Anda di halaman 1dari 13

SELAMAT MERAYAKAN HARI RAYA IDUL FITRI, MOHON MAAF LAHIR dan BATHIN...

Di bawah ini tulisan sederhana bertanda tahun 2013. Mudah2an sedikit bermanfaat....walaupun dlm.bnyak hal agak gak relevan
lagi....

Lebaran Vs Lebayan
---------------------------

Kue bertampang eksotis ini berasal dari tanah Minang. Di gerobak penjualnya tertulis nama kue: Singgang Bika Padang. Kalau
tidak dibelikan dekat stasiun Bogor oleh Ajeng anak saya di Hari Raya kedua, kue ini belum terpindai radar koleksi pengetahuan
saya akan kuliner Nusantara. Tergolong langka, menggunakan daun tak lazim (mangkuk2an, biasa dibuat gulai otak, bukan
wadah juadah) dan ini yang terpenting: lezat.

Singgang Bika Padang ini bak simbol nafas lebaran kami. -keluarga alm. ayah: Arsyadi- tahun ini. Murah meriah, tradisional,
praktis (kebanyakan pakai melipat dan menukar lembaran rupiah; sebagian kecil buat sendiri. Kalaupun olahan sendiri tetap
praktis karena memakai bumbu jadi jajaan mbak-mbak peracik bumbu di pasar).

@@@

Mungkin ada teman pembaca yang mengangkat satu alis, mempertanyakan: apa istimewanya berpraktis dan bersederhana seperti
itu?

Well, saya tumbuh besar dalam tradisi yang memeriahkan lebaran dengan kesungguhan dan kelebay-an setingkat mempersiapkan
acara mantu. Konsep mulai dirancang di awal Ramadhan dan eksekusi diluncurkan langkah demi langkah dengan seksama setia
mengikuti rancangan.

Di rumah masa bertumbuh saya, kehebohan dimulai tiga minggu sebelum lebaran. Kami adik beradik diukur badan, dibelikan
kain, dan ditempakan baju "rayo". Ibu mulai menggiling-giling, menggilas-gilas, menggulung-gulung berbagai kue kering. (Kami
tinggal di kota kecil minyak di tengah hutan, tak bisa main asal tunjuk dalam pengadaan penganan).

Kue lapis bermacam-macam, lapis agar, lapis maksuba, lapis moskovis, lapis lam (kue banjarmasin), lapis legit, menyetrap saya,
sebagai anak tertua, terpaku di depan panggangan berhari-hari, berjam-jam. Muka saya memerah karena harus membuka oven
setiap beberapa menit, menuangkan sesendok demi sesendok adonan berbeda warna ke atas kue terpanggang dalam loyang.

Semakin mendekati hari H, semakin heboh dan lebay. Kartu lebaran ditempel di dinding menyerupai bentuk kubah mesjid.
Sebaskom kacang tanah yang direndam dikerubuti saya dan adik2 yang menguliti kacang sampai jemari kami keriput. Kulit
ketupat mulai dijalin bersama-sama seusai terawih hari-hari terakhir. Orangtua kami keduanya semakin sibuk pula. Saya masih
ingat buah disusun bertingkat melingkari sepotong batang pisang, tak ubahnya sesajen buat dewa Bali, dan diletakkan di tengah
meja makan.

@@@

Sari Karseno, sahabat saya masih kecil, bertestimoni terakhir saya bertemu dengannya: "Kami selalu menunggu-nunggu saat
lebaran di rumah Oom/Tante Arsyadi. Kuenya unik-unik dan dekorasi sekitar meja makan begitu hangat". Sari, dan penikmat
makanan lebaran lain di rumah ortu tahun2 tersebut tidak "ngeh" bahwa persiapannya cukup rumit.
Makanan besar biasanya hanya satu macam, soto sulung, rawon atau gule, misalnya. Tapi kue-kue besar pencuci mulut beragam,
penjelmaan resep2 pengasih teman2 ibu dari berbagai negara.

Ada Pavlova, resepnya dari teman ibu asal Filipina (tengahnya menyerupai kuning telur, luarnya putih telur yang dikocok kaku.
Jika diiris mirip telur rebus, sehingga satu tamu pernah mencemplungkannya ke dalam soto), kue uli yang berjudul asli Obst
Kuchen berasal dari teman Jerman bernama sama : Uli. Lalu kue2 dalam negeri tak kalah pelik, seperti kue Delapan Jam dari
Palembang yang mengharuskan kami adik beradik piket bergantian menjaga agar air di kukusan tidak kering. Pendek kata,
kegiatan lebaran bersentra sekitar dapur.

@@@

Setelah dewasa saya pun terjangkit kehebohan yang sama. Satu tahun lebaran bertema Betawi, tahun lainnya Banjarmasin,
kampung halaman ayah, dst.

Hari Raya - setelah dewasa, saya jelang dengan sesak nafas tiap tahun karena di bawah sadar sudah terasa betapa
menyibukkannya. Belum seminggu ramadhan berjalan, daftar siapa yang harus dibelikan apa sudah mulai ditulis dan mulai
dicicil. Konsep efek multiplier ekonomi tiba2 seolah-oleh saya junjung tinggi dengan berbelanja sedini mungkin. Di hari-hari
sekitar lebaran trip mondar mandir ke supermarket dan pasar semakin sering. Otak sibuk merancang menu apa untuk hari ke
berapa dan untuk tamu2 siapa saja. Phuih, bahkan mengingat-ingat lebaran lebay membuat saya berkeringat sekarang. Cape deh..

Jika mendiang ayah melakukan semua kehebohan itu karena sedang menciptakan tradisi (beliau yatim piatu, tak berayah ibu dari
kecil), maka saya tidak punya alasan melebay yang cukup kuat selain mengakui dengan suara kecil: yess, saya memang kalah
melawan nafsu, penyakit lebarangitis.

@@@

Tuhan selalu memberikan apa yang kita perlukan dan belum tentu yang kita kehendaki. Tahun ini saya diberi sakit cukup serius
dan lama. Kata-kata bijak "selalu ada hikmah di balik segala sesuatu", kali ini terasa sangat benar di nurani. Badan yang belum fit
menghalangi saya untuk berheboh-heboh dan melebay-lebay. Saya dihalangi untuk mendominasi persiapan lebaran di rumah ibu
(setiap tahun pasti berkumpul di sini, di Bogor) dengan cara saya.

Tahun ini cara yang sudah dicita-citakan ibu dan adik-adik saya, mendapat jalan: bersahaja, apa adanya, tidak berlebihan,
alamiah,memudahkan.

Sampai beberapa hari sebelum hari H saya masih belum beli apa-apa. Dalam hal perkuean hanya mengandalkan kiriman saudara
dan teman. Sisanya beli dan sepraktis mungkin. Adik dan ibu memasak dengan bumbu racikan. Meja dihias dengan rangkaian
bebas biaya: macam-macam daun spesies berbeda berasal dari kebun rumah. Malam sebelum lebaran saya tidak lagi sibuk
mengeluarkan dinner set bohemia atau koleksi terbaik keluarga. Kata kuncinya adalah sederhana. Piring makan sehari-hari cukup
baik untuk naik panggung. Bahkan di antaranya terselip hasil hadiah belanja Rinso atau Indomie.

Bukannya kurang menghormati tamu. Tetapi karena fokus berpindah ke hal-hal yang lebih penting: menciptakan kenangan,
menciptakan momen-momen indah dalam kebersamaan..

@@@
Sakit mengajarkan saya untuk menata ulang prioritas dalam hidup. Memperkokoh jalinan silaturahmi dalam/antar keluarga,
sahabat, teman, tetangga ternyata jauh di atas nafsu membuktikan pencapaian diri lewat konsumsi produk2 beraroma lebaran.

Alih-alih "membelanjakan" waktu untuk persiapan rumit lebaran bermegah-megah, saya berinvestasi pada hal2 yang bersifat
immaterial: bercengkerama anak beranak adik beradik; main musik bareng, mendengarkan cerita mereka dan para tamu; meng-
update satu sama lain dengan perkembangan yang masing-masing lewati belakangan ini, main macam-macam -mulai kartu
sampai kembang api dst. Tentunya ini yang paling sering terjadi; tertawa bersama -sering sampai keluar air mata atau menukar
celana saking serunya tertawa.

@@@

Kompas minggu lalu menulis tentang sejumlah pemudik meninggal dalam perjalanan. Sungguh menyedihkan.

Namun dibaliknya saya terpikir bahwa tradisi pulang kampung yang tak pernah surut ini bisa dilihat sebagai puncak gunung es
dari satu nilai yang lebih dalam: pemudik-pemudik ini memprioritaskan berkumpul dengann orangtua, tetangga sekampung, adik,
kakak, para terkasih.

Bangsa kita ternyata masih punya benteng kokoh terakhir penjaga nilai-nilai luhur yang perlu diwariskan ke anak cucu. Benteng
ini biasa kita sebut: KELUARGA (di negara2 maju, institusi ini sudah amat rapuh. Kita patut bersyukur).

Dan saya juga berterimakasih kepada Tuhan karena sakit membimbing saya menemukan kembali salah satu esensi liburan
lebaran, merekatkan kembali kekerabatan, kedekatan dalam keluarga.

~~~~~

Mohon Maaf Lahir Bathin


Lebaran Idul Fitri hari ke4 1434 H, Agustus 11, 2013

Menyambut Ramadhan -Dugderan-, Kauman dan Zainuri.~


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Mas Zainuri lahir tahun 1959 di rumah kayu dengan jendela kotak2 kayu, berdinding papan, berpintu dan beratap rendah yang
terinspirasi rumah di pedesaan Belanda. Rumah jenis ini masih banyak saya temui di daerah eks tempat pelesir bangsa kolonial.
Biasanya di daerah dingin seperti Kopeng, Jawa Tengah atau Kabanjahe, Sumatera Utara.

Tapi area tempat tinggal mas Yen -nama kecilnya- jauh dari dingin. Di tengah pemukiman padat Kauman Semarang, rumah mas
Yen yang memperistri puteri Madura, Prapti (57), merangkap jadi warung nasi. Di atas kusen pintu utama tertulis "Warung Nasi
Murah" di atas banner tiga puluh riibuan. Seharusnya ditulisi, "dari tahun 194x" (saya lupa tanya, yang jelas tak lama sesudah
kemerdekaan).

"Waktu kecil, saat Ramadan saya mengumpulkan uang jajan buat "kulak'an" (baca, jualan) mainan, seperti kodok 2an yang
terbuat dari tanah dan kertas semen, atau kaca mata dari bambu dan kertas minyak berwarna sebagai kacanya" Mas Yen
mengenang. Kegiatan tahunan ini dilakukannya sekitar alun-alun.
Sekarang alun-alun lenyap tertelan pedagang seputar Mesjid Agung. Hari pertama puasa saya mengelilingi area bekas alun-alun.
Dari sini sampai ke pangkal Jalan Pemuda yang dekat Pasar Johar dipenuhi penjaja yang tergabung dalam keriaan tahunan khas
Semarangan -Dugderan.

"Tradisi ini bermula saat Bupati Semarang masih mengatur pemerintahan kota dari Kanjengan. Perhitungan masuk pertama puasa
dipasrahkan kepada para ulama di Mesjid Kauman. Setelah ada ketentuan tanggal, diserahkan kepada jajaran kabupaten. Buka
pertama, ditandai dengan bedug dari Mesjid yang disambut dengan tembakan meriam tiga kali dari lingkungan Kabupaten.
Demikianlah lantas acara ramai-ramai menyambut Ramadan ini lantas dinamai Dugderan", demikian mas Zainuri menjelaskan.

Semarang, Ramadhan 2015

Setiap Ramadhan, mbak penjaja ketan biru bisa ditemui di pintu gerbang Mesjid Kauman, Semarang.
Ia akan menumpangkan segunduk kecil enten (kelapa dimasak dengan gula merah sampai kalis) di
buntalan ketan biru.

Di samping ketan, ia membuat serabi yang beda dengan yang sering saya temui. Versi Kauman ini
lebih montok mentul-mentul. Dimakannya direndam santan, yang dituangkan dalam wadah gelas
plastik. Mbak yang berusia sekitar tiga puluhan dan berpenampilan cukup up to date ini mengaku
mewarisi tradisi berjualan ketan biru dari zaman nenek dan orang tuanya.

Saya tanya, warna birunya dalri apa, dan sedikit kecewa. Sayang betul, dari botol. Di Penang,
Melaka, dan tempat lain dimana banyak berdiam kaum peranakan keturunan Tionghoa, warna biru
diperoleh dari penggunaan bunga telang. Juadah yang menggunakan pewarna alami ini akan menjadi
biru keunguan.

Saya yakin, zaman dulu mesti leluhur mbk penjaja, termasuk kita semua, menggunakan pewarna
alami. Setuju ndak?

Reposting tulisan Jumat, 24 Mei 2013

MEMBEBER BUBUR
~~~~~~~~~~~~~~~~~

Saya penggemar bubur. Begitu gemarnya sampai-sampai pernah tega mengkorupsi bubur. Saat berusia sembilan tahunan saya
sering dipercaya tetangga untuk menyuapi anak bayinya. Kepercayaan yang mestinya tak usah diberi penuh-penuh. Tiga empat
sendok ke mulut si bayi akan diikuti sesuap untuk saya. Menoleh ke belakang, saya jadi malu - saya yakin pasangan muda itu
tahu apa yang saya lakukan. Untung mereka amat sayang pada saya , sehingga tak hendak menegur.

Kemungkinan kesukaan akan bubur ini datang dari ayah. Beliau asli Banjarmasin, dan setiap orang yang mengaku berasal dari
dari daerah ini, cinta bubur. Paling tidak fakta ini yang menghantarkan beratus mangkuk bubur yang disebut "Bubur Banjar"
setiap hari Ramadhan di mesjid Dharussalam, Solo. Tradisi ini dimulai di tahun 1930 an saat mesjid masih berupa langgar, dan
warga Banjarmasin yang baru masuk Solo ingin menjalin kedekatan dengan penduduk asli.
Bertahun-tahun saya bercita-cita ingin mengunjungi mesjid ini dan mengicipi, tapi tak kunjung sampai. Saya agak terhibur begitu
tahu dari internet bahwa kurang lebih mirip dengan bubur Assyura yang populer di kalangan Melayu Singapura dan Malaysia,
bersemburat aroma rempah, kapulaga, cengkeh, bunga pekak. Ibu semang saya sering memasakkannya setiap 10 Muharram di
tahun2 saya mondok di rumahnya di Teka Market, Singapura saat berkuliah dulu. Bubur Assyura bisa manis atau asin, yang
penting harus menggunakan paling tidak 10 bahan utama, semisal keledek (keladi), ubi, daging dan balanya.

Walau belum sempat buka puasa dengan bubur Banjar Solo, saya sempat menikmati jatah bubur pembagian bulan Ramadhan di
kota lain, di Medan. Saya tadinya tak tahu ada tradisi ini. Namun pak pengemudi langgaan berbaik hati mengantar ke Mesjid
Raya, mengantrikan, dan memberi satu porsi. Namanya bubur sop. Konon tradisi ini dimulai oleh keluarga kerajaan Deli, dulu
berupa bubur pedas. Lalu akhirnya diamanahkan kepada pengurus mesjid. Lambat laun karena alasan ekonomi disederhanakan
menjadi versi yang sekarang.

@@@

Bubur pedas Medan saya cari di google tak keluar resepnya. Tapi bubur pedas Pontianak, tak cuma resepnya, rasanyapun sempat
saya nikmati. Pedasnya datang dari lada, sehingga disebut juga bubur sahang (= merica). Istimewanya, bubur ini datang sendiri
ke Jakarta menemui saya .

Sobat saya Asmaniar gemas karena saya tak kunjung sempat datang ke kotanya, padahal ia sudah lama ingin menunjukkan bubur
trademark kota ini. Satu hari ia datang langsung dari airport membawa satu gembol bahan-bahan bubur (dibawa dari Pontianak,
sampai ke bawang-bawang!!). Bubur yang tak mudah membuatnya ini (tak kurang dari tiga jam Asmaniar mengoprak-oprek di
dapur), ruarr biasa istimewa. Konon kreasi warisan masa perang. Karena itu berbahan utama beras yang disangrai sampai hitam
lalu ditumbuk, maksudnya biar awet jika di bawa masuk hutan saat mengungsi. Daun-daunannya pun dari hutan, pakis merah,
kesum, selain yang jamak seperti ubi, teri dan daging..

@@@

Memang perang membuat penduduk Indonesia jadi kreatif. Bubur tinutuan, atau dikenal sebagai bubur manado, ceritanya tercipta
saat Permesta. Penduduk serta para tentara menyiasati minyak goreng dan bahan pangan lain yang langka dengan
mencemplungkan apa yang tumbuh di pekarangan - pucuk labu, labu, daun gedi, jangung, antara lain- dan memasukkan
segenggam beras.

Masa-masa Jenderal Soedirman memimpin perlawanan bergerilya, penulis/wartawan kawakan Mahbub Junaedi kecil mengungsi
dengan keluarganya ke Yogyakarta yang jadi ibu kota sementara. Buku tipis sarat isi tulisannya yang. berjudul "Dari Hari ke
Hari" berupa memoir zaman2 ini ada bercerita tentang bubur (halaman 56):

"Atas nama penghematan, semua makan bubur, semua, demikian bunyi keputusan ayah. Bagaimanapun bubur masih bagian lebih
lanjut daripada nasi, artinya derajatnya lebih tinggi dari jagung, apalagi gaplek. ....... Bubur bisa menghemat sepertiga beras,
malah kalau encer bisa seperlima".

Saya makin jatuh cinta pada bubur, turut mengukir jasa dalam meraih kemerdekaan rupanya.

@@@

Di masa susah atau senang, bubur bertapak kuat pada tradisi. Saya pernah membaca tentang pembuat bubur tingkeban (syukuran)
ibu hamil asal desa Wonosari, Karanganyar, Solo. Mbah Sugito (70th) namanya. Beragam jenis jenang (bubur) menandai setiap
bulan kehamilan. Jenang untuk bulan ke sembilan berupa bubur sumsum diisi pisang yang dinamakan "plorot", melambangkan
dan mendoakan kelancaran kelahiran bayi. Waktu saya kecil untuk memperingati hari jadi eyang puteri selalu membuat
"bancakan", perayaan dengan jenang merah putih.

Sedemikian integralnya jenang dalam masyarakat jawa sampai termaktub dalam kitab "Serat Tata Cara" (ditulis 1863 - 1903).

@@@

Mengaku-aku penggemar bubur, apa dong jenis yang paling saya suka? Hmm, suka semua, namun ada satu yang paling berkesan.
Teman "dekat" masa SMA yang orang Minang memperkenalkan saya pada bubur ini. Kami bermotor berkilo-kilometer ke pasar,
mblusukan di bawah terpal berwarna2. Ia jalan di depan saya -masih dengan seragam SMA- excited seperti hendak menunjukkan
rumah baru ke pengantinnya. Dan saya sama girangnya melihat piring bubur Uni langganan yang dipamerkannya pada saya.
Bersusun dengan indah dalam wadah, gumpalan2 sumsum, bubur cendil, mutiara, kolak, serikaya dan macam2 lainnnya. Bahkan
sobekan roti turut meramaikan barisan bubur yang disebut juara ini. Eh salah, Bubur Kampiun !!.

Rasanya? Berwarna-warni juga, seperti juga perasaan saya siang hari di zaman SMA itu.

Uhuuuy.....

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Selamat Merayakan Indonesia


Gerakan mengupload foto (cover, profil, dsb), video, status, album, notes di dunia FB setiap Jumat yang bercitarasa Indonesia.

Celebrating Indonesia
A movement that encourages Indonesians on this FB world to upload photos, status, videos, notes that convey Indonesian typical
"flavour", every Friday.

P/S :
Sumber rujukan tentang Jenang Jawa, "Seribu Jenang di Kota Solo", Kompas Minggu 24 Februari, 2013.

Keterangan gambar, searah jarum jam: 1. bubur kacang hijau buatan sendiri, pagi ini 2. bubur sumsum kiriman tetangga 3. bubur
kampiun Bopet Mini, Pasar Bendungan Hilir, Jakarta 4. bubur sahang Pontianak buatan sahabat Asmaniar.....

NASIHAT BISNIS WARREN BUFFETT... ehhh... WARUNG BOPET


-----------------------------------------------------------------------------
Sama-sama berinisial WB, Warren Buffett dan Warung Bopet (Mini) punya kemiripan. Di tengah2 arus deras perubahan (era
“next two hours” menurut pakar chaos, DJ Patil) bisnis yang bertahan lebih dari tiga dasawarsa tergolong langgeng.

Usaha kedua WB menunjukkan hal demikian. Berkshire Hathaway yang dikelola Warren Buffett, multimilyader Amerika,
berumur 44 tahun. Warung Bopet (Mini) yang terjepit diapit kios di tengah pasar Bendungan Hilir, hampir sama tua, 31 tahun.
Jika Warren Buffett menggema di dunia (mBah Google mengeluarkan 7.660.000 situs yang memuat kata kunci namanya, hanya
dalam 0,19 detik), Warung Bopet (Mini) cuma tenar di kandang sendiri. Ya iyalah Yana – begitu kudengar teman2 protes –
masak Warren Buffett dibandingkan dengan kios sederhana di tengah pasar Bendungan Hilir? Mana tempatnya nyempil pula,
terjepit di antara kios alat pembuat kue, barang kelontong plastik dan pecah belah. Eitt, jangan salah, warung ini cukup ngetop
lho. Dalam 0,29 detik google mengeluarkan 24.000 hasil yang memuat nama legitimatenya, Bopet Mini.

Sampai di paragraph ini judul memang saya pelesetkan menjadi Warung Bopet karena bunyinya mirip sekali dengan nama orang
ketiga terkaya Amerika yang dermawan itu. Pendiri Warung Bopet (Mini) yang juga dermawan, Ibu Et (nama lengkapnya
Revmaningsih) mengatakan bahwa kata Bopet berarti warung. Mungkin sekali berasal dari kata ‘buffet’ yang berarti prasmanan.
Jajaan di warung Ibu Et dijajar di etalase maupun dalam wadah berbagai tipe dan bentuk, plastik, alumunium, stainless steel
maupun baskom jaman dulu, seperti sistem buffet.

Tahun 1981 itu, saat dibuka, yang dijual hanya makanan untuk sarapan : ketupat sayur, serabi padang, macam2 talam dan
serikaya ketan serta juaranya: bubur kampiun. Seperti namanya, bubur kampiun memang pantas dijagokan. Tak saya temui di
propinsi lain, bubur unik ini memadukan berjenis bubur dalam harmoni dalam satu mangkuk: bubur candil, kacang hijau, kolak
pisang, sumsum, pacar cina. Serabi padang tak seperti yang kita kenal di Jawa; yang ini gemuk sintal dengan kuah santan gula
kelapa yang rasio campurannya pas surapas. Favorit saya adalah ketan serikaya. Penyajiannya : seonggok ketan pulen mengkilat,
ditangkringi oleh beberapa gunduk serikaya sexy yang disendok langsung dari baskom tempat dimasaknya. Srikaya serupa
puding yang dibuat dari santan, telur dan gula malaka. Menurut ulasan pakar kuliner di situs resmi dan setengah resmi yang saya
jumpai di internet, masakan Bopet Mini terjaga keotentikannya, asli minang! Tak heran jika tempat ini selalu laris manis.

Memasuki tahun 90-an, Ibu Et merasa tergerak untuk membuka warung nasi, di kios di depan Bopet, berukuran lebih besar.
Banyak yang tak setuju – keluarga meragukan kemampuan menjalankannya. Namun seperti yang dikatakan Rina, anak bungsu
Ibu Et, pebisnis wanita ini intuisinya tajam. Segera warung nasi malah lebih melejit dari warung jajaan sarapan.

Saat saya datang ke sana, jam 11 siang, warung nasi sudah penuh separuh kapasitas, dan antrian di warung sarapan tak berhenti.
Walaupun Bopet Mini saat ini memiliki cabang di gedung Arthaloka, jalan Sudirman, tetap saja outlet di pasar Benhil ini adalah
primadonanya. Tampilan Bopet Mini yang bersahaja dan unik, di tengah pasar ini mungkin sekali malah menjadi kekuatannya.

Rina, si bungsu, menunjukkan air muka heran ketika saya tanya bagaimana trend perkembangan Bopet Mini. “Seperti bisnis
lainnya, semakin lama semakin berkembang dong bu”, jawabnya (mungkin Rina sambil berpikir, pertanyaan aneh model apa
ini?). Dibesarkan oleh orangtua yang ulet, kurasa tak terpikir oleh Rina bahwa yang namanya usaha bisa juga nyungsep. Yang
disaksikan Rina selama ini adalah ibunya yang kebetulan berkualitas OK, sehingga mendorong kurva trend terus menukik ke
atas.

Selain intuisi bisnis yang tajam, menurut Rina, kekuatan ibunya yang menonjol adalah disiplin. Ketika ditanyakan langsung ke
Ibu Et (mereka saya ajak bicara dalam waktu berbeda), beliau mengiyakan. Terdengar klise memang, tapi sungguh menarik
mendengar bagaimana si Ibu menjabarkan disiplin.

“Disiplin itu, kalau mengantuk tidur, kalau lapar makan, kalau waktunya kerja, serius” Tadinya saya hanya tersenyum mendengar
betapa sederhananya definisi Ibu Et. Setelah saya renungi, dalam juga ternyata. Saya rasa yang dimaksudkannya adalah
kemampuan pengelolaan diri, memimpin diri sendiri. Dalam dua jam saya ngobrol dengan si Ibu, bertaburan contoh mengenai
hal ini. “Selepas sholat subuh, lewat sedikit dari pukul 5, saya berangkat kerja. Jadi anak-anak bisa melihat bahwa sayapun
disiplin, bukan hanya menuntut”. (Yang disebutnya “anak-anak” adalah karyawan maupun putera-puterinya sendiri). Bahkan di
tahun ke 31 inipun ia masih sering turun ke pasar. Bukan karena tidak percaya, tetapi karena “senang saya ikut memilih-milih
bahan masakan itu. Ada saja ide muncul” begitu jelasnya.

Bagian terakhir dari definisi disiplin versi Ibu Et “....kalau waktunya kerja, serius” diterapkannya dengan tegas terhadap anak-
anaknya. Tiga dari empat anaknya bekerja di Bopet Mini, diberi gaji seperti karyawan dengan jam kerja yang tetap. Saat bekerja,
mereka bukan lagi keluarga pemilik, tetapi bagian dari angkatan kerja Bopet Mini.
@@@@

Insight bisnis yang ia miliki sekarang diperolehnya dengan harga mahal. Di tahun sembilan puluhan pertengahan, ia hampir
kehilangan Bopet Mini. “Saat itu, besar pasak dari tiang” ia menguak cerita lama. Warung yang ramai membuatnya menderita
euforia. Sebuah rumah di Taman Mini, mobil kijang, dicicilnya dengan antisipasi bahwa penerimaan sehari-hari dari warung
akan cukup buat menutupi cicilan per bulan. Perkiraannya meleset, rumah terpaksa dijual, mobil ditarik karena tak kuat bayar.
Untung ia biasa hidup susah. Disiplin ketat membuatnya bangkit dari kesulitan ini. Dan akhirnya disiplin menjadi panduan utama
dalam menjalankan usaha Bopet Mini. The rest is history.

Ibu Et sekarang berusia 60 tahun, wajahnya masih licin, air muka berseri. Mungkin dari air wudhu sholat dhuhanya yang tidak
putus. Cintanya terhadap pekerjaannya juga tak putus-putus. Ia bercerita dengan antusias tentang rencananya untuk bulan puasa
nanti, menu apa saja yang akan ditampilkannya. Setiap ramadhan, kios tengah yang saat ini terisi meja kursi belaka, disulapnya
menjadi dapur. “Kami mulai masak jam tujuh pagi dan kompor baru mati jam empat sore.” Berbagai stasiun teve datang meliput
“atraksi’ masak-memasak di tengah pasar ini.

Di sela-sela pembicaran dengan saya sempat-sempatnya ia -bagai jenderal di tengah perang- mengeluarkan instruksi kepada
karyawannya yang hilir mudik melewati kami : ‘Satu kilo cabainya ya, bawang merah setengah saja”... atau “panci ini digosok
dulu ya, mau dipakai buat rebus santan” dst..... (Ternyata kesibukan “perang” ini berkaitan dengan pesanan untuk pesta
perkawinan di malam harinya).

Sekilas perilaku ini terlihat seperti micro managing, bertentangan dengan teori kepemimpinan modern. Namun menurut
pengamatan saya, Ibu Et dengan kesederhanaannya sedang membangun suksesi dengan cara mencontohkan gaya pengelolaan
model Ibu Et.

Memang kemampuan manajerial terlihat merupakan kekuatannya. Para pegawai dipondokkannya di asrama miliknya tak jauh
dari pasar. “Seperti kos-kosan saya buat. Setiap beberapa kamar satu kamar mandi. Untuk orang kepercayaan saya kamar dibuat
lebih besar, bisa menampung satu keluarga dengan kamar mandi di dalam”. Yang disebutnya sebagai orang kepercayaan ada dua,
Mbak Timi, tukang masaknya berbelas-belas tahun, serta satu lagi (namanya saya lupa), penyelia warung yang suaminya
dibukakan Ibu Et warung kelapa di pasar Bendungan Hilir juga. Ini satu lagi gaya manajemen Ibu Et dalam hal mengelola
SDMnya, satu keluarga dia urusi. Memang cara tradisional, namun esensinya mungkin bisa ditiru.

Kunci penting lain dari kelanggengan bisnis Ibu Et adalah passionnya, semangatnya, kecintaannya akan bisnisnya. Matanya
berbinar-binar menceritakan berbagai aspek warung ini, aspirasinya, rencana-rencana masa depannya. Namun di atas segala-
galanya, kemampuan memberi teladan (role-modeling) saya kira adalah landasan terpenting yang menyebabkan bisnis ini bisa
bertahan lama. Semua nilai yang beliau usung, kesederhanaan, ketekunan, ulet, disiplin, pantang menyerah, tertib kelola dsb.,
ditunjukkan dan diamalkannya dalam kesehariannya.

SERIBU CARA KE BIKANG


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Berjam-jam saya ikut jongkok di lantai, menonton atraksi yang baru saya temui seumur hidup. Tentu mencoba ikut membantu,
kalau tidak nanti dikepruk pakai panci oleh yang ditonton.

Belum pernah saya melihat pembuatan Cara Bikang. Tak bosan-bosan rasanya mengamati saat kue diangkat dari panggangan,
lalu dibuat mekar seperti kembang. Konsentrasi harus disetel full-blast setiap detik, tidak bisa lengah sebentar. Lubang2 di dalam
cetakan mendapat eksposur panas api yang tak sama besar. Pemasak harus dengan cekatan memutar letak sehingga panas rata.
Satu kue setengah jadi dipindahkan ke lubang lain yang baru saja ditinggalkan kue lain yang lebih dulu matang. Adonan
sesendok masuk ke lubang kosong yang sebelahnya dengan panas paling tinggi, dst.
@@@

Jari2 yang tengah memekarkan kue di foto ini milik seorang ibu bernama Fatin, di satu desa di Lasem. Berprofesi sebagai
pemasak untuk acara2 hajatan. Sebenarnya lebih sebagai konduktor, karena kegiatan2 yang kurang menantang, seperti mencacah,
memotong, mengupas, dilakukan segerombolan pasukannya. Ia hanya memberi instruksi, mencampur, mengaduk, mengadon di
titik final. Dan terutama, mengicipi. Tak ubahnya Anthony Boudoin, chef selebriti yang dibantu bala sous-chef nya. Kalendar Ibu
Fatin biasanya sampai empat bulan ke depan sudah fully booked. Terutama di bulan2 sarat hajatan dan mantenan.

Setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa rumitnya membuat cara bikang, kue ini terasa lebih lezat di lidah. Terus
terang ini bukan makanan favorit saya. Seperti juga jajan pasar lainnya. Saya besar di daerah minyak, dimana ibu-ibunya belajar
dari istri-istri ekspatriat bagaimana mengolah juadah ala Amerika. Atau dari buku resep Betty Crockers dan Femina. Jadi saat
minum teh sore saya lebih sering menemui cake, cookies, atau pie di atas meja.

Saya agak menyesali ini. Cake, taart dkk, mudah sekali membuatnya. Jebrat, jebret, campur, ulen, adon, jadi deeh. Dan satu kali
adonan, bisa jadi satu batch sekaligus. Juadah ala Indonesia dibuat dengan hati-hati, tidak pakai takaran mililiter, milimeter, eeeh,
gram-graman dan aturan temperatur. Bukan saja hati-hati tapi juga kudu pakai hati. Saya cenderung menggolongkan pembuatan
kue ala Barat sebagai sarat teknik, sementara mengolah kue tradisional sebagai pekerjaan artisan.

Sekarang banyak buku resep yang mencoba membakukan cara masak kue-kue jajanan tradisional ini. Saya kadang mencobanya.
Wah, ternyata jarang pas. Tetap saja hati tak boleh ditinggal. Intuisi yang akan menggiring apakah adonan cukup kental, apakah
cetakan di atas api cukup panas, apakah tengah kue masih belum tanak.

@@@

Saya jadi paham maksud Gopnik, jurnalis cum foodie yang menulis buku "The Table comes First".

Menurutnya, jika kita, homo sapiens, hanya sekedar memaknai kegiatan makan2 pada dimensi ragawinya, maka apa bedanya kita
dengan hewan? Memperkaya pengalaman menikmati santapan apapun dalam segala aspeknya, menjadikan kita sejatinya kita:
mahluk berpikir.

Mengikuti proses pembuatan makanan akhir-akhir ini disadari sebagai satu bentuk cara mengapresiasi aktivitas basic manusia ini:
Makan. Televisi penuh dengan tayangan koki yang tampil atraktif, membuat pekerjaan mempersiapkan hidangan menjadi sekeren
mencampur ramuan kimiawi di tabung reaksi dalam laboratorium. (Ibu2 di seluruh dunia mungkin sekali geleng2 kepala.
Hfft...bokis betul. Bagaimana dengan mata berair ketika mengupas bawang brambang? Bagaimana dengan cipratan bumbu ketika
menguleg? Bagaimana dengan tumpukan panci dan wadah serta penggorengan berminyak? Memasak so pasti bukan kegiatan
elegan....Secanggih apapun chefnya. Teve memang jago sulap.)

Beberapa tahun lalu saya menggilai acara yang dipandu oleh eks editor majalah yang sudah almarhum, Gourmet. (Eh, yang wafat
majalahnya lho.) Sang eks editor, Ruth Reichl, namanya, mengajak penonton menjelajahi sekolah-sekolah masak di antero dunia.

Satu episode yang lekat di hati adalah saat Ruth mengunjungi sekolah masak di Luang Prabang, Laos, milik suami istri Joy (asli
Laos) dan Carolin. Joy tadinya biksu, dikirim ke biara pada usia 11 tahun. Pengalamannya yang beragam, dan ketahanannya yang
dikumpulkannya dalam hidup, membuat Joy menyiratkan karisma yang khas orang langitan. Rendah hati, sekaligus kuat, lugas
dalam komunikasinya.
Penonton dibuat terpesona melihat penganan sesederhana ketan yang dikepal bulat2 kecil dan dicocol sambal, atau ayam giling
campur daun2 wangi yang dikurung dalam serai yang dimemarkan, ditampilkan proses pembuatannya begitu eksotik.

Saya yang sesama Asia saja bisa terplongo-plongo melihat perabot masak mereka, bagaimana lagi penonton2 dari penjuru dunia
yang lain ya?

Hmmm....bukan tak mungkin mereka juga akan terpesona melihat bagaimana kue-mue tradisional kita dipersiapkan. Boleh tidak
ya, saya membayangkan seni memasak kue tradisional Indonesia ini akhirnya dapat ditonton di channel2 teve internasional?
Asian Food Channel, misalnya? Atau Food Planet? Atau National Geographic?

@@@

Di Melaka, pengunjung dari LN sering digiring ke satu dari beberapa rumah makan peranakan. Genre masakan yang disajikan
disebut "Nonya", blasteran dapur tionghoa dan melayu. Rasanya memang superb (masakan kita juga tidak kalah, sebetulnya).
Nah, yang ingin saya ceritakan khusus sebenarnya adalah juadah mereka, yang dihidangkan terakhir sebagai penutup. Sekilas
banyak kemiripannya dengan "koleksi" kita, namun entah kenapa, begitu sophisticated rasanya berjajar dalam piring keramik
(saya tampilkan sebentar lagi fotnya dalam kolom komen),

Beda paling menonjol adalah berulangnya warna biru dalam ketan, adonan talam serikaya dsb. Ternyata didapat dari bunga yang
disebut kembang telang.

~~
Di Semarang, ramadhan lalu saya bertemu dengan ketan biru, dijual di depan mesjid Kauman. "aaaah, seruuu, biru kembang
telang ya mbak?" Saya hampir jejingkrakan bertemu warna langka pada penganan indonesia. "Bukan bu, pakai pewarna botolan"
jawab si mbak kalem.

Gubrakkkkks......

Hadooooooh.......

Bagaimana nih, sanak saudara sekaliyan. Boleh ndak sih, meneruskan mimpi melihat juadah indonesia ditemui di daerah down
town Sydney (setidaknya Paddy Market kalau bukan the Strand), atau di NY (di food truck juga gapapa. Buat nyarap meneer-
meneer yang tergopoh2 menyebrangi fifty seventh avenue, fourty-fourth, thirtieth (hehehe, ngarang ini, ga tahu sakjane)) ?

Di Changi Airport saya dengan bangga melaporkan bahwa jalan ke arah ini sudah dirintis oleh Bengawan Solo. Iya, itu kedai
kopi yang sering nyempil di mall2 kita. Antriannya, mak-jaan....Ambooooi, panjang mengular-ular. Saya pikir apa sih yang
ditumpuk tinggi-tinggi di atas nampan mereka sambil mengantri untuk bayar di kasir? Cara bikang, terlihat terselip di antara
lemper, risoles, talam (dibuat lokal kelihatannya, lebih sexy, dengan irisan jajaran genjang yang lebih natural, bukan rapi seperti
di indonesia), lupis, dan rekan2 sejenisnya. Cara bikangnya berwarna apa? Ya belum biru. Tapi sudah pasti tidak pakai pewarna
dari botol.

@@@

Tinggal sedepa lagi Cara Bikang sampai ke Italy (serta sekitarnya). Dan konon, ada seribu jalan ke Roma.
.
.
4 Nov. 2015
Kebagusan

Dari Blog "Gresikpedia", asuhan mas Edhy Aruman.

http://gresikpedia.blogspot.com/2018/

-------------------

KOLAK AYAM

-------------------

Bagi masyarakat Jawa, kolak kacang hijau, kolak pisang maupun kolak umbi-umbian sudah tidak asing.
Tetapi, kalau _kolak ayam_ mungkin agak aneh. Bayangkan, ayam yang gurih diceplungkan dan
dicampur dengan santan dan gula sehingga rasa kuahnya manis. Jadi kolak ayam campur aduk antara
ayamnya yang gurih dan kuahnya yang manis. Rasanya?...Ehmmm. Apalagi yang masak adalah laki-laki.

Di Desa Gumeno -- masuk di dalam wilayah Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik -- ada sebuah tradisi
yang dikenal dengan _Tradisi Sanggring_ (kolak ayam). Bila menyebut nama Kecamatan Manyar, ingatan
orang pada Desa Leran yang terkenal dengan makam seorang wanita muslim bernama Fatimah binti
Maimun bin Hibatallah yang meninggal pada tanggal 7 Rajab atau bertepatan dengan tanggal 25
November 1082. Berdasarkan bukti arkeologis ini dapat disimpulkan bahwa Agama Islam sudah masuk
di wilayah kecamatan Manyar sejak abad ke-11 M

Tradisi yang dimulai sejak 491 tahun itu dilestarikan masyarakat Gumeno dengan tetap dijalankan setiap
tahunnya, tepat pada malam 23 Ramadhan, dalam upacara yang tetap dijaga hingga saat ini. Jadi sore
nanti masyarakat Gumeno merayakan *Tradisi Sanggring*. Diperkirakan untuk acara hari ini akan
dipotong lebih dari 150 ekor ayam kampung jantan.

Saya sendiri, walau saat SD sering ke Gumeno menemani ibu saya yang mengisi pengajian, namun cuma
sekali menikmati hidangan itu pas saya SMP. Kebetulan ada teman yang rumahnya di Gumeno. Yang
sering ikut acara itu adalah kakak saya, Cak Yul. Sama dengan saya, Cak Yul kesana karena ada teman
SMP dan SMAnya yang asal Gumeno. Biasanya, kami ke Gumeno bersepeda.
Tradisi kolak ayam dikenal sebagai warisan dari _Sunan Dalem_ yang juga sebagai pendiri Desa Gumeno.
Menurut Babad Gresik, Sunan Dalem merupakan putra dari Sunan Giri yang memerintah di Giri
Kedathon. Sunan Giri meninggal pada tahun 1506 M, kemudian kekuasaan Giri Kedathon digantikan
oleh putranya yaitu Sunan Dalem.

Awal mula kedatangan Sunan Dalem ke Desa Gumeno untuk menyebarkan Islam dan membangun
masjid sebagai tempat interaksi sosial dan berdakwah. Pada tahun 1525 M, Sunan Dalem sakit dan
belum kunjung sembuh, sehingga pada suatu hari Sunan Dalem bermimpi diperintah Allah membuat
makanan yang berbahan dasar ayam. Ayam yang digunakan dalam kolak ayam adalah bagian dagingnya
yang disuwir-suwir.

Pada tanggal 23 Ramadhan, Sunan Dalem menyuruh santrinya untuk membawa bahan-bahan kolak
ayam berupa kelapa, kayu bakar, jinten, gula merah, bawang daun dan ayam kampung untuk dimasak.
Para pemasak atau santri yang diperintahkan oleh Sunan Dalem pada waktu itu adalah laki-laki Gumeno.
Bukan kaum perempuan. Perempuan tidak diperbolehkan membuat kolak ayam di area Masjid Jami’
Sunan Dalem. Para pemasak kolak ayam semuanya adalah laki-laki dan itu sudah terjadi sejak tahun
1525.

Kolak ayam dimakan bersama-sama di Masjid Jami’ Sunan Dalem ketika berbuka puasa sebagai ta’jil.
Setelah memakan kolak ayam, Sunan Dalem sembuh dari penyakitnya. Dari situlah kolak ayam dipercaya
masyarakat berfungsi sebagai obat dan belum ada perempuan Gumeno yang dilibatkan dalam tradisi
kolak ayam. Sampai sekarang, kolak ayam disantap untuk menu buka puasa. Semua warga Gumeno
berkumpul di masjid untuk buka bersama. Warga yang kaya dan miskin, semuanya duduk bersama
menyantap satu makanan yang sama. Bagi warga yang berhalangan, kolak ayam dikirim ke rumahnya
masing-masing.

Apakah perempuan tidak dilibatkan sama sekali dalam _Tradisi Sanggring_? Tradisi kolak ayam
merupakan salah satu tradisi yang didalamnya terdapat pembagian peran domestik dan publik. Peran
domestik dimiliki oleh perempuan dan peran publik dimiliki oleh laki-laki. Pembagian peran dalam tradisi
kolak ayam berkaitan dengan ideologi gender pada masyarakat Gumeno. Pola pikir masyarakat Gumeno
dalam tradisi kolak ayam membedakan peran-peran apa saja yang sesuai dan tidak sesuai atau harus
dilakukan dan tidak dilakukan dalam tradisi kolak ayam.

Pada budaya masyarakat Jawa umumnya memasak diidentikkan dengan peran yang dilakukan
perempuan. Ini karena peran tersebut berkaitan dengan nilai kelaziman perempuan Jawa yaitu
perempuan sebaiknya berada di dalam rumah. Namun pada tradisi kolak ayam memasak kolak ayam
adalah peran yang harus dilakukan oleh laki-laki.
Pada 1987, dalam tradisi kolak ayam, perempuan mendapatkan peran domestik. Perempuan memasak
ketan sebagai makanan pelengkap kolak ayam yang dimasak dirumah masing-masing. Untuk memasak
kolak ayam sekarang menggunakan kuali yang berasal dari aluminium, bukan tanah liat (gerabah)
sebagaimana dilakukan Sunan Dalem.

Peran domestik lainnya yang dilakukan oleh perempuan Gumeno dalam tradisi kolak ayam adalah
memarut kelapa dan membersihkan bulu ayam yang baru di dapatkannya pada tahun 2000. Adanya
keterlibatan perempuan dalam tradisi kolak ayam dapat menunjukkan bahwa antara peran domestik
dan publik saling melengkapi dalam hal menyiapkan dan mengadakan tradisi kolak ayam.

Tujuan perempuan dilibatkan dalam tradisi kolak ayam adalah untuk dapat meringankan beban dari laki-
laki yang memasak dan mempersiapkan tradisi kolak ayam. Peran publik dimiliki oleh laki-laki Gumeno
dalam tradisi kolak ayam adalah memasak kolak ayam yang harus dilakukan oleh laki-laki serta
mempersiapkan berbagai perlengkapan untuk tradisi kolak ayam.

Lalu bagaimana anak-anak? Sejak kecil anak-anak Gumeno mengetahui peran yang mereka dapatkan
dalam tradisi kolak ayam. Meskipun anak laki-laki Gumeno belum bisa memasak kolak ayam, tetapi anak
laki-laki Gumeno telah dilibatkan untuk membantu kegiatan lainnya yang dilakukan di area Masjid Jami’
Sunan Dalem.

Kegiatan yang dilakukan oleh anak laki-laki Gumeno adalah membersihkan bawang daun, mengepel
lantai masjid, mencuci piring dan menyuwiri ayam. Anak laki-laki Gumeno yang membantu menyuwiri
ayam akan mendapatkan upah berupa kepala, kaki dan tulang ayam. Anak perempuan Gumeno lebih
memilih untuk bermain atau membantu ibu mereka memasak di rumah.

Keterangan foto:

Sejumlah warga memasak kuah kolak ayam pada wajan dalam tradisi Kolak Ayam "Sanggring" di Masjid
Jami' Desa Gumeno, Manyar, Gresik, Jawa Timur, Kamis (7/6). Tradisi Kolak Ayam "Sanggring" yang
bernuansa religi tersebut diadakan pada hari ke 22 bulan Ramadan atau malam ke 23, dan telah
berlangsung selama 493 tahun. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/ama/18)

Anda mungkin juga menyukai