Suprapto
Pendidikan Agama Islam FAI Universitas Islam Jakarta
ustadzsuprapto@gmail.com
Abstract
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pendidikan anak yang
ada, dimana kebanyakan orang kebingungan mencari figur yang dapat dicontoh dalam
mendidik anak-anak mereka. Orang tua sudah kehabisan akal untuk mengatasi krisis
tersebut. Disinilah kita butuh model yang dapat dijadikan panutan untuk mendidik anak
yaitu Nabi Ibrahim yang dikenal sebagai Abul Anbiya‟. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui metode yang ditempuh oleh Nabi Ibrahim A.S. dalam mendidik anak-
anaknya untuk melahirkan generasi terbaik di muka bumi. Penelitian ini menggunakan
pendekatan tematik, dengan mengumpulkan berbagai ayat yang tersebar diberbagai
surat dalam Al-Qur‟an untuk kemudian dicari hubungan maknanya sehingga
membentuk pemahaman yang utuh dan tidak bertentangan tentang konsep pendidikan
anak Nabi Ibrahim A.S.. Kesuksesan Nabi Ibrahim A.S. tidak semata-mata merupakan
anugerah dari Allah SWT. Akan tetapi juga merupakan kerja keras yang sudah
diusahakan sejak lama bahkan selama bertahun-tahun. Dari doa yang beliau panjatkan
sebelum dianugerahi anak selama bertahun-tahun hingga pola pendidikan yang dia
rancang sehingga menjadi konsep yang ideal untuk diterapkan dalam kehidupan.
Kata Kunci: Ibrahim, pendidikan Islam, pendidikan anak.
47
47
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
A. Pendahuluan
Kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat adalah tujuan dalam
kehidupan setiap muslim, sebab dengan itu manusia akan menemukan makna dari
kehidupannya. Hal tersebut juga sejalan dengan fitrah manusia karena tidak ada
manusia yang ingin hidup sengsara baik di dunia maupun di akhirat. Salah satu cara
yang ditempuh manusia untuk mencapai kebahagiaan tersebut adalah melalui pintu
pernikahan. Sebab dengan pernikahan berbagai kebutuhan manusia akan terpenuhi, baik
kebutuhan biologis (syahwati), kebutuhan materi (kebendaan), kebutuhan psychologis
(kejiwaan), kebutuhan ibadah dan pahala, serta kebutuhan untuk mendapatkan
keturunan yang kelak akan menjadi penerus perjuangan keluarga dan masyarakat serta
agama.
Mendambakan adanya keturunan adalah merupakan fitrah bagi manusia, sebagai
penyaluran dari rasa kebanggaan diri, penerus perjuangan, serta ahli waris dari hasil
jerih payah yang ditempuhnya selama hidup. Orang sering merasa rendah diri,
disebabkan tidak mempunyai keturunan. Ia juga akan merasa bahwa hidupnya tidak
akan berarti jika hasil jerih payahnya tidak ada ahli warisnya. Karena itu kebutuhan
akan keturunan dirasakan menjadi sangat penting bagi setiap orang. Maka Allah SWT.
mensyariatkan nikah dalam rangka memperoleh keturunan yang sah dan terhormat.
Menurut Ruqoith (2004: 103) sebagian orang tua baik para bapak atau ibu
mengadu tentang kenakalan anak mereka dan tenggelamnya mereka dalam kemaksiatan,
kecenderungan mereka kepada kejahatan, tidak mau taat kepada orang tua, melanggar
nilai-nilai dan akhlak dan menolak peraturan-peraturan yang diajarkan oleh para orang
tua mereka. Pada saat ini juga banyak keluhan yang disampaikan para guru dan orang
tua yang bergerak di bidang sosial mengeluhkan tentang perilaku sebagian para remaja
yang sangat mengkhawatirkan. Di antara mereka sudah banyak yang terlibat dalam
tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, minuman keras, pembajakan bis, penodongan,
pelanggaran seksual dan perbuatan kriminal lainnya. Kedua orang tua di rumah, guru di
sekolah dan masyarakat pada umumnya , tampaknya sudah kehabisan akal untuk
mengatasi krisis tersebut. (Nata, 2007: 215) Itulah sisi kenakalan anak-anak yang sudah
menjadi masalah yang harus ditanggulangi bersama.
Disisi lain sangat jarang disinggung tentang kenakalan orang tua. Kenakalan
orang tua yang paling fatal adalah kebodohan mereka tentang pendidikan anak yang
benar serta lemahnya keinginan orang tua untuk mengerti akan tugas dan tanggung
48
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
48
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
jawab utama sebagai kepala rumah tangga, suami bagi istrinya dan orang tua bagi anak-
anaknya. Banyak diantara mereka yang menikah tanpa pernah membekali dirinya
dengan ilmu yang dibutuhkan kelak saat memiliki anak. Mereka anggap bahwa semua
itu akan bergulir dengan sendirinya. Akhirnya saat mereka menemui berbagai masalah
dan kesulitan dalam rumah tangganya, tindakan yang mereka tempuh adalah sikap
gegabah ingin menyelesaikan masalah sesaat tanpa mempertimbangkan akibat buruk
dikemudian hari. Kenakalan lain yang cukup parah pada orang tua adalah sedikitnya
uswah pada diri mereka yang dapat ditiru oleh anak-anaknya. Padahal anak hanyalah
ibarat bayangan yang mengikuti benda aslinya. Anak terkadang mempunyai sifat taklid
yang membabi buta sehingga apa yang diperbuat oleh orang tuanya harus ditiru dan apa
yang tidak dikerjakan harus ditinggalkan.
Dari penjelasan di atas tampak jelas bahwa betapa pentingnya mendidik dan
membesarkan anak, sebab anak seperti manusia pada umumnya bisa menjadi anak yang
saleh yang menyejukkan pandangan mata manakala dididik dengan baik dan benar
sesuai dengan tuntunan Al Qur‟an dan Sunah. Sebaliknya terkadang anak bisa menjadi
fitnah (cobaan) yang senantiasa mengganggu kehidupan orang tua, saudara-saudaranya
dan orang-orang yang ada disekitarnya. Dua hal tersebut sangat mungkin terjadi
tergantung bagaimana usaha orang tua dalam mendidik anak.
Contoh yang nyata dapat kita lihat pada anak keturunan dua orang Nabi yang
sangat terkenal dengan kesalehannya yang sama-sama mendapat gelar Ulul „azmi yaitu
Nabi Nuh a.s dan Ibrahim a.s. Putera Nabi Nuh a.s. bernama Kan‟an adalah contoh anak
yang durhaka yang gagal didik oleh Nabi Nuh a.s, sehingga dia mati dalam keadaan
kafir. Sementara putera Nabi Ibrahim a.s.yang bernama Ismail a.s adalah contoh anak
yang saleh yang taat kepada Allah dan orang tuanya meskipun mengetahui adanya
perintah penyembelihan terhadap dirinya, dengan seluruh ketaatan dan ketawadlu‟an, ia
mempersilahkan ayahnya untuk menyembelih dirinya. Sikap Ismail menunjukkan
kepatuhan terhadap orang tuanya meskipun telah diberi kesempatan untuk menolak
perintah yang ditawarkan tersebut. (Huda & Idris, 2008: 148)
Kegagalan pendidikan selama ini menyebabkan banyak ahli mencari model dan
format pendidikan yang tepat atau meneliti faktor-faktor yang melatarbelakangi kondisi
tersebut. Semua orang mengharapkan ada satu model pendidikan yang aplikatif dan
implementatif dengan merujuk kepada kisah-kisah Qurani dengan beberapa modifikasi
yang sesuai dengan tuntutan zaman. Kisah Nabi Ibrahim a.s. dalam mendidik anak ini
49
SUPRAPTO
49
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi orang tua dalam mendidik anak-anak
mereka. Selama ini teori-teori dari para pakar pendidikan sekuler barat ternyata tidak
dapat menanggulangi kenakalan anak-anak mereka.Bahkan kenakalan anak dewasa ini,
semakin menjadi-jadi, terlebih-lebih di era informasi seperti sekarang ini dimana anak-
anak lebih mudah mengakses informasi dari berbagai media tentang informasi yang
sebenarnya tidak layak mereka konsumsi.
Agar masalah tidak meluas maka disini penulis memberikan batasan pada dua hal
pokok yaitu: 1) Bagaimana cara Nabi Ibrahim a.s.mendidik anak-anaknya sehingga
berhasil mewujudkan cita-citanya untuk menjadikan mereka keturunan yang saleh yang
disebut dalam Al Qur‟an sebagai dzurriyah thoyyibah dan qurrota a‟yun ? 2) Faktor-
faktor apa saja yang melatarbelakangi kesuksesan Nabi Ibrahim a.s. dalam mendidik
anak-anaknya?
50
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
50
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
Dalam konsep Jalal, ilmu, perkataan dan perilaku seseorang terintegrasi dalam
membentuk kepribadiannya yang kokoh.
Para pakar pendidikan Islam Islam mengemukakan tujuan pendidikan Islam dalam
redaksi yang berbeda-beda. Menurut Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip oleh Ramayulis
(1998: 26), bahwa pendidikan Islam mempunyai dua tujuan: 1. Tujuan keagamaan,
maksudnya adalah beramal untuk akhirat, sehingga ia menemui Tuhannya dan telah
menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan kepadanya. 2. Tujuan ilmiah yang bersifat
keduniawian, yaitu apa yang diungkapkan oleh pendidikan modern dengan tujuan
kemanfaatan atau persiapan untuk untuk hidup di dunia.
Senada dengan konsep Ibnu Khaldun, Hujjat al Islam Imam Al Ghazali
berpendapat bahwa tujuan pendidikan mencakup dua hal yaitu pertama, tercapainya
kesempurnaan insani yang bermuara kepada pendekatan diri kepada Allah, dan yang
kedua, kesempurnaan insani yang bermuara kepada kebahagian dunia dan akhirat.
Sedangkan tujuan pendidikan menurut Nasih Ulwan (1978: 7), tujuan
pendidikan Islam ialah untuk mengubah umat manusia dari kegelapan, syirik,
kebodohan, kesesatan dan kekacauan menuju cahaya tauhid, ilmu, hidayah dan
kemantapan. Dari uraian tersebut tampak jelas bahwa tujuan pendidikan menurut Nasih
Ulwan adalah perubahan tingkah laku pada diri anak didik sehingga ia dapat keluar dari
hal-hal yang tercela yang membawa kepada kesengsaraan hidup menuju kepada
kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Dari berbagai rumusan tujuan pendidikan tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa tujuan pendidikan Islam adalah dalam rangka mengembangkan potensi yang
dimiliki oleh manusia baik dari aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah
maupun bahasanya dalam rangka menjadikan pribadi yang unggul serta untuk
mengabdikan diri kapada Allah SWT. Hal tersebut hanya bisa diperoleh dengan melalui
pola latihan kejiwaan, kecerdasan otak, penalaran, perasaan, dan indera secara
berkesinambungan dan bimbingan dari orang dewasa yang ada di sekitar mereka
terutama orang tua dan guru.
51
SUPRAPTO
51
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
ِّين الْ َقيِّ ُم َولَ ِك َّن ِ ِ فَأَقِم وجهك لِلدِّي ِن حنِي ًفا فِطْرت اللَّ ِو الَِِّت فَطَر النَّاس علَي ها ََل تَب ِد
َ يل ِلَْل ِق اللَّ ِو َذل
ُ ك الد َ ْ َْ َ َ َ ََ َ َ َْ َ ْ
ِ أَ ْكثَ َر الن
َّاس ََل يَ ْعلَ ُمو َن
Artinya:Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah
atas) fitroh alloh yang telah menciptakan manusia menurut firtoh itu. Tidak
ada perubahan pada fitroh alloh. (itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S. Ar Rum (30): 30)
Kata fitrah secara harfiah berarti “penciptaan atau kejadian.” Imam al-Ghazali,
dalam kitabnya Mizan al-„Amal, berpendapat bahwa arti fitrah ialah kecenderungan asli
manusia terhadap tauhid, dengan kata lain bahwa setiap manusia diciptakan Allah
dengan dibekali kecenderungan asli untuk mengakui adanya Allah, namun beberapa
kalangan mendefinisikan fitrah sebagai sejumlah potensi yang menyangkut kekuatan-
kekuatan manusia. Kekuatan tersebut meliputi upaya mempertahankan dan melestarikan
hidupnya, kekuatan rasional (akal), kekuatan spiritual (agama). Ketiga kekuatan tersebut
bersifat dinamis dan integral. (Ahid, 2010: 55) Sehubungan dengan hal ini Nabi saw.
telah bersabda:
ِ ُ ال رس ِ َّي َع ِن ابْ ِن الْمسي ِ الرز
ُصلَّى اللَّوَ ول اللَّو ُ َ َ َ ق:ال َ َب َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة ق َُ ِّ الزْى ِر
ُّ َّاق َحدَّثَنَا َم ْع َمٌر َع ِن َّ َحدَّثَنَا َعْب ُد
ِّ َود يُولَ ُد َعلَى الْ ِفطَْرةِ فَأَبَ َواهُ يُ َه ِّوَدانِِو َويُن
صَرانِِو َوُُيَ ِّج َسانِِو َك َما تُْنََ ُُ الْبَ ِهي َمةُ َى ْل ُُِت ُّسو َن ٍ ُعلَي ِو وسلَّم ُك ُّل مول
َْ َ َ َ ْ َ
) يل ِِلَْل ِق اللَّ ِو ِ
َ َّاس َعلَْي َها ََل تَْبد
َّ ِ َّ ِ ِ ِ
َ ول َواقْ َرءُوا إ ْن شْئَُ ْم (فطَْرَة اللو ال ِِت فَطََر الن ُ فِ َيها ِم ْن َج ْد َعاءَ ُُثَّ يَ ُق
Artinya:Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah menceritakan kepada
kami Ma'mar dari Az Zuhri dari Ibnul Musayyab dari Abu Hurairah berkata;
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Setiap bayi terlahir dalam
keadaan suci, maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau
Nashrani, atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan apakah
kalian mendapati bahwa anaknya cacat" Kemudian dia berkata;"Jika kalian
mau maka bacalah; " (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(H.R.Ahmad) (Musnad Imam Ahmad, Lidwa Pustaka, hadits ke-7387)
Potensi yang berupa fitrah tersebut menurut hadist Nabi masih berupa bentuk
dasar yang belum sempurna, sehingga perlu penyempurnaan yang nantinya bisa
menjadikan potensi tersebut bermanfaat bagi anak tersebut maupun untuk orang lain
maka di sinilah peran pendidikan dalam upaya menghantarkan anak mengembangkan
potensi tersebut.
Di sisi lain menurut tabiat dasarnya setiap manusia punya kecenderungan untuk
menjadi orang baik. Namun Allah juga berfirman bahwa Dia telah mengilhamkan
52
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
52
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
kepada setiap orang kecenderungan untuk menjadi orang baik dan takwa atau orang
fasik dan jahat. (QS. 91: 8) Ini berarti bahwa kecenderungan asli setiap manusia tidak
saja terhadap kebajikan tetapi juga terhadap kejahatan. Lebih dari itu, jalan kebajikan
dan jalan kejahatan pun telah Allah bentangkan kepada setiap orang (QS. 90:10). Untuk
memilih salah satu dari dua jalan ini, tidak ada cara lain kecuali Allah memberikan
kepada setiap manusia kebebasan untuk memilih (freedom of choice). Kebebasan ini
hanya dapat diwujudkan bila manusia diberi juga kehendak bebas (free will) untuk
memilih. Dari sinilah berlaku prinsip ganjaran dan hukuman. Potensi baik inilah yang
nantinya dikembangkan, diperkaya dan diaktualisasikan secara nyata dalm perbuatan
amaliah manusia sehari-hari. Selain itu Al-Quran mengisyaratkan bahwa faktor
keturunan pun punya pengaruh besar terhadap hasil pendidikan anak. Firman Allah
dalam Al Qur‟an surat Maryam (19): 28
ك بَغِيِّا
ِ ت أ ُُّم ٍ ِ
ْ َت َى ُارو َن َما َكا َن أَبُوك ْامَرأَ َس ْوء َوَما َكان
َ ُخ
ْ يَا أ
Artinya: Wahai saudara perempuan Harun! Bapakmu buknalh seorang yang buruk dan
ibumu bukan seorang pezina (Q.S.Maryam (19): 28)
53
SUPRAPTO
53
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
melalui proses pendidikan, tanpa pendidikan dan pengembangan potensi yang ada
dalam diri anak tidak akan berkembang secara maksimal
Singkat kata, baik faktor keturunan (bawaan) maupun pengalaman yang
diperoleh dari lingkungan hidup sama-sama menentukan pembentukan dan
perkembangan keperibadian anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan pendidikan
ditentukan oleh beragam faktor. Oleh karena itu ide pendidikan, baik teori nativisme,
empirisme dan konvergensi tidakbertentangan dengan ajaran Islam (Huda dan Idris,
2008: 75). Perbedaannya adalah Islam lebih memandang secara menyeluruh faktor-
faktor yang mempengaruhi perkembangan anak tersebut. Sehingga perpaduan antara
potensi yang dibawa sejak lahir, kemudian pengaruh pendidikan dan lingkuangan,
namun hal tersebut tidaklah cukup. Ada faktor lain yang juga tidak kalah dominan yang
juga memberikan warna tersendiri bagi pembentukan kepribadian manusia yaitu faktor
hidayah yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki (Ahid,
2010: 58)
B. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode ini digunakan karena
tujuan dari penelitian ini adalah dalam rangka melakukan deskripsi (penggambaran) dan
penafsiran, terhadap ayat-ayat Al Qur‟an yang berkenaan dengan pola pendidikan Nabi
Ibrahim a.s.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka. Studi
kepustakaan ini digunakan untuk menemukan konsep-konsep, pendapat atau penemuan-
penemuan yang erat kaitannya dengan pokok masalah yang diteliti. Adapun sumber
utama penelitian ini adalah ayat-ayat Al Qur‟an yang menceritakan kisah pendidikan
Nabi Ibrahim a.s. beserta penjelasan dari kitab-kitab tafsir dan hadits.
Di antara kitab Tafsir tersebut antara lain Tafsir Jami‟ul Bayan Fii Ta‟wil Al
Qur‟an (Tafsir At Thobari), Tafsir Ruhul Ma‟ani Fii Tafsir Al Qur‟anil Adzim Wa
Sab‟il Matsanii karya Syihabuddin Mahmud Al-Alausi, Tafsir Al Qusayiri Karangan
Imam Al-Qusyairi, Tafsir Al Jami Li Ahkamil Qur‟an Karangan Abu Abdillah
Muhammad Syamsuddin Al-Qurtubi, Tafsir Fii Dzilal Al Qur‟an karangan Sayyid
Quthb, Tafsir Al Waasit karangan Muhammad Sayyid Thontowi, Tafsir Al-Qur‟anil
„Adzim karya Abul Fida‟ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Mafaatihul Ghaib karangan Abu
Abdillah Muhammad Fakhruddin Ar Razzi, Tafsir Al Misbah karangan M.Quraish
54
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
54
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
55
SUPRAPTO
55
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
e. Menyusun bahasan dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh (out
line).
f. Melengkapi bahasan dengan uraian hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan.
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan menghimpun
ayat-ayat yang serupa lalu, mengkompromikan antara pengertian yang ‟am (umum)
dengan khash (khusus), antara yang muthlaq dengan muqayyad (terikat),
mensingkronkan antara ayat-ayat yang tampak kontradiktif sehingga semuanya
bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan dan pemaksaan.
h. Melahirkan konsep yang utuh dari al-Qur‟an tentang satu topik masalah yang telah
dipilih di atas.
Data-data yang telah diambil dari buku-buku atau kitab-kitab tafsir tersebut dikaji
secara tematik (maudlu‟i). Tafsir maudlui menurut Jazuli (2005:13) berarti menghimpun
ayat-ayat yang tersebar pada berbagai surat dalam Al Qur‟an yang berbicara tentang
suatu tema. Dengan menghimpun segi relevansi dan hubungan antara ayat-ayat tersebut
sehingga seseorang dapat mengetahui muatan materi dan segala segi dari suatu tema.
Adapun langkah-langkahnya sebagaimana dihimpun oleh M.Quraisy Shihab
(2002:114) adalah sebagai berikut:
a. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik), dalam hal ini topik yang akan
dibahas adalah “Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim a.s di dalam Al Qur‟an”.
b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan dengan masalah tersebut seperti
Q.S. As Shoffat (37):100, Q.S.Al Baqarah (2):128 dan 132, Q.S.Ibrahim (14):37-
41, Q.S. Al Furqon (25): 74.
c. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.
d. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.
e. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.
f. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-
ayat yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang
am (umum) dan yang khas (khusus), mutlaq dan muqoyyad, atau yang pada
lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa
perbedaan atau pemaksaan. Bentuk penyajian hasil penelitian ini, dengan
menghimpun pesan-pesan yang ada dalam Al Qur‟an, yang terdapat dalam berbagai
surat, lalu disusun secara berurutan sesuai dengan topik dalam penelitian.
56
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
56
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
57
SUPRAPTO
57
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
Ibrahim a.s masih hidup. Selama seminggu, bayi itu menghisap celah jarinya yang
mengandung susu dan makanan lain yang berkhasiat. Semasa berusia 15 bulan tubuh
Nabi Ibrahim telah membesar dengan cepatnya seperti kanak-kanak berusia dua tahun.
Maka kedua ibu-bapanya berani membawanya pulang kerumah mereka.
Penguasa waktu itu, Raja mereka Namrud bin Kan‟an menjalankan tampuk
pemerintahannya dengan tangan besi dan kekuasaan mutlak. Semua yang menjadi
kehendaknya harus terlaksana dan perintahnya merupakan undang-undang yang tidak
dapat dilanggar dan ditawar. Kekuasaan yang besar yang berada di tangannya itu dan
kemewahan hidup yang berlebih-lebihan menjadikan dirinya tidak puas hanya sebagai
raja. Ia merasakan dirinya patut disembah oleh rakyatnya sebagai tuhan. Lalu Ia pun
berfikir jika rakyatnya menyembah patung-patung yang terbuat dari batu yang tidak
dapat memberi manfaat dan mendatangkan kebahagiaan bagi mereka, mengapa bukan
dialah yang disembah sebagai tuhan. Dia yang dapat berbicara, mendengar, berfikir, dan
memimpin serta membawa kemakmuran bagi kehidupan rakyatnya. Lalu ia pun segera
memproklamirkan dirinya menjadi Tuhan.
Semasa remajanya Nabi Ibrahim sering disuruh ayahnya keliling kota menjajakan
patung-patung buatannya, namun karena iman dan tauhid yang telah diilhamkan oleh
Tuhan kepadanya, menjadikan Ibrahim a.s. tidak bersemangat untuk menjajakan
barang-barang itu bahkan secara mengejek ia menawarkan patung-patung ayahnya
kepada calon pembeli dengan kata-kata:” Siapakah yang akan membeli patung-patung
yang tidak berguna ini?
58
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
58
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
diperintahkan untuk mengambil teladan dari Abul Anbiya‟ ini, Firman Allah dalam Al
Qur‟an QS. al-Mumtahanah (60): 4.
ِ ت لَ ُكم أُسوةٌ حسنَةٌ ِِف إِب ر ِاىيم والَّ ِذين معو إِ ْذ قَالُوا لَِقوِم ِهم إِنَّا ب رآء ِمْن ُكم وِّمِمَّا تَعب ُدو َن ِمن د
ون اللَّ ِو ُ ْ ُ ْ َ ْ ُ َُ ْ ْ ُ َ َ َ َ َ َْ َ َ َ ْ ْ ْ َقَ ْد َكان
يم ِِلَبِ ِيو ِ ِ ِ َّ ِ ِ
َِّ
َ ضاءُ أَبَ ًدا َح ََّّت تُ ْؤمنُوا باللو َو ْح َدهُ إَل قَ ْو َل إبْ َراى َ َك َف ْرنَا بِ ُك ْم َوبَ َدا بَْي نَ نَا َوبَْي نَ ُك ُم الْ َع َد َاوةُ َوالْبَ ْغ
ٍ ِ ِ َِل
ص ُرِ ك الْم ِ
َ َ ك أَنَْب نَا َوإلَْي َ ك ِم َن اللَّ ِو ِم ْن َش ْيء َربَّنَا َعلَْي
َ ك تَ َوَّك ْلنَا َوإِلَْي َ َك ل ُ ك َوَما أ َْمل َ ََسََ ْغفَر َّن ل
ْ
ُس َوةٌ َح َسنَةٌ لِ َم ْن َكا َن يَ ْر ُجو اللَّوَ َوالْيَ ْوَم ْاْل ِخَر َوذَ َكَر اللَّوَ َكثِ ًرا ِ ِ
ْ لََق ْد َكا َن لَ ُك ْم ِِف َر ُسول اللَّو أ
Banyak sekali keteladanan yang diberikan oleh Nabi Ibrahim a.s. bagi
keluarganya, ummatnya dan juga ummat Muhammad saw. yang tersebar di berbagai
surat dalam Al Qur‟an.Diantaranya sebagaimana disebut oleh Al Qusayri yaitu berupa
kedermawanan, kebaikan akhlak, Ikhlas, jujur dan sabar dan sifat-sifat terpuji lainnya
yang telah kita ketahui (Al Qusayri Juz 7 , t.t.: 416), Baik keteladanan dalam bersyukur
terhadap nikmat-nikmat yang Allah berikan, keteladanan dalam kehanifannya perlu kita
teladani. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Nahl (16): 120-122.
b. Metode Nasihat
Metode nasehat dalam Alquran digunakan untuk menyentuh hati supaya
manusia mengarah kepada tujuan yang diharapkan. Metode ini juga menempati posisi
yang sangat penting dalam proses pendidikan Islam dan penanaman nilai nilai
sebagaiman firman Allah: QS An Nahl: 125
ِ ِ ِ ِ ْ اِْكْم ِة والْمو ِعظَِة ِ َ ِّْادعُ إِ ََل سبِ ِيل رب
َ َّل َع ْن
َ ك ُى َو أ َْعلَ ُم َِ ْن ْ اَْ َسنَة َو َجاد ْْلُ ْم بِالَِِّت ى َي أ
َ ََّح َس ُن إِ َّن َرب َْ َ َ ْ ك ب َ َ
ين ِ ِ ِِ ِ
َ َسبيلو َوُى َو أ َْعلَ ُم بالْ ُم ْهََد
Hikmah ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara
yang hak dengan yang batil. Nasehat atau juga bisa dengan sebutan wasiat atau
59
SUPRAPTO
59
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
pesan yang baik dengan cara yang baik dan disesuaikan dengan situaisi dan kondisi
yang tepat akan sangat berpengaruh pada diri peserta didik. Al Baidlowi (t.t.: 169)
mendefinisikan bahwa wasiat adalah menyampaikan pesan kebaikan dan ibadah kepada
pihak lain (untuk dilaksanakan).
Nasehat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membuka mata anak
kesadaran akan hakikat sesuatu. Mendorong mereka menuju harkat dan martabat yang
luhur, menghiasinya dengan akhlak yang mulia serta membekalinya dengan prinsip-
prinsip Islam. (Ulwan, 1978: 2008) Nabi Ibrahim menggunakan metode ini dalam
pendidikan anak-anaknya tergambar dalam firman Allah SWT. QS. Al-Baqarah (2): 132
ِّين فَ ََل َتَُوتُ َّن إََِّل َوأَنَُْ ْم ُم ْسلِ ُمو َن ْ َِ إِ َّن اللَّو
َ اصطََفى لَ ُك ُم الد َّ َِوب يَا ب
ِ ِ صى ِِبا إِب ر ِاى
ُ يم بَنيو َويَ ْع ُق
ُ َ ْ َ َّ َوَو
Demikian juga nasehat beliau kepada bapak dan juga kaumnya. Firman Allah
dalam QS. Ashoffat (37): 85-87.
ِ
ني
َ ب الْ َعالَمَ ْ َ ُ أَئِْف ًكا آْلَةً ُدو َن اللَّ ِو تُِر. ال ِِلَبِ ِيو َوقَ ْوِم ِو َماذَا تَ ْعبُ ُدو َن
ِ ِّ فَما ظَنُّ ُكم بِر. يدو َن َ َإِ ْذ ق
Sebagaimana Allah mensifati manusia dengan sifat orang yang merugi ketika
orang tersebut tidak mau saling nasehat menasehati dalam ketaqwaan, kesabaran,
kebenaran dan dalam kasih sayang. Firman Allah QS. Al-Asr (103): 1-3.
َّ ِاص ْوا ب
.الص ِْب ْ ِاص ْوا ب ِ ِ َّ إََِّل الَّ ِذين آمنُوا وع ِملُوا. اْلنْسا َن لَِفي خس ٍر
ِ ِ ِ ْ َوالْ َع
َ اَْ ِّق َوتَ َو َ الصاَْات َوتَ َو ََ َ َ ُْ َ ْ إ َّن. صر
Begitu juga dalam Q.S.al-Balad (90): 17.
60
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
60
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
اف َما تُ ْش ِرُكو َن بِِو إََِّل أَ ْن يَ َشاءَ َرِِّب َشْيئًا َو ِس َع َرِِّب ُك َّل
ُ َخ ِ ِ
َ اجو ِِّّن ِِف اللَّو َوقَ ْد َى َدان َوََل أُّ َال أ َُُت َ َاجوُ قَ ْوُموُ ق َّ َو َح
َش ْي ٍء ِع ْل ًما أَفَ ََل تَََ َذ َّك ُرو َن
61
SUPRAPTO
61
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
dengan perbuatan yang sesuai dengan kode etik dan berlaku untuk segala
kondisi.Integritas selalu dikaitkan dengan makna jujur, amanah, komitmen dan
konsisten. Integritas adalah tunggalnya ucapan, pemikiran, dan tindakan seseorang.
Apa yang muncul dalam lintasan benaknya, adalah sama dengan yang dirasakan
dalam hatinya dan menjadi konsep hidupnya, sama juga dengan segala amal
perbuatan yang keluar dari sosok pribadi itu. Integritas adalah lawan kemunafikan,
lawan dari sifat hiprokit yang hina dina. Jika orang hiprokit berkata dusta, berjanji
mengingkari, dipercaya berkhianat, maka orang yang berintegritas akan berkata
benar, menepati janji, dan memegang kepercayaan sebaik-baiknya.
Kata integritas seringkali digunakan sebagai landasan/acuan untuk melahirkan
sebuah petuah atau pepatah dari manusia/orang-orang yang sudah dianggap
sempurna baik secara mental maupun sepiritual, karena itu kata Integritas sudah
melekat pada pribadi orang-orang yang “arif dan bijaksana” yang dalam kehidupan
kesehariannya mampu menjadi sosok manusia anutan dan sebagai panutan, atau
sebagai tuntunan, bukan tontonan. Sosok manusia seperti itu sangat jarang dijumpai,
bahkan mungkin tidak ada, apalagi dijaman seperti sekarang ini. Pribadi-pribadi yang
memiliki Integritas barangkali hanya ada pada sosok seorang Nabi dan Rasul. Kata
Integritas menjadi petuah untuk membentuk manusia-manusia seperti itu, baik secara
individu maupun kelompok, bagi para pejabat maupun bukan, bagi simiskin maupun
sikaya, bagi seorang presiden sekalipun. Integritas adalah konsistensi antara tindakan
dan nilai. Orang memiliki integritas hidup sejalan dengan nilai-nilai prinsipnya.
Kesesuaian antara kata-kata dan perbuatan merupakan hal yang esensial.
Adapun kata tawakkal berasal dari kata wakkala yang artinya yang berarti
mewakilkan atau menyerahkan. Sementara menurut definisi Istilah tawakkal artinya
berpasrah diri kepada Allah setelah melakukan upaya-upaya secara maksimal.
Sementara Imam al-Ghazali merumuskan definisi tawakkal ialah menyandarkan
kepada Allah SWT. tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya
dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang
dan hati yang tenteram.
Dari berbagai uraian di atas nampaknya konsep tawakkal menurut Al Ghazali
adalah konsep yang paling sesuai dengan hal yang menimpa Nabi Ibrahim a.s. dan
keluarganya. Bila kedua kata tersebut kita kaitkan dengan Nabi Ibrahim maka kita
sungguh akan belajar dari contoh teladan yang diberikan melalui integritas dan
62
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
62
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
ketawakkalan seorang Nabi agung yang menjadi teladan bagi umat manusia. Hal
tersebut telah dibuktikan dengan indahnya oleh seorang Bapak Ahli Tauhid sajati,
dialah Nabi Ibrahim, beserta keluarganya.
Ketika Nabi Ibrahim kecil, Tuhan mulai dia cari dengan akalnya. Ketika
rembulan datang dan kemudian menghilang, ketika matahari datang dan kemudian
menghilang, Nabi Ibrahim tidak menyukai Tuhan Yang Menghilang, dan beliau
memasrahkan dirinya ke Tuhan Seluruh Alam. Hal ini diabadikan di dalam Al
Qur‟an surat al-An‟am (6): 75-79.
فَلَ َّما َج َّن َعلَْي ِو اللَّْي ُل َرأَى َك ْوَكبًا. ني ِِ ِ ِ ِ ات و ْاِلَر ِ َّ وَك َذلِك نُِري إِب ر ِاىيم ملَ ُكوت
َ ض َوليَ ُكو َن م َن الْ ُموقن ْ َ الس َم َاو َ َ َ َْ َ َ
ِ َ َال ى َذا رِِّب فَلَ َّما أَفَل ق ِ ِِ ُّ ال ََل أ ُِح َ َال َى َذا َرِِّب فَلَ َّما أَفَ َل ق
ْال لَئ ْن ََل َ َ َ َ َ فَلَ َّما َرأَى الْ َق َمَر بَاز ًغا ق. ني َ ب ْاْلفل َ َق
َ َس بَا ِز َغةً ق ِ ِ ِ
ت ْ َال َى َذا َرِِّب َى َذا أَ ْكبَ ُر فَلَ َّما أَفَل َ َّم
ْ فَلَ َّما َرأَى الش. نيَ ِّيَ ْهدِِّن َرِِّب َِلَ ُكونَ َّن م َن الْ َق ْوم الضَّال
ض َحنِي ًفا َوَما أَنَا ِم َن ِ َّ إِ ِِّّن و َّجهت وج ِهي لِلَّ ِذي فَطَر. ال يا قَوِم إِ ِِّّن ب ِريء ِّمِمَّا تُ ْش ِرُكو َن
َ الس َم َاوات َو ْاِل َْر َ َ َْ ُ ْ َ ٌ َ ْ َ َ َق
ِ
َ الْ ُم ْش ِرك
ني
Ayat tersebut menggambarkan keyakinan yang utuh dan penuh dari Nabi
Ibrahim a.s. kepada Allah SWT. Sebuah keyakinan yang mantap sebab Ibrahim
menemukan dan membina keyakinannya melalui pencaharian dan pengalaman-
pengalaman keruhanian yang dilaluinya (Shihab, 1992: 332). Sungguh Nabi Ibrahim
mencintai Allah dengan secinta-cintanya. Nabi Ibrahim, hatinya terpenuhi dengan
kecintaan kepada Allah SWT, di fikiran beliau sungguh besar keyakinan kepada
Allah SWT.
Suatu ketika saat itu Nabi Ibrahim menyembelih beribu unta, dan domba, sampai
seluruh kota itu memuji beliau. Karena memang cinta beliau kepada Allah SWT.
Tapi Nabi Ibrahim pun juga manusia, beliau kemudian berucap, “Seandainya saya
punya putra, putra pun akan saya korbankan untuk Allah SWT. Dan ketika itu setelah
lama putra yang ditunggu-tunggu datang dengan kelucuannya, dengan
keshalihannya, dengan segala kebaktiannya kepada orang tuanya, maka saat itu Allah
SWT kembali menguji integritas dan ketawakkalan Nabi Ibrahim. Benarkah apa
yang diucapkannya dahulu? Maka bermimpilah Nabi Ibrahim selama tiga malam
dengan mimpi yang memerintahkan untuk menunaikan nadzarnya. Ucapan yang oleh
Allah SWT sebagai nadzar. Saat itu benar-benar integritas beliau diuji dengan
dahsyatnya. Anak yang selama ini jadi yang menjadi qurrota a‟yun, yang membuat
hati senang harus dikorbankan karena perintah Allah. Bahkan ketika Nabi Ismail,
63
SUPRAPTO
63
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
sang putra diberi tahu untuk itu, maka belaiu bersedia. Tahu akan dikorbankan, tetapi
masih bersedia. sungguh integritas yang luar biasa. Sang istri pun, Hajar tak mampu
digoda lagi oleh setan. Dan Ibrahim melempari setan pertama, kedua, dan ketiga
yang membujuk agar lebih cinta anak dibanding cinta Allah SWT. Jadilah tugu Ula,
Wustho, dan Aqobah.Di jalan mereka, Ibrahim dan Ismail saling menumpahkan air
matanya tanda perpisahan. Saling menumpahkan rasa cintanya yang begitu dalam.
Dan tibalah di batu tempat penyembelihan itu tiba. Allahu Akbar. Saat pisau mulai
berjaln mengiris Hilanglah Ismail dan bergantilah dengan kambing kibas. Hal
tersebut Allah abadikan di dalam Al Qur‟an Q.S. Ash Shoffat (37): 102-107.
ت افْ َع ْل َماِ ال يا أَب ِّ ِ إِ ِِّّن أ ََرى ِِف الْ َمنَ ِام أ
َ َُِّن أَ ْذ ََب
َ َ َ َك فَانْظُْر َما َذا تَ َرى ق ََّ ُال يَا ب
َ َالس ْع َي ق
َّ ُفَلَ َّما بَلَ َغ َم َعو
ِ ِ ِ ِ ِ َّ ِ َّ تُ ْؤمر سََ ِج ُدِِّن إِ ْن َشاء اللَّوُ ِمن
قَ ْد. يم ُ َونَ َاديْنَاهُ أَ ْن يَا إبْ َراى. َسلَ َما َوتَلوُ ل ْل َجبني ْ فَلَ َّما أ.ين َ الصاب ِر َ َ َ َُ
َوفَ َديْنَاهُ بِ ِذبْ ٍح َع ِظي ٍم. ني
ُ ِ إِ َّن َى َذا َْلَُو الْبَ ََلءُ الْ ُمب. ني
ِِ
َ ك ََْن ِزي الْ ُم ْحسن
ِ
َ الرْؤيَا إِنَّا َك َذل
ُّ ت َ ْص َّدق
َ
64
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
64
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
ض َوََل ِِف ِ َّك تَ ْعلَ ُم َما ُُنْ ِفي َوَما نُ ْعلِ ُن َوَما ََيْ َفى َعلَى اللَّ ِو ِم ْن َشي ٍء ِِف ْاِل َْرَ َربَّنَا إِن. لَ َعلَّ ُه ْم يَ ْش ُك ُرو َن
ْ
ِِ اج َع ْل
ْ بِّ َر. ُّع ِاء ِ ِ َ اعيل وإِ ْسح
ُ اق إ َّن َرِِّب لَ َسم
َ يع الد
ِ ِ ِ
َ َ َ َب ِِل َعلَى الْك َِب إ ْْس
ِ َّ ِ َِّ ْ . السم ِاء
َ اَْ ْم ُد للو الذي َوَى َ َّ
. الص ََلةِ َوِم ْن ذُِّريَِِّت َربَّنَا َوتَ َقبَّ ْل ُد َع ِاء
َّ يم
َ ُمق
ِ
Kesucian niat Nabi Ibrahim a.s. inilah yang sebagaimana disebutkan dalam
ayat diatas menjadi faktor pendukung terbesar dalam kesuksesannya mendidik
anak. Mensyukuri anak sebagai anugerah terbaik dan mendidik mereka agar tetap
berada di jalan yang diridloi Allah SWT.
65
SUPRAPTO
65
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
adalah penetrasi budaya luar membentuk perilaku baru yang jauh dari nilai-nilai
keislaman. Untuk menyelamatkan generasi penerus, maka hal paling prioritas dari
nilai-nilai pendidikan Ibrahim yang harus menjadi pola hari ini adalah bi‟ah atau
penciptaan lingkungan yang mendidik. Lingkungan pendidikan harus bebas dari
virus aqidah dan akhlak. Perlu suaka generasi (kawasan steril) buat perkembangan
dan pertumbuhan setiap anak.
Para orang tua dan pengelola pendidikan hari ini harus mencontoh keberanian
Ibrahim dan Siti Hajar dalam mengamankan Ismail jauh dari lingkungan buruk.
Harus ada benteng yang kuat untuk mengamankan anak kita dari pengaruh narkoba,
judi, seks bebas dan kekerasan. Melepas anak berada dalam lingkungan yang buruk
seperti ini, berarti kita telah menghancurkan masa depan mereka.Desain pendidikan
memang harus jauh dari segala keburukan. Lingkungan yang buruk sangat berpotensi
merusak akhlak dan kepribadian anak.
4. Kesucian Pengajar
Yaitu kesucian seorang guru (pendidiknya), tempat belajar seorang anak
biasanya adalah dari ibunya sejak dari dalam kandungan, kesucian ibu mendidik
anak-anaknya seperti perjuangan Siti Hajar berlari di tengah terik panasnya padang
pasir sebanyak tujuh kali, dari bukit Shofa ke bukit Marwa untuk mendapatkan air
demi anaknya Ismail. Ini adalah bukti bahwa Konsep pendidikan dalam Islam
melihat besarnya pengaruh pendidik sekaligus pengaruh gen dari ibu. Itulah
sebabnya maka Islam menganjurkan kepada setiap orang Islam untuk memilih jodoh
yang baik, dari keturunan dan nasab yang baik (Arifin, 1976: 40).Dan yang akan
mendukung keberhasilan anak adalah kecerdasan anak itu sendiri, dimana kalau
ditinjau dari sudut pandang Islam, kecerdasan disini adalah bagaimana anak tersebut
mempunyai rasa malu saat melakukan kemaksiatan.
66
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
66
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
vol.10, 2002: 298). Kata itu mungkin sepadan dengan “si buah hati, belahan jantung,
permata hati” dan seterusnya. Panggilan ini tentukan mengakrabkan suasana,
mendamaikan situasi, mendekatkan yang jauh, menyatukan hati yang berberai.
Dengan itu diharapkan agar gayung bersambut terhadap titah dan saran orangtua
demi kebaikan sang anak. Dari sini, kita dapat berkata bahwa panggilan tersebut
memberi isyarat bahwa mendidik hendaknya didasari oleh rasa kasih sayang
terhadap peserta didik (Shihab vol.10, 2002: 298).Agar tujuan pendidikan bisa
terealisasi hendaknya di dukung dengan sikap bijak Nabi Ibrahim a.s. dalam
mengambil keputusan untuk menyembelih putranya Ismail demi ketaatannya kepada
Allah SWT. dan Ismail a.s.sebagai generasi muda yang mempunyai semangat tinggi
untuk patuh terhadap permintaan ayahnya tersebut.
67
SUPRAPTO
67
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
Kata uswatun hasanah dalam ayat tersebut oleh Al-Qusayri dipahami sebagai
perilaku Ibrahim dalam kedermawanan, kebaikan akhlak, ikhlas, sabar dan
perbuatan-perbuatan lainnya yang layak dicontoh (Al Qusayri Juz 7, t.t.: 416).
Sebagai figur, Ibrahim menjadi kebanggaan anak dan isterinya. Dengan demikian,
anak yang bangga terhadap aktivitas ayahnya tentu tidak segan-segan untuk menuruti
apa yang diperintahkan kepadanya. Ketika merenovasi Ka‟bah, Ismail turut bersama
Ibrahim untuk mengerjakan bagian-bagian Ka‟bah dan memperbaiki apa yang
disuruh ayahnya.Keikutsertaan anak dalam kegiatannya agar ia mengajarkan secara
langsung bagaimana seorang manusia mengabdi kepada Tuhannya, termasuk
membagun tempat ibadah. Kisah tersebut diabadikan dalam Al Qur‟an al-
karim.Keberhasilan dunia pendidikan memerlukan adanya keteladanan yang baik,
harus pula ada contoh yang baik dan menarik perhatian, dan akhlak utama yang
dianut oleh tokoh masyarakat, serta yang dapat mewariskan pelajaran yang baik
untuk generasi berikutnya. (Ulwan, 1999: 172)
Malapetaka pendidikan sekarang ini adalah krisis keteladanan. Peserta didik sulit
untuk mendapatkan figur yag tepat yang diteladani, yang padu antara perkatan dan
perbuatannya. Akhirnya, pendidikan hanyalah sekedar transfer of knowledge
(penyampaikan informasi keilmuan) yang berkisar pada tataran kognitif dan tidak
mempengaruhi afektif dan psikomotorik.
68
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
68
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
D. Kesimpulan
Metode yang diterapkan oleh Nabi Ibrahim A.S. dalam mendidik anak-anaknya
adalah sebagai berikut:
1. Metode dialogis demokratis yang bertujuan kepada humanisasi. Pendidikan yang
bertujuan memanusiakan manusia dilakukan Ibrahim A.S. dengan metode dialogis.
Dialog sebagi sebuah upaya untuk membuka jalur informasi antara pendidik dan
anak didik. Dengan berdialog akan ditemukan visi dan misi pendidikan yang
dilakukan yang menjadikan interaksi pendidikan menjadi harmonis.
2. Metode nasihat. Metode nasihat bertujuan agar anak menjadi pribadi seperti yang
diinginkan oleh yang memberi nasehat. Dalam berbagai kesempatan Nabi Ibrahim
A.S. senantiasa memberikan berbagai nasehat yang berguna bagi nak-anaknya
terutama untuk senantiasa menjaga keimanan dan keislaman selama ada dalam
kehidupan mereka.
69
SUPRAPTO
69
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
3. Metode teladan. Nabi Ibrahim meyakini bahwa cara mendidik anak tidak akan
pernah berhasil, selama sang guru dalam hal ini orang tua tidak bisa memberikan
contoh terbaik buat anak-anaknya. Dengan prinsip melaksanakan apa yang
diperintahkannya terlebih dahulu Nabi Ibrahim tampil sebagi teladan yang kisahnya
diabadikan dalam al-Qur‟an.
Adapun faktor-faktor yang mendukung kesuksesan Ibrahim a.s. dalam mendidik
anak antara lain: (1) Kesucian niat dan do‟a dari orangtua. (2) Kesucian lingkungan
yang kondusif. (3) Kesucian tempat belajar dan pengajar. (4) Semangat generasi muda
dan sikap bijak generasi tua. (5) Perhatian orangtua. (6) Keteladanan Nabi Ibrahim. (7)
Kurikulum pengajaran yang lengkap dan menyeluruh serta aplikatif.
Daftar Pustaka
70
Konsep Pendidikan Anak Nabi Ibrahim A.S. dalam al-Qur’an
70
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
71
SUPRAPTO
71
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
72