Anda di halaman 1dari 25

1.

AMAL JAMA’I Fais al-Fatih

2. APA ITU AMAL JAMA’I Amal berarti bekerja, berbuat atau menghasilkan. Bagi seorang Muslim,
beramal berarti berbuat, mengerjakan dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya,
umat dan agama. Jama’i berasal dari kata jama’ah. Jama’ah adalah suatu perkumpulan orang- orang
untuk mencapai hal-hal tertentu. Paling sedikit terdiri dari dua orang. Amal jama’i adalah kegiatan
yang dilakukan yang merupakan produk suatu keputusan jama’ah yang selaras dengan manhaj
(sistem) yang telah ditentukan bersama, untuk mencapai tujuan tertentu.

3. PELAJARAN DARI SEMUT “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarangmu, agar kamu tidak
diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (QS. An-Naml: 18)

4. MENGAPA HARUS BERAMAL JAMA’I? Amaljama’i Perintah dari Allah SWT Teladan dari Nabi SAW
Ada ibadah yang lebih baik dilakukan secara berjamaah Orang kafir beramal jama’i untuk melawan
umat Islam

5. PERINTAH DARI ALLAH SWT َ‫وﺎَﻌَﺗ َﻻو ۖ َٰىﻮْﻘﱠﺘَاﻟو ِّﺮِﺒْاﻟ ﻰَﻠَﻋ ﻮاُﻧَوﺎَﻌَﺗَوۚ ِنَاوْﺪُﻌَْاﻟو ِﻢْﺛِ ْاﻹ ﻰَﻠَﻋ ﻮاُﻧ ِبﺎَﻘِﻌْاﻟ ُﻳﺪِﺪ َﺷ َ ﱠ ا ﱠنِإ ۖ َ ﱠ ا ﻮاُﻘﱠَاﺗو‬
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)

6. TELADAN DARI NABI SAW Rasulullaah SAW mengungkapkan pentingnya jamaah bagi eksistensi
Islam. Hal ini bisa kita temukan dalam untaian do’a yang beliau sampaikan saat Perang Badar. “Ya
Allah, penuhilah apa yang Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, datangkanlah apa yang engkau
janjikan kepadaku. Ya Allah, jika kelompok pemeluk Islam binasa, maka Engkau tidak akan diibadahi
lagi di muka bumi.” (HR. Bukhari)

7. PERINTAH NABI SAW (HR. AHMAD) 1. Berjamaah 2. Mendengar 3. Taat 4. Hijrah 5. Jihad
fiisabilillaah

8. ADA IBADAH YANG LEBIH BAIK DILAKUKAN SECARA BERJAMAAH Shalat Haji Mengkaji al-Qur’an
dan menuntut ilmu

9. ORANG KAFIR BERAMAL JAMA’I UNTUK MELAWAN UMAT ISLAM “Adapun orang-orang yang kafir,
sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak
melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi
dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal: 73)

10. MANFAAT AMAL JAMA’I Mengenal diri Menyempurnakan kekurangan diri Meningkatkan ibadah
Mengoptimalkan potensi Menjaga kewibawaan umat Muslim Mendapatkan rahmat dan pertolongan
dari Allah

11. MENGENAL DIRI Contoh sederhana, seseorang yang membaca Qur’an sendirian tidak menyadari
kekurangan dan kesalahan bacaannya. Akan berbeda, jika bacaannya disimak oleh saudaranya,
kekurangan dan kesalahan akan diketahui dan bisa diperbaiki.

12. MENYEMPURNAKAN KEKURANGAN DIRI Kisah Salman dan Abu Darda ra Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. al-Ashr: 1-3)

13. MENINGKATKAN IBADAH Seperti penjual minyak wangi Teman yang saleh Seperti tukang besi
Teman yang buruk
14. MENGOPTIMALKAN POTENSI Kue yang nikmat dan lezat terdiri atas berbagai macam bahan
untuk membuatnya. Kue tidak akan bisa dibuat jika hanya terdiri atas telur atau tepung saja. Bahkan
walau semua bahan telah lengkap tanpa adanya bubuk baking soda, kue tidak akan mengembang.
Begitupun kita, tanpa berjamaah potensi kita akan kurang termanfaatkan secara optimal. Dalam
amal jama’i, beberapa orang yang memiliki berbagai macam kemampuan, keahlian, pengalaman jika
dimanfaatkan dengan baik bisa dikolaborasikan untuk mengembalikan kejayaan Islam.

15. MENJAGA KEWIBAWAAN ISLAM Ketika kebersamaan antara umat Islam begitu kuat, musuh-
musuh Islam akan berpikir seribu kali untuk mengganggu kita. Kaum Muslim ibarat satu tubuh, jika
satu bagian diganggu maka bagian lainnya akan memberikan bantuan.

16. MEMPEROLEH RAHMAT DAN PERTOLONGAN DARI ALLAH “Tangan Allah bersama jamaah.” (HR.
Tirmidzi) Maknanya ketenangan dan rahmat Allah bersama orang yang bersepakat, sehingga mereka
jauh dari ketakutan, gangguan dan keguncangan. Apabila mereka berpecah belah, ketenangan
hilang, kekacauan akan datang.

17. KARAKTERISTIK LEMBAGA AMAL JAMA’I Jama’ah yang menjadikan Allah SWT sebagai orientasi
utama dan pertama dalam setiap ucapan, tindakan dan aktivitas jama’ah Tidak memberikan loyalitas
kecuali kepada Allah SWT Memfokuskan perhatian pada aspek kerja nyata yang berdasarkan ilmu,
bukan pada aspek teoritis apalagi perdebatan saja Mengikuti jalan yang ditempuh Rasulullaah SAW,
sahabat beliau, dan ulama-ulama Memperbanyak jumlah pribadi Muslim dengan melakukan dakwah
dan pembinaan Menjalin ikatan antarpribadi hingga menjadi kesatuan jiwa Membuat perencanaan
yang matang, rapi dan cermat berdasarkan analisis yang cermat, interaksi dengan lingkungan dan
bimbingan wahyu Bersabar dan tegar menghadapi berbagai kesulitan, tantangan, ujian dan fitnah
Ada pimpinan yang mengarahkan, mengatur, mengkoordinasi dan menertibkan jama’ah yang layak
untuk diikuti

18. PROSES DALAM AMAL JAMA’ITa’aruf • Saling mengenal Tafahum • Saling memahami Ta’awun •
Saling membantu Takaful • Saling menanggung

19. PENYEBAB LEMAHNYA KOMITMEN PADA JAMA’AH Melemahnya keimanan, sebab iman bagaikan
sumber energi yang menyuplai pemiliknya dengan semangat yang selalu yang menggelora Tertipu
oleh dunia dengan segala kenikmatannya Idealis fatalis, menganggap jama’ah sebagai jama’ah
malaikat yang tidak pernah tersentuh kesalahan dan dosa. Ketika ada kekurangan dalam jama’ah, ia
tidak berusaha memperbaiki, malah pergi dan berbalik memusuhinya Egois, hanya mementingkan
kepentingan sendiri Keras hati dan buruknya ucapan Kurangnya kontrol dan evaluasi jama’ah

20. ADAB TERHADAP PEMIMPIN “Pemimpin adalah bagian dari dakwah. Tidak ada dakwah tanpa
kepemimpinan. Kadar kepercayaan yang timbal balik antara pemimpin dan yang dipimpin menjadi
kekuatan sistem jama’ah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan
tujuan-tujuannya dan kemampuannya mengatasi berbagai kendala yang menghadangnya.” (Imam
Hasan al-Banna rahimahullaah)

21. DAFTAR PUSTAKA Khozin Abu Faqih. 2006. Melangkah Bersama ke Surga. Bandung: Harakatuna
Publishing Buku Panduan Mentoring Pendidikan Agama Islam. Politeknik TEDC Bandung Quran.com
Presentasi berjudul: "Charity Jama'I (Gerakan Bersama)" - Transcript presentasi:

1 Charity Jama'I (Gerakan Bersama)

Syahrizal Khalid, S.Sos

2 Abdullah ibn Mas'ud ra berkata: "Jama'ah adalah tali kuat Allah yang Dia perintahkan untuk
memegangnya. Dan apa yang tidak kamu suka di jamaah dan ketaatan lebih baik dari apa yang kamu
suka dalam perpecahan ”. Sedangkan Imam Ali bin abi thalib ra mengatakan “kekeruhan jamaah
lebih baik dari pada kebingungan dalam kesendirian”.

3 Syekh Musthafa Masyhur rahimahullah memberikan definisi (definisi) dari 'amal jama'I sebagai
berikut; "Gerakan bersama untuk mencapai tujuan organisasi berdasarkan keputusan yang telah
ditentukan".

Beberapa tafsir dari definisi ini adalah:

Amal jama'I adalah gerakan bersama, di mana setiap anggotanya menjalankan fungsi strukturalnya
dengan orientasi berorientasi pada tujuan.

Bahwa zakat dilakukan oleh seluruh anggota dalam rangka mencapai tujuan organisasi

Bahwa amal yang dilakukan harus berdasarkan keputusan yang telah ditetapkan sesuai mekanisme
yang berlaku.

4 Karenanya, amal jama'I hanya dapat dilakukan oleh jama'ah (organisasi) yang memiliki:

Ghayah (jelas) tujuan

Manhaj (metodologi) gerakan yang kuat

Qiyadah (kepemimpinan) berwibawa

Anggota yang percaya pada manhaj

Pola Pengorganisasian Rapi (tanzhim)

5 Urgensi amal jama'i: a.Dalil-dalil dari Al qur'an

1. Faridhah Syar'iyyah (kewajiban menurut syar'i).

a. Amsal dari Alquran

“Dan biarlah ada di antara kamu sekelompok orang yang berseru pada kebajikan, memerintahkan
yang baik dan mencegah dari yang jahat. Mereka adalah yang beruntung. " (QS. Ali 'Imran: 104)
“Dan saling membantu dalam (melakukan) kebajikan dan kesalehan, dan tidak saling membantu
dalam melakukan dosa dan pelanggaran. Dan pertahankan kewajibanmu kepada Allah.
Sesungguhnya hukuman Allah itu berat. (QS. Al Maaidah: 2)

“Adapun orang-orang kafir, beberapa dari mereka adalah pelindung bagi yang lain. Jika kamu (O
Muslim) tidak melaksanakan apa yang Allah perintahkan [625], akan ada kekacauan di bumi dan
kehancuran besar. " (Surat al-Anfal: 73)

6 “Dan mereka yang percaya, pria dan wanita, beberapa dari mereka (adalah) penolong bagi orang
lain. Mereka memerintahkan (melakukan) apa yang baik, mencegah dari kejahatan, mendirikan
shalat, membayar zakat dan mereka menaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberkati oleh Allah;
pasti Allah itu Mahakuasa, Bijaksana. " (QS. Di Taubah: 71)

"Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dengan tertib seolah-olah
mereka seperti bangunan yang kokoh." (QS. Poros Abu: 4)

7 b. Bukti dari Hadits Sunnah Nabi SAW:

"Ketika tiga orang berangkat dalam perjalanan, maka mereka harus menunjuk salah satu dari
mereka untuk menjadi pemimpin kelompok". (HR. Abu Daud)

“Kamu harus berjamaah, karena memang berjamaah adalah berkah, sedangkan perpecahan adalah
hukuman”. (HR. Muslim)

"Siapapun yang berpisah, maka itu bukan dari kelompok kita. Berkat Allah SWT ada pada jamaahnya,
dan memang serigala hanya makan kambing saja ”. (HR. Thabrani)

8 Ex. Peristiwa sehari-hari dalam kehidupan manusia (makan, minum, dll.)

2. Sunnah Kauniyyah (aturan yang berlaku di alam semesta).

Ini menegaskan bahwa tidak ada tempat untuk kesunyian di alam semesta ini, tetapi semua bekerja
sama dengan baik, harmonis, dan seimbang sesuai dengan kehendak-Nya.

3. Hajah Basyariyyah

Amal jama'I adalah kebutuhan manusia yang tidak bisa ditawar lagi

Ex. Peristiwa sehari-hari dalam kehidupan manusia (makan, minum, dll.)

9 4. Dharurah Harakiyyah.

Amal jama'i adalah tuntutan gerakan, setidaknya ada dua alasan dibaliknya: Pertama, dakwah adalah
proyek besar yang bertujuan membangun peradaban. Kedua, dakwah Islam bersifat waqi'iyyah
(realistis), artinya dakwah harus menghadapi sistem kebodohan secara realistis.

10 Manfaat beramal:
Kenali diri Anda dan sempurnakan kekurangan Anda

Meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah

Optimalkan potensi dan berikan pengalaman

Memfasilitasi pelaksanaan kewajiban

Dapatkan rahmat dan pertolongan Allah azza wa jalla

11 Nilai jemaah dalam jiwa seseorang tidak akan sempurna kecuali lima hal berikut ini terwujud:

1. Bangga bisa akrab dengan jemaat ini.

2. Merasa damai dengan kehadirannya di kongregasi ini.

3. Jemaat ini menciptakan atau akan mewujudkan semua cita-cita Islamnya.

4. Setiap anggota kongregasi memberikan kontribusi kepada kongregasinya dan kongregasi juga
membantunya. Dia mendukung jemaat dan jemaat mendukung dia.

5. Seseorang menjadi bermakna dengan jamaahnya dan tidak dengan sesamanya, sedangkan jamaah
sekalipun tidak ditegakkan olehnya harus dijunjung oleh orang lain. (QS. 47:38, QS. 5:54)

12 Wallahu a'lam

Syari’at Beramal Jama’i

 Beramal jama’i merupakan jihad yang telah disyari’atkan dan konsekuensi logis kebutuhan
operasional. Landasan pensyariatannya telah ditetapkan berdasarkan nas-nas wahyu, kaidah-kaidah
fikih, Atsar para ulama salaf, konsekuensi realitas kehidupan, sunnah pergulatan, dan sunnah
kehidupan sosial.

Cukup banyak landasan wahyu yang menyerukan amal jama’i baik dalam Alquran maupun As sunnah
dengan menggunakan Dhamir Jama’ (kata ganti plular) yang disertai dengan tekanan melakukan
amal kebajikan dan membela kebenaran. diantara bentuk 5ungkapan seruan itu adalah:

1. Seruan yang menunjukan kewajiban

Firman Allah SWT: ” Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan yang mengajak kepada
kebaikan dan memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar, dan mereka itulah orang-
orang yang beruntung“ [ Surat Ali Imran: 104]. Yakni segolongan yang melakukan amar makruf dan
nahi mungkar, dan bukan segolongan ummat yang terpisah-pisah dan tercerai berai. Ibnu Jarir
Atthabari berkata:

(Kata ummat berarti segolongan yang berhimpun dalam satu agama, kemudian mengalami
penyempitan makna, kata ummat berarti agama itu sendiri, sebagaimana firman Allah swt: ” Dan
jika Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kalian ummat yang satu“[2]. Yakni pemeluk agama
satu[3]. Jadi ummat adalah sekelompok orang yang berhimpun dalam sebuah karakter, tujuan, dasar
dan kaidah yang membatasinya. Rasyid Ridho berkata dalam tafsirnya Al Manar: ” Kata Ummat lebih
khusus dari kata jamaah, ummat berarti golongan yang menghimpun individu-individu yang
memiliki ikatan dan kesatuan, mereka tak ubahnya seperti anggota tubuh dalam tubuh yang satu“.

Huruf “Min” dalam kata ” Minkum” berfungsi menjelaskan jenis, maka amar makruf nahi munkar
merupakan kewajiban setiap individu ummat tanpa kecuali.

2. Berjamaah mengundang rahmat Allah.

Firman Allah: Dan jika Tuhanmu menghendaki niscaya Dia menjadikan menusia ummat yang satu
akan tetapi mereka selalu berselisih. Kecuali orang yang dirahmati Tuhanmu, dan demikianlah Dia
menciptakan mereka…”[4]. Qatadah berkata: “Rahmat Allah akan tercurah kepada mereka yang
berjamaah, walaupun tubuh dan daerah mereka berpencar“[5]. Thawus dan Ibnu Abbas
memberikan komentar tentang firman Allah: ” Dan karena itulah Dia (Allah) menciptakan mereka“.
Yakni karena rahmat dan kasih sayang, Dia menciptakan mereka dan menjadikan berjamaah,
demikian pula yang dikatakan Mujahid Ad Dhahaq dan Qatadah[6] dengan berargumentasi firman
Allah: ” Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku“[7].
Imam Ali bin Abil ‘Iz Al Hanafi, pensyarah At Thahawiyah 5berkata: ” Demikianlah Allah
mengecualikan para ahli rahmat dan kasih sayang Allah dari perpecahan“[8].

3. Berjamaah akan menjaga dari kesesatan

Firman Allah: ” Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dan janganlah kalian
berpecah belah, dan ingatlah nikmat Allah kepada kalian tatkala kalian bermusuh-musuhan maka
Dia satukan hati-hati diantara kalian hingga jadilah kalian bersaudara dengan nikmat-Nya dan
kalian berada ditepi jurang api neraka lalu Dia menyelamatkan kalian darinya, demikianlah Allah
menjelaskan kepada kalian ayat-ayat-Nya agar kalian mendapatkan petunjuk“[9].

Ibnu Katsir berkata dalam firman-Nya: ” Dan Janganlah kalian berpecah belah”, Dia memerintahkan
berjamaah dan melarang berpecah belah… kemudian berkata: ayat ini mengandung jaminan
pemeliharaan dari kesalahan saat mereka bersepakat dari kesalahan sebagaimana yang
digambarkan dalam beberapa hadits yang beragam“[10]. Seperti yang dituturkan Al Hafidz Ibnu Abil
‘Ashim dalam kitabnya as Sunnah diantaranya hadist: ” Sesungguhnya Allah menjamin Ummatku
bersepakat dalam kesesatan“[11]. Dalam riwayat Ibnu Mas’ud: ” Tetaplah kalian berjamaah, karena
sesungguhnya Allah tidak akan menghimpun ummat Muhammad saw dalam kesesatan“[12] dan ini
meruapakan karakteristik khusus ummat ini sebagai sebuah kehormatan, kemulyaan dan ketinggian
derajatnya. Imam Syafi’i telah mengambil sebuah argumentasi dari firman Allah: ” Dan barang siapa
yang menentang Rasul setelah jelasnya petunjuk dan mengikuti selain jalan orang-orang yang
beriman maka kami akan lemparkan apa yang dipalingkan dan Kami akan masukkannya ke dalam
Jahannam dan seburuk-buruk tempat kembali“[13]. Bahwasanya Ijma’ adalah hujjah yang haram
mengingkarinya dan menjadi nyata berpegang teguh dengannya. Dan tidak diragukan lagi, baik Ijma,
Ijtima (berkumpul) dan jamaah memiliki sebuah keterikatan satu sama yang lain.

4. Berjamaah adalah warisan para rasul dan Nabi serta manhaj mereka dalam menyampaikan.
Firman Allah: ” Dan tidaklah setiap nabi berjuang kecuali bersama segolongan yang banyak, maka
tidaklah mereka gelisah terhadap apa yang menimpa mereka…” Ibnul Qoyyim berkata:
” Arribbiyun yakni Golongan dan kelompok dengan kesepakatan para mufassir. Dikatakan ia berasal
dari kata Ar Ribah dengan dibaca kasrah yakni Jamaah. Al Jauhari berkata: ” Ar Ribbiyyu bentuk
tunggal dari Ar Ribbiyyun mereka adalah beribu-ribu manusia“[14].

Firman Allah: ” Katakanlah inilah jalanku yang aku menyeru kepada Allah diatas bshirah aku dan
orang-orang yang mengkutiku…” Ibnul Qoyyim berkata: ” al Farra’ berkata: ” Aku dan orang-orang
yang mengikutiku yang menyeru kepada Allah sebagaimana yang aku seru“. Sebagaimana pula yang
dikatakan Al Kalbi.

Dan demikianlah manhaj dan metode Rasulullah saw dalam membangun pondasi awal
pemerintahan Islam, beliau menfokuskan pada pembinaan kelompok generasi yang akan
memperkuat, membntu dan membela perjuangannya, berliau selalu menawarkan kepada khalayak
menusia pada musim-musim haji seraya berkata: ” Adakah seseorang yang hendak membawaku
kepada kaumnya untuk menyampaikan tugas Tuhanku, sebab kaum Quraisy telah mencegahku
untuk menyampaikan tugas Tuhanku…”. Beliau tidak henti-hentinya menawarkannya hingga Allah
mempertemukannya dengan sekelompok orang dari suku Aus dan Khazraj yang membawanya ke
kota Madinah, memperjuangkan dengan segenap tenaga dan kemampuan demi membela
dakwahnya. Mengikuti dan menteladani manhaj dakwah rasul hukumnya wajib sebagaimana dalam
kewajiban syar’I yang lain: ” dan ikutilah dia agar kalian mendapatkan petunjuk“[15]. Diantara
gambaran yang indah yang pernah tergores dalam manhaj para nabi keteladanan argumentasi nabi
Harun kepada saudaranya nabi Musa: ” Aku khawatir engkau mengatakan engkau telah memecah
belah bani Israel dan tidak mengindahkan perkataanku“[16].

5. Seruan bersatu dan tolong menolong dalam kebaikan.

Firman Allah: ” Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa“[17]. Dan jamaah adalah
bukti yang paling jelas berhimpunnya nilai-nilai kebaikan, tanda semburat sinar keimanan serta
ungkapan yang paling tepat akan keunggulan dan keistimewaan ummat. Sebab, adakah sebuah
kebaikan yang lebih harus kita saling tolong-menolong dibanding melaksanakan perintah dan syariat-
Nya, merealisasikan kepemimpinan agama-Nya, agar hanya kalimat Allah yang berjaya.

6. Mendatangkan pertolongan, kemenangan dan bantuan Allah

Firman Allah: ” Dan janganlah kalian berselisih, maka kalian akan gagal dan akan lenyap kekuatan
kalian“[18].

Dalam firman Allah yang lain: ” Jika kalian menolong Allah, maka Dia akan menolong kalian dan
menetapkan telapak-telapak kaki kalian“[19]. Menolong Allah dengan mentaati-Nya, membenarkan
firman-firman-Nya serta menjauhi larangan-larangan Nya. Dan diantara perintah-Nya adalah
kewajiban bersatu dalam kalimat-Nya, berhimpun dalam jamaah dan komitmen terhadapnya, sebab
bersatu adalah rahmat sedang cerai berai adalah azab, sebagaimana atsar marfu’ yang datang dari
Ibnu Abbas, ia berkata: ” Tangan Allah bersama jamaah“ [Dikeluarkan oleh Attirmidzi: 4/466].

7. Dalam jamaah terdapat keselamatan dan indahnya akibat

Firman Allah: ” Maka Kami selamatkan orang-orang yang mencegah dari keburukan dan Kami siksa
orang-orang yang dhalim dengan siksaan yang hina karena kefasikan yang mereka lakukan“ [Al
A’raf: 165].
Dalam sebuah atsar dikatakan: ” Barang siapa menghendaki taman-taman surga maka hendaklah
tetap berjamaah“[ Diriwayatkan Attirmidzi dari sahabat Umar, 4/465, Musnad Ahmad, 1/230-231,
Ahmad syakir berkata: sanadnya shahih].

[13] Annisa’: 115 [14] Miftah Daris Sa’adah: 1/126 [15] Al A’raf: 158 [16] Thaha: 94

[17] Al Maidah: 2 [18] Al Anfal: 47 [19] Muhammad: 7 [20]

8. Perintah komitmen berjamaah, ancaman berpecah belah dan akibat percerai beraian

Firman Allah: ” Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta
dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukannya. Yaitu
orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-
tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka“[Arrum: 32]. Dalam
firman Allah yang lain: ” Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas“[Ali Imran: 105]. Ini adalah peringatan bagi ummat
ini akan penyakit berpecah belah yang telah menimpa ummat sebelum kita yang disebabkan hawa
nafsu keserakahan dan penyakit-penyakit syubhat yang menyesatkan setelah datangnya ilmu,
petunjuk dan agama kebenaran.

9. Predikat Keungggulan Ummat dan Saksi teladan atas sekalian manusia terkait erat dengan
adanya jamaah

Keunggulan ummat ini terkait dengan sebab-sebabnya.

Firman Allah: ” Kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk menusia, menyuruh kepada yang
makruf, dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah“ [Ali Imran: 110]. Menjadi
saksi atas sekalian manusia merupakan kedudukan yang tinggi lagi mulia yang tidak akan datang
hanya dengan lamunan dan khayalan.

Imam Bukhari dalam kitab shahihnya [Kitab Al I’tisham bil Kitab was Sunnah:13/316] bab: ” Dan
demikianlah kami jadikanlah kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia“. Dan perintah Rasulullah saw: ” komitmen terhadap jamaah sebab
merekalah pemilik ilmu” yang disandarkan kepada Abu Said Al Khudri berkata: Rasulullah saw
bersabda: ” Kelak di hari kiamat Nabi Nuh dihadapkan lalu ditanya: Sudahkah engkau
menyampaikannya ? maka beliau menjawab: ” Ya, wahai Tuhanku. Lalu ummatnya ditanya: ”
Benarkah telah menyampaikan kepada kalian”, kemudian mereka menjawab: ” Tak seorangpun
pemberi peringatan datang kepada kami”. Allah lalu bertanya kembali kepada Nabi Nuh: ” siapakah
saksi-saksimu?”, Nabi Nuh menjawab: ” Muhammad dan Ummatnya, lalu kalian didatangkan dan
memberikan persaksian”, kemudian Rasulullah membacakan ayat: ” Dan demikianlah kami
jadikanlah kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia“. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: ” Para ulama Ushul menjadikan ayat diatas
sebagai dasar kehujjahan Ijma’, sebab mereka mendapat legitimasi “wasathan” yakni orang-orang
yang adil yang berarti jaminan pemeliharaan dari kesalahan terhadap apa yang telah mereka
sepakati baik dalam perkataan maupun perbuatan“[Fathul Bari: 13/417].
10. Kewajiban loyalitas terhadap jamaah kaum mukminin

Firman Allah: “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian
yang lain, jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu,
niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar“[Al Anfal: 73]. Yakni apabila
sebagian diantara kalian tidak menjadi pelindung sebagian yang lain sebagaimana yang dilakukan
orang-orang kafir, maka pastilah akan terjadi fitnah – yaitu kesyirikan- dan kehancuran karena
mereka menang sedang kalian hina, mereka bersatu sedang kalian berpecah belah. Dan disinilah
rahasia seruan Allah dalam firman-Nya: ” Dan bersabarlah kamu bersam-sama dengan orang-orang
yang menyeru Tuhannya dipagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah
kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasaan kehidupan dunia ini…”[Al
Kahfi: 28].

11. Sebagian Tanggung jawab dan amanah hanya akan terlaksana dengan jamaah

Seperti Ilmu, proses tarbiyah (pendidikan), jihad melawan musuh dan berjuang menegakkan
agama.

Firman Allah swt: “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-
mata untuk Allah“[ Al Anfal: 39].

Firman Allah swt: ” Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa bera,
dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah“[At Taubah: 41].

Hanya dengan berjamah kemuliaan ummat akan terjaga, syiar-syiar suci akan murni dan kekuatan
musuh akan tumbang. Dalil argumentasi diatas adalah isyarat kuat wajibnya berjamaah dan
dorongan berpegang teguh diatasnya, ia hanyalah setetes dari samudera sumber argumentasi yang
jauh lebih banyak jika dihitung dan bukti kuat yang jauh lebih terang dibanding sinar mentari di siang
hari, dan cukuplah ia sebagai bukti dan hujjah keharusan kita berjamaah.

___

Maraji’: Adhwa ‘Alal Ushul Isyriin (Dr. Isham Basyir), penterjemah: Abu Zaki Al Kalimantany

___
Catatan Kaki:

[1] [2] Surat Annahl: 96 [3] Tafsir Ath Thabari: 2/195 [4] Surat Hud: 118-119

[5] Tafsir Ibnu Katsir: 2/466 [6] Tafsir Ibnu Katsir: 2/466 [7] Adzariayat: 56

[8] Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyah: 514 [9] Ali Imran: 103 [10] Tafsir Ibnu Katsir: 1/390

[11] Syaikh Al Albani berkata: Hadits ini hadits hasan, sedang sanadnya dhaif namun dengan hadits
setelahnya 1/41-42
[12] Syaikh Al Albani berkata: Sanadnya Jayyid (baik) namun mauquf, dan para perawinya para
perawi Bukhari Muslim 1/41-42

Di antara beberapa dalil sunnah wajibnya komitmen berjamaah adalah:

1. Hadits Marfu’ diriwayatkan dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya Allah meridhai kalian tiga perkara,
engkau menyembah-Nya dan tidak mempersekutukannya dengan sesuatupun, berpegang teguh
dengan semua tali Allah dan tidak berpecah belah dan engkau memberikan nasihat kepada orang
yang Allah kuasakan memimpin urusan kalian” [1] .

2. Hadits Marfu’ riwayat Zaid bin Tsabit: “Tiga perkara yang tidak akan membuat tumpul hati
seorang muslim: Ikhlas dalam beramal kepada Allah, memberikan nasehat kepada para pemimpin,
dan komiten dengan jamaah kaum muslimin sebab seruan mereka selalu akan membentengi
mereka” [2] .

3. Hadits Hudzaifah: “agar engkau komitmen terhadap jamaah kaum muslimin dan pemimpin
mereka” [3] .

4. Hadits Marfu’ riwayat Al Harits bin Al Harits Al ‘Asy’ary: “Dan aku memerintahkan kalian lima
perkara yang Allah perintahkan kepadaku: Selalu mendengar dan taat, berjihad, hijrah dan
berjamaah, sebab barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal tanah maka sungguh
ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya” [4] .

5. Hadits Marfu’ riwayat Ibnu Abbas: “Tangan Allah selalu menyertai jamaah” [5] .

6. Hadits tentang perpecahan ummat: “Dan sesungguhnya ummat ini akan berpecah menjadi tujuh
puluh tiga golongan, tujuan puluh dua golongan masuk ke dalam neraka dan satu golongan masuk
ke dalam surga yaitu Al Jamaah” [6] .

7. Hadits Mu’adz bin Jabal: “Sesungguhnya syaitan adalah serigalanya manusia sebagaimana


serigala bagi kambing yang akan selalu mengincar kambing yang terlepas. Sebab itu, jauhilah oleh
kalian berpecah belah dan tetaplah kalian dalam jamaah dan golongan umum/mayoritas” [7] .

Dan banyak lagi nas-nas hadits yang tidak mungkin disebutkan dan dijelaskan, sebab maksud dan
tujuannya bukan memperinci akan tetapi memberikan isyarat untuk mengembalikan berbagai
persoalan kepada landasan syar’i berdasarkan manhaj para salafus shaleh. Dan betapa indahnya
sebuah ungkapan penyair:

“Cukuplah isyarat sandi bagi orang yang berakal.


Sedang selainnya diseru dengan panggilan yang keras”.

Atsar-atsar salaf

1. Ahmad bin Jabir bin Samurah mentakhrij (mengeluarkan) bahwasanya Umar bin Khattab berkata
dalam khutbahnya yang terkenal di Jabiyah: “Tetaplah kalian dalam berjamaah, Dan jauhilah
berpecah belah, sebab syaitan selalu menyertai orang yang menyendiri dan terhadap dua orang ia
akan lebih menjauh dan barang siapa yang menghendaki pertamanan surga maka hendaklah tetap
dalam jamaah” [8] .

2. Dari Ali bin Abi Thalib berkata: “Putuskanlah sebagaimana kalian memutuskan sebab aku
membenci perselisihan hingga sekalian manusia tetap berjamaah atau aku mati sebagaimana para
sahabatmu mati” [9] .
3. Diriwayatkan Muhammad bin sirin dari Abi Mas’ud Al Anshari bahwasanya ia mewasiatkan kepada
orang yang bertanya kepadanya saat terbunuhnya sahabat Utsman: “Tetaplah kalian dalam jamaah,
sebab Allah tidak akan menghimpun ummat Muhammad dalam kesesatan” [10] . Qatadah
berkata: “Pemilik rahmat Allah adalah orang yang berjamaah walaupun tempat dan jasad mereka
berpisah” [11].

4. Dalam fikih  ‘amali (aplikasi) para salaf, sebagaimana yang disampaikan ibnu Al Jauzi dari Abi Al
Wafa’ bin ‘Aqil Al Hambali berkata: “aku melihat pada masaku Abu Bakar Al Aqfali pada masa
pemerintahan Al Qaim apabila ia bangkit untuk mencegah kemungkaran menyertailah bersamanya
para masyaikh (ulama-ulama senior) bersamanya, mereka tidak makan kecuali dari hasil kerja
mereka” [12] .

Demikian pula Hisyam bin Hakim menegakkan amar ma’ruf besarta orang-orang yang bersamanya
[13] .
Dan disebutkan dari Abdurrahman bin Muhammad Al baghdadi bahwa: “Ia memiliki pengikut dan
sahabat-sahabat dalam menegakkan yang makruf dan mencegah kemungkaran” [14] .

Di antara perkataan para Ulama:

Ungkapan Imam Syafi’i:  “Barang siapa yang mengatakan dengan ungkapan jamaah kaum muslimin,
maka sungguh ia telah komitmen terhadap jamaah mereka. Dan barang siapa yang menyalahi
perkataan jamaah kaum muslimin maka sungguh ia telah mengingkari jamaah yang diperintahkan
komitmen terhadapnya. Dan sesungguhnya kelalaian terdapat dalam perpecahan, adapun jamaah
maka tidak akan mungkin lalai secara keseluruhan tentang makna Kitab, Sunnah dan Qiyas insya
Allah” [15] .

Terkait dengan landasan syar’i beramal jama’i Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun lafadz Za’im
(penjamin) sebagaimana kata kafil, qabiil dan Dhamiin, firman Allah: “Dan siapayang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku akan
menjamin terhadapnya”. Maka barang siapa yang menjamin perkara sebuah kelompok maka ia
dikatakan za’im (penjamin). Apabila ia menjamin perkara kebaikan maka sungguh perbuatan
terpuji, dan apabila perkara keburukan maka perbuatan yang keji. Adapun kepala hizb (golongan)
maka ia adalah pemimpin kelompok yang berhimpun yakni yang telah menjadi golongan. Apabila
mereka berhimpun untuk menegakkan perintah Allah dan Rasul-Nya tanpa ditambah atau
dikurangi, maka mereka adalah orang-orang yang beriman, kita harus loyal dan komitmen terhadap
apa yang ada di antara mereka dan membela apa yang akan menghancurkannya… sebab Allah
telah memerintahkan untuk bersatu dan melarang berselisih dan berpecah belah” [16] .

___

Maraji’: Adhwa ‘Alal Ushul Isyriin (Dr. Isham Basyir), penterjemah: Abu Zaki Al Kalimantany


___

Catatan Kaki:

[1] Dikeluarkan Imam Muslim:3/1340, Imam Malik dalam Muwaththa’: 2/990, Imam Ahmad dalam
Musnadnya: 2/367

[2] Riwayat At tirmidzi: 5/34, Ia berkata hadits Zaid bin Tsabit ini hasan, Musnad Imam Ahmad:
5/183, Ad Darimi: 1/74-75

[3] Imam Bukhari: 13/35 dalam Fathul bari


[4] Musnad Imam Ahmad: 4/202

[5] At Tirmidzi: 4/466

[6] Hadits shahih masyhur yang diriwayatkan para pemilik kitab sunan dan musnad dengan redaksi
yang beragam, lihat Al Jami’ as Shahir:1/19

[7] Musnad Ahmad dan dishahihkan Al Al bani, ia berkata: Sanadnya shahih, lihat syarah Al Aqidah
Ath Thahawiyah,578.

[8] Musnad Imam Ahmad yang ditahqiq Ahmad Syakir dan berkata: Sanadnya shahih 1/230-231, dan
lihat Fathul Bari: 13/316

[9] Dikeluarkan Imam Bukhari 9/78, Imam Muslim 3/1467-1468.

[10] Fathul Bari 13/37

[11] Tafsir Ibnu Katsir: 2/466

[12] Talbis Iblis: 145

[13] Al Munthalaq: 150-151

[14] Al Munthalaq: 150-151

[15] Ar Risalah: 475-476

[16] Al Fatawa: 11/92, lihat Al Munthalaq: 150-151

Kaidah-Kaidah Syariah:

1. Media dan sarana yang menjadi prasyarat utama mencapai sebuah tujuan, hukumnya adalah
wajib sebagaimana kewajibannya tujuan itu, yakni: “Sesuatu yang tidak akan sempurna sebuah
kewajiban melainkan dengannya maka hukumnya adalah wajib”. Dan seperti diketahui bangkit
menegakkan tanggung jawab agama, melaksanakan hukum dan merealisasikan batasan-batasannya
adalah kewajiban pasti yang harus diemban oleh ummat.

Firman Allah: “laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri, potonglah tangan dari keduanya”.
Firman Allah: “Wanita yang berzina dan laki-laki yang berzina, cambuklah setiap keduanya dengan
seratus kali cambukan”. Firman Allah: “Diwajibkan atas kalian Qishash dalam pembunuhan”. “Dan
dalam qishash terdapat kehidupan bagi kalian”. Dan ayat-ayat yang lain yang memiliki karakter
beban kewajiban yang tidak akan mungkin dilakukan oleh individu, akan tetapi merupakan
kewajiban pemerintah Islam, hanyalah dengan upaya bersama, berhimpunnya beragam potensi
serta solidnya barisan kewajiban itu akan mampu direalisasikan.

2. Qiyaas Al Aula

Apabila penegasan berjamaah begitu kuat dalam sebagian nilai-nilai syariat yang sah
pelaksanaannya secara pribadi, maka nilai penegasannya semakin kuat dan bertambah besar pada
hal-hal yang tidak akan terlaksana melainkan dengan upaya bersama seperti jihad, ilmu, tarbiyah
dan menegakkan pemerintahan.

Konsekwensi Realitas Kehidupan

Kita melihat, seseorang amat lemah dalam kesendiriannya dan menjadi kuat bersama sahabatnya,
sedikit dengan sendiri dan banyak bersama rekannya. Maka dari itu, dikatakan: “Keruhnya sebuah
jamaah dan bukan bersihnya diri pribadi”, sebuah usaha pribadi betapapun dibangun di atas dasar
keikhlasan yang tinggi, semangat kesadaran dan kejujuran dalam beramal, tidak akan mampu
bangkit menegakkan beban dan kewajiban agama untuk meraih tujuan yang diinginkannya, karena
lemahnya media dan sarana, pendeknya jangkauan pandangan, sedikitnya potensi dan daya tahan
untuk mengemban tugas yang agung dan begitu berat. Adapun upaya bersama, maka ia akan selalu
menghimpun berbagai potensi dan beragam kemampuan.

Beramal jama’i adalah media mengikis kerendahan diri dan menampakkan penyakit hati sehingga
dapat diobati dan diperbaiki:

Suatu hari aku melihat tanah liat di dalam kamar mandi, dengan segenggam cinta ia menghiasi dan
menebar aroma.

Aku berkata misikkah itu ataukah parfum, sungguh kecintaan telah menjadikanku tertambat.
Tanah liat menjawab sungguh aku hanyalah seonggok pasir, aku berteman dengan mawar lalu
menjadikanku dimuliakan.
Aku bergaul orang-orang mulia dan bertambahlah ilmu, demikianlah siapa yang bersahabat para
ulama akan dimuliakan.

Adalah sebagian ulama salaf berkata: “Sesungguhnya salah seorang di antaranya kami bertemu
dengan saudaranya, maka dengan melihatnya menjadikan berakal beberapa hari”.

Segolongan kaum salaf pergi ke hadapan seorang yang shaleh untuk melihat kemuliaan dan
petunjuknya, bukan mencari ilmunya. Sebab buah dari ilmu adalah kemuliaan dan petunjuk, dengan
itu hati kembali bersinar, ruh kembali hidup, jiwa kembali bangkit dan semangat kembali membara,
mengalir membentuk energi tekad dan kemauan. Sebagaimana Nabighah bani Ja’dah berkata:

Kemuliaan dan keagungan kami telah menggapai langit, dan kami berharap akan meraih yang lebih
tinggi dari itu.

Amal jamai penuh dengan semburat nilai dan pelajaran serta bekal pengalaman berharga guna
meretas halangan dan menghalau rintangan. Amal jama’i adalah ladang ragam keshalehan dan amal
kebaikan, ia menyimpan segudang nikmat dan balasan pahala yang tak terkira, menolong yang
membutuhkan, mencari sesuatu yang hilang, menjenguk yang sakit, melepaskan yang tertimpa
kesulitan, memenuhi undangan, menunjukkan jalan yang sedang kebingungan, mengingatkan yang
lupa, mengajarkan kepada yang bodoh, memberikan petunjuk yang tersesat, menghibur yang
tertimpa bencana dan lain-lain

Aku akan berterima kasih kepada Umar, jika ajalku tertambat


Tangan-tangan yang belum terbalas betapapun ia selalu memberi
Seorang pemuda yang kekayaannya tidak menghalangi rekan dan sahabatnya
Tidak pula mengeluh tatkala kaki terpeleset
Ia melihat sarung pedangku pada tempat yang tak tampak
Hingga tampak karena keletihan kedua matanya.

Abu bakar As shiddiq mengungkapkan kepada saudaranya kaum Anshar yang telah menawarkan
segala yang mereka miliki dan berkata: Semoga Allah membalas kebaikan kalian. Demi Allah,
perumpamaan kami dan kalian sebagaimana yang diungkapkan Thufail Al ghanawi:

Semoga Allah membalas Ja’far atas kami, yang telah menolong kaki-kaki terperosok dalam
kubangan.
Mereka enggan membosankan kami, bahkan ibu kami sendiri jika menjumpai apa yang kami temui
niscaya akan merasa bosan.
Pemilik harta begitu derma, dan yang lemah ditempatkan ke dalam kamar-kamar yang dingin dan
teduh.

Jamaah adalah media bagi seseorang, yang akan memelihara kehormatan, menjaga darah dan
membela kemuliaannya dari rongrongan musuh:

Jika kekuatan musuh mencengkeram pusat daerah kami, kami bangkit membela jatidiri dan sebagian
gugur dari mereka dan dari kami.

Sunnah Pergulatan

Realitas membuktikan bahwa kekuatan musuh berhimpun dalam satu tujuan – betapapun
perbedaan agama dan aliran mereka – yaitu upaya menghancurkan kekuatan Islam, satu kenyataan
yang menuntut kebersamaan para pembela kebenaran bahu membahu menggalang persatuan
untuk menghadang kekuatan dengan kekuatan yang lebih besar dari padanya “Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berjuang dijalannya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka
seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. Abu Bakar pernah berpesan kepada Khalid: “Perangi
mereka dengan apa yang mereka memerangimu, pedang dengan pedang, tombak dengan tombak
dan panah dengan panah”, maka sulit akal akan menerima sebuah upaya bersama hanya dilawan
dengan upaya pribadi yang tercerai-berai (jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa
yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang
besar).

Sunnah Kehidupan Sosial

Berkumpul adalah bentuk ketetapan dalam alam semesta dan dalam kehidupan manusia, sebagai
satu bentuk keragaman, keserasian dan keharmonisan. Setiap kelompok bertemu dan berhimpun
untuk mewujudkan sesuatu yang telah difitrahkan, dan demikian semua tujuan hidup menjadi
sempurna “Yang telah memberikan segala sesuatu ciptaannya lalu memberinya petunjuk”.

Indah sekali sebuah ungkapan seorang penyair:

Semut membangun sarangnya dengan kokohnya dan lebah membuat rumahnya dalam
kebersamaan.
Burung-burung akan hidup dan berpindah ke habitatnya, binatang-binatang ternak dan melata akan
selalu berada dalam lingkungannya dan ikan hanya akan bertahan hidup didalam air, dan
demikianlah sekalian makhluk yang lain. Demikian halnya manusia, ia adalah makhluk sosial yang
sangat tergantung dengan kehadiran orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
kehiudpanya.

Manusia dengan manusia lain dari desa hingga kota, sebagian mereka dengan sebagian yang lain
adalah saling melayani.

“Hanya dengan kebersamaan, tolong-menolong dan bantu membantu kemaslahatan dunia dan
akhirat akan sempurna, demi memperoleh kemanfaatan dan mencegah kemudharatan. Sebab itu,
manusia dikatakan sebagai makhluk sosial yang akan selalu berhimpun dan saling tergantung satu
sama lain, demi mendatangkan manfaat dan mencegah kemudharatan dan iapun akan mentaati
Yang memerintahkan kepada tujuan itu dan Yang melarang dari kerusakan-kerusakan itu” [1].
Jikalau keberadaan jamaah adalah sebuah kemestian bagi kemaslahatan hidup dan kehidupan
keturunan anak Adam di dunia, maka tuntutannya jauh lebih besar dalam rangka meraih kesuksesan
di Akhirat.

Dan kaum mukminin di hadapan hukum Islam bukanlah individu-individu yang terpisah-pisah, akan
tetapi sebuah komunitas yang satu, maka sudah sewajarnyalah perhimpunan hati disertai dengan
bersatunya gerak dan kontribusi dalam mengemban beban-beban dakwah kepada Allah.

Karena itu, karakter dasar dalam perintah syariat selalu mengacu pada bentuk kebersamaan, seperti
shalat berjamaah, shalat dua hari raya, Istisqa’ (meminta hujan), shalat khauf (dalam kondisi
ketakutan), Shalat gerhana, shalat Jum’at tidak akan sempurna kecuali dengan berjamaah, puasa
adalah bentuk ibadah bersama-sama, zakat adalah adalah bentuk solidaritas sosial dan haji
merupakan pertemuan besar, jihad, memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar
serta menghalau para pelaku kebatilan. Kesimpulannya bahwa dakwah secara umum tidak akan
sempurna kecuali hanya dengan berjamaah.

___

Maraji’: Adhwa ‘Alal Ushul Isyriin (Dr. Isham Basyir), penterjemah: Abu Zaki Al Kalimantany

___

Catatan Kaki:

[1] Al Fatawa dengan sedikit perubahan: 28/62

Makna dan Kandungan Al-Jama’ah Islamiyah atau Jama’atul Muslimin

Betapapun jelasnya dalil naqli dan aqli yang terkait dengan pensyariatan amal jama’i – bahkan
kewajibannya – untuk membangun sebuah kehidupan Islam yang bersih, namun demikian terjadi
sikap ekstrimisme dalam pemahaman dan penerapan yang terlahir dari dasar-dasar yang benar ini,
di antara sikap ekstrimisme itu adalah:

1. Anggapan sebuah institusi dakwah atau jamaah Islamiyah manapun yang berkembang saat ini,
bahwa ialah “Jamaah Islamiyah” yang representatif sebagaimana yang pernah disebutkan dalam
beberapa hadits atau ialah Al Firqah An Najiyah (Kelompok yang selamat) dan At Thaifah Al
Manshurah (Kelompok yang akan dimenangkan) dan tetap eksis hingga hari kiamat.

2. Siapapun yang memisahkan diri dari jamaah ini diancam mati dalam keadaan jahiliyah sebab ia
telah keluar dari jamaah umat Islam.

3. Analogi jamaah ini dengan jamaah kaum sahabat – semoga Allah meridlai mereka –

4. Pemberian kewenangan kepada pimpinan jamaah ini sebagaimana kewenangan yang dimiliki
amirul mukminin dalam sebuah negara Islam.

Inilah sebagian sikap ekstrimisme yang timbul dari pemahaman kata “Al Jamaah” yang tercantum
dalam beberapa nas hadits. Melihat demikian pentingnya permasalahan ini dan dampak
pengaruhnya yang cukup besar, maka saya ingin menjelaskan permasalahan ini melalui perkataan
para ahli ilmu dan pemahaman Imam Hasan Al Banna sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para
ulama ternama.

Makna Al Jamaah Al Muslimah

Cukup banyak kata “Aljamaah” yang tersebut dalam nash-nash hadits. Rasulullah SAW telah
menjelaskan bahwa Al Firqah An najiyah (Kelompok yang selamat) disaat berkembangnya kelompok-
kelompok yang sesat dan banyaknya perselisihan yang didorong oleh hawa nafsu adalah Al Jamaah,
dan siapapun yang memisahkan diri dari jamaah ini diancam kematian dalam keadaan jahiliyah, dan
ialah jamaah yang harus mendapatkan loyalitas penuh sebagaimana yang tercantum dalam hadits
Hudzaifah Ibnul Yaman. Lalu siapakah Al Jamaah yang dimaksudkan oleh Pemberi Syari’at yang
bijaksana?

Alangkah baiknya saya sampaikan hadits Al Firqah An Najiyah serta menjelaskannya dengan lebih
rinci

Dari Mu’awiyah bin Abi sufyan: berkata: Pernah suatu ketika Rasulullah SAW berdiri di tengah-
tengah kami lalu bersabda: “Ingatlah bahwa sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari ahli
kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua kelompok, dan sesungguhnya golongan ini –
dalam satu riwayat “Ummat ini” – akan bepecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh
puluh dua akan masuk dalam neraka dan satu di dalam surga yaitu Al Jamaah”, dalam satu riwayat:
“Yaitu orang yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku hari ini diatasnya” [1].

Hadits ini adalah di antara hadits kemukjizatan Rasulullah SAW, sebab ia telah memberitakan
tentang rahasia yang akan terjadi, hadits mengandung sejumlah perkara yang saya jelaskan secara
global:

Pertama

Perkataan “Ummatku akan berpecah belah”, yang dimaksudkan dengan ummat di sini adalah
ummatul Ijabah [2] (ummat yang menerima seruan) yaitu ummat ahli kiblat, sebab kata ummat
ketika disandarkan kepada Nabi SAW maka yang dimaksudkan adalah ummat yang menerima seruan
sebagaimana yang diisyaratkan dalam riwayat: “sesungguhnya kelompok ini” yakni ummatnya
Rasulullah SAW [3].

Kedua

Yang dimaksudkan dengan perpecahan ummat adalah perpecahan dalam pokok-pokok agama dan
I’tiqadiyah (keimanan), bukan dalam permasalahan cabang-cabang fikih atau hukum-hukum terapan,
sebab perpecahan dalam pokok-pokok agama inilah yang dicela dalam agama [4]. Syaikh Abdul
Qahir bin Thahir At Tamimi menjelaskan saat mensyarahkan hadits ini: “Para ahli ilmu sungguh telah
memahami bahwa Rasulullah SAW tidak menghendaki kelompok-kelompok yang tercela ini mereka
yang berselisih dalam cabang-cabang fikih dalam permasalahan halal dan haram, akan tetapi yang
dimaksudkan adalah orang yang menyimpang dari ahlul haq dalam pokok-pokok tauhid, dalam
menilai kebaikan atau keburukan, dalam syarat-syarat kenabian dan kerasulan, dalam loyalitas para
sahabat dan yang terlahir dari bab-bab ini. Sebab orang-orang yang telah berselisih dalam masalah
ini, sebagian mereka terhadap sebagian yang lain saling mengkafirkan. Hal ini berbeda dalam
kelompok pertama, mereka berselisih dan berbeda namun tidak saling mengkafirkan atau
menfasikkan. Maka pentafsiran hadits tentang perpecahan ummat dikembalikan kepada perpecahan
dan perselisihan dalam masalah pokok-pokok agama sebagaimana yang terjadi di akhir masa
generasi sahabat yaitu pemikiran Qadariyah dari Ma’bad al Juhani dan para pengikutnya” [5].

Ketiga

Sabda Rasul: “Semuanya masuk neraka” tidak berarti kafir, akan tetapi sebuah ungkapan ancaman,
sedang ancaman sendiri sangat terkait dengan syarat-syarat yang menyertainya di antaranya
berlakunya nas, timbulnya objek hukum dan tidak ada perkara-perkara yang menghalangi adanya
ancaman seperti taubat yang benar, istighfar, kebaikan-kebaikan yang menghapus keburukan,
musibah dan ujian yang menjadi kifarat, syafaat dan yang lebih besar dari itu semua rahmat Dzat
Sang Maha Pengasih.

Keempat

Rasulullah SAW tidak menjadikan simbol-simbol tertentu bagi golongan-golongan Islam, tidak pula
ciri-ciri khusus bagi ketujuh puluh dua kelompok yang lain, tidak pula tanda-tanda tertentu yang
membedakan sebagian dari sebagian yang lain, akan tetapi menjadikan penyimpangan terhadap Al
Kitab dan As Sunnah, kesepakatan para Khulafaur Rasyidin dan sekalian sahabat yang lainnya sebagai
tandanya karena memperturutkan prasangka dan hawa nafsu belaka, mengatakan sesuatu tanpa
dasar ilmu serta fanatis buta terhadap pengikut selain Rasulullah SAW, mereka loyal dan antipati
karenanya, sebagaimana menjadikan ittiba’ (mengikuti) Al Kitab dan As sunnah menurut petunjuk
para sahabat, komitmen terhadap jamaah mereka serta memberikan loyalitas dan sikap antipati
karenanya.

Kelima

Sabda Rasul: “Kecuali satu yaitu Al Jamaah”, ungkapan ini datang dalam bentuk ma’rifah (tertentu)
dengan menggunakan “Al” yang berarti bahwa ia adalah jamaah tertentu yang memiliki
karakteristik, ciri dan syarat-syarat.

Imam Syathibi telah merangkum perkataan para ahli ilmu tentang makna jamaah dalam lima
pembagian, yaitu:

1. Jamaah adalah mayoritas umat Islam, berdasarkan pendapat ini yang tergolong dalam makna
jamaah adalah para mujtahid ummat, para ulama, mereka yang menerapkan syariat Islam serta para
pengikut mereka. Siapapun yang keluar dari golongan mereka, maka dianggap telah menyimpang
dan masuk ke dalam golongan syaitan, termasuk dalam golongan mereka adalah semua ahli bid’ah
sebab mereka telah menyimpang dan keluar dari ummat dan tidak masuk dalam mayoritas mereka,
di antara sahabat yang termasuk golongan ini adalah Abu Mas’ud Al Anshari dan Ibnu Mas’ud.

2. Jamaah adalah kelompok para mujtahid ummat, sebab meraka adalah hujjah Allah bagi para
makhluk-Nya, merekalah yang dimaksudkan dalam sabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya Allah tidak
akan menghimpun ummaku dalam kesesatan”. Ini adalah perkataan Ibnul Mubarak dan Ibnu
Rahawaih. Pernah dikatakan kepada Ibnu Mubarak: “siapakah jamaah yang layak untuk kita ikuti?”,
ia menjawab: “Abu Bakar, Umar – dan tidak henti-hentinya ia menyebutkan hingga sampai kepada
Muhammad bin Tsabit, Husain bin Waqid – lalu dikatakan kepadanya: “Mereka semua telah tiada,
siapakah di antara mereka yang masih hidup?”, ia berkata: “Abu Hamzah As sukri”. Berdasarkan hal
ini, tidak termasuk golongan mereka semua orang yang tidak berilmu dan ahlul bid’ah.

3. Jamaah adalah golongan ummat Islam yang bersepakat terhadap sebuah perkara, maka semua
orang yang selain mereka wajib mengikutinya.

4. Jamaah adalah jamaah para sahabat secara khusus. Di antara yang berpandapat ini adalah Umar
bin abdul Aziz, sebagaimana isyarat hadits “Yaitu orang yang berada di atas apa yang aku dan para
sahabatku hari ini di atasnya”.

5. Sebagaimana pendapat Ath Thabari jamaah adalah jamaah kaum muslimin apabila bersepakat
pada seorang pimpinan sebagaimana yang diperintahkan Rasululllah SAW. [6]

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani telah menukil dari At Thabari: “At Thabari berkata: Telah terjadi
perdapatan dalam perkara ini [7] (yakni kewajiban komitmen terhadap jamaah muslimin dan
pemimpin mereka) dan dalam arti jamaah, sebagian berkata: ia adalah kewajiban dan jamaah adalah
kelompok mayoritas… sampai pada perkataannya [8]: “Pendapat yang benar tentang maksud
komitmen berjamaah adalah komitmen kepada pemimpin yang disepakati, barang siapa yang
merusak baitnya maka ia telah keluar dari jamaah” [9].

Asy syatibi bekata: “Semuanya sepakat bahwa para ahli ijtihad baik yang disertai khalayak umum
atau tidak adalah jamaah” [10].

Sebagaimana telah terjadi perbedaan dalam makna jamaah, demikian pula banyak pendapat dalam
menafsirkan makna At Thaifah Al Manshurah (kelompok yang dimenangkan) yang akan selalu eksis
hingga hari kiamat. Imam Nawawi berkata: “Adapun kelompok ini imam Bukhari berkata bahwa
mereka adalah para ahli ilmu. Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Jika bukan para ahli hadits maka
aku tidak tahu siapa lagi mereka itu?”. Qadhi ‘Iyadh berkata: “Sesungguhnya yang dimaksudkan oleh
Imam Ahmad adalah Ahlus sunnah wal jamaah serta mereka yang mengikuti jalan ahli hadits. Aku
berkata: “Dan mungkin saja kelompok ini tercerai berai dalam ragam komunitas kaum mukminin,
ada di antara mereka para pemberani dan mujahid, di antara mereka para fuqaha’ (ahli fikih), di
antara mereka ahli hadits, di antara mereka ada orang-orang yang zuhud dan penegak amar makruf
dan mencegah yang dilarang, dan di antara mereka yang beprestasi di berbagai medan kebaikan dan
tidak disyaratkan bahwasanya mereka berkumpul dalam sebuah kesepakatan, bahkan sangat
mungkin sekali mereka tersebar dibelahan dunia” [11].

___

Maraji’: Adhwa ‘Alal Ushul Isyriin (Dr. Isham Basyir), penterjemah: Abu Zaki Al Kalimantany

___

Catatan Kaki:

[1] Takhrijnya telah berlalu

[2] Lihat Hasyiyah Ibnu Majjah: 2/1322

[3] Lihat ‘Aunul Ma’bud: 12/342

[4] Lihat Faidlul Qadir: 1/179

[5] ‘Aunul Ma’bud: 12/340-341

[6] Lihat Al ‘Ithisham: 2/258-267

[7] Komitmen terhadap Jamaah kaum muslimin dan pemimpinnnya

[8] Imam Ath Thabari

[9] Fathul Bari: 13/37

[10] Lihat Al I’thisham: 2/258-267

[11] Syarah Imam Nawawi atas kitab shahih Muslim: 8/125-126 dalam Hasyiyah As Sari

Ada dua kesimpulan tentang makna jamaah dari beberapa pendapat para ulama di atas:

SATU:

Jamaah sebagai implementasi asas sebuah manhaj dalam aqidah dan i’tiqad yang bersumber dari
pemahaman nash kitab dan sunnah serta menjadi pijakannya dalam perkataan, perbuatan dan
setiap sikapnya.
Makna ini tercermin dalam riwayat: “Yaitu mereka yang berada di atas apa yang aku dan para
sahabatku”. Pensyarah At Thahawiyah berkata: “Jamaah umat Islam adalah para sahabat, para
tabiin”. Ini berarti bahwa jamaah Islam atau jamaah kaum muslimin adalah mereka yang berjalan
sesuai dengan akidah, perkataan, perbuatan dan akhlak Nabi SAW dan para sahabatnya, lalu
berupaya untuk komitmen di atas jalannya, loyalitas dalam setiap yang dilakukan maupun yang
ditinggalkan tanpa menambahkan yang merubahnya. Maka siapapun yang komitmen terhadap
manhaj salafus shaleh dari kalangan para shabat dan tabiin serta para pengikut mereka [1] dalam
ketiga kurun pertama yang telah diakui kebaikan, keimanan, keutamaannya, siapapun yang
komitmen terhadap petunjuknya, ridho dalam manhajnya, iltizam dalam ijmak mereka maka ia
tergolong dalam jamaatul muslimin, kelompok yang selamat dan golongan yang akan tetap eksis
betapapun sedikit orang yang berjalan di atasnya, tidak akan gentar oleh banyaknya kaum
penentang sebab hakekatnya adalah kesesuiannya dengan kebenaran walaupun hanya engkau
seorang, firman Allah: “Sesungguhnya Ibrahim adalah umat (seorang imam)”.

Ibnul Qoyim berkata: Alangkah indahnya perkataan Abu Muhammad Abdurrahman bin Islamil yang
dikenal dengan Abu Syamah dalam kitabnya “Al Hawadit wal Bida’: Yang dimaksudkan dengan
perintah komitmen terhadap jamaah adalah komitmen terhadap kebenaran dan para
pendukungnya, walaupun sedikit para pengikutnya dan sangat banyak para penentangnya, sebab
kebenaran adalah apa yang generasi awal sejak masa Nabi SAW dan para sahabatnya berada di
atasnya betapapun banyaknya ahli bid’ah (orang-orang yang membuat aturan baru) bermunculan
setelah mereka. Kemudian Ibnul Qayyim menceritakan kisah Amar bin Maiumun al Audi yang
bersahabat dengan Mu’adz bin Jabal di Yaman kemudian di negeri Syam hingga wafat, kemudian
bersahabat dengan Ibnul Mas’ud dan mendengar darinya berkata: “Tetaplah engkau dengan jamaah,
sebab sesungguhnya tangan Allah beserta jamaah”, pada kesempatan yang lain ia mendengar Ibnu
Mas’ud berkata: “Tetaplah kalian bersama para pemimpin yang mengakhirkan shalat mereka dari
waktunya, shalatlah kalian tepat pada waktunya sebab ia adalah kewajiban dan shalatlah kalian
bersama mereka sebagai perbuatan sunnah bagi kalian”. Hal inilah yang membuat Al Audi bertanya-
tanya: “Bagaimana mungkin ia menyerukan agar tetap berjamaah, namun memerintahkan shalat
dengan sendiri. Maka Ibnu Mas’ud berkata: “Tahukah engkau siapa jamaah itu?”, aku berkata:
“Tidak”, Ia Berkata: “Sesungguhnya mayoritas manusia telah memisahkan diri dari jamaah, sebab
jamaah adalah siapapun yang sesuai dengan kebenaran betapapun engkau sendiri”.

Sebagian ahli ilmu pada masa Muhammad bin Aslam Ath Thausi ditanya perihal perkataan: “apabila
manusia telah berselisih maka tetaplah engkau bersama golongan mayoritas, maka Muhammad bin
Aslam berkata: “Ia adalah golongan mayoritas”.

Ibnul Qayyim berkata: “Benarlah demi Allah, bila di sebuah masa terdapat seorang yang paham
terhadap sunnah selalu menyeru kepadanya ia adalah hujjah (argumentasi), ia adalah ijma’, dialah
golongan mayoritas dan ialah jalan orang-orang yang beriman” [2].

Jamaah dalam kontek ini adalah manhaj yang harus diikuti yang terikat di atas simpul ahlus sunnah
wal jamaah”.

Al Munawi dalam penjelasan hadits al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat) yakni “Kecuali
satu”, ia menyebutkan: “Dialah Ahlus Sunnah wal Jamaah” [3].

Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi mengomentari makna “Al Jamaah” berkata: “yakni mereka
yang sesuai dengan jamaah para sahabat, yang berpegang teguh pada akidah mereka, serta
komitmen terhadap pendapat mereka” [4]. Dalam wilayah pengertian manhaji tentang makna
jamaah inilah Qatadah berkata: “Ahli Rahmat Allah, merekalah yang berjamaah walaupun wilayah
dan badan mereka berpisah-pisah” [5].

Imam Syafii berkata: “Barang siapa yang bekata seperti perkataan jamaatul muslimin maka sungguh
ia telah komitmen terhadap jamaah mereka, dan barangsiapa yang menyimpang dari perkataan
jamaatul muslimin maka sungguh ia telah memisahkan dari jamaah yang wajib diikutinya”.

Akan tetapi pemahaman jamaah Islam dan kelompok yang selamat dalam kontek wilayah manhaj ini
sangat bertingkat derajat dan kedudukan mereka dalam tubuh ummat, di antara mereka ada yang
demikian perhatian dalam menjalankan syariat, sangat menjaga dalam mengimplementasikan
manhaj ini, sangat jauh dari penambahan (bid’ah) dan penyimpangan, serta begitu kuat komitmen
mereka, mereka itulah orang-orang yang tertinggi dalam peringkat kelompok yang selamat dan
jamaah Islam seperti para ulama yang telah diakui dalam mazhab fikih, tafsir, hadits, ushul, serta
para da’i yang mulia yang telah diakui kebaikan, keshalehan dan keistiqamahan mereka.

Di antara mereka ada yang layak berijtihad, namun kadangkala ia menta’wilkan sebagian nash
dengan salah, maka ia dimaafkan dalam wilayah ijtihad. Di antara mereka ada yang mengingkari
sebagian nash syariat disebabkan baru mengenal Islam, atau karena hidup pada daerah terpencil
sehingga tidak mendapatkan informasi terhdap apa yang diingkarinya. Di antara mereka ada yang
melakukan bid’ah amali, maka ia tetap mukmin, taat kepada Allah menurut kadar ketaatannya, dan
telah berbuat salah dalam perkara maksiat yang ia lakukan atau bid’ah yang ia kerjakan, dan ia
tergantung kehendak Allah, firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”.
Firman Allah: “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka
mencampur baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah
menerima taubat mereka”.

Baik golongan yang ini maupun yang itu tidak menjadikan mereka kafir disebabkan penta’wilan yang
keliru, atau perkara yang mereka ingkari yang disebabkan kebodohan mereka, mereka tetap
termasuk dalam golongan kelompok yang selamat walaupun tidak dalam kategori kelompok yang
awal [6].

Maka di antara jamaah Islam ada yang pada garis terdepan dalam ketaatan, ada pula yang sedang
dan ada pula yang berbauat aniaya terhadap diri pribadi.

Yang perlu selalu diingat bahwasanya ahlus Sunnah Wal jamaah mempunyai dasar-dasar yang baku
untuk menjelaskan perkara-perkara cabang (furu’), serta sebagai patokan dan rujukan dalam
persoalan-persoalan juz’i (parsial) dan penerapan hukum-hukum itu sendiri.

PENJELASAN

Dari penjelasan yang telah lalu maka tidaklah tepat menjadikan makna Kelompok yang akan tetap
eksis (At thaifah Adh Dhahirah) terbatas pada ahli hadits, kecuali berdasarkan penjelasan Qadhi
‘Iyadh: “Yaitu ahlus Sunnah wal Jamaah”, karena betapapun ummat mengambil manfaat umum dari
para ahli hadits, namun tidak menafikan ummat pun mengambil manfaat terhadap selain mereka
seperti para ahli fikih yang menjelaskan sumber-sumber hukum syariat dan hukum halal dan haram,
demikian pula terhadap para ahli tafsir, qurra’ (ahli baca alquran), para pemberi nasehat, para du’at,
para hakim dan yang lainnya dalam strata tingkatan ummat, sebab: “Setiap kaum akan memberikan
manfaat dalam bidang yang tidak diberikan oleh yang lain” [7].

2. MAKNA KEDUA DARI JAMAAH


Makna yang kedua ini merupakan implementasi manhaj pada fase Tamkin (penguasaan) yaitu
jamaah para ulama – Ahlul Halli Wal aqdi (Badan Legislatif) – ketika bersepakat memilih seorang
pemimpin, maka ummat di belakang mereka mengikuti keputusan itu. Sebagaimana yang terjadi
tatkala pembai’atan Abu Bakar As shiddiq saat para pemuka sahabat membai’at di Tsaqif lalu diikuti
oleh khalayak ramai dalam sebuah forum pembai’atan terbuka [8]. Dari sinilah Imam Ath Thabari
mengatakan: “Maksud yang benar dari hadits perintah untuk konsekwen dalam jamaah yaitu orang-
orang yang bersepakat dalam mentaati seorang pemimpin” [9]. Apabila tidak ditemukan
kepemimpinan syar’i dalam kehidupan ummat, maka kewajiban mereka untuk merealisasikannya
dan mereka menanggung dosa hingga kepemimpinan itu tegak.

KESIMPULAN

Dari keterangan nas-nas yang di atas, ada beberapa hal yang dapat kita simpulkan dari makna
jamaah:

1. Sesungguhnya keberadaan sebuah jamaah dari beragam jamaah, sekaipun dengan fikrah yang
jelas dan jalan yang lurus tidak berarti bahwa jamaatul muslimin telah tegak. Dari sini, maka semua
jamaah yang bergerak dalam medan dakwah saat ini yang telah dikenal dengan nama, pemimpin
dan simbol-simbolnya tidaklah satu-satunya jamaah Islam atau jamaah muslimin, akan tetapi
kesemuanya itu terhimpun dalam jamaah Islam. Maka Ikhwanul Muslimin, jamaah salafiah serta
jamaah-jamaah yang lain adalah bagian dari jamaah muslimin, dan tidak tepat menyebutkannya
bahwa ialah jamaah yang repesentatif sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits-hadits walaupun
ia bergerak demi merealisasikan jamaah kaum muslimin dalam sebuah kepemimpinan pemerintah
Islam dan khilafah Islamiyah.

2. Bahwasanya jamaah-jamaah ini, meski merupakan implementasi pemahaman manhaji bagi


sebuah jamaah Islam, namun ia sangat bertingkat dalam kontribusi dan potensi, di antara mereka
ada yang berusaha membatasi kebijaksanaan mereka dalam perbaikan sisi aqidah, ada pula yang
lebih memperhatikan sisi pendidikan ruhiyah, ada yang lebih memfokuskan pada nasehat dan
pengingatan, ada pula di antara mereka yang lebih memeperhatikan sisi politik, dan ada pula di
antara mereka yang berupaya menghimpun semua sisi perbaikan dalam bingkaian universalitas dan
komprehensif dengan menjaga keseimbangan dan skala prioritas.

3. Tidaklah tepat menganalogikan jamaah-jamaah ini dengan jamaah Rasulullah SAW sebab mereka
adalah penghulu sekalian jamaah, yang mana ketaatan adalah sebuah kewajiban sebab ia diback up
langsung dengan wahyu dan tunduk terhadapnya merupakan sesuatu yang mutlak yang menjadi
syarat kesempurnaan Islam seseorang, baik dimasa hidupnya maupun setelah meninggalnya.
Kemudian pada realitasnya ia sangat bersesuaian dengan perintah syariat, tidaklah setiap yang telah
mengaku seorang muslim, menyatakan dua kalimah syahadah serta mendirikan shalat kecuali
terhimpun dalam anggota jamaah Rasul. Namun kenyataan kita saat ini sangat berbeda, banyak
manusia saat ini yang menyatakan sebagi seorag muslim, menegakkan syariat-syariatnya, akan tetapi
tidak terikat dalam sebuah jamaah manapun, penetapan kafir atas mereka dengan pertimbangan
analogi terhadap jamaah pertama adalah sebuah tindakan kesewenangan. Demikian juga klaim atas
mereka yang memisahkan diri dari salah satu jamaah ini dengan kekufuran adalah tindakan
serampangan yang tidak mendasar.

4. Tidak sah pula menganalogikan syarat-syarat kepemimpinan dari jamaah-jamaah ini dengan syarat
dan kewajiban seorang Amirul Mukminin.

5. Memisahkan diri secara struktural jamaah tidak berarti identik dengan keluar dari jamaah, sebab
istilah keluar jamaah menurut sebagian besar ulama fikih berarti perlawanan senjata bukan hanya
sebatas memisahkan dan menjauhkan diri, makna ini sangat begitu tampak pada pemberontak dan
pembelot, bahkan keluar dalam masalah inipun tidak semuanya dianggap tindak kekufuran, karena
boleh jadi pelakunya melakukan tindakan ini karena salah tafsir dan persepsi, firman Allah: “Jika dua
kelompok dari golongan kaum mukminin berperang…”, Allah dalam ayat ini tetap menyebut kaum
yang beriman walaupun terjadi pertumpahan darah di antara mereka.

Di antara landasan dasar yang lain tentang masalah ini bahwa Ali RA dan beberapa sahabat yang lain
tidak mengkafirkan kalangan khawarij, betapapun banyak riwayat hadits yang menjelaskan akan
kesesatan mereka, beliau hanya mengatakan: “Saudara kita telah membelot atas kita, mereka
sungguh telah lari menjauh dari kekufuran”. Dan Ia bermu’amalah (berinteraksi) dengan mereka
seperti interaksi kaum pemberontak, tidak menjadikan harta mereka sebagai rampasan perang,
tidak menjadikan budak wanita-wanita mereka, tidak membunuh para tawanan perang mereka,
tidak pula membunuh sekalian orang-orang yang terluka atau mengejar orang-orang yang lari dari
medan.

6. “Mati dalam keadaan Jahiliyah” tidak berarti mati dalam kekafiran, akan tetapi kematian yang
menyerupai keadaan orang jahiliyah, sebab mereka tidak membaiat seorang pemimpin dan tidak
pula tunduk kepada seorang penguasa. Imam Syaukani berkata: “Mati jahiliyah adalah penyerupaan
terhadap kematian orang-orang jahiliyah yang tidak memiliki pemimpin, bukan berarti mati dalam
keadaaan kafir, namun mati dalam keadaan bermaksiat” [10].

7. Tidak melakasanakan amal jama’i demi menegakkan perintah, syariat dan kepemimpinan agama
Allah adalah perbuatan dosa, namun tidak menjadikannya keluar dari agama kecuali bila ia
mengingkari tuuan ini yakni berhukum dengan syariat Allah maka ia dianggap kafir dan murtad [11].

Imam Hasan Al Banna memiliki sebuah manhaj yang jelas pijakan dan tahapannya, saya akan
menjelaskan jati diri jamaah Ikhwanul Muslimin (IM), sikapnya terhadap jamaah-jamaah kaum
muslimin, yang mencerminkan kemurnian nilai dan keseimbangan pijakan sebagaimana yang telah
ditetapkan oleh para imam dari generasi salaf, manhaj itu akan saya jelaskan dalam beberapa hal
berikut [12]:

1. Sikap IM terhadap Jamaah dan Institusi Da’wah

Imam Hasan Al Banna mengungkapkan: “IM mempunyai padangan tersendiri terhadap ormas-ormas
ini (dengan berbagai ladang garap mereka dalam berjuang untuk membela Islam. mereka semua
mendambakan kesuksesan. Ikhwan juga menginginkan terwujudnya kedekatan jamaah-jamaah ini
dan berusaha menyatukan serta menghimpun mereka dalam satu fikrah secara umum” [13].

2. Perbedaan IM dan Jamaah-jamaah Islam yang lain.

Imam Al Banna berkata: “Banyak orang yang pikirannya dibingungkan oleh pertanyaan ini: “Apa
perbedaan antara jamaah IM dengan jamaah Asy-syubban? Kenapa keduanya tidak bergabung
dalam satu organisasi saja dan bergerak dalam manhaj yang satu pula”. Sebelum menjawab
pertanyaan ini, saya ingin menegaskan kepada mereka yang menginginkan kesatuan potensi dan
kerjasama antar aktifis, bahwa jamaah IM dan jamaah As-syubban – di Kairo – tidak pernah merasa
bahwa keduanya berada di medan yang berbeda, tetapi mereka selalu merasa ada dalam satu
medan dengan menjalin kerjasama yang kuat dan kokoh. Banyak masalah keislaman yang antara
Ikhwan dan Sy-Syubban bisa seiya sekata dalam menyikapinya. Hal ini karena tujuan umum dari
keduanya adalah sama, yakni bergerak dan beramal demi kejayaan Islam dan kebahagiaan kaum
muslimin. Hanya saja, ada perbedaan-perbedaan kecil dalam masalah uslub dakwah, langkah para
aktifis dan prioritas penyaluran potensi dari kedua jamaah tersebut, saya yakin akan tiba masanya
disaat semua jamaah Islamiyah berada di dalam front. Dan waktulah yang akan menjamin
realisasinya, Insya Allah” [14].

3. Bentuk sikap dan Muamalah terhadap penentang.

“Dan Kami memohon maaf kepada mereka yang berbeda dengan kami dalam masalah furu’. Kami
sama sekali tidak melihat bahwa perbedaan itu akan menghambat proses menyatunya hati, saling
mencintai dan kerja sama dalam menegakkan kebenaran dan kebaikan. Islam yang universal ini akan
sanggup memayungi kami dengan mereka dalam batasan-batasannya yang begitu luas. [15]”

4. Sikap kami terhadap seruan dan dakwah yang lain:

“Sikap kami terhadap seruan-seruan lain di negeri ini baik yang berorientasi agama, sosial, ekonomi
maupun politik – dengan berpijak pada karakter dasar dakwah kami – adalah sebuah sikap yang satu
menurut keyakinan kami yaitu: mengharapkan kebaikan padanya serta mendoakannya dengan
curahan taufik, dan sesungguhnya sebaik-baik jalan adalah agar kita tidak sibuk mencari celah dan
kesalahan orang lain dari meneliti kesalahan dan kekurangan kita, sungguh kita membutuhkan
perbekalan dan rasa tanggung jawab, sebab ummat kita dan medan-medan perjuangan yang masih
kosong sangat menanti uluran tangan para pejuang dan kesungguhan sang mujahid dan tidak ada
waktu yang cukup untuk sibuk mencari-cari kekurangan orang lain, masing-masing bergerak
dibidangnya dan Allah selalu bersama orang-orang yang berbuat baik hingga Allah membukakan
pintu kebenaran antara kita dan kaum kita” [16].

5. Penegasan Al Khudhaibi tentang langkah amaliah Imam Hasan al Banna

Imam Khudhaibi berkata: “Telah disepakati bahwasanya jamaah Ikhwanul Muslimin sejalan dengan
kesempurnaan imannya tegak di atas nilai kebenaran dan dengan keyakinannya yang tidak diliputi
keraguan, ia adalah dakwah kebenaran yang murni sebagaimana yang Allah perintahkan dengan
sebuah kewajiban yang mengikat. Perlu ditegaskan, bahwasanya pendirian organisasinya bukan
legitimasi bahwasanya ialah jamaah kaum muslimin, sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadits-
hadits akan tetapi ia senantiasa menyeru dengan pertolongan Allah untuk merealisasikan jama’atul
Muslimin”.

Hal ini dipertegas bahwa pendiri jamaah – semoga Allah meridhainya – mengakui sepanjang
kepemimpinannya begitu pula para sahabatnya yang mendukungnya dan berhimpun bersamanya
akan keberadaan jamaah-jamaah yang lain sebagai jamaah Islam, sebagaimana pengakuan jamaah
ini terhadap mereka yang tidak bergabung dengan jamaah ikhwan atau yang telah dikeluarkan
sebagai seorang muslim.

Dan sungguh Imam Asy syahid telah menetapkan pengeluaran dua wakil terdahulu jamaah serta
puluhan yang lain, sebagian mereka adalah anggota dalam kantor pembinaan dan dewan pendiri,
dan tidak ada satupun di antara mereka yang dituduh telah melakukan tindakan atau ucapan yang
menjadikannya murtad dari Islam, dan tidak ada satupun yang menganggap bahwa pengeluaran
mereka dari jamaah berarti mereka telah keluar dari Islam” [17].

MANHAJ JAMAAH SETELAH IMAM ASY SYAHID

Setelah kepemimpinan Imam Asy syahid manhaj jamaah tetap berada di atas jalan yang telah
digariskan Imam Asy syahid. Imam Al Khudhaibi berkata: “setelah kepemimpinan Imam Asy syahid
kantor pembinaan dan badan pendiri mengeluarkan sejumlah orang yang tidak sedikit, di antara
mereka ada yang menjadi anggota kantor pembinaan dan badan pendiri lebih dari sekali, ada yang
pernah memegang tampuk kepemimpinan dalam struktur jamaah, dan secara tegas pada
kesempatan ini para pemimpin jamaah mengatakan mereka adalah muslim dan terjaga darah dan
harta mereka, jamaah berharap agar mereka berkhidmat kepada Islam dengan potensi pribadi dan
cara khusus mereka, setelah mereka mengahadapi kesulitan untuk memposisikan diri di atas aturan
jamaah serta komitmen terhadap pemahaman, program dan manhajnya” [18].

Dari penjelasan didepan, maka jelaslah bahwa manhaj Ikhwan tegak di atas prinsip bahwa mereka
adalah bagian dari jamaah kaum muslimin yang senantiasa berupaya merealisasikan jamaatul Islam
serta mengakui keberadaan jamaah yang lain yang berkhidmah untuk Islam. Di antara hal-hal yang
jelas dalam manhaj Ikhwan adalah sebagai berikut:

1. Tidak ada analogi dalam persyaratan keanggoatan mereka dengan persyaratan dalam Islam [19].

2. Pengeluaran dari jamaah tidak berarti keluar dari Islam [20]. Kalau tidak demikian, mengapa kedua
wakil jamaah yang lalu dan beberapa anggota kantor pembinaan dan dewan pendiri tidak seorang di
antara mereka yang dianggap telah melakukan tindakan yang telah mengeluarkan dari agama.

3. Mungkin saja para anggota diwajibkan memberikan komitmen lebih di atas yang telah diwajibkan
oleh Islam secara lebih terperinci seperti dalam aturan-aturan internal, simbol dan syiar misalnya
[21].

4. Jamaah tidak menuntut kewajiban tegaknya khilafah (pemerintahan) secara keseluruhan sebelum
adanya khalifah (pemimpin), bahkan kewajiban kita adalah mewujudkan pemimpin demi
merealisasikan semua perkara itu [22].

5. Syarat dan kewajiban pemimpin jamaah tidak dianalogikan dengan syarat-syarat amirul mukminin
[23].

Inilah rangkuman beberapa hal yang telah diputuskan oleh para fuqaha (ahli fikih) jamaah yang
dilaksanakan dengan konsisten oleh pemimpin mereka dalam manhajnya serta kepada para
penentangnya menurut kaidah-kaidah ahlus sunnah dan manhaj salafusshaleh.

Apa yang diisyaratkan oleh syaikh Sa’id Hawwa tidak berbeda dengan makna-makna yang telah
tersebut bahwa jamaah Ikhwan adalah jamaah yang integral bagi kaum muslimin, ia sangat
memperhatikan sisi kesempurnaan dan keintegralan dalam memahami Islam dan tidak bermaksud
mengeluarkan selain mereka dari jamaah kaum muslimin.
___

Maraji’: Adhwa ‘Alal Ushul Isyriin (Dr. Isham Basyir), penterjemah: Abu Zaki Al Kalimantany

___

Catatan Kaki:

[1] Tidak termasuk yang tertuduh dengan bid’ah atau kerancuan.

[2] Ighatsatul Lahfan: 84-85

[3] Faidlul Qadir : 1/179

[4] Lihat Hasyiyah Ibnu Majjah: 2/1322

[5] Ighatsatul Lahfan: 84-85

[6] Lihat fatwa lembaga para ulama besar no.830, tertanggal:13/8/1394 H

[7] Jami’ul Ushul karangan Ibnul Atsir: 1/320-321


[8] Lihat al bidayah Wan Nihayah karangan Ibnul Atsir: 5/245-247

[9] Fathul Bari 13/37, Al I’thisham: 2/258-267

[10] Nailul Authar: 7/194

[11] Lihat Kitab Du’at La Qudhat:183

[12] Majmu’atur Rasail: 313

[13] Majmu’atur Rasail: 314

[14] Ibid

[15] Majmu’atur Rasail: 34

[16] Majmu’atur Rasail: 128

[17] Kitab Du’at La Qudhat: 185

[18] Kitab Du’at La Qudhat: 185-186

[19] Kitab Du’at La Qudhat: 185-186, Ar Rasail: 2/62

[20] Kitab Du’at La Qudhat: 185-186

[21] Syalbi :206-320, Hasan al Banna dan madrasahnya

[22] Ar Rasail : juz 1-25

[23] Asy syaikh Hasan Al Banna dan madrasahnya: 270-272

Anda mungkin juga menyukai