Anda di halaman 1dari 27

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

2.1.1 Insidensi & Epidemiologi

BPH merupakan tumor jinak yang paling sering pada laki-laki,insidennya berhubungan

dengan usia. Prevalensi histologis BPH meningkat dari 20% pada laki berusia 41-50 tahun, 50%

pada laki usia 51-60 tahun hingga lebih dari 90% pada laki berusia diatas 80 tahun. Meskipun

bukti klinis belum muncul,namun keluhan obstruksi juga berhubungan dengan usia. Pada usia 50

tahun + 25% laki-laki mengeluh gejala obstruksi pada saluran kemih bagian bawah, meningkat

hingga usia 75 tahun dimana 50% laki-laki mengeluh berkurangnya pancaran atau aliran pada

saat berkemih (Cooperberg, 2013).

Gambar 2.1. Angka Kejadian BPH Berdasarkan Usia di Beberapa Negara

(Roehrborn, 2012).

6
7

Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, selama tahun 2013 terdapat 103 pasien

dengan BPH yang menjalani operasi, dari total 1161 pasien urologi yang menjalani operasi.

Faktor-faktor resiko terjadinya BPH masih belum jelas, beberapa penelitian mengarah

pada predisposisi genetik atau perbedaan ras. Kira-kira 50% laki-laki berusia dibawah 60 tahun

yang menjalani operasi BPH memiliki faktor keturunan yang kemungkinan besar bersifat

autosomal dominan, dimana penderita yang memiliki orangtua menderita BPH memiliki resiko

4x lipat lebih besar dibandingkan dengan yang normal (Cooperberg, 2013).

2.1.2 Anatomi

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak inferior dari buli-buli,di depan rektum

dan membungkus uretra posterior. Berbentuk seperti buah kemiri dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan

berat kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang

terbagi dalam beberapa daerah atau zona,yaitu zona perifer,zona sentral, zona transitional, zona

preprostatik dan zona anterior (Mc Neal, 1988). Secara histopatologi, kelenjar prostat terdiri atas

komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh

darah, saraf dan jaringan interstitial yang lain. Prostat menghasilkan suatu cairan yang

merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat.Cairan ini dialirkan melalui duktus

sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen

yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan 25% dari seluruh volume

ejakulat.Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatis dan parasimpatis dari plexus

prostatikus.Pleksus prostatikus menerima masukan serabut parasimpatis dari corda spinalis S2-4

dan simpatis dari nervus hipogastrikus T10-L2. Stimulasi parasimpatis meningkatkan sekresi

kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatis menyebabkan pengeluaran cairan
8

prostat ke dalam uretra posterior seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatis memberikan

inervasi pada otot polos prostat,kapsula prostat dan leher buli-buli. Pada tempat tersebut banyak

terdapat reseptor adrenergic α. Rangsangan simpatismempertahankan tonus otot polos tersebut.

Jika kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak atau berubah menjadi tumor ganas, dapat terjadi

penekanan uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih (Cooperberg

dkk, 2013).

2.1.3 Etiologi

Etiologi BPH belum sepenuhnya dimengerti, tampaknya bersifat multifaktor dan

berhubungan dengan endokrin. Prostat terdiri dari elemen epithelial dan stromal dimana pada

salah satu atau keduanya dapat muncul nodul hiperplastik dengan gejala yang berhubungan

dengan BPH.

Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:

1) Teori Dihidrotestosteron

Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada

pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron didalam sel prostat oleh 5α-

reduktase dengan bantuan koenzim NADPH.DHT yang telah terbentuk berikatan dengan

reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi

sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.

2) Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron

Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan kadar estrogen relatif

tetap sehingga perbandingan antara estrogen : progesteron relatif meningkat. Telah diketahui

bahwa estrogen didalam prostat berperan didalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat
9

dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen,

meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat

(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah meskipun rangsanganterbentuknya sel-sel

baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai

umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.

3) Interaksi stromal-epitel

Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara

tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma, mendapatkan stimulasi dari DHTdan estradiol,sel-

sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu

sendirisecara intrakrin atau autokrin serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi

itu sendiri menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.

4) Berkurangnya kematian sel prostat

Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian

sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel

prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat

yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi

meningkat sehingga menyebabkan pertambahan masa prostat.

5) Teori Sel Stem

Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis,selalu dibentuk sel-sel baru.

Didalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem yaitu sel yang mempunyai kemampuan

berproliferasi sangat ektensif.Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon

androgen sehingga jika hormone ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada

kastrasi,menyebabkan apoptosis.Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai


10

ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan pada sel stroma

maupun sel epitel.

Observasi dan penelitian pada laki-laki jelas mendemontrasikan bahwa BPH dikendalikan

oleh sistem endokrin, di mana kastrasi mengakibatkan regresi pada BPH dan perbaikan keluhan.

Pada penelitian lebih lanjut tampak korelasi positif antara kadar testosteron bebas dan estrogen

dengan volume pada BPH. Hal ini berhubungan dengan peningkatan estrogen pada proses

penuaan yang mengakibatkan induksi dari reseptor androgen yang menjadikan prostat lebih

sensitif pada testosteron bebas. Namun belum ada penelitian yang mendemontrasikan

peningkatan reseptor estrogen level pada penderita BPH (Cooperberg, 2013).

6) Teori Inflamasi

Sejak tahun 1937, terdapat hipotesa bahwa BPH merupakan peyakit inflamasi yang

dimediasi oleh proses imunologi. Uji klinis terbaru juga menunjukkan adanya hubungan antara

proses inflamasi pada prostat dengan LUTS. Di Silverio mendapatkan 43% gambaran inflamasi

pada histopatologi dari 3942 pasien BPH. Sementara penelitian dari Daniels, dkk. menemukan

adanya prostatitis pada 83% dari pasien dengan BPH. Dikatakan bahwa pasien dengan prostatitis

memiliki risiko delapan kali lebih besar untuk terjadinya BPH.

(De Nunzio dkk, 2011).

Data penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan inflamasi kronik pada prostat memiliki

risiko lebih tinggi terhadap progresifitas BPH dan terjadinya retensi urin. Pada pasien dengan

volume prostat yang kecil, hanya yang disertai dengan proses inflamasi yang mengalami gejala

obstruksi. Inflamasi prostat juga dikaitkan dengan pembesaran volume prostat, semakin berat

derajat inflamasi, semakin besar volume prostat dan semakin tinggi nilai IPSS. Sampai saat ini

masih belum dapat dijelaskan efek inflamasi terhadap LUTS (De Nunzio dkk, 2011).
11

2.1.4 Patologi

BPH terbentuk pada zona transisional. Merupakan proses hiperplasi akibat dari

peningkatan jumlah sel. Secara mikroskopik tampak pola pertumbuhan yang berbentuk noduler

yang terdiri dari jaringan stromal dan ephitelial, stroma terdiri dari jaringan kolagen dan otot

polos (Cooperberg dkk, 2013).

Penampilan komponen-komponen BPH secara histologis yang beragam menjelaskan

potensial respon terhadap pengobatan.Terapi dengan α-bloker memberikan respons yang baik

pada pasien BPH dengan komponen dominan otot polos, sementara bila komponen yang

dominan adalah ephitel, memberikan respons yang baik terhadap 5-α reduktase inhibitor.

Penderita BPH dengan komponen dominan kolagen kurang respon terhadap medikamentosa.

Gambar 2.2. Anatomi Kelenjar Prostat (Cooperberg, 2013)


12

Pembesaran nodul pada zona transitional menekan zona luar pada prostat yang

mengakibatkan terbentuknya surgical capsule. Kapsul ini memisahkan zona transisional dengan

zona perifer, dan juga merupakan batas dilakukannya prostatektomi terbuka.

2.1.5 Patofisiologi

Keluhan dari BPH diakibatkanoleh adanya obstruksi dan sekunder akibat dari respon

kandung kemih.Komponen obstruksi dapat dibagi menjadi obstruksi mekanik dan dinamik.Pada

hiperplasi prostat, obstruksi mekanik terjadi akibat penekanan terhadap lumen uretra atau leher

buli, yang mengakibatkan resistensi bladder outlet. Sebelum pembagian zona klasifikasi dari

prostat, ahli urologi membagi menjadi 3 lobus yaitu 2 lobus lateral dan 1 lobus medial. Ukuran

prostat pada pemeriksaan rectal toucher (RT) memiliki korelasi yang kurang terhadap timbulnya

gejala, karena pada RT lobus medial kurang atau tidak teraba.

Komponen obstruksi dinamik menjelaskan berbagai jenis keluhan penderita. Stroma prostat

terdiri dari otot polos dan kolagen, yang dipersyarafi oleh saraf adrenergik. Tonus uretra pars

prostatika diatur secara autonom,sehingga penggunaan α-blocker menurunkan tonus ini dan

menimbulkan disobstruksi.

Keluhan pada saat berkemih pada pasien BPH akibat dari respons sekunder kandung

kemih. Obstruksi pada kandung kemih mengakibatkan hipertrofi dan hyperplasia dari otot

detrusor disertai penimbunan kolagen, pada inspeksi tampak penebalan otot detrusor berbetuk

sebagai trabekulasi, apabila berkelanjutan mengakibatkan terjadinya hernia mukosa diantara otot

detrusor yang mengakibatkan terbentuknya divertikel (Cooperberg dkk, 2013)


13

2.1.6 Gejala Klinis

Tidak semua BPH menimbulkan gejala. Sebuah penelitan pada pria berusia di atas 40

tahun, sesuai dengan usianya, sekitar 50% mengalami hiperplasia kelenjar prostat secara

histopatlogis. Dari jumlah tersebut, 30-50% mengalami LUTS, yang juga dapat disebabkan oleh

kondisi lain (Roehrborn dkk, 2012)

Gambar 2.3. Hubungan Antara BPH, LUTS, Pembesaran Prostat , dan Obstruksi

Kandung Kemih Pada Pria Berusia Lebih Dari 40 Tahun (Roehrborn, 2012).

Gejala BPH terbagi menjadi gejala obstruktif dan iritatif. Gejala obstruksi berupa

hesistansi, penurunan pancaran urin, rasa tidak tuntas saat berkemih, double voiding, mengejan

saat berkemih dan urin menetes setelah berkemih. Gejala iritatif berupa urgensi, frekuensi dan

nokturia (Cooperberg, 2013). Gejala-gejala tersebut disebut sebagai gejala saluran kemih bagian

bawah atau Lower Urinary Tract Syndrome (LUTS).

LUTS dapat dibagi menjadi gejala penampungan, pengosongan, dan pascamiksi.

Umumnya, LUTS dikaitkan dengan adanya obstruksi yang diakibatkan oleh pembesaran kelenjar

prostat. Namun penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa LUTS tidak hanya disebabkan oleh
14

adanya kelainan pada prostat. Adanya gangguan dari kandung kemih dapat juga menyebabkan

LUTS, misalnya peningkatan aktivitas otot detrusor, gangguan kontraktilitas pada fase

penampungan, dan penurunan aktivitas otot detrusor pada fase pengosongan. Kondisi lain baik

kondisi urologis maupun neurologis juga dapat berkontribusi terhadap adanya LUTS (Roehrborn

dkk, 2012).

Gambar 2.4. Penyebab LUTS pada Pria (Roehrborn dkk, 2012).

Terdapat beberapa metode kuisioner yang tersedia saat ini bagi para klinisi untuk

mengukur tingkat gejala saluran kemih bagian bawah. Metode tersebut di antaranya adalah

Boyarsky, Madsen–Iversen, Maine Medical Assessment Program (MMAP), Danishsymptom

score (DAN-PSS-1), AUA symptom score, IPSS, Bolognese instrument(Roehrborn dkk, 2012).

International Prostate Symptom Score (IPSS), yang dikembangkan oleh American

Urological Association, merupakan kuisioner yang paling sering digunakan. IPSS merupakan

pengembangan dari AUA symptom score yang ditambah dengan satu pertanyaan mengenai

kualitas hidup. Telah dilaporkan bahwa IPSS merupakan metode yang dapat dipercaya dan
15

cukup sederhana, di mana tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan sosial demografi

(Ozturk dkk, 2011).

IPSS dibuat sedemikian rupa sehingga pasien dapat melengkapinya sendiri, dengan hasil

yang lebih baik bila disertai dengan bantuan dari petugas kesehatan. Ozturk dkk membuktikan

bahwa nilai dari IPSS yang dilengkapi oleh pasien sendiri dengan nilai IPSS yang dilengkapi

oleh pasien dengan bantuan petugas kesehatan tidak berbeda secara signifikan. IPSS saat ini

telah divalidasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa yang berbeda-beda di banyak negara.

Pedoman dari American Urological Association (AUA) menyatakan bahwa IPSS

merupakan kuisioner yang telah tervalidasi untuk digunakan dalam menilai tiga gejala

penampungan (frekuensi, nokturia, dan urgensi), dan empat gejala pengosongan buli (rasa tidak

tuntas, intermiten, mengedan, dan pancaran yang lemah). IPSS juga menilai tingkat dari

gangguan yang dirasakan, dengan satu pertanyaan tambahan mengenai kualitas hidup

(Roehrborn dkk, 2012).

IPSS berisi tujuh pertanyaan mengenai gejala dan satu pertanyaan untuk menilai kualitas

hidup, dimana pasien dapat menilai keluhan secara kuantitatif dalam skala 0-5. Nilai maksimal

dari IPSS adalah 35. Derajat gejala saluran kemih bagian bawah dikelompokkan menjadi tiga,

nilai 0-8 derajat ringan, 9-19 derajat sedang, dan 20 ke atas derajat berat. IPSS hanya digunakan

untuk menilai beratnya gejala, dan bukan merupakan faktor diagnostik untuk menegakkan

adanya BPH (Roehrborn dkk, 2012).

Anamnesa yang lengkap dan mendalam dilakukan untuk menyingkirkan etiologi penyebab

yang lain seperti ISK, neurogenik bladder, striktur uretra dan kanker prostat.Bozdar dkk

melakukan penelitian mengenai outcome dari TURP dalam hubungannya dengan LUTS. Dari

total 70 pasien dengan BPH yang disertai dengan keluhan LUTS, rata-rata IPSS pra operasi
16

adalah 22,5 (rentang 20-35). IPSS pascaoperasi dievaluasi setelah 6 minggu dan 12 minggu.

Pada evaluasi 6 minggu pasca TURP, 81% pasien dengan LUTS ringan, 15,7% dengan LUTS

sedang, dan 2,9% dengan LUTS berat. Pada evaluasi kedua (12 minggu pasca TURP), terdapat

88,6% pasien dengan LUTS ringan, 10% dengan LUTS sedang, dan 1,5% dengan LUTS berat

(Bozdar dkk, 2010). Sampai saat ini belum ada penelitian yang menilai IPSS pasien BPH pasca

TURP di Indonesia.

Sebuah penelitian di Thailand mencoba mencari penyebab LUTS yang menetap setelah

TURP. Hasil penelitian menunjukkan penyebab yang paling banyak adalah adanya hiperaktivitas

detrusor (54%), residual obstruksi bladder outlet (16%), kelemahan sfingter (8%), dan

hipokontraktilitas detrusor (4%) (Oelke dkk, 2012).

2.1.7 Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan fisik berupa colok dubur dan pemeriksaan neurologis dilakukan pada semua

penderita.Yang dinilai pada colok duburadalah ukuran dan konsistensi prostat. Pada pasien BPH,

umumnya prostat teraba licin dan kenyal.Apabila didapatkan indurasi pada perabaan, waspada

adanya proses keganasan, sehingga memerlukan evaluasi yang lebih lanjut berupa pemeriksaan

kadarProstat Spesific Antigen (PSA) dan transrectal ultrasound serta biopsy (Cooperberg dkk,

2013).

Selama ini volume prostat telah digunakan sebagai dasar dan kriteria untuk diagnose BPH.

Menurut Terris (2002), pengukuran volume prostat sangat berguna untuk rencana terapi pada

pasien BPH (Terris dkk,2002). Roehrborn (2012) menyatakan bahwa perkiraan volume prostat

menggunakan colok dubur adalah tidak akurat,sedangkan MRI dan CT dapat lebih tepat untuk

mengukur volume prostat tetapi sayangnya pemeriksaan ini sangat mahal (Roehrborn dkk, 2012)
17

Digital rectal examination (DRE) atau colok dubur secara rutin digunakan untuk mengukur

volume prostat, tetapi hasilnya underestimate dibandingkan dengan transrectal ultrasound

(TRUS) (Roehrborn dkk, 2012)

2.1.8 Pemeriksaan Laboratorium

Dilakukan pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan infeksi dan hematuria.Serum

kreatinin diperiksa untuk evaluasi fungsi ginjal. Insufisiensi renal didapatkan dari 10% penderita

dengan prostatism dan dibutuhkan pemeriksaan saluran kemih bagian atas. Pasien dengan

insufisiensi renal memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi pasca operasi.

Pemeriksaan PSA serum biasanya dilakukan pada awal terapi namun hal ini masih kontroversi.

(Cooperberg dkk, 2013).

PSA adalah glikoprotein yang diproduksi terutama di sel epitel yang tersusun pada duktus

kelenjar prostat.PSA terutama terdapat pada jaringan prostat, dan juga terdapat dalam jumlah

kecil pada serum.Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti penyakit pada prostat,

inflamasi, atau trauma, menyebabkan PSA lebih banyak memasuki sistem sirkulasi. Peningkatan

kadar PSA serum menjadi penanda penting dari berbagai penyakit prostat, termasuk diantaranya

BPH, prostatitis, dan kanker prostat (Caroll dkk, 2013).

Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml (Wadgaonkar, dkk., 2013). Dikatakan

tingkat inflamasi pada prostat berkorelasi positif dengan nilai PSA (Gui-zhong dkk, 2011).

Kultur urin dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi saluran kemih. Dalam

keadaan normal, urin bersifat steril. Saluran kemih terdiri dari ginjal, sistem pengaliran (kaliks,

pyelum, dan ureter), dan kandung kemih (penyimpanan urin). Pada wanita, urin keluar dari
18

kandung kemih melalui uretra yang bermuara dekat dengan vagina. Pada pria, urin keluar dari

kandung kemih ke uretra melewati jaringan prostat (Shoskes dkk, 2011).

Inflamasi pada jaringan prostat diklasifikasikan menurut gambaran histologi dan menurut

agresivitasnya. Menurut gambaran histologi, tidak adanya gambaran inflamasi prostat

dikategorikan menjadi derajat 0, derajat 1 adanya infiltrat sel inflamasi yang tersebar tanpa adanya

nodul, derajat 2 terdapat nodul tanpa berhubungan satu sama lain, dan derajat 3 bila terdapat area

inflamasi yang luas dengan penyatuan. Pasien BPH dengan inflamasi prostat dan derajat

agresivitas prostat dapat digolongkan pada kelompok low-grade dan high grade berdasarkan skala

4 poin untuk perluasan inflamasi intraprostat yang diajukan oleh Irani , et al (1997). Kelompok

low grade meliputi inflamasi kronis dan agresivitas grade 0 dan grade 1, Sedangkan kelompok

high grade meliputi inflamasi kronis dan agresivitas grade 2 dan grade 3. (De Nunzio, 2011).

Tabel 2.2. Derajat Histologis dan Agresivitas pada Inflamasi Prostat (Sciarra, 2007).

2.1.9 Pencitraan

Pencitraan saluran kemih bagian atas (IVP dan USG) dianjurkan apabila didapatkan

kelainan penyerta dan atau terdapat komplikasi misalnya hematuria, ISK, insufisiensi renal dan

riwayat batu ginjal. Sistoskopi tidak direkomendasikan untuk dianostik tetapi digunakan untuk
19

terapi invasif. Pemeriksaan tambahan berupa cystometrogram dan profil urodinamik dilakukan

pada pasien yang dicurigai memiliki kelainan neurologis. Pemeriksaan flow rate dan residu post

miksi merupakan pemeriksaan tambahan (Cooperberg dkk, 2013).

2.2 Testosteron dan Inflamasi

Testosteron merupakan androgen yang paling penting pada manusia. Androgen adalah

kelompok steroid yang mempunyai efek anabolik dan maskulinisasi baik pada laki-laki maupun

wanita. Testosteron juga berfungsi meregulasi libido, energi, fungsi imunitas, perkembangan otot

dan kesehatan tulang (Andrew, 2014).

Gambar 2.3 Molekul Testosteron (Andrew, 2014)

2.2.1 Sintesis / Pembentukan Testosteron

Pada laki-laki testosteron disintesis oleh sel Leydig dari testis dan merupakan seks

hormon yang dominan. Sedangkan pada wanita testosteron disintesis di ovarium dan

kelenjar adrenal. Sirkulasi testosteron terdapat dalam 3 fraksi utama yaitu testosteron bebas

/ free testosterone / fT, testosteron yang berikatan dengan albumin dan Sex Hormone -

Binding Globulin (SHBG). Ketiga fraksi ini membentuk testosteron total (Jones, 2007). Pada

usia muda sebanyak 60% testosteron dalam bentuk SHBG, 38 % berikatan dengan albumin
20

dan 2% terdiri dari fT. Sedangkan pada usia lanjut testosteron dalam bentuk SHBG

kadarnya meningkat hingga 80%, yang berikatan dengan albumin 19% dan 1% merupakan

free testosterone (Haren et al., 2002). Penuaan pada laki-laki ditandai dengan adanya

penurunan konsentrasi testosteron dalam sirkulasi. Defisiensi testosteron berhubungan

dengan peningkatan risiko DM tipe-2. Resistensi insulin sangat erat kaitannya dengan SM

dan kadar sex hormon. Belakangan beberapa studi potong lintang melaporkan adanya

hubungan antara kadar testosteron yang rendah dengan SM (Chaoyang et al., 2010).

2.2.2 Regulasi Hormon Testosteron

Testosteron diproduksi oleh sel Leydig di Testis dan inhibin B diproduksi oleh sel

Sertoli di Tubulus Seminiferous melalui negative feedback inhibition dari Luteinizing

Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH). Produksi testosteron di bawah

kontrol LH, sementara produksi sperma dibawah kontrol FSH. Kedua hormon pituitary

tersebut (LH dan FSH) dikendalikan oleh Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH).

Gambar 2.4 Hormonal control of testosterone secretion (Pantalone et al., 2012)


21

2.2.3 Hormon testosteron dalam tubuh

Pada umumnya testosteron bertanggung jawab terhadap berbagai sifat

maskulinisasi tubuh. Bahkan selama kehidupan janin testis sudah distimulasi oleh korionik

gonadotropin dari plasenta untuk membentuk sejumlah testosteron sepanjang periode

perkembangan janin dan selama 10 minggu atau lebih setelah kelahiran. Selanjutnya pada

dasarnya tidak ada testosteron yang dihasilkan selama masa kanak-kanak sampai kira-kira

usia 10-13 tahun. Kemudian produksi testosteron meningkat dengan cepat dibawah

rangsangan hormon-hormon gonadotropin hipofisis anterior pada awal pubertas dan berakhir

sepanjang masa kehidupan, menurun dengan cepat diatas usia 50 tahun. Pada usia 80 tahun

penurunan hormon testosteron dapat hingga mencapai 20-50% dari kadar puncak (Andrew,

2014).

2.2.4 Manifestasi klinis defisiensi testosteron

Keluhan dan gejala defisiensi testosteron dapat berupa disfungsi ereksi,

menurunnya libido dan aktivitas seksual, kelelahan / cepat capek. Gejala yang lainnya dapat

berupa depresi, sulit berkonsentrasi, iritabilitas, sulit tidur mengecilnya masa dan kekuatan

otot. Perubahan secara fisik pada defisiensi testosteron, dapat berupa kelemahan otot, rambut

rontok, perubahan distribusi fat (abdominal obesity). Gejala tersebut umumnya tidak spesifik

oleh karena dapat juga dijumpai pada kondisi klinis yang lain (Pantalone et al., 2012).

Defisiensi testosteron sering under diagnosis oleh karena tidak ada gejala dan

tanda yang spesifik. Gejala dan tanda defisiensi testosteron umumnya diketahui pada kondisi

yang sudah lanjut sehingga akan mempengaruhi prognosis dan kualitas hidup penderita.

Gejala dan tanda defisiensi testosteron dapat berupa; menurunnya libido, menurunnya
22

aktifitas seksual, berkurangnya massa dan kekuatan otot, disfungsi ereksi, lemah / low

energy dan depresi (Jones , 2007 ; Mendonca et al., 2014). Assosiasi yang substansial /

signifikan yang banyak dilaporkan adalah antara kadar testosteron yang rendah dengan

risiko penyakit kardiovaskuler, seperti misalnya obesitas, resistensi insulin, inflamasi

vaskuler, hipertensi dan aterosklerosis (Bajos et al., 2010 ; Corona et al., 2011 ; Wang et al.,

2011).

Defisiensi testosteron belakangan banyak dibahas dan merupakan prediktor yang

penting dari kejadian kardiovaskuler di masa yang akan datang (Ohisson et al., 2011 ; Wang

et al., 2011).

Defisiensi testosterone merupakan proinflammatory state oleh karena jaringan

adipose mensekresi berbagai substansi seperti sitokin proinflamasi, adipokin, FFA(Free

Fatty Acid) dan estrogen. Semua substansi tersebut memberikan kontribusi pada

perkembangan inflamasi prostat seperti halnya pada kondisi defisiensi androgen (Traish et

al., 2009).

Visceral fat merupakan jaringan yang aktif mensekresi (active secretory tissue)

sitokin proinflamasi, adipokin, modulator biokimiawi dan faktor proinflamatori lainnya

seperti IL-6, IL-1β, PAI-1, TNFα, angiotensinogen, vascular endothelial growth factor

(VEGF) dan serum amyloid A (Gambar 2.5) (Wang et al., 2011).

Semua faktor tersebut memberikan kontribusi terjadinya inflamasi dan disfungsi

dari vaskuler sistemik maupun perifer (Reilly et al., 2004). FFA mengaktifasi nuclear factor-

κB pathways selanjutnya dihasilkan TNFα. TNFα mengaktivasi lipolisis diikuti dengan

meningkatnya sintesis IL-6 dan macrophage chemoattractant protein-1 (MCP-1) yang akan

meningkatkan mobilisasi makrofag dan modulasi sensitivitas insulin. Peningkatan TNFα


23

juga meningkatkan ekspresi molekul adesi pada endotelium dan sel otot polos vaskuler. IL-6

menstimulasi sintesis C-reactive protein oleh hepatosit. Aromatase merupakan enzim yang

merubah testosteron menjadi estradiol terutama di jaringan adipose. Testosteron terbukti

dapat mempengaruhi sensitivitas insulin, artinya testosteron dapat memodulasi secara

langsung sensitivitas insulin (Reilly et al., 2004 ; Wang et al., 2011). Kadar testosteron pada

penderita Sindrom Metabolik dan kaitannya dengan komponen Sindrom Metabolik dapat

dilihat pada gambar 2.5 (Wang et al., 2011)

Clinical Relevance :
Metabolic
+ Syndrome Insuline Resistence/
+ Endothelial Dysfunction
Vasculer
 damage  DM type 2
Angiotensinogen  Stroke
 Adiponectin  Erectile
Dysfunction
+
+ Classical Hypogonadism

T Hypothalamus-
+ deficiency pituitary

Enlarge +
Prostat
 GnRH
 FFA  LH - -

↑ IL-6
 Leydig
↑ TNF  Estradiol
Cell
↑ Insulin - levels
function
↑ Leptin  Aromatase
activity in
adiposity

Gambar 2.5 Interaksi antara kadar testosteron derajat inflamasi prostat

(Wang et al., 2011)


24

2.3 Prostate Spesific Antigen (PSA) sebagai self-antigen terhadap derajat inflamasi.

Pengukuran Prostate Spesific Antigen (PSA) telah digunakan secara luas untuk

mendeteksi dini keganasan dan memonitor terapi pada prostat. Perlu ditekankan bahwa PSA

tidaklah spesifik untuk kanker prostat, namun PSA secara spesifik diproduksi oleh jaringan

prostat. Kelainan pada prostat selain keganasan juga dapat mempengaruhi kadar PSA serum,

seperti misalnya BPH atau prostatitis. (Amirrasouli dkk., 2010).

PSA adalah glikoprotein yang diproduksi terutama di sel epitel yang tersusun pada duktus

kelenjar prostat. PSA terutama terdapat pada jaringan prostat, dan juga terdapat dalam jumlah

kecil pada serum. Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti penyakit pada prostat,

inflamasi, atau trauma, menyebabkan PSA lebih banyak memasuki sistem sirkulasi. Peningkatan

kadar PSA serum menjadi penanda penting dari berbagai penyakit prostat, termasuk diantaranya

BPH, prostatitis, dan kanker prostat (Caroll, dkk., 2013).

Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml (Wadgaonkar, dkk., 2013). Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa tingkat inflamasi pada jaringan prostat berkorelasi positif dengan

nilai PSA. Inflamasi meningkatkan kadar PSA serum, penyebab paling memungkinkan adalah

adanya kerusakan integritas dari duktus pada prostat yang mengakibatkan keluarnya PSA dari

lumen duktus dan acinus ke interstitial. (Gui-zhong, dkk., 2013).

Salah satu penelitian awal mengenai kadar PSA dengan inflamasi histologis dilakukan

oleh Brawn (1991), dengan kesimpulan bahwa inflamasi pada prostat menyebabkan kenaikan

kadar PSA serum. Penelitian oleh Irani (1997) menunjukkan adanya hubungan antara agresifitas

inflamasi dengan peningkatan kadar PSA. Simardi (2004) menyimpulkan bahwa luasnya

inflamasi berkorelasi dengan peningkatan PSA serum. Kandirali (2007) memodifikasi metode

grading dari Irani, dan menunjukkan adanya hubungan luas dan agresifitas dari inflamasi pada
25

prostat dengan peningkatan kadar PSA dan PSA density (PSAD) serta penurunan kadar free PSA

(fPSA). Gui-zhong (2013) menggunakan klasifikasi prostatitis dari National Institute of Health

(NIH), menunjukkan perluasan dan derajat inflamasi berhubungan dengan peningkatan kadar

PSA serum. (Gui-zhong, dkk., 2013).

Pemeriksaan PSA serum yang umum dilakukan adalah PSA serum total (tPSA).

Perbandingan PSA serum total dengan volume prostat disebut sebagai PSA density (PSAD).

Sebagian besar PSA pada plasma berikatan dengan inhibitor serine protease seperti α1-

antichymotrypsin, α1-protease inhibitor, dan α2-macroglobulin. 10%-30% dari PSA total (tPSA)

tidak berikatan dengan protein serum, disebut dengan PSA bebas (free PSA/fPSA). Rasio fPSA

dengan tPSA (fPSA/tPSA) disebut sebagai persentase fPSA. Beberapa penelitian menunjukkan

adanya persentase fPSA yang lebih rendah pada pasien dengan kanker prostat. Hal ini dapat

digunakan sebagai pemeriksaan yang lebih spesifik untuk mendeteksi kanker prostat. Partin, dkk

melaporkan bahwa f/tPSA pada serum dapat lebih akurat dalam membedakan kanker prostat

dengan penyakit nonmalignansi sehingga dapat menghindari adanya biopsi yang tidak perlu.

Nilai normal f/tPSA yang direkomendasikan adalah 0,2-0,25. (Amirraouli dkk., 2010).

Akhir-akhir ini terdapat dugaan bahwa PSA merupakan suatu antigen yang menjadi salah

satu pencetus terjadinya proses inflamasi pada jaringan prostat. Sebuah penelitian pada pasien

dengan prostatitis, ditemukan adanya reaksi CD4 sel T dengan plasma seminal, di mana antigen

yang dikenali berasal dari postat. CD4 sel T pada pasien dengan prostatitis memberikan respon

proliferatif terhadap PSA (Ponniah, 2000).

Sampai saat ini, penyebab prostatitis kronis atau sindrom nyeri pelvis kronis masih belum

diketahui. Sejak lama, infeksi telah digambarkan sebagai penyebabnya. Namun pada

kenyataannya, banyak pasien dengan kronik prostatitis gagal diterapi dengan obat antibakterial.
26

Hipotesa bahwa prostatitis kronis atau sindrom nyeri pelvis kronis merupakan sebuah penyakit

autoimun didukung oleh beberapa hasil observasi. Pertama, sifatnya yang kronis, berulang dan

episodik konsisten dengan penyebab autoimun. Kedua, umumnya pada jaringan prostat

ditemukan infiltrat dari sel-sel inflamasi. Penyebab adanya infiltrat tersebut, dan implikasi dari

keberadaannya masih belum diketahui dengan pasti. Yang ketiga, telah dibuktikan bahwa CD4

sel T pada pasien dengan prostatitis kronis atau dengan sindrom nyeri pelvis kronis memberikan

respon proliferatif terhadap plasma seminal. Terakhir, didapatkan bahwa sitokin proinflamasi

TNF-α dan IL-1β meningkat pada cairan semen pada pria dengan prostatitis kronis bila

dibandingkan dengan pria normal (Ponniah, 2000).

Penelitian mengenai antigen pada prostat yang dapat menjadi target respon dari T limfosit

muncul dari penelitian mengenai imunoterapi pada kanker prostat. Pertanyaan utamanya adalah

apakah imunoterapi dapat memberikan perbaikan pada penanganan prostatitis dan kanker prostat

(Ponniah, 2000).

2.4 Diabetes Mellitus dan Derajat Inflamasi Prostat

Bourke dan Griffin adalah yang pertama dalam menunjukkan adanya hubungan antara

diabetes mellitus dan etiology BPH, berdasarkan prevalensi tertinggi pria dengan DM mengalami

prostatektomi dibandingkan pada populasi pria secara umum. Hampir 30 tahun kemudian ,

sebuah studi oleh Hammarsten et al. regenerasi kepentingan ilmiah tentang hubungan antara dua

kondisi. Mereka menunjukkan bahwa penderita dengan gejala saluran kemih bawah ( LUTSs )

dan DM - 2 memiliki volume prostat lebih besar dibandingkan pasien dengan LUTSs tanpa

diabetes mellitus. Selain itu, Safarinejad dan Sarma menemukan hubungan positif antara clinical

marker pada BPH dan diabetes mellitus.


27

Demikian pula untuk BPH, DM mempengaruhi fungsi kandung kemih menyebabkan

gejala obstruktif ataupun iritasi : trias klasik gejala obstruktif (kesulitan memulai berkemih,

kepenuhan setelah berkemih, serta peningkatan volume sisa urin setelah berkemih) mencirikan

diabetes cystopathy juga umum di BPH. Demikian pula, frekuensi dan urgensi terkait dengan

DM – menginduksi ketidakstabilan detrusor dan BPH. Perbedaan antara LUTS sekunder pada

DM dan LUTS sekunder pada BPH sulit untuk dinilai. Selain itu, diabetes memberikan

kontribusi besar terhadap perkembangan dan memburuknya LUTS sementara di sisi lain BPH

tidak selalu disertai dengan gejala . Sebagai pengetahuan, ini gejala yang sangat umum terjadi

pada pasien diabetes, dengan 39 % -61 % dari mereka memiliki beberapa tingkat frekuensi dan

urgensi. Seperti diabetes mempengaruhi fungsi berkemih , pasien dengan BPH yang menderita

penyakit DM - 2 memiliki gejala lebih mengganggu dan menunjukkan laju alir maksimum

signifikan lebih rendah ( Qmax ) dibandingkan dengan pasien BPH nondiabetes.

Untuk alasan di atas, pasien dengan DM - 2 lebih rentan untuk dapat didiagnosis dengan

BPH dan kemudian menjalani prostatektomi dibandingkan populasi pria umumnya. Peneliti lain

menyatakan bahwa pada pasien dengan hipertrofi prostat yang memiliki tingkat glukosa serum

lebih tinggi ( > 110 mg / dL ) memiliki volume prostat rata-rata jauh lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien yang memiliki nilai glukosa serum lebih rendah. Selanjutnya, Hammarsten dan

Högstedt membandingkan karakteristik antropologi dengan laboratorium dan data klinis pada

pasien dengan gejala saluran kemih bawah dengan atau tanpa manifestasi dari sindrom metabolik

ditunjukkan peningkatan lebih lanjut dalam tingkat pertumbuhan prostat dengan peningkatan

kadar insulin serum.

Nandeesha et al. korelasi parameter insulin dengan ukuran prostat dan didapatkan insulin

serum puasa dan insulin resistance signifikan lebih tinggi pada kasus BPH nondiabetes bila
28

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Baru-baru ini, Barnard et al. menghubungkan

pengurangan pada pertumbuhan sel-sel epithelial prostat dengan pengurangan insulin. Di antara

mekanisme lain yang mungkin diusulkan untuk mengasosiasikan pengembangan BPH dengan

DM - 2 adalah adanya peningkatan saraf simpatis perifer dan aktivitas sistem saraf otonom

dalam keadaan hiperinsulinemia dan hipoksia, karena penurunan suplai darah prostat berasal dari

diabetes mellitus yang menginduksi kerusakan pembuluh darah. dapat dikatakan bahwa kelainan

homeostasis glukosa turut berperan dalam penyebab BPH dengan mempengaruhi tingkat

proliferasi sel prostat.

Mekanisme hipotetik tertentu sulit untuk diidentifikasi. Pengetahuan saat ini mendukung

ide suatu faktor pertumbuhan merangsang perkembangan hipertrofi prostat. Bahkan, insulin

adalah hormon yang dapat merangsang pertumbuhan dan reproduksi sel Dalam rangka untuk

mengevaluasi peran faktor pertumbuhan BPH, Wang dkk meneliti ekspresi pada fibroblas

growth factor ( pertumbuhan fibroblast faktor 2, FGF2 ) dalam prostat sejumlah tikus dengan

diabetes mellitus. Mereka menemukan bahwa ekspresi FGF2 lebih tinggi pada sel epitel

dibandingkan dengan sel-sel stroma dari prostat dari kelompok kontrol, namun ekspresi FGF2 itu

merata di prostat kelompok diabetes . Menariknya FGF2 dalam stroma dan lapisan epitel

konsisten dengan ketidakseimbangan dalam hubungan jumlah sel lapisan epitel dan stroma yang

diamati pada BPH. Mereka juga menyadari bahwa tikus diabetes memiliki prostat lebih kecil dan

menurunkan kadar testosteron serum dibandingkan dengan kelompok kontrol, pengobatan

dengan insulin meningkatkan ukuran prostat dan tingkat testosterone. Insulin adalah hormon

pertumbuhan yang dapat meningkatkan perkembangan dan reproduksi sel.

Kehadiran insulin - like growth factor ( IGF ) telah dikenal selama puluhan tahun ada di

jaringan prostat. Hal ini telah dibuktikan pula bahwa sel-sel epitel prostat serta sel-sel stroma
29

menanggapi aksi mitogenik IGF melalui reseptor IGF-I. Selain itu, telah dibuktikan bahwa sel-

sel lapisan stroma prostat menyusun dan mengeluarkan IGF - II serta protein penghubung (

protein IGF - binding / IGFBP ) yang mengalami proteolisis oleh Prostate Specific Antigen (

PSA ). Penyimpangan dalam berbagai elemen sistem IGF telah diamati pada sel-sel stroma

prostat pada BPH. Mengingat ketergantungan epitel serta sel-sel stroma dari dan peningkatan

aktivitas IGF - II pada sel-sel daerah periurethral - dimana BPH berkembang - bisa diduga bahwa

BPH dikembangkan oleh IGF di hormon laki-laki.

Meskipun proses tersebut sepenuhnya belum dijelaskan, model eksperimental

membuktikan bahwa atrofi prostat disebabkan oleh kekurangan androgen serta dengan efek

antiandrogen dan 5-a- reduktase inhibitor dicapai melalui faktor pertumbuhan lokal. Khusus

untuk faktor pertumbuhan seperti insulin, uji coba membuktikan bahwa aktivitasnya mungkin

akan diatur oleh androgen. Dalam ketiadaan mereka, jumlah IGFBP secara dramatis berkurang

sedangkan penghambatan transformasi testosteron menjadi DHT menurun baik IGF - 1 reseptor

serta tingkat IGF -I mRNA.

Banyak bukti terkait peranan resistensi insulin yang mengeluarkan berbagai sitokin

seperti adiponectin, leptin, tissue factor, angiotensinogen, lipoprotein lipase, IL-6, TNF-α,

plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) (Miranda et al., 2004; Khan et al., 2006; Despres et

al., 2008; Jiamsripong et al., 2008; Huang, 2009). Peningkatan adipose visceral berikut sitokin

yang dikeluarkannya, bertanggung jawab pada resistensi insulin akibat adanya lipotoxicity

sehubungan dengan pelepasan dari free fatty acids (FFA) pada sirkulasi portal. Adanya stress

oksidatif pada resistensi insulin mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel dan beberapa studi

menekankan keterkaitan antara resistenis insulin dengan proinflammatory state. Abdominal

adiposity dan resistensi insulin melalui proses inflamasi (low grade chronic inflammation)
30

memegang peranan sentral pada patofisiologinya (Resnick, 2003; Reilly et al., 2004; Blaha et

al., 2006; Johnson, 2006; Cornier et al., 2008; Handelsman, 2009; Koh et al., 2009; Kaku, 2010).

Pelepasan asam lemak dan berbagai sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-6, serta

penurunan adiponektin pada kondisi obesitas merupakan penyebab utama terjadinya resistensi

insulin (Grundy, 2004). Resistensi insulin yang berkepanjangan dimana sel beta pankreas tidak

mampu mengkompensasi sehingga terjadi hiperglikemia. Angiotensin II yang meningkat akan

menyebabkan hipertensi. Hiperglikemia dan pelepasan asam lemak bebas yang berlebihan

mengakibatkan pembentukan trigliseride di hati. Hipertrigliseridemia mengakibatkan

peningkatan pembentukan lipoprotein dan menurunkan HDL (Gambar 2.1) (Opie et al., 2007).

Vasoconstrict
ion
BP ≥
A-II 2
(Cytokines) Pancreas

3
Abdominal
FFA muscle
Insulin FPG 
Obesity
prediabetic
resistance
1 Not diabetic
Glucose
(hyperglycemia) 4
liver TG 
FFA  5
Glucose 
HDL 

Gambar 2.6 Patofisiologi dari Sindrom Metabolik (Opie et al., 2007)


31

2.4.1 Resistensi insulin

Resistensi insulin didefinisikan sebagai suatu kondisi penurunan respon jaringan

terhadap kadar normal insulin yang bersirkulasi atau suatu kondisi klinis dimana kadar

insulin yang normal atau meningkat mendapat respon biologi yang rendah dari jaringan

(Cefalu, 2001; Savage et al., 2005). Mekanisme terjadinya resistensi insulin secara teoritis

dapat muncul dengan berbagai macam mekanisme yaitu defek pada gen reseptor insulin,

adanya antibodi anti reseptor, defek inflamasi. Diantara berbagai factor tersebut yang

berperan paling besar sebagai penyebab resistensi insulin adalah defek post reseptor (Korc,

2009).

2.4.2 Peningkatan gula darah puasa

Resistensi insulin berperanan besar pada patofisiologi inflamasi dan sebagai

faktor risiko Penyakit Kardiovaskuler. Resistensi insulin dapat terjadi sekunder akibat

obesitas dan adanya faktor genetik. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah kurangnya

aktivitas fisik, lanjut usia, disfungsi endokrin dan predileksi genetik. Berkurangnya aktivitas

insulin pada metabolisme glukosa termasuk berkurangnya kemampuan insulin dalam

menekan produksi glukose (glukoneogenesis) dari hati, dan ginjal. Peptide dan sitokin yang

disekresikan oleh adipocytes pada kompartemen visceral dapat menyebabkan penurunan

ambilan glukose / glucose uptake oleh insulin perifer / insulin sensitive tissues (jaringan otot

dan adipose) dan akan meningkatkan akumulasi dari lemak hati / hepatic fat (Kaku, 2010;

Saad, 2009).

Resistensi insulin dan dampak yang di timbulkan (hiperinsulinemia) memicu

peningkatan tekanan darah melalui aktivasi sistim saraf simfatis / Sympathetic Nervous

System (SNS) dan Renin-Angiotensin-Aldosterone System (RAAS) yang diikuti dengan


32

retensi natrium dan volume ekspansi, disfungsi endotel dan perubahan fungsi ginjal.

Hyperinsulinemia mengaktivitasi RAAS pada vaskuler dan jantung, mempengaruhi produksi

angiotensin II dan efek aterogeniknya. Aktivitas angiotensin II melalui reseptor angiotensin I

menghambat efek vasodilatasi dari insulin dan ambilan / uptake glukose ke dalam sel otot

rangka. Juga terjadi penurunan sekresi NO (Nitric Oxide) oleh sel endotel dan vasokontriksi

pada otot polos. Jadi patomekanisme resistensi insulin menimbulkan hipertensi adalah

overaktivitas reseptor angiotensin I yang mengakibatkan vasokonstriksi dan volume

ekspansi (Nunes et al., 2012; Agarwal, 2013).

Anda mungkin juga menyukai