Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Persoalan buruh sudah terjadi pada permulaan abad ke-19 saat keadaan kaum

buruh di Eropa barat menyedihkan. Kemajuan industri secara pesat telah

menimbulkan keadaan sosial yang sangat merugikan kaum buruh. Misalnya

upah yang rendah, jam kerja yang panjang, tenaga perempuan dan anak

yang disalah gunakan sebagai tenaga murah. Keadaan di dalam pabrik yang

membahayakan dan mengganggu kesehatan.

Keadaan di dalam pabrik yang membahayakan dan mengganggu kesehatan.

Maka kalau kita sedikit berpeka ria terhadap keadaan pekerja/buruh dalam elemen

sosial, politik, historis, hukum sampai ekonomi dalam kehidupan sehari-hari kita

kemarin, maka kita akan temukan berbagai permasalahan yang kompleks serta

memiliki keciri khas- annnya dalam masing-masing masalah yang ada.

Tiap Kota, Provinsi, bahkan Negara, memiliki permasalahan yang masing-

masingnya memiliki sifat mendasar yang sama, namun tidak bisa disamakan pula,

atau di generalisasi secara umum, karena jelas, setiap daerah berbeda dalam hal

elemen yang sudah disebutkan diatas tadi. Dari permasalahan-permasalahan yang

terjadi dalam dunia pekerja/buruh tersebut, tentunya itu semua muncul

kepermukaan karena sesuatu atau keadaan yang membuatnya sedemikian rupa,

seperti kesengsaraan, ketimpangan serta kesenjangan sosial yang terjadi dan dialami

oleh para pekerja/buruh tersebut.


Tanggal 1 Mei yang diperingati sebagai Hari Buruh Internasional (May Day)

merupakan momentum bagi buruh untuk menyalurkan aspirasinya kepada

Pemerintah. Peringatan hari buruh juga seringkali ditandai dengan perjuangan buruh

untuk menuntut kesejahteraan. Penyaluran aspirasi oleh buruh semakin hari semakin

terkoordinasi dengan baik, seiring dengan semakin membaiknya iklim demokrasi

yang membuka kebebasan berserikat di sejumlah perusahaan.

Salah satu aspirasi yang selalu dituntut buruh setiap tahun adalah kenaikan

upah, khususnya besaran Upah Minimum Provinsi (UMP). Tuntutan buruh untuk

menaikkan besaran UMP dan juga besaran kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota

(UMK) setiap tahun dinilai wajar karena memang Kebutuhan Hidup Layak (KHL)

juga meningkat setiap tahunnya. UMP adalah upah yang berlaku untuk seluruh

kabupaten/kota di satu provinsi. Untuk masing-masing provinsi, besaran UMP

ditetapkan oleh Gubernur.

Hal ini berarti ketentuan mengenai UMP berlaku bagi seluruh kabupaten/kota di

suatu provinsi, dalam hal di kabupaten/kota di provinsi tersebut belum ada

pengaturan mengenai masing-masing UMK. Dasar penetapan UMP 2015 adalah

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 9 Tahun 2013 tentang

Kebijakan Penetapan Upah Minimum dalam Rangka Keberlangsungan Usaha dan

Peningkatan Kesejahteraan Pekerja dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Nomor 7 tahun 2013 tentang Upah Minimum (Permenakertrans Nomor

7 Tahun 2013.
1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah hari buruh internasional?

2. Apakah yang dimaksud dengan buruh?

3. Apa dampak hari buruh terhadap para buruh pada saat ini?

1.3. Tujuan dan Manfaat Makalah

1. Untuk mengetahui sejarah hari buruh internasional.

2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan buruh.

3. Untuk mengetahui dampak hari buruh terhadap para buruh pada saat ini.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Buruh

Kalau untuk kata “Buruh”, kita pasti sudah lama tidak asing dengannya.
Karena di bulan Mei tepatnya pada awal Mei, disetiap tahun adalah bulan yang sangat
identik dengannya. Namun perlu di Clear kan kembali disini, bahwa “Buruh”
atau
Labour itu sama halnya dengan “Pekerja” atau Workers, penulis rasa tidak ada yang
membedakan dari segi substansial, artifisial ataupun nilai, makna, serta
epistemologisnya, karena kalau pekerja ditarik definisinya kebelakang
maupun
kedepan, hasilnya akan sama. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) membuktikan
itu semua. Menurut KBBI, “Buruh” adalah orang yang bekerja untuk orang
lain
dengan mendapat upah; pekerja. “Pekerja” diletakkan dengan menggunakan
tanda
baca pengganti tanda penyambung, yang artinya kalimat yang dijabarkan memiliki
arti ataupun makna yang sama dengan sebuah kalimat atau kata yang ditambahkan
didepannya dengan menggunakan tanda titik koma ( ; ). Satu-satunya
yang
membedakan hanyalah huruf dan anggapan orang-orang kebanyakan, yang
masih
berpaham diferensiasi kelas, yang kalau “Buruh” selalu dikonotasikan dengan Buruh
Serabutan atau Pekerja Kasar atau Pekerja Pabrik saja.
Padahal, Karl Marx sendiri sudah tegas dalam menyatakan bahwa hanya ada 2
jenis kelas di dunia ini, yakni borjuasi dan proletar. Tidak ada yang namanya kelas
menengah seperti yang menjadi landasan buruh dan pekerja itu berbeda dari
sifat
derajat klasnya. Padahal tidak. Kelas menengah hanyalah pecahan dari
Kaum
Proletar. Menurutnya, Kaum Borjuis adalah pemilik dari alat-alat, baik itu
alat
produksi maupun alat untuk bekerjanya para pekerja/buruh, sedangkan
proletar
adalah kaum yang bekerja kepada para pemilik alat-alat tadi atau yang
disebut
sebagai “Pemilik Modal” dengan harapan mendapat upah gaji untuk
membiayai
hidupnya.
Kalau ditilik secara legalitas, Pekerja/Buruh sendiri didalam UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, tepatnya dalam Bab 1 Tentang Ketentuan
Umum,
pasal 1 ayat 3 memiliki suatu definisi yang berbunyi “Buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Lalu kalau
mengacu pada definisi Pekerja/Buruh menurut International Labour
Organization
(ILO), dapat ditarik definisi yang agak sedikit melengkapkan, yakni Pekerja/Buruh
adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/badan hukum dan mendapatkan upah
sebagai imbalan atas jerih payahnya menyelesaikan pekerjaan yang
dibebankan
padanya. Dengan kata lain semua orang yang tidak memiliki alat produksi dan
Karena di bulan Mei tepatnya pada awal Mei, disetiap tahun adalah bulan yang

sangat identik dengannya. Namun perlu di Clear kan kembali disini, bahwa

“Buruh” atau Labour itu sama halnya dengan “Pekerja” atau Workers, penulis rasa

tidak ada yangmembedakan dari segi substansial, artifisial ataupun nilai,

makna, sertaepistemologisnya, karena kalau pekerja ditarik definisinya

kebelakang maupun kedepan, hasilnya akan sama. Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) membuktikanitu semua. Menurut KBBI, “Buruh” adalah orang yang

bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah; pekerja. “Pekerja” diletakkan

dengan menggunakan tandabaca pengganti tanda penyambung, yang artinya kalimat

yang dijabarkan memiliki arti ataupun makna yang sama dengan sebuah kalimat

atau kata yang ditambahkandidepannya dengan menggunakan tanda titik koma

( ; ).

Satu-satunya yang membedakan hanyalah huruf dan anggapan orang-orang

kebanyakan, yang masihberpaham diferensiasi kelas, yang kalau “Buruh” selalu

dikonotasikan dengan BuruhSerabutanatau Pekerja Kasar atau Pekerja Pabrik saja.

Padahal, Karl Marx sendiri sudah tegas dalam menyatakan bahwa hanya ada 2 jenis

kelas di dunia ini, yakni borjuasi dan proletar. Tidak ada yang namanya kelas

menengah seperti yang menjadi landasan buruh dan pekerja itu berbeda dari
sifat derajat klasnya. Padahal tidak. Kelas menengah hanyalah pecahan dari

Kaum Proletar. Menurutnya, Kaum Borjuis adalah pemilik dari alat-alat,

baik itu alat produksi maupun alat untuk bekerjanya para pekerja/buruh,

sedangkan proletar adalah kaum yang bekerja kepada para pemilik alat-alat

tadi atau yang disebut sebagai “Pemilik Modal” dengan harapan mendapat

upah gaji untuk membiayai hidupnya. Kalau ditilik secara legalitas, Pekerja/Buruh

sendiri didalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tepatnya dalam

Bab 1 Tentang Ketentuan Umum, pasal 1 ayat 3 memiliki suatu definisi yang

berbunyi “Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau

imbalan dalam bentuk lain”.

Lalu kalau mengacu pada definisi Pekerja/Buruh menurut International

Labour Organization (ILO), dapat ditarik definisi yang agak sedikit melengkapkan,

yakni Pekerja/Buruh adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/badan hukum

dan mendapatkan upah sebagai imbalan atas jerih payahnya menyelesaikan

pekerjaan yang dibebankan padanya. Dengan kata lain semua orang yang tidak

memiliki alat produksi dan bekerja pada pemilik alat produksi maka bisa

dikatakan sebagai buruh.3 Maka seyogyanya kita tidak boleh membedakan antar

pencari nafkah dengan suatu konotasi tersendiri, yang dalam hal ini, kaum buruh

dengan sebutan “Buruh” disertai sentiment emosional yang berbeda, maka ia akan

termarjinalisasi dengan sendirinya, dan tentu, hal itu sangat harus dihindarkan,

agar kita memiliki satu suara dan satu rasa.


2.2. Buruh dari Waktu ke Waktu (Hindia-Belanda)

Pada zaman penjajahan (Kolonial), khususnya yang dilakuan oleh Belanda,

keberadaan golongan orang dengan sebutan buruh tidak begitu menonjol. Pada masa

itu, adanya Sistem Feodalisme mengakibatkan munculnya perbedaan kelas yang pada

akhirnya terdapat golongan orang kelas bawah, seperti Budak atau Kuli yang bekerja

pada orang-orang yang memiliki kelas lebih tinggi atau Para Bangsawan.

Berdasarkan fakta sejarah, pada waktu sebelum masa penjajahan datang dan

selama masa penjajahan itu sendiri, di Indonesia telah terdapat berbagai macam

kerajaan yang tersebar di Wilayah Nusantara. Tiap Daerah Kerajaan

memiliki sejarahnya 3 Sebuah tulisan oleh Narasumber Diskusi tentang May Day

dan Masalah Keburuhan pada tanggal 28 April 2017 oleh Zainudin (Ketua KSPI

Jawa Tengah Aliansi Buruh Berjuang) yang berjudul Kajian : Ambang Nasib Buruh

sendiri-sendiri dan sudah barang tentu juga memiliki sistem politik dan

susunan masyarakat yang berbeda.

Namun, diantara perbedaan tersebut ternyata ada suatu ciri khusus yang tidak

jauh berbeda di antara kerajaan satu dan lainnya. Ciri khusus tersebut adalah

adanya Kharisma dan otoritas Raja terhadap Rakyatnya, serta Rakyat yang

mengabdi kepada Raja, dan Raja yang memberikan perlindungan kepada

Rakyatnya. Para Raja atau Bangsawan tersebut pada umumnya memiliki

dominasi terhadap tanah dalam jumlah yang cukup luas.


Pada saat itu, tanah dikuasai secara timpang dan tanah menjadi basis bagi

penguasaan politik. Sebagai akibatnya, dari penguasaan tanah yang merupakan

sumber daya produksi tersebut, bagi mereka yang tidak memiliki tanah akan

mengalami tekanan dan eksploitasi yang merendahkan martabat kemanusiaanya

melalui pekerjaan sebagai penggarap tanah atau menjadi budak dari tuan tanah.

Dari sinilah kelas buruh tani itu muncul karena mereka harus bekerja untuk

mendapatkan upah dari tuan mereka demi mempertahankan kehidupan mereka dan

keluarganya.

Dengan bekerja pada orang lain, berarti buruh itu memberikan dirinya

diperbudak oleh orang lain atau orang yang memiliki Sumber Daya. Buruh

nantinya harus dapat menjadi kaum yang tidak terjebak dengan

melankolianya yang buruk-buruk dan memang kebanyakan ditindas sehingga

jadi buruk. Apabila ditarik kembali kepada makna dari suatu “Hak” itu sendiri,

maka Buruh sepenuhnya memiliki “Hak” sebagai buruh yang sebagaimana

harusnya, dan tuntutan pemenuhan atas haknya adalah upaya yang halal dan

sepatutnya ditanggapi atau kalau melihat konstelasi penguasa zaman sekarang,

setidak-tidaknya didengar, maka buruh setidaknya sudah memiliki perasaan

bahwa yang diinginkan mereka sudah mendapat Good Will6 dari mereka yang

dituntut, yakni Pemerintah.

2.3. Marxist, Komunisme dan Buruh

Pertama, Marxism tidak sama dengan Communism. Komunisme, yang juga

disebut “Komunisme Internasional” adalah nama “Gerakan kaum komunis”.

Komunisme adalah gerakan dan kekuatan politik partai – partai komunis yang sejak
Revolusi Oktober 1917 di bawah pimpinan V.I. Lenin menjadi kekuatan politis dan

ideologis internasional. Istilah “Komunisme” juga dipakai untuk “Ajaran

Komunisme” atau “Marxisme-Leninisme” yang merupakan ajaran atau

ideology resmi komunisme. Perlu diperhatikan, bahwa sebelum dimonopoli oleh

Lenin, istilah “Komunisme” dipakai untuk cita-cita utopis masyarakat, di mana

segala hak milik pribadi dihapus dan semuanya dimiliki bersama.

Hak buruh adalah suatu hal yang melekat dalam konstelasi buruh dari awal

hingga saat ini. Konsep tersebut bukan sekedar hal yang tetap melainkan

selalu bergerak dalam konsep kebebasan pula.

Bagaimanapun juga, pekerja/buruh adalah faktor penting, baik bagi

pertumbuhan maupun pemerataan ekonomi dalam aspek kesejahteraan sebagai

pandangan utama bagi pemenuhan kebutuhan dalam konsumsi pekerja/buruh.

Tidak dapat dikatakan bahwa pekerja/buruh adalah kelompok maupun individu

nomor dua karena mereka adalah motor penggerak produksi dan konsumsi

serta bentuk dari kehadiran kebebasan manusia serta warga negara pula dalam hal

eksistensinya. Intinya adalah, paham Marxist merupakan dasar atau landasan dari

paham-paham yang nantinya muncul karena proses dialektika itu sendiri, dan

penulis rasa, Marxist sendiri muncul karena sebelumnya sudah ada paham-paham

terlebih dahulu yang Karl Marx sendiri akhirnya menyempurnakan berdasarkan

dialektika isi kepalanya atau setidak-tidaknyamemformulasikan sehingga muncul

paham khas dirinya sendiri.

Akan tetapi, apakah pernah akan lahir masyarakat di mana hak milik pribadi

sama sekali terhapus? Jadi, apakah komunisme, masyarakat tanpa hak milik pribadi
dan tanpa kelas-kelas sosial itu, pernah akan terwujud? Karena faktor

yang menentukan perkembangan masyarakat adalah bidang ekonomi, pertanyaan itu

harus dijawab melalui analisi dinamika ekonomi tertinggi yang sudah

dihasilkan oleh sejarah, yaitu “Kapitalisme”.

Itulah sebabnya Marx makin lama makin memusatkan studinya pada ilmu

ekonomi, khususnya ekonomi kapitalistis. Studi itu membawa Marx pada

kesimpulan bahwa ekonomi kapitalisme niscaya akan menghasilkan

kehancurannya sendiri, karena kapitalisme seluruhnya terarah pada

keuntungan pemilik sebesar-besarnya, kapitalisme menghasilkan penghisapan

manusia pekerjadan arena itu, pertentangan kelas paling tajam. Karena itu

produksi kapitalistis semakin tidak terjual karena semakin tidak terbeli oleh massa

buruh yang sebenarnya membutuhkannya.

Kontradiksi internal sistem produksi kapitalis itulah yang akhirnya niscaya

akan melahirkan revolusi kelas buruh yang akan menghapus hak milik

pribadi atas alat-alat produksi dan mewujudkan masyarakat sosialis tanpa kelas.

Memang Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah salah satu yang paling

mendominasi dalam hal buruh sebagai suatu pergerakan, namun pergerakan ataupun

pemberontakan buruh tidak melulu dikaitkan dengan Partai Komunis

Indonesia (PKI), karena ternyata buruh-buruh di semarang misalnya; yang

notabenenya sebagaitempat munculnya Partai Komunis Indonesia, pada tahun 1918

sudah melakukan aksipemogokan. Pada zaman Kolonial Belanda, dua pemogokan

buruh yang terjadi di pelabuhan Semarang adalah atas inisiatip dan dilakukan oleh

para buruh tongkang. Pemogokan yang pertama terjadi pada tahun 1918, disebabkan
oleh upah yang rendah sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup

keluarga mereka. Dalam pemogokan itu belum ada indikasi adanya intervensi atau

keterlibatan langsung dari tokoh-tokoh dan kader-kader politik, khususnya Komunis,

sehingga baik pihak majikan maupun pemerintah masih bersikap moderat dan

kompromis dalam menghadapi para pemogok.

Namun setelah Komunis dengan Partai Komunis Indonesianya;

melaluibeberapa Serikat Buruh Semarang, ikut serta atau kasarnya melakukan

keterlibatanyang secara langsung ataupun tidak langsung dapat disebut

sebagai “Intervensi”terhadap gerakan buruh yang pada awalnya inisiatip itu,

menjadi berbeda secara sifat,akibat, dampak serta sikap dari pemerintahan pada

waktu itu. Pemerintah tidak lagi bersikap moderat dan kompromis, yang berdampak

pula pada seluruh majikan setelahmengetahui gerakan para buruh diintervensi oleh

golongan politik yang memang padasaat itu ideologi maupun sifatnya adalah buruh

sebagai suatu gerakan. Namun tetapsaja, ada kepentingan yang bernuansa politik

disana, yang padahal, buruh melakukan gerakan-gerakan yang didasari proses sebab

dan akibat dari pengalaman-pengalamanyang dialami oleh para buruh itu

sendiri sehingga menghasilkan suatu inisiatip. Diperparah lagi ketika tahun 1926

ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan yang katanya

secara resmi; menurut Partai Komunis Indonesia (PKI)itu sendiri, bukan Komunis

secara Internasional atau keseluruhan.

Maka, pemerintah makin mengkerdilkan segala gerakan-gerakan buruh

yang bertujuan untukmemberantas Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sedangkan permasalahan-permasalahan perburuhan yang mendasar serta


fundamental itu tidak terselesaikanataupun terpecahkan solusinya.Morelly untuk

pertama kali menyebarkan gagasan Kolektivisme, yaitu bahwa semua warga

masyarakat harus sama hak dan kesejahteraannya dan bahwa untuk mencapai

keadaan itu kekayaan harus dimiliki bersama dan pekerjaan produktif diatur

secara sentral.

Hal inilah yang menjadi dasar fundamental para kaum buruh bergerak dalam hal

“Pergerakan” menuntuk pemenuhan hak atau yang lebih luas lagi, menuntut sistem

yang sebagaimana harusnya sistem kehidupan itu berjalan, terkhusus sistem yang

berkaitan dengan masyarakat dalam mencari penghidupan. Namun sebagai

suatu penghematan kembali, penulis ingin membuat suatu kesimpulan singkat namun

bertujuan agar pembaca tidak menimbulkan suatu perspektif-perspektif yang

berujung justifikasi. Hak milik pribadi tidak melulu buruk. Hak milik pribadi yang

kotor dan kebanyakan ditentang adalah hak milik pribadi berbentuk kekayaan

dalam hal apapun yang diperoleh tanpa bekerja.

Gambaran Dunia Perburuhan: Permasalahan yang ada di Indonesia Buruh telah

ditempatkan sebagai komoditas, baik itu dalam hal ekonomi maupun politik.

Sehingga dalam segi apapun kita memandang sosok buruh, namun kalau

mengartikan buruh itu adalah Ingredients seperti yang sudah disebut diatas, atau

yang lebih parah sebagai barang yang memiliki harga jual dan ditempatkan

sebagai sesuatu yang memiliki nilai materiil; keuntungan, yang dapat disebut sebagai

komoditas atau Commodities, maka buruh dapat disebut bukan lagi manusia. Dalam

Pandangan Karl Marx, para pekerja atau kaum buruh itu teralienasi atau

keterasingan dengan berbagai kehidupan perburuhan yang tidak semestinya,


yakni dunia perburuhan di zaman kapitalistis. Beberapa Poin keterasingan adalah

sebagai berikut:

 Terasingkan dari Dirinya Sendiri, karena seharusnya pekerjaan

adalah tindakan manusia yang paling dasar; dalam pekerjaan, manusia

membuat dirinya menjadi nyata. Artinya, potensi dari dirinya tidak

bisa terbangun dikarenakan ia bekerja hanya untuk memenuhi keinginannya,

yakni upah.

 Terasingkan dari Produknya, artinya bahwa si pekerja harusnya menganggap

hasil pekerjaannya menjadi sumber perasaan bangga, seharusnya

mencerminkan kecakapan pekerja, namun sebagai buruh upahan ia

tidak memiliki hasil pekerjaannya. Produknya adalah milik pemilik pabri.

 Terasingkan dengan Orang Lain, artinya, antar pekerja akan

mengalami persaingan dikarenakan kepentingan pemilik modal itu

sendiri. Dengan pemilik modal menginginkan seefisien mungkin dengan

misalnya pekerja- pekerja yang lebih handal ataupun lebih gesit, maka

para pekerja akan bersaing satu sama lain untuk memenuhi itu, dan secara

tidak langsung, Homo Homini Lupus berlaku disana. Rendahnya

Produktivitas buruh memang menjadi salah satu acuan rendahnya

kesejahteraan para buruh, namun ada beberapa permasalahan kongkrit yang

terjadi di Indonesia dalam hal perburuhan, yakni:

- Sistem Kontrak dan Outsourcing

- Posisis tawar yang lemah


- Upah minimum – Jam kerja Maksimum

- Upah dan kebutuhan Riil yang tidak sebanding

Ketika terjadi krisis, maka buruh bisa dengan seenaknya diganti atau

diberhentikan sesuai dengan kebutuhan pengusaha. Jadi disini, pengusaha

melihat Buruh sebagai sesuatu yang sama dengan alat produksi. Jadi sama-sama

diartikan dengan Ingredients, bukan sebagi manusia. Lalu apa bedanya dengan

perbudakan dan penghambahaan? Padahal sudah sangat jelas tidak boleh ada

semua itu, baik secara nasional maupun internasional, hal tersebut sudah

terlegitimasi. Pasal 7 ayat 1 dan 2 International Covenant On Civil And

Political Rights. Menyatakan bahwa :

1. Tidak seorang pun dapat diperbudak; perbudakan dan perdagangan

budak dalam segala bentuknya harus dilarang.

2. Tidak seorang pun dapat di perhambakan” Kovenan internasional diatas

pun sudah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan

International Covenant On Civil And Political Rights. Namun

pemerintah hanya melihat dan menginterpretasi hal tersebut hanya

Lex Scripta-nya saja, sedangkan semangat atau secara tersiratnya

terabaikan.

Kompilasi Instrumen Hak Asasi Manusia Raoul Wallenberg Institute. English:

Brill Academic Publisher. Alih Bahasa : Madayuti Pertiwi, Achmad Gusman dan

Irawati Handayani Lihat Konvensi International Labour Organization (ILO) 28 Juni

1930, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “Kerja Paksa atau Kerja Wajib” ialah

semua pekerjaan atau jasa yang dipaksakan pada setiap orang dengan ancaman
hukuman apapun dan untuk mana orang tersebut tidak menyediakan diri secara

sukarela Fourier, kemelaratan dan penghisapan kaum buruh serta krisis-krisis

ekonomi merupakan akibat organisasi pekerjaan dan pertukaran dalam masyarakat

yang salah. Asal diorganisasikan dengan tepat, suatu masyarakat tanpa konflik dapat

diciptakan.

2.4. May Day: Bukan Perayaan!

Seperti yang sudah dikatakan diawal tulisan ini, bahwa May Day adalah

“Peringatan”, karena memang pergerakan buruh yang dibranding oleh sebutan May

Day tersebut adalah suatu keberhasilan atas usaha berdarah-darah untuk

menuntut pemenuhan hak dari para buruh/pekerja, yang salah satunya adalah

pengurangan jam kerja. Peringatan hari buruh sedunia selalu diperingati oleh gerakan

buruh yang ada di dunia.

Peringatan hari buruh ini merupakan peristiwa bersejarah bagi perjuangan kaum

buruh di dunia yang mana pada saat itu gerakan buruh berhasil mempersingkat jam

kerja yang dulunya bekerja selama 19 sampai 20 jam sehari. Peristiwa bersejarah

itulah yang setiap tahunnya di peringati oleh gerakan buruh di dunia, bahkan 1 Mei

dijadikan sebagai hari perjuangan kelas pekerja pada Kongres 1886 oleh Federation

of Organized Trades and Labour Unions.

Selain memberikan momen tuntutan 8 jam sehari, memberikan semangat

baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik massif di era tersebut. Tanggal

1 Mei dipilih karena pada tahun 1872, terjadinya aksi buruh yang sukses di Kanada,

yakni menuntut 8 jam kerja di Amerika Serikat dan diberlakukan mulai 1 Mei 1886.
Peringatan hari buruh di Indonesia sendiri juga disamakan dengan peringatan Hari

buruh Internasional, yakni 1 mei, yang disebut sebagai May Day.

Oleh pemerintah, May Day dilegitimasi menjadi hari libur nasional

melalui UU No. 1 Tahun 1951 Tentang Pernyataan Berlakunya UU Kerja Tahun

1948. Pasal 15 ayat 2 menyebutkan “Pada hari 1 Mei, buruh dibebaskan dari

kewajiban bekerja”. Lalu karena konstelasi perpolitikan di Era Orde Baru

berubah, maka peringatan Hari Buruh Internasional dilarang. Sejak saat itu,

peringatan 1 Mei tidak pernah diakui oleh pemerintah. Dan juga pada tanggal

1 Mei, Klas buruh/pekerja tidak lagi mendapatkan kebebasan dari kewajiban

untuk tidak bekerja/libur. Setelah Orde Baru jatuh melalui Reformasi, Hari buruh

berlangsung lagi namun masih secara informal, dan baru di legitimasi kembali pada

masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun baru-baru ini pemerintah kembali mencari celah untuk

menghilangkan konstelasi dari May Day itu sendiri, salah satunya dengan

membuat tanggal peringatan yang oleh pemerintah disebut “Perayaan” agar

menimbulkan kesan yang pemerintah inginkan, dengan sebutan “Hari Pekerja

Nasional” Pada Tanggal 20 Februari. “Pemerintah memang sengaja

mempropagandakan kalau hari buruh adalah hari perayaan, sehingga mengadakan

acara hura-hura yang notabenenya membuang-buang Anggaran Pendapatan dan

Pembelanjaan Negara (APBN).19” Serikat buruh sendiri diakui keberadaannya

dengan adanya legitimasi peraturan melalui Pasal 1 ayat 1 UU No. 21

Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh menyebutkan bahwa

“Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang terbentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat

bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna

memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan

pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan

keluarganya”.

2.5. Dampak May Day Saat Ini

2.5.1. Sistem pengupahan dan penetapan upah minimum

Perbedaan pandangan mengenai upah tersebut menyebabkan sering terjadi

perselisihan mengenai upah yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada buruh.

Pengusaha lebih memilih menggunakan upah minimum untuk menentukan upah

buruh karena selain menguntungkan, pemberian upah sedikit di atas upah minimum

dibenarkan oleh UndangUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan (UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003).

Di pihak lain, buruh merasa nilai upah minimum yang dibayarkan pengusaha

terlalu kecil, sehingga mereka harus bekerja lebih keras lagi untuk dapat hidup

sejahtera (Much Nurachmad, 2009). Pada dasarnya upah diberikan oleh pengusaha

kepada buruh dalam suatu hubungan kerja yang tertuang dalam suatu perjanjian kerja.

Penentuan besarnya upah tentunya harus disesuaikan dengan standar upah minimum

yang berlaku. Pemberian upah dari pengusaha kepada buruh pada dasarnya harus

memperhatikan 3 aspek, yaitu 1).

Aspek Teknis, merupakan aspek yang tidak hanya sebatas bagaimana

perhitungan dan pembayaran upah dilakukan tetapi menyangkut juga bagaimana

proses upah ditetapkan; 2). Aspek Ekonomis, suatu aspek yang lebih melihat pada
kondisi ekonomi, baik secara makro maupun mikro, yang secara operasional

kemudian mempertimbangkan bagaimana kemampuan perusahaan pada saat nilai

upah akan ditetapkan, juga bagaimana implementasinya di lapangan; 3). Aspek

Hukum, meliputi proses dan kewenangan penetapan upah, pelaksanaan upah,

perhitungan dan pembayaran upah, serta pengawasan pelaksanaan ketentuan upah

(Abdul Hakim, 2006). Ketiga aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain dan

dalam pelaksanaan pemberian upah salah satu aspek tidak dapat dihilangkan atau

dikesampingkan karena masingmasing aspek akan memberikan konsekuensi yang

berbeda-beda. Pelaksanaan Upah Minimun merupakan suatu kebijaksanaan yang

dikeluarkan oleh Pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kerja

dan kesejahteraan buruh.

Ketentuan Pasal 1 angka 1 Permenakertrans Nomor 7 Tahun 2013

menyebutkan, upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah

pokok, termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring

pengaman. Pasal 1 angka 2 menyebutkan pengertian Upah Minimum Provinsi yang

selanjutnya disingkat UMP adalah upah minimum yang berlaku untuk seluruh

kabupaten/kota di satu provinsi. Sedangkan pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa

Upah Minimum Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat UMK adalah upah

minimum yang berlaku di wilayah kabupaten/kota.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dilihat bahwa upah minimum yang telah

ditetapkan oleh Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja bersama Lembaga Tri

Partrit Nasional serta Lembaga Tri Partit Daerah, ditujukan untuk melindungi buruh.

Dalam realitanya, adanya penetapan upah minimum yang berbeda-beda ternyata telah
menimbulkan keresahan di kalangan buruh. Jika keadaan ini dibiarkan, tentunya para

pengusaha akan kesulitan memenuhi tuntutan buruh, akibatnya akan banyak PHK

yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah harus dapat menetapkan sistem

pengupahan yang berlaku secara nasional.

Dengan adanya suatu sistem pengupahan nasioal, diharapkan nantinya ada suatu

patokan atau tolok ukur untuk menentukan besaran upah yang dapat dijadikan standar

dalam penentuan besaran upah minimum.

Jika sudah tercipta suatu sistem pengupahan nasional yang disesuaikan dengan

besaran upah minimum yang disesuaikan dengan kondisi wilayah provinsi dan

kabupaten/kota diharapkan akan memberikan pengaruh yang sangat signifikan untuk

meningkatkan kesejahteran buruh. Dalam melaksanakan ketentuan upah minimum ini

tidak hanya melibatkan pihak Kementerian Tenaga Kerja saja, tetapi juga melibatkan

pihak-pihak lain yang terkait, diantaranya : Dewan Pengupahan Nasional (yang terdiri

dari para pakar, praktisi, dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam memberikan

masukan kepada Pemerintah); perwakilan dari asosiasi pengusaha, sebagai wakil dari

pengusaha; Serikat Pekerja/Serikat Buruh dari unit keja perusahaan yang

bersangkutan, sebagai wakil dari buruh. Pihak-pihak tersebut mempunyai tugas untuk

menentukan besarnya tingkat upah minimum yang berlaku pada suatu saat tertentu

dan mengamati apakah standar tingkat upah minimum tersebut sudah dapat menjamin

kesejahteraan buruh atau tidak.

2.5.1. Penetapan Struktur dan Skala Upah


Sistem pengupahan merupakan kerangka bagaimana upah diatur dan diterapkan.

Sistem pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan pada 3 (tiga) fungsi upah,

yaitu mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang, menjamin kehidupan yang

layak bagi buruh dan keluarganya dan menyediakan uang insentif untuk mendorong

peningkatan produksi kerja. Salah satu permasalahan yang timbul dalam sistem

pengupahan adalah belum ada penetapan mengenai struktur dan skala upah, apalagi

belum semua perusahaan memiliki struktur dan skala upah yang seragam. Pada

dasarnya penyusunan struktur dan skala upah telah diatur dalam Keputusan Menteri

dan Transmigrasi Nomor.Kep-49/Men/IV/2004 tentang Struktur dan Skala Upah

(Kepmenakertrans No. 49/Men/IV/2004). Meskipun sudah diatur dalam tataran

Keputusan Menteri, namun belum implementatif. Pasal 1 Kepmenakertrans No.

49/Men/IV/2004 menyebutkan bahwa struktur upah adalah susunan tingkat upah (dari

yang terendah sampai yang tertinggi atau sebaliknya dari yang tertinggi sampai yang

terendah). Sedangkan, skala upah adalah kisaran nilai nominal upah menurut

kelompok jabatan.

Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 disebutkan bahwa penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan

sebagai pedoman penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah tiap buruh serta

untuk mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan yang

bersangkutan. Demikian juga, dalam ketentuan Pasal 10 Kepmenakertrans No.

49/Men/IV/2004 disebutkan kembali dalam Lampiran Kepmenakertrans bahwa

Petunjuk Teknis Penyusunan Struktur dan Skala Upah merupakan pedoman (acuan)

dalam penyusunan struktur dan skala upah yang dilakukan (disusun) dengan
memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi kerja

serta dengan mempertimbangkan kondisi (kemampuan) perusahaan. Berdasarkan

uraian tersebut, tidak ada ketentuan yang mewajibkan atau mengharuskan pen

yusunan struktur dan skala upah dengan pengenaan suatu sanksi tertentu.

2.5.2. Kesejahteraan Buruh

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pemberian upah yang layak merupakan

salah satu faktor utama bagi buruh dalam membantu mewujudkan ketenangan kerja,

kemampuan berusaha, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pihak buruh

mengharapkan adanya kenaikan besaran upah minimum setiap tahunnya untuk

mendorong tingkat produktifitas dan peningkatan kesejateraan buruh. Untuk

menunjang hal tersebut, penetapan upah di atas kebutuhan hidup minimum buruh

dalam suatu sistem pengupahan nasional sangat penting diberlakukan.

Tentunya dengan mempertimbangkan faktor penunjang, seperti KHL,

produktivitas, pertumbuhan ekonomi, kondisi pasar kerja, kemampuan bayar

perusahaan, serta kondisi dan kemampuan masing-masing daerah. Penetapan upah

melalui sistem pengupahan nasional juga diarahkan untuk meningkatkan

kesejahteraan buruh dan mengupayakan pemerataan pendapatan dalam rangka

menciptakan kesejahteraan sosial. Upah yang diterima buruh diharapkan tidak hanya

dapat memenuhi kesejahteraan buruh, namun dapat memenuhi kesejahteraan anggota

keluarganya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk dapat mengetahui tingkat

kesejahteraan seorang buruh adalah dilihat dari sampai sejauh mana kebutuhan fisik

minimum buruh tersebut dapat terpenuhi (sandang, pangan, dan papan), maka

kesejahteraan buruh sudah terpenuhi Apabila buruh dapat memenuhi kebutuhan


tersebut dengan baik, maka dapat dikatakan bahwa kesejahteraan buruh sudah dapat

terpenuhi. Akan tetapi pemenuhan kesejahteraan yang dimaksud bukan hanya

kesejahteraan bagi diri buruh saja, melainkan juga pemenuhan kesejahteraan bagi

keluarganya. Sebab tujuan buruh bekerja bukanlah hanya untuk dirinya sendiri,

namun juga untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan keluarganya.

Dengan demikian, penentuan tingkat upah minimum ini harus memjadi prioritas

utama dari pengusaha, karena upah minimum yang akan diterima buruh sangat

berkaitan erat dengan kesejahteraan yang akan dicapainya. Dengan memperhatikan

kesejahteran buruh sebagai prioritas utama, maka diharapkan agar dinamika, inisiatif,

dan inovasi dari kalangan buruh akan tumbuh sehingga akan tercipta iklim kerja yang

baik diantara buruh dan pengusaha. Di samping itu, jika standar upah minimum dan

sistem pengupahan nasional sudah dapat diwujudkan, maka secara otomatis buruh

akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya dengan baik pula,

sehingga kesejahteraan buruh akan dapat tercapai.


BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Memang pertumbuhan ekonomi adalah penting, tetapi tidak cukup

untuk menjamin persamaan, perkembangan sosial dan pemberantasan

kemiskinan. Lalu secara umum dan keseluruhan dapat ditarik kesimpulan

bahwa pergerakan- pergerakan serta aksi-aksi dalam bentuk apapun yang

dilakukan oleh buruh, yang apabila diintervensi dengan hal-hal politis, maka dengan

sendirinya akan kehilangan sifat alamiah serta mendasar dari gerakan-gerakan

buruh itu sendiri. Hal itu juga tentunya menjadi sebuah pembelajaran bagi

orang-orang yang bergerak diranah koordinasi gerakan buruh ataupun para

buruh itu sendiri, untuk lebih cerdas atau setidak-tidaknya dapat berorganisasi

dengan lebih baik dan mampu melakukan tindakan atau ajakan-ajakan yang

dapat menimbulkan kesadaran atas hak-haknya, hak pribadi masing-masing buruh

maupun hak buruh secara keseluruhan.

3.2. Saran

Makalah ini dapat memberi manfaat bagi masyarakat karena memberikan

informasi pengetahuan tentang hari buruh internasional (May Day). Dalam hal

penulisan sebaiknya harus memberikan informasi yang akurat agar dapat dipahami

dengan baik serta penulisannya lebih diperbaiki lagi.


DAFTAR PUSTAKA

di Setyoutomo. Suatu Tinjauan Tentang Tenaga Kerja Buruh Di Indonesia.


Idi Setyoutomo. Suatu Tinjauan Tentang Tenaga Kerja Buruh Di Indonesia.
Journal The Winners, Vol. 6 No.1, Maret 2005
Journal The Winners, Vol. 6 No.1, Maret 2005.

Lichtheim, George 1969, Ursprunge des Sozialisme, Gutersloh: Bertelsmann.Pages


240. Dalam buku Magnis-Suseno, Franz, 1999, Pemikiran Karl Marx: Dari
Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. Hal 17-18.

Lichtheim, George 1969, Ursprunge des Sozialisme, Gutersloh: Bertelsmann. Pages


240. Dalam buku Magnis-Suseno, Franz, 1999, Pemikiran Karl Marx: Dari
Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. Hal 39, 45.

Magnis-Suseno, Franz, 1999, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke


Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 99-100

Anda mungkin juga menyukai