Anda di halaman 1dari 10

PRA KERASULAN NABI MUHAMMAD

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Fiqih Sirah Nabawi

Dosen Pengampu : Drs. Khusaeri, M. Ag

Disusun oleh :

Qurrota A’yun Syifa Krisna Putri (211111035)

Yuliana Sari (211111040)

Puji Lestari Wahyuningsih (211111066)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TASFIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA

LATAR BELAKANG

Sirah nabawiyah merupakan ungkapan tentang risalah yang dibawa Rosulullah SAW
kepada manusia, untuk menuntun mereka dari jalan kegelapan kepada cahaya. Tujuan
mempelajari sirah nabawiyah bukan hanya untuk mengetahui peristiwa- peristiwa sejarah
yang menjelaskan kisah kisah nabi Muhammad SAW. Secara Khusus tujuan mempelajari
sorah nabawiyah adalah agar setiap muslim mendapatkan gambaran mengenai hakikat islam
yang tercermin dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. Hal terpenting yang menjadikan
sirah nabawiyah cukup memenuhi semua sasaran adalah bahwa seluruh kehidupan nabi
Muhammad meliputi seluruh aspek sosial dan kemanusiaan baik secara individu maupun
masyarakat. Kehidupan Rasulullah memberikan kepada kita contoh contoh mulia yang
mengarahkan segala kemampuan untuk menyampaikan risalahnya. Maka dari itu kami perlu
menjelaskan sedikit uraian tentang kaum bangsa Arab dan perkembangannya sebelum islam
dn kondisi saat Rosulullah diutus sebagai rosul.

II

RUMUSAN MASALAH

1. Apa sajakah nadzar dan pengorbanan dari Abdul muthalib?


2. Bagaimana sejarah pernikahan Abdullah dan Aminah?

III

PEMBAHASAN

A. Nadzar dan Pengorbanan

Arab Quraisy merupakan salah satu suku dari bangsa Arab yang tinggal di Makkah.
Sebelum Arab Quraisy, Makkah dikuasai oleh Suku Khuza’ah atau Bani Khuza’ah. Pendiri
dari Suku Quraisy adalah Qurshai bin Kilab yang masih merupakan keturunan dari
Nabi Ismail dari garis keturunan anak laki-lakinya1. Dalam sejarah dijelaskan bahwa
kebanggaan orang-orang Arab adalah memiliki harta dan keturunan yang banyak. Dua aspek
kehidupan tersebut harus didapat oleh orang Arab Quraisy dalam meraih kehormatan dalam
kehidupan sosial budaya mereka. Harta untuk menunjang kekuatan dari aspek material dan
keturunan menunjang kekuatan sumber daya manusia mereka untuk bersaing di berbagai
bidang2.

Sebagai keturunan keluarga besar Qushay bin Kilab, Abdul Muthalib mempunyai
tanggung jawab besar tentang segala bentuk yang berkaitan dengan Kabah. Termasuk soal
penyediaan air minum bagi jamaah yang tengah melaksanakan haji. Sebelum menemukan
sumur Zamzam, Abdul mengambil air dari sumur-sumur di luar Makkah yang kemudian
ditampungnya di wadah air yang ada di sekitar Kabah.

Suatu hari Makkah tengah mengalami paceklik. Masalah ini tentunya membuat Abdul
Muthalib bingung karena ribuan jamaah haji akan segera datang ke Makkah. Abdul Muthalib
mengumpulkan para kabilah Quraishy untuk memecahkan permasalahan ini secepatnya.
Mereka pun mendiskusikan ini di rumah Abdul Muthalib. Di tengah perbincangan, mereka
teringat akan kabar sumur yang tak pernah habis sepanjang masa. Sumur itu bernama
Zamzam. Sayangnya, sumur itu dikabarkan telah berabad-abad hilang dan tak ada yang tahu
persis letak lokasi sumur itu berada.

Namun di tengah kegalauan Abdul Muthalib, mukjizat diturunkan Allah SWT kepadanya.
Lewat mimpinya, Abdul Muthalib seolah diarahkan untuk menemukan sumur Zamzam.
Dalam mimpinya berkali-kali itu, Abdul Muthalib diperintahkan untuk menggali sumur
Zamzam. Ibnu Hisyam menyebutkan, "Ketika Abdul Muthalib tidur di Hijir, dia mimpi
didatangi seseorang dan disuruh untuk menggali sumur Zamzam."

Dalam mimpinya Abdul Muthalib mengaku bertemu dengan sesosok orang yang
menyuruhnya segera menggali sumur Zamzam. "Ketika aku sedang tidur di hijir Ismail, aku
mendengar suara, "Galilah Thayyibah (Zamzam)!" "Apa itu Thayyibah?" tanya Abdul dalam
mimpinya. "Tetapi kemudian orang itu pergi dan besoknya ketika tidur, aku kembali
mendengar suara yang sama," kata Abdul Muthalib. "Galilah Birrah (Zamzam)!" seru sosok
itu. "Apa itu Birrah?" tanya Abdul Muthalib." Tetapi orang itu kembali pergi. Keesokan
harinya, ketika aku tidur aku mendengar lagi suara yang sama," kata Abdullah. "Galilah Al-

1
Mahmood Ibrahim, Merchant Capital and Islam, (Austin: University of Texas Press, 1990), 36.
2
Jawwad Ali, Sejarah Arab Sebelum Islam Jilid 4: Kondisi Sosial Budaya, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2018,)489.
Madhnunah!" kembali seru sosok itu. "Kemudian orang itu pergi. Besoknya, ketika aku tidur,
orang itu datang lagi dan berkata yang sama," kata Abdul Muthalib.

"Galilah Zamzam?" "Apa itu Zamzam?" "Air yang tidak kering dan tidak meluap, dengannya
engkau bisa memberi minum para jamaah haji. Letaknya di bawah timbunan tahi binatang
dan darah. Ada di paruh gagak yang tuli, di sarang semut."

Demikianlah mimpi itu menunjukkan kepada Abdul Muthalib letak terkuburnya


sumur Zamzam. Ada pun maksud dari "Di antara kotoran darah" adalah airnya
mengenyangkan dan menyembuhkan penyakit. Sementara kata "Sarang semut" mempunyai
banyak makna, di antaranya Zamzam sebagai mata air di Mekkah akan dikerumuni orang-
orang yang melaksanakan haji dan umrah dari setiap penjuru laksana semut mengerumuni
sarangnya.

Saat itu pembesar Quraisy menentang keras hasrat Abdul Muthalib menggali sumur Zamzam
dikarenakan letaknya yang berada di antara dua berhala, Ash dan Nailah. Selain itu, mereka
juga mengetahui Abdul Muthalib tidak mempunyai apa dan siapa, kecuali seorang anak laki-
laki yaitu Al-Harits. Hal ini membuat Abdul Muthalib tidak berdaya.

Oleh alasan itulah, Abdul Muthalib pernah bernadzar untuk berkorban jika dia
memiliki sepuluh anak. Nadzar tersebut diucapkan oleh Abdul Muthalib ketika dia merasa
kesulitan dalam merenovasi sumur Zamzam setelah ditemukan olehnya. Dia pun
bernadzar, “Jika aku dikaruniai sepuluh anak laki-laki, dan setelah mereka dewasa mampu
melindungiku saat aku menggali Zamzam, maka aku akan menyembelih salah seorang dari
mereka di sisi Kabah sebagai bentuk korban” Waktu proses renovasi dia hanya dibantu
seorang anak laki-lakinya bernama al-Harits3. Faktanya Abdul Muthalib memang hanya
memiliki satu orang anak laki-laki. Setelah nadzar tersebut diucapkan, Abdul Muthalib
memiliki banyak anak baik laki-laki dan perempuan dan diduga bahwa Abdullah adalah anak
kesepuluh Abdul Muthalib.

Abdul Muthalib menikahi tiga orang perempuan diantaranya istri pertama adalah
Sumrah binti Junaidib dan memiliki seorng anak laki-laki bernama al-harits. Setelah
menikahi Sumrah binti Junaidib dalam waktu yang lama Abdul muthalib kemudian menikahi
wanita dari bani makhzum bernama Fatimah binti amr. Dari pernikahannya abdul Muthalib
mendapatkan banyak anak yaitu tiga anak laki-laki dan lima anak perempuan.

3
oli Hemdi, Sejarah Ketelaanan Nabi Muhammas SAW: Memahami Kemuliaan Rasulullah Berdasarkan Tafsir
Mukjizat al-Quran, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2021), 88.
Nama-nama mereka adalah Abu Thalib, al-Zubair, Abdullah, Umaimah, Atikah,
Barrah, Arwa, dan al-Baidha’. Setelah menikahi Fatimah, Abdul Muthalib menikahi Lubna
binti Hajir. Dari pernikahannya dengan Lubna, Abdul Muthalib mempunyai seorang
anak saja yaitu Abdul Uzza atau Abu Lahab. Kemudian Abdul Muthalib menikahi Natilah
binti Janab. Dari pernikahannya Abdul Muthalib mempunyai dua anak laki-laki yaitu Dhirar
dan al-Abbas. Setelah menikahi Natilah, Abdul Muthalib menikahi Halah binti Wahib,
Dari pernikahnnya dari Halah binti Wahib, Abdul Muthalib dikaruniai dua orang anak
yaitu Hamzah dan Shafiyah. Halah binti Wahib sendiri adalah sepupu dari Aminah, ibu
Rasulullah. Istri terakhir Abdul Muthalib adalah Mumanna’ah binti Amr dari Bani
Khuza’ah. Dari perkawinannya dengan wanita tersebut, abdul muthalib mempunyai anak satu
orang laki-laki Al-ghaidaq dan meninggal sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah.

Saat anak-anak berjumlah sepuluh orang dan tahu tidak lagi punya anak, maka abdullah
memberitahukan nadzar yang pernah diucapkannya kepada anak-anaknya. Lalu anak Abdul
Muthalib mematuhi perintah ayahnya, kemudian Abdul Muthalib menulis nama nama mereka
di anak panah kemudian diundi dan diserahkan kepada patung Hubal. Setelah anak panah itu
dikocok keluarlah nama anak Abdullah. Setelah itu Abdul Muthalib menuntun Abdullah
sambil membawa parang berjalan menuju ka’bah untuk menyembelih anaknya tersebut.
Namun orang-orang Quraisy mencegahnya terutama paman dari pihak ibu yang berasal dari
Bani Makhzum dan saudaranya Abu Thalib.Abu Thalib kebingungan dan bertanya “kalau
begitu apa yang harus aku lakukan mengenai nadzar ku ini?”

Mereka mengusulkan untuk menemui dukun perempuan dan sesampainya di tempat


dukun itu Abdul Muthalib diperintahkan untuk mengundi Abdullah dengan sepuluh ekor
unta. Apabila yang keluar nama Abdullah, maka dia harus menambahnya lagi dengan sepuluh
ekor unta sampai Allah ridha. Jika yang keluar adalah nama unta maka unta unta itulah yang
disembelih. Setelah dari rumah dukun itu Abdul Muthalib lalu mengundi nama Abdullah
dengan unta. Pada kocokan pertama yang keluar adalah nama Abdullah setiap kali diadakan
undian berikutnya yang keluar adalah nama Abdullah, sampai jumlahnya mencapai seratus
ekor unta. Pada kocokan terakhir yang keluar adalah nama unta, maka unta unta tersebutlah
yang disembelih sebagai pengganti Abdullah. Daging daging unta tersebut dibiarkan begitu
saja bahkan tidak boleh disentuh oleh manusia maupun binatang. Pada dasarnya tebusan
pembunuhan yang berlaku di kalangan Quraisy dan Bangsa Arab adalah sepuluh ekor unta.
Tetapi setelah dari kejadian tersebut jumlahnya berubah menjadi seratus ekor unta yang juga
diakui oleh islam.

B. Pernikahan

Pernikahan Abdullah dan Aminah terjadi pada tahun 569 M. Sebagian dari periwayatan
menyebutkan, bersamaan dengan hari disembelihnya 100 ekor unta untuk menggantikan
posisi Abdullah, Abdul Muththalib membawa satu ekor unta yang telah disembelihnya ke
rumah Wahab bin Abdu Manaf, ketua kabilah Bani Zuhrah dan melamar putrinya Aminah
binti Wahab yang saat itu dipandang sebagai semulia-mulianya perempuan Qurays dari sisi
nasab dan kedudukan untuk dinikahkan dengan Abdullah.

Pagi itu memang hari yang membahagiakan bagi Muththalib dan Bani Hasyim. Dia akan
menikahkan Abdullah, salah satu anak dari 13 anaknya. Mengenakan pakaian terbaik, dia
menggandeng Abdullah, anak lelakinya yang berusia 25 tahun menyusuri pinggiran kota
Mekkah menuju rumah Aminah. Tapi sebelum tiba di kediaman mempelai perempuan,
mereka harus melewati permukiman Bani Asad, salah satu dari Suku Quraisy yang
mempertahankan kepercayaan Nabi Ibrahim AS di tengah masyarakat yang Jahiliyah.

Pada saat itulah, mereka bertemu dengan Qutaylah yang tampaknya sengaja menunggu di
pintu rumahnya yang terbuka separuh. Dialah perempuan yang di kalangan masyarakat
Quraisy, bukan saja terkenal karena kecantikan wajah dan perilakunya, melainkan juga
karena kabilahnya, Bani Asad, adalah kabilah alim, ahli kitab. Selain Qutaylah, nama-nama
tersohor dari kabilah itu antara lain Khadijah ra. dan Waraqah

Qutaylah tak bisa menahan diri untuk tidak menyapa Abdullah. Saudara perempuan
pendeta Waraqah itu terang-terangan meminta Abdullah agar menjadikan dirinya sebagai
istri, ketika pada suatu pagi, Abdullah yang digandeng oleh ayahnya, Abdul Muthallib
berjalan terburu-buru melintas di jalan di depan halaman rumahnya. Wajah Abdullah
memerah oleh lamaran spontan Qutaylah, dan dengan tersipu dia menjawab dirinya akan
menikahi Aminah, perempuan dari Bani Zuhra. Qutaylah sudah menduga Abdullah akan
menolaknya tapi dia tak mengira Abdullah akan menikahi Aminah. Maka mendengar
jawaban Abdullah, Qutaylah tak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya terus berdiri di pintu
rumahnya. Abdullah memang menarik perhatiannya. Pemuda dari Bani Hasyim itu juga
terkenal di masyarakat Mekkah sebagai pemuda tampan meskipun bukan soal itu yang
menarik perhatian Qutaylah.

Muhammad ibn Ishaq di buku Sirah Rasul Allah, Kehidupan Nabi edisi Wustendfeld
menggambarkan, pagi itu, Qutaylah melihat cahaya pada wajah Abdullah yang seolah
memancar dari luar dunia. Dan mata Qutaylah tak berhenti melihat Abdullah bahkan ketika
lelaki dan bapaknya itu sudah berjalan menjauh dari halaman rumahnya.

Dia kembali berjumpa dengan Abdullah sehari setelah Abdullah menikahi Aminah, ketika
laki-laki itu kembali melewati jalan di depan rumahnya, tapi Qutaylah tak mau lagi menyapa
kendati matanya tetap menatap tajam. Abdullah keheranan dengan perubahan sikap Qutaylah,
dan ketika dia bertanya penyebabnya, Qutaylah menjawab: “Cahaya yang ada padamu
kemarin telah hilang. Hari ini engkau tak lagi bisa memenuhi harapanku.” Abdullah
bertambah heran. Sesungguhnya cahaya yang terpancar dari wajah Abdullah adala nur yang
Agung kekasih Allah, telah berpindah ke rahim yang mulia Sayidah Aminah.

C. Suka duka Abdullah dan Aminah

Setelah melangsungkan pernikahan dengan Aminah binti Wahb, pada malam pertama
Aminah terbangun dalam tidurnya karena bermimpi seperti ada pancaran cahaya yang berasal
dari dirinya dengan lembut yang menerangi dunia. Melihat istana-istana seperti di Negeri
Syam. Selain itu, terdengar pula suara yang berkata kepadanya, " Sesungguhnya, engkau
telah mengandung Utusan umat manusia." Kemudian Aminah menceritakan mimpinya
tersebut kepada Abdullah. Aminah kembali teringat ramalan dari seorang juru ramalan
Quraisy yaitu Sauda' binti Zahrah al-Kilabiyyah, yang mengatakan kepada Bani Zahrah
sambil menunjuk kepada Aminah: " Sungguh diantara kalian akan ada seorang pembawa
peringatan."

Selang 1 bulan pernikahan setelah kejadian mimpi itu Aminah pun mengandung.

Aminah menyambutnya dengan sangat gembira dan ingin segera memberitahu Abdullah
mengenai kabar gembira tersebut. Namun, Abdullah masih berada di Madinah karena
mengurus kebun kurma milik Abdul Muthalib4.

Ketika beliau sedang dalam pejalnan berdagang membawa kafilah pedagang Quraisy menuju
ke Syam,saat perjalanan pulang, Abdullah tiba-tiba sakit sehingga ia memutuskan untuk
4
Hamami, Dr. Bassam Muhammad. 2015. 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam. Jakarta: Qisthi Press.
beristirahat terlebih dahulu dikota Yatsrib kurang lebih selama satu bulan. Sementara itu
rombongan yang lainnya tetap melanjutkan perjalanan pulang menuju ke Mekkah, dan
mereka hendak memberikan kabar mengenai kondisi Abdullah yang saat itu sedang jatuh
sakit.

Setelah mendengar kabar bahwa anknya sakit, Abdul Muthalib segera mengutus putranya
yang paling tua bernama Harist untuk menyusul ke kota Yatsrib dan melihat keadaan
Abdullah. Namun sesampainnya Harist di kota Yatsrib, ternyata Abdulah telah meninggal
dunia. Abdullah sakit dan wafat serta dikuburkan di kota Madinah ditempat keluarga
neneknya bani Adi bin Najaar, Ketika melakukan perjalanan pulang berdagang dikota
madinah. Dia dimakamkan dirumah An-Nabigha-Ju’di. Ia berumur dua puluh lima tahun.
Disaat itulah, Abdullah meninggalkan Aminah ketika mengandung Nabi Muhammad dua
bulan. Abdullah juga meninggalkan kekayaan sangat sedikit, yakni lima untaa, sejumlah kecil
kambing, seorang hamba sahaya yaitu Ummu Aiman yang kelak akan menjadi pengasuh
nabi.

PENUTUP

1. Kesimpulan
Berdasarkan sejarah, Abdul Muthalib pernah bernadzar bahwa dia akan
mengorbankan salah satu anaknya, apabila dia diberi sepuluh anak laki-laki. Pada
akhirnya, keinginannya pun tercapai, dan Abdullahlah yang akan dikorbankan. Namun,
hal tersebut dapat dicegah oleh Abdul Muthalib dengan menggantikan Abdullah dengan
100 ekor unta untuk disembelih. Pernikahan Abdullah dan Aminah yang terjadi pada
tahun 569 H, dimana pada saat itu Aminah dikenal sebagai sosok wanita yang dipandang
sebagai semulia-mulianya perempuan Quraisy. Namun, tak berapa lama menikah
Abdullah diutus oleh Abdul Muthalib ke Mekah untuk mengurus kebun kurmanya.
Ketika dalam perjalanan berdagang menuju Syam, Abdullah jatuh sakit dan beristirahat
di kota Yatsrib. Abdul Muthalib pun mengutus Harits untuk melihat kondisi Abdullah,
tetapi ketika sampai di Yatsrib Abdullah ternyata sudah meninggal. Abdullah meninggal
di umur 25 tahun dan dimakamkan di kota Madinah, tepatnya di rumah An-Nabigha Ju'di.
Disaat itulah Abdullah meninggalkan Aminah disaat mengandung Nabi Muhammad dua
bulan dan meninggalkan sedikit kekayaan.
DAFTAR PUSTAKA

Al Mubarakfuri, Syaikh Syafiyurrahman. 2012. Sirah Nabawiyah. Jakarta Timur: Pustaka Al


Kautsar.

Al Buthy, Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan. 2002. Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah
Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW. Jakarta: Robbani Press.

Bambang Qomaruzan, 2019. MenemukanBenih Muhammad. Bandung : Pustaka Aura


Semesta

Anda mungkin juga menyukai