Anda di halaman 1dari 11

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Citomegalovirus (CMV)

Citomegalovyrus (CMV) adalah virus yang diklasifikasikan dalam keluarga virus herpes.
CMV adalah infeksi oportunistik yang menyerang saat system kekebalan tubuh lemah.

Cytomegalovirus atau disingkat CMV merupakan anggota keluarga virus herpes yang
biasa disebut herpesviridae. CMV sering disebut sebagai virus paradoks karena bila menginfeksi
seseorang dapat berakibat fatal, atau dapat juga hanya diam di dalam tubuh penderita seumur
hidupnya.

Cytomegalovirus (CMV) suatu pathogen utama dalam pasien AIDS dengan yang
menderita viremia CMV menetap. Pneumoniaitis dapat disebabkan oleh CMVdan sering di
isolasi dari biopsi transbronkial. Beberapa kasus ulserasi dan perforasi usus CMV telah
dilaporkan serta karioretinitis dan kebutaan tidak jarang terlihat dalam stadium akhir pasien
AIDS. Virus hepatitis B sering ada dalam stadium akhir pasien AIDS maupun pada populasi
berisiko. Kehati-hatian dalam mencegah penularan HBV dalam pasien AIDS harus diikuti juga
Herpes simplex bila menyebabkan ulkus kulit mukosa yang luas dalam area mulut dan
pnemonium seta bias menyear atau memperlihatkan keterlibatan visera. Herves soster bisa
terlokalisasi pada distrubusidermatom atau bisa diseminata. Heves zoster di seminta terbaik
dapat diobati dengan perawatan local dan terapi anti virus intravena, tetapi biasanya lesi ini
kambuh. Virus Epstein-Barr bisa berhubungan dengan limfoma SSP (Saundres,1992).

2.2 Etiologi

Etiologi berdasarkan jenis CMV dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Kongenital: didapat didalam rahim melalui plasenta. Kira-kira 40% bayi yang lahir dari
wanita yang menderita CMV selama kehamilan juga akan terinfeksi CMV. Bentuk paling
berat dari infeksi ini adalah penyakit inklusi sito megalik.
2. Akut-didapat: didapat selama atau setelah kelahiran sampai dewasa. Gejala mirip dengan
mononucleosis( malaise, demam, faringitis, splenomegali, ruam petekia, gejala
pernapasan). Infeksi bukan tanpa sekuela, terutama pada anak-anak yang masih kecil, dan
dapat terjadi akibat tranfusi.
3. Penyakit sistemik umum: terjadi pada individu yang menderita imunosupresi, terutama
jika mereka telah menjalani transpantasi organ. Gejala-gejalanya termasuk pneumonitis,
hepatitis, dan leucopenia, yang kadang-kadang fatal. Infeksi sebelumnya tidak
menghasilkan kekebalan dan dapat menyebabkan reaktivasi virus

Klasifikasi Virus

Group : Group I (dsDNA)

Family : Herpesviridae

Genus : Cytomegalovirus

(HHV5) : Dimensi 100-200 nm.

2.3 Karakteristik CMV

a. Karakteristik CMV adalah sebagai berikut: termasuk famili Herpesvirus, diameter virion
100-200 nanomikron, mempunyai selubung lipoprotein(envelope), bentuk ikosahedral
nukleokapsid, dengan asam nukleat berupa DNA double-stranded. Nama "Cytomegalo"
mengacu pada ciri khas pembesaran sel yang terinfeksi virus, di dalam nukleusnya,
dijumpai inclusion bodies, dan membesar berbentuk menyerupai mata burung hantu
(owl’s eye).
b. Cytomegalovirus dapat dipisahkan dari virus herpes lainnya dengan menggunakan
perangkat biologi seperti jenis semang dan jenis sitopatologi yang ditimbulkan.
Pembelahan virus dihubungkan dengan produksi inklusi intranukleus yang besar dan
inklusi intrasitoplasma yang lebih kecil. Virus ini tampaknya bereplikasi dalam berbagai
jenis sel in vivo; pada biakan jaringan virus lebih banyak bereplikasi di fibroblast. Masih
belum jelas apakah sitomegalovirus bersifat onkogenik dalam tubuh. Walaupun jarang
sekali, virus ini dapat mengubah bentuk fibroblast, dan pecahan gen perubah bentuk ini
telah ditemukan.
2.4 Klasifikasi

CMV dapat mengenai hamper semua organ dan menyebabkan hamper semua jenis infeksi.
Organ yang terkena adalah:

1. CMV nefritis (ginjal).


2. CMV hepatitis (hati).
3. CMV myocarditis (jantung).
4. CMV pneumonitis (paru-paru).
5. CMV retinitis (mata).
6. CMV gastritis (lambung).
7. CMV colitis (usus).
8. CMV encephalitis (otak).

2.5 Manifestasi klinis

Pada usia bayi baru lahir, bayi yang terinfeksi sitomegalovirus biasanya asimtomatik.
Awitan gejala infeksi yang di dapat secara congenital dpat terjadi segera setelah lahir atau
sampai berusia 12 minggu.

Masa inkubasi tidak diketahui. Berikut ini perkiraan masa inkubasi: setelah lahir-3
sampai 12 minggu setelah transfusi-3 sampai 12 minggu, dan setelah transplatasi-4 minggu
sampai 4 bulan. Urine sering mengandung CMV dari beberapa bulan sampai beberapa tahun
setelah infeksi. Virus tersebut dapat tetap tidak aktif dalam tubuh seseorang dan masih dapat
diaktifkan kembali. Saat ini belum ada imunisasi untuk mencegah infeksi virus.

Tidak ada indikator yang dapat di ramalkan, tetapi sering dijumpai gejala-gejala berikut:

1. Petekie dan akimasis


2. Hepatoplenomegali
3. Ikterus neonaturum : hiperbilirubinemia direk
4. Mikrosefali dengan klasifikasi periventrikular
5. Retardasi pertumbuhan intrauterus
6. Prematuritas
7. Ukuran kecil menurut usia kehamilan
Gejala lain dapat terjadi pada bayi baru lahir atau pada anak yang lebih besar:

1. Purpura
2. Hilang pendengaran
3. Korioretinitis (kebutaan)
4. Demam
5. Pneumonia
6. Takipneu dan dispnue
Kerusakan otak. (Cecily Lynn Bezt., 2009., buku saku keperawatan pediatric., Eds 5.,
EGC., Jakarta)

Pada orang dewasa sehat, CMV biasanya tidak menghasilkan gejala infeksi. Bila ada
gejala, mungkin muncul sebagai pembengkakan ringan kelenjar getah bening, demam, dan
kelelahan. Orang dengan infeksi HIV / AIDS dapat mengembangkan infeksi CMV yang parah,
termasuk CMV retinitis, sebuah penyakit mata yang dapat menyebabkan kebutaan.

Hanya pada individu dengan penurunan daya tahan dan pada masa pertumbuhan janin
sitomegalovirus menampakkan virulensinya pada manusia. Pada wanita normal sebagian besar
adalah asimptomatik atau subklinik., tetapi bila menimbulkan gejala akan tampak gejala antara
lain.

1. Mononukleosis-like syndrome yaitu demam yang tidak teratur selama 3 minggu. Secara
klinis timbul gejala lethargi, malaise dan kelainan hematologi yang sulit dibedakan
dengan infeksi mononukleosis ( tanpa tonsilitis atau faringitis dan limfadenopati
servikal ). Kadang-kadang tampak gambaran seperti hepatitis dan limfositosis atipik.
Secara klinis infeksi sitomegalovirus juga mirip dengan infeksi virus Epstein-Barr dan
dibedakan dari hasil tes heterofil yang negatif. Gejala ini biasanya self limitting tetapi
komplikasi serius dapat pula terjadi seperti hepatitis, pneumonitis, ensefalitis, miokarditis
dan lain-lain. Penting juga dibedakan dengan toksoplasmosis dan hepatitis B yang juga
mempunyai gejala serupa.
2. Sindroma post transfusi. Viremia terjadi 3 – 8 minggu setelah transfusi. Tampak
gambaran panas kriptogenik, splenomegali , kelainan biokimia dan hematologi. Sindroma
ini juga dapat terjadi pada transplantasi ginjal.
3. Penyakit sistemik luas antara lain pneumonitis yang mengancam jiwa yang dapat terjadi
pada pasien dengan infeksi kronis dengan thymoma atau pasien dengan kelainan
sekunder dari proses imunologi ( seperti HIV tipe 1 atau 2 ).
4. Hepatitis anikterik yang terutama terjadi pada anak-anak
a. Tidak seperti virus rubella, sitomegalovirus dapat menginfeksi hasil konsepsi
setiap saat dalam kehamilan. Bila infeksi terjadi pada masa organogenesis
( trimester I ) atau selama periode pertumbuhan dan perkembangan aktif
( trimester II ) dapat terjadi kelainan yang serius. Juga didapatkan bukti adanya
korelasi antara lamanya infeksi intrauteri dengan embriopati.
b. Pada trimester I infeksi kongenital sitomegalovirus dapat menyebabkan prematur,
mikrosefali, IUGR, kalsifikasi intrakranial pada ventrikel lateral dan traktus
olfaktorius, sebagian besar terdapat korioretinitis, juga terdapat retardasi mental,
hepatosplenomegali, ikterus, purpura trombositopeni, DIC.
c. Infeksi pada trimester III berhubungan dengan kelainan yang bukan disebabkan
karena kegagalan pertumbuhan somatik atau pembentukan psikomotor. Bayi
cenderung normal tetapi tetap berisiko terjadinya kurang pendengaran atau
retardasi psikomotor.

2.6 Patofisiologi

CMV merupakan virus litik yang menyebabkan efek sitopatik in vivo dan in vitro.tanda
patologi dari infeksi CMV adalah sebuah pembesaran sel dengan tubuh yang terinfeksi virus. Sel
yang menunjukan cytomegaly biasanya terlihat pada infeksi yang disebabkan oleh
betaherpesvirinae lain. Meskipun berdasarkan pertimbangan diagnosa, penemuan histological
tersebut kemungkinannya minimal atau tidak ada pada organ yang trinfeksi.

Ketika inang telah terinfeksi, DNA CMV dapat di deteksi oleh polymerase chain reaction
(PCR) di dalam semua keturunan sel atau dan sistem organ di dalam sistem tubuh. Pada
permulaannya,CMV menginfeksi sel epitel dari kelenjar saliva, menghasilkan infeksi yang terus
menerus dan pertahanan virus. Infeksi dari sistem genitif memberi kepastian klinik yang tidak
konsekuen.meskipun replikasi virus pada ginjal berlangsung terus-menerus, disfungsi ginjal
jarang terjadi pada penerima transplantasi ginjal (Cecily Lynn Bezt., 2009., buku saku
keperawatan pediatric., Eds 5., EGC., Jakarta)
2.7 Patogenesis

Virus CMV memasuki sel dengan cara terikat pada reseptor yang ada di permukaan sel
inang, kemudian menembus membran sel, masuk ke dalam vakuole di sitoplasma, lalu selubung
virus terlepas, dan nucleocapsid cepat menuju ke nukleus sel inang (uncoating) (Budipardigdo,
2007)

Riwayat infeksi CMV sangat kompleks, setelah infeksi primer, virus diekskresi melalui
beberapa tempat dan ekskresi virus dapat menetap beberapa minggu, bulan, bahkan tahun
sebelum virus hidup laten. Episode infeksi ulang sering terjadi, karena reaktivasi dari keadaan
laten dan terjadi pelepasan virus lagi. Infeksi ulang juga dapat terjadi eksogen dengan strain lain
dari CMV. Infeksi CMV dapat terjadi setiap saat dan menetap sepanjang hidup. ”Sekali
terinfeksi, tetap terinfeksi”, virus hidup dormant dalam sel inang tanpa menimbulkan keluhan
atau hanya keluhan ringan seperti common cold. Replikasi virus merupakan faktor risiko penting
untuk penyakit dengan manifestasi klinik infeksi CMV. Penyakit yang timbul melibatkan peran
dari banyak molekul baik yang dimiliki oleh CMV sendiri maupun molekul tubuh inang yang
terpacu aktivasi atau pembentukannya akibat infeksi CMV. CMV dapat hidup di dalam
bermacam sel seperti sel epitel, endotel, fibroblas, leukosit polimorfonukleus, makrofag yang
berasal dari monosit, sel dendritik, limfosit T (CD4+ , CD8+ ), limfosit B, sel progenitor
granulosit-monosit. Dengan demikian berarti CMV menyebabkan infeksi sistemik dan
menyerang banyak macam organ antara lain kelenjar ludah, tenggorokan, paru, saluran cerna,
hati, kantong empedu, limpa, pankreas, ginjal, adrenal, otak atau sistem syaraf pusat. Virus dapat
ditemukan dalam saliva, air mata, darah, urin, semen, sekret vagina, air susu ibu, cairan amnion
dan lain-lain cairan tubuh. Ekskresi yang paling umum ialah melalui saliva, dan urin dan
berlangsung lama, sehingga bahaya penularan dan penyebaran infeksi mudah terjadi. Ekskresi
CMV pada infeksi kongenital sama seperti pada ibu, juga berlangsung lama (Budipardigdo,
2007).

Reaktivasi, replikasi dan reinfeksi umum terjadi secara intermiten, meskipun tanpa
menimbulkan keluhan atau kerusakan jaringan. Replikasi DNA virus dan pembentukan kapsid
terjadi di dalam nukleus sel inang. Sel-sel terinfeksi CMV dapat berfusi satu dengan yang lain,
membentuk satu sel besar dengan nukleus yang banyak. Endothelial giant cells (multinucleated
cells) dapat dijumpai dalam sirkulasi selama infeksi CMV menyebar. Sel berinti ganda yang
membesar ini sangat berarti untuk menunjukkan replikasi virus, yaitu apabila mengandung
inklusi intranukleus berukuran besar seperti mata burung hantu (owl eye) (Budipardigdo, 2007).

Respons imun seseorang memegang peran penting untuk mengeliminasi virus yang telah
menyebabkan infeksi. Pada kondisi kompetensi imun yang baik (imunokompeten), infeksi CMV
akut jarang menimbulkan komplikasi, namun penyakit dapat menjadi berat bila individu berada
dalam keadaan immature (belum matang), immunosuppressed (respons imun tertekan) atau
immunocompromised (respons imun lemah), termasuk ibu hamil dan neonatus, penderita HIV
(human immunodeficiency virus), penderita yang mendapatkan transplantasi organ atau
pengobatan imunosupresan dan yang menderita penyakit keganasan. Pada kondisi tersebut,
sistem imun yang tertekan atau lemah, belum mampu membangun respons baik seluler maupun
humoral yang efektif, sehingga dapat mengakibatkan nekrosis atau kematian jaringan yang berat,
bahkan fatal (Budipardigdo, 2007). Cytomegalovirus dapat menyebabkan respons limfosit T
yang lemah, yang sering kali mengakibatkan superinfeksi oleh kuman oportunistik.
Cytomegalovirus juga dapat mejadi factor pembantu dalam mengaktifkan infeksi laten HIV.

2.8 Komplikasi

2.8.1 Infeksi sitomegalovirus pada kehamilan

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa infeksi primer terjadi pada semua trimester
dengan sekitar 37% neonatus lahir dengan infeksi kongenital. Tidak jelas mengapa pada kasus
lainnya infeksi primer tidak menembus plasenta, tetapi karena mayoritas neonatus yang
terinfeksi tidak mengalami penyakit ini, risiko ibu yang menderita infeksi primer untuk memiliki
bayi yang terkena sitomegalovirus kongenital hanya sekitar 7% (Griffiths 2001). Telah
dikemukakan bahwa infeksi primer maternal itu sendiri tidak dapat dijadikan kriteria untuk
melakukan aborsi elektif (Griffiths & Baboonian 1984).

Wanita sudah imun terhadap sitomegalovirus sebelum kehamilan masih dapat melahirkan
bayi yang menderita infeksi sitomegalovirus kongenital (Rutter et al 1985). Pada kasus semacam
ini, jenis infeksi kambuhan tidak mungkin dapat dibedakan; dalam hal ini, infeksi cenderung
terjadi karena reaktivasi sitomegalovirus laten maternal bukan karena reinfeksi dar sumber lain,
misalnya dari ayah. Insiden penularan veritikal dengan infeksi kambuhan dapat bervariasi antara
0,15% dan 1,5% pada wanita seropositif, bergantung pada prevalensinya. Hal ini menunjukkan
bahwa sirkulasi sitomegalovirus dikomunitas merupakan faktor risiko terjadinya infeksi primer
selama kehamilan dan juga infeksi kambuhan pada ibu (Griffithas 2001). Infeksi janin dan
neonates

Sitomegalovirus merupakan infeksi intrauterus yang paling sering terjadi, menyerang 0,4
hingga 2,3% dari semua kelahiran hidup. Tidak seperti rubella yang memiliki efek teratogenik,
sitomegalovirus memungkinkan organ janin berkembang normal, tetapi menyebabkan penyakit
akibat perusakan sekunder terhadap sel. Hingga 18% bayi yang lahir dari ibu yang menderita
infeksi primer dapat mengalami gejala pada saat lahir. Oleh sebab itu, prognosisnya tidak baik.
Lebih dari 90% pasien yang simptomatik mengalami tuli sensorineural, retardasi mental,
korioretinitis dan komplikasi lain pada tahun berikutnya (Fowler et al 1992; Stagno et al 1986).
Bayi yang menderita infeksi subklinis prognosisnya lebih baik, tetapi 5-15% akan menderita
sukuela yang biasanya tidak begitu berat dibandingkan bayi yang menderita infeksi simptomatik
pada saat lahir. Sebagian besar infeksi kongenital simptomatik, dan infeksi yang menyebabkan
sekuela terjadi akibat infeksi primer yang didapat selama kehamilan (10-15%), bukan infeksi
kambuhan pada wanita hamil (0-2%) (Sarwano 2010).

Infeksi perinatal terjadi akibat pajanan sitomegalovirus pada saluran genital maternal saat
persalinan atau melalui ASI. Infeksi ini biasanya terjadi dengan adanya antibodi maternal yang
didapatkan secara pasif. Sebagian besar bayi yang terkena infeksi bersifat asimptomatik, tetapi
terkadang infeksi yang diperoleh pada periode perinatal yang menyebabkan pneumonitis pada
bayi prematur dan bayi cukup bulan yang sakit, Sukuela neurologis, dan retardasi psikomotor
(Sarwano 2010).

2.9 Penatalaksanaan

Pilihan terapi terbaik dan pencegahan penyakit CMV yaitu gansiklovir dan
valgansiklovir. Pilihan lainnya merupakan lini kedua antara lain foscarnet dan cidofovir .
Konsensus yang menyatakan hal yang lebih baik antara profilaksis dengan terapi preemptive
yang lebih baik untuk pencegahan infeksi CMV pada penerima organ transplan solid (Schleiss,
2010).
a. Terapi medikamentosa

Pemberian terapi anti-Cytomegalovirus hanya setelah konsultasi dengan ahli yang mengerti
dengan dosis dan efek berat. Agen antiviral dapat diberikan pada terapi penyakir
Cytomegalovirus yang sudah ditegakan atau sebagai profilaksis (seperti terapi preemptive) jika
risiko perkembangan penyakit ini tinggi (seperti pada penerima organ transplan) (Schleiss, 2010)

Antivirus nukleosida adalah agen antivirus yang sesungguhnya aktif melawan


Cytomegalovirus, meskipun immunoglobulin dapat menyediakan efek antivirus, yang sebagian
besar dikombinasikan dengan obat-obat ini. Obat-obat ini bekerja pada target molekuler yang
umum yang dinamakan DNA polimerase virus. Gansiklovir adalah sebuah analog nukleosida
asiklik, sedangkan cidofovir adalah fosfanat nukleosid asiklik. Setiap bahan harus difosforilasi
ke dalam bentuk trifosfat sebelum dapat dihambat oleh polimerase Cytomegalovirus. Produk gen
virus, UL97 fosfotranferase memediasi langkah untuk monofosforilasi untuk gansiklovir.
Foscarnet bukan merupakan analog nukleosida sejati, tetapi dapat juga secara langsung
menghambat polimerase virus (Schleiss, 2010).

Gansiklovir umumnya digunakan sebagai terapi preemptive pada penerima organ transplan
yang berisiko tinggi mengalami perkembangan penyakit (seperti penerima organ transplan yang
seronegatif terhadap organ transplan dari donor seropositif). Asiklovir per oral dan pernteral juga
telah sukses digunakan untuk profilaksis organ padat transplantasi (penerima seronegatif).
Meskipun demikian, asiklovir tidak pernah digunakan untuk terapi penyakit Cytomegalovirus
yang aktif. Formulasi oral dibuktikan untuk digunakan pada pasien HIV dewasa yang mengalami
retinitis Cytomegalovirus. Meskipun demikian bioavailabilitasnya kurang dan tidak ada data
yang mendukung pada anakanak (Schleiss, 2010).

Sekuel neurologi dari Cytomegalovirus kongenital umumnya tuli sensorineural, berkembang


pada posnatal, kemunculan hasilnya dari percobaan terminasi kolaborasi bangsa-bangsa masih
menarik diteliti. Gansiklovir intravena membawa perkembangan atau stabilisasi pendengaran
pada sejumlah balita usia 6 bulan. Laporan kasus menyarankan efikasi gansiklovir untuk
penyakit neonatus akut dengan pengancaman jiwa penyakit Cytomegalovirus (seperti
pneumonia) (Schleiss, 2010).
Alternatif gansiklovir meliputi trisodium fosformat (PFA) dan cidofovir. Pengalaman dokter
anak dengan obat ini terbatas. Meskipun berpotensi digunakan dalam latar belakang resisten
gansiklovir, toksisitas antivirus ini cukup besar. Penggunaan obat-obatan ini pada pasien
pediatrik hanya pada kondisi perkecualian. Meskipun obat ini memiliki aktivitas perlawanan
terhadap virus ini tingkat sedang, dosis tinggi acyclovir oral dan valacyclovir telah digunakan
untuk profilaksis penyakit ini dengan individu risiko tinggi seperti yang telah disebutkan, tetapi
tidak sesuai pada terapi penyakit aktif. Terapi oral dengan valgansiklovir dipertimbangkan untuk
diinvestigasi pada anak (Schleiss, 2010).

1. Gansiklovir
Gansiklovir terlisensi untuk terapi infeksi CMV. Nukleotida asiklik sintetik secara
struktural serupa dengan guanin. Struktur tersebut serupa pada acyclovir yang
membutuhkan fosforilasi aktivitas antiviral. Enzim yang bertanggung jawab untuk
fosforilasi adalah produk gen UL97 virus, sebuah protein kinase. Resistensi dapat terjadi
pada penggunaan jangka panjang, secara umum terjadi karena mutasi gen ini. Indikasi
obat ini untuk anak immunocompromised seperti infeksi HIV, postransplan, dan lain-lain
jika secara klinis dan virologis membuktikan penyakit spesifik berakhirnya organ yang
spesifik (Schleiss, 2010).
Pada balita, terapi antiviral dengan gansiklovir mungkin berguna menurunkan
prevalensi sekuel perkembangan neural, umumnya tuli sensorineural. Sebuah penelitian
mengenai penyakit alergi dan infeksiinstitusi nasional di negara peneliti menunjukkan
perbaikan relatif pada pendengaran pada tuli simtomatik kongenital CMV yang diterapi
dengan gansiklovir. Meskipun demikian, terapi pada neonatus harus dikonsultasikan oleh
ahlinya (Schleiss, 2010).
2. Immunoglobulin
Imunoglobulin digunakan sebagai imunisasi pasif untuk mencegah penyakit
Cytomegalovirus simtomatik. Strategi ini telah digunakan pada kontrol penyakit
Cytomegalovirus pada pasien immunocompromised pada era aantivirus prenuklosida.
Bukti pada kehamilan menyarankan infus Ig CMV pada wanita dengan infeksi primer
dapat mencegah transmisi dan memeperbaiki kondisi kelahiran (Schleiss, 2010).
3. Valgansiklovir (VGCV)
Valgansiklovir (VGCV) adalah sebuah prodrug turunan valyl dari gansiklovir.
Setelah absorbsi di intestinum, moase valine cepat diurai oleh hepar menghasilkan GCV.
Zat ini inaktif dan membutuhkan trifosforilasi untuk aktivitas virostatis (Schleiss, 2010)
b. Pembedahan
Terapi operatif yang dibutuhkan seperti pada kejadian dengan cerebral palsy yaitu
dengan operasi ortopedik dan gastrotomy. Gastrotomy dilakukan untuk mengganti nutrisi
untuk ke enteral (Schleiss, 2010).

DAFTAR PUSTAKA

W.B. Saundres.,1992.,Buku Ajar Bedah.,EGC: Jakarta

Schleiss, M.R., 2010. Cytomegalovirus Infection: Treatment & Medication. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/963090-treatment. Diakses pada 30 Juni 2014

Cecily Lynn Bezt., 2009., Buku Saku Keperawatan Pediatric., Eds 5., EGC :
Jakarta
Gordon Et All. 2002. NANDA Nursing Diagnoses Definition and Classification
(NIC), Second Edition. USA: MosbyClassification (NOC), econd Edition. USA: Mosby
Budipardigdo S, Lisyani. 2007. Kewaspadaan Terhadap Infeksi Cytomegalovirus
Serta Kegunaan Deteksi Secara Laboratorik. Universitas Diponegoro: Semarang
Ljungman P, Griffiths P, Paya C.2001. Definitions of cytomegalovirus infection
and disease in transplant recipients. Clin Infect Dis.Sarwono
Prawirohardjo.2010.Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Anda mungkin juga menyukai