Kabupaten Pandeglang ada satu penganan khas yang biasanya ada selama
bulan suci Ramadhan.
Sebetulnya tiap hari juga kita buka, tapi kalau bulan puasa pembeli mulai
dari pukul 02:00 pagi sampai 17:30 sore terus berdatangan. Apalagi pas buka
puasa, pembeli makin banyak yang mengantri, bahkan ada yang sampai
enggak kebagian,” terang Mahmud.
Alhamdulillah pembeli hari ini cukup ramai, bahkan ada yang tidak kebagian,”
ujarnya dengan senyum lebar.
Apem di sini (Kadubungbang, red) cukup enak dan harganya juga terjangkau.
Mulai dari kisaran Rp10.000-Rp30.000 per bungkus, beda dengan apem lain.
Makanya banyak yang pada beli ke sini. Ditambah lagi kan apem di sini
masih hangat, karena langsung diproduksi di sini,” terang Eli.
Apem yang dijual umumnya dibungkus dengan daun pisang dan dijajakan di
pinggir jalan raya. Selain itu juga pedagang yang didominasi ibu-ibu akan
menjajakannya menghampiri pengendara di sekitar Pasar Batubantar atau
depan Kantor Kecamatan Cimanuk .[mor]
SETIAP memasuki Ramadan, selalu ada tradisi di setiap daerah. Tradisi itu
baik berupa kegiatan kerohanian, sosial hingga kuliner.
Pria yang sudah menekuni profesinya sejak puluhan tahun ini mengaku,
setiap hari selama Ramadan bisa mengolah empat kwintal beras sebagai
bahan utama pembuatan apem.
“Sebetulnya tiap hari juga kita buka, tapi kalau bulan puasa pembeli mulai
dari jam 02:00 pagi sampai 17:30 sore terus berdatangan. Apalagi pas buka
puasa, pembeli makin banyak yang ngantri, bahkan ada yang
sampai engga kebagian,” terang Mahmud ketika berbincang dengan Tuntas
Media di rumahnya, Jumat (18/05/2018) siang.
Kata dia, apem Cimanuk atau sering disebut Apem Bohay karena ukurannya
yang cukup besar jika dibandingkan dengan jenis apem lainnya.
“Saya sering beli apem di sini (Cimanuk, red) untuk buka puasa, selain gede
juga harganya pun relatif. Harga sebungkus (apem, red) Rp 10.000 dan Rp
2.000 untuk gulanya, cukup terjangkau,” ungkap Ida yang mengaku, kerap
membeli Apem Bohay selama Ramadan.
Apem ditelinga masyarakat Pandeglang mungkin sudah tidak asing lagi, Apem yang
merupakan makanan khas pembuka puasa ini biasanya dapat ditemui di sejumlah
daerah di Kabupaten Pandeglang. Salah satunya adalah Apem Putih, yang
merupakan makanan khas dari Cimanuk dan diproduksi secara sederhana di sebuah
rumah di Kampung/Desa Kadubungbang, Kecamatan Cimanuk.
Apem adalah kue terbuat dari tepung beras hasil fermentasi. Apem biasanya
dimakan disertai dengan pemanis atau Kinca yang terbuat dari gula jawa dan santan.
Di daerah Cirebon ada sebuah tradisi yang biasanya dilaksanakan pada Bulan Sapar,
tradisi tersebut dikenal dengan Tradisi Saparan.
Apem bagi masyarakat Cirebon juga melambangkan dirinya, oleh karena itu pada
saat memakannya harus di celupkan di kinca yang melambangkan darah. Tradisi
Ngapem juga mengingatkan adanya kemungkinan terkena musibah. Ada juga cerita
dari beberapa sumber bahwa tradisi ngapem ini berasal dari keraton yang sering
membagi-bagikan apem di bulan ini, ada juga diartikan pada masa penjajahan
belanda di Cirebon bahwa apem melambangkan belanda yang harus di musnahkan
dari cirebon dengan memasukan apem ke dalam kinca.
Seperti diketahui, Kesultanan Banten dulu memiliki hubungan yang erat dengan
Kesultanan Cirebon. Sehingga pertukaran budaya sangat mungkin terjalin pada saat
itu. Termasuk urusan kuliner, beberapa makanan khas yang terdapat di Banten
(Pandeglang), beberapa diantaranya memiliki kesamaan dan mirip dengan kuliner
yang berada di tatar Cirebon termasuk Kue Apem ini. Dan untuk mengetahui
bagaimana sisi kehidupan para pembuat kue apem di Pandeglang, berikut ini catatan
yang dibuat mengenai sisi kehidupan seorang pembuat kue apem putih didaerah
Cimanuk.
Apem buatannya berwarna putih dan dibuat dari beras dan tape (peuyeum). Apem
meskipun merupakan makanan khas yang sering dijual pada bulan puasa, ternyata
pada bulan-bulan biasa pun sering kita jumpai di pasar-pasar tradisional yang
berada di wilayah Kabupaten Pandeglang.
“Memang biasanya kalau di Bulan Puasa saya terkadang sering membuat apem
dengan menghabiskan beras sampai dengan 1 kwintal dan menghasilkan 3000 buah
kue apem putih. Tapi pada bulan biasa, paling saya menghabiskan 20 Kg beras saja”
ujar Ema Ucah disela-sela obrolannya.
Meski dengan modal yang sangat terbatas, wanita murah senyum ini mengaku akan
terus mempertahankan usahanya ini. Karena dari penghasilan penjualan kue itulah
ia bisa menghidupi keluarganya, yang terdiri dari 7 anak dan 1 orang suaminya
(Entong,60).
Menurut penuturan Ma Ucah, Kue buatannya ini sangat menyegarkan jika disantap
setelah kita menjalankan ibadah puasa. Ia pun mengatakan bahwa kue buatannya
ini, tanpa menggunakan campuran zat kimia atau pewarna. Kuenya ia jual dengan
harga Rp.500/buah, maka wajar jika para penikmat kuliner selalu datang untuk
memesan ratusan kuenya itu.
“Biasanya selama bulan puasa, setiap hari saya mulai bekerja memproduksi apem
putih itu pada pukul 04.00 Subuh, awalnya bahan baku seperti beras direndam
selama 2 jam, sedangkan tape yang sudah dibelinya dibiarkan dulu. Kemudian, beras
itu digiling menjadi tepung dan dicampur dengan tape. Setelah adonan dicampur,
kemudian diulek dan diberi air secukupnya, untuk kemudian dikukus sampai
matang” lanjut Ema Ucah.
Dari hasil penjualan apem putih itu, biasanya ia bisa mengambil keuntungan sekitar
Rp.500 ribu, dengan modal antara 600 ribu sampai dengan 1 juta. Sehingga jika
dihitung sebulan, keuntungannya mencapai sekitar Rp.15 juta. Pelanggan yang
sering datang ke rumahnya untuk memesan kue buatannya ini terdiri dari warga
biasa, pegawai negeri sipil (PNS), pengusaha sampai anggota dan pimpinan dewan
ujar Ema Ucah.