Anda di halaman 1dari 11

AIR MATA GUGUR

Air mata gugur


Pada lumpur
Tapi semua
Dihapus oleh embun yang berkedip
Oleh pagi yang tafakur
Cinta itu bukan kata
Bukan rumus yang membuat jiwa jadi mentah

Mari kita meresap


Getar yang tidak menetap
Yang meloncat mengumumkan diam
Mencoba mengerti nilai yang kemudian

Maka tentram lah


Saat burung yang kulepas dari sungkar
Kita doakan
Semoga ia bertemu kekasihnya
Di tepi danau teduh yang bukan impian
PERAHU YANG BAGUS INDAH

Perahu yang bagus dan gagah


Perlu juru mudi yang bisa
Membaca angin dan bintang
Agar perahu
Tidak menabrak karang

Indonesia yang makmur indah


Perlu pimpinan yang bisa
Membaca sanubari rakyat
Agar para jelata
Bisa tersenyum sepanjang masa

Sujud yang berbintang cerah


Perlu hati yang bersih
Agar perjuangan semakin gigih
NANIL DAN HUJAN

Gerimis sudah jatuh


Pada suatu malam
Nanil mencari tempat teduh
Untuk mendengarkan nyanyian hujan

Tapi hujan tak jadi jatuh


Bahkan gerimis berganti sepi
Aku tahu Nanil kecewa
Sampai ke dasar jiwa

Tapi kecewa itu memanduku


Untuk berguru kepada hujan
Suatu malam di desa terpencil
Kunikmati suara hujan
Jiwa terasa berbunga yang berayun
Bersama nafas panjang orang orang jelata
SAJAK CEMAS

Aku percaya kepada cemas


Agar tidak tinggi aku angkat kepala
Karena mereka yang berlagak
Akan bertemu dengan teriak gagak

Kuukir jejak pada habitat


Sambil menghirup atmosfir pilu
Aku menari
Menuruti lambaian hati

Akhirnya bukan aku yang menentukan


Tapi alam yang memiliki keramahan

Dan cemas pelan-pelan


Membimbing menebarkan senyuman
Ruh setiap diam
Kita beranjak dalam pemahaman
Memandang lembah yang siap berdandan
MENGEKALKAN PUISI PADA KOPI

Kekalkanlah puisi pada kopi


Agar pohon kesambi termangu
Merenungkan pelangi yang
Dicurigai minum di laut utara
Tapi kenapa air susut
Di pantai selatan?
Kita menunggu sekitar enam bulan lagi
Saat asin laut menjelma garam

Hampir semua penyair menitipkan


Kata katanya pada asinnya garam
Hingga orang orang bersujud sehabis
Makan, mengekalkan sedapnya garam
Pada kenangan yang tak mungkin hilang
Yang paling mungkin mengekalkan putihnya
Garam pada bulan yang langkahnya tak kelihatan

Tapi di hati pemulung


Secangkir kopi bisa
Lebih kekal daripada puisi
PADA LUKISAN SUDJOJONO

Pada lukisan sudjojono, kuda itu tak


Jelas. Terkesan seperti arwah. Tapi
Kemerdekaan semakin tegas
Menjelaskan suara ledakan gelas
Ribuan gelas

Ada lagu ramah menjangkau kampung


Yang jauh. Seperti nikmatnya lukisan
Pada saat sampan berlabuh di teluk
Sepi. Membuat kau makin mengerti
Percikan-percikan yang bukan api, bukan
Mimpi sehari hari
Bukan siang yang tak bergigi
KEJARLAH

Kecewa membuat kita tidak bahagia


Sebagian kata-kata harapan
Sudah menjadi ulat pada nanah
Kita cukup berharap pada
Keringat kita yang bersumber
Pada jejak-jejak para pahlawan

Karena itu
Belajarlah menikmati kopi
Menikmati bisik sanubari
Bahagia jangan ditunggu
Harus dicari!
RUMPUT PUN BERSUJUD

Gelagas itu tak menyatakan


Bahwa ia hanya bunga ilalang
Bumi merasa tersindir
Saat kamboja malas berzikir

Maka alam
Tetap percaya kepada batu
Bahwa suara yang terpendam
Bisa meledak menjadi sesuatu

Semua tahu
Bahwa hidup ini bukan benalu
Bukan langkah langkah
Yang tak tahu malu

Karena itu rumput bersujud


Untuk memberi makna
Pada kata-kata tak terucap
Tapi jadi harum seputar wujud

RASUL DAN ANAK KECIL

Orang yang berjiwa permata itu


Terkenal penyayang anak
Anak-anak adalah manusia suci
Yang hatinya harum melati

Satu saat ia melihat seorang anak


Yang digendong ibunya
Lalu ia pinjam sebentar
Dan anak mungil itu
Merasa tenteram dalam gendongan
Laki laki utusan Allah

Tiba tiba sang ibu marah


Karena anak itu kencing
Dan membasahi jubah
Laki-laki yang menggendong nya
Laki laki penyayang anak itu berkata,
“ Kotoran dan kencing bisa dicuci
Tapi marah dan sikap kasar
Akan melekat pada jiwa anakmu”

Sebagai cerita kisah ini prosa


Sebagai peristiwa
Kuanggap sebagai puisi

PERCIKAN API

Terbanglah ke angkasa biru


Cinta tak cukup daun waru
Antara warna biru
Dengan sudut daun waru
Embun telah menempa jiwa
Dan mampu menumbuhkan sumbu

Akhirnya kita tahu


Tangis bayi yang melengking
Dari lembah hijau itu
Masih seruan yang purba juga

Adalah suara masa depan


Bahwa jumlah pahlawan
Tak seikhlas dulu
Tak sejelas percikan api yang muncul
Dari ubun batu
Kita belum sepenuh tahu

Anda mungkin juga menyukai