Anda di halaman 1dari 5

Di Kampung Kadubungbang, Desa Kadubungbang, Kecamatan Cimanuk,

Kabupaten Pandeglang ada satu penganan khas yang biasanya ada selama
bulan suci Ramadhan.

Penganan berwarna putih dengan dengan tekstur lembut berbahan utama


beras ini bernama apem putih. Apem ini berbentuk kotak dan berbeda
dengan apem lainnya.
Sebetulnya, keberadaan apem tidak hanya hadir di setiap Ramadhan. Pada
hari-hari biasa pun makanan ini bisa dijumpai di pasar-pasar tradisional.
Namun, permintaan kue ini meningkat tajam selama Ramadan.

Mahmud (55), perajin apem di Kecamatan Cimanuk mengaku, apemnya


selalu diserbu pembeli jelang waktu berbuka puasa. Pria yang sudah
menekuni profesinya sejak puluhan tahun ini mengaku, setiap hari selama
Ramadhan bisa memproduksi empat kwintal beras sebagai bahan utama
pembuatan apem.

Sebetulnya tiap hari juga kita buka, tapi kalau bulan puasa pembeli mulai
dari pukul 02:00 pagi sampai 17:30 sore terus berdatangan. Apalagi pas buka
puasa, pembeli makin banyak yang mengantri, bahkan ada yang sampai
enggak kebagian,” terang Mahmud.

Ia menceritakan, pelanggannya tidak hanya datang dari Pandeglang, tetapi


juga dari luar daerah. Biasanya pembeli dari luar datang jelang sore hari atau
ngabuburit jelang waktu berbuka puasa.

Alhamdulillah pembeli hari ini cukup ramai, bahkan ada yang tidak kebagian,”
ujarnya dengan senyum lebar.

Sementara, Eli salah seorang pembeli apem mengatakan, apem produksi


warga Cimanuk cukup enak dan juga harganya terjangkau.

Apem di sini (Kadubungbang, red) cukup enak dan harganya juga terjangkau.
Mulai dari kisaran Rp10.000-Rp30.000 per bungkus, beda dengan apem lain.
Makanya banyak yang pada beli ke sini. Ditambah lagi kan apem di sini
masih hangat, karena langsung diproduksi di sini,” terang Eli.

Apem yang dijual umumnya dibungkus dengan daun pisang dan dijajakan di
pinggir jalan raya. Selain itu juga pedagang yang didominasi ibu-ibu akan
menjajakannya menghampiri pengendara di sekitar Pasar Batubantar atau
depan Kantor Kecamatan Cimanuk .[mor]
SETIAP memasuki Ramadan, selalu ada tradisi di setiap daerah. Tradisi itu
baik berupa kegiatan kerohanian, sosial hingga kuliner.

Di Kampung Kadubungbang, Desa Kadubungbang, Kecamatan Cimanuk,


Kabupaten Pandeglang, Banten, ada satu penganan khas selama bulan suci
Ramadan.

Penganan berwarna putih dengan dengan tekstur lembut berbahan utama


beras ini bernama apem atau masyarakat menamainya dengan sebutan
Apem Bohay. Dinamai Apem Bohay, karena apem ini memiliki ukuran yang
relatif lebih besar jika dibandingkan dengan apem lainnya.

Sebetulnya, keberadaan apem tidak hanya hadir di tiap Ramadan, melainkan


juga di hari-hari biasa. Namun, permintaan akan makanan khas Pandeglang
ini meningkat tajam selama Ramadan.

Mahmud (55), perajin apem di Kecamatan Cimanuk mengaku, apemnya


selalu diserbu pembeli jelang waktu berbuka puasa.

Pria yang sudah menekuni profesinya sejak puluhan tahun ini mengaku,
setiap hari selama Ramadan bisa mengolah empat kwintal beras sebagai
bahan utama pembuatan apem.

“Sebetulnya tiap hari juga kita buka, tapi kalau bulan puasa pembeli mulai
dari jam 02:00 pagi sampai 17:30 sore terus berdatangan. Apalagi pas buka
puasa, pembeli makin banyak yang ngantri, bahkan ada yang
sampai engga kebagian,” terang Mahmud ketika berbincang dengan Tuntas
Media di rumahnya, Jumat (18/05/2018) siang.

Sambil terus melayani pembeli, ia menceritakan, jika pelanggannya tidak


hanya datang dari Pandeglang, tetapi juga dari luar daerah. Biasanya
pembeli dari luar datang jelang sore hari atau ngabuburit jelang waktu
berbuka puasa.
“Alhamdulillah pembeli hari ini cukup ramai, bahkan ada yang tidak
kebagian,” ujarnya dengan senyum lebar.

Sementara, Eli salah seorang pembeli Apem Bohay mengatakan, Apem


Bohay cukup enak dan juga harga yang terjangkau.

“Apem di sini (Kadubungbang, red) cukup enak dan harganya juga


terjangkau. Mulai dari kisaran Rp 10.000-Rp 30.000 per bungkus, beda
dengan apem lain, makanya banyak yang pada beli ke sini. Ditambah
lagi kan apem di sini masih anget, karena langsung diproduksi di sini,”
terang Eli yang membeli sebungkus Apem Bohay.

Terpisah, Sekretaris Camat (Sekmat) Mandalawangi, Ida Robiyatul Adawiyah


mengungkapkan, apem sudah menjadi makanan khas masyarakat
Kabupaten Pandeglang, terutama selama Ramadan.

Kata dia, apem Cimanuk atau sering disebut Apem Bohay karena ukurannya
yang cukup besar jika dibandingkan dengan jenis apem lainnya.

“Saya sering beli apem di sini (Cimanuk, red) untuk buka puasa, selain gede
juga harganya pun relatif. Harga sebungkus (apem, red) Rp 10.000 dan Rp
2.000 untuk gulanya, cukup terjangkau,” ungkap Ida yang mengaku, kerap
membeli Apem Bohay selama Ramadan.

Apem yang dijual masyarakat Pandeglang umumnya dibungkus dengan daun


pisang dan dijajakan di pinggir jalan raya di atas meja. Selain itu juga
pedagang yang didominasi ibu-ibu akan menjajakannya menghampiri
pengendara di sekitar Pasar Batubantar atau depan Kantor Kecamatan
Cimanuk. Agar lebih nikmat saat menyantap apem bisa
ditambahkan kinca (sirup yang terbuat dari gula aren dan santan) atau sirup
rasa buah yang banyak dijual di pasaran.

Apem ditelinga masyarakat Pandeglang mungkin sudah tidak asing lagi,  Apem yang
merupakan makanan khas pembuka puasa ini biasanya dapat ditemui di sejumlah
daerah di Kabupaten Pandeglang. Salah satunya adalah Apem Putih, yang
merupakan makanan khas dari Cimanuk dan diproduksi secara sederhana di sebuah
rumah di Kampung/Desa Kadubungbang, Kecamatan Cimanuk.
Apem adalah kue terbuat dari tepung beras hasil fermentasi. Apem biasanya
dimakan disertai dengan pemanis atau Kinca yang terbuat dari gula jawa dan santan.
Di daerah Cirebon ada sebuah tradisi yang biasanya dilaksanakan pada Bulan Sapar,
tradisi tersebut dikenal dengan Tradisi Saparan.

Masyarakat Cirebon percaya, di bulan ini, mereka harus menghindari perjalanan


jauh dan  tidak mengerjakan perkerjaan yang berbahaya. Di bulan ini masyarakat
Cirebon diharuskan memperbanyak membantu orang lain dan memperbanyak
sedekah khususnya untuk anak-anak yatim, para janda tua dan kaum jompo, selain
itu mereka juga harus lebih meningkatkan dan mempererat tali silaturahmi diantara
sesama. Berkaitan dengan ini maka masyarakat Cirebon selama bulan ini melakukan
3 macam kegiatan yang dikenal dengan “Ngapem, Ngirab dan Rebo Wekasan“.
Ngapem berasal dari kata Apem, Apem biasanya dimakan dengan pemanis (Kinca)
yang terbuat dari gula jawa dan santan. Umumnya masyarakat Cirebon masih
melakukan ini dengan membagi-bagikan ke tetangga, yang intinya adalah bersyukur
(Selametan) di bulan Sapar agar kita terhindar dari malapetaka. Pesan yang diambil
dari Apem dan Kinca ini juga melambangkan kita untuk lebih memperhatikan fakir
miskin, tetangga dan kerabat dekat untuk lebih mempererat tali silaturahmi karena
di bulan ini penuh dengan malapetaka.

Apem bagi masyarakat Cirebon juga melambangkan dirinya, oleh karena itu pada
saat memakannya harus di celupkan di kinca yang melambangkan darah. Tradisi
Ngapem juga mengingatkan adanya kemungkinan terkena musibah. Ada juga cerita
dari beberapa sumber bahwa tradisi ngapem ini berasal dari keraton yang sering
membagi-bagikan apem di bulan ini, ada juga diartikan pada masa penjajahan
belanda di Cirebon bahwa apem melambangkan belanda yang harus di musnahkan
dari cirebon dengan memasukan apem ke dalam kinca.

Seperti diketahui, Kesultanan Banten dulu memiliki hubungan yang erat dengan
Kesultanan Cirebon. Sehingga pertukaran budaya sangat mungkin terjalin pada saat
itu. Termasuk urusan kuliner, beberapa makanan khas yang terdapat di Banten
(Pandeglang), beberapa diantaranya memiliki kesamaan dan mirip dengan kuliner
yang berada di tatar Cirebon termasuk Kue Apem ini. Dan untuk mengetahui
bagaimana sisi kehidupan para pembuat kue apem di Pandeglang, berikut ini catatan
yang dibuat mengenai sisi kehidupan seorang pembuat kue apem putih didaerah
Cimanuk.

Kisah Pembuat Apem Putih di Kecamatan Cimanuk


Usianya yang sudah menginjak 55 tahun ini, terlihat masih sangat cekatan.
Pekerjaannya yang dimulai dari pukul 04.00 subuh ini, ia lakukan dengan penuh
semangat tanpa terlihat kelelahan diraut mukanya. Demikian yang biasa dilakukan
Ny. Umisah (55) atau yang akrab disapa Ema Ucah warga kampung/Desa
Kadubungbang Kecamatan Cimanuk Pandeglang.

Aktifitasnya dalam menjalankan usahanya ini, adalah merupakan usaha turun


temurun, yang ia tekuni sejak ia masih kecil. Ibu beranak 7 ini mengaku, sudah
sekitar 30 tahun menjalankan usahanya, sudah banyak pelanggan yang memesan
apem buatannya itu, bukan hanya dari daerah Pandeglang, tapi dari luar Pandeglang
pun seperti Serang, Rangkasbitung, Cilegon, bahkan luar Banten kerap memesan
hasil kue buatannya itu.

Apem buatannya berwarna putih dan dibuat dari beras dan tape (peuyeum). Apem
meskipun merupakan makanan khas yang sering dijual pada bulan puasa, ternyata
pada bulan-bulan biasa pun sering kita jumpai di pasar-pasar tradisional yang
berada di wilayah Kabupaten Pandeglang.

“Memang biasanya kalau di Bulan Puasa saya terkadang sering membuat apem
dengan menghabiskan beras sampai dengan 1 kwintal dan menghasilkan 3000 buah
kue apem putih. Tapi pada bulan biasa, paling saya menghabiskan 20 Kg beras saja”
ujar Ema Ucah disela-sela obrolannya.

Meski dengan modal yang sangat terbatas, wanita murah senyum ini mengaku akan
terus mempertahankan usahanya ini. Karena dari penghasilan penjualan kue itulah
ia bisa menghidupi keluarganya, yang terdiri dari 7 anak dan 1 orang suaminya
(Entong,60).

Menurut penuturan Ma Ucah, Kue buatannya ini sangat menyegarkan jika disantap
setelah kita menjalankan ibadah puasa. Ia pun mengatakan bahwa kue buatannya
ini, tanpa menggunakan campuran zat kimia atau pewarna.  Kuenya ia jual dengan
harga Rp.500/buah,  maka wajar jika para penikmat kuliner selalu datang untuk
memesan ratusan kuenya itu.

“Biasanya selama bulan puasa, setiap hari saya mulai bekerja memproduksi apem
putih itu pada pukul 04.00 Subuh, awalnya bahan baku seperti beras direndam
selama 2 jam, sedangkan tape yang sudah dibelinya dibiarkan dulu. Kemudian, beras
itu digiling menjadi tepung dan dicampur dengan tape. Setelah adonan dicampur,
kemudian diulek dan diberi air secukupnya, untuk kemudian dikukus sampai
matang” lanjut Ema Ucah.

Dari hasil penjualan apem putih itu, biasanya ia bisa mengambil keuntungan sekitar
Rp.500 ribu, dengan modal antara 600 ribu sampai dengan 1 juta. Sehingga jika
dihitung sebulan, keuntungannya mencapai sekitar Rp.15 juta. Pelanggan yang
sering datang ke rumahnya untuk memesan kue buatannya ini terdiri dari warga
biasa, pegawai negeri sipil (PNS), pengusaha sampai anggota dan pimpinan dewan
ujar Ema Ucah.

—————-  kembali kehalaman pertama —————-


Bagikan ini:

Anda mungkin juga menyukai