Anda di halaman 1dari 26

VOL. II. No.

1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

KONSEP PENDIDIKAN ANAK NABI IBRAHIM A.S.


DALAM AL-QUR’AN

Suprapto
Pendidikan Agama Islam FAI Universitas Islam Jakarta
ustadzsuprapto@gmail.com

Abstract

This research is motivated by concerns about the education of existing children,


where most people are confused in looking for figures who can be emulated in
educating their children. Parents have run out of their minds to overcome this crisis.
This is where we need a model that would be used as a role model to educate their
children is the Prophet Ibrahim, known as Abul Anbiya '. This study aims to determine
the method adopted by the Prophet IbrahimAS in educating their children become the
best generation on the earth. This research uses a thematic approach, by collecting
various verses that are scattered in various letters in the Qur'an to look for the
relationship of meaning, and make a form completely without contradictory in
understanding of the concept of education of the child of Prophet Ibrahim A.S. The
success of the Prophet Ibrahim A.S. not solely a gift from Allah SWT, but it is also a
hard work that has been worked on for a long time even for years. From the prayers he
offered before he was blessed with children for years based on educational patterns that
he designed so that it becomes an ideal concept to be applied in life.
Keywords: Ibrahim, Islamic education, children's education.

Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pendidikan anak yang
ada, dimana kebanyakan orang kebingungan mencari figur yang dapat dicontoh dalam
mendidik anak-anak mereka. Orang tua sudah kehabisan akal untuk mengatasi krisis
tersebut. Disinilah kita butuh model yang dapat dijadikan panutan untuk mendidik anak
yaitu Nabi Ibrahim yang dikenal sebagai Abul Anbiya‟. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui metode yang ditempuh oleh Nabi Ibrahim A.S. dalam mendidik anak-
anaknya untuk melahirkan generasi terbaik di muka bumi. Penelitian ini menggunakan
pendekatan tematik, dengan mengumpulkan berbagai ayat yang tersebar diberbagai
surat dalam Al-Qur‟an untuk kemudian dicari hubungan maknanya sehingga
membentuk pemahaman yang utuh dan tidak bertentangan tentang konsep pendidikan
anak Nabi Ibrahim A.S.. Kesuksesan Nabi Ibrahim A.S. tidak semata-mata merupakan
anugerah dari Allah SWT. Akan tetapi juga merupakan kerja keras yang sudah
diusahakan sejak lama bahkan selama bertahun-tahun. Dari doa yang beliau panjatkan
sebelum dianugerahi anak selama bertahun-tahun hingga pola pendidikan yang dia
rancang sehingga menjadi konsep yang ideal untuk diterapkan dalam kehidupan.
Kata Kunci: Ibrahim, pendidikan Islam, pendidikan anak.

47

47
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

A. Pendahuluan
Kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat adalah tujuan dalam
kehidupan setiap muslim, sebab dengan itu manusia akan menemukan makna dari
kehidupannya. Hal tersebut juga sejalan dengan fitrah manusia karena tidak ada
manusia yang ingin hidup sengsara baik di dunia maupun di akhirat. Salah satu cara
yang ditempuh manusia untuk mencapai kebahagiaan tersebut adalah melalui pintu
pernikahan. Sebab dengan pernikahan berbagai kebutuhan manusia akan terpenuhi, baik
kebutuhan biologis (syahwati), kebutuhan materi (kebendaan), kebutuhan psychologis
(kejiwaan), kebutuhan ibadah dan pahala, serta kebutuhan untuk mendapatkan
keturunan yang kelak akan menjadi penerus perjuangan keluarga dan masyarakat serta
agama.
Mendambakan adanya keturunan adalah merupakan fitrah bagi manusia, sebagai
penyaluran dari rasa kebanggaan diri, penerus perjuangan, serta ahli waris dari hasil
jerih payah yang ditempuhnya selama hidup. Orang sering merasa rendah diri,
disebabkan tidak mempunyai keturunan. Ia juga akan merasa bahwa hidupnya tidak
akan berarti jika hasil jerih payahnya tidak ada ahli warisnya. Karena itu kebutuhan
akan keturunan dirasakan menjadi sangat penting bagi setiap orang. Maka Allah SWT.
mensyariatkan nikah dalam rangka memperoleh keturunan yang sah dan terhormat.
Menurut Ruqoith (2004: 103) sebagian orang tua baik para bapak atau ibu
mengadu tentang kenakalan anak mereka dan tenggelamnya mereka dalam kemaksiatan,
kecenderungan mereka kepada kejahatan, tidak mau taat kepada orang tua, melanggar
nilai-nilai dan akhlak dan menolak peraturan-peraturan yang diajarkan oleh para orang
tua mereka. Pada saat ini juga banyak keluhan yang disampaikan para guru dan orang
tua yang bergerak di bidang sosial mengeluhkan tentang perilaku sebagian para remaja
yang sangat mengkhawatirkan. Di antara mereka sudah banyak yang terlibat dalam
tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, minuman keras, pembajakan bis, penodongan,
pelanggaran seksual dan perbuatan kriminal lainnya. Kedua orang tua di rumah, guru di
sekolah dan masyarakat pada umumnya , tampaknya sudah kehabisan akal untuk
mengatasi krisis tersebut. (Nata, 2007: 215) Itulah sisi kenakalan anak-anak yang sudah
menjadi masalah yang harus ditanggulangi bersama.
Disisi lain sangat jarang disinggung tentang kenakalan orang tua. Kenakalan
orang tua yang paling fatal adalah kebodohan mereka tentang pendidikan anak yang
benar serta lemahnya keinginan orang tua untuk mengerti akan tugas dan tanggung

48
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
48
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

jawab utama sebagai kepala rumah tangga, suami bagi istrinya dan orang tua bagi anak-
anaknya. Banyak diantara mereka yang menikah tanpa pernah membekali dirinya
dengan ilmu yang dibutuhkan kelak saat memiliki anak. Mereka anggap bahwa semua
itu akan bergulir dengan sendirinya. Akhirnya saat mereka menemui berbagai masalah
dan kesulitan dalam rumah tangganya, tindakan yang mereka tempuh adalah sikap
gegabah ingin menyelesaikan masalah sesaat tanpa mempertimbangkan akibat buruk
dikemudian hari. Kenakalan lain yang cukup parah pada orang tua adalah sedikitnya
uswah pada diri mereka yang dapat ditiru oleh anak-anaknya. Padahal anak hanyalah
ibarat bayangan yang mengikuti benda aslinya. Anak terkadang mempunyai sifat taklid
yang membabi buta sehingga apa yang diperbuat oleh orang tuanya harus ditiru dan apa
yang tidak dikerjakan harus ditinggalkan.
Dari penjelasan di atas tampak jelas bahwa betapa pentingnya mendidik dan
membesarkan anak, sebab anak seperti manusia pada umumnya bisa menjadi anak yang
saleh yang menyejukkan pandangan mata manakala dididik dengan baik dan benar
sesuai dengan tuntunan Al Qur‟an dan Sunah. Sebaliknya terkadang anak bisa menjadi
fitnah (cobaan) yang senantiasa mengganggu kehidupan orang tua, saudara-saudaranya
dan orang-orang yang ada disekitarnya. Dua hal tersebut sangat mungkin terjadi
tergantung bagaimana usaha orang tua dalam mendidik anak.
Contoh yang nyata dapat kita lihat pada anak keturunan dua orang Nabi yang
sangat terkenal dengan kesalehannya yang sama-sama mendapat gelar Ulul „azmi yaitu
Nabi Nuh a.s dan Ibrahim a.s. Putera Nabi Nuh a.s. bernama Kan‟an adalah contoh anak
yang durhaka yang gagal didik oleh Nabi Nuh a.s, sehingga dia mati dalam keadaan
kafir. Sementara putera Nabi Ibrahim a.s.yang bernama Ismail a.s adalah contoh anak
yang saleh yang taat kepada Allah dan orang tuanya meskipun mengetahui adanya
perintah penyembelihan terhadap dirinya, dengan seluruh ketaatan dan ketawadlu‟an, ia
mempersilahkan ayahnya untuk menyembelih dirinya. Sikap Ismail menunjukkan
kepatuhan terhadap orang tuanya meskipun telah diberi kesempatan untuk menolak
perintah yang ditawarkan tersebut. (Huda & Idris, 2008: 148)
Kegagalan pendidikan selama ini menyebabkan banyak ahli mencari model dan
format pendidikan yang tepat atau meneliti faktor-faktor yang melatarbelakangi kondisi
tersebut. Semua orang mengharapkan ada satu model pendidikan yang aplikatif dan
implementatif dengan merujuk kepada kisah-kisah Qurani dengan beberapa modifikasi
yang sesuai dengan tuntutan zaman. Kisah Nabi Ibrahim a.s. dalam mendidik anak ini

49
SUPRAPTO
49
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi orang tua dalam mendidik anak-anak
mereka. Selama ini teori-teori dari para pakar pendidikan sekuler barat ternyata tidak
dapat menanggulangi kenakalan anak-anak mereka.Bahkan kenakalan anak dewasa ini,
semakin menjadi-jadi, terlebih-lebih di era informasi seperti sekarang ini dimana anak-
anak lebih mudah mengakses informasi dari berbagai media tentang informasi yang
sebenarnya tidak layak mereka konsumsi.
Agar masalah tidak meluas maka disini penulis memberikan batasan pada dua hal
pokok yaitu: 1) Bagaimana cara Nabi Ibrahim a.s.mendidik anak-anaknya sehingga
berhasil mewujudkan cita-citanya untuk menjadikan mereka keturunan yang saleh yang
disebut dalam Al Qur‟an sebagai dzurriyah thoyyibah dan qurrota a‟yun ? 2) Faktor-
faktor apa saja yang melatarbelakangi kesuksesan Nabi Ibrahim a.s. dalam mendidik
anak-anaknya?

Pengertian Pendidikan Islam


Pengertian pendidikan secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negaranya. (Aziz, 2011: 72)
Dalam literatur keislaman, terdapat tiga istilah yang digunakan untuk menandai
konsep pendidikan, yaitu tarbiyah, taklim dan ta‟dib. Para pakar pendidikan Islam
berbeda pendapat dalam menggunakan tiga istilah pendidikan tersebut. Naquib al-Attas
(1984: 66) misalnya lebih cenderung menggunakan istilah ta‟dib dalam pendidikan.
Naquib melihat ta‟dib merupakan istilah yang paling tepat dan cermat untuk
menunjukkan pendidikan dalam Islam. Karena dalam istilah tersebut terkandung tiga
sub-sistem yaitu pengetahuan, pengajaran dan pengasuhan (tarbiyah). Jadi tarbiyah
dalam konsep Naquib ini hanya sub-sistem dari ta‟dib. Selanjutnya Naquib menyatakan
bahwa secara semantik tidak khusus ditunjukkan untuk mendidik manusia, tetapi dapat
juga dipakai untuk yang lain seperti tanaman dan hewan. Selain itu tarbiyah berkonotasi
material memberi makan, memelihara, membesarkan dan sebagainya.
Sementara Jalal (1988: 34) lebih cenderung menggunakan ta‟lim sebagai istilah
dalam pendidikan, karena proses ta‟lim tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan
dalam wilayah kognisi semata, tetapi terus menjangkau wilayah psikomotor dan afeksi.

50
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
50
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

Dalam konsep Jalal, ilmu, perkataan dan perilaku seseorang terintegrasi dalam
membentuk kepribadiannya yang kokoh.
Para pakar pendidikan Islam Islam mengemukakan tujuan pendidikan Islam dalam
redaksi yang berbeda-beda. Menurut Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip oleh Ramayulis
(1998: 26), bahwa pendidikan Islam mempunyai dua tujuan: 1. Tujuan keagamaan,
maksudnya adalah beramal untuk akhirat, sehingga ia menemui Tuhannya dan telah
menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan kepadanya. 2. Tujuan ilmiah yang bersifat
keduniawian, yaitu apa yang diungkapkan oleh pendidikan modern dengan tujuan
kemanfaatan atau persiapan untuk untuk hidup di dunia.
Senada dengan konsep Ibnu Khaldun, Hujjat al Islam Imam Al Ghazali
berpendapat bahwa tujuan pendidikan mencakup dua hal yaitu pertama, tercapainya
kesempurnaan insani yang bermuara kepada pendekatan diri kepada Allah, dan yang
kedua, kesempurnaan insani yang bermuara kepada kebahagian dunia dan akhirat.
Sedangkan tujuan pendidikan menurut Nasih Ulwan (1978: 7), tujuan
pendidikan Islam ialah untuk mengubah umat manusia dari kegelapan, syirik,
kebodohan, kesesatan dan kekacauan menuju cahaya tauhid, ilmu, hidayah dan
kemantapan. Dari uraian tersebut tampak jelas bahwa tujuan pendidikan menurut Nasih
Ulwan adalah perubahan tingkah laku pada diri anak didik sehingga ia dapat keluar dari
hal-hal yang tercela yang membawa kepada kesengsaraan hidup menuju kepada
kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Dari berbagai rumusan tujuan pendidikan tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa tujuan pendidikan Islam adalah dalam rangka mengembangkan potensi yang
dimiliki oleh manusia baik dari aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah
maupun bahasanya dalam rangka menjadikan pribadi yang unggul serta untuk
mengabdikan diri kapada Allah SWT. Hal tersebut hanya bisa diperoleh dengan melalui
pola latihan kejiwaan, kecerdasan otak, penalaran, perasaan, dan indera secara
berkesinambungan dan bimbingan dari orang dewasa yang ada di sekitar mereka
terutama orang tua dan guru.

Pandangan Islam tentang Pendidikan Anak


Setiap manusia diciptakan Allah sesuai dengan fitrahnya. Secara literal, kata
fitrah merupakan bentuk derivatif dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa
yang berarti menciptakan. Hal ini Allah berfirman didalam Al Qur‟an

51
SUPRAPTO
51
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

‫ِّين الْ َقيِّ ُم َولَ ِك َّن‬ ِ ِ ‫فَأَقِم وجهك لِلدِّي ِن حنِي ًفا فِطْرت اللَّ ِو الَِِّت فَطَر النَّاس علَي ها ََل تَب ِد‬
َ ‫يل ِلَْل ِق اللَّ ِو َذل‬
ُ ‫ك الد‬ َ ْ َْ َ َ َ ََ َ َ َْ َ ْ
ِ ‫أَ ْكثَ َر الن‬
‫َّاس ََل يَ ْعلَ ُمو َن‬
Artinya:Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah
atas) fitroh alloh yang telah menciptakan manusia menurut firtoh itu. Tidak
ada perubahan pada fitroh alloh. (itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S. Ar Rum (30): 30)

Kata fitrah secara harfiah berarti “penciptaan atau kejadian.” Imam al-Ghazali,
dalam kitabnya Mizan al-„Amal, berpendapat bahwa arti fitrah ialah kecenderungan asli
manusia terhadap tauhid, dengan kata lain bahwa setiap manusia diciptakan Allah
dengan dibekali kecenderungan asli untuk mengakui adanya Allah, namun beberapa
kalangan mendefinisikan fitrah sebagai sejumlah potensi yang menyangkut kekuatan-
kekuatan manusia. Kekuatan tersebut meliputi upaya mempertahankan dan melestarikan
hidupnya, kekuatan rasional (akal), kekuatan spiritual (agama). Ketiga kekuatan tersebut
bersifat dinamis dan integral. (Ahid, 2010: 55) Sehubungan dengan hal ini Nabi saw.
telah bersabda:
ِ ُ ‫ال رس‬ ِ َّ‫ي َع ِن ابْ ِن الْمسي‬ ِ ‫الرز‬
ُ‫صلَّى اللَّو‬َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ب َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة ق‬ َُ ِّ ‫الزْى ِر‬
ُّ ‫َّاق َحدَّثَنَا َم ْع َمٌر َع ِن‬ َّ ‫َحدَّثَنَا َعْب ُد‬
ِّ َ‫ود يُولَ ُد َعلَى الْ ِفطَْرةِ فَأَبَ َواهُ يُ َه ِّوَدانِِو َويُن‬
‫صَرانِِو َوُُيَ ِّج َسانِِو َك َما تُْنََ ُُ الْبَ ِهي َمةُ َى ْل ُُِت ُّسو َن‬ ٍ ُ‫علَي ِو وسلَّم ُك ُّل مول‬
َْ َ َ َ ْ َ
) ‫يل ِِلَْل ِق اللَّ ِو‬ ِ
َ ‫َّاس َعلَْي َها ََل تَْبد‬
َّ ِ َّ ِ ِ ِ
َ ‫ول َواقْ َرءُوا إ ْن شْئَُ ْم (فطَْرَة اللو ال ِِت فَطََر الن‬ ُ ‫فِ َيها ِم ْن َج ْد َعاءَ ُُثَّ يَ ُق‬
Artinya:Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah menceritakan kepada
kami Ma'mar dari Az Zuhri dari Ibnul Musayyab dari Abu Hurairah berkata;
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Setiap bayi terlahir dalam
keadaan suci, maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau
Nashrani, atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan apakah
kalian mendapati bahwa anaknya cacat" Kemudian dia berkata;"Jika kalian
mau maka bacalah; " (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(H.R.Ahmad) (Musnad Imam Ahmad, Lidwa Pustaka, hadits ke-7387)

Potensi yang berupa fitrah tersebut menurut hadist Nabi masih berupa bentuk
dasar yang belum sempurna, sehingga perlu penyempurnaan yang nantinya bisa
menjadikan potensi tersebut bermanfaat bagi anak tersebut maupun untuk orang lain
maka di sinilah peran pendidikan dalam upaya menghantarkan anak mengembangkan
potensi tersebut.
Di sisi lain menurut tabiat dasarnya setiap manusia punya kecenderungan untuk
menjadi orang baik. Namun Allah juga berfirman bahwa Dia telah mengilhamkan

52
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
52
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

kepada setiap orang kecenderungan untuk menjadi orang baik dan takwa atau orang
fasik dan jahat. (QS. 91: 8) Ini berarti bahwa kecenderungan asli setiap manusia tidak
saja terhadap kebajikan tetapi juga terhadap kejahatan. Lebih dari itu, jalan kebajikan
dan jalan kejahatan pun telah Allah bentangkan kepada setiap orang (QS. 90:10). Untuk
memilih salah satu dari dua jalan ini, tidak ada cara lain kecuali Allah memberikan
kepada setiap manusia kebebasan untuk memilih (freedom of choice). Kebebasan ini
hanya dapat diwujudkan bila manusia diberi juga kehendak bebas (free will) untuk
memilih. Dari sinilah berlaku prinsip ganjaran dan hukuman. Potensi baik inilah yang
nantinya dikembangkan, diperkaya dan diaktualisasikan secara nyata dalm perbuatan
amaliah manusia sehari-hari. Selain itu Al-Quran mengisyaratkan bahwa faktor
keturunan pun punya pengaruh besar terhadap hasil pendidikan anak. Firman Allah
dalam Al Qur‟an surat Maryam (19): 28

‫ك بَغِيِّا‬
ِ ‫ت أ ُُّم‬ ٍ ِ
ْ َ‫ت َى ُارو َن َما َكا َن أَبُوك ْامَرأَ َس ْوء َوَما َكان‬
َ ‫ُخ‬
ْ ‫يَا أ‬
Artinya: Wahai saudara perempuan Harun! Bapakmu buknalh seorang yang buruk dan
ibumu bukan seorang pezina (Q.S.Maryam (19): 28)

Selanjutnya, al-Ghazali, dalam karyanya yang terkenal Ihya „Ulum al-Din,


menjabarkan lebih rinci bahwa yang termasuk fitrah adalah:
1. Kecenderungan untuk beriman kepada Allah (kecenderungan untuk bertauhid).
2. Kemampuan dasar untuk melakukan kebaikan dan keburukan.
3. Kecenderungan untuk menerima pelajaran (kecenderungan terhadap pendidikan)
4. Kecenderungan untuk mengetahui sesuatu atau rasa ingin tahu (curiosity) yang
mendorong manusia untuk berpikir.
5. Dorongan syahwat (keinginan biologis) seperti marah, hasrat makan dan minum
serta hasrat mengembangkan keturunan (hubungan seksual)
6. Dorongan-dorongan lain yang dapat dikembangkan dan disempurnakan seperti
dorongan untuk memiliki keterampilan di bidang tertentu (Al-Ghazali, 1987: 33-35)

Untuk memastikan mana yang lebih besar pengaruhnya terhadap pendidikan


anak: apakah faktor bawaan (keturunan) atau pengalaman dalam ligkungan hidup
(pergaulan), Al-Qusi berkesimpulan bahwa hal itu sangat sulit diketahui. Potensi
merupakan bentuk dasar yang masih belum sempurna, sehingga butuh penyempurnaan

53
SUPRAPTO
53
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

melalui proses pendidikan, tanpa pendidikan dan pengembangan potensi yang ada
dalam diri anak tidak akan berkembang secara maksimal
Singkat kata, baik faktor keturunan (bawaan) maupun pengalaman yang
diperoleh dari lingkungan hidup sama-sama menentukan pembentukan dan
perkembangan keperibadian anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan pendidikan
ditentukan oleh beragam faktor. Oleh karena itu ide pendidikan, baik teori nativisme,
empirisme dan konvergensi tidakbertentangan dengan ajaran Islam (Huda dan Idris,
2008: 75). Perbedaannya adalah Islam lebih memandang secara menyeluruh faktor-
faktor yang mempengaruhi perkembangan anak tersebut. Sehingga perpaduan antara
potensi yang dibawa sejak lahir, kemudian pengaruh pendidikan dan lingkuangan,
namun hal tersebut tidaklah cukup. Ada faktor lain yang juga tidak kalah dominan yang
juga memberikan warna tersendiri bagi pembentukan kepribadian manusia yaitu faktor
hidayah yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki (Ahid,
2010: 58)

B. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode ini digunakan karena
tujuan dari penelitian ini adalah dalam rangka melakukan deskripsi (penggambaran) dan
penafsiran, terhadap ayat-ayat Al Qur‟an yang berkenaan dengan pola pendidikan Nabi
Ibrahim a.s.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka. Studi
kepustakaan ini digunakan untuk menemukan konsep-konsep, pendapat atau penemuan-
penemuan yang erat kaitannya dengan pokok masalah yang diteliti. Adapun sumber
utama penelitian ini adalah ayat-ayat Al Qur‟an yang menceritakan kisah pendidikan
Nabi Ibrahim a.s. beserta penjelasan dari kitab-kitab tafsir dan hadits.
Di antara kitab Tafsir tersebut antara lain Tafsir Jami‟ul Bayan Fii Ta‟wil Al
Qur‟an (Tafsir At Thobari), Tafsir Ruhul Ma‟ani Fii Tafsir Al Qur‟anil Adzim Wa
Sab‟il Matsanii karya Syihabuddin Mahmud Al-Alausi, Tafsir Al Qusayiri Karangan
Imam Al-Qusyairi, Tafsir Al Jami Li Ahkamil Qur‟an Karangan Abu Abdillah
Muhammad Syamsuddin Al-Qurtubi, Tafsir Fii Dzilal Al Qur‟an karangan Sayyid
Quthb, Tafsir Al Waasit karangan Muhammad Sayyid Thontowi, Tafsir Al-Qur‟anil
„Adzim karya Abul Fida‟ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Mafaatihul Ghaib karangan Abu
Abdillah Muhammad Fakhruddin Ar Razzi, Tafsir Al Misbah karangan M.Quraish

54
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
54
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

Shihab, Tafsir Tafsir Al Shawikarangan Ahmad Al-Shawi, Tafsir An Warut Tanzil Wa


As Rorut Ta‟wi karangan Nasiruddin Muhammad Al-Baidlowi,Tafsir Al Azhar karangan
HAMKA, Tafsir Al Manar karangan Muhammad Rasyid Ridlo, Tafsir Al Maraghi
karangan Musthofa Al Maraghi,dan kitab-kitab tafsir lainnya.Untuk kitab-kitab Tafsir
penulis sebagian mengambil Maktabah Asy Syamilah yang memuat berbagai macam
kitab Tafsir. Sementara untuk kitab-kitab Hadits, penulis mengambil diantaranya Kitab
Hadits Shahih Bukhori karangan Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Kitab Hadits
Shahih Muslim karangan Muslim bin Al-Hajaj bin Muslim An Naisaburi, Musnad Imam
Ahmad karangan Ahmad bin Muhammad bin Hambal, Sunan At Tirmidzi karangan
Muhammad bin Isa Adl Dlahhak dan kitab-kitab hadits lainnya, yang penulis ambil dari
Ensiklopedi Hadits kitab 9 imam karya Lidwa Pustaka com.
Selain itu juga penulis menggunkan sumber sekunder yaitu berupa buku-buku
yang tidak berkaitan langsung dengan tema yang dibahas akan tetapi menunjang objek
penulisan diantaranya adalah buku tulisan para pakar yang memiliki validitas dan erat
hubungannya dengan hubungannya dengan judul, diantaranya Ulwan, Kitab Tarbiyah
Al Aulad Fi Al Islam karya Abdullah Nasih Ulwan, Konsep Pendidikan Qur‟anikarya
Muhammad FadhilAl Jamali,Qishos Al AnbiyakaryaIbnu Katsir, Nalar Pendidikan
Anak, Karya Miftahul Huda dan Muhammad Idris, Sudahkah Anda Mendidik Anak
Anda Dengan Benar (Konsep Mendidik Anak Dalam Islam karya Muhammad
HasanRuqoith, Cara Nabi Mendidik Anakkarya Muhammad Ibnu HafidzSuwaid,
Pendidikan Keluarga Dalam Perspektif Islam karya Nur Ahid dan karya-karya lainnya
yang relevan dengan judul.
Selanjutnya data yang telah terkumpul tersebut dianalisa, kemudian disusun dan
diolah dengan cara mendiskripsikan beberapa masalah, untuk selanjutnya dikaji secara
tematik yaitu dengan cara:
a. Memilih/menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji secara tematik
(mawdhu‟iy).
b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah
ditetapkan.
c. Menyusun runtutan ayat-ayat tersebut menurut kronologis masa turunnya diserta
dengan pengetahuan tentang latar belakang turunnya ayat atau asbab al-nuzul.
d. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut dalam masing-masing suratnya.

55
SUPRAPTO
55
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

e. Menyusun bahasan dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh (out
line).
f. Melengkapi bahasan dengan uraian hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan.
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan menghimpun
ayat-ayat yang serupa lalu, mengkompromikan antara pengertian yang ‟am (umum)
dengan khash (khusus), antara yang muthlaq dengan muqayyad (terikat),
mensingkronkan antara ayat-ayat yang tampak kontradiktif sehingga semuanya
bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan dan pemaksaan.
h. Melahirkan konsep yang utuh dari al-Qur‟an tentang satu topik masalah yang telah
dipilih di atas.

Data-data yang telah diambil dari buku-buku atau kitab-kitab tafsir tersebut dikaji
secara tematik (maudlu‟i). Tafsir maudlui menurut Jazuli (2005:13) berarti menghimpun
ayat-ayat yang tersebar pada berbagai surat dalam Al Qur‟an yang berbicara tentang
suatu tema. Dengan menghimpun segi relevansi dan hubungan antara ayat-ayat tersebut
sehingga seseorang dapat mengetahui muatan materi dan segala segi dari suatu tema.
Adapun langkah-langkahnya sebagaimana dihimpun oleh M.Quraisy Shihab
(2002:114) adalah sebagai berikut:
a. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik), dalam hal ini topik yang akan
dibahas adalah “Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim a.s di dalam Al Qur‟an”.
b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan dengan masalah tersebut seperti
Q.S. As Shoffat (37):100, Q.S.Al Baqarah (2):128 dan 132, Q.S.Ibrahim (14):37-
41, Q.S. Al Furqon (25): 74.
c. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.
d. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.
e. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.
f. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-
ayat yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang
am (umum) dan yang khas (khusus), mutlaq dan muqoyyad, atau yang pada
lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa
perbedaan atau pemaksaan. Bentuk penyajian hasil penelitian ini, dengan
menghimpun pesan-pesan yang ada dalam Al Qur‟an, yang terdapat dalam berbagai
surat, lalu disusun secara berurutan sesuai dengan topik dalam penelitian.

56
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
56
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan


1. Ibrahim A.S Sebelum Diangkat Menjadi Nabi
Nabi Ibrahim adalah putera Azar bin Tahur bin Saruj bin Rau‟ bin Falij bin Aaabir
bin Syalih bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh a.s., akan tetapi menurut Shihab (2002:
159, Vol 4) para ulama‟ berbeda pendapat menyangkut Azar, apakah ia ayah kandung
Nabi Ibrahim a.s. atau pamannya. Salah satu alasan menolak memahami kata “abihi”
dalam arti bapak kandung adalah bahwa jika Azar adalah bapak kandung Nabi Ibrahim
as. maka itu berarti ada leluhur dari Nabi Muhammad yang musyrik, karena beliau
adalah keturunan Nabi Ibrahim a.s.
Ibrahim a.s. dilahirkan di sebuah tempat bernama Faddam A‟ram sebuah daerah di
kerajaan Babylon yang pada waktu itu diperintah oleh seorang raja bernama Namrud
bin Kan‟an. Kerajaan Babylon pada masa itu termasuk kerajaan yang makmur,
rakyatnya hidup senang, sejahtera dalam keadaan serba cukup sandang maupun pangan
serta sarana-sarana yang menjadi keperluan pertumbuhan jasmani mereka, akan tetapi
tingkatan hidup rohani mereka masih berada ditingkat jahiliyah. Mereka tidak mengenal
Tuhan Pencipta yang telah mengaruniakan kepada mereka segala kenikmatan dan
kebahagiaan duniawi. Sesembahan mereka adalah patung-patung yang mereka pahat
sendiri dari batu-batu atau terbuat dari lumpur dan tanah.
Sebelum itu keadaan tempat kelahirannya berada dalam kucar-kacir. Ini adalah
karena Raja Namrud mendapat pertanda bahwa seorang bayi akan dilahirkan disana dan
bayi ini akan membesar dan merampas takhtanya. Antara sifat insan yang akan
menentangnya ini ialah dia akan membawa agama yang mempercayai satu tuhan dan
akan menjadi pemusnah batu berhala. Insan ini juga akan menjadi penyebab Raja
Namrud mati dengan cara yang dahsyat. Oleh itu Raja Namrud telah memerintahkan
kepada semua pengikutnya, agar setiap bayi yang dilahirkan dibunuh ditempat jika
berasal dari golongan laki-laki dan untuk wanita dipisahkan selama setahun.
Walaupun begitu dalam keadaan cemas ini, kehendak Allah tetap terjadi. Ibu Nabi
Ibrahim a.s. telah mengandung namun tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Pada
suatu hari dia terasa seperti telah tiba waktunya untuk melahirkan anak dan sadar
sekiranya diketahui Raja Namrud yang zalim pasti dia serta anaknya akan dibunuh.
Dalam ketakutan, ibu Nabi Ibrahim telah bersembunyi dan melahirkan anaknya di
dalam sebuah gua yang gelap dan dalam serta meninggalkannya seorang diri. Seminggu
kemudian, dia bersama suaminya telah pulang ke gua tersebut dan terkejut melihat nabi

57
SUPRAPTO
57
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

Ibrahim a.s masih hidup. Selama seminggu, bayi itu menghisap celah jarinya yang
mengandung susu dan makanan lain yang berkhasiat. Semasa berusia 15 bulan tubuh
Nabi Ibrahim telah membesar dengan cepatnya seperti kanak-kanak berusia dua tahun.
Maka kedua ibu-bapanya berani membawanya pulang kerumah mereka.
Penguasa waktu itu, Raja mereka Namrud bin Kan‟an menjalankan tampuk
pemerintahannya dengan tangan besi dan kekuasaan mutlak. Semua yang menjadi
kehendaknya harus terlaksana dan perintahnya merupakan undang-undang yang tidak
dapat dilanggar dan ditawar. Kekuasaan yang besar yang berada di tangannya itu dan
kemewahan hidup yang berlebih-lebihan menjadikan dirinya tidak puas hanya sebagai
raja. Ia merasakan dirinya patut disembah oleh rakyatnya sebagai tuhan. Lalu Ia pun
berfikir jika rakyatnya menyembah patung-patung yang terbuat dari batu yang tidak
dapat memberi manfaat dan mendatangkan kebahagiaan bagi mereka, mengapa bukan
dialah yang disembah sebagai tuhan. Dia yang dapat berbicara, mendengar, berfikir, dan
memimpin serta membawa kemakmuran bagi kehidupan rakyatnya. Lalu ia pun segera
memproklamirkan dirinya menjadi Tuhan.
Semasa remajanya Nabi Ibrahim sering disuruh ayahnya keliling kota menjajakan
patung-patung buatannya, namun karena iman dan tauhid yang telah diilhamkan oleh
Tuhan kepadanya, menjadikan Ibrahim a.s. tidak bersemangat untuk menjajakan
barang-barang itu bahkan secara mengejek ia menawarkan patung-patung ayahnya
kepada calon pembeli dengan kata-kata:” Siapakah yang akan membeli patung-patung
yang tidak berguna ini?

2. Metode Pendidikan Pendidikan Nabi Ibrahim A.S.


Setelah kita tadabburi ayat ayat yang berkaitan dengan kisah Nabi Ibrahim
a.s.dapat ambil beberapa bentuk metode yang Nabiyullah Ibrahim a.s. gunakan dalam
pendidikan.
a. Metode Keteladanan atau Uswah Hasanah
Keteladanan merupakan salah satu metode dalam pendidikan Islam yang
pengaruhnya luar biasa bagi peserta didik. Apalagi dizaman sekarang ini yang miskin
keteladanan. Allah menjadikan Nabi Ibrahim a.s. sebagai teladan bagi keluarga, anak
dan ummatnya dalam menunaikan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangannya,
demikian juga akhlak kesehariannya. Sampai kita umat Muhamad saw. juga

58
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
58
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

diperintahkan untuk mengambil teladan dari Abul Anbiya‟ ini, Firman Allah dalam Al
Qur‟an QS. al-Mumtahanah (60): 4.
ِ ‫ت لَ ُكم أُسوةٌ حسنَةٌ ِِف إِب ر ِاىيم والَّ ِذين معو إِ ْذ قَالُوا لَِقوِم ِهم إِنَّا ب رآء ِمْن ُكم وِّمِمَّا تَعب ُدو َن ِمن د‬
‫ون اللَّ ِو‬ ُ ْ ُ ْ َ ْ ُ َُ ْ ْ ُ َ َ َ َ َ َْ َ َ َ ْ ْ ْ َ‫قَ ْد َكان‬
‫يم ِِلَبِ ِيو‬ ِ ِ ِ َّ ِ ِ
َِّ
َ ‫ضاءُ أَبَ ًدا َح ََّّت تُ ْؤمنُوا باللو َو ْح َدهُ إَل قَ ْو َل إبْ َراى‬ َ ‫َك َف ْرنَا بِ ُك ْم َوبَ َدا بَْي نَ نَا َوبَْي نَ ُك ُم الْ َع َد َاوةُ َوالْبَ ْغ‬
ٍ ِ ِ ‫َِل‬
‫ص ُر‬ِ ‫ك الْم‬ ِ
َ َ ‫ك أَنَْب نَا َوإلَْي‬ َ ‫ك ِم َن اللَّ ِو ِم ْن َش ْيء َربَّنَا َعلَْي‬
َ ‫ك تَ َوَّك ْلنَا َوإِلَْي‬ َ َ‫ك ل‬ ُ ‫ك َوَما أ َْمل‬ َ َ‫َسََ ْغفَر َّن ل‬
ْ

Begitu juga dalam surat Al-Mumtahanah (60) ayat 6.


ِ ِ ِ
ُ ‫اَْ ِم‬
‫يد‬ ْ ُِّ َِ‫ُس َوةٌ َح َسنَةٌ ل َم ْن َكا َن يَ ْر ُجو اللَّوَ َوالْيَ ْوَم ْاْلخَر َوَم ْن يَََ َو َّل فَِإ َّن اللَّوَ ُى َو الْغ‬
ْ ‫لََق ْد َكا َن لَ ُك ْم في ِه ْم أ‬
Sebagaimana kita juga diperintahkan meneladani Rasulullah Muhammad saw.
Dalam semua aspek kehidupannya. QS. Al-Ahzab (33): 21

‫ُس َوةٌ َح َسنَةٌ لِ َم ْن َكا َن يَ ْر ُجو اللَّوَ َوالْيَ ْوَم ْاْل ِخَر َوذَ َكَر اللَّوَ َكثِ ًرا‬ ِ ِ
ْ ‫لََق ْد َكا َن لَ ُك ْم ِِف َر ُسول اللَّو أ‬

Banyak sekali keteladanan yang diberikan oleh Nabi Ibrahim a.s. bagi
keluarganya, ummatnya dan juga ummat Muhammad saw. yang tersebar di berbagai
surat dalam Al Qur‟an.Diantaranya sebagaimana disebut oleh Al Qusayri yaitu berupa
kedermawanan, kebaikan akhlak, Ikhlas, jujur dan sabar dan sifat-sifat terpuji lainnya
yang telah kita ketahui (Al Qusayri Juz 7 , t.t.: 416), Baik keteladanan dalam bersyukur
terhadap nikmat-nikmat yang Allah berikan, keteladanan dalam kehanifannya perlu kita
teladani. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Nahl (16): 120-122.

‫اط ُم ْسََ ِقي ٍم‬


ٍ ‫ َشاكِرا ِِلَنْع ِم ِو اجََباه وى َداه إِ ََل ِصر‬. ‫ك ِمن الْم ْش ِركِني‬
َ ُ ََ ُ َ ْ ُ ً
ِ ِِ ِ
َ ُ َ ُ َ‫يم َكا َن أ َُّم ًة قَانًَا للَّو َحني ًفا َوََلْ ي‬
ِ ِ ِ
َ ‫إ َّن إبْ َراى‬
.‫ني‬ ِِ َّ ‫ وآتَي نَاه ِِف الدُّنْيا حسنَةً وإِنَّو ِِف ْاْل ِخرِة لَ ِمن‬.
َ ْ‫الصا‬ َ َ ُ َ ََ َ ُ ْ َ

b. Metode Nasihat
Metode nasehat dalam Alquran digunakan untuk menyentuh hati supaya
manusia mengarah kepada tujuan yang diharapkan. Metode ini juga menempati posisi
yang sangat penting dalam proses pendidikan Islam dan penanaman nilai nilai
sebagaiman firman Allah: QS An Nahl: 125
ِ ِ ِ ِ ْ ‫اِْكْم ِة والْمو ِعظَِة‬ ِ َ ِّ‫ْادعُ إِ ََل سبِ ِيل رب‬
‫َ َّل َع ْن‬
َ ‫ك ُى َو أ َْعلَ ُم َِ ْن‬ ْ ‫اَْ َسنَة َو َجاد ْْلُ ْم بِالَِِّت ى َي أ‬
َ َّ‫َح َس ُن إِ َّن َرب‬ َْ َ َ ْ ‫ك ب‬ َ َ
‫ين‬ ِ ِ ِِ ِ
َ ‫َسبيلو َوُى َو أ َْعلَ ُم بالْ ُم ْهََد‬
Hikmah ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara
yang hak dengan yang batil. Nasehat atau juga bisa dengan sebutan wasiat atau

59
SUPRAPTO
59
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

pesan yang baik dengan cara yang baik dan disesuaikan dengan situaisi dan kondisi
yang tepat akan sangat berpengaruh pada diri peserta didik. Al Baidlowi (t.t.: 169)
mendefinisikan bahwa wasiat adalah menyampaikan pesan kebaikan dan ibadah kepada
pihak lain (untuk dilaksanakan).
Nasehat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membuka mata anak
kesadaran akan hakikat sesuatu. Mendorong mereka menuju harkat dan martabat yang
luhur, menghiasinya dengan akhlak yang mulia serta membekalinya dengan prinsip-
prinsip Islam. (Ulwan, 1978: 2008) Nabi Ibrahim menggunakan metode ini dalam
pendidikan anak-anaknya tergambar dalam firman Allah SWT. QS. Al-Baqarah (2): 132

‫ِّين فَ ََل َتَُوتُ َّن إََِّل َوأَنَُْ ْم ُم ْسلِ ُمو َن‬ ْ َ‫ِ إِ َّن اللَّو‬
َ ‫اصطََفى لَ ُك ُم الد‬ َّ َِ‫وب يَا ب‬
ِ ِ ‫صى ِِبا إِب ر ِاى‬
ُ ‫يم بَنيو َويَ ْع ُق‬
ُ َ ْ َ َّ ‫َوَو‬

Demikian juga nasehat beliau kepada bapak dan juga kaumnya. Firman Allah
dalam QS. Ashoffat (37): 85-87.
ِ
‫ني‬
َ ‫ب الْ َعالَم‬َ ْ َ ُ ‫ أَئِْف ًكا آْلَةً ُدو َن اللَّ ِو تُِر‬. ‫ال ِِلَبِ ِيو َوقَ ْوِم ِو َماذَا تَ ْعبُ ُدو َن‬
ِ ِّ ‫ فَما ظَنُّ ُكم بِر‬. ‫يدو َن‬ َ َ‫إِ ْذ ق‬
Sebagaimana Allah mensifati manusia dengan sifat orang yang merugi ketika
orang tersebut tidak mau saling nasehat menasehati dalam ketaqwaan, kesabaran,
kebenaran dan dalam kasih sayang. Firman Allah QS. Al-Asr (103): 1-3.

َّ ِ‫اص ْوا ب‬
.‫الص ِْب‬ ْ ِ‫اص ْوا ب‬ ِ ِ َّ ‫ إََِّل الَّ ِذين آمنُوا وع ِملُوا‬. ‫اْلنْسا َن لَِفي خس ٍر‬
ِ ِ ِ ْ ‫َوالْ َع‬
َ ‫اَْ ِّق َوتَ َو‬ َ ‫الصاَْات َوتَ َو‬ ََ َ َ ُْ َ ْ ‫ إ َّن‬. ‫صر‬
Begitu juga dalam Q.S.al-Balad (90): 17.

‫اص ْوا بِالْ َم ْر ََحَِة‬ َّ ِ‫اص ْوا ب‬ ِ َّ ِ


َ ‫الص ِْب َوتَ َو‬ َ ‫ين َآمنُوا َوتَ َو‬
َ ‫ُُثَّ َكا َن م َن الذ‬
c. Metode dialog
Salah satu metode yang digunankan nabi Ibrahim adalah metode dialog. Metode
ini digunakan untuk mengetahui dan memantapkan pangetahuan peserta didik yang dia
miliki. Dialog yang begitu mengharukan sekaligus sarat dengan ibroh pendidikan
sekaligus menggambarkan tingkat keimanan yang sangat tinggi dari pendidik (Nabi
Ibrahim) dan peserta didik (Nabi Ismail). Dalam surat QS. Ash-Shoffat (37): 102.
ِ ‫ال يا أَب‬
‫ت افْ َع ْل َما تُ ْؤَم ُر‬ ِّ ‫ِ إِ ِِّّن أ ََرى ِِف الْ َمنَ ِام أ‬
َ ُ‫َِّن أَ ْذ ََب‬
َ َ َ َ‫ك فَانْظُْر َماذَا تَ َرى ق‬ ََّ ُ‫ال يَا ب‬
َ َ‫الس ْع َي ق‬
َّ ُ‫فَلَ َّما بَلَ َغ َم َعو‬
ِ َّ ‫سََ ِج ُدِِّن إِ ْن َشاء اللَّوُ ِمن‬
َ ‫الصاب ِر‬
‫ين‬ َ َ َ
Dari sini terlihat jelas, sang ayah yang shalih ini menuntun dan mendidik
anaknya dengan cara yang bijak agar sama-sama patuh kepada semua perintah Allah
betapapun beratnya. Beliau menggunakan metode dialogis dengan seolah-olah meminta

60
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
60
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

pendapat putranya, “Ya anakku, aku melihat di dalam mimpiku, aku


menyembelihmu. Bagaimana menurut pendapatmu?” Kebijakan sang ayah ini pun
dijawab dengan ketegasan dan kesabaran seorang anak, “Ya ayah, kerjakanlah apa
yang Allah perintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk
golongan orang-orang yang sabar.” Dari dialog tersebut kita melihat bagaimana
seorang anak dapat memahami betapa ayahnya mendapat perintah Allah yang begitu
berat. Lalu dengan segala kerendahan hatinya dan tak lupa menyebut kata insya Allah,
Ismail berusaha meyakinkan ayahnya bahwa ia siap membantu ayahnya untuk mentaati
perintah Allah tersebut.Menurut Ibnu Katsir car dialog seperti yang diajarkan Nabi
Ibrahim tersebut adalah untuk melatih berargumentasi, kesabaran, ketangguhan, dan
keteguhannya untuk patuh kepada Allah SWT. dan taat kepada orang tua (Ibnu Katsir
vol 4, 1968:15)

d. Metode Adu Argumen


Metode ini digunakan Nabi Ibrahim untuk mementahkan aqidah mereka yang
sesat yang menuhankan berhala dan benda antariksa, firman Allah SWT dalam QS. Al
Anam (6): 80.

‫اف َما تُ ْش ِرُكو َن بِِو إََِّل أَ ْن يَ َشاءَ َرِِّب َشْيئًا َو ِس َع َرِِّب ُك َّل‬
ُ ‫َخ‬ ِ ِ
َ ‫اجو ِِّّن ِِف اللَّو َوقَ ْد َى َدان َوََل أ‬ُّ َ‫ال أ َُُت‬ َ َ‫اجوُ قَ ْوُموُ ق‬ َّ ‫َو َح‬
‫َش ْي ٍء ِع ْل ًما أَفَ ََل تَََ َذ َّك ُرو َن‬

3. Faktor-Faktor Kesuksesan Nabi Ibrahim a.s. Dalam Mendidik Anak


Keberhasilan Ibrahim A.S. mendidik putranya Ismail, menjadi anak yang
beriman dan bertakwa. Agar bisa mewujudkan impian mempunyai anak yang beriman
dan bertakwa tentu saja harus ada faktor-faktor pendukung, seperti:

a. Integritas dan ketawakkalan Nabi Ibrahim a.s.


Integritas dan tawakkal adalah dua kata banyak mengandung arti dan sarat
dengan makna. Integritas menurut Purwadarminta adalah kata benda yang berarti
kesempurnaan, kesatuan, keterpaduan, ketulusan. Semua arti kata itu tepat sekali
mendukung pembentukan sosok pribadi manusia sesuai yang diharapkan yaitu
manusia yang “paripurna” atau secara sederhananya ialah manusia yang penuh
dengan “kemuliaan”. Integritas, sebenarnya sebuah kata yang memiliki definisi
sederhana, namun sulit untuk direalisasikan. Inti dari integritas adalah kesatuan kata

61
SUPRAPTO
61
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

dengan perbuatan yang sesuai dengan kode etik dan berlaku untuk segala
kondisi.Integritas selalu dikaitkan dengan makna jujur, amanah, komitmen dan
konsisten. Integritas adalah tunggalnya ucapan, pemikiran, dan tindakan seseorang.
Apa yang muncul dalam lintasan benaknya, adalah sama dengan yang dirasakan
dalam hatinya dan menjadi konsep hidupnya, sama juga dengan segala amal
perbuatan yang keluar dari sosok pribadi itu. Integritas adalah lawan kemunafikan,
lawan dari sifat hiprokit yang hina dina. Jika orang hiprokit berkata dusta, berjanji
mengingkari, dipercaya berkhianat, maka orang yang berintegritas akan berkata
benar, menepati janji, dan memegang kepercayaan sebaik-baiknya.
Kata integritas seringkali digunakan sebagai landasan/acuan untuk melahirkan
sebuah petuah atau pepatah dari manusia/orang-orang yang sudah dianggap
sempurna baik secara mental maupun sepiritual, karena itu kata Integritas sudah
melekat pada pribadi orang-orang yang “arif dan bijaksana” yang dalam kehidupan
kesehariannya mampu menjadi sosok manusia anutan dan sebagai panutan, atau
sebagai tuntunan, bukan tontonan. Sosok manusia seperti itu sangat jarang dijumpai,
bahkan mungkin tidak ada, apalagi dijaman seperti sekarang ini. Pribadi-pribadi yang
memiliki Integritas barangkali hanya ada pada sosok seorang Nabi dan Rasul. Kata
Integritas menjadi petuah untuk membentuk manusia-manusia seperti itu, baik secara
individu maupun kelompok, bagi para pejabat maupun bukan, bagi simiskin maupun
sikaya, bagi seorang presiden sekalipun. Integritas adalah konsistensi antara tindakan
dan nilai. Orang memiliki integritas hidup sejalan dengan nilai-nilai prinsipnya.
Kesesuaian antara kata-kata dan perbuatan merupakan hal yang esensial.
Adapun kata tawakkal berasal dari kata wakkala yang artinya yang berarti
mewakilkan atau menyerahkan. Sementara menurut definisi Istilah tawakkal artinya
berpasrah diri kepada Allah setelah melakukan upaya-upaya secara maksimal.
Sementara Imam al-Ghazali merumuskan definisi tawakkal ialah menyandarkan
kepada Allah SWT. tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya
dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang
dan hati yang tenteram.
Dari berbagai uraian di atas nampaknya konsep tawakkal menurut Al Ghazali
adalah konsep yang paling sesuai dengan hal yang menimpa Nabi Ibrahim a.s. dan
keluarganya. Bila kedua kata tersebut kita kaitkan dengan Nabi Ibrahim maka kita
sungguh akan belajar dari contoh teladan yang diberikan melalui integritas dan

62
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
62
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

ketawakkalan seorang Nabi agung yang menjadi teladan bagi umat manusia. Hal
tersebut telah dibuktikan dengan indahnya oleh seorang Bapak Ahli Tauhid sajati,
dialah Nabi Ibrahim, beserta keluarganya.
Ketika Nabi Ibrahim kecil, Tuhan mulai dia cari dengan akalnya. Ketika
rembulan datang dan kemudian menghilang, ketika matahari datang dan kemudian
menghilang, Nabi Ibrahim tidak menyukai Tuhan Yang Menghilang, dan beliau
memasrahkan dirinya ke Tuhan Seluruh Alam. Hal ini diabadikan di dalam Al
Qur‟an surat al-An‟am (6): 75-79.

‫ فَلَ َّما َج َّن َعلَْي ِو اللَّْي ُل َرأَى َك ْوَكبًا‬. ‫ني‬ ِِ ِ ِ ِ ‫ات و ْاِلَر‬ ِ َّ ‫وَك َذلِك نُِري إِب ر ِاىيم ملَ ُكوت‬
َ ‫ض َوليَ ُكو َن م َن الْ ُموقن‬ ْ َ ‫الس َم َاو‬ َ َ َ َْ َ َ
ِ َ َ‫ال ى َذا رِِّب فَلَ َّما أَفَل ق‬ ِ ِِ ُّ ‫ال ََل أ ُِح‬ َ َ‫ال َى َذا َرِِّب فَلَ َّما أَفَ َل ق‬
ْ‫ال لَئ ْن ََل‬ َ َ َ َ َ‫ فَلَ َّما َرأَى الْ َق َمَر بَاز ًغا ق‬. ‫ني‬ َ ‫ب ْاْلفل‬ َ َ‫ق‬
َ َ‫س بَا ِز َغةً ق‬ ِ ِ ِ
‫ت‬ ْ َ‫ال َى َذا َرِِّب َى َذا أَ ْكبَ ُر فَلَ َّما أَفَل‬ َ ‫َّم‬
ْ ‫ فَلَ َّما َرأَى الش‬. ‫ني‬َ ِّ‫يَ ْهدِِّن َرِِّب َِلَ ُكونَ َّن م َن الْ َق ْوم الضَّال‬
‫ض َحنِي ًفا َوَما أَنَا ِم َن‬ ِ َّ ‫ إِ ِِّّن و َّجهت وج ِهي لِلَّ ِذي فَطَر‬. ‫ال يا قَوِم إِ ِِّّن ب ِريء ِّمِمَّا تُ ْش ِرُكو َن‬
َ ‫الس َم َاوات َو ْاِل َْر‬ َ َ َْ ُ ْ َ ٌ َ ْ َ َ َ‫ق‬
ِ
َ ‫الْ ُم ْش ِرك‬
‫ني‬
Ayat tersebut menggambarkan keyakinan yang utuh dan penuh dari Nabi
Ibrahim a.s. kepada Allah SWT. Sebuah keyakinan yang mantap sebab Ibrahim
menemukan dan membina keyakinannya melalui pencaharian dan pengalaman-
pengalaman keruhanian yang dilaluinya (Shihab, 1992: 332). Sungguh Nabi Ibrahim
mencintai Allah dengan secinta-cintanya. Nabi Ibrahim, hatinya terpenuhi dengan
kecintaan kepada Allah SWT, di fikiran beliau sungguh besar keyakinan kepada
Allah SWT.
Suatu ketika saat itu Nabi Ibrahim menyembelih beribu unta, dan domba, sampai
seluruh kota itu memuji beliau. Karena memang cinta beliau kepada Allah SWT.
Tapi Nabi Ibrahim pun juga manusia, beliau kemudian berucap, “Seandainya saya
punya putra, putra pun akan saya korbankan untuk Allah SWT. Dan ketika itu setelah
lama putra yang ditunggu-tunggu datang dengan kelucuannya, dengan
keshalihannya, dengan segala kebaktiannya kepada orang tuanya, maka saat itu Allah
SWT kembali menguji integritas dan ketawakkalan Nabi Ibrahim. Benarkah apa
yang diucapkannya dahulu? Maka bermimpilah Nabi Ibrahim selama tiga malam
dengan mimpi yang memerintahkan untuk menunaikan nadzarnya. Ucapan yang oleh
Allah SWT sebagai nadzar. Saat itu benar-benar integritas beliau diuji dengan
dahsyatnya. Anak yang selama ini jadi yang menjadi qurrota a‟yun, yang membuat
hati senang harus dikorbankan karena perintah Allah. Bahkan ketika Nabi Ismail,

63
SUPRAPTO
63
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

sang putra diberi tahu untuk itu, maka belaiu bersedia. Tahu akan dikorbankan, tetapi
masih bersedia. sungguh integritas yang luar biasa. Sang istri pun, Hajar tak mampu
digoda lagi oleh setan. Dan Ibrahim melempari setan pertama, kedua, dan ketiga
yang membujuk agar lebih cinta anak dibanding cinta Allah SWT. Jadilah tugu Ula,
Wustho, dan Aqobah.Di jalan mereka, Ibrahim dan Ismail saling menumpahkan air
matanya tanda perpisahan. Saling menumpahkan rasa cintanya yang begitu dalam.
Dan tibalah di batu tempat penyembelihan itu tiba. Allahu Akbar. Saat pisau mulai
berjaln mengiris Hilanglah Ismail dan bergantilah dengan kambing kibas. Hal
tersebut Allah abadikan di dalam Al Qur‟an Q.S. Ash Shoffat (37): 102-107.

‫ت افْ َع ْل َما‬ِ ‫ال يا أَب‬ ِّ ‫ِ إِ ِِّّن أ ََرى ِِف الْ َمنَ ِام أ‬
َ ُ‫َِّن أَ ْذ ََب‬
َ َ َ َ‫ك فَانْظُْر َما َذا تَ َرى ق‬ ََّ ُ‫ال يَا ب‬
َ َ‫الس ْع َي ق‬
َّ ُ‫فَلَ َّما بَلَ َغ َم َعو‬
ِ ِ ِ ِ ِ َّ ِ َّ ‫تُ ْؤمر سََ ِج ُدِِّن إِ ْن َشاء اللَّوُ ِمن‬
‫ قَ ْد‬. ‫يم‬ ُ ‫ َونَ َاديْنَاهُ أَ ْن يَا إبْ َراى‬. ‫َسلَ َما َوتَلوُ ل ْل َجبني‬ ْ ‫ فَلَ َّما أ‬.‫ين‬ َ ‫الصاب ِر‬ َ َ َ َُ
‫ َوفَ َديْنَاهُ بِ ِذبْ ٍح َع ِظي ٍم‬. ‫ني‬
ُ ِ‫ إِ َّن َى َذا َْلَُو الْبَ ََلءُ الْ ُمب‬. ‫ني‬
ِِ
َ ‫ك ََْن ِزي الْ ُم ْحسن‬
ِ
َ ‫الرْؤيَا إِنَّا َك َذل‬
ُّ ‫ت‬ َ ْ‫ص َّدق‬
َ

Terbuktilah Integritas sekaligus ketawakkalan Nabi Ibrahim, bahwa beliau lebih


cinta kepada Allah SWT, dibanding dengan cintanya kepada Nabi Ismail. Dan bukti
dari itu adalah pengorbanan, mengorbankan anaknya untuk mencapai ridho dan cinta
Allah SWT. Pengorbanan inilah bukti tingginya integritas seseorang. Kisah itu
menjadi hikmah yang dalam, tentunya dengan catatan bahwa integritas diri dibangun
dalam landasan kebenaran dari Tuhan bukan selainnya. Dan masih banyak lagi
contoh yang menujukkan integritas dan ketawakkalan Nabi Ibrahim a.s. maka tidak
berlebihaan kalau al-Qur‟an menyebut sisi kehidupan Ibrahim adalah uswatun
hasanah. Sebagai dinyatakan dalam Al-Mumtahanah (60): 4.
ِ َّ ‫قَ ْد َكانَت لَ ُكم أُسوةٌ حسنةٌ ِِف إِب ر ِاى‬
ُ‫ين َم َعو‬
َ ‫يم َوالذ‬
َ َْ ََ َ َ ْ ْ ْ

2. Kesucian Niat dan Do’a dari Orang Tua


Faktor kesucian niat dan doa ini sangat menentukan keberhasilan dalam
mendidik anak, seperti permohonan doa Nabi Ibrahim a.s. yang diabadikan dalam Al
Qur‟an surat Ibrahim (14): 35-40.

‫ََلَْل َن َكثِ ًرا ِم َن‬ ِ ِ ِ َ َ‫وإِ ْذ ق‬


ْ ‫ب إِن َُّه َّن أ‬ َّ َِ‫اجنُْب ِِ َوب‬
ْ ‫ِ أَ ْن نَ ْعبُ َد ْاِل‬
ِّ ‫ َر‬. ‫َصنَ َام‬ ْ ‫اج َع ْل َى َذا الْبَ لَ َد آمنًا َو‬
ْ ‫ب‬ ِّ ‫يم َر‬
ُ ‫ال إبْ َراى‬ َ
ِ ِ ٍ ِ
‫ت م ْن ذُِّريَِِّت ب َواد َغ ْر ذي‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫الن‬
ُ ‫َس َكْن‬
ْ ‫ َربَّنَا إ ِِّّن أ‬. ‫يم‬
ٌ ‫ور َرح‬ ٌ ‫َّك َغ ُف‬
َ ‫صاِّن فَإن‬ َ ‫َّاس فَ َم ْن تَب َع ِِ فَإنَّوُ م ِِّ َوَم ْن َع‬
ِ ‫َّاس تَه ِوي إِلَي ِهم وارزقْ هم ِمن الثَّمر‬ ِ ِ ِِ ِ
‫ات‬ ََ َ ْ ُ ُ ْ َ ْ ْ ْ ِ ‫اج َع ْل أَفْئ َد ًة م َن الن‬ ْ َ‫الص ََل َة ف‬
َّ ‫يموا‬ َ َِ‫َزْرٍع ِعْن َد بَْي‬
ُ ‫ك الْ ُم َحَّرم َربَّنَا ليُق‬

64
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
64
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

‫ض َوََل ِِف‬ ِ ‫َّك تَ ْعلَ ُم َما ُُنْ ِفي َوَما نُ ْعلِ ُن َوَما ََيْ َفى َعلَى اللَّ ِو ِم ْن َشي ٍء ِِف ْاِل َْر‬َ ‫ َربَّنَا إِن‬. ‫لَ َعلَّ ُه ْم يَ ْش ُك ُرو َن‬
ْ
ِِ ‫اج َع ْل‬
ْ ‫ب‬ِّ ‫ َر‬. ‫ُّع ِاء‬ ِ ِ َ ‫اعيل وإِ ْسح‬
ُ ‫اق إ َّن َرِِّب لَ َسم‬
َ ‫يع الد‬
ِ ِ ِ
َ َ َ َ‫ب ِِل َعلَى الْك َِب إ ْْس‬
ِ َّ ِ َِّ ْ . ‫السم ِاء‬
َ ‫اَْ ْم ُد للو الذي َوَى‬ َ َّ
. ‫الص ََلةِ َوِم ْن ذُِّريَِِّت َربَّنَا َوتَ َقبَّ ْل ُد َع ِاء‬
َّ ‫يم‬
َ ‫ُمق‬
ِ

Kesucian niat Nabi Ibrahim a.s. inilah yang sebagaimana disebutkan dalam
ayat diatas menjadi faktor pendukung terbesar dalam kesuksesannya mendidik
anak. Mensyukuri anak sebagai anugerah terbaik dan mendidik mereka agar tetap
berada di jalan yang diridloi Allah SWT.

3. Kesucian Lingkungan Yang Kondusif


Lingkungan yang tidak baik dan tidak kondusif seperti lingkungan para
pemabuk dan penjudi ini juga akan mempengaruhi faktor keberhasilan dalam
mendidik anak, kita tidak mungkin mempunyai anak yang saleh jika lingkungan itu
sendiri adalah lingkungan tempat kemaksiatan. Lingkungan pendidikan Nabi Ibrahim
a.s. untuk putranya bersih dari virus akidah dan akhlak. Beliau dijauhkan dari berhala
dunia, pikiran sesat, budaya jahiliyah dan perilaku sosial yang tercela. Hal ini dipilih
agar pikiran dan jiwanya terhindar dari kebiasaan buruk disekitarnya.Selain jauh dari
perilaku yang tercela, tempat pendidikan Ismail juga dirancang menjadi satu
kesatuan dengan pusat ibadah „Baitullah‟. Hal ini dipilih agar Ismail tumbuh dalam
suasana spiritual, beribadah (shalat) hanya untuk Allah SWT. Kiat ini sangat strategis
karena faktor lingkungan sangat berpengaruh kepada perkembangan kejiwaan anak
di sekitarnya. Al-Qur‟an surat Ibrahim ayat 35-40menjadi dasar perlunya berhijrah
ke suatu tempat yang aman bagi kelangsungan pendidikan agama untuk anak dan
pemeliharaan akidahnya. (Shihab, Vol .7, 2002: 72)
Pendidikan Nabiyullah Ibrahim a.s. memang patut dicontoh. Beliaulah satu-
satunya nabi yang berhasil mengantar anak-anaknya menjadi nabi dan rasul,
sehingga ia dikenal sebagai Abul Anbiya (Bapaknya para Nabi). Dari keturunan anak
cucu beliau muncul nabi akhir zaman, Rasulullah Muhammad saw.Bagaimana
dengan hasil pendidikan sekarang ini? Susah untuk membandingkannya. Realitas
anak didik hari ini sangat jauh dari hasil yang dicapai Ibrahim mendidik anak
cucunya. Harus diakui secara jujur bahwa hari ini, anak didik mengalami degradasi
moral yang arah. Para anak didik kehilangan orientasi dan celupan nilai. Yang terjadi

65
SUPRAPTO
65
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

adalah penetrasi budaya luar membentuk perilaku baru yang jauh dari nilai-nilai
keislaman. Untuk menyelamatkan generasi penerus, maka hal paling prioritas dari
nilai-nilai pendidikan Ibrahim yang harus menjadi pola hari ini adalah bi‟ah atau
penciptaan lingkungan yang mendidik. Lingkungan pendidikan harus bebas dari
virus aqidah dan akhlak. Perlu suaka generasi (kawasan steril) buat perkembangan
dan pertumbuhan setiap anak.
Para orang tua dan pengelola pendidikan hari ini harus mencontoh keberanian
Ibrahim dan Siti Hajar dalam mengamankan Ismail jauh dari lingkungan buruk.
Harus ada benteng yang kuat untuk mengamankan anak kita dari pengaruh narkoba,
judi, seks bebas dan kekerasan. Melepas anak berada dalam lingkungan yang buruk
seperti ini, berarti kita telah menghancurkan masa depan mereka.Desain pendidikan
memang harus jauh dari segala keburukan. Lingkungan yang buruk sangat berpotensi
merusak akhlak dan kepribadian anak.

4. Kesucian Pengajar
Yaitu kesucian seorang guru (pendidiknya), tempat belajar seorang anak
biasanya adalah dari ibunya sejak dari dalam kandungan, kesucian ibu mendidik
anak-anaknya seperti perjuangan Siti Hajar berlari di tengah terik panasnya padang
pasir sebanyak tujuh kali, dari bukit Shofa ke bukit Marwa untuk mendapatkan air
demi anaknya Ismail. Ini adalah bukti bahwa Konsep pendidikan dalam Islam
melihat besarnya pengaruh pendidik sekaligus pengaruh gen dari ibu. Itulah
sebabnya maka Islam menganjurkan kepada setiap orang Islam untuk memilih jodoh
yang baik, dari keturunan dan nasab yang baik (Arifin, 1976: 40).Dan yang akan
mendukung keberhasilan anak adalah kecerdasan anak itu sendiri, dimana kalau
ditinjau dari sudut pandang Islam, kecerdasan disini adalah bagaimana anak tersebut
mempunyai rasa malu saat melakukan kemaksiatan.

5. Semangat Generasi Muda dan Sikap Bijak Generasi Tua


Identitas dan kepribadian seseorang sering tercermin dalam tutur katanya. Itulah
awal apa yang dinilai orang. Rupanya Ibrahim sadar betul akan esensi bahasa dalam
pendidikan. Dialah sosok orangtua yang pandai memilih dan memilah kata. Anaknya
diundang dalam dialog akrab dengan panggilan Yaa bunayya. Menurut M.Quraish
Shihab , “Ya Bunayya”pemanggilan tersebut mengisyaratkan kasih sayang. (Shihab

66
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
66
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

vol.10, 2002: 298). Kata itu mungkin sepadan dengan “si buah hati, belahan jantung,
permata hati” dan seterusnya. Panggilan ini tentukan mengakrabkan suasana,
mendamaikan situasi, mendekatkan yang jauh, menyatukan hati yang berberai.
Dengan itu diharapkan agar gayung bersambut terhadap titah dan saran orangtua
demi kebaikan sang anak. Dari sini, kita dapat berkata bahwa panggilan tersebut
memberi isyarat bahwa mendidik hendaknya didasari oleh rasa kasih sayang
terhadap peserta didik (Shihab vol.10, 2002: 298).Agar tujuan pendidikan bisa
terealisasi hendaknya di dukung dengan sikap bijak Nabi Ibrahim a.s. dalam
mengambil keputusan untuk menyembelih putranya Ismail demi ketaatannya kepada
Allah SWT. dan Ismail a.s.sebagai generasi muda yang mempunyai semangat tinggi
untuk patuh terhadap permintaan ayahnya tersebut.

6. Perhatian Orang Tua


Ibrahim tidak pernah membiarkan Ismail menyendiri dan menyepi. Ibrahim
mengajaknya berdiskusi dan berdialog untuk membicarakan ha-hal yang mengitari
permasalahan keluarga, masyarakat termasuk yang dihadapi Ismail sendiri. Cuplikan
kisahnya dalam Al Quran menggambar- kan betapa Ibrahim a.s. mampu melakukan
komunikasi efektif dalam proses belajar dan mengajar dalam keluarganya. Contoh
paling ringan adalah Ibrahim a.s. tidak pernah memaksa kehendaknya kepada anak.
Dia memposisikan anak sebagai mitra, bukan bawahan, yunior, anak kecil, dan
seterusnya. Ibrahim sadar betul, kalau anak didekati dengan cinta, berarti ia sedang
mengajarkan bagaimana anak berkasih sayang sesama. Kalau anak dihadapi dengan
lemah lembut berarti ia sedang mengajarkan bagaimana pandai memilih dan
memilah kata dalam berbicara, bertutur sapa dan bertingkah laku. Kalau anak
dihadapi dengan amarah, berarti ia sedang mengajarkan kekerasan kepada anaknya.
Demokratisasi Ibrahim dalam mendidik Ismail merupakan kearifan pendidik yang
professional. Kearifan itu telah muncul, kerena mempertimbangkan sikap mental dan
kejiwaan anak didik. Demikian halnya kearifan disebabkan karena kematangan
profesionalisme sang pendidik yang selalu yakin dengan keberhasilan pendidikan
yang dilakukan. (Huda dan Idris, 2008: 155)

67
SUPRAPTO
67
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

7. Keteladanan Nabi Ibrahim


Berbeda dengan sebagian orang, Ismail selalu mendampingi ayahnya. Di mana
ada Ibrahim di situ ada Ismail. Sebenarnya apa makna dibalik kebersamaan ini?
Rupanya Ibrahim hendak memberikan teladan kepada anaknya. Ibrahim a.s. sadar
bahwa kegagalan pendidikan orangtua diawali dengan krisis keteladanan. Pendidikan
model ini tentu mengantarkan seorang anak untuk menjadikan orangtuanya sebagai
teladan dan figur. Firman Allah SWT.
ِ ِ ِ
ُ ‫اَْ ِم‬
‫يد‬ ْ ُِّ َِ‫لََق ْد َكا َن لَ ُك ْم في ِه ْم أُ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ ل َم ْن َكا َن يَ ْر ُجو اللَّوَ َوالْيَ ْوَم ْاْلخَر َوَم ْن يَََ َو َّل فَِإ َّن اللَّوَ ُى َو الْغ‬
Artinya:”Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan
yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala)
Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. Barangsiapa yang
berpaling, Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi
Maha Terpuji. (Al-Mumtahanah (60): 6)

Kata uswatun hasanah dalam ayat tersebut oleh Al-Qusayri dipahami sebagai
perilaku Ibrahim dalam kedermawanan, kebaikan akhlak, ikhlas, sabar dan
perbuatan-perbuatan lainnya yang layak dicontoh (Al Qusayri Juz 7, t.t.: 416).
Sebagai figur, Ibrahim menjadi kebanggaan anak dan isterinya. Dengan demikian,
anak yang bangga terhadap aktivitas ayahnya tentu tidak segan-segan untuk menuruti
apa yang diperintahkan kepadanya. Ketika merenovasi Ka‟bah, Ismail turut bersama
Ibrahim untuk mengerjakan bagian-bagian Ka‟bah dan memperbaiki apa yang
disuruh ayahnya.Keikutsertaan anak dalam kegiatannya agar ia mengajarkan secara
langsung bagaimana seorang manusia mengabdi kepada Tuhannya, termasuk
membagun tempat ibadah. Kisah tersebut diabadikan dalam Al Qur‟an al-
karim.Keberhasilan dunia pendidikan memerlukan adanya keteladanan yang baik,
harus pula ada contoh yang baik dan menarik perhatian, dan akhlak utama yang
dianut oleh tokoh masyarakat, serta yang dapat mewariskan pelajaran yang baik
untuk generasi berikutnya. (Ulwan, 1999: 172)
Malapetaka pendidikan sekarang ini adalah krisis keteladanan. Peserta didik sulit
untuk mendapatkan figur yag tepat yang diteladani, yang padu antara perkatan dan
perbuatannya. Akhirnya, pendidikan hanyalah sekedar transfer of knowledge
(penyampaikan informasi keilmuan) yang berkisar pada tataran kognitif dan tidak
mempengaruhi afektif dan psikomotorik.

68
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
68
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

8. Kurikulum Pengajaran yang Lengkap dan Menyeluruh serta Aplikatif


Kurikulum pendidikan Ibrahim juga sangat lengkap. Muatannya telah
menyentuh kebutuhan dasar manusia. Aspek yang dikembangkan meliputi: Tilawah
untuk pencerahan intelektual, Tazkiyah untuk penguatan spiritual, Taklim untuk
pengembangan keilmuan dan Hikmah sebagai panduan operasional dalam amal-amal
kebajikan. Muatan-muatan strategis pendidikan Ibrahim tersebut, oleh Allah swt
telah jelaskan secara terperinci dalam firman-Nya:

‫ت الْ َع ِز ُيز‬ َ ‫ْم َة َويَُزِّكي ِه ْم إِن‬


َ ْ‫َّك أَن‬
ِْ ‫ك وي علِّمهم الْ ِكََاب و‬ ِ ِ ِ ِ ِ ْ ‫ربَّنَا وابْ َع‬
َ ‫اْك‬ َ َ ُ ُ ُ َ ُ َ َ ‫ث فيه ْم َر ُس ًوَل مْن ُه ْم يََْ لُو َعلَْيه ْم آيَات‬ َ َ
‫يم‬ ِْ
ُ ‫اَْك‬
Artinya: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan
mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Alquran) dan Al-Hikmah (As-
Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesung guhnya Engkaulah yang Maha
Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Baqarah (2): 129)

Ayat tersebut menggambarkan permohonan Nabi Ibrahim yang sanget serasi. Ia


dimulai dengan permohonan kehadiran seorang Rasul yang menyampaikan tuntunan
Allah, lalu mengajarkan makna dan pesan-pesanya, kemudian pengetahuan tersebut
menghasilakn kesucian jiwa dan berakhir dengan pengamalan (Shihab Vol.I,
2002:130)

D. Kesimpulan
Metode yang diterapkan oleh Nabi Ibrahim A.S. dalam mendidik anak-anaknya
adalah sebagai berikut:
1. Metode dialogis demokratis yang bertujuan kepada humanisasi. Pendidikan yang
bertujuan memanusiakan manusia dilakukan Ibrahim A.S. dengan metode dialogis.
Dialog sebagi sebuah upaya untuk membuka jalur informasi antara pendidik dan
anak didik. Dengan berdialog akan ditemukan visi dan misi pendidikan yang
dilakukan yang menjadikan interaksi pendidikan menjadi harmonis.
2. Metode nasihat. Metode nasihat bertujuan agar anak menjadi pribadi seperti yang
diinginkan oleh yang memberi nasehat. Dalam berbagai kesempatan Nabi Ibrahim
A.S. senantiasa memberikan berbagai nasehat yang berguna bagi nak-anaknya
terutama untuk senantiasa menjaga keimanan dan keislaman selama ada dalam
kehidupan mereka.

69
SUPRAPTO
69
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

3. Metode teladan. Nabi Ibrahim meyakini bahwa cara mendidik anak tidak akan
pernah berhasil, selama sang guru dalam hal ini orang tua tidak bisa memberikan
contoh terbaik buat anak-anaknya. Dengan prinsip melaksanakan apa yang
diperintahkannya terlebih dahulu Nabi Ibrahim tampil sebagi teladan yang kisahnya
diabadikan dalam al-Qur‟an.
Adapun faktor-faktor yang mendukung kesuksesan Ibrahim a.s. dalam mendidik
anak antara lain: (1) Kesucian niat dan do‟a dari orangtua. (2) Kesucian lingkungan
yang kondusif. (3) Kesucian tempat belajar dan pengajar. (4) Semangat generasi muda
dan sikap bijak generasi tua. (5) Perhatian orangtua. (6) Keteladanan Nabi Ibrahim. (7)
Kurikulum pengajaran yang lengkap dan menyeluruh serta aplikatif.

Daftar Pustaka

Ahid, Nur, Pendidikan Keluarga Dalam Perspektif Islam,Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2010.
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. A Gani
al-Bustanio, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Al-Alusi, Abi al Fadhl Shihab al Din al-Mahmud, Ruh Al Ma’ani Fii Tafsir Al Qur’an
al ‘Adzim wa Tsab’ul Matsani, Bairut: Dar al-Fikr, 1986.
Al-Hilali, Syaikh Salim Bin Ied, Kisah Shahih Teladan Para Nabi Jilid I, Bogor:
Pustaka Imam Syafi‟i, 2004.
Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsir Al-Maraghi terj. Bahrun Abu Bakar dkk.
Semarang: Karya Toha Putera, 1993.
Al-Nahlawi, Abdurrahman, Usus al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Turuqu Tadrisiha,
Damsyiq: Darul Fikr, tt.
Al-Naquib, Seed Muhammad al-Attas, Pendidikan Dalam Islam, terj. Haidar Bagir,
Bandung: Mizan, 1984.
Al-Syaibani, Umar Muhammad al-Thoumi, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan
Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Arifin, Muhammad, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Aziz, Hamka Abdul, Pendidikan Karakter Berpusat Pada Hati, Jakarta: Al -Mawardi
Prima, 2011.
Faturrohman, Maman, Al-Qur’an Pendidikan dan Pengajaran, Bandung: Pustaka
Madani, 2007.

70
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
70
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

Hasyim, Aris Gunawan, Memahami al-Qur’an Secara Tematik, Sidoarjo: Pesantren


Terbuka, t.t.
Ibnu Katsir, Abul Fida‟ Ismail ibnu Umar, Qishash al-Anbiya’, Beirut: Darul Kutub Al
Haditsiah, 1968.
_________, Tafsir Al Qur’an Al Adzim, Beirut: Dar Al-Thoyyibah Linasy wa At
Tauyi‟ 1999.
Ihsan, Hamdani dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia,
1998.
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam; Konsep dan perkembangan
Pemikirannya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Jamaludin, Dindin, Metode Pendidikan Anak (Teori dan Praktik), Bandung: Pustaka
Al Fikris, 2010.
Jazuli, Ahzami Sami‟un, Fiqih al-Qur’an, Jakarta: Kilau Intan, 2005.
Lidwa Pusaka, Kitab shahih Muslim, Ensiklopedi Hadits Kitab Sembilan Imam,t.t.
Mirsa, Muhammad Munir, At Tarbiyah Al Islamiyah Wa Tatowwaruha Fil Biladil
‘Arabiyah, Kairo: Al Kam Al Kutub, 1997.
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1997.
Qutub, Muhammad, Manhaj Tarbiyah al-Islamiyah, Cairo: Dar Asy Syuruq tt.
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem Pendidikan
dan Pemikiran Para Tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009.
Ruqoith, Muhammad Hasan, Sudahkah Anda Mendidik Anak Anda Dengan Benar
(Konsep Mendidik Anak Dalam Islam), terj. Luqman Abdul Jalal dkk. Jakarta:
Cendekia Sentra Muslim, 2004.
Shiddieq, Umay M. Dja‟far, Mewujudkan Keluarga Sakinah dan Membentuk
Dzurriyah Thoyyibah, Jakarta: Al-Ghuraba, 2008.
Shihab, Muhammad Quraish, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Sulaiman, Athiyyah Hasan, Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu,
Bandung: CV. Diponegoro, 1986.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosda Karya,
2006. Cet.III
Ulwan, Abdullah Nasih, Tarbiyah Al Aulad Fi Al Islam, Beirut: Dar As Saalam, 1978.
Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.

71
SUPRAPTO
71
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

72

Anda mungkin juga menyukai