Anda di halaman 1dari 8

Resume

Infeksi Sitomegalovirus
(Kompetensi 3B)

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/KSM Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Unsyiah/RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun Oleh:
ALLISA RAHMATUNNISA
NIM. 2007501010042

Pembimbing:
dr. Suheir Muzakkir, Sp.PD

BAGIAN/KSM ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT DR. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
2021
Infeksi CMV atau yang dikenal dengan infeksi cytomegalovirus
merupakan infeksi kongenital yang paling sering terjadi, dengan bahaya
malformasi kongenital yang terjadi pada janin. Infeksi CMV merupakan suatu
penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh virus cytomegalovirus yang
tergabung pada family Herpesviridae. Infeksi CMV dapat terjadi pada janin,
neonatus, balita, anak-anak, maupun orang dewasa. Transmisi dari infeksi CMV
adalah melalui kontak cairan tubuh penderita. Cairan tubuh yang dapat
menularkan, yaitu saliva, darah, sekret kemaluan, urin, ataupun air susu ibu.1

CMV adalah virus DNA beruntai ganda dan merupakan anggota dari virus
herpes. Seperti virus herpes lainnya, setelah pemulihan infeksi awal, CMV tetap tidak
aktif di dalam inang. Reaktivasi virus terjadi selama gangguan sistem kekebalan dengan
imunosupresi. Infeksi CMV dapat terjadi secara primer maupun akibat reaktivasi
infeksi CMV laten. Transmisi dari ibu ke janin dapat terjadi pada usia gestasi
berapapun yang menyebabkan terjadinya kelainan kongenital dari CMV. Pada
orang dewasa, infeksi CMV pada umumnya simptomatik derajat ringan seperti flu
like syndrome maupun asimptomatik.2

CMV menginfeksi antara 60% hingga 70% orang dewasa di negara industri dan
hampir 100% di negara berkembang. Dari semua virus herpes, CMV memiliki jumlah
gen terbesar yang didedikasikan untuk menghindari kekebalan bawaan dan adaptif pada
inang. CMV merupakan beban seumur hidup dari pengawasan sel-T antigenik dan
disfungsi kekebalan. CMV kongenital adalah penyebab infeksi utama dari ketulian,
ketidakmampuan belajar, dan cacat intelektual. 3

Infeksi dapat terjadi sebagai infeksi primer, reinfeksi, atau reaktivasi. Penularan


CMV dapat terjadi dengan berbagai cara: melalui produk darah (transfusi, transplantasi
organ), menyusui, pelepasan virus dalam pengaturan kontak dekat, melalui perinatal, dan
penularan seksual. Reaktivasi terlihat pada pasien yang menjadi immunocompromised
dan dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
1. Infeksi primer: infeksi pada pasien seronegatif; mungkin asimtomatik
2. Infeksi berulang: Reinfeksi atau reaktivasi CMV pada pasien seropositif
3. Infeksi CMV: Adanya CMV dalam cairan tubuh (urin, darah) atau jaringan
4. Penyakit CMV: Infeksi CMV dengan tanda dan gejala non-spesifik terkait dan /
atau keterlibatan organ akhir4
Setelah CMV ditularkan, dan infeksi primer hilang, virus tetap tidak aktif
di sel myeloid. Replikasi dan reaktivasi vital terkandung terutama oleh imunitas
sel T sitotoksik. Namun, ketika reaktivasi terjadi, virion dilepaskan ke aliran darah
dan cairan tubuh lainnya, yang menyebabkan munculnya gejala, terutama pada
pasien yang mengalami gangguan sistem imun.3
Pergi ke:

Secara histopatologi, CMV bereplikasi di dalam sel endotel dengan kecepatan


lambat. Seperti virus herpes lainnya, CMV mengekspresikan gen dengan cara yang
dikendalikan sementara.
a) Gen awal dalam 0 hingga 4 jam setelah infeksi terlibat dalam pengaturan
transkripsi.
b) Gen awal dalam 4 sampai 48 jam setelah infeksi terlibat dalam replikasi DNA
virus dan regulasi transkripsi lebih lanjut.
c) Gen terlambat diekspresikan selama sisa infeksi hingga virus keluar dan kode
untuk protein struktural.
d) Sementara CMV mengkodekan DNA polimerase fungsional, virus
menggunakan RNA polimerase inang untuk transkripsi gennya.
Penegakkan diagnosis infeksi CMV atau cytomegalovirus ditegakkan
melalui klasifikasi gejala klinis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
serta didukung oleh pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan serologi, kultur
virus, dan radiologi pencitraan.

Anamnesis

Anamnesis pada pasien dengan infeksi CMV dibedakan menjadi pasien


yang terinfeksi CMV pada kehamilan, pasien dengan status imunokompromais
salah satunya HIV/AIDS maupun pengguna obat kortikosteroid lama, dan pasien
dengan status imunokompeten.

Infeksi CMV pada kehamilan, Gejala infeksi CMV bersifat tidak spesifik
dikarenakan gejala yang ada menyerupai terhadap infeksi influenza pada
umumnya,sekitar 25-50% wanita hamil bersifat asimptomatik.5
Infeksi CMV pasien imunokompromais, seperti pada pasien dengan
riwayat transplantasi organ, pasien dengan riwayat penyakit HIV/AIDS maupun
riwayat penyakit autoimun sebelumnya, gejala infeksi CMV yang dialami dapat
terjadi lebih berat yang ditandai dengan adanya kerusakan sistem organ.  Apabila
sudah ada kerusakan sistem organ, umumnya menimbulkan gejala seperti artralgia
dan rash  tanpa penyebab yang jelas.3

Sistem pernafasan menjadi target kerusakan sistem organ tersering pada


pasien dengan infeksi CMV. Gagal nafas menjadi penyebab kematian umum pada
pasien dengan status imunokompromais dengan infeksi CMV. Selain sistem
pernafasan, kerusakan sistem gastrointestinal juga menjadi target organ tersering.
Gangguan sistem pencernaan disertai adanya erosi luas pada mukosa traktus
digestif menandai kerusakan organ yang terjadi.6

Gejala infeksi cytomegalovirus pada pasien yang memiliki status


imunokompeten cukup berbeda dengan gejala pada pasien dengan status
imunokompromais. Gejala yang ada pada pasien dengan status imunokompeten
dapat menjadi lebih panjang dari pada umumnya, seperti contohnya demam yang
dialami dapat mencapai 3 minggu. Gejala khas yang umumnya muncul pada
pasien imunokompeten dengan infeksi CMV, yaitu demam yang berkepanjangan,
dapat mencapai hingga 3 minggu, malaise, dan keringat malam. Selain itu, gejala
penyerta yang dapat dialami adalah myalgia, nyeri sendi, dan transaminitis.
Infeksi cytomegalovirus juga dapat lebih cepat memberikan gejala yang
mengancam nyawa, seperti meningitis dan ensefalitis, serta kegagalan organ yang
lebih cepat.7

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada infeksi CMV dibedakan menjadi pasien dengan


infeksi CMV kongenital, pasien dengan status imunokompromais, dan pasien
dengan status imunokompeten.

Pada pasien imunokompromais, pemeriksaan yang kurang spesifik pada


pasien dewasa dengan infeksi CMV. Pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan
infeksi CMV umumnya hanya sering ditemukan pada pasien dewasa yang juga
memiliki riwayat HIV/AIDS. Pemeriksaan fisik yang umumnya ditemukan, yaitu
terjadinya retinitis, esophagitis, dan enteritis. Kelainan sistem saraf tepi seperti
neuropati perifer dan poliradikuloneuritis juga sering ditemukan sebagai kelainan
fisik dari pasien dengan infeksi CMV dan HIV/AIDS.6

Sedangkan pada Pasien Imunokompeten, pemeriksaan fisik yang sering


ditemukan pada pasien dengan status imunokompeten seringkali berkaitan dengan
kerusakan organ yang terjadi pada pasien, yaitu colitis, thrombosis vaskular,
pneumonia, dan myocarditis. Selain itu kelainan hematologi, seperti anemia
hemolitik dan trombositopenia juga sering didapatkan pada pasien
imunokompeten dengan infeksi CMV.6,7

Diagnosa Banding

Infeksi CMV dapat didiagnosis banding dengan infeksi kongenital lainnya,


seperti toxoplasmosis, rubella, herpes simpleks, dan penyakit Zika.  Pemeriksaan
serologi, kultur virus, dan pemeriksaan radiologi menjadi pemeriksaan penunjang
yang dapat membantu menegakkan diagnosis dari setiap infeksi kongenital yang
ada.8

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk mendiagnosis infeksi


CMV, adalah pemeriksaan laboratorium, termasuk didalamnya pemeriksaan
serologi, kultur virus atau pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) untuk
mendeteksi DNA virus dan pencitraan. Pada pasien immunocompromised, viral load
mungkin tidak terdeteksi dalam beberapa kasus. Untuk alasan ini, PCR negatif tidak
menyingkirkan infeksi CMV. Pengujian serologis memberikan informasi penting
mengenai serostatus sebelum transplantasi organ untuk stratifikasi risiko infeksi
CMV. Namun, tidak disarankan untuk diagnosis infeksi akut.3

Tatalaksana
Beberapa agen antivirus telah disetujui untuk pengobatan CMV (cidofovir,
foscarnet, gansiklovir, valgansiklovir). 
1) Pasien imunokompeten datang dengan gejala minimal atau tanpa gejala dan sembuh
sendiri serta tidak memerlukan terapi khusus selain penatalaksanaan
simptomatik. Namun, terapi antiviral harus dipertimbangkan dalam kasus
mononukleosis CMV yang parah, infeksi CMV, dan penyakit CMV pada pasien
dengan gangguan kekebalan.
2) Penggunaan terapi antivirus bukannya tanpa risiko. Toksisitas umum terjadi dengan
penggunaan agen-agen ini dan harus dipertimbangkan terhadap manfaat memulai
pengobatan.
Pasien tanpa infeksi CMV yang menerima transplantasi organ dari donor yang
terinfeksi CMV harus menerima pengobatan profilaksis dengan valgansiklovir atau
gansiklovir, dan pemantauan serologis secara teratur; jika diobati, infeksi yang berpotensi
mengancam nyawa secara dini dapat dihindari. 3,9
Prognosis untuk kebanyakan pasien CMV adalah baik selama mereka tidak
memiliki keadaan imunosupresi. Pemulihan biasanya selesai dengan pengobatan. Namun,
kelelahan bisa berlangsung selama beberapa bulan. Pneumonia CMV pada pasien
transplantasi sumsum dapat menyebabkan kematian yang tinggi jika pengobatan ditunda. 3
CMV dapat mempengaruhi hampir semua organ di tubuh, dan karenanya
diperlukan pendekatan interprofesional.Keterlibatan tim interprofesional dapat
meningkatkan hasil. Penyedia perawatan primer, spesialis penyakit menular, dokter
transplantasi, perawat transplantasi, dan apoteker semuanya dapat terlibat. Diagnosis dan
pengobatan dilakukan oleh dokter dan perawat praktisi. Apoteker mengevaluasi obat yang
diresepkan dan memeriksa interaksi. Perawat memantau pasien, mendidik mereka dan
keluarga mereka, dan memperbarui tim tentang perubahan status. 3
DAFTAR PUSTAKA

1. Rawlinson WD, Boppana SB, Fowler KB, Kimberlin DW, Lazzarotto T,


Alain S. Congenital cytomegalovirus infection in pregnancy and the neonate:
consensus recommendations for prevention, diagnosis, and therapy. Lancet
Infection Disease. 2017; 17: 177-88.

2. Swanson E, Schleiss M. Congenital Cytomegalovirus Infection: New


Prospects for Prevention and Therapy. Pediatric Clinic North America. 2013;
60(2): 1-17.

3. Gupta M, Shorman M. Cytomegalovirus. [Diperbarui 2020 Nov 20]. Dalam:


StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): Penerbitan StatPearls; 2020
Jan-. Tersedia dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459185/

4. Zheng QY, Huynh KT, van Zuylen WJ, Craig ME, Rawlinson WD.
Cytomegalovirus infection in day care centres: A systematic review and meta-
analysis of prevalence of infection in children. Rev Med Virol. 2019
Jan;29(1):e2011.

5. Rawlinson WD, Boppana SB, Fowler KB, Kimberlin DW, Lazzarotto T,


Alain S. Congenital cytomegalovirus infection in pregnancy and the neonate:
consensus recommendations for prevention, diagnosis, and therapy. Lancet
Infection Disease. 2017; 17: 177-88.

6. Ross S.A, Novak Z, Pati S, Boppana S. Diagnosis of Cytomegalovirus


Infections. Infect Disord Drug Targets. 2011; 11(5): 466-474

7. Nangle S, Mitra S, Roskos S, Havlichek D. Cytomegalovirus infection in


immunocompetent adults: Is observation still the best strategy? IDCases.
2018; 14: 2214-2509.

8. Werner H, Daltro P, Fazecas T, Mehrjardi MZ, Junior E. Neuroimaging


findings of Congenital Toxoplasmosis, Cytomegalovirus, and Zika Virus
Infections: A Comparison of Three Cases. Journal Obstetric Gynaecology
Canada. 2017; 39(12):1150-1155.

9. Bartlett AW, Hall BM, Palasanthiran P, McMullan B, Shand AW, Rawlinson WD.
Recognition, treatment, and sequelae of congenital cytomegalovirus in Australia: An
observational study. J Clin Virol. 2018 Nov;108:121-125.

Anda mungkin juga menyukai