Anda di halaman 1dari 17

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN DAN

PERILAKU ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN CEDERA PADA


BALITA DI DESA NGEBEL TAMANTIRTO KASIHAN BANTUL
YOGYAKARTA

Istiana Dewi¹, Azizah Khoiriyati²


¹Mahasiswa program Studi Ilmu Keperawatan FKIK UMY,
²Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan FKIK UMY
Latar Belakang: Masa balita merupakan masa keemasan masa ini
menentukan perkembangan anak selanjutnya, di mana pada usia ini anak mulai
belajar hal baru yang mungkin dapat membahayakan anak. Pengetahuan tentang
tumbuh kembang anak penting untuk mencegah cedera pada anak. Perilaku
orang tua juga dapat mempengaruhi pencegahan cedera yang akan di lakukan
orang tua. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengatahui hubungan
antara tingkat pengetahuan dan perilaku orang tua dalam pencegahan cedera
pada balita di dusun Ngebel Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta.

Metode Penelitian: Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasional


dengan pendekatan cross sectional. Subyek penelitian ini adalah Orang tua
balita di Dusun Ngebel Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta. Instrument
penelitian ini menggunakan questioner yang di buat sendiri oleh peneliti. Data
yang di peroleh dianalisis menggunakan uji Chi-Square.

Hasil Penelitian: Hasil penelitian menunjukan bahwa mayoritas orang


tua beusia 21-45 sebanyak 37 responden (92.5%), berpendidikan SMA 24
responden (60%), memiliki pekerjaan sebagi ibu rumah tangga 29 responden
(72.5%), mendapatkan informasi dari keluarga 26 responden (65%). Mayoritas
orang tua memiliki tingkat pengetahuan yang baik 25 responden (62.5), dan
memiliki perilaku yang cukup 15 responden (37.5%). Hasil penghitungan di
dapatkan hasil korelasinya 0.00 dimana p- value > 0.005.

Kesimpulan: Berdasarkan hasil Penelitian didapatkan hasil bahwa


terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dan perilaku orang tua dalam
pencegahan cedera di dusun Ngebel Kasihan Bantul Yogyakarta.

Kata kunci: Balita, pengetahuan, perilaku, pencegahan cedera


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa balita merupakan masa keemasan masa ini menentukan
perkembangan anak selanjutnya. Perkembangan motorik pada usia 1-5 tahun ini
berkembangannya sangat pesat, baik itu motorik halus, motorik kasar, perkembangan
sensoris, perkembangan kognitif dan perkembangan lainnya. Perkembangan
lokomotor dan rasa ingin tahu yang besar membuat anak beresiko mengalami cedera.
Mereka harus diawasi setiap waktu, terutama pada lingkungan yang tidak
memperhitungkan keselamatan anak (Potter & Perry, 2010).
World Health Organisation (WHO) mendefinisikan kecelakaan sebagai
suatu peristiwa yang di sebabkan oleh dampak dari agen eksternal yang muncul tidak
sengaja, tiba-tiba dan cepat dan mengakibatkan kerusakan fisik dan mental. Praktik
pencegahan cedera merupakan tindakan untuk meminimalkan tingkat kecelakaan
yang diderita anak akibat kurangnya pengawasan orang tua. Menurut Kuscitawati, et
al, (2007), cedera merupakan suatu ancaman kesehatan yang ada di seluruh dunia.
Cedera dapat disebabkan oleh beberapa faktor, baik dari luar (lingkungan)
maupun faktor dari anak itu sendiri. Selain itu, cedera pada anak juga dapat
dipengaruhi faktor umur, jenis kelamin, kepribadian, urutan kelahiran, waktu, cuaca,
hari dan tempat. Selain itu, ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan kejadian
cedera pada anak yaitu kurangnya pengawasan, bebas melakukan kegiatan apapun,
kecanggungan, kelambanan karena koordinasi otot yang buruk pada anak, terlalu
aktif, kurangnya pengendalian emosi atau sebagai bentuk pembrontakan anak
terhadap orangtua yang terlalu melindungi (Kuschithawati, S.et al.2007).
Sebanyak 34 % kejadian cedera rumah tangga (seperti cedera terkena
pisau, terpeleset dan terkena air panas) di pedesaan berusia 0-5 tahun. Untuk daerah
perkotaan sebesar 26 % kasus cedera pada anak usia 0 -5 tahun. Sebagian besar
cedera tersebut terjadi pada saat anak bermain (Kuschithawati, S. et all.2007).
Menurut WHO (2005) tentang kejadian kecelakaan pada anak di dapatkan data bahwa
35 % kematian pada anak di sebabkan karena kendaraan bermotor, 5% karena jatuh,
4% karena kebakaran,13% karena tenggelam, 21% karena cidera tidak di sengaja.
Selain kejadian cedera yang terjadi pada balita di atas kejadian keracunan
sering terjadi pada usia 1- 5 tahun karena pada usia ini anak sangat sering
memasukan benda-benda ke dalam mulutnya untuk mengetahui benda tersebut.
Ketidaktahuan pada usia ini terhadap bahaya air dan proses belajar berjalan pada usia
ini kecelakaan tenggelam juga sering terjadi, beberapa kejadian kecelakaan ini di
sebabkan karena anak lepas dari pengawasan orangtua (Potter & Perry, 2010).
Menurut penelitian Kuschithaswati, et al (2007) di kota Yogyakarta
menyebutkan bahwa faktor lingkungan rumah tangga tempat tinggal anak yang tidak
aman merupakan faktor yang paling berperan dalam kejadian cedera pada anak-anak
dan kemudian di susul oleh faktor pengawasan orangtua yang masih rendah. Dalam
QS. Surat An-Nisaa’ (4):9 juga menjelaskan agar orang tua menjaga anak-anaknya
yang artinya:
“Dan hendaklah takut kepda Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak- anak yang lemah, mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan
yang benar”.
Kejadian cedera tidak mungkin terjadi pada balita jika orangtua memiliki
pengetahuan mengenai tumbuh kembang pada usia balita. Pengetahuan orang tua
tentang pertumbuhan dan perkembangan pada balita perlu di ikuti dengan pemahaman
tentang pentingnya pencegahan terhadap bahaya yang dapat terjadi pada balita.
Sedangkan sikap orangtua yang terlalu membiarkan anaknya akan berdampak pada
keamanan dan keselamatan hidup anak tersebut. Tindakan pencegahan berupa
pengawasan dapat di lakukan oleh orang tua, karena dalam beraktivitas anak tidak
memperhatikan bahaya yang mungkin akan terjadi (Nursalam, 2008, dalam
Kusbiantoro.D,2014).
Kusbiantoro.D (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa sebanyak
(68,18%) orang tua berpengetahuan cukup dan penelitian pada praktikpencegahan
cedera pada balita sebanyak (63,64%) orangtua melakukan praktik pencegahan cukup.
Dewi (2011) dalam penelitiannya mengatakan bahwa antara tingkat pengetahuan
orang tua tentang bahaya cidera dan cara pencegahannya dengan praktik pencegahan
pada usia toddler berhubungan satu sama lain. Selain itu tingkat pengetahuan juga
mempengaruhi frekuensi cedera pada anak, ibu yang memiliki pengetahuan yang
rendah memiliki angka kejadian cedera pada anak terbanyak. Berdasarkan analisa,
didapatkan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu maka semakin bisa
mengidentifikasi faktor resiko cedera pada anak (Atak et all, 2010).
Menurut Kurt merumuskan model hubungan perilaku yang menyatakan
bahwa perilaku dipengaruhi karakteristik individu dan lingkungan. Karakteristik
individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian dan
sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan
faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Faktor lingkungan mempunyai
kekuatan besar dalam menentukan perilaku bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih
besar dari pada karakteristik individu, hal inilah yang menjadikan perilaku lebih
kompleks (Azwar, Saifuddin. 2012).
Praktik pencegahan cedera diperlukan agar anak dapat menyelesaikan
semua tugas perkembangan sesuai dengan tahap tumbuh kembangnya, yang nantinya
dapat mencegah terjadinya penyimpangan pertumbuhan, penyimpangan
perkembangan dan penyimpangan mental emosional anak (Depkes RI, 2007). Orang
tua yang memiliki pengetahuan tentang pencegahanterhadap bahaya cedera akan
bersikap dan melakukan tindakan pencegahan cedera pada toddler (Dewi. R, &
indarwati, 2011).
Hasil survei pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 13 Desember 2015
pada 10 responden di dapatkan bahwa hampir semua anak pernah mengalami cedera
jatuh dan 1 di antaranya pernah terserempet sepeda dan tersedak makanan. Upaya
pencegahnya orang tua balita dengan melakukan pengawasan saat bermain dan
mengikuti di manapun anak bermain.
Orang tua balita menganggap bahwa cedera balita merupakan hal yang
biasa.Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang
berjudul “Hubungan tingkat pengetahuan dan perilaku orang tua dalam pencegahan
cedera pada balita”.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Cedera pada Balita
Anak usia balita di bagi menjadi 2 golongan yaitu usia 1- 3 tahun dinamakn
usia toodler, dan usia 3-5 tahun di namakan anak usia pra sekolah, dimana usia-
usia tersebut merupakan masa keemasan. Pada masa toddler anak akan semakin
mandiri dan kognitif yang mulai meningkat. Anak semakin menyadari
kemampuannya untuk melakukan kendali dan puas dengan hasil yang di capai
melalui ketrampilan yang baru tersebut, keberhasilan yang didapat akan
membuat mereka mengulanginya dan mulai mengendalikan lingkungan mereka.
Usaha yang gagal dapat menyebabkan timbulnya tingkah laku yang negatif dan
tempramen yang tinggi, tingkah ini muncul saat orang tua mulai menghentikan
tindakan mandiri tersebut.
Perkembangan motorik mulai berkembang cepat anak akan mulai bisa
melakukan perawatan diri seperti makan, memakai baju, dan kegiatan toilet.
Keterampilan motorik lainnya juga mencakup berlari, melompat, berdiri pada
satu kaki dalam beberapa detik dan menendang bola. Sebagian besar dapat
mengendarai sepeda roda tiga, memanjattangga dan berlari cepat beusia 3
tahun. Pada usia 2 tahun anak mulai mengalami peningkatankognitif untuk
mengingat peristiwa, menuangkan pikiran ke dalam kata-kata dan membangun
alasan berdasarkan pengalamannya terhadap suatu perisitwa (Potter & Perry,
2010).
Usia prasekolah koordinasi otot besar dan halus akan meningkat. Anak usia
ini sudah dapat berlari, naik dan turun tangga dengan mudah, serta belajar
melompat. Keterampilan motorik halus pada usia ini berperan pada kegiatan
sekolah. Pematangan otak mengalami pertumbuhan tercepat pada area lobus
frontalis yang berfungsi dalam perencanaan dan penyusunan kegiatan baru dan
mempertahankan perhatian terhadap tugas. Anak usia ini dapat berpikir secara
kompleks dengan mengkategorikan objek berdasarkan ukuran, warna atu
dengan pertanyaan. Pada anak usia ini resiko kecelakaan jatuh menjadi lebih
kecil dengan semakin tingginya kemampuan motorik anak. Pedoman
pencegahan cedera pada balita juga diterpkan pada anak prasekolah. Anak harus
mempelajari keamanan di rumahnya dan orangtua harus memonitor ketat
kegiatan anak, di usia ini anak merupakan peniru yang baik sehingga orang tua
harus memberikan contoh yang baik seperti memakai helm saat mengendarai
sepeda motor (Potter & Parry, 2010).
Cedera adalah dampak dari suatu agen eksternal yang menimbulkan
kerusakan, baik fisik maupun mental (Dewi. R, indarwati, 2011). Cedera pada
anak biasanya berawal dari rasa ingin tahu anak yang tinggi danmelakukan
sesuatu yang tidak sesuai kemampuan yang dapat menyebabkan bahaya
(Kuschithawati, et al, 2007).
World Health Organization (WHO) menggambarkan cedera sebagai suatu
peristiwa yang di sebabkan oleh dampak dari suatu agen eksternal secara tiba-
tiba dan dengan cepat menyebabkan kerusakan baik fisik maupun mental.
Cedera tersebut meliputi terkena air panas, terpeleset, terkena pisau, keracunan,
tenggelam, tersedak, jatuh, biasanya karena kurangnya pengawasan orang tua
terhadap anaknya.
Pengaruh utama yang dapat menyebabkan cedera pada anak ialah pada usia
ini anak sedang mengmbangkan keterampilan motorik kasarnya yang membuat
mereka bergerak terus. Praktik pencegahan cedera merupakan tindakan untuk
meminimalkan tingkat kecelakaan yang di derita anak akibat kurangnya
pengawasan orang tua (Kusbiantoro. D, 2014). Cedera pada anak bisa di
sebabkan karena benda benda yang ada di dalam rumah (Atak, et all,
2010)Kemampuan perkembangan berhubungan dengan risiko cedera menurut
Wong (2008) yaitu:
a. Bayi sampai 1 tahun
Mulai bertambahnya mobilitas, meningkatnya koordinasi mata–
tangan dan refleks, bisa menggenggam volunteer berguling, mulai terlihat
bermain mulut, merangkak dan menarik benda-benda. Resiko cedera yang
mungkin pada anak usia ini adalah aspirasi,tenggelam, jatuh, keracunan,
luka bakar, kecelakaan, kendaraan bermotor, kerusakan tubuh.
b. Masa usia bermain 1-3 tahun (toddler)
Di usia ini anak belajar jalan, berlari, memanjat, mereka bisa membuka
pintu dan gerbang, menjelajah segala sesuatu dengan mulut, di usia ini rasa
ingin tau anak sangat besar, anak naik turun tangga, mereka tidak
mewaspadai potensi bahaya yang di timbulkan oleh orang asing atau orang
lain. Resiko cedera pada usia ini ialah kecelakaan kendaraan bermotor,
tenggelam, luka bakar, keracunan. Jatuh, tersedak, kerusakan tubuh.
Pemahaman tentang tingkat perkembangan anak perlu diikuti dengan
pemahaman pentingnya antisipasi terhadap bahaya yang dapat muncul
karena aktivitas dari anak usia toddler, yaitu tidak bisa diam dan bergerak
terus. Oleh karena itu, orang tua harus diberi pengertian tentang bahaya yang
dapat terjadi pada anak (Kusbiantoro. D, 2014).
c. Masa kanak –kanak awal 3-5 tahun (preschool)
Usia prasekolah ini anak akan mulai tertarik dengankecepatan dan
gerakan, semakin terlibat dalam aktivitas- aktifitas yang jauh dari rumah,
anak akan dapat bekerja keras untuk menyempurnakan suatu keterampilan,
mempunyai aktivitas motorik kasar yang bersifat waspada tetapi bukan
takut, mereka menikmati danmencoba hal baru, mobilitas menjurus ke
peningkatan kemandirian. Resiko cedera yang mungkin pada usia ini ialah
kecelakaan kendaraan bermotor, tenggelam, luka bakar, keracunan cedera
tubuh.
Menurut Nugrahatmaja, A.S (2011) cit khasanah, faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi terjadinya kecelakaan pada anak dapat dikatagorikan
menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Karakterisitik anak
Karakteristik ini merupakan hal yang sangat penting untuk
mengetahui insidensi, tipe dan resiko cidera yang dialami anak.
Karakteristik anak meliputi umur dan tingkat perkembangan, jenis
kelamin, kemampuan kognitif, afektif dan motorik serta tingkat aktivitas
anak. Secara naluri anak mempunyai rasa ingin tahu dan mereka akan
belajar dari apa yang mereka lihat, sentuh, dengar, cium dan mereka
rasakan.
b. Karakteristik agen penyebab
Agen penyebab kecelakaan yang penting untuk diketahui
adalah air, api, mainan, tempat bermain dan bahan beracun.
Menghindari kemungkinan kecelakaan dapat dilakukan dengan
melibatkan anak dengan memberikan pemahaman terhadap agen
penyebab danbahaya yang bisa terjadi sehingga anak mengerti dan dapat
menghindarinya.
c. Karakteristik lingkungan
Lingkungan fisik dan sosiokultural dapat mempengaruhi
terjadinya kecelakaan pada anak. Lingkungan fisik meliputi lingkungan
rumah dan lingkungan luar rumah. Lingkungan sosiokultural meliputi
pola asuh, respon keluarga dan kepedulian dari pemerintah atau
masyarakat sekitar.
Strategi pencegahan menurut National Safety council (2006)
dalam Dewi. R, indarwati (2011) yaitu strategi yang pertama adalah
dengan peraturan yang mewajibkan penggunaan sabuk pengaman dan
pengikat tempat duduk anak di dalam mobil, dan juga upaya
mengurangi pengemudi yang mabuk dan yang menggunakan telepon
saat berkendara. Strategi yang ke dua yaitu dengan pemeriksaan
keamanan produk untuk anak yang terbukti telah mengurangi cedera
pada anak. Strategi yang ketiga yaitu kesadaran masyarakat untuk
memasang alarm kebakaran untuk mengurangi cedera kematian akibat
kebakaran. Strategi keempat menggunakan pelindung kepala saat
bersepeda. Dan strategi kelima yaitu dengan anak tentang pencegahan
kebakaran, keracunan, penggunaan sabuk, keselamatan, dan keamanan
air.
2. Pencegahan cedera oleh Orang Tua
Orang tua menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah ayah dan ibu
kandung. Peran orang tua terhadap anak usia balita yaitu memahami tumbuh
kembang anak, memenuhi kebutuhan gizi, membeikan kebebasan agar mereka
dapat melakukan berbagai hal yang tidak membahayakan, mengnyimpan
benda–benda yang dapat membahayakan anak, mengawasi setiap yang
dilakukan anak (Potter & Perry, 2010). Pemahaman orang tua terhadap
perkembangan anak sangat penting untuk menghindari cedera pada anak
(Kusbiantoro. D, 2014), selain itu pengawasan orang tua juga sangat penting
untuk mengurang cedera pada anak (Kuschithawati, et all, 2007).
Pencegahan cedera pada balita menurut Kusbiantoro .D (2014) yang
dapat dilakukan petugas kesehatan angtara lain memberikan informasi dan
pengetahuan pada orang tua serta selalu waspada pada gerak gerik yang
dilakukan oleh anak. Upaya pencegahan yang dapat di lakukan orang tua di
rumah yaitu dengan:
a. Menyimpan benda tajam di dalam laci yang dapat di kunci.
b. Membuat lemari khusus untuk zat yang berbahaya. Orang tua harus
menyimpan semua racun potensial, termasuk tumbuhan, subtansi pembersih
dan obat obatan, ini di lakukan agar menciptakan lingkungan yang aman bagi
anak (Potter & Perry, 2010)
d. Menjaga lantai tetap bersih dan kering. Menghindari tumpahan air minum di
lantai agar mengurangi kejadian jatuh pada anak (Atak, et all, 2010)
e. Memberikan alat bermain yang sesuai dengan usia anak
f. Melakukan pengawasan terhadap anak dengan cara memberikan perhatian
pada anak. Pengawasan saat anak beraktifitas sendiri karena anak suka
memasukan benda ke dalam mulutnya untuk mencegah keracunan pada anak
(Amal.AI, et all ,2013)
Pencegahan cedera penurut Wong (2009) berdasarkan klasifikasi tipe
kecelakaan yang bisa terjadi sebagai berikut:
a. Kendaraan bermotor
Gunakan restrain mobil yang tersedia atau gunakan sabuk
pengaman, awasi anak saat bermain diluar, jangan biarkan anak
bermain di pinggir jalan atau belakang mobil yang sedang parkir,
awasi saat bermain sepeda roda tiga, kunci pagar pintu bila tidak
bisa mengawasi anak secara langsung dan ajarkan anak untuk
mematuhi peraturan keamanan pejalan kaki.
b. Tenggelam
Awasi anak dengan ketat ketika berada dekat sumber air.
termasukember, jaga pintu kamar mandi dan toilet agar tetaptertutup,
pasang pagar disekeliling kolam renang dan kunci gerbangnya, dan
ajari berenang dan keamanan dalam air.
c. Luka bakar
Putar pegangan teko kearah kompor, simpan korek api dan
pematik api rokok di daerah yang terkunci atau tidak dapat di
jangkau, letakan lilin dan obat nyamuk bakar yang menyala,
makanan panas dan rokok di luar jangkauan, tutup soket listrik
dengan penutup plastik pengaman, letakan kabel listrik secara
tersembunyi dan tidak dapat di jangkau, jangan mengizinkan anak
bermain dengan peralatan listrik , kabel atau korek api, tekankan
bahaya api yang terbuka, ajari tentang apa artinya panas , dan selalu
periksa suhu air mandi, atau suhu air 48.9̊ C, atau lebih rendah,
jangan biarkan anak bermain keran air. Mengatur suhu air mandi
dengan thermometer, memastikan makanan dan minuman agar
tidak terlalu panas, jauhkan anak dari dapur saat memasak (Zou.K,
at all, 2015).
d. Keracunan
Letakan semua bahan yang berpotensi beracun diluar
jangkauan atau di dalam lemari terkunci, waspada terhadap makanan,
bahan makanan yang tidak bisa dikunyah seperti tanaman, letakan
kembali obat atau bahan beracun setelah dipakai dengan segera,
pasang penutup obat bertakaran secara tepat, berikan obat sebagai
obatbukan permen, ajarkan anak agar tidak bermain–main dalam
wadah sampah, jangan lepaskan label dari wadah beracun dan cari tau
nomor dan lokasi pengendalian racun terdekat.
e. Jatuh
Pasang jaring – jaring pada jendela, paku dengan aman, dan
pasang terali pelindung, pasang gerbang di atas dan bawah tangga,
ganti karpet yang sudah robek atau tidak aman, jaga pintu pagar tetap
terkunci agar tidak bisa terbuka oleh anak, pasang karpet dibawah
tempat tidur dan di kamar mandi, awasi tempat bermain, pilih tempat
bermain dengan lantai di lapisi bahan yang lembut dan aman dan
yang terakhir kenakan pakaian yang aman.
f. Tersedak atau asfikasi
Hindari potongan daging yang besar dan bulat, hindari buah
yang ada bijinya, ikan berduri, buncis kering, permen keras, permen
karet, kacang, popcorn dan anggur, dan pilihlah mainan yang besar
dan kuat tanpa tepi yang tajam atau bagian kecil yang bisa di lapisi.
g. Kerusakan tubuh
Hindari benda tajam atau runcing seperti pisau, gunting atau
tusuk gigi terutama jika belajar atau berlari, ajarkan tindakan
kewaspadaan keamanan, simpan semua peralatan berbahaya,
peralatan berkebun dalam tempat yang terkunci, waspada terhadap
bahaya dari binatang yang di awasi dan binatang peliharaan,
ajarinama, alamat, dan nomor telepon serta minta bantuan dari orang
yang benar jika tersesat, pasang indentifikasi pada anak, ajari
tindakan keamanan terhadap orang asing, jangan pergi bersama orang
asing dan selalu mendengarkan kekhawatiran anak mengenai perilaku
orang lain.
3. Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini
terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo 2003).
Pengetahuan tentang tumbuh kembang pada anak penting untuk mencegah
cedera pada anak selain itu pengetahuan tentang pertumbuhan dan
perkembangan perlu di ikuti dengan pemahaman tentang pentingnya
pencegahan terhadap bahaya yang dapat terjadi pada anak (Kusbiantoro.D,
2014). Jika orang tua memiliki pengetahuan yang baik maka tingkat pencegahan
yang di lakukan juga cukup baik (Dewi. R & indarwati, 2011), dan semakin
meningkatnya pendidikan ibu, maka ibu akan makin dapat mengidentifikasi
resiko cedera pada anak (Atak, et all, 2010).
Ada 6 (enam) tingkatan pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif,
yaitu:
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini
merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang apayang dipelajari antara lain
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan
materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau
materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,
meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di
sini dapat diartikan sebagai aplikasi ataupenggunaan hukum-hukum, rumus,
metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu
struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan
analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat
menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan,
mengelompokkan, dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat
menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan, dan
sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini
didasarkan pada suatu kriteria yangditentukan sendiri, atau menggunakan
kriteria- kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2003).
Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Budiman &
Agus. R (2013) antara lain:
a. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha mengembangkan kepribadian
dan kemampuan di dalam maupun di luar sekolah, berlangsung seumur
hidup. Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan mempengaruhi
proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang, maka mudah bagi
orang tersebut untuk menerima informasi.
b. Informasi/ media masa
Informasi adalah “that of which one is apprised or told:
intelegence, news” (Oxford English Dictionary). Kamus lain
menyebutkan bahwa informasi adalah sesuatu yang dapat di ketahui,
namun ada pula yang menekankan informasi sebagai transfer
pengetahuan. Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan,
menganalisa, dan menyebarkan informasi dengan tujuan tertentu
(Undang- Undang Teknologi Informasi).
c. Sosial, Budaya, dan Ekonomi
Kebiasaanm dan tradisi yang dilakukan orang–orang tanpa
melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan
demikian, seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak
melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan
tersedianya suatu fasilitas yang di perlukan untuk kegiatan tertentu
sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan
pengetahuan seseorang.
d. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu,
baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan
berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu
yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya
interaksi timbal balik ataupun tidak, yang akan direspons sebagai
pengetahuan oleh setiap individu.
e. Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara
untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang
kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang
dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang
dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional,
serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan
kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari
keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah
nyata dalam bidang kerjanya.
f. Usia
Usia memengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang.
Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap
dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin
membaik. Pada usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam
masyarakat dan kehidupan sosial, serta lebih banyak melakukan
persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua.
Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang
dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah
pengetahuannya.
4. Perilaku Orang Tua
Perilaku dari segi biologi adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme
(makhluk hidup) yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2007). Menurut Skinner
(1983) dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa perilaku merupakan
respon seorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku merupakan
komponen yang paling berpengaruh pada status kesehatan. Menurut Bloom
membedakan perilaku menjadi tiga bidang yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotor, (Bloom, dalam Notoatmodjo, 2003).
Menurut Kurt merumuskan model hubungan perilaku yang menyatakan
bahwa perilaku dipengaruhi karakteristik individu dan lingkungan. Karakteristik
individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai, sifat kepribadian dan
sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula
dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Faktor lingkungan
mempunyai kekuatan besar dalam menentukan perilaku bahkan kadang
kekuatannya lebih besar dari pada karakteristik individu, hal inilah yang
menjadikan perilaku lebih kompleks (Azwar, Saifuddin. 2012).
Orang tua sebagai suri tauladan utama bagi anak merupakan unsur
terpenting dalam membina keselamatan anak, oleh karena itu perilaku orang tua
di pandang sebagai salah satu faktor utama yang menentukan derajat kesehatan
dan keamanan anak. Menurut Vranda (2011), banyak orang tua berpersepsi
bahwa kecelakaan dan cedera pada anak usia toddler merupakan hal yang alami
sebagai kompensasi dari periode tumbuh kembang. Sehingga kondisi seperti
terjatuh, terpeleset, merupakan hal yang wajar dan di anggap sebagai kejadian
sebagai kejadian yang tidak terlalu penting.
Perilaku di pengaruhi oleh beberapa faktor menurut teori Green Lawrece
(1980) di kutip dari Notoatmodjo (2007) yaitu sebagai berikut:
a. Faktor predisposisi
Faktor ini berupa faktor pengetahuan, sikap, umur, pendidikan,
ekonomi, budaya dan lainnya. Sikap yang baik pada orang tua dapat
mempengaruhi pencegahan yang baik pula. Pengetahuan yang baik tentang
tumbuh kembang anak juga mempengaruhi dalam pencegahan cedera pada
anak (Dewi. R & indarwati, 2011).Tingkat pendidikan orang tua yang tinggi
berpengaruh terhadap perilaku, pengetahuan membuat seseorang berpikir
akan suatu objek atau stimulus (Kusbiantoro. D 2014).
b. Faktor enabling (Pemungkin)
Faktor ini berupa fasilitas dan pendidikan atau informasi kesehatan.
Informasi mengenai pencegahan cedera pada anak penting agar orang tua
bisa lebih waspada terhadap resiko cedera. Menurut Widianingsih (2014)
dalam penelitiannya menyebutkan bahwa perilaku orang tua dalam
pencegahan cedera pada balita mayoritas baik, hal tersebut di sebabkan
karena fasilitas kesehatan seperti PUSKESMAS, Sekolah Kesehatan,
Rumah Sakit dekat dengan daerah tersebut, sehingga akses mendapatkan
pelayanan dan informasi lebih mudah.
c. Faktor reinforcing (Penguat)
Faktor ini berupa perilaku tokoh masyarakat, perilaku petugas
kesehatan dan komitment pemerintah.
Domain perilaku menurut Bloom di klasifikasikan menjadi tiga tingkat
yaitu:
a. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan orangtua
tentang pencegahan cedera pada toddler di pengaruhi oleh beberapa
faktor di antaranya adalah pendidikan, pengalaman terhadap suatu
kejadian dan fasilitas. Semakin tua usia seseorang maka semakin banyak
juga pengetahuannya. Selain itu pengetahuan juga di pengaruhi oleh
konsistensi seseorang terpapar informasi (Vranada. A, 2011).
a. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan
suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi
tindakan suatu perilaku. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi
terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan
terhadap objek. Sikap dibentuk oleh komponen yaitu kepercayaan, ide,
konsep terhadap suatu objek, kecenderungan untuk bertindak (Vranada.
A, 2011). Pada pennelitian yang dilakukan Dewi. R & indarwati (2011),
mengatakan bahwa sebagian orang tua memiliki praktik yang baik di
karenakan sikaporang tua yang sebagian besar positif. Sikap merupakan
kesiapan untuk bertindak, dengan sikap yang positif di harapkan praktik
yang di hasilkan juga baik.
b. Tindakan atau praktek
Tindakan ini merujuk pada perilaku yang diekspresikan dalam
bentuk tindakan, yang merupakan bentuk nyata dari pengetahuan dan
sikap yang telah dimiliki (Notoatmodjo, 1985). Praktik pencegahan juga
di pengaruhi oleh pekerjaan orang tua, pada penelitia Vranada.A (2011)
pekerjaan sebagai buruh dapat mempengaruhi responden dalam
mempraktikan pencegahan pada kecelakaan yang mungkin terjadi pada
anaknya. Sebagai buruh, orang tua juga kadang kurang memperhatikan
perilaku anaknya, sehingga kurang mengetahui apakah anaknya
berperilaku membahayakan dirinya atau tidak. Pada penelitian
Kuschitawati, et all (2007), menyebutkan bahwa praktik pencegahan
cedera yang di lakukan yaitu berupa tindakan pengawasan yang masih
rendah merupakan faktor yang paling berperan terhadap kejadian cedera
pada anak, setelah faktor lingkungan anak yang tidak aman.

Anda mungkin juga menyukai