ovarium.
Pada wanita yang sudah menopause kista fungsional tidak terbentuk karena
menurunnya aktivitas indung telur.
f. Gangguan siklus Haid
Gangguan siklus haid yang sangat pendek atau lebih panjang harus
diwaspadai. Menstuasi di usia dini yaitu 11 tahun atau lebih muda merupakan
faktor resiko berkembangnya kista ovarium, wanita dengan siklus haid tidak
teratur juga merupakan faktor resiko kista ovarium.
g. Pemakaian alat kontrasepsi hormonal
Wanita yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal juga
merupakan faktor resiko kista ovarium, yaitu pada wanita yang menggunakan
alat kontrasepsi hormonal berupa implant, akan tetapi pada wanita yang
menggunakan alat kontrasepsi hormonal berupa pil cenderung mengurangi
resiko untuk terkena kista ovarium (Prawirohardjo, 2010)
4. Jenis jenis Kista Ovarium
Kista ovarium merupakan jenis yang paling sering terjadi terutama yang
bersifat non neoplastik, seperti kista retensi yang berasal dari korpus luteum.
Tetapi di samping itu ditemukan pula jenis yang merupakan neoplasma. Oleh
karena itu kista ovarium dibagi dalam 2 golongan (Mansjoer, 2010):
1. Non-neoplastik (fungsional)
a. Kista folikel
Kista ini berasal dari folikel yang menjadi besar semasa proses
atresia foliculi. Setiap bulan, sejumlah besar folikel menjadi mati, disertai
kematian ovum disusul dengan degenerasi dari epitel folikel. Pada masa
ini tampaknya sebagai kista-kista kecil. Tidak jarang ruangan folikel diisi
dengan cairan yang banyak, sehingga terbentuklah kista yang besar,
yang dapat ditemukan pada pemeriksaan klinis. Tidak jarang terjadi
perdarahan yang masuk ke dalam rongga kista, sehingga terjadi suatu
haematoma folikuler.
b. Kista lutein
Kista ini dapat terjadi pada kehamilan, lebih jarang di luar
kehamilan. Kista lutein yang sesungguhnya, umumnya berasal dari
corpus luteum haematoma. Perdarahan ke dalam ruang corpus selalu
terjadi pada masa vascularisasi. Bila perdarahan ini sangat banyak
jumlahnya, terjadilah corpus luteum haematoma, yang berdinding tipis
dan berwarna kekuning-kuningan. Secara perlahan-lahan terjadi
reabsorpsi dari unsur-unsur darah, sehingga akhirnya tinggalah cairan
yang jernih atau sedikit bercampur darah. Pada saat yang sama
dibentuklah jaringan fibroblast pada bagian dalam lapisan lutein sehingga
pada kista corpus lutein yang tua, sel-sel lutein terbenam dalam jaringan-
jaringan perut.
c. Kista Korpus Luteum
Dalam keadaan normal korpus luteum lambat laun mengecil dan
menjadi korpus albikans .Kadang-kadang korpus luteum
mempertahankan diri (korpus luteum persistens), perdarahan yang
sering terjadi di dalamnya menyebabkan terjadinya kista, berisi cairan
yang berwarna merah coklat karena darah tua.Frekuensi kista korpus
luteum lebih jarang dari pada kista folikel.Dinding kista terdiri atas
lapisan berwarna kuning, terdiri atas sel-sel luteum yang berasal dari sel-
sel teka.Kista korpus luteum dapat menimbulkan gangguan haid, berupa
amenorea diikuti oleh perdarahan tidak teratur. Adanya kista dapat pula
menyebabkan rasa berat di perut bagian bawah dan perdarahan yang
berulang dalam kista dapat menyebabkan ruptur. Rasa nyeri didalam
perut yang mendadak dengan adanya amenorea sering menimbulkan
kesulitan dalam diagnosis diferensial dengan kehamilan ektopik yang
terganggu.Jika dilakukan operasi, gambaran yang khas kista korpus
luteum memudahkan pembuatan diagnosis. Penanganan kista korpus
luteum ialah menunggu sampai kista hilang sendiri. Dalam hal dilakukan
operasi atas dugaan kehamilan ektopik terganggu, kista korpus luteum
diangkat tanpa mengorbankan ovarium.
d. Kista Inklusi Germina
Kista ini terjadi karena invaginasi dan isolasi bagian-bagian kecil
dari epitel germinativum pada permukaan ovarium.Kista ini lebih banyak
terdapat pada wanita yang lanjut umurnya, dan besarnya jarang melebihi
diameter 1 cm. Kista ini biasanya secara kebetulan ditemukan pada
pemeriksaan histologik ovarium yang diangkat waktu operasi.Kista
terletak di bawah permukaan ovarium, dindingnya terdiri atas satu
lapisan epitel kubik atau torak rendah, dan isinya cairan jernih dan serus.
e. Kista Endometriosis
Kista yang terbentuk dari jaringan endometriosis (jaringan mirip
dengan selaput dinding rahim yang tumbuh di luar rahim) menempel di
ovarium dan berkembang menjadi kista. Kista ini sering disebut juga
sebagai kista coklat endometriosis karena berisi darah coklat-
kemerahan.Kista ini berhubungan dengan penyakit endometriosis yang
menimbulkan nyeri haid dan nyeri senggama. Kista ini berasal dari sel-sel
selaput perut yang disebut peritoneum.Penyebabnya bisa karena infeksi
kandungan menahun, misalnya keputihan yang tidak ditangani sehingga
kuman-kumannya masuk kedalam selaput perut melalui saluran indung
telur.Infeksi tersebut melemahkan daya tahan selaput perut, sehingga
mudah terserang penyakit.Gejala kista ini sangat khas karena berkaitan
dengan haid. Seperti diketahui, saat haid tidak semua darah akan
tumpah dari rongga rahim ke liang vagina, tapi ada yang memercik ke
rongga perut. Kondisi ini merangsang sel-sel rusak yang ada di selaput
perut mengidap penyakit baru yang dikenal dengan
endometriosis.Karena sifat penyusupannya yang perlahan, endometriosis
sering disebut kanker jinak.
f. Kista Stein-Leventhal
Ovarium tampak pucat, membesar 2 sampai 3 kali, polikistik, dan
permukaannya licin.Kapsul ovarium menebal. Kelainan ini terkenal
dengan nama sindrom Stein-Leventhal dan kiranya disebabkan oleh
gangguan keseimbangan hormonal. Umumnya pada penderita terhadap
gangguan ovulasi, oleh karena endometrium hanya dipengaruhi oleh
estrogen, hiperplasia endometrii sering ditemukan.
2. Neoplastik
Yang termasuk golongan ini ada 3 jenis:
a. Kistoma Ovarii Simpleks
Kistoma ovarii simpleks merupakan kista yang permukaannya
rata dan h alus, biasanya bertangkai, seringkali bilateral, dan dapat
menjadi besar.Dinding kista tipis berisi cairan jernih yang serosa dan
berwarna kuning.Penatalaksanaan dengan pengangkatan kista dengan
reseksi ovarium
b. Cystadenoma mucinosum
Jenis ini dapat mencapai ukuran yang besar. Ukuran yang
terbesar yang pernah dilaporkan adalah 328 pound. Tumor ini
mempunyai bentuk bulat, ovoid atau bentuk tidak teratur, dengan
permukaan yang rata dan berwarna putih atau putih kebiru-biruan.
c. Cystadenoma serosum
Jenis ini lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan mucinosum,
tetapi ukurannya jarang sampai besar sekali. Dinding luarnya dapat
menyerupai kista mucinosum. Pada umumnya kista ini berasal dari epitel
permukaan ovarium (germinal ephitelium)

d. Kista dermoid
Tumor ini merupakan bagian dari teratoma ovary bedanya ialah
bahwa tumor ini bersifat kistik, jinak dan elemen yang menonjol ialah
eksodermal. Sel-selnya pada tumor ini sudah matang. Kista ini jarang
mencapai ukuran yang besar. Penyebabnya saat ini belum diketahui
secara pasti. Namun ada salah satu pencetusnya yaitu faktor hormonal,
kemungkinan faktor resiko yaitu:
1) Faktor genetik/ mempunyai riwayat keluarga dengan kanker ovarium
dan payudara.
2) Faktor lingkungan (polutan zat radio aktif)
3) Gaya hidup yang tidak sehat
4) Ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron, misalnya
akibat penggunaan obat-obatan yang merangsang ovulasi dan obat
pelangsing tubuh yang bersifat diuretik.
5) Kebiasaan menggunakan bedak tabur di daerah vagina
5. Patofisiologi
Gambaran dari kista ini terdiri dari folikel-folikel pra ovulasi yang
mengalami atresia dan berdegenerasi pada ovarium, di ovarium ini folikel-folikel
ini tidak mengalami ovulasi karena kadar hormon FSH rendah dan hormon LH
tinggi pada keadaan yang tetap ini menyebabkan pembentukan androgen dan
estrogen oleh folikel dan kelenjar adrenal yang mengakibatkan folikel anovulasi
dan berdegenerasi dan membentuk kista. Kista ovarium dapat menimbulkan
komplikasi berupa invertilitas akibat tidak adanya ovulasi dan beresiko terjadinya
pembentukan tumor-tumor dependen di payudara endometrium.
Penatalaksanaan pada kista ovarium adalah dengan pengangkatan kista
dengan cara melakukan reseksi pada bagian ovarium yang mengandung kista,
akan tetapi jika kista besar atau ada komplikasi perlu di lakukan pengangkatan
ovarium. Biasanya di sertai dengan pengangkatan tuba (salpingo-oofarektomi).
Pada saat melakukan pembedahan kedu ovarium harus di periksa untuk
mengetahui apakah kista di temukan pada satu atau pada dua ovarium.

6. Manifestasi Klinik
Kebanyakan wanita yang memiliki kista ovarium tidak memiliki gejala.
Namun kadang – kadang kista dapat menyebabkan beberapa masalah seperti :
1. Bermasalah dalam pengeluaran urin secara komplit
2. Nyeri selama hubungan seksual
3. Masa di perut bagian bawah dan biasanya bagian – bagian organ tubuh
lainnya sudah terkena.
4. Nyeri hebat saat menstruasi dan gangguan siklus menstruasi
5. Wanita post monopouse : nyeri pada daerah pelvik, disuria, konstipasi atau
diare, obstruksi usus dan asietas
7. Pemeriksaan penunjang
1. Laparaskopi
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengetahui apakah sebuah
tumor berasal dari ovarium atau tidak, dan untuk menentukan sifat-sifat
tumor itu.
2. Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak dan batas tumor
apakah tumor berasal dari uterus, ovarium, atau kandung kencing, apakah
tumor kistik atau solid, dan dapatkah dibedakan pula antara cairan dalam
rongga perut yang bebas dan yang tidak.
3. Foto Rontgen
Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan adanya hidrotoraks.
Selanjutnya, pada kista dermoid kadang-kadang dapat dilihat gigi dalam
tumor.
4. Parasentesis
Telah disebut bahwa fungsi pada asites berguna menentukan sebab
asites. Perlu diingatkan bahwa tindakan tersebut dapat mencemari cavum
peritonei dengan isi kista bila dinding kista tertusuk (Nugroho, 2012)
8. Penatalaksanaan medis
Apabila kista sudah terlanjur tumbuh dan didiagnosa sebagai kista
ovarium yang berbahaya, biasanya tindakan medis perlu dilakukan. Operasi
pengangkatan biasanya akan dilakukan untuk mencegah kista ovarium tumbuh
lebih besar. Penyembuhan dari kista juga tergantung pada jenisnya masing
-masing. Kista ovarium neoplastik memerlukan operasi dan kista nonneoplastik
tidak. Jika menghadapi kista yang tidak memberi gejala atau keluhan pada
penderita dan yang besar kistanya tidak melebihi jeruk nipis dengan diameter
kurang dari 5 cm, kemungkinan besar kista tersebut adalah kista folikel atau
kista korpus luteum, jadi merupakan kista nonneoplastik. Tidak jarang kista-kista
tersebut mengalami pengecilan secara spontan dan menghilang, sehingga pada
pemeriksaan ulangan setelah beberapa minggu dapat ditemukan ovarium yang
kira-kira besarnya normal. Oleh sebab itu, dalam hal ini perlu menunggu selama
2 sampai 3 bulan, sementara mengadakan pemeriksaan ginekologik berulang.
Jika selama waktu observasi dilihat peningkatan dalam pertumbuhan kista
tersebut, maka dapat mengambil kesimpulan bahwa kemungkinan besar kista itu
bersifat neoplastik, dan dapat dipertimbangkan satu pengobatan operatif.
Tindakan operasi pada kista ovarium neoplastik yang tidak ganas ialah
pengangkatan kista dengan mengadakan reseksi pada bagian ovarium yang
mengandung kista.Akan tetapi, jika kistanya besar atau ada komplikasi, perlu
dilakukan pengangkatan ovarium, biasanya disertai dengan pengangkatan tuba
(salpingo-ooforektomi).Pada saat operasi kedua ovarium harus diperiksa untuk
mengetahui apakah ditemukan pada satu atau pada dua ovarium.
Pada operasi kista ovarium yang diangkat harus segera dibuka, untuk
mengetahui apakah ada keganasan atau tidak.Jika keadaan meragukan, perlu
pada waktu operasi dilakukan pemeriksaan sediaan yang dibekukan (frozen
section) oleh seorang ahli patologi anatomik untuk mendapatkan kepastian
apakah kista ganas atau tidak.Jika terdapat keganasan, operasi yang tepat ialah
histerektomi dan salpingo-ooforektomi bilateral. Akan tetapi, wanita muda yang
masih ingin mendapat keturunan dan tingkat keganasan kista yang rendah
(misalnya kista sel granulosa), dapat dipertanggung-jawabkan untuk mengambil
resiko dengan melakukan operasi yang tidak seberapa radikal.
Terapi bergantung pada ukuran dan konsistensi kista dan
penampakannya pada pemeriksaan ultrasonografi. Mungkin dapat diamati kista
ovarium berdiameter kurang dari 80 mm, dan skening diulang untuk melihat
apakah kista membesar.Jika diputuskan untuk dilakukan terapi, dapat dilakukan
aspirasi kista atau kistektomi ovarium. Kista yang terdapat pada wanita hamil,
yang berukuran >80 mm dengan dinding tebal atau semisolid memerlukan
pembedahan, setelah kehamilan minggu ke 12.Kista yang dideteksi setelah
kehamilan minggu ke 30 mungkin sulit dikeluarkan lewat pembedahan dan dapat
terjadi persalinan prematur. Keputusan untuk melakukan operasi hanya dapat
dibuat setelah mendapatkan pertimbangan yang cermat dengan melibatkan
pasien dan pasangannya. Jika kista menimbulkan obstruksi jalan lahir dan tidak
dapat digerakkan secara digital, harus dilakukan seksio sesaria dan kistektomi
ovarium.
Penatalaksanaan lain yang di gunakan ialah
a. Pengangkatan kista ovarium yang besar biasanya adalah melalui tindakan
bedah, misal laparatomi, kistektomi atau laparatomi salpingooforektomi.
b. Kontrasepsi oral dapat digunakan untuk menekan aktivitas ovarium dan
menghilangkan kista.
c. Perawatan pasca operasi setelah pembedahan untuk mengangkat kista
ovarium adalah serupa dengan perawatan setelah pembedahan abdomen
dengan satu pengecualian penurunan tekanan intra abdomen yang
diakibatkan oleh pengangkatan kista yang besar biasanya mengarah pada
distensi abdomen yang berat. Hal ini dapat dicegah dengan memberikan
gurita abdomen sebagai penyangga.
d. Tindakan keperawatan berikut pada pendidikan kepada klien tentang pilihan
pengobatan dan manajemen nyeri dengan analgetik / tindakan kenyamanan
seperti kompres hangat pada abdomen atau teknik relaksasi napas dalam,
informasikan tentang perubahan yang akan terjadi seperti tanda – tanda
infeksi, perawatan insisi luka operasi
e. Jenis – jenis anestesi
Anestesi adalah suatu tindakan untuk menghilangkan kesadaran disertai
hilangnya sakit yang sifatnya sementara. Anestesi ada setiap keadaan
membawa masalah – masalah tersendiri sesuai dengan kondisi penderita,
sebab obat – obat anestesi bersifat mendepresi kerja organ – organ vital.
1) Anestesi Umum
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa nyeri secara sentral yang
disertai dengan hilangnya kesadaran dengan melalui proses obat masuk
kedalam pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar jaringan dan
yang pertama terpengaruh adalah jaringan yang kaya pembuluh darah
yaitu otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang. Efek anestesi
umum yaitu : mempengaruhi keadaan umum penderita karena kesadaran
menurun, disebabkan karena terjadinya gangguan fungsi pada sel
terjadinya hambatan fungsi neuron menghambat konsumsi oksigen,
dapat membentuk mikro kristal dengan air dalam membran sel neuron
dan ini menyebabkan stabilisasi membran sel
Jenis dan cara pemberian obat anestesi umum :
a) Melalui Intravena
1. Benzodiazepine
Anggota tertentu dalam kelompok obat sedative hypnosis seperti
diazepam, lorazepam, dan midazolam, yang dipergunakan pada
prosedur anestesi (dasar-dasar farmakologi benzodiazepin)
diazepam dan lorazepan tidak larut dalam air dan penggunaan
intravenanya memerlukan vehikulum yang tidak encer, sehingga
pemberian intravena dapat menyebabkan iritasi luka. Formulasi
mudah larut dalam air dan kurang iritasi tetapi mudah larut dalam
lemak pada pH fisiologis serta mudah melewati pembuluh darah
otak.
2. Anestesi analgesik opioid
Dosis besar analgesik opioid telah digunakan untuk anestetik
umum, terutana pada penderita operasi jantung atau operasi
besar lainnya ketika sirkulasi dalam keadaan minimal. Pemberian
morfin, secara intravena dengan dosis 1 sampai 3 per kg
digunakan dalam keadaan sirkulasi yang berat.
3. Etomidat
Etomidat merupakan imidazol karboksilasi yang digunakan untuk
induksi anestesi dan teknik anestesi secara seimbang yang tidak
boleh diberikan untuk jangka lama. Kelebihan utama dari
anestestik ini yaitu depresi kardiovaskular dan respirasi yang
minimal.
4. Ketamin
Ketamin menimbulkan anestesi disosiatif yang ditandai dengan
kataton, amnesia, dan analgesia. Mekanisme kerjanya adalah
dengan cara menghambat efek membrane eksitator
neurotrasmiter asam glutamate pada subtype reseptor.
b) Melalui rectum :
Tiopental : anestesi injeksi pada pembedahan kecil seperti di mulut,
efek samping menekan pernafasan.
c) Melalui inhalasi
Halotan : efek sampingnya yaitu dengan menekan pernafasan,
aritmia, dan hipotensi
2) Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah tindakan anestesi yang banyak digunakan untuk
tindakan operasi ekstremitas bawah dan paling sering adalah bedah
cesar.
Efek anestesi spinal : oksigenasi tidak adekuat dengan pernafasan
buatan menggunakan oksigen, tremor atau kejang, depresi sirkulasi
diatasi dengan pemberian vasopressor secara bolus dilanjutkan dengan
drip dalam infus, adanya henti jantung .
Komplikasi anestesi spinal :
Komplikasi dini :
a) Hipotensi.
Hipotensi sering terjadi selama anestesi spinal, terutama
akibat kehilangan kompensasi vasokonstriksi eketremitas bawah,
menurunnya curah jantung, berkurangnya tonus arteriole sedikit
kontribusinya terhadap terjadinya hipotensi, kecuali tahanan
pembuluh darah perifer meningkat sebelum anestesi spinal. Terapi
hipotensi dimulai dengan tindakan yang cepat seperti koreksi posisi
kepala, pemberian cairan intravena dan pemberian vasopressor
sesuai kebutuhan. Jika cairan yang diberikan tidak dapat mengoreksi
bradikardi atau kontraktilitas melemah, terapi yang disukai untuk
spinal hipotensi adalah kombinasi cairan untuk mengoreksi
hipovolemi dengan alfa dan beta adrenergik agonis (seperti efedrin)
dan atropin (untuk bradikardi) tergantung pada situasi.
b) Anestesi spinal tinggi dan Blokade total spinal
Pasien dengan tingkat anestesi yang tinggi dapat mengalami
kesulitan dalam pernapasaan . Harus dibedakan secara hati-hati apa
penyebabnya untuk memberikan terapi yang tepat. Hampir semua
dispnea tidak disertai paralysis otot pernapasan tetapi adalah
kehilangan sensasi proprioseptif tersebut mengakibatkan dyspnea
walaupun fungsi otot pernapasan dan pertukaran gas adekuat.
c) Henti jantung yang tiba-tiba.
Henti jantung yang tiba-tiba telah dilaporkan pada pasien yang
mendapatkan spinal anestesi. Pasien yang mendapat sedatif dan
hipotensi sampai tejadinya henti jantung yang tiba-tiba terbukti sulit
untuk diterapi. Respon kardiovaskuler terhadap hiperkarbia dan
hipoksia karena sedatif dan narkotik mengakibatkan pasien tidak
mempunyai respon terhadap hipoksemia yang progresif, asidosis dan
hiperkarbia.
d) Mual dan Muntah
Mual selama anestesi spinal biasa terjadi oleh karena
hipoperfusi serebral atau tidak terhalanginya stimulus vagus usus.
Biasanya mual adalah tanda awal hipotensi. Bahkan blok simpatis
mengakibatkan tak terhalangnya tonus parasimpatis yang berlebihan
pada traktus gastrointestinal.
e) Paresthesia.
Paresthesia dapat terjadi selama penusukan jarum spinal atau
saat menginjeksikan obat anestetik. Pasien mengeluh sakit atau
terkejut singkat pada ektremitas bawah, hal ini disebabkan jarum
spinal mungkin mengenai akar saraf. Jika pasien merasakan adanya
parestesia persiten atau paresthesia saat menginjeksikan anesthetik
local, jarum harus digerakkan kembali dan ditempatkan pada
interspace yang lain untuk mengcegah kerusakan yang permanen.
Ada atau tidaknya paresthesia dicatat pada status anesthesia.

9. Komplikasi
Salah satu hal yang paling ditakutkan dari penyakit kista ovarium ini ialah
kista tersebut berubah menjadi ganas dan banyak terjadi komplikasi. Komplikasi
dari kista ovarium yang dapat terjadi ialah (Prawirohardjo, 2010)
1. Perdarahan ke dalam kista
Biasanya terjadi sedikit-sedikit hingga berangsur-angsur
menyebabkan kista membesar, pembesaran luka dan hanya menimbulkan
gejala-gejala klinik yang minimal, akan tetapi jika perdarahan terjadi dalam
jumlah yang banyak akan terjadi distensi yang cepat dari kista yang
menimbulkan nyeri diperut. Kista berpotensi untuk pecah, tidak ada patokan
mengenai besarnya kista yang berpotensi pecah.Pecahnya kista bisa
menyebabkan pembuluh darah robek dan menimbulkan terjadinya
pendarahan.
2. Infeksi pada kista
Jika terjadi didekat tumor ada sumber kuman pathogen
3. Torsio ( Putaran tangkai )
Torsio atau putaran tangkai trjadi pada tumor bertangkai dengan
diameter 5 cm atau lebih, torsi meliputi ovarium, tuba fallopi atau
aligamentum roduntum pada uterus. Jika dipertahankan torsi ini dapat
berkembang menjadi infark peritonitis dan kematian.Torsi biasanya unilateral
dan dikaitkan dengan kista, karsinoma TOA, masa yang tidak melekat atau
yang dapat muncul pada wanita usia reproduksigejalanya meliputi nyeri
mendadak dan hebat dikuadrat abdomen bawah, mual dan muntah dapat
terjadi demam leukositosis.
4. Perubahan keganasan
Setelah tumor diangkat perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopis
yang seksama terhadap kemungkinan perubahan kegansannya,adanya
asites dalam hal ini mencurigakan masa kista ovarium berkembang setelah
masa menapouse sehingga bisa kemungkinan untuk berubah menjadi
kanker.
5. Robek dinding kista
Terjadi pada torsi tangkai, akan tetapi dapat pula terjadi akibat
trauma, seperti jatuh atau pukulan pada perut, dan lebih sering pada waktu
melakukan bersetubuh, jika robekan kista disertai hemoragi yang timbul
secara akut, maka perdarahan bebas berlangsung keuterus ke dalam rongga
peritoneum dan menimbulkan rasa nyeri terus-menerus disertatai tanda-
tanda akut.
10. Prognosis
Prognosis dari kista jinak sangat baik. Kista jinak tersebut dapat tumbuh
di jaringan sisa ovarium atau di ovarium kontralateral. Kematian disebabkan
karena karsinoma ovari ganas berhubungan dengan stadium saat terdiagnosis
pertama kali dan pasien dengan keganasan ini sering ditemukan sudah dalam
stadium akhir. Angka harapan hidup dalam 5 tahun rata-rata 41.6%, bervariasi
antara 86.9% untuk stadium FIGO Ia dan 11.1% untuk stadium IV. Tumor sel
granuloma memiliki angka bertahan hidup 82% sedangakan karsinoma sel
skuamosa yang berasal dari kista dermoid berkaitan dengan prognosis yang
buruk. Sebagian besar tumor sel germinal yang terdiagnosis pada stadium awal
memiliki prognosis yang sangat baik.
Disgerminoma dengan stadium lanjut berkaitan dengan prognosis yang
lebih baik dibandingkan germinal sel tumor nondisgerminoma. Tumor yang lebih
tidak agresif dengan potensi keganasan yang rendah mempunyai sifat yang lebih
jinak tetapi tetap berhubungan dengan angka kematian yang tinggi. Secara
keseluruhan angka bertahan hidup selama 5 tahun adalah 86.2%
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
suku / bangsa, pendidikan pekerjaan, alamat dan nomor register.
b. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama : nyeri di sekitar area jahitan.
b. Riwayat Kesehatan sekarang: mengeluhkan ada atau tidaknya gangguan
ketidaknyamanan.
c. Riwayat Kesehatan dahulu : pernahkah menderita penyakit seperti yang
diderita sekarang, pernahkah dilakukan operasi.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga: adakah anggota keluarga yang menderita
tumor atau kanker terutama pada organ reproduksi.
e. Riwayat obsetrikus, meliputi:
1) Menstruasi : menarche, lama, siklus, jumlah, warna dan bau.
2) Riwayat perkawinan : berapa kali menikah, usia pernikahan
3) Riwayat persalinan
4) Riwayat KB
Pengkajian post operasi.
1 . Kaji tingkat kesadaran
2 Ukur tanda – tanda vital : tekanan darah, nadi, suhu, Respiration Rate
3 Auskultasi bunyi nafas
4 Kaji turgor kulit
5 Pengkajian Abdomen
a. Inspeksi ukuran dan kontur abdomen
b. Auskultasi bising usus
c. Palpasi terhadap nyeri tekan dan massa
d. Tanyakan tentang perubahan pola defekasi
6. Kaji status balutan
7. Kaji terhadap nyeri atau mual
8. Periksa laporan operasi terhadap tipe anestesi yang diberikan dan
menanyakan lamanya dibawah anestesi.
9. Perubahan Pola Fungsi
Data yang diperoleh dalam kasus kista ovarium adalah sebagai berikut
a. Aktivitas / istirahat
Gejala : kelemahan atau keletihan, adanya perubahan pola istirahat dan
jam kebiasaan tidur. Adanya faktor – faktor yang mempengaruhi tidur,
misal: ansietas, nyeri, keterbatasan, partisipasi dalam hobi dan latihan.
b. Makanan / cairan
Gejala : mual atau muntah, anoreksia, perubahan pada berat badan
c. Neurosensori
Gejala : pusing
d. Nyeri / kenyamanan
Gejala : tidak ada nyeri / derajat bervariasi, misalnya : ketidaknyamanan
ringan sampai berat (dihubungkaan dengan proses penyakit)

e. Eliminasi
Gejala : Perubahan pada pola defekasi. Perubahan eliminasi urinarius
misalnya : nyeri atau rasa terbakar pada saat berkemih, hematuria.
Tanda : perubahan pada bising usus, distensi abdomen.
f. Pernapasan
Gejala : Merokok, pemajanan abses.
g. Integritas Ego
Gejala : Faktor stress dan cara mengatasi stress, masalah tentang
perubahan dalam penampilan insisi pembedahan, perasaan tidak
berdaya, putus asa, depresi, menarik diri
h. Sirkulasi
Gejala : palpitasi, nyeri dada perubahan pada tekanan darah.
i. Keamanan
Gejala : pemadaman pada kimia toksik, karsinogen pemajanan matahari
lama, berlebihan, demam, ruam kulit/ ulserasi.
j. Seksualitas
Gejala : perubahan pada tingkat kepuasan.
k. Interaksi Sosial
Gejala : ketidakadekuatan / kelemahan sistim pendukung, riwayat
perkawinan, masalah tentang fungsi
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya jaringan saraf
b. Resiko infeksi
c. Ansietas ringan berhubungan dengan ancaman atau perubahan status
kesehatan
d. Risiko perdarahan
e. Konstipasi berhubungan dengan obstruksi pasca pembedahan.
3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya jaringan saraf
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam pasien dapat mengontrol
nyeri dan memperlihatkan pengendalian nyeri yang dibuktikan oleh indikator
1(tidak pernah menunjukkan), 2 ( jarang menunjukkan), 3 (kadang-kadang
menunjukkan), 4 (sering menunjukkan), 5 (secara konsisten menunjukkan)
dengan
Kriteria Hasil :
1) Mengenali kapan nyeri terjadi dari indikator 2 (jarang menunjukkan)
menjadi 4 (sering menunjukkan)
2) Skala nyeri berkurang dari 6 (sedang) menjadi 3 (ringan)
3) Menggambarkan faktor-faktor penyebab dari indikator 2 (jarang
menunjukkan) menjadi 4 (sering menunjukkan)
4) Melaporkan nyeri yang terkontrol dari indikator 2 (jarang menunjukkan)
menjadi 4 (seing menunjukkan)
5) Menjukkan ekspresi nyeri pada wajah dari indikator 2 (cukup berat)
menjadi 4 (ringan)
6) Gelisah dan ketegangan otot berkurang dari indikator 2 (cukup berat)
menjadi 4 (ringan)

Intervensi :
Manajemen nyeri
1. Kaji nyeri secara komprehensif yang meliputi lokasi, karakteristik, Durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas dan faktor pencetus nyeri
2. Gali bersama pasien faktor-faktor yang dapat menurunkan atau
memperberat nyeri
3. Gali pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai nyeri
4. Observasi adanya petunjuk non-verbal mengenai ketidaknyamanan
Terapi Relaksasi Nafas Dalam
1. Gambarkan rasionalisasi dan manfaat relaksasi
2. Tunjukkan dan praktikan teknik relaksasi pada pasien
3. Dorong pasien untuk mengulang praktik teknik relaksasi
Kolaborasi Pemberian Analgesik
1. Tentukan lokasi,karakteristik, kualitas dan keparahan nyeri sebelum
mengobati pasien
2. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekkuensi obat
analgesik yang diresepkan
3. Pilih rute IV dari pada IM untuk injeksi pengobatan nyeri yang sering
Pemberian Obat : IV
1. Ikuti prinsip 5 benar pemberia obat
2. Cek rute pemberian obat pada label obat
3. Siapkan peralatan yang diburuhkan unruk pemberian obat
4. Pertahankan sterilisasi kateter IV
5. Pilih area injeksi yamg terdekat dengan pasien, matikan aliran infus,
aspirasi pada aliran IV sebelum memasukan obat secara bolus
b. Resiko infeksi
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 faktor risiko dapat terkontrol
dengan
Kriteria Hasil :
1. Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksI
2. Menunjukkan kemampuan untuk menvegah timbulnya infeksi
Intervensi :
Perawatan luka insisi
1. Inspeksi adanya kemerahan, pembengkakan, atau tanda-tanda dehisensi
atau aviserasi pada area insisi
2. Berikan perawatan insisi pada luka dengan prinsip steril
3. Bersihkan dengan normal saline atau pembersih yang tidak beracun,
dengan tepat
Pengendalian infeksi
1. Ajarkan pasien teknik mencuci tangan yang benar
2. Ajarkan kepada pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan
meninggalkan ruangan pasien
3. Berikan terapi antibiotik bila diperlukan
4. Pertahankan teknik isolasi
5. Terapkan kewaspadaan universal
6. Batasi jumlah pengunjung
Perawatan luka
1. Inspeksi luka pada setiap mengganti baluan
2. Observasi karakteristik luka, meliputi drainase warna, ukuran, dan bau
3. Observasi lokasi, luas, dan kedaaman luka
4. Bersihkan dengan normal saline atau pembersih yang tidak beracun,
dengan tepat
5. Berikan perawatan insisi pada luka dengan prinsip steril
6. Oleskan salep yang sesuai dengan kulit/lesi
7. Berikan balutan yang sesuai dengan jenis lukaPerkuat balutan luka,
sesuai kebutuhan
8. Pertahankan teknik balutan steril ketika melakukan perawatan luka,
dengan tepat
9. Periksa luka setiap kali perubahan balutan
10.Catat perbahan luka
11. Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengenal tanda dan gejala infeksi
c. Ansietas ringan berhubungan dengan ancaman atau perubahan status
kesehatan
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam pasien dapat menujukkan
tingkat ansietas yang berkurang yang di buktikan oleh indikator 1 (berat), 2
(cukup berat), 3 (sedang), 4 (ringan), 5 (tidak ada gangguan) dengan
Kriteria Hasil :
1. Perasaan gelisah dari indikator 3 (sedang) ditingkatkan menjadi 5 (tidak
ada gangguan)
2. Wajah tegang dari indikator 3 (sedang) ditingkatkan menjadi 5 (tidak ada
gangguan)
3. Kesulitan berkonsentrasi dari indikator 3 (sedang) ditingkatkan menjadi 5
(tidak ada gangguan)
4. rasa cemas disampaikan secara lisan dari indikator 3 (sedang)
ditingkatkan menjadi 5 (tidak ada gangguan)
5. Ganggua tidur dari indikator 3 (sedang) ditingkatkan menjadi 5 (tidak ada
gangguan)
6. Peningkatan TTV dari indikator 3 (sedang) ditingkatkan menjadi 5 (tidak
ada gangguan)
Intervensi :
Pengurangan kecemasan
1. Identifikasi tingkat kecemasan
2. Berikan informasi faktual terkait diagnosis, perawatan dan prognosis
3. Dorong keluarga untuk mendampingi pasien dengan cara yang tepat
4. Instruksikan pasien untuk menggunakan tenik relaksasi
Teknik menenangkan
1. Yakinkan keselamatan dan keamanan pasien
2. Identifikasi orang-orang terdekat pasien yang bisa membantu pasien
3. Duduk dan bicara dengan pasien
4. Istruksikan pasien untuk menggunakan metode mengurangi kecemasan
5. Berikan obat nti kecemasan jika diperlukan
Pengkatan koping
1. Berikan suasana penerimaan
2. Kenali latar belakang budaya/spiritual pasien
3. Dukung penggunaan sumber-sumber spritual jika di inginkan
4. Dukungan verbalisasi perasaan persepsi dan rasa takut
Terapi relaksasi
1. Gambarkan rasionalisasi dan manfaat relaksasi serta jenis relaksasi yang
tersedia
2. Dorong pasien mengambil posisi yang nyaman dengan pakaian longgar
dan mata tertutup
3. Dapatkan perilaku yang menunjukkan terjadinya relaksasi
4. Minta pasien untuk rileks dan merasakan sensasi yang terjadi
5. Tunjukkan dan praktikkan teknik relaksasi pada pasien
6. Dorong pasien untuk mengulang praktik relaksasi, jika memungkinkan
d. Risiko perderahan
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam pasien tidak mengalami
atau sedikit mengalami keparahan perdarahanyang dibuktikan oleh indikator 1
(berat), 2 (banyak), 3 (sedang), 4 (ringan), 5 (tidak ada) dengan
Kriteria Hasil :
1) Perdarahan yang nyata dari indikator 4 (ringan) ditingkatkan menjadi
indikato 5 (tidak terjadi)
2) Perdarahan pasca pembedahan dari indikator 4 (ringan) ditingkatkan
menjadi indikato 5 (tidak terjadi)
3) Penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik dari indikator 4 (ringan)
ditingkatkan menjadi indikato 5 (tidak terjadi)
4) Penurunan hemoglobin dari indikator 4 (ringan) ditingkatkan menjadi
indikato 5 (tidak terjadi)
Intervensi:
Pencegahan perdarahan
1. Monitor dengan ketat risiko terjadinya perdarahan pada pasien
2. Catat nilai hemoglobin dan hematokrit sebelum dan setelah pasien
kehilangan darah sesuai indikasi
3. Monitor tanda dan gejala perdarahan menetap
4. Monitor tanda-tanda vital
5. Pertahankan agar pasien tetap tirah baring jika terjadi perdarahan aktif
6. Lindungi pasien dari trauma yang dapat menyebabkan perdarahan
7. Hindarkan pemberian injeksi
e. Konstipasi berhubungan dengan obstruksi pasca pembedahan.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam pasien menunjukkan
konstipasi menurun yang dibuktikan oleh defekasi, dengan
Kriteria Hasil
1) Pola eliminasi dari indiaktor 3 (sedang) ditingkatkan menjadi indikator 5
(tidak mengalami gangguan)
2) Feses lunak dan berbentuk dari indiaktor 3 (sedang) ditingkatkan menjadi
indikator 5 (tidak mengalami gangguan)
3) Mengeluarkan feses tanpa bantuan dari indiaktor 3 (sedang) ditingkatkan
menjadi indikator 5 (tidak mengalami gangguan)
Intervensi :
Manajemen Konstipasi/Implikasi
1. Monitor tanda dan gejala konstipasi
2. Monitor pergerakan usus, meliputi frekuensi, konsistensi, bentuk, volume,
dan warna,dengan cara yang tepat
3. Jelaskan penyebab dari masalah dan rasionalisasi tindakan pada pasien
4. Instruksikan pasien/keluarga untuk mencatat warna, volume, frekuensi, dan
konsistensi dari feses
5. Instruksi pada pasien/keluarga pada diet tinggi serat, dengan cara yang
tepat
Manajemen Cairan
1. Monitor TTV pasien
2. Monitor status hidrasi
3. Monitor perubahan berat badan pasien sebelum dan sesudah dialysis
4. Dukung pasien da keluargauntuk membantu dalam pemberianmakan
dengan baik
5. Berikan terapi IV, seperti yang ditentukan
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan nyeri

DAFTAR PUSTAKA

Marilynn E. Doenges. 2008. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Alih Bahasa I
Made Karyono, Ni Made Sumarwati, Edisi III. Jakarta: EGC.

Mitayani. 2009. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika.

Nugroho, dr. Taufan. 2012. Obstetri dan Ginekologi : Untuk Kebidanan dan
Keperawatan. Jogjakarta : Nuha Medika.
Mansjoer, Arif, dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:Media Aesculapius

Nurarif, Amin Huda dan Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC. Jakarta: Media Action

Oxorn H dan Forte W.R. 2010. Ilmu Kebidanan: Patologi & Fisiologi Persalinan.
Editor Dr. Mohammad Hakimi, Ph.D. Yogyakarta: Yayasan Essentia Me dika
(YEM).

Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan . Editor Prof. dr. Hanifa Wiknjosastro,


SpOG. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Anda mungkin juga menyukai