Anda di halaman 1dari 8

2.

Soal
Kebijakan moneter dilakukan untuk menjaga kestabilan nilai rupiah akibat laju
inflasi pada satu periode tertentu. Kestabilan kurs rupiah sangat ditentukan pula
oleh nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing. Jika Bank Indonesia mampu
menjaga kestabilan rupiah maka pertumbuhan ekonomi akan semakin membaik
dan tentunya perbaikan berbagai sektor diperhatikan secara berkesinambungan.
Bagaimanakah keseimbangan yang dimaksud dalam menjaga kestabilan nilai
rupiah? Jelaskan! 
Kebijakan moneter dilakukan untuk menjaga kestabilan nilai rupiah akibat laju
inflasi pada satu periode tertentu. Kestabilan kurs rupiah sangat ditentukan pula oleh
nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing. Jika Bank Indonesia mampu menjaga
kestabilan rupiah maka pertumbuhan ekonomi akan semakin membaik dan tentunya
perbaikan berbagai sektor diperhatikan secara berkesinambungan.
Seluruh kegiatan ekonomi dan keuangan dilakukan menggunakan uang. Fungsi
uang tidak hanya dipergunakan sebagai alat pembayaran, tetapi juga sebagai media
penyimpan kekayaan dan bahkan untuk berspekulasi bagi sebagian masyarakat.
Pengertian uang tidak terbatas pada uang kartal, yaitu uang kertas maupun logam,
tetapi telah berkembang menjadi berbagai bentuk dan variasinya seiring dengan
perkembangan pesat di sektor keuangan, dari uang giral, simpanan di bank, kartu
kredit, dan sebagainya. Alhasil, perkembangan jumlah uang yang beredar akan
berpengaruh langsung terhadap kegiatan ekonomi dan keuangan dalam perekonomian,
apakah itu konsumsi, investasi, ekspor-impor, suku bunga, nilai tukar, pertumbuhan
ekonomi, dan juga inflasi. Dengan peran seperti ini wajar apabila bank sentral
mempunyai tujuan dan diberi tanggung jawab untuk mencapai dan memelihara
kestabilan nilai dari mata uang yang diedarkan tersebut. Terlebih lagi pada dunia
modern sekarang ketika uang sebagai fiat money, dalam arti bahwa Negara
memberikan kewenangan kepada bank sentral untuk menerbitkan dan mengedarkan
uang tersebut atas dasar kepercayaan, tanpa adanya kewajiban untuk menyediakan
sejumlah emas atau cadangan lain sebagai jaminan dari penerbitan uang tersebut
seperti pernah dialami pada jaman standar emas. Karena itu, kestabilan nilai dari mata
uang tersebut merupakan kewajiban mendasar bagi bank sentral agar kepercayaan
negara dan masyarakat dapat terpelihara. Dalam prakteknya, kestabilan nilai dari mata
uang dimaksud mencakup kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa (yang
diukur dan tercermin pada laju inflasi) serta kestabilan terhadap mata uang negara lain
(yang diukur dan tercermin pada perkembangan nilai tukar atau kurs mata uang).
Kestabilan nilai mata uang, baik dalam arti inflasi maupun nilai tukar, sangat
penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Nilai uang yang stabil dapat menumbuhkan
kepercayaan masyarakat dan dunia usaha dalam melakukan berbagai aktivitas
ekonominya, baik konsumsi maupun investasi, sehingga perekonomian nasional dapat
bergairah. Lebih dari itu, inflasi yang terkendali dan rendah dapat mendukung
terpeliharanya daya beli masyarakat, khususnya yang berpendapatan tetap seperti
pegawai negeri baik sipil maupun militer dan masyarakat kecil. Bagi golongan
masyarakat ini, yang umumnya mencakup sebagian besar penduduk, harga-harga yang
terus membubung menyebabkan kemampuan daya beli untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari akan semakin rendah. Demikian pula, inflasi dan nilai tukar yang tidak stabil
akan mempersulit dunia usaha dalam perencanaan kegiatan bisnis, baik dalam kegiatan
produksi dan investasi maupun dalam penentuan harga barang dan jasa yang
diproduksinya. 
Guna mencapai tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank
Indonesia diberikan kewenangan oleh UU No. 23 Tahun 1999 dalam tiga bidang tugas,
yaitu :
1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan
3. Mengatur dan mengawasi bank.
Pelaksanaan ketiga tugas di atas mempunyai keterkaitan dan karenanya harus
dilakukan secara saling mendukung guna tercapainya tujuan Bank Indonesia secara
efektif dan efisien. Tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dilakukan
Bank Indonesia antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga
dalam perekonomian. Efektivitas pelaksanaan tugas ini tentunya memerlukan dukungan
sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan andal yang merupakan sasaran dari
pelaksanaan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Sistem
pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan andal tersebut memerlukan sistem
perbankan yang sehat yang merupakan sasaran tugas mengatur dan mengawasi bank.
Secara prinsip terdapat beberapa strategi dalam mencapai tujuan kebijakan moneter.
Masing-masing strategi memiliki karakteristik sesuai dengan indikator tertentu yang
digunakan sebagai nominal anchor (jangkar nominal) atau semacam sasaran antara
dalam mencapai tujuan akhir. Beberapa strategi kebijakan moneter tersebut, antara
lain :
1. Exchange rate targeting (penargetan nilai tukar)
2. Monetary targeting (penargetan besaran moneter).
3. Inflation targeting (penargetan inflasi)
4. Implicit but not explicit anchor (strategi kebijakan moneter tanpa jangkar yang
tegas).
Kestabilan nilai Rupiah mempunyai dua dimensi yaitu kestabilan nilai Rupiah terhadap
barang dan jasa (disebut dengan inflasi) dan kestabilan nilai Rupiah terhadap mata
uang Negara lain (disebut dengan nilai tukar atau kurs Rupiah). Dalam sistem nilai tukar
mengambang yang dianut saat ini, nilai tukar Rupiah ditentukan oleh kekuatan
permintaan dan penawaran di valuta asing, dan karenanya Bank Indonesia tidak
menargetkan atau berupaya untuk mengarahkan perkembangan nilai tukar Rupiah pada
tingkat tertentu. Untuk itu, sasaran akhir Bank Indonesia lebih diarahkan pada
pencapaian laju inflasi yang rendah sesuai dengan kondisi perekonomian nasional.
Namun demikian, walaupun sasaran akhir kebijakan moneter lebih diarahkan pada
pengendalian laju inflasi, Bank Indonesia tidak akan membiarkan perkembangan nilai
tukar Rupiah di pasar bergerak secara bergejolak dan menimbulkan ketidakpastian,
oleh karena itu Bank Indonesia tetap menempuh langkah-langkah yang diperlukan untuk
menstabilkan nilai tukar Rupiah dengan dua pertimbangan utama :
1. kestabilan nilai tukar Rupiah diperlukan untuk memberikan kepastian dalam
perekonomian; dan
2. nilai tukar Rupiah yang bergejolak dan merosot drastis akan menyulitkan
pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan.
Berdasarkan sasaran inflasi yang ditetapkan, proyeksi pertumbuhan ekonomi, nilai
tukar, suku bunga, dan variabel ekonomi makro lainnya, Bank Indonesia melalui
penyusunan program moneter dapat memperkirakan permintaan uang yang sesuai
dengan kebutuhan riil perekonomian. Dengan pengendalian uang primer (M0) sebagai
sasaran operasional, maka jumlah uang beredar di masyarakat (M1 dan M2) dapat
dipengaruhi agar sejalan dengan sasaran akhir kebijakan moneter berupa kestabilan
harga (inflasi). Instrumen moneter utama yang dipergunakan Bank Indonesia untuk
mempengaruhi sasaran operasional tersebut adalah Operasi Pasar Terbuka (OPT), di
samping instrumen lain seperti Standing Facilities, Giro Wajib Minimum (GWM),
ataupun Imbauan. 

3. Bank Indonesia dalam mengelola perbankan di Indonesia menjaga tiap Bank


Umum dalam keadaan likuid dengan mewajibkan pembukaan rekening Giro
di Bank Indonesia. Ketika Bank Umum bermasalah dalam proses kliring
ketika cadangan dana tidak mencukupi maka likuiditas jangka pendek akan
diberikan oleh Bank Indonesia. Mengapa masalah tersebut dapat terjadi pada
Bank Umum? Apa yang harus ditempuh oleh Bank Umum sebagai tindakan
preventif terhadap permasalahan tersebut di kemudian hari!?

Likuiditas bank adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajibannya, terutama kewajiban dana
jangka pendek. Dari sudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh aset menjadi bentuk
tunai (cash), sedangkan dari sudut pasiva, likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana
melalui peningkatan portofolio liabilitas.
Pengelolaan likuiditas bank juga merupakan bagian dari pengelolaan leabilitas (liability
management). Melalui pengelolaan likuiditas yang baik, bank dapat memberikan keyakinan pada para
penyimpan dana bahwa mereka dapat mengambil dananya sewaktu-waktu atau pada saat jatuh tempo. Oleh
karena itu bank harus mempertahankan sejumlah alat likuid guna memastikan bahwa bank sewaktu-waktu
dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
Dalam likuiditas terdapat dua resiko yaitu resiko ketika kelebihan dana dimana dana yang ada dalam
bank banyak yang idle, hal ini akan menimbulkan  pengorbanan tingkat bunga yang tinggi. Kedua resiko
ketika kekurangan dana, akibatnya dana yang tersedia untuk mencukupi kebutuhan kewajiban jangka pendek
tidak ada. Dan juga akan mendapat pinalti dari bank sentral. Kedua keadaan ini tidak diharapkan oleh bank
karena akan mengganggu kinerja keuangan dan kepercayaan masyarkat terhadap bank tersebut. Jadi dapat
disimpulkan bahwa ketika bank mengharapkan keuntungan yang maksimal akan beresikopada tingkat
likuiditas yang rendah atau ketika likuiditas tinggi berarti tingkat keuntungan tidak maksimal.disini tearjadi
konflik kepentingan antara mempertahankan likuiditas yang tinggi dan mencari keuntungan yang tinggi.
Pengeleloan likuiditas sangat penting bagi bank terutama untuk mengatasi resiko likuiditas yang
disebabkan oleh dua hal diatas. Untuk menjaga agar resiko likuiditas ini tidak terjadi kebijakan manajemen
likuiditas yang dapat dilakukan antara lain dengan menjaga asset jangka pendek, seperti kas,
Pada umumnya likuiditas bank ditentukan oleh adanya beberapa faktor:
1. kewajiban reserve yang ditetapkan otoritas moneter atau bank sentral.
2. Tipe-tipe dana yang ditarik oleh bank.
3. Komitmen nasabah atau pihak lain untuk memberikan fasilitas pembiayaan atau melakukan investasi.
Likuiditas adalah berhubungan dengan masalah kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi
kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi. Jumlah alat-alat pembayaran (alat likuid) yang dimiliki
oleh suatu perusahaan pada suatu saat merupakan kekuatan membayar dari perusahaan yang bersangkutan.
Suatu perusahaan yang mempunyai kekuatan membayar belum tentu dapat memenuhi segala kewajiban
finansialnya yang segera harus dipenuhi atau dengan kata lain perusahaan tersebut belum tentu memiliki
kemampuan membayar.
Kemampuan membayar baru terdapat pada perusahaan apabila kekuatan membayar-nya adalah
demikian besarnya sehingga dapat memenuhi semua kewajiban finansiilnya yang segera harus dipenuhi.
Dengan demikian maka kemampuan membayar itu dapat diketahui setelah membandingkan kekuatan
membayar-nya di satu pihak dengan kewajiban-kewajiban finansiilnya yang segera harus dipenuhi di lain
pihak.
Suatu perusahaan yang mempunyai kekuatan membayar sedemikian besarnya sehingga mampu
memenuhi segala kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi, dikatakan bahwa perusahaan tersebut
adalah likuid, dan sebaliknya yang tidak mempunyai kemampuan membayar adalah illikuid.
Penghitungan Ratio Likuiditas
Untuk menilai likuiditas perusahaan terdapat beberapa rasio yang dapat digunakan sebagai alat untuk
menganalisa dan menilai posisi likuiditas perusahaan, yaitu:
1. Current Ratio
Current Ratio biasanya digunakan sebagai alat untuk mengukur keadaan likuiditas suatu perusahaan, dan juga
merupakan petunjuk untuk dapat megetahui dan menduga sampai dimanakah kiranya kita, apabila
memberikan kredit berjangka pendek kepada seorang nasabah, dapat merasa aman atau tidak. Dasar
perbandingan tersebut dipergunakan sebagai alat petunjuk, apakah perusahaan yang mandapat kredit itu kira-
kira akan mampu ataupun tidak untuk memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran kembali atau
pada pelunasan pada tanggal yang sudah ditentukan. Dasar perbandingan itu menunjukan apakah jumlah
aktiva lancar itu cukup melampaui besarnya kewajiban lancar, sehingga dapatlah kiranya diperkirakan bahwa,
sekiranya pada suatu ketika dilakukan likuiditas dari aktiva lancar dan ternyata hasilnya dibawah nilai dari
yang tercantum di neraca, namun masih tetap akan terdapat cukup kas ataupun yang dapat dikonversikan
menjadi uang kas di dalam waktu singkat, sehingga dapat memenuhi kewajibannya. 
Current ratio yang tinggi maka makin baiklah posisi para kreditor, oleh karena terdapat kemungkinan yang
lebih besar bahwa utang perusahaan itu akan dapat dibayar pada waktunya. Hal ini terutama berlaku bila
pimpinan perusahaan menguasai pos-pos modal kerja dengan ketat/dengan semestinya. Dilain pihak ditinjau
dari sudut pemegang saham suatu current ratio yang tinggi tak selalu paling menguntungkan, terutama bila
terdapat saldo kas yang kelebihan dan jumlah piutang dan persediaan adalah terlalu besar.
Pada umumnya suatu current ratio yang rendah lebih banyak mengandung risiko dari pada suatu current ratio
yang tinggi, tetapi kadang-kadang suatu current ratio yang rendah malahan menunjukkan pimpinan
perusahaan menggunakan aktiva lancar sangat efektif. Yaitu bila saldo disesuaikan dengan kebutuhan
minimum saja dan perputaran piutang dari persediaan ditingkatkan sampai pada tingkat maksimum. Jumlah
kas yang diperlukan tergantung dari besarnya perusahaan dan terutama dari jumlah uang yang diperlukan
untuk membayar utang lancar, berbagai biaya rutin dan pengeluaran darurat.
Munawwir menyatakan current ratio 200% kadang sudah memuaskan bagi suatu perusahaan, tetapi jumlah
modal kerja dan besarnya rasio tergantung pada beberapa faktor, suatu standar atau rasio yang umum tidak
dapat ditentukan untuk seluruh perusahaan. Current ratio 200% hanya merupakan kebiasaan atau rule of
thumb dan akan digunakan sebagai titik tolak untuk mengadakan penelitian atau analisa yang lebih lanjut.
Current ratio ini menunjukkan tingkat keamanan (margin of safety) kreditor jangka pendek, atau kemampuan
perusahaan untuk membayar hutang-hutang tersebut. Tetapi suatu perusahaan dengan current ratio yang
tinggi belum tentu menjamin akan dapat dibayarnya hutang perusahaan yang sudah jatuh tempo karena
proposisi atau distribusi dari aktiva lancar yang tidak menguntungkan, misalnya jumlah persediaan yang
relatif tinggi dibandingkan taksiran tingkat penjualan yang akan datang sehingga tingkat perputaran
persediaan rendah dan menunjukkan adanya over investment dalam persediaan tersebut atau adanya saldo
piutang yang besar yang mungkin sulit untuk ditagih.
Adapun formulasi dari current ratio (CR) adalah sebagai berikut :
Current ratio= (aktiva lancer : hutang lancar) x 100%
1. Quick ratio
Rasio ini disebut juga sebagai acid test ratio, yaitu perbandingkan antara aktiva lancar dikurangi persediaan
dengan utang lancar. Rasio ini merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya
dengan tidak memperhitungkan persediaan, karena menganggap persediaan memerlukan waktu lama untuk
direalisir menjadi kas, walaupun pada kenyataannya mungkin persediaan lebih likuid dari piutang. Rasio ini
lebih tajam dari pada current ratio karena hanya membandingkan aktiva yang sangat likuid. Jika current ratio
tinggi tapi quick ratio rendah, hal ini menunjukkan adanya investasi yang sangat besar dalam persediaan.
Adapun formulasi dari quick ratio adalah sebagai berikut :
Quick Ratio = ( Aktiva Lancar – Persediaan) : (utang lancar) x 100%
1. Resiko likuiditas
Bank wajib menyediakan likuiditas tersebut dengan cukup dan mengelolanya dengan baik, karena apla
likuiditas tersebut terlalu kecil maka akan mengganggu kegiatan operasional bank, namun demikian likuiditas
juga tidak boleh terlalu besar, karena apabila jumlah likuditas terlalu besar maka akan menurunkan efisiensi
bank sehingga berdampak pada rendahnya tingkat profitabilitas. Dalam hal Bank tidak mampu memenuhi
kebutuhan dana dengan segera untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari maupun guna memenuhi
kebutuhan dana yang mendesak maka muncullah risiko likuditas.
Risiko Likuditas adalah risiko terjadinya kerugian yang merupakan akibat dari adanya kesenjangan antara
sumber pendanaan yang pada umumnya berjangka pendek dan aktiva yang pada umumnya berjangka
panjang. Besar kecilnya risiko likuditas ditentukan antara lain:
1. Kecermatan dalam perencanaan arus kas atau arus dana berdasarkan prediksi
pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana, termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana;
2. Ketepatan dalam mengatur struktur dana termasuk kecukupan dana-dana non PLS;
1. Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas; dan
2. Kemampuan menciptakan akses ke pasar antar bank atau sumber dana lainnya,
termasuk fasilitas lender of last resort.
Apabila kesenjangan tersebut cukup besar maka akan menurunkan kemampuan Bank untuk memenuhi
kewajibannya pada saat jatuh tempo. Oleh karena itu untuk mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas, maka
diperlukan manajemen likuiditas, yang mana pengelolaan likuiditas bank juga merupakan bagian dari
pengelolaan liabilitas.
Dalam mengantisipasi terjadinya Risiko Likuditas, aktivitas Manajemen Risiko yang umumnya ditetapkan
oleh Bank antara lain adalah:
1. Melaksanakan monitoring secara harian atas besarnya penarikan dana yang dilakukan oleh nasabah baik
berupa penarikan melalui kliring maupun penarikan tunai.
2. Melaksanakan monitoring secara harian atas semua dana masuk baik melalui incoming transfer maupun
setoran tunai nasabah.
3. Membuat analisa sensitivitas likuiditas Bank terhadap skenario penarikan dana berdasarkan pengalaman
masa lalu atas penarikan dana bersih terbesar yang pernah terjadi dan membandingkannya dengan
penarikan dana bersih ratarata saat ini. Dari analisa tersebut dapat diketahui tingkat ketahanan likuiditas
Bank.
4. Selanjutnya Bank menetapkan secondaryreserve untuk menjaga posisi likuiditas Bank, antara lain
menempatkan kelebihan dana ke dalam instrumen keuangan yang likuid.
5. Menetapkan kebijakan Cash Holding Limit pada kantor-kantor cabang Bank. Melaksanakan fungsi
ALCO (Asset &Liability Committee) untuk mengatur tingkat bunga dalam usahanya.
6. meningkatkan/menurunkan sumber dana tertentu.
5. Strategi Manajemen Cadangan dan Kebijakannya
Dalam menjaga tingkat profitabilitas bank dan menjaga kepercayaan masyarakat, maka disini sangat
diperlukan manajemen resiko. Secara umum yang dimaksudkan dengan risiko adalah sebagai bentuk
peristiwa yang mempunyai pengaruh terhadap kemampuan seseorang atau lembaga untuk mencapai
tujuannya Dalam pengertian umum di atas belum terlihat gambaran ukuran besar atau luas dampak risiko
tersebut terhadap pencapaian tujuan bank
BankIndonesiamendefinisikan manajemen resiko sebagai “serangkaian prosedur dan metodologi yang
digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan resiko yang timbul dari
kegiayan usaha bank”. Dalam mengaplikasikan definisi resiko tersebut dalam program manajemen resiko,
maka semua kegiatan atau usaha yang dilakukan akan melibatkan semua kegiatan yang membutuhkan
perhatian, kewaspadaan, pengetahuan yang harus dikembangkan, pengalaman yang memadai serta
kemampuan yang terus ditingkatkan. Resiko mempunyai potensi suatu peristiwa terjadi atau tidak terjadi
dengan dampak / peluang untung (upside) atau rugi (downside).
Bank dapat terhindar dari resiko yang tidak perlu terjadi dengan cara:
1. Standarisasi dan memutakhirkan semua kebijakan dan prosedur bank
2. Mengkaji penetapan limit risiko
3. Membangun konstruksi portfolio asset
4. Memanfaatkan keuntungan diversifikasi
5. Melakukan proses pendidikan mengenai resiko secara berkelanjutan untuk semua pegawai
6. Membangun budaya manajemen resiko pada seluruh jenjang organisasi
Resiko yang dapat merugikan bank antara lain :
1. Tidak memadainya modal yang tersedia
2. Resiko pemberian fasilitas kredit
3. Resiko kecurangan
Klasifikasi risiko yang ditetapkan BI
1. Resiko Kredit
2. Resiko Pasar
3. Resiko Likuiditas
4. Resiko Operasional
5. Resiko Hukum
6. Resiko Reputasi
7. Resiko Strategi
8. Resiko Kepatuhan
Dalam makalah ini akan lebih dikhususkan lagi mengenai resiko likuiditas, Risiko Likuiditas adalah Bila
bank tidak mampu memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo karena ekspansi kredit diluar rencana atau
penarikan dana yang tidak terduga disebabkan hilangnya kepercayaan pada bank.
Risiko likuiditas timbul secara alamiah sebagai akibat dari mismatch  atau Gap antara Rate Sensitive Assets
(RSA) dan Rate Sensitive Liabilities (RSL).[4]Bank mengelola risiko likuiditasnya agar dapat memenuhi
setiap kewajiban yang jatuh tempo dan menjaga tingkat likuiditas yang optimal. Tujuan tersebut dicapai oleh
Bank dengan menetapkan dan mengimplementasikan kebijakan cadangan likuiditas yang optimal, mengukur
dan menetapkan limit untuk risiko likuiditas serta penyusunan contingency plan.
Tingkat likuiditas Bank diukur dengan besarnya tingkat cadangan primer dan cadangan sekunder yang
dipelihara Bank serta rasio likuiditas lainnya. Pengukuran rasio likuiditas Bank meliputi struktur
pendanaan, expected cash flow,akses pasar dan asset marketability. Pengelolaan cadangan primer dan
cadangan sekunder adalah untuk keperluan pendanaan operasional harian dan sebagai buffer untuk
mengcover penarikan dana yang tidak terduga.
Asset Liability Management Sering disebut dengan ALMA, merupakan alat utama untuk mengendalikan
risiko pasar : suku bunga, nilai tukar dan risiko likuiditas
Kebijakan ini memuat:
1. Penetapan limit risiko oleh Asset Liabities Committee
2. Prosedur dan dokumentasi yang harus dipenuhi
3. Analisis yang harus dilakukan
4. Metode untuk mengendalikan eksposur suku bunga dan kurs
5. Menetapkan otorisasi dan proses menangani penyimpangan terhadap kebijakan
6. Sistem penetapan harga dan penilaian pasar
Bank dapat membiayai kebutuhan nasabah / operasional dari beberapa sumber :
1. Mendapatkan dana dalam bentuk simpanan jangka pendek dan jangka panjang
2. Meningkatkan pinjaman jangka pendek maupun jangka panjang
3. Meningkatkan modal
4. Menjual altiva bank
Beberapa apek kunci dalam perspektif  pengendalian risiko likuiditas  a.l.:
1. Menyusun strategi pendanaan khususnya pada kondisi pasar yang kurang menguntungkan
2. Mempersiapkan pedoman yang jelas mengenai pengelolaan risiko likuiditas sesuai dengan strategi yang
diambil
3. Aktif mengukur posisi likuiditas bank
4. Mengkaji rencana darurat keuangan bank agar mampu mengatasi masalah likuiditas dengan biaya yang
relatif murah

Bank wajib menyediakan likuiditas yang cukup dan mengelolanya dengan baik, karena apla likuiditas
tersebut terlalu kecil maka akan mengganggu kegiatan operasional bank, namun demikian likuiditas juga
tidak boleh terlalu besar, karena apabila jumlah likuditas terlalu besar maka akan menurunkan efisiensi bank
sehingga berdampak pada rendahnya tingkat profitabilitas. Dalam hal Bank tidak mampu memenuhi
kebutuhan dana dengan segera untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari maupun guna memenuhi
kebutuhan dana yang mendesak maka muncullah risiko likuditas.

Bank Indonesia dalam mengelola perbankan di Indonesia menjaga tiap Bank Umum
dalam keadaan likuid dengan mewajibkan pembukaan rekening Giro di Bank Indonesia.
Ketika Bank Umum bermasalah dalam proses kliring ketika cadangan dana tidak
mencukupi maka likuiditas jangka pendek akan diberikan oleh Bank Indonesia.

Mengapa masalah tersebut dapat terjadi pada Bank Umum? karena Likuiditas bank
adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajibannya, terutama kewajiban dana
jangka pendek. Dari sudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah
seluruh aset menjadi bentuk tunai (cash), sedangkan dari sudut pasiva, likuiditas adalah
kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio
liabilitas. Pengelolaan likuiditas bank juga merupakan bagian dari pengelolaan
leabilitas (liability management). Melalui pengelolaan likuiditas yang baik, bank dapat
memberikan keyakinan pada para penyimpan dana bahwa mereka dapat mengambil
dananya sewaktu-waktu atau pada saat jatuh tempo. Oleh karena itu bank harus
mempertahankan sejumlah alat likuid guna memastikan bahwa bank sewaktu-waktu
dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

Dalam likuiditas terdapat dua resiko yaitu resiko ketika kelebihan dana dimana dana
yang ada dalam bank banyak yang idle, hal ini akan menimbulkan  pengorbanan tingkat
bunga yang tinggi. Kedua resiko ketika kekurangan dana, akibatnya dana yang tersedia
untuk mencukupi kebutuhan kewajiban jangka pendek tidak ada. Dan juga akan
mendapat pinalti dari bank sentral. Kedua keadaan ini tidak diharapkan oleh bank
karena akan mengganggu kinerja keuangan dan kepercayaan masyarkat terhadap bank
tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa ketika bank mengharapkan keuntungan yang
maksimal akan beresikopada tingkat likuiditas yang rendah atau ketika likuiditas tinggi
berarti tingkat keuntungan tidak maksimal.disini tearjadi konflik kepentingan antara
mempertahankan likuiditas yang tinggi dan mencari keuntungan yang tinggi.

Pengeleloan likuiditas sangat penting bagi bank terutama untuk mengatasi resiko
likuiditas yang disebabkan oleh dua hal diatas. Untuk menjaga agar resiko likuiditas ini
tidak terjadi kebijakan manajemen likuiditas yang dapat dilakukan antara lain dengan
menjaga asset jangka pendek, seperti kas,

Pada umumnya likuiditas bank ditentukan oleh adanya beberapa faktor:

1. kewajiban reserve yang ditetapkan otoritas moneter atau bank sentral.


2. Tipe-tipe dana yang ditarik oleh bank.
3. Komitmen nasabah atau pihak lain untuk memberikan fasilitas pembiayaan atau
melakukan investasi.

Likuiditas adalah berhubungan dengan masalah kemampuan suatu perusahaan untuk


memenuhi kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi. Jumlah alat-alat
pembayaran (alat likuid) yang dimiliki oleh suatu perusahaan pada suatu saat
merupakan kekuatan membayar dari perusahaan yang bersangkutan. Suatu perusahaan
yang mempunyai kekuatan membayar belum tentu dapat memenuhi segala kewajiban
finansialnya yang segera harus dipenuhi atau dengan kata lain perusahaan tersebut
belum tentu memiliki kemampuan membayar.

Kemampuan membayar baru terdapat pada perusahaan apabila kekuatan membayar-


nya adalah demikian besarnya sehingga dapat memenuhi semua kewajiban finansiilnya
yang segera harus dipenuhi. Dengan demikian maka kemampuan membayar itu dapat
diketahui setelah membandingkan kekuatan membayar-nya di satu pihak dengan
kewajiban-kewajiban finansiilnya yang segera harus dipenuhi di lain pihak. Suatu
perusahaan yang mempunyai kekuatan membayar sedemikian besarnya sehingga
mampu memenuhi segala kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi, dikatakan
bahwa perusahaan tersebut adalah likuid, dan sebaliknya yang tidak mempunyai
kemampuan membayar adalah illikuid. Risiko Likuditas adalah risiko terjadinya kerugian
yang merupakan akibat dari adanya kesenjangan antara sumber pendanaan yang pada
umumnya berjangka pendek dan aktiva yang pada umumnya berjangka panjang. Besar
kecilnya risiko likuditas ditentukan antara lain:

1. Kecermatan dalam perencanaan arus kas atau arus dana berdasarkan


prediksi pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana, termasuk mencermati
tingkat fluktuasi dana;
2. Ketepatan dalam mengatur struktur dana termasuk kecukupan dana-dana non
PLS;
3. Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas; dan
4. Kemampuan menciptakan akses ke pasar antar bank atau sumber dana
lainnya, termasuk fasilitas lender of last resort.

Apabila kesenjangan tersebut cukup besar maka akan menurunkan kemampuan Bank untuk memenuhi
kewajibannya pada saat jatuh tempo. Oleh karena itu untuk mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas,
maka diperlukan manajemen likuiditas, yang mana pengelolaan likuiditas bank juga merupakan bagian
dari pengelolaan liabilitas.

Apa yang harus ditempuh oleh Bank Umum sebagai tindakan preventif terhadap
permasalahan tersebut di kemudian hari!? Bank wajib menyediakan likuiditas yang
cukup dan mengelolanya dengan baik, karena apla likuiditas tersebut terlalu kecil maka
akan mengganggu kegiatan operasional bank, namun demikian likuiditas juga tidak
boleh terlalu besar, karena apabila jumlah likuditas terlalu besar maka akan
menurunkan efisiensi bank sehingga berdampak pada rendahnya tingkat profitabilitas.
Dalam hal Bank harus mampu memenuhi kebutuhan dana dengan segera untuk
memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari maupun guna memenuhi kebutuhan dana
yang mendesak.

XY=03 jadi
X=1
Y=3
Sando giri pada BI 13.000.000
Sertifikat deposito 13.000.000
XYZ=103

Maka X=1, Y,1 dan Z=3

Jadi: Saldo giro pada BI yaitu Rp. 11.000.000 dan sertifikat deposito yaitu Rp.
11.000.000

GWM= jumlah Saldo giro pada BI/jumlah DPK x 1%

       = Rp. 11.000.000/Rp. 11.000.000 x 1%

       = 1%

Jadi GWM adalah 1%.

Kelebihan/kekurangan Giro Wajib

Jumlah giro pada BI= Rp. 11.000.000

jumlah giro pada BI yang dipelihara adalah Rp. 11.000.000

   1% x Rp. 11.000.000=  Rp. 110.000

kelebihan = Rp. 110.000

XYZ=103

Maka X=1, Y,1 dan Z=3

1.  diketahui: GWM = 11%= 0,11 dan jumlah saldo 13.000.000

DPK= BI/GWM x 100%

     = 13.000.000/0.11 x 100%

     = 118.118.118,18 x 100%

     = 118.118.118

Jadi DPK adalah Rp.118.118.118.

2. cara mengelola sebuah bank jika tingkat dana yang dimilikinya memiliki perputaran
tinggi dan perputaran rendah adalah meningkatkan dan menjaga tingkat profitabilitas
bank dan menjaga kepercayaan masyarakat, manajemen resiko. 

Anda mungkin juga menyukai