OLEH
SAFITRI
221030230347
PEMBIMBING
OLEH
SAFITRI
221030230347
PEMBIMBING
TAHUN 2022
DISUSUN OLEH:
SAFITRI
NIM. 221030230347
Istilah Benign prostatic hyperplasia (BPH), yang biasa dikenal dengan nama benign
prostatic hypertrophy, adalah diagnosis histologis yang ditandai dengan proliferasi
elemen seluler prostat, yang menyebabkan kelenjar prostat membesar1 yaitu adanya
hiperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat. Banyak faktor yang diduga berperan
dalam proliferasi/ pertumbuhan jinak kelenjar prostat. Pada dasarnya BPH tumbuh pada
pria yang menginjak usia tua dan memiliki testis yang masih menghasilkan testosteron.
Di samping itu, pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), pola diet, mikrotrauma,
inflamasi, obesitas, dan aktivitas fisik diduga berhubungan dengan proliferasi sel kelenjar
prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor tersebut mampu memengaruhi sel prostat
untuk menyintesis growth factor, yang selanjutnya berperan dalam memacu terjadinya
proliferasi sel kelenjar prostat.
Sementara itu, istilah Benign Prostatic Enlargement (BPE) merupakan istilah klinis yang
menggambarkan bertambahnya volume prostat akibat adanya perubahan histopatologis
yang jinak pada prostat (BPH). Diperkirakan hanya sekitar 50% dari kasus BPH yang
berkembang menjadi BPE. Pada kondisi yang lebih lanjut, BPE dapat menimbulkan
obstruksi pada saluran kemih, disebut dengan istilah Benign Prostatic Obstruction (BPO).
BPO sendiri merupakan bagian dari suatu entitas penyakit yang mengakibatkan obstruksi
pada leher kandung kemih dan uretra, dinamakan Bladder Outlet Obstruction (BOO).
Adanya obstruksi pada BPO ataupun BOO harus dipastikan menggunakan pemeriksaan
urodinamik.
1. Anatomi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak disebelah inferior
buli-buli di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah
kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram. Kelenjar prostat
yang terbagi atas beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona
transisional, zona fibromuskuler, dan zona periuretra. Sebagian besar hiperplasia
prostat terdapat pada zona transisional (Reynard J, 2006).
Kelenjar postat merupakan organ berkapsul yang terletak dibawah kandung kemih
dan ditembus oleh uretra. Uretra yang menembus kandung kemih ini disebut uretra
pars prostatika. Lumen uretra pars prostatika dilapisi oleh epitel transisional
(Eroschenko, 2008).
Mc. Neal Melakukan analisa komparatif tentang zona prostat melalui potongan
sagital, koronal dan koronal obliq yaitu :
a. Stroma fibromuskular anterior Merupakan lembaran tebal yang menutupi
seluruh permukaan anterior prostat. Lembaran ini merupakan kelanjutan
dari lembaran otot polos disekitar urethra proksial pada leher buli,
dimana lembaran ini bergabung dengan spinkter interna dan otot
detrusor dari tempat dimana dia berasal. Dekat apeks otot polos ini
bergabung dengan striata yang mempunyai peranan sebagai spinkter
eksterna.
b. Zona Perifer Merupakan bagian terbesar dari prostat. Zona ini terdiri atas
65-67 % dari seluruh jaringan prostat. Hampir semua karsinoma berasal
dari zona ini.
c. Zona sentral Zona sentral mengelingi ductus ejakularis secra penuh diatas
dan dibelakang verumontanium. Mc. Neal membedakan zona ini sentral
dan zona perifer berdasarkan arsitektur sel dan sitologinya.
d. Zona Transisional Merupakan sekelompok kecil ductus yang berasal dari
suatu titik pertemuan urethra proksimal dan distal. Besarnya 5 % dari
seluruh massa prostat. Pada zona ini asiner banyak mengalami proliferasi
dibandingkan ductus periurethra lainnya.
2. Fisiologi
Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang tergantung
kepada pengaruh endokrin. Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah,
sedangkan bagian tepi peka terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian
tengahlah yang mengalami hiperplasi karena sekresi androgen berkurang sehingga
kadar estrogen relatif bertambah. Sel-sel kelenjar prostat dapat membentuk enzim
asam fosfatase yang paling aktif bekerja pada pH 5. Kelenjar prostat mensekresi
sedikit cairan yang berwarna putih susu dan bersifat alkalis. Cairan ini mengandung
asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan koagulase serta fibrinolisis. Selama
pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat akan berkontraksi bersamaan
dengan kontraksi vas deferen dan cairan prostat keluar bercampur dengan semen yang
lainnya. Cairan prostat merupakan 70% volume 12 cairan ejakulat dan berfungsi
memberikan makanan spermatozon dan menjaga agar spermatozon tidak cepat mati di
dalam tubuh wanita, dimana sekret vagina sangat asam (pH: 3,5-4). Cairan ini
dialirkan melalui duktus skretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian
dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan
prostat kurang lebih 25% dari seluruh volume ejakulat. Dengan demikian sperma
dapat hidup lebih lama dan dapat melanjutkan perjalanan menuju tuba uterina dan
melakukan pembuahan, sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH cairan
sekitarnya meningkat 6 sampai 6,5 akibatnya mungkin bahwa cairan prostat
menetralkan keasaman cairan dan lain tersebut setelah ejakulasi dan sangat
meningkatkan pergerakan dan fertilitas sperma (Wibowo dan Paryana, 2009 )
C. Klasifikasi
D. Etiologi
Saat ini etiologi BPH belum sepenuhnya dimengerti. Terdapat banyak pendapat tentang
hal ini. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat
adalah:
1. Teori Dihidrotestosteron
Pertumbuhan sel kelenjar prostat sangat dibutuhkan suatu metabolit androgen
yaitu dihidrotestosteron (DHT). Dihidrotestosteron dihasilkan dari reaksi
perubahan testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan
bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah berikatan dengan reseptor androgen
(RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis
protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat (Purnomo,
2012).
2. Ketidakseimbangan antara Estrogen-Testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan kadar estrogen
relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen: progesteron relatif
meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen didalam prostat berperan didalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan
jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah meskipun rangsangan
terbentuknya selsel baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel
prostat yang telah ada .
3. Interaksi Stromal-Epitel
Differensasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol
oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator tertentu (growth factor). Setelah sel
stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis
suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri
secara intrakrin atau autokrin serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin.
Stimulasi itu sendiri menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel
stroma (Purnomo, 2012).
4. Berkurangnya Kematian Sel Prostat
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologi
untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Saat pertumbuhan prostat
sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan
yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan
menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat
(Purnomo, 2012).
5. Teori Sel Stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk selsel
baru. Didalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berproliferasi sangat ektensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung
pada keberadaan hormon androgen sehingga jika hormon ini kadarnya menurun
seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan apoptosis. Terjadinya proliferasi
sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem
sehingga terjadi produksi yang berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel
(Purnomo, 2012).
6. Teori Inflamasi Sejak tahun 1937
Terdapat hipotesa bahwa BPH merupakan peyakit inflamasi yang dimediasi oleh
proses imunologi. Uji klinis terbaru juga menunjukkan adanya hubungan antara
proses inflamasi pada prostat dengan LUTS (Purnomo, 2012). Dikatakan bahwa
pasien dengan prostatitis memiliki risiko delapan kali lebih besar untuk terjadinya
BPH (Krieger, 2008).
E. Patofisiologi
Patologis BPH ditandai dengan pertumbuhan kelenjar hiperplastik dan stroma yang
bergabung menjadi nodul mikroskopis dan makroskopis di kelenjar prostat. Ada lima
jenis umum dari nodul BPH, yaitu Fibromyoadenomatous (umum), Fibroadenomatous,
Fibrous/fibrovaskular, Fibromuskular, dan Muskular (jarang). Umumnya BPH terdiri
dari kelenjar (mengandung sebagian besarsel kelenjar prostat), campuran (mengandung
stroma dan sel epitel kelenjar), dan stroma (yang hanya berisi sel stroma). Nodul awal
yang berkembang pada BPH ditemukan di daerah periuretra dan biasanya stroma, terdiri
dari jaringan fibrosa dan beberapa otot polos. Pada beberapa kasus, nodul BPH dapat
ditemukan di zona perifer, yang dapat teraba dengan pemeriksaan colok dubur, dan
biasanya terdiri dari unsur-unsur kelenjar epitel. Kurangnya unsure kelenjar di nodul
stroma BPH, dan pengamatan perbedaan zona diawal nodul BPH menyebabkan etiologi
yang berbeda dari nodul stroma dibandingkan dengan BPH komponen kelenjar. Ketika
zona transisi membesar secara makroskopik, karena pertumbuhan BPH nodular, keadaan
ini dapat menghambat aliran urin melalui uretra prostat dan karenanya menjadi LUTS
(Nicholson & Ricke, 2012).
F. Tanda dan Gejala
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan
diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu:
keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan
gejala di luar saluran kemih.
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah :
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih
sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran
miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas
(menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi
yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
c. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa
adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang
(merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda
infeksi atau urosepsis.
d. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan
miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan
tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat
didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal
ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang besar.
G. Pemeriksaan Diagnostik
H. Penatalaksanaan
Adanya darah dalam urin. Adalah normal untuk melihat darah dalam urin
segera setelah operasi. Hubungi dokter jika darah dalam urin terlihat tebal
seperti saus tomat, dan perdarahan tampaknya memburuk atau aliran urin
tersumbat. Gumpalan darah dapat menghalangi aliran urin.
Rasa sakit pada saat buang air kecil. Pasien dapat mengalami rasa perasaan
urgensi atau sering perlu buang air kecil disertai dengan rasa sakit, yang
umumnya akan membaik dalam 6-8 minggu.
I.
BAB II
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan pengumpulan informasi subjektif dan objektif, dan peninjauan
informasi riwayat pasien pada rekam medik. Informasi subjektif, misalnya dengan
wawancara pasien/ keluarga. Sedangkan informasi objektif, misalnya dengan pengukuran
tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik (Herdman, 2015). Data yang perlu dikaji yaitu :
1. Identitas Pasien
Meliputi nama klien, umur, pendidikan, suku bangsa, pekerjaan, agama, alamat
rumah, nama suami/penanggung jawab.
2. Diagnosa dan informasi medik
Tanggal masuk, no mr, ruang rawat, diagnosa medik, alasan masuk RS, yang
merujuk
3. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama : Klien mengatakan perih saat BAK dan mengeluarkan urine
bercampur darah segar ±250 cc, air urinenya tersumbat meskipun sudah
terpasang dower cateter, setiap BAK terasa tidak tuntas, ada mual,ada cemas
karena akan dilakukan Tindakan operasi sehingga tidur malamnya sering
terganggu.
b. Kronologiskeluhan
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis dibuktikan dengan klien mengatakan
nyeri skala nyeri 7
2. Gangguan Rasa nyaman b. d gejala penyakit dibuktikan dengan klien susah tidur
3. Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi
C. Intervensi Keperawatan
Intervensi atau perencanaan adalah tahap ketiga dari proses keperawatan. Intervensi
keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada
pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (Tim
Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) adalah
tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penentuan luaran keperawatan dalam
rangka memberikan asuhan keperawatan yang aman, efektif, dan etis (Tim Pokja SLKI
DPP PPNI, 2018). Ada empat elemen penting yang harus diperhatikan pada saat membuat
perencanaan keperawatan yaitu membuat prioritas, menetapkan tujuan dan membuat
kriteria hasil. Merencanakan intervensi keperawatan yang akan diberikan (termasuk
tindakan mandiri dan kolabirasi dengan tenaga kesehatan lainnya), dan melakukan
pendokumentasian.
D. Implementasi Keperawatan
Menurut Siregar (2021), implementasi merupakan pelaksanaan rencana asuhan
keperawatan yang dikembangkan selama tahap perencanaan. Implementasi mencakup
penyelesaian tindakan keperawatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya dan menilai pencapaian atau kemajuan dari kriteria hasil pada diagnosa
keperawatan. Implementasi bertujun untuk membantu pasien mencapai kesehatan yang
optimal dengan promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan
memfasilitasi pasien mengatasi fungsi tubuh yang berubah dalam berbagai fasilitas
kesehatan seperti pelayanan kesehatan di rumah, klinik, rumah sakit, dan lainnya.
Implementasi juga mencakup pendelegasian tugas dan pendokumentasian tindakan
keperawatan.
E. Evaluasi Keperawatan
Menurut Siregar (2021), evaluasi adalah penilaian hasil dan proses seberapa jauh
keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan. Evaluasi dilakukan
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dalam perencenaan,
membanduingkan hasil tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan dengan tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya dan menilai efektivitas proses keperawatan mulai
dari tahap pengkajian, perencanaan dan pelaksanaan. Evaluasi disusun menggunakan
SOAP.
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)
DISUSUN OLEH:
SAFITRI
NIM. 221030230347
STIKes WIDYA DHARMA HUSADA TANGERANG
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TANGERANG SELATAN
TAHUN 2022
FORMAT PENGKAJIAN
A. PENGKAJIAN
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 72 Tahun
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Kristen Prostestan
Identitas
Penglihatan (mata)
Pupil : Isokor Anisokor Lain-lain:
Sclera/Konjungtiva : Anemis Ikterus Lain-lain:
Lain-lain :
Pendengaran/Telinga :
Gangguan pendengaran : Ya Tidak
Jelaskan : pasien tidak memiliki gangguan pendengaran
Lain-lain :
Penginderaan
Penciuman (Hidung)
Bentuk : Normal Tidak
Jelaskan : hidung klien normal, tidak terpasang selang NGT, tidak ada polip, tidak ada
perdarahan
Gangguan Penciuman : Ya Tidak Jelaskan:
Lain-lain
Hiperpigmentasi
Turgor: Baik Sedang Jelek
Odema: Ada Tidak ada Lokasi : -
Luka Ada Tidak ada Lokasi : -
Tanda infeksi luka Ada Tidak ada
Yang ditemukan : kalor/dolor/tumor/Nyeri/Fungsiolesa
Lain-lain :
Pus Ya Tidak
Masalah : tidak ada masalah
Personal Higiene
Kegiatan ibadah :
Hematologi (03/10/2019)
Hitung jenis
2x 200 cc susu
3. Obat :
- Cefotaxime 3 x 1 gr via IV (jam 12.00,20.00, 04.00)
Fungsi: mengobati infeksi
- Ranitidine 2 x 50 mg via IV (jam 12.00, 04.00)
Fungsi: menghambat sekresi asam lambung
- Keterolac 3x 30 mg via IV (jam 12.00,20.00, 04.00 )
Fungsi: mengurangi nyeri
- Asam traneksamat 3 x 500 mg via IV (jam 12.00,20.00,
Terapi
04.00)
Fungsi: menghentikan perdarahan
- Vitamin K 3 x 10 mg via IV (jam 12.00,20.00, 04.00 )
Fungsi: membantu proses pembekuan darah dan mencegah
perdarahan
- Levofloxacin 1 x 500 gr via oral (jam 12.00, 04.00)
Fungsi: mengobati infeksi saluran kemih
- Omeprazol 2 x 20 mg via oral (jam 12.00, 04.00)
Fungsi: untuk mengobati asam lambung yang meningkat
- Domperidon 3 x 10 mg via oral (jam 12.00,20.00, 04.00)
Fungsi: untuk meredakan mual
- KSR 3 x 600 mg via oral (jam 12.00,20.00, 04.00)
Fungsi: mencegah kalium yang rendah dalam darah
B. ANALISA DATA
Skala nyeri 7
2. Ds : Gangguan rasa Gejala penyakit
Klien mengatakan perih nyaman
ketika BAK
Klien mengatakan mual
Klien mengatakan setiap
BAK terasa tidak tuntas
Klien mengatakan cemas
karena akan dilakukan
tindakan operasi
Klien mengatakan
tidurnya sering terbangun
Do :
Klien tampak gelisah
Klien tampak meringis
setelah BAK
TD: 130/80 mmHg
Nadi: 88 x/mnt
RR: 18x/mnt
3. Ds : Defisit Kurang terpapar
Klien mengatakan kapan pengetahuan informasi
dirinya akan di operasi
Klien mengatakan apa
yang harus dilakukan saat
operasi nanti
Do :
Klien tampak bingung
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis dibuktikan dengan klien mengatakan
nyeri skala nyeri 7
2. Gangguan Rasa nyaman b. d gejala penyakit dibuktikan dengan klien susah tidur
3. Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi
DISUSUN OLEH:
SAFITRI
NIM. 221030230347
STIKes WIDYA DHARMA HUSADA TANGERANG
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TANGERANG SELATAN
TAHUN 2022
BAB I
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Teori
1. Gangguan Mobilitas Fisik
a. Pengertian
Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu
atau lebih ekstremitas secara mandiri (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
Menurut North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) gangguan
mobilitas fisik atau immobilisasi merupakan suatu kedaaan dimana individu
yang mengalami atau berisiko mengalami keterbatasan gerakan fisik (Kozier,
Erb, Berman & Snyder, 2010). Ada lagi yang menyebutkan bahwa gangguan
mobilitas fisik merupakan suatu kondisi yang relatif dimana individu tidak
hanya mengalami penurunan aktivitas dari kebiasaan normalnya kehilangan
tetapi juga kemampuan geraknya secara total (Ernawati, 2012). Kemudian,
Widuri (2010) juga menyebutkan bahwa gangguan mobilitas fisik atau
imobilitas merupakan keadaan dimana kondisi yang mengganggu
pergerakannya, seperti trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai
fraktur pada ekstremitas dan sebagainya. Tidak hanya itu, imobilitas atau
gangguan mobilitas adalah keterbatasan fisik tubuh baik satu maupun lebih
ekstremitas secara mandiri dan terarah (Nurarif A.H & Kusuma H, 2015).
b. Etiologi
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017), faktor penyebab terjadinya
gangguan mobilitas fisik, antara lain kerusakan integritas struktur tulang,
perubahan metabolisme, ketidakbugaran fisik, penurunan kendali otot,
penurunan massa otot, penurunan kekuatan otot, keterlambatan
perkembangan, kekakuan sendi, kontraktur, malnutrisi, gangguan
muskuloskeletal, gangguan neuromuskular, indeks masa tubuh di atas persentil
ke-75 usia, efek agen farmakologi, program pembatasan gerak, nyeri, kurang
terpapar informasi tentang aktivitas fisik, kecemasan, gangguan kognitif,
keengganan melakukan pergerakan, dan gangguan sensoripersepsi. NANDA-I
(2018) juga berpendapat mengenai etiologi gangguan mobilitas fisik, yaitu
intoleransi aktivitas, kepercayaan budaya tentang aktivitas yang tepat,
penurunan ketahanan tubuh, depresi, disuse, kurang dukungan lingkungan,
fisik tidak bugar, serta gaya hidup kurang gerak. Pendapat lain menurut
Setiati, Harimurti, dan Roosheroe (dalam Setiati, Alwi, Sudoyo, Stiyohadi,
dan Syam, 2014) mengenai penyebab gangguan mobilitas fisik adalah adanya
rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, masalah psikologis,
kelainan postur, gangguan perkembangan otot, kerusakan sistem saraf pusat,
atau trauma langsuung dari sistem muskuloskeletal dan neuromuskular.
c. Patofisiologi
Neuromuskular berupa sistem otot, skeletal, sendi, ligamen, tendon, kartilago,
dan saraf sangat mempengaruhi mobilisasi. Gerakan tulang diatur otot skeletal
karena adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagi
sistem pengungkit. Tipe kontraksi otot ada dua, yaitu isotonik dan isometrik.
Peningkatan tekanan otot menyebabkan otot memendek pada kontraksi
isotonik. Selanjutnya, pada kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan
tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak terjadi pemendekan atau gerakan aktif
dari otot, misalnya menganjurkan pasien untuk latihan kuadrisep. Gerakan
volunter merupakan gerakan kombinasi antara kontraksi isotonik dan
kontraksi isometrik. Perawat harus memperhatikan adanya peningkatan energi,
seperti peningkatan kecepatan pernapasan, fluktuasi irama jantung, dan
tekanan darah yang dikarenakan pada latihan isometrik pemakaian energi
meningkat. Hal ini menjadi kontraindikasi pada pasien yang memiliki penyakit
seperti infark miokard atau penyakit obstruksi paru kronik. Kepribadian dan
suasana hati seseorang digambarkan melalui postur dan gerakan otot yang
tergantung pada ukuran skeletal dan perkembangan otot skeletal. Koordinasi
dan pengaturan kelompok otot tergantung tonus otot dan aktivitas dari otot
yang berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan gravitasi. Tonus otot
sendiri merupakan suatu keadaan tegangan otot yang seimbang. Kontraksi dan
relaksasi yang bergantian melalui kerja otot dapat mempertahankan
ketegangan. Immobilisasi menyebabkan aktivitas dan tonus otot menjadi
berkurang. Rangka pendukung tubuh yang terdiri dari empat tipe tulang,
seperti panjang, pendek, pipih, dan irreguler disebut skeletal. Sistem skeletal
berfungsi dalam pergerakan, melindungi organ vital, membantu mengatur
keseimbangan kalsium, berperan dalam pembentukan sel darah merah (Potter
dan Perry, 2012). Pengaruh imobilisasi yang cukup lama akan terjadi respon
fisiologis pada sistem otot rangka. Respon fisiologis tersebut berupa gangguan
mobilisasi permanen yang menjadikan keterbatasan mobilisasi. Keterbatasan
mobilisasi akan mempengaruhi daya tahan otot sebagai akibat dari penurunan
masa otot, atrofi dan stabilitas. Pengaruh otot akibat pemecahan protein akan
mengalami kehilangan masa tubuh yang terbentuk oleh sebagian otot. Oleh
karena itu, penurunan masa otot tidak mampu mempertahankan aktivitas tanpa
peningkatan kelelahan. Selain itu, juga terjadi gangguan pada metabolisme
kalsium dan mobilisasi sendi. Jika kondisi otot tidak dipergunakan atau karena
pembebanan yang kurang, maka akan terjadi atrofi otot. Otot yang tidak
mendapatkan pembebanan akan meningkatkan produksi Cu, Zn. Superoksida
Dismutase yang menyebabkan kerusakan, ditambah lagi dengan menurunya
catalase, glutathioneperoksidase, dan mungkin Mn, superoksida dismutase,
yaitu sistem yang akan memetabolisme kelebihan ROS. ROS menyebabkan
peningkatan kerusakan protein, menurunnya ekspresi myosin, dan peningkatan
espresi komponen jalur ubiquitine proteolitik proteosome. Jika otot tidak
digunakan selama beberapa hari atau minggu, maka kecepatan penghancuran
protein kontraktil otot (aktin dan myosin) lebih tinggi dibandingkan
pembentukkannya, sehingga terjadi penurunan protein kontraktil otot dan
terjadi atrofi otot. Terjadinya atrofi otot dikarenakan serabut-serabut otot tidak
berkontraksi dalam waktu yang cukup lama sehingga perlahan akan mengecil
dimana terjadi perubahan antara serabut otot dan jaringan fibrosa. Tahapan
terjadinya atrofi otot dimulai dengan berkurangnya tonus otot. Hal ini
myostatin menyebabkan atrofi otot melalui penghambatan pada proses
translasi protein sehingga menurunkan kecepatan sintesis protein. NF-κB
menginduksi atrofi dengan aktivasi transkripsi dan ubiquinasi protein. Jika
otot tidak digunakan menyebabkan peningkatan aktivitas transkripsi dari NF-
κB. Reactive Oxygen Species (ROS) pada otot yang mengalami atrofi. Atrofi
pada otot ditandai dengan berkurangnya protein pada sel otot, diameter
serabut, produksi kekuatan, dan ketahanan terhadap kelelahan. Jika suplai
saraf pada otot tidak ada, sinyal untuk kontraksi menghilang selama 2 bulan
atau lebih, akan terjadi perubahan degeneratif pada otot yang disebut dengan
atrofi degeneratif. Pada akhir tahap atrofi degeneratif terjadi penghancuran
serabut otot dan digantikan oleh jaringan fibrosa dan lemak. Bagian serabut
otot yang tersisa adalah membran sel dan nukleus tanpa disertai dengan
protein kontraktil. Kemampuan untuk meregenerasi myofibril akan menurun.
Jaringan fibrosa yang terjadi akibat atrofi degeneratif juga memiliki
kecenderungan untuk memendek yang disebut dengan kontraktur (Kandarian
(dalam Rohman, 2019).
d. Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala pada gangguan mobilitas fisik menurut Tim Pokja
SDKI DPP PPNI (2017) yaitu :
1) Tanda dan gejala mayor
Tanda dan gejala mayor subjektif dari gangguan mobilitas fisik, yaitu
mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas. Kemudian, untuk tanda dan
gejala mayor objektifnya, yaitu kekuatan otot menurun, dan rentang gerak
menurun.
2) Tanda dan gejala minor
Tanda dan gejala minor subjektif dari gangguan mobilitas fisik, yaitu nyeri
saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, dan merasa cemas saat
bergerak. Kemudian, untuk tanda dan gejala minor objektifnya, yaitu sendi
kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, dan fisik lemah.
NANDA-I (2018) berpendapat bahwa tanda dan gejala dari gangguan
mobilitas fisik, antara lain gangguan sikap berjalan, penurunan
keterampilan motorik halus, penurunan keterampilan motorik kasar,
penurunan rentang gerak, waktu reaksi memanjang, kesulitan
membolakbalik posisi, ketidaknyamanan, melakukan aktivitas lain sebagai
pengganti pergerakan, dispnea setelah beraktivitas, tremor akibat bergerak,
instabilitas postur, gerakan lambat, gerakan spastik, serta gerakan tidak
terkoordinasi.
e. Kondisi klinis terkait
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) kondisi terkait yang dapat
mengalami gangguan mobilitas fisik, yaitu stroke, cedera medula spinalis,
trauma, fraktur, osteoarthritis, ostemalasia, dan keganasan. Selain itu, menurut
NANDA-I (2018) kondisi terkait yang berisiko mengalami gangguan
mobilitas fisik, antara lain kerusakan integritas struktur tulang, gangguan
fungsi kognitif, gangguan metabolisme, kontraktur, keterlambatan
perkembangan, gangguan muskuloskeletal, gangguan neuromuskular, agens
farmaseutika, program pembatasan gerak, serta gangguan sensoriperseptual.
f. Dampak yang ditimbulkan
Menurut Widuri (2010) gangguan mobilitas fisik akan mengakibatkan
individu mengalami immobilisasi yang dapat mempengaruhi sistem tubuh,
seperti :
1) Perubahan metabolisme
Kecepatan metabolisme dalam tubuh akan turun dengan dijumpainya basal
metabolisme rate (BMR) yang akibatnya energi yang digunakan untuk
perbaikan sel-sel tubuh berkurang sehingga dapat mempengaruhi
gangguan oksigenasi sel. Dampak lainnya seperti anabolisme akan
menurun sedangkan katabolisme akan meningkat yang berisiko
meningkatkan gangguan metabolisme.
2) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Cairan dan elektrolit yang tidak seimbang akan mengakibatkan persediaan
protein menurun dan konsentrasi protein serum berkurang yang dapat
mengganggu kebutuhan cairan tubuh. Selain itu, berkurangnya
perpindahan cairan dari intravaskuler menuju interstisial dapat
menyebabkan edema.
3) Gangguan pengubahan zat gizi
Pemasukan protein dan kalori yang menurun dapat menyebabkan
pengubahan zat-zat makanan pada tingkat sel menurun sehingga tidak
cukup untuk melaksanakan aktivitas metabolisme.
4) Gangguan fungsi gastrointestinal
Makanan yang dicerna akan menurun sehingga dapat menyebabkan
keluhan, seperti perut kembung, mual, serta nyeri lambung yang
berdampak pada proses eliminasi.
5) Perubahan sistem pernapasan
Dampak yang ditimbulkan pada sistem pernapasan, antar lain kadar
hemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan otot mengalami
kelemahan yang mengganggu proses metabolisme.
6) Perubahan kardiovaskular
Perubahan pada sistem kardiovaskuler berupa hipotensi artostatik,
meningkatnya kerja jantung, serta terjadi pembentukan trombus.
7) Perubahan sistem muskuloskeletal
Dampak yang ditimbulkan, antara lain gangguan muskular yang berupa
menurunnya massa otot yang menyebabkan turunnya kekuatan otot serta
atropi pada otot, gangguan skeletal berupa kontraktur sendi serta
osteoporosis.
BAB II
TINJAUAN TEORI KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan dasar utama proses perawatan yang akan membantu dalam
penentuan status kesehatan dan pola pertahanan pasien, mengidentifikasi kekuatan
dan kebutuhan pasien serta merumuskan diagnose keperawatan (Smeltezer and
Bare, 2011 : Kinta, 2012 dalam Guswanti, 2019).
1. Identitas Klien
Meliputi nama klien, umur, pendidikan, suku bangsa, pekerjaan, agama,
alamat rumah, nama suami/penanggung jawab.
2. Diagnosa dan informasi medik
Tanggal masuk, no mr, ruang rawat, diagnosa medik, alasan masuk RS, yang
merujuk.
3. Riwayat Kesehatan
Keluhan utama : batuk, nafsu makan menurun, berat badan tidak naik tiga
bulan terakhir.
a. Riwayat kesehatan sekarang merupakan keluhan/gangguan yang
berhubungan dengan gangguan/penyakit yang dirasakan saat ini :
1) Bagaimana pola/frekuensi berkemih : poliuri, oliguri, BAK keluar
sedikitsedikit tetapi sering, nokturia, urine keluar secara menetes,
incontinentia urin.
2) Adakah kelainan waktu bak seperti : disuria, ada rasa panas,
hematuria, dan lithuri.
3) Apakah rasa sakit terdapat pada daerah setempat atau secara umum :
a) Apakah penyakit timbul setelah adanya penyakit yang lain.
b) Apakah terdapat mual dan muntah.
c) Apakah tedapat edema.
d) Bagaimana keadaan urinenya (volume, warna, bau, berat jenis,
jumlah urine dalam 24 jam).
e) Adakah sekret atau darah yang keluar.
f) Adakah hambatan seksual.
g) Apakah ada rasa nyeri (lokasi, identitas, saat timbulnya nyeri)
b. Riwayat kesehatan dahulu: Apakah klien memiliki riwayat penyakit
sistemik lain . Apakah klien memiliki riwayat alergi makanan atau obat
tertentu.
c. Riwayat kesehatan keluarga: Kaji adanya riwayat herediter, penyakit
menular, dan menderita penyakit sistemik metabolik ataupun cacat
bawaan.
d. Data psikologis : Bagaimana perasaan klien dengan penyakitnya
sekarang sekarang.
e. Data sosial ekonomi : Pekerjaan, kebiasaan, dan kehidupan sehari- hari.
f. Aktivitas sehari-hari : Kaji pola makan, minum, eliminasi, istirahat dan
tidur.
4. Pemeriksaan fisik
a. Kepala dan leher
Inspeksi : Merintih, menahan sakit.
Rambut : Lurus/keriting, warna, Ketombe, kerontokan
Mata : Simetris/tidak, pupil isokhor, akonjunctiva tidak anemis
Hidung : Terdapat mukus/tidak, pernafasan cuping hidung.
Telinga : Simetris, terdapat mukus/tidak
Bibir : Lembab,tidak ada stomatitis.
Palpasi : Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid
b. Dada
Inspeksi : Simetris, tidak terdapat tarikan otot bantu pernafasan
Palpasi : Denyutan jantung teraba cepat, badan terasa panas, nyeri tekan(-)
Perkusi : Jantung : Dullness
Auskultasi : Suara nafas normal
c. Abdomen
Inspeksi : terdapat luka post operasi di abdomen region inguinal
Palpasi : Teraba massa, terdapat nyeri tekan pada daerah inguinalis
Perkusi : Dullness
Auskultasi : Terdengar bising usus (N= < 5 per menit
d. Ekstremitas
Atas : Simetris, tidak ada edema
Bawah : Simetris, tidak ada edema
e. Genetalia
Inspeksi : Scrotum kiri dan kanan simetris, ada lesi
B. Intervensi
Intervensi atau perencanaan adalah tahap ketiga dari proses keperawatan. Intervensi
keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan
pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang
diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Standar Luaran Keperawatan
Indonesia (SLKI) adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penentuan
luaran keperawatan dalam rangka memberikan asuhan keperawatan yang aman,
efektif, dan etis (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).
C. Implementasi Keperawatan
Menurut Siregar (2021), implementasi merupakan pelaksanaan rencana asuhan
keperawatan yang dikembangkan selama tahap perencanaan. Implementasi mencakup
penyelesaian tindakan keperawatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya dan menilai pencapaian atau kemajuan dari kriteria hasil pada diagnosa
keperawatan. Implementasi bertujun untuk membantu pasien mencapai kesehatan
yang optimal dengan promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan,
dan memfasilitasi pasien mengatasi fungsi tubuh yang berubah dalam berbagai
fasilitas kesehatan seperti pelayanan kesehatan di rumah, klinik, rumah sakit, dan
lainnya. Implementasi juga mencakup pendelegasian tugas dan pendokumentasian
tindakan keperawatan
D. Evaluasi Keperawatan
Menurut Siregar (2021), evaluasi adalah penilaian hasil dan proses seberapa jauh
keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan. Evaluasi dilakukan
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dalam perencenaan,
membanduingkan hasil tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan dengan tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya dan menilai efektivitas proses keperawatan mulai
dari tahap pengkajian, perencanaan dan pelaksanaan. Evaluasi disusun menggunakan
SOAP yang berarti:
S :keluhan yang dikeluhkan secara subjektif oleh keluarga atau pasien setelah
diberikan implementasi keperawatan.
O : keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan pengamatan
objektiv
A : analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif meliputi
masalah teratasi (perubahan tingkah laku dan perkembangan kesehatan sesuai dengan
kriteria pencapaian yang sudah ditetapkan), masalah teratasi sebagian (perubahan dan
perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria pencapaian yang sudah
ditetapkan), masalah belum teratasi (sama sekali tidak menunjukkan perubahan
perilaku dan perkembangan kesehatan atau bahkan muncul masalah baru).
P : perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.
BAB III
ARTIKEL PENELITIAN TERKAIT
Berdasarkan hasil penelitian Cintya Agreayu Dinata, Yuliarni Syafrita, Susila Sastri
(2012) dengan judul Gambaran Faktor Risiko dan Tipe Stroke pada Pasien Rawat
Inap di Bagian Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Solok Selatan Periode 1 Januari
2010 - 31 Juni 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi tipe stroke
dan faktor risiko yang berpengaruh pada pasien stroke rawat inap di RSUD
Kabupaten Solok Selatan. Metode penelitian: Penelitian ini adalah penelitian
deskriptif dengan menggunakan data skunder pasien stroke yang dirawat di RSUD
Solok Selatan. Data yang diambil meliputi usia, jenis kelamin, tekanan darah, kadar
gula darah, profil lipid saat pertama pasien masuk rumah sakit, dan pekerjaan. . Data
yang diambil meliputi usia, jenis kelamin, tekanan darah, kadar gula darah, profil lipid
saat pertama pasien masuk rumah sakit, dan pekerjaan. Sampel penelitian adalah
seluruh pasien stroke yang pernah dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUD
Kabupaten Solok Selatan pada periode 1 Januari 2010 – 31 Juni 2012 yang memenuhi
kriteria inklusi. Hasil penelitian: Hasil penelitian menunjukkan proporsi stroke
terbanyak adalah stroke ischemic (61,46%), perempuan (54,17%) yang berusia >50
tahun (81,25%) yang bekerja sebagai ibu rumah tangga (43,75%). Faktor risiko yang
dapat diubah tertinggi adalah hipertensi (82,30%) diikuti kolesterol total meningkat
(69,79%). Faktor risiko tertinggi pada stroke ischemic adalah gula darah meningkat
(47,89%) dan pada stroke hemorrhagic adalah hipertensi (100,00%). Faktor risiko
tertinggi pada seluruh pasien adalah hipertensi (82,30%). Kesimpulan: Berdasarkan
hasil penelitian ini disimpulkan bahwa stroke tipe ischemic lebih banyak dari tipe
hemorrhagic dengan faktor risiko utama hipertensi, sedangkan stroke ischemic
terutama dipengaruhi oleh peningkatan gula darah.
DAFTAR PUSTAKA
PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Edisi 1. jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
SAFITRI
NIM. 221030230347
A. PENGKAJIAN
Agama :Islam
Identitas
Penanggung Biaya :
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku/Bangsa : Sunda/Indonesia
Alamat : Kedaung,Pamulang
Keluhan utama :
Pasien datang ke RS dengan keluhan utama tidak bisa berbicara
Penglihatan (mata)
Pupil : Isokor Anisokor Lain-lain:
Sclera/Konjungtiva : Anemis Ikterus Lain-lain:
Lain-lain :
Pendengaran/Telinga :
Penginderaan
Masalah:
Kulit
Warna kulit: Ikterus Sianotik Kemerahan Pucat
Hiperpigmentasi
Muskuloskeletal/ Integumen
Tidak
Luka gangren Ya Tidak Pus Ya
Tidak
Masalah:
Ganti pakaian :
Masalah:
Orang yang paling dekat:
Hubungan dengan teman dan lingkungan sekitar:
Psiko-sosio-spiritual
Kegiatan ibadah:
Lain-lain :
Masalah:
Laboratorium
HEMATOLOGI
GULA DARAH
Pemeriksaan penunjang
KARBOHIDRAT
GLUKOSA SEWAKTU 86 74 – 180 mg/dL
(GDS)
FUNGSI GINJAL
47 13 – 43 mg/dL
Ureum
0,87 0,8 – 1,3 mg/dL
Kreatinin
5,6 3,5 - 7,0 mg/dL
Asam urat
KIMIA DARAH
LEMAK
267 < 200 mg/dL
Cholesterol total
38 40 - 60 mg/dL
HDL choleserol
185 < 100 mg/dL
LDL cholesterol
219 < 150 mg/dL
Trigliseride
Radiologi/ USG, dll
1. Terpasang RL 12tpm/12 jam
2. Ranitidine 1 ampul via I.V
3. Citicoline 2x1 gram via I.V
4. Manitol 4x100 cc via I.V
5. Amlodipin 1x10 gram via P.O
6. Piracetam 4x3 gram via I.V
Terapi:
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
Ruang/kelas : Multazam//54.
No. RM : 18-80-12
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 56 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku/Bangsa : Sunda/Indonesia
2. Keluhan utama
anggota gerak sebelah kiri terasa lemah pada pasien, tidak dapat
3. Diagnosa medis
Stroke
4. Riwayat kesehatan
a. Riwayat Penyakit Sekarang :
Sehari-hari (ADL)
makanan makan/minum:
teratur
b) Riwayat Psikologi
c) Riwayat Sosial
dilingkungan sosialnya
d) Riwayat Spiritual
6. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan Umum
Kesadaran composmentis
c. Pemeriksaan Wajah
1. Mata
Mata klien normal, tidak ada oedema, sclera perubahan warna anemis,
warna iris hitam, reaksi pupil terhadap cahaya miosis, pupil isokor.
2. Hidung
hidung klien normal, tidak terpasang selang NGT, tidak ada polip, tidak
ada perdarahan
3. Mulut
4. Telinga
telinga klien normal, tidak ada kotoran, tidak ada perdarahan, tidak ada
peradangan
1. Kepala
2. Leher
saat di inspeksi bentuk leher simetris, tidak ada pembesaran tiroid, posisi
e. Pemeriksaan Thoraks/dada
1. Pemeriksaan paru
normal, bentuk dada simetris, retraksi otot bantu nafas tidak ada, tidak ada
sianosis, saat diperkusi area paru sonor, terdengar suara ronchi basah dan
2. Pemeriksaan jantung
saat di inspeksi ictus cordi negatif, saat dipalpasi dinding thoraks teraba
kuat, saat diperkusi tidak ada kelainan, saat di auskultasi tida ada suara
tambahan, bunyi jantung I dan II tidak ada, mur-mur tidak ada, Gallop
tidak ada.
f. Pemeriksaan Abdomen
Saat diinspeksi bentuk abdomen datar, tidak ada benjolan, pada saat
kesadaran composmentis
h. Pemeriksaan Kulit/Integumen
1. Integumen/kulit
saat diinspeksi klien tidak terdapat luka, saat dipalpasi tekstur kulit halus.
2. Pemeriksaan rambut
bersih
3. Pemeriksaan kuku
saat diinspeksi warna kuku baik, bentuk normal dan kuku tampak bersih
1. Cek laboratorium
Hari/ Tanggal
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
(Jam)
Sabtu, HEMATOLOGI
20 Oktober
2017 HEMOGLOBIN 14,6 11,7 – 15,5 g/dL
(HGB) 6,5 3,6 – 11,0 10^3/uL
LEUKOSIT (WBC) 300 150 – 400 10^3/uL
TROMBOSIT (PLT) 45 35 – 47 %
HEMATOKRIT (HCT)
GULA DARAH
KARBOHIDRAT 86 74 – 180 mg/dL
GLUKOSA
SEWAKTU (GDS)
47 13 – 43 mg/dL
FUNGSI GINJAL
0,87 0,8 – 1,3 mg/dL
Ureum
5,6 3,5 - 7,0 mg/dL
Kreatinin
Asam urat
KIMIA DARAH
267 < 200 mg/dL
LEMAK
38 40 - 60 mg/dL
Cholesterol total
185 < 100 mg/dL
HDL choleserol
219 < 150 mg/dL
LDL cholesterol
Trigliseride
2. EKG
3. Foto Rontgen Brain Scanning : Lakunar infark basal ganglia kiri
j. Tindakan terapi
Hari/Tanggal
NAMA OBAT
(Jam)
A. Data Subjektif
4. Keluarga klien mengatakan anggota gerak sebelah kiri terasa lemah pada pasien
B. Data Objektif
1. Kesadaran composmentis
TD: 170/120 mmHg
N: 90x/menit
S: 370C
RR: 28x/mnt
C. ANALISA DATA
1 DS : Gangguan Penurunan
kekuatan
- Keluarga klien mengatakan anggota gerak Mobilitas otot
sebelah kiri terasa lemah pada pasien Fisik
- Keluargaklienmengatakanklien lemas
DO :
- Pasientampakaktifitasdibantukeluarga.
- Pasientampakterbaringlemahditempattidur
.
- Pasientampakgerakterbatas
- Kekuatanotot
2 DS : Resiko Hipertensi
- Keluarga klienmengatakanklien memiliki perfusi
hipertensi serebral
- Keluargaklienmengatakanklien kepalanya tidak efektif
pusing
DO :
- N: 90x/menit
- S: 370C
- RR: 28x/mnt
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
20 20 S:
Oktober II 1. Memonitor tanda atau gejala Oktober keluarga klien
2017 mengatakan klien
meningkatkan TIK ( tekanan darah ) 2017
20 : 20 22 : 15 memiliki hipertensi
WIB 2. Memonitor status pernafasan Keluarga klien
WIB
3. Meminimalkan stimulus dengan mengatakan kepala klien
menyediakan lingkungan yang masih terasa pusing
tenang O:
4. Memberikan posisi semi fowler TD: 150/80 mmHg
5. Mencegah terjadinya kejang N: 90x/menit
6. Memberikan obat geurotik osmosis S: 370C
RR: 23x/mnt
A : masalah teratasi
sebagian
P : lanjutkan intervesi
1. Memonitor kecepatan, tekanan, 1,2,4,6
20 kuantitas , volume dan diski bicara 20
Oktober III Oktober
2. Mengguanakan metode komunikasi
2017 2017 S: keluarga pasien
21 : 15 alternatif misalnya: (menulis, papan, 22 : 30 mengatakan sudah bisa
WIB mata berkedip, gambar, dll) WIB membuka mulut nya
O: pasien terlihat suatu
3. Mengajarkan berbicara perlahan
peningkatan kemampuan
berkomunikasi
A: masalah teratasi
1. Mengidentifikasi melakukan 21 sebagian
P : hentikan intervensi
1. mengajarkan berbicara perlahan
21
21 III Oktober
Oktober 2017
2017 21 : 00
20: 40 WIB
WIB S: keluarga pasien
mengatakan bahwa pasien
sudah bisa biraca secara
perlahan
O: pasien sudah bisa
bicara perlahan-lahan
A: masalah sudah teratasi
P: intervensi selesai