Anda di halaman 1dari 2

Pak Salim,

‘Berjuang sampai titik darah penghabisan’

Alur hidup, serta nasib seorang manusia tak pernah ada yang tahu, hanya Tuhan sebagai
pencipta yang Mahatahu. Ada manusia yang beruntung dengan kehidupan yang serba
berkecukupan, serta ada manusia yang hidup dengan serba kekurangan. Inilah yang disebut dengan
dinamika hidup manusia di dunia. Ini adalah secuil kisah hidup seorang lelaki tua bernama Pak
Salim, pemulung sampah tua yang membanting tulang demi kelangsungan hidup keluarganya.
Siang ini, di bawah sinar mentari yang sedikit tertutup mendung, lelaki tua, yang biasa
dipanggil Pak Salim, sedang mengorek sebuah tong sampah besar. Di seputaran jalan
Cokroaminoto, Ubung Kaja. Dari sorot matanya, terlihat begitu besar harapan pak Salim untuk
mendapat hasil yang banyak dari memulung dan memungut sampah hari ini. Bagaimana terbayang
wajah istri dan anak-anaknya saat pak Salim pulang ke rumah dengan membawa sejumlah uang
sebagai upah dari bos pengepul sampah yang biasa menerima sampah bekas hasil dari memulung
Pak Salim.
Pak Salim, begitu sapaan akrab lelaki tua yang lahir di daerah Bondowoso, Jawa Timur,62
tahun lalu. “Saya sudah hampir 10 tahun tinggal di Bali, untuk mengadu nasib dan memperbaiki
martabat serta kehidupan keluarga saya”, kata Beliu saat ditanya sudah beraspa lama di Bali.
Beliau juga mengatakan bahwa kali pertama Beliu sampai di Bali masih menumpang hidup di
salah satu kerabatnya, meski harus tidur berdesakan dengan keluarga kerabatnya. “Awal tinggal
di Bali, saya belum mengajak anak dan istri saya, karena saya belum mempunyai cukup bekal
untuk hidup di sini”, katanya sambal mengambil beberapa botol bekas air mineral.

Awalnya ingin menjadi tentara, terkendala restu dan biaya dari orang tua
Pak Salim, pada masa kecilnya, sangat mengagumi tentara, karena Beliau selalu
diceritakan bagaimana gagahnya seorang tantara berjuang demi merebut kemerdekaan Indonesia,
oleh orangb tua Beliau. “Dari dulu memang saya ingin menjadi seorang tantara. Begitu gagah
rasanya mengenakan seragam tantara, dan bisa menjadi kebanggaan keluarga”, begitu Beliau
bercerita mengenai gagahnya seorang tantara. “Akan tetapi, impian tersebut hanya sebatas mimpi,
karena orang tua saya, terutama Ibu saya, tidak mengizinkan saya menjadi seorang tantara. Saya
diminta meneruskan kerja di ladang, dan menghidupi adik-adik saya”, lanjut Beliau. Pada akhirnya
Pak Salim mengubur dalam-dalam mimpinya sebagai seorang tantara. “Pada kenyataannya,
beberapa tahun ke belakang, ternyata saya terkena kanker usus, yang membuat saya harus beberapa
lama istirahat dari kegiatan meladang”, ungkapnya dengan raut muka sedih.

Meski menahan sakit, tetap berjuang demi keluarga


Tubuh Beliau yang semakin ringkih karena menahan sakit tahunan, serta bekas operasi
ususnya, tak membuat semangat juang Beliau untuk menghidupi keluarganya menjadi kendur
apalagi menipis. “Seperti jiwa seorang tentara, saya bertekad berjuang sampai titik darah
pengahabisan demi menghidupi keluarga saya”, tegasnya. Saat ini pak Salim tinggal di sebuah
bedeng di dekat gudang milik bos pengepul sampah, bersama istri dan dua anaknya yang masih
berusia 12 dan 9 tahun. Sedangkan anaknya yang pertama, tinggal di Bondowoso, untuk
menamatkan Pendidikan SMK di sana. Meski dalam keadaan sakit, Beliau masih mempunyai
semangat yang membara untuk berjuang demi keluarga Beliau. Semangat seperti inilah yang mesti
kita gunakan sebagai salah satu tauladan dalam hidup.

Ni Pt. Kiandra R.A dan Ni Kd. Cinthya V.A


(SMP Harapan Nusantara Denpasar)

Anda mungkin juga menyukai