KAJIAN PUSTAKA
BPH merupakan tumor jinak yang paling sering pada laki-laki,insidennya berhubungan
dengan usia. Prevalensi histologis BPH meningkat dari 20% pada laki berusia 41-50 tahun, 50%
pada laki usia 51-60 tahun hingga lebih dari 90% pada laki berusia diatas 80 tahun. Meskipun
bukti klinis belum muncul,namun keluhan obstruksi juga berhubungan dengan usia. Pada usia 50
tahun + 25% laki-laki mengeluh gejala obstruksi pada saluran kemih bagian bawah, meningkat
hingga usia 75 tahun dimana 50% laki-laki mengeluh berkurangnya pancaran atau aliran pada
(Roehrborn, 2012).
6
7
Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, selama tahun 2013 terdapat 103 pasien
dengan BPH yang menjalani operasi, dari total 1161 pasien urologi yang menjalani operasi.
Faktor-faktor resiko terjadinya BPH masih belum jelas, beberapa penelitian mengarah
pada predisposisi genetik atau perbedaan ras. Kira-kira 50% laki-laki berusia dibawah 60 tahun
yang menjalani operasi BPH memiliki faktor keturunan yang kemungkinan besar bersifat
autosomal dominan, dimana penderita yang memiliki orangtua menderita BPH memiliki resiko
2.1.2 Anatomi
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak inferior dari buli-buli,di depan rektum
dan membungkus uretra posterior. Berbentuk seperti buah kemiri dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan
berat kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang
terbagi dalam beberapa daerah atau zona,yaitu zona perifer,zona sentral, zona transitional, zona
preprostatik dan zona anterior (Mc Neal, 1988). Secara histopatologi, kelenjar prostat terdiri atas
komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh
darah, saraf dan jaringan interstitial yang lain. Prostat menghasilkan suatu cairan yang
merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat.Cairan ini dialirkan melalui duktus
sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen
yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan 25% dari seluruh volume
prostatikus.Pleksus prostatikus menerima masukan serabut parasimpatis dari corda spinalis S2-4
dan simpatis dari nervus hipogastrikus T10-L2. Stimulasi parasimpatis meningkatkan sekresi
kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatis menyebabkan pengeluaran cairan
8
prostat ke dalam uretra posterior seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatis memberikan
inervasi pada otot polos prostat,kapsula prostat dan leher buli-buli. Pada tempat tersebut banyak
Jika kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak atau berubah menjadi tumor ganas, dapat terjadi
penekanan uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih (Cooperberg
dkk, 2013).
2.1.3 Etiologi
berhubungan dengan endokrin. Prostat terdiri dari elemen epithelial dan stromal dimana pada
salah satu atau keduanya dapat muncul nodul hiperplastik dengan gejala yang berhubungan
dengan BPH.
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:
1) Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron didalam sel prostat oleh 5α-
reduktase dengan bantuan koenzim NADPH.DHT yang telah terbentuk berikatan dengan
reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan kadar estrogen relatif
tetap sehingga perbandingan antara estrogen : progesteron relatif meningkat. Telah diketahui
bahwa estrogen didalam prostat berperan didalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat
9
dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen,
meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah meskipun rangsanganterbentuknya sel-sel
baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.
3) Interaksi stromal-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara
tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma, mendapatkan stimulasi dari DHTdan estradiol,sel-
sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu
sendirisecara intrakrin atau autokrin serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi
itu sendiri menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian
sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel
prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat
yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis,selalu dibentuk sel-sel baru.
Didalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ektensif.Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon
androgen sehingga jika hormone ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada
ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan pada sel stroma
Observasi dan penelitian pada laki-laki jelas mendemontrasikan bahwa BPH dikendalikan
oleh sistem endokrin, di mana kastrasi mengakibatkan regresi pada BPH dan perbaikan keluhan.
Pada penelitian lebih lanjut tampak korelasi positif antara kadar testosteron bebas dan estrogen
dengan volume pada BPH. Hal ini berhubungan dengan peningkatan estrogen pada proses
penuaan yang mengakibatkan induksi dari reseptor androgen yang menjadikan prostat lebih
sensitif pada testosteron bebas. Namun belum ada penelitian yang mendemontrasikan
6) Teori Inflamasi
Sejak tahun 1937, terdapat hipotesa bahwa BPH merupakan peyakit inflamasi yang
dimediasi oleh proses imunologi. Uji klinis terbaru juga menunjukkan adanya hubungan antara
proses inflamasi pada prostat dengan LUTS. Di Silverio mendapatkan 43% gambaran inflamasi
pada histopatologi dari 3942 pasien BPH. Sementara penelitian dari Daniels, dkk. menemukan
adanya prostatitis pada 83% dari pasien dengan BPH. Dikatakan bahwa pasien dengan prostatitis
Data penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan inflamasi kronik pada prostat memiliki
risiko lebih tinggi terhadap progresifitas BPH dan terjadinya retensi urin. Pada pasien dengan
volume prostat yang kecil, hanya yang disertai dengan proses inflamasi yang mengalami gejala
obstruksi. Inflamasi prostat juga dikaitkan dengan pembesaran volume prostat, semakin berat
derajat inflamasi, semakin besar volume prostat dan semakin tinggi nilai IPSS. Sampai saat ini
masih belum dapat dijelaskan efek inflamasi terhadap LUTS (De Nunzio dkk, 2011).
11
2.1.4 Patologi
BPH terbentuk pada zona transisional. Merupakan proses hiperplasi akibat dari
peningkatan jumlah sel. Secara mikroskopik tampak pola pertumbuhan yang berbentuk noduler
yang terdiri dari jaringan stromal dan ephitelial, stroma terdiri dari jaringan kolagen dan otot
potensial respon terhadap pengobatan.Terapi dengan α-bloker memberikan respons yang baik
pada pasien BPH dengan komponen dominan otot polos, sementara bila komponen yang
dominan adalah ephitel, memberikan respons yang baik terhadap 5-α reduktase inhibitor.
Penderita BPH dengan komponen dominan kolagen kurang respon terhadap medikamentosa.
Pembesaran nodul pada zona transitional menekan zona luar pada prostat yang
mengakibatkan terbentuknya surgical capsule. Kapsul ini memisahkan zona transisional dengan
2.1.5 Patofisiologi
Keluhan dari BPH diakibatkanoleh adanya obstruksi dan sekunder akibat dari respon
kandung kemih.Komponen obstruksi dapat dibagi menjadi obstruksi mekanik dan dinamik.Pada
hiperplasi prostat, obstruksi mekanik terjadi akibat penekanan terhadap lumen uretra atau leher
buli, yang mengakibatkan resistensi bladder outlet. Sebelum pembagian zona klasifikasi dari
prostat, ahli urologi membagi menjadi 3 lobus yaitu 2 lobus lateral dan 1 lobus medial. Ukuran
prostat pada pemeriksaan rectal toucher (RT) memiliki korelasi yang kurang terhadap timbulnya
Komponen obstruksi dinamik menjelaskan berbagai jenis keluhan penderita. Stroma prostat
terdiri dari otot polos dan kolagen, yang dipersyarafi oleh saraf adrenergik. Tonus uretra pars
prostatika diatur secara autonom,sehingga penggunaan α-blocker menurunkan tonus ini dan
menimbulkan disobstruksi.
Keluhan pada saat berkemih pada pasien BPH akibat dari respons sekunder kandung
kemih. Obstruksi pada kandung kemih mengakibatkan hipertrofi dan hyperplasia dari otot
detrusor disertai penimbunan kolagen, pada inspeksi tampak penebalan otot detrusor berbetuk
sebagai trabekulasi, apabila berkelanjutan mengakibatkan terjadinya hernia mukosa diantara otot
Tidak semua BPH menimbulkan gejala. Sebuah penelitan pada pria berusia di atas 40
tahun, sesuai dengan usianya, sekitar 50% mengalami hiperplasia kelenjar prostat secara
histopatlogis. Dari jumlah tersebut, 30-50% mengalami LUTS, yang juga dapat disebabkan oleh
Gambar 2.3. Hubungan Antara BPH, LUTS, Pembesaran Prostat , dan Obstruksi
Kandung Kemih Pada Pria Berusia Lebih Dari 40 Tahun (Roehrborn, 2012).
Gejala BPH terbagi menjadi gejala obstruktif dan iritatif. Gejala obstruksi berupa
hesistansi, penurunan pancaran urin, rasa tidak tuntas saat berkemih, double voiding, mengejan
saat berkemih dan urin menetes setelah berkemih. Gejala iritatif berupa urgensi, frekuensi dan
nokturia (Cooperberg, 2013). Gejala-gejala tersebut disebut sebagai gejala saluran kemih bagian
Umumnya, LUTS dikaitkan dengan adanya obstruksi yang diakibatkan oleh pembesaran kelenjar
prostat. Namun penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa LUTS tidak hanya disebabkan oleh
14
adanya kelainan pada prostat. Adanya gangguan dari kandung kemih dapat juga menyebabkan
LUTS, misalnya peningkatan aktivitas otot detrusor, gangguan kontraktilitas pada fase
penampungan, dan penurunan aktivitas otot detrusor pada fase pengosongan. Kondisi lain baik
kondisi urologis maupun neurologis juga dapat berkontribusi terhadap adanya LUTS (Roehrborn
dkk, 2012).
Terdapat beberapa metode kuisioner yang tersedia saat ini bagi para klinisi untuk
mengukur tingkat gejala saluran kemih bagian bawah. Metode tersebut di antaranya adalah
score (DAN-PSS-1), AUA symptom score, IPSS, Bolognese instrument(Roehrborn dkk, 2012).
Urological Association, merupakan kuisioner yang paling sering digunakan. IPSS merupakan
pengembangan dari AUA symptom score yang ditambah dengan satu pertanyaan mengenai
kualitas hidup. Telah dilaporkan bahwa IPSS merupakan metode yang dapat dipercaya dan
15
cukup sederhana, di mana tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan sosial demografi
IPSS dibuat sedemikian rupa sehingga pasien dapat melengkapinya sendiri, dengan hasil
yang lebih baik bila disertai dengan bantuan dari petugas kesehatan. Ozturk dkk membuktikan
bahwa nilai dari IPSS yang dilengkapi oleh pasien sendiri dengan nilai IPSS yang dilengkapi
oleh pasien dengan bantuan petugas kesehatan tidak berbeda secara signifikan. IPSS saat ini
telah divalidasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa yang berbeda-beda di banyak negara.
merupakan kuisioner yang telah tervalidasi untuk digunakan dalam menilai tiga gejala
penampungan (frekuensi, nokturia, dan urgensi), dan empat gejala pengosongan buli (rasa tidak
tuntas, intermiten, mengedan, dan pancaran yang lemah). IPSS juga menilai tingkat dari
gangguan yang dirasakan, dengan satu pertanyaan tambahan mengenai kualitas hidup
IPSS berisi tujuh pertanyaan mengenai gejala dan satu pertanyaan untuk menilai kualitas
hidup, dimana pasien dapat menilai keluhan secara kuantitatif dalam skala 0-5. Nilai maksimal
dari IPSS adalah 35. Derajat gejala saluran kemih bagian bawah dikelompokkan menjadi tiga,
nilai 0-8 derajat ringan, 9-19 derajat sedang, dan 20 ke atas derajat berat. IPSS hanya digunakan
untuk menilai beratnya gejala, dan bukan merupakan faktor diagnostik untuk menegakkan
Anamnesa yang lengkap dan mendalam dilakukan untuk menyingkirkan etiologi penyebab
yang lain seperti ISK, neurogenik bladder, striktur uretra dan kanker prostat.Bozdar dkk
melakukan penelitian mengenai outcome dari TURP dalam hubungannya dengan LUTS. Dari
total 70 pasien dengan BPH yang disertai dengan keluhan LUTS, rata-rata IPSS pra operasi
16
adalah 22,5 (rentang 20-35). IPSS pascaoperasi dievaluasi setelah 6 minggu dan 12 minggu.
Pada evaluasi 6 minggu pasca TURP, 81% pasien dengan LUTS ringan, 15,7% dengan LUTS
sedang, dan 2,9% dengan LUTS berat. Pada evaluasi kedua (12 minggu pasca TURP), terdapat
88,6% pasien dengan LUTS ringan, 10% dengan LUTS sedang, dan 1,5% dengan LUTS berat
(Bozdar dkk, 2010). Sampai saat ini belum ada penelitian yang menilai IPSS pasien BPH pasca
TURP di Indonesia.
Sebuah penelitian di Thailand mencoba mencari penyebab LUTS yang menetap setelah
TURP. Hasil penelitian menunjukkan penyebab yang paling banyak adalah adanya hiperaktivitas
detrusor (54%), residual obstruksi bladder outlet (16%), kelemahan sfingter (8%), dan
Pemeriksaan fisik berupa colok dubur dan pemeriksaan neurologis dilakukan pada semua
penderita.Yang dinilai pada colok duburadalah ukuran dan konsistensi prostat. Pada pasien BPH,
umumnya prostat teraba licin dan kenyal.Apabila didapatkan indurasi pada perabaan, waspada
adanya proses keganasan, sehingga memerlukan evaluasi yang lebih lanjut berupa pemeriksaan
kadarProstat Spesific Antigen (PSA) dan transrectal ultrasound serta biopsy (Cooperberg dkk,
2013).
Selama ini volume prostat telah digunakan sebagai dasar dan kriteria untuk diagnose BPH.
Menurut Terris (2002), pengukuran volume prostat sangat berguna untuk rencana terapi pada
pasien BPH (Terris dkk,2002). Roehrborn (2012) menyatakan bahwa perkiraan volume prostat
menggunakan colok dubur adalah tidak akurat,sedangkan MRI dan CT dapat lebih tepat untuk
mengukur volume prostat tetapi sayangnya pemeriksaan ini sangat mahal (Roehrborn dkk, 2012)
17
Digital rectal examination (DRE) atau colok dubur secara rutin digunakan untuk mengukur
kreatinin diperiksa untuk evaluasi fungsi ginjal. Insufisiensi renal didapatkan dari 10% penderita
dengan prostatism dan dibutuhkan pemeriksaan saluran kemih bagian atas. Pasien dengan
insufisiensi renal memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi pasca operasi.
Pemeriksaan PSA serum biasanya dilakukan pada awal terapi namun hal ini masih kontroversi.
PSA adalah glikoprotein yang diproduksi terutama di sel epitel yang tersusun pada duktus
kelenjar prostat.PSA terutama terdapat pada jaringan prostat, dan juga terdapat dalam jumlah
kecil pada serum.Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti penyakit pada prostat,
inflamasi, atau trauma, menyebabkan PSA lebih banyak memasuki sistem sirkulasi. Peningkatan
kadar PSA serum menjadi penanda penting dari berbagai penyakit prostat, termasuk diantaranya
Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml (Wadgaonkar, dkk., 2013). Dikatakan
tingkat inflamasi pada prostat berkorelasi positif dengan nilai PSA (Gui-zhong dkk, 2011).
Kultur urin dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi saluran kemih. Dalam
keadaan normal, urin bersifat steril. Saluran kemih terdiri dari ginjal, sistem pengaliran (kaliks,
pyelum, dan ureter), dan kandung kemih (penyimpanan urin). Pada wanita, urin keluar dari
18
kandung kemih melalui uretra yang bermuara dekat dengan vagina. Pada pria, urin keluar dari
Inflamasi pada jaringan prostat diklasifikasikan menurut gambaran histologi dan menurut
dikategorikan menjadi derajat 0, derajat 1 adanya infiltrat sel inflamasi yang tersebar tanpa adanya
nodul, derajat 2 terdapat nodul tanpa berhubungan satu sama lain, dan derajat 3 bila terdapat area
inflamasi yang luas dengan penyatuan. Pasien BPH dengan inflamasi prostat dan derajat
agresivitas prostat dapat digolongkan pada kelompok low-grade dan high grade berdasarkan skala
4 poin untuk perluasan inflamasi intraprostat yang diajukan oleh Irani , et al (1997). Kelompok
low grade meliputi inflamasi kronis dan agresivitas grade 0 dan grade 1, Sedangkan kelompok
high grade meliputi inflamasi kronis dan agresivitas grade 2 dan grade 3. (De Nunzio, 2011).
Tabel 2.2. Derajat Histologis dan Agresivitas pada Inflamasi Prostat (Sciarra, 2007).
2.1.9 Pencitraan
Pencitraan saluran kemih bagian atas (IVP dan USG) dianjurkan apabila didapatkan
kelainan penyerta dan atau terdapat komplikasi misalnya hematuria, ISK, insufisiensi renal dan
riwayat batu ginjal. Sistoskopi tidak direkomendasikan untuk dianostik tetapi digunakan untuk
19
terapi invasif. Pemeriksaan tambahan berupa cystometrogram dan profil urodinamik dilakukan
pada pasien yang dicurigai memiliki kelainan neurologis. Pemeriksaan flow rate dan residu post
Testosteron merupakan androgen yang paling penting pada manusia. Androgen adalah
kelompok steroid yang mempunyai efek anabolik dan maskulinisasi baik pada laki-laki maupun
wanita. Testosteron juga berfungsi meregulasi libido, energi, fungsi imunitas, perkembangan otot
Pada laki-laki testosteron disintesis oleh sel Leydig dari testis dan merupakan seks
hormon yang dominan. Sedangkan pada wanita testosteron disintesis di ovarium dan
kelenjar adrenal. Sirkulasi testosteron terdapat dalam 3 fraksi utama yaitu testosteron bebas
/ free testosterone / fT, testosteron yang berikatan dengan albumin dan Sex Hormone -
Binding Globulin (SHBG). Ketiga fraksi ini membentuk testosteron total (Jones, 2007). Pada
usia muda sebanyak 60% testosteron dalam bentuk SHBG, 38 % berikatan dengan albumin
20
dan 2% terdiri dari fT. Sedangkan pada usia lanjut testosteron dalam bentuk SHBG
kadarnya meningkat hingga 80%, yang berikatan dengan albumin 19% dan 1% merupakan
free testosterone (Haren et al., 2002). Penuaan pada laki-laki ditandai dengan adanya
dengan peningkatan risiko DM tipe-2. Resistensi insulin sangat erat kaitannya dengan SM
dan kadar sex hormon. Belakangan beberapa studi potong lintang melaporkan adanya
hubungan antara kadar testosteron yang rendah dengan SM (Chaoyang et al., 2010).
Testosteron diproduksi oleh sel Leydig di Testis dan inhibin B diproduksi oleh sel
Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH). Produksi testosteron di bawah
kontrol LH, sementara produksi sperma dibawah kontrol FSH. Kedua hormon pituitary
tersebut (LH dan FSH) dikendalikan oleh Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH).
maskulinisasi tubuh. Bahkan selama kehidupan janin testis sudah distimulasi oleh korionik
perkembangan janin dan selama 10 minggu atau lebih setelah kelahiran. Selanjutnya pada
dasarnya tidak ada testosteron yang dihasilkan selama masa kanak-kanak sampai kira-kira
usia 10-13 tahun. Kemudian produksi testosteron meningkat dengan cepat dibawah
rangsangan hormon-hormon gonadotropin hipofisis anterior pada awal pubertas dan berakhir
sepanjang masa kehidupan, menurun dengan cepat diatas usia 50 tahun. Pada usia 80 tahun
penurunan hormon testosteron dapat hingga mencapai 20-50% dari kadar puncak (Andrew,
2014).
menurunnya libido dan aktivitas seksual, kelelahan / cepat capek. Gejala yang lainnya dapat
berupa depresi, sulit berkonsentrasi, iritabilitas, sulit tidur mengecilnya masa dan kekuatan
otot. Perubahan secara fisik pada defisiensi testosteron, dapat berupa kelemahan otot, rambut
rontok, perubahan distribusi fat (abdominal obesity). Gejala tersebut umumnya tidak spesifik
oleh karena dapat juga dijumpai pada kondisi klinis yang lain (Pantalone et al., 2012).
Defisiensi testosteron sering under diagnosis oleh karena tidak ada gejala dan
tanda yang spesifik. Gejala dan tanda defisiensi testosteron umumnya diketahui pada kondisi
yang sudah lanjut sehingga akan mempengaruhi prognosis dan kualitas hidup penderita.
Gejala dan tanda defisiensi testosteron dapat berupa; menurunnya libido, menurunnya
22
aktifitas seksual, berkurangnya massa dan kekuatan otot, disfungsi ereksi, lemah / low
energy dan depresi (Jones , 2007 ; Mendonca et al., 2014). Assosiasi yang substansial /
signifikan yang banyak dilaporkan adalah antara kadar testosteron yang rendah dengan
vaskuler, hipertensi dan aterosklerosis (Bajos et al., 2010 ; Corona et al., 2011 ; Wang et al.,
2011).
penting dari kejadian kardiovaskuler di masa yang akan datang (Ohisson et al., 2011 ; Wang
et al., 2011).
Fatty Acid) dan estrogen. Semua substansi tersebut memberikan kontribusi pada
perkembangan inflamasi prostat seperti halnya pada kondisi defisiensi androgen (Traish et
al., 2009).
Visceral fat merupakan jaringan yang aktif mensekresi (active secretory tissue)
seperti IL-6, IL-1β, PAI-1, TNFα, angiotensinogen, vascular endothelial growth factor
dari vaskuler sistemik maupun perifer (Reilly et al., 2004). FFA mengaktifasi nuclear factor-
meningkatnya sintesis IL-6 dan macrophage chemoattractant protein-1 (MCP-1) yang akan
juga meningkatkan ekspresi molekul adesi pada endotelium dan sel otot polos vaskuler. IL-6
menstimulasi sintesis C-reactive protein oleh hepatosit. Aromatase merupakan enzim yang
langsung sensitivitas insulin (Reilly et al., 2004 ; Wang et al., 2011). Kadar testosteron pada
penderita Sindrom Metabolik dan kaitannya dengan komponen Sindrom Metabolik dapat
Clinical Relevance :
Metabolic
+ Syndrome Insuline Resistence/
+ Endothelial Dysfunction
Vasculer
damage DM type 2
Angiotensinogen Stroke
Adiponectin Erectile
Dysfunction
+
+ Classical Hypogonadism
T Hypothalamus-
+ deficiency pituitary
Enlarge +
Prostat
GnRH
FFA LH - -
↑ IL-6
Leydig
↑ TNF Estradiol
Cell
↑ Insulin - levels
function
↑ Leptin Aromatase
activity in
adiposity
2.3 Prostate Spesific Antigen (PSA) sebagai self-antigen terhadap derajat inflamasi.
Pengukuran Prostate Spesific Antigen (PSA) telah digunakan secara luas untuk
mendeteksi dini keganasan dan memonitor terapi pada prostat. Perlu ditekankan bahwa PSA
tidaklah spesifik untuk kanker prostat, namun PSA secara spesifik diproduksi oleh jaringan
prostat. Kelainan pada prostat selain keganasan juga dapat mempengaruhi kadar PSA serum,
PSA adalah glikoprotein yang diproduksi terutama di sel epitel yang tersusun pada duktus
kelenjar prostat. PSA terutama terdapat pada jaringan prostat, dan juga terdapat dalam jumlah
kecil pada serum. Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti penyakit pada prostat,
inflamasi, atau trauma, menyebabkan PSA lebih banyak memasuki sistem sirkulasi. Peningkatan
kadar PSA serum menjadi penanda penting dari berbagai penyakit prostat, termasuk diantaranya
Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml (Wadgaonkar, dkk., 2013). Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa tingkat inflamasi pada jaringan prostat berkorelasi positif dengan
nilai PSA. Inflamasi meningkatkan kadar PSA serum, penyebab paling memungkinkan adalah
adanya kerusakan integritas dari duktus pada prostat yang mengakibatkan keluarnya PSA dari
Salah satu penelitian awal mengenai kadar PSA dengan inflamasi histologis dilakukan
oleh Brawn (1991), dengan kesimpulan bahwa inflamasi pada prostat menyebabkan kenaikan
kadar PSA serum. Penelitian oleh Irani (1997) menunjukkan adanya hubungan antara agresifitas
inflamasi dengan peningkatan kadar PSA. Simardi (2004) menyimpulkan bahwa luasnya
inflamasi berkorelasi dengan peningkatan PSA serum. Kandirali (2007) memodifikasi metode
grading dari Irani, dan menunjukkan adanya hubungan luas dan agresifitas dari inflamasi pada
25
prostat dengan peningkatan kadar PSA dan PSA density (PSAD) serta penurunan kadar free PSA
(fPSA). Gui-zhong (2013) menggunakan klasifikasi prostatitis dari National Institute of Health
(NIH), menunjukkan perluasan dan derajat inflamasi berhubungan dengan peningkatan kadar
Pemeriksaan PSA serum yang umum dilakukan adalah PSA serum total (tPSA).
Perbandingan PSA serum total dengan volume prostat disebut sebagai PSA density (PSAD).
Sebagian besar PSA pada plasma berikatan dengan inhibitor serine protease seperti α1-
antichymotrypsin, α1-protease inhibitor, dan α2-macroglobulin. 10%-30% dari PSA total (tPSA)
tidak berikatan dengan protein serum, disebut dengan PSA bebas (free PSA/fPSA). Rasio fPSA
dengan tPSA (fPSA/tPSA) disebut sebagai persentase fPSA. Beberapa penelitian menunjukkan
adanya persentase fPSA yang lebih rendah pada pasien dengan kanker prostat. Hal ini dapat
digunakan sebagai pemeriksaan yang lebih spesifik untuk mendeteksi kanker prostat. Partin, dkk
melaporkan bahwa f/tPSA pada serum dapat lebih akurat dalam membedakan kanker prostat
dengan penyakit nonmalignansi sehingga dapat menghindari adanya biopsi yang tidak perlu.
Nilai normal f/tPSA yang direkomendasikan adalah 0,2-0,25. (Amirraouli dkk., 2010).
Akhir-akhir ini terdapat dugaan bahwa PSA merupakan suatu antigen yang menjadi salah
satu pencetus terjadinya proses inflamasi pada jaringan prostat. Sebuah penelitian pada pasien
dengan prostatitis, ditemukan adanya reaksi CD4 sel T dengan plasma seminal, di mana antigen
yang dikenali berasal dari postat. CD4 sel T pada pasien dengan prostatitis memberikan respon
Sampai saat ini, penyebab prostatitis kronis atau sindrom nyeri pelvis kronis masih belum
diketahui. Sejak lama, infeksi telah digambarkan sebagai penyebabnya. Namun pada
kenyataannya, banyak pasien dengan kronik prostatitis gagal diterapi dengan obat antibakterial.
26
Hipotesa bahwa prostatitis kronis atau sindrom nyeri pelvis kronis merupakan sebuah penyakit
autoimun didukung oleh beberapa hasil observasi. Pertama, sifatnya yang kronis, berulang dan
episodik konsisten dengan penyebab autoimun. Kedua, umumnya pada jaringan prostat
ditemukan infiltrat dari sel-sel inflamasi. Penyebab adanya infiltrat tersebut, dan implikasi dari
keberadaannya masih belum diketahui dengan pasti. Yang ketiga, telah dibuktikan bahwa CD4
sel T pada pasien dengan prostatitis kronis atau dengan sindrom nyeri pelvis kronis memberikan
respon proliferatif terhadap plasma seminal. Terakhir, didapatkan bahwa sitokin proinflamasi
TNF-α dan IL-1β meningkat pada cairan semen pada pria dengan prostatitis kronis bila
Penelitian mengenai antigen pada prostat yang dapat menjadi target respon dari T limfosit
muncul dari penelitian mengenai imunoterapi pada kanker prostat. Pertanyaan utamanya adalah
apakah imunoterapi dapat memberikan perbaikan pada penanganan prostatitis dan kanker prostat
(Ponniah, 2000).
Bourke dan Griffin adalah yang pertama dalam menunjukkan adanya hubungan antara
diabetes mellitus dan etiology BPH, berdasarkan prevalensi tertinggi pria dengan DM mengalami
prostatektomi dibandingkan pada populasi pria secara umum. Hampir 30 tahun kemudian ,
sebuah studi oleh Hammarsten et al. regenerasi kepentingan ilmiah tentang hubungan antara dua
kondisi. Mereka menunjukkan bahwa penderita dengan gejala saluran kemih bawah ( LUTSs )
dan DM - 2 memiliki volume prostat lebih besar dibandingkan pasien dengan LUTSs tanpa
diabetes mellitus. Selain itu, Safarinejad dan Sarma menemukan hubungan positif antara clinical
gejala obstruktif ataupun iritasi : trias klasik gejala obstruktif (kesulitan memulai berkemih,
kepenuhan setelah berkemih, serta peningkatan volume sisa urin setelah berkemih) mencirikan
diabetes cystopathy juga umum di BPH. Demikian pula, frekuensi dan urgensi terkait dengan
DM – menginduksi ketidakstabilan detrusor dan BPH. Perbedaan antara LUTS sekunder pada
DM dan LUTS sekunder pada BPH sulit untuk dinilai. Selain itu, diabetes memberikan
kontribusi besar terhadap perkembangan dan memburuknya LUTS sementara di sisi lain BPH
tidak selalu disertai dengan gejala . Sebagai pengetahuan, ini gejala yang sangat umum terjadi
pada pasien diabetes, dengan 39 % -61 % dari mereka memiliki beberapa tingkat frekuensi dan
urgensi. Seperti diabetes mempengaruhi fungsi berkemih , pasien dengan BPH yang menderita
penyakit DM - 2 memiliki gejala lebih mengganggu dan menunjukkan laju alir maksimum
Untuk alasan di atas, pasien dengan DM - 2 lebih rentan untuk dapat didiagnosis dengan
BPH dan kemudian menjalani prostatektomi dibandingkan populasi pria umumnya. Peneliti lain
menyatakan bahwa pada pasien dengan hipertrofi prostat yang memiliki tingkat glukosa serum
lebih tinggi ( > 110 mg / dL ) memiliki volume prostat rata-rata jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang memiliki nilai glukosa serum lebih rendah. Selanjutnya, Hammarsten dan
Högstedt membandingkan karakteristik antropologi dengan laboratorium dan data klinis pada
pasien dengan gejala saluran kemih bawah dengan atau tanpa manifestasi dari sindrom metabolik
ditunjukkan peningkatan lebih lanjut dalam tingkat pertumbuhan prostat dengan peningkatan
Nandeesha et al. korelasi parameter insulin dengan ukuran prostat dan didapatkan insulin
serum puasa dan insulin resistance signifikan lebih tinggi pada kasus BPH nondiabetes bila
28
pengurangan pada pertumbuhan sel-sel epithelial prostat dengan pengurangan insulin. Di antara
mekanisme lain yang mungkin diusulkan untuk mengasosiasikan pengembangan BPH dengan
DM - 2 adalah adanya peningkatan saraf simpatis perifer dan aktivitas sistem saraf otonom
dalam keadaan hiperinsulinemia dan hipoksia, karena penurunan suplai darah prostat berasal dari
diabetes mellitus yang menginduksi kerusakan pembuluh darah. dapat dikatakan bahwa kelainan
homeostasis glukosa turut berperan dalam penyebab BPH dengan mempengaruhi tingkat
Mekanisme hipotetik tertentu sulit untuk diidentifikasi. Pengetahuan saat ini mendukung
ide suatu faktor pertumbuhan merangsang perkembangan hipertrofi prostat. Bahkan, insulin
adalah hormon yang dapat merangsang pertumbuhan dan reproduksi sel Dalam rangka untuk
mengevaluasi peran faktor pertumbuhan BPH, Wang dkk meneliti ekspresi pada fibroblas
growth factor ( pertumbuhan fibroblast faktor 2, FGF2 ) dalam prostat sejumlah tikus dengan
diabetes mellitus. Mereka menemukan bahwa ekspresi FGF2 lebih tinggi pada sel epitel
dibandingkan dengan sel-sel stroma dari prostat dari kelompok kontrol, namun ekspresi FGF2 itu
merata di prostat kelompok diabetes . Menariknya FGF2 dalam stroma dan lapisan epitel
konsisten dengan ketidakseimbangan dalam hubungan jumlah sel lapisan epitel dan stroma yang
diamati pada BPH. Mereka juga menyadari bahwa tikus diabetes memiliki prostat lebih kecil dan
dengan insulin meningkatkan ukuran prostat dan tingkat testosterone. Insulin adalah hormon
Kehadiran insulin - like growth factor ( IGF ) telah dikenal selama puluhan tahun ada di
jaringan prostat. Hal ini telah dibuktikan pula bahwa sel-sel epitel prostat serta sel-sel stroma
29
menanggapi aksi mitogenik IGF melalui reseptor IGF-I. Selain itu, telah dibuktikan bahwa sel-
sel lapisan stroma prostat menyusun dan mengeluarkan IGF - II serta protein penghubung (
protein IGF - binding / IGFBP ) yang mengalami proteolisis oleh Prostate Specific Antigen (
PSA ). Penyimpangan dalam berbagai elemen sistem IGF telah diamati pada sel-sel stroma
prostat pada BPH. Mengingat ketergantungan epitel serta sel-sel stroma dari dan peningkatan
aktivitas IGF - II pada sel-sel daerah periurethral - dimana BPH berkembang - bisa diduga bahwa
membuktikan bahwa atrofi prostat disebabkan oleh kekurangan androgen serta dengan efek
antiandrogen dan 5-a- reduktase inhibitor dicapai melalui faktor pertumbuhan lokal. Khusus
untuk faktor pertumbuhan seperti insulin, uji coba membuktikan bahwa aktivitasnya mungkin
akan diatur oleh androgen. Dalam ketiadaan mereka, jumlah IGFBP secara dramatis berkurang
sedangkan penghambatan transformasi testosteron menjadi DHT menurun baik IGF - 1 reseptor
Banyak bukti terkait peranan resistensi insulin yang mengeluarkan berbagai sitokin
seperti adiponectin, leptin, tissue factor, angiotensinogen, lipoprotein lipase, IL-6, TNF-α,
plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) (Miranda et al., 2004; Khan et al., 2006; Despres et
al., 2008; Jiamsripong et al., 2008; Huang, 2009). Peningkatan adipose visceral berikut sitokin
yang dikeluarkannya, bertanggung jawab pada resistensi insulin akibat adanya lipotoxicity
sehubungan dengan pelepasan dari free fatty acids (FFA) pada sirkulasi portal. Adanya stress
oksidatif pada resistensi insulin mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel dan beberapa studi
adiposity dan resistensi insulin melalui proses inflamasi (low grade chronic inflammation)
30
memegang peranan sentral pada patofisiologinya (Resnick, 2003; Reilly et al., 2004; Blaha et
al., 2006; Johnson, 2006; Cornier et al., 2008; Handelsman, 2009; Koh et al., 2009; Kaku, 2010).
Pelepasan asam lemak dan berbagai sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-6, serta
penurunan adiponektin pada kondisi obesitas merupakan penyebab utama terjadinya resistensi
insulin (Grundy, 2004). Resistensi insulin yang berkepanjangan dimana sel beta pankreas tidak
menyebabkan hipertensi. Hiperglikemia dan pelepasan asam lemak bebas yang berlebihan
peningkatan pembentukan lipoprotein dan menurunkan HDL (Gambar 2.1) (Opie et al., 2007).
Vasoconstrict
ion
BP ≥
A-II 2
(Cytokines) Pancreas
3
Abdominal
FFA muscle
Insulin FPG
Obesity
prediabetic
resistance
1 Not diabetic
Glucose
(hyperglycemia) 4
liver TG
FFA 5
Glucose
HDL
terhadap kadar normal insulin yang bersirkulasi atau suatu kondisi klinis dimana kadar
insulin yang normal atau meningkat mendapat respon biologi yang rendah dari jaringan
(Cefalu, 2001; Savage et al., 2005). Mekanisme terjadinya resistensi insulin secara teoritis
dapat muncul dengan berbagai macam mekanisme yaitu defek pada gen reseptor insulin,
adanya antibodi anti reseptor, defek inflamasi. Diantara berbagai factor tersebut yang
berperan paling besar sebagai penyebab resistensi insulin adalah defek post reseptor (Korc,
2009).
faktor risiko Penyakit Kardiovaskuler. Resistensi insulin dapat terjadi sekunder akibat
obesitas dan adanya faktor genetik. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah kurangnya
aktivitas fisik, lanjut usia, disfungsi endokrin dan predileksi genetik. Berkurangnya aktivitas
menekan produksi glukose (glukoneogenesis) dari hati, dan ginjal. Peptide dan sitokin yang
ambilan glukose / glucose uptake oleh insulin perifer / insulin sensitive tissues (jaringan otot
dan adipose) dan akan meningkatkan akumulasi dari lemak hati / hepatic fat (Kaku, 2010;
Saad, 2009).
peningkatan tekanan darah melalui aktivasi sistim saraf simfatis / Sympathetic Nervous
retensi natrium dan volume ekspansi, disfungsi endotel dan perubahan fungsi ginjal.
menghambat efek vasodilatasi dari insulin dan ambilan / uptake glukose ke dalam sel otot
rangka. Juga terjadi penurunan sekresi NO (Nitric Oxide) oleh sel endotel dan vasokontriksi
pada otot polos. Jadi patomekanisme resistensi insulin menimbulkan hipertensi adalah