Anda di halaman 1dari 14

KONSEP PENDIDIKAN ANAK DALAM PERSPEKTIF

PARA AHLI PENDIDIKAN ISLAM DAN BARAT: Analisis Komparasi


Oleh : Muhammad Isnaini
email: isnain_m@yahoo.co.id
http//www.muhammadisnain.blogsopt.com

Pendahuluan
Pendidikan anak selalu menarik dan menjadi topik permbicaraan para ahli
pendidikan dari masa ke masa, seiring dengan perubahan zaman. Para ahli
pendidikan

Islam,

seperti

al-Qabisi,

Ibnu

Sina,

dan

al-Ghazali

telah

membicarakannya beberapa abad yang lampau.Demikian juga dengan para pakar


pendidikan Barat seperti, John Amos Comenius, Jean Jacques Rousseau, Johan
Heindrick Pestalozzi, Friederich Wilhelm Frobel, dan John Dewey. Masing-masing
memiliki pemikiran khas yang berbeda, namun masih ada benang merahnya, yakni
perhatian mereka terhadap anak.
Berbagai pemikiran tentang pendidikan anak menjadi sangat urgen, ketika
dikaitkan dengan kondisi pendidikan anak di Indonesia saat ini. Masih banyak pihak
yang memiliki ambisi dan obsessi yang begitu besar terhadap diri anaknya. Sebagian
besar dari orang-orang yang demikian, hanya berorientasi pada hasil tanpa
memperhatikan proses pendidikan yang dialami oleh sang anak. Gejala yang
demikian telah menjadi pemandangan umum, yaitu anak diperkosa dan ditekan untuk
melakukan hal-hal yang bersifat akademis, padahal mereka pada masa kanak-kanak
lebih sesuai dengan berbagai permainan, bukan hal-hal yang bersifat akademis.
Meskipun demikian, sebagian dari mereka belum menyadari akan perlakuan
buruk tersebut. Mereka lebih bangga ketika anaknya mampu berprestasi lebih
tinggi dibanding dengan anak lainnya. Dari sini saja dapat diketahui bahwa semua
keunggulan dan prestasi yang dicapai anak sebetulnya bukanlah keinginan murni
sang anak, melainkan merupakan keinginan dan ambisi sang orang tua. Oleh karena
itu, layak kiranya di sini dilihat bagaimana konsep pemikiran pendidikan anak dilihat
dari parspektif pakar pendidikan itu sendiri baik dari dunia Islam maupun dinia Barat.

Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah Palembang.

Konsep dasar Pendidikan


Terdapat beberapa pandangan mengenai pengertian pendidikan, seperti yang
lazim digunakan dalam praktik pendidikan. Dalam hubungan ini dijumpai berbagai
rumusan yang berbeda-beda. Ahmad D. Marimba, misalnya mengatakan bahwa
pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang
utama. Berdasarkan rumusannya ini, Marimba menyebutkan ada lima unsur utama
pendidikan, yaitu 1). Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan atau
pertolongan yang dilakukan secara sadar. 2). Ada pendidik, pembimbing atau
penolong. 3). Ada yang dididik, atau si terdidik. 4). Adanya dasar dan tujuan dalam
bimbingan tersebut. 5). Dalam usaha itu tentu ada alat-alat yang dipergunakan
(Ahmad D. Marimba, 1962:19).
Menurut Ahmad Tafsir definisi tersebut dinilai sebagai definisi yang belum
mencakup semua yang dikenal sebagai pendidikan. Definisi tersebut cukup
memadai bila pendidikan dibatasi hanya pada pengaruh seseorang kepada orang
lain, dengan sengaja (sadar). Pendidikan oleh diri sendiri dan oleh lingkungan,
nampak belum mencakup ke dalam batasan pendidikan dalam pandangan A.D.
Marimba tersebut. Namun demikian Ahmad Tafsir lebih lanjut mengatakan bahwa
pengertian mana yang akan anda ambil, boleh saja, terserah kepada anda (Ahmad
Tafsir, 1994:25).
Formulasi pendidikan selanjutnyawinlah seperti yang diajukan oleh tokoh
pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara. Pendidikan adalah usaha yang
dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan
kebahagiaan manusia. Pendidikan tidak hanya bersifat pelaku pembangunan tetapi
wring meremerupakan perjuangan pula. Pendidikan berard memel ihara hidup tumbuh
kearah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemann menurut alam kemarin.
Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup
agar mempertinggi derajat kemanusiaan (Ki Hajar Dewantara, 1962:166).
Rumusan pendidikan ini nampak memberikan kesan dinamis, modern dan progressif.
Pendidikan tidak boleh hanya memberikan bekal untuk membangun, tetapi seberapa
jauh didikan yang diberikan itu dapat berguna untuk menunjang kemajuan suatu

bangsa. Semangat progresif yang terkandung dalam rumusan pendidikan K.H.


Dewantara tersebut dapat dikaitkan dengan apa yang menjadi pesan Khalifah Umar
Ibn al-Khattab yang mengatakan anak-anak masa sekarang adalah generasi muds di
mass yang akan datang. Dunia dan kehidupan yang akan mereka hadapi berbeda
dengan dunia yang sekarang. Untuk itu apa yang diberikan kepada anak didik hares
memperkirakan kemungkinan-kemungkinan relevansi dan kegunaannya di masa
datang. Dengan cars demikian eksistensi dan fungsi lulusan anak didik tetap
terpelihara dengan baik.
Pengertian pendidikan yang agak lebih terperinci lagi cakupannya
dikemukakan oleh Soegarda Poerbacaraka. Menurutnya, dalam arti umum
pendidikan mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tun untuk
mengalihkan

pengalamannya,

pengetahuannya,

kecakapannya,

sera

keft-

arnpilannya kepada generasi muds untuk melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan
bersama sebaik-baiknya. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa corak pendidikan itu
eras hubungannya dengan corak penghidupan. Karenanya jika corak penghidupan itu
berubah, maka corak pendidikannya akan berubah pula, agar si anak siap untuk
memasuki lapangan pendidikan itu (Soegarda Poerbakawatja, 1970: 11). Definisi
yang terakhir ini sejalan dengan definisi K.H. Dewantara sebelumnya.
Dan ketiga rumusan pendidikan di atas jika dipadukan akan terlihat bahwa pendidikan
merupakan kegiatan yang dilakukan dengan sengaja, seksama,' terencana, dan
bertujuan yang dilaksanakan oleh orang dewasa dalam arti memiliki bekal ilmu
pengetahuan dan ketrampilan menyampaikannya kepada anak didik secara bertahap.
Apa yang diberikan kepada anak didik itu sedapat mungkin dapat menolong tugas
dan perannya di masyarakat, dimana kelak mereka hidup. Anak didik atau terdidik
di sini difokuskan pads anak-anak.
Pemikiran PendidikanAnak Menurut Intelektual Muslim
Pendidikan anak dalam Islam pads dasarnya adalah bagian dari pendidikan
Islam. Pendidikan Islam itu sendiri mempunyai sesuatu yang diharapkan terwujud
setelah orang mengalami pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu kepribadian
seseorang

yang

membuatnya

menjadi

kwnil."Denganpolataqwamsankamilartmyamanusiautuhrohamdanjasmam,

"insan
dapat

hidup dan berkembang secara wajar.dan normal karena takwanya kepada Allah
SWT.
Dari sini dapat diambil pengertian bahwa pendidikan anak dalam Islam
diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya
serta senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam
dalamberhubungan dengan Allah dan dengan manusia sesamanya, dapat mengambil
manfaat yang semakin meningkat dan alam semesta ini juga untuk kepentingan hidup
di dunia lam dan di akhirat nanti. Tujuan ini kehhatannya terlalu ideal, sehingga sukar
dicapai. Tetapi dengan kc r a kerns yang dilakukan secara berencana dengan
kerangka-kerangka keda yang konsepsional mendasar, pencapaian tujuan itu
bukanlah sesuatu yang mustahil.
Selanjutnya, pendidikan anak dalam Islam dapat dilihat dari beberapa
pandangan pars tokoh pendidikan, diantaranya adalah:
1. Al-Ghazali
Imam al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali (450H/1058M) (Fatiyah Hasan Sulaiman, ted. H. S. Agil
Husin al-Munawar dan Hadri Hasan, 1993:9). la adalah termasuk ke dalam
kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian besar terhadap pendidikan,
karena pendidikan banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan
pemikirannya. Dalam masalah pendidikan'ia lebih cenderung berpaham empirisme.
Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan
terhadap anak didik..
Menurut al-Ghazali anak dilahirkan tanpa dipengaruhi oleh sifat-sifat hereditas
kecuali hanya sedikit sekali, karena faktor pendidikan, lingkungan dan masyarakat
merupakan faktor yang paling kuat mempengaruhi sifat-sifat anak. Pendapat beliau ini
sejalan dengan pendapat pars ahli psikologi (behaviorisme) yang mengingkan adanya
pengaruh faktor keturunan ini secara mutlak. Pandangan im mirip dengan pandangan yang
menyatakan bahwa anak lahir ke dalam kehidupan dengan akal pikirannya bagaikan
lembaran putih yang bersih dari ukiran atau gambar-gambar (seperti teori tabula rasa, John
Locke).
Oleh karena itu, dalam pandangannya seorang anak tergantung kepada, kedua orang tua

yang mendidiknya hati seorang anak itu bersih, mumi, laksana permata yang amat berharga,
sederhana dan bersih dari gambaran apapun (Ali al-Jumbulati Abdul Futuh al-Thwaisi,
1994:147). Jelaslah pendapat beliau bahwa anak adalah dilahirkan dalam fitrah yang
netral, dimana orang tua keduanya yang membentuk agamanya kapan saja dan di mana
saja. Hal ini dapat kits buktikan bahwa anak berwatak buruk karena belajar dari
keburukan penlaku lingkungan di mana is hidup serta cara-cara bergaul dengan lingkungan itu,
juga dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di lingkungan tersebut. Sama halnya dengan
tubuh anak waktu lahir dalam keadaan kurang sempurna, kemudian menjadi sempurna dan
kuat melalui pertumbuhan dan pendidikan serta makanannya. Dernikianlah tabiat
dibentuk atas fitrah kejadiannya yang sebalk-baAmya, yaitu mula-mula dalam bentuk yang
lemah, kemudian menjadi kuat dan sempurna, serta indah melalui pendidikan yang baik
yang menurut pendapatnya merupakan peker aan yang krusial (rawan terhadap bahaya).
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT. bukan mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau mendapatkan
kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pads
mendekatkan din kepada. Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian, dan
permusuhan (Muhammad Athiyyah al-Abrasyi, 1975:237). Lebih lanjut al-Ghazali
mengatakan bahwa orang yang berakal sehat adalah orang yang dapat menggunakan
dunia untuk tujuan akhirat, sehingga orang tersebut derajatnya lebih tinggi di sisi Allah dan
lebih lugs kebahagiaannya di akhirat. Ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan menurut
al-Ghazali tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia itu hanya sebagai alas. Hal
ini dapat dipahami al-Gha7A]i dari isyarat al-Qur'an: "Kehidupan dunia.itu hanyalah
kesenangan yang menipu" (QS. Al-Hadid (57):20). "Sesungguhnya kehidupan akhirat itu lebih
baik bagimu daripada aripada kehidupan dunia" (QS. Al-Dhuha (93):4).

2.

Al-Qabisi
Al.-Qabisi adalah salah seorang tokoh ulama ahli hadis dan seorang pakar pendidikan.

Hidup pads 324-403 H di kota Qaerawan, Tunisia. Nama lengkap nya adilah Abu Hasan
Ali bin Mohammad bin Khalaf al-Qabisi. Lahir pads bulan Rajab tahun 224 H atau 13 Mei
1936 M. Di kota. Qaerawan dan wafat pads tanggal 3 Rabiul Awwal 403 H atau. 23
Oktober 1012 M (N4uharnamd Munir Mursyi, 1980:229).
AI-Qabisi sebagai ahli fiqih dan hadis mempunyai pendapat tentang pendidikan yaitu

mengenai pengajaran anak-anak di kuttab-kuttab. Barangkah pendapatnya tentang pendidikan


anak-anak ini merupakan tiang yang pertama dalam pendidikan Islam dan juga bagi
pendidikan umat yang lainnya. Dengan lebih memperhatikan dan lebih menekuni, maka
mengajar anak-anak sebagai tuntunan bangsa adalah merupakan tiang bangsa itu yang harus
dilaksanakan penuh dengan kesungguhan dan ketekunan ibarat membangun piramida.
pendidikan (institusi pendidikan).
Al -Qabisi tidak menentukan usia tertentu untuk menyekolahkan anak di lembaga Kuttab.
Oleh karena itu, pendidikan anak merupakan tanggung jawab orang tuanya semenjak mulai
anak dapat berbicara fasih yakni pada, usia mukallaf yang wajib diajar bersembahyang
(menurut hadis Nabi). Rasulullah bersabda: "perintahkanlah anak-anak kalian untuk
mengedakan shalat pads waktu usia tujuh tahun dan pukullah mereka pads waktu usia
sepuluh tahun". Dari sabda Nabi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam dimulai
pertama di rumah. Pendidikan anak di lembaga al-Kuttab hanyalah kelanjutan dari tugas
pendidikan yang wajib ditunaikan oleh kedua orang tua di rumah.
Amak-anak yang belajar di kuttab mula-mula diajar menghafal al-Quran lalu diajar
menulis, dan pads waktu dzuhur mereka pulang ke rumah masingmasing untuk makan Siang,
kemudian kembali lagi ke kuttab untuk belajar lagi sampai sore hari. Anak-anak yang belajar
di kuttab berlangsung sampai masa akil baligh, yang mempelajari berbagi ilmu seperti alQur'an, tulis menulis, nahwu dan bahasa Arab, juga seringkali belajar ilmu hitung dan
syair serta kisah-kisah Arab (Muhamamd Munir Mursyi, 1980:31-32).

3.

Ibnu Sina

Pemikiran pendidikan Ibnu Smiadapat telaah dari beberapa pandangannya tentang tujuan
pendidikan, kurikulum, metode, guru dan pelaksanaan hukuman. Tujuan pendidikan dalam
pandangan Ibnu Sina harus diarahkan pads pengembangan selunih potensi yang dimiliki
seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual,
dan budi pekerti. Selai itu, tujuan pendidikan harus diarahkan pads upaya mempersiapkan
seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan
pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan,
kecenderungan dan potensi yang dimilikinya (Abuddin Nata, 2001:67).
Kurikulum yang diajarkan pads anak harus didasarkan pads tingkat perkembangan
usia anak didik. Untuk usia 3 sampai 5 tahun diberikan mata pelajaran olah raga, budi

pekerti, kebersihan, seni suara, dan kesenian. Sedangkan unt A usia 6 sampai 14 tahun
mencakup pelajaran niembaca dan menghafal al-Qur'an, pelajaran agama, pelajaran syair
dan pelajaran olah raga. Selanjutnya kurikulum untuk usia 14 tahun ke atas adalah berbeda
dari usia lainnya. Matti pelajaran yang diberikan amat banyak jumlahnya, namun pelajaran
tersebut dipilih sesuai dengan bakat dan minas si anak.
Dalam pandangan Ibnu Sina setiap pembahasan materi pelajaran harus didasarkan pads
pertimbangan psikologis. Untuk itu, suatu mata pelajaran tertentu tidak akan dapat
dijelaskan kepada bermacam-macam anak didik dengan sate cara saja, melainkan harus
dicapai dengan berbagai cara sesuai dengan perkembangan psikologisnya. Adapun
metode pengajaran yang ditawarkan oleh Ibnu Sina antara lain metode talqln, demonstrasi,
pembiasaan dan teladan, diskusi, magang dan penugasan.
Mengenai konsep guru, Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah guru
yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik
anak, berpenampilan tenting, tidak bennuka masam, sopan santun, bersih dan suci murni.
Selain itu seorang guru sebaiknya kaum prig yang terhormat dan menonjol budi pekertinya,
cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membimbing anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu,
gemar bergaul dengan anak-anak, tidak keras hati dan senantiasa menghias diri. Demikian
pula suka mengutamakan kepentingan umat daripada kepentingan sendiri, menjauhkan diri
dari sifat raja dan orang yang berakhlak rendah, mengetahui etika dalam majelis ilmu, sopan
dan santun dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.
Yang terakhir adalah tentang hukuman dalam pengajaran. Ibnu Sina mendasarkan pads
sikapnya yang sangat menghargai martabat manusia. Dalam keadaan terpaksa hukuman
dapat dilakukan dengan cara yang amat hatihati. Sebab manusia memiliki naluri ingin
disayang, tidak suka diperlakukan kasar dan lebih suka diperlakukan dengan lemah lembut.
Alas dasar pandangan kemanusiaan inilah Ibnu Sina membatasi pelaksanaan hukuman (Abuddin
Nata, 2001:70-78).
Demikianlah beberapa percikan pemikiran dari pars tokoh pendidikan Islam. Sebagian
besar mengarah pads hal-hal yang bersifat religius dengan pemikiran yang bersifat
filosofis. Hal ini sangat wajar mengingat dalam perkembangan pemikiran pendidikan
Islam masih banyak mengacu pads ayatayat al-Qur'an ataupun hadis yang kemudian diter
emahkan dalam bahasa pendidikan.

Pemikiran pendidikan anak dalam pandangan ilmuwan barat


1. John Amos Comenius (1592-1670)
Ia adalah tokoh Eropa yang pertama kah membenkan perhatian tedmdap dunia
pendidikan anak. Ia mengarang buku pelajaran bahasa dengan menggunakan gambar.
Di bawah setiap gambar is tulis nama atau keterangan dalam bahasa ibu dan bahasa Latin.
Bukunya yang ber udul School Infancy, merupakan lanjutan dan sebagian isi bukunya yang
sangat terkenal (The Great Deductic William Boyd, 1959:242). Ia sangat mencintai
anak, dan corak pendidikan yang diinginkannya adalah bercorak agama.
Anak dalam pandangannya adalah kumia Tuhan kepada manusia yang, karenanya,
harus dirawat, dipelihara dan dididik dengan baik, tidak dengan kekerasan dan pukulan.
Pendapat tersebut itu merupakan proles atas perlakuan keras dan kasar terhadap
anak dalam kegiatan pendidikan di zamannya. Tujuan pendidikan digariskan
kepada: 1) mencapai ilmu pengetahuan, 2) mencapai akhlak, 3) mencapai kesalehan
dan ketakwaan (Agnes Soejono, 1978: 10).
Ia berpendapat bahwa semua anak dari semua tingkatan harus mendapat kesempatan yang
sama dalam menflunati pendidikan. 01eh karena itu, sekolah harus didirikan sebanyakbanyaknya, sehingga anak putera dan puteri, dapat memasukinya tanpa perbedaan.Dalam
mendidik dan mengajar Comenius sebagai pegangan atau contoh seluruh alam besar
sebagai makro-kosmos yang selalu bedalan tertib. Tuhan memberi contoh alamdalam
mengembangkan tumbuhan, hewan dan manusia. Manusia hanyalah micro-cosmos,
yang berbentuk kecil sepadan dengan makro-cosmos.
Perkembangan anak menurut Comenius melalui empat tingkatan, yang didasarkan pads
perkembangan bahasa anak. Pertama, dari lahir sampai umur 6 tahun, masa anak
belajar dalam school Infancy dengan lokasi yang paling baik adalah pangkuan ibu.
Kedua, dari umur 6 sampai 12 tahun, mass anak memasuki sekolah pertama dan
bahasa ibu dipakai sebagai bahasa pengantar. Ketiga, dari umur 12 sampai 18 tahun,
mass anak belajar di sekolah menengah (sekolah Latin) dengan bahasa Latin sebagai
bahasa pengantar. Keempat, dari umur 18 sampai 24 tahun, mass anak belajar di
perguruan tinggi dengan syarat hares memilih perguruan tinggi di negen lain. Tmgkat
ini hanya ditempuh oleh anak-anak yang cerdas yang dinamakan The Flowers of
Mankind.

Tentang peraturan sekolah, ia mengatakan bahwa semua sekolah wajib diatur


baik-baik (tats tertib) dan dijaga kebersihannya demi kesehatan pars murid. Guru
wajib ramah tamah, banyak menggunakan hadiah, sedikit menggunakan hukuman
dan tidak menjatuhkan hukumanbadan, apabila mend kurang kemajuan dalam
pelajaran. Dengan cara yang tepat, cepat dan mudah mend akan dapat menerima
pelajaran dalam suasana gembira (Agnes Soejono, 1978:11).
2. Jean Jacques Rousseau (1712-1778M.)
Jean Jacques Rousseau (selanjutnya disebut J.J. Rousseau) dilahirkan dalam
keluarga berada di Geneva Swiss, tetapi sebagian besar dari kehidupannya berada. di
Perancis. Ia adalah tokoh yang dikenal berkat buku .'Emile': Odu de 'education,
dimana ia menggambarkan cara pendidikan anak sejak lahir sampai remaja yang
ideal. Pembukaan buku Emile tidak hanya memberikan pandangan yang berorientasi
pads pendidikan saja, tetapi juga menunjukkan pemikiran yang berorientasi politik.
Dikatakannya bahwa "Tuhan menciptakan segalanya baik, karena adanya camper
tangan manusia, menjadikamyajahaf'.
Rousseau menyarankan Ternbali ke alam' (a return to nature) dan pendekatan
yang bersifat alamiah dalam pendidikan anak yang dikenal dengan naturalisme.
Menurut Rousseau, dengan naturalisme anak akan berkembang tanpa hambatan. Oleh
karenanya, ia menolak adanya pakaian seragam (dress code), wajib hadir, ketrampilan
dasar yang minimum, tes yang distandardisasi dan kemampuan pengelompokan
karena semuanya berorientasi pads hal-hal yang bersifat tidak alamiah.
Pendidikan yang bersifat alamiah menghasilkan dan memacu berkembangnya
kualitas semacam kebahagiaan, spontanitas, dan rasa ingin tabu. Dalam buku
Emile dikemukakan bahwa segala yang tidak ads sejak seseorang dan dibutuhkan
pads saat perkembangan akan diperoleh dalam pendidikan. Pendidikan tersebut akan
didapat dari alam, manusia, atau bends. Rousseau percaya bahwa walaupun kita
telah melakukan kontrol terhadap pendidikan yang diperoleh dari pengalaman
sosial dan sensoris, kita tetap tidak dapat mengontrol pertumbuhan alami. Intinya,
inilah yang disebut sebagai konsep `unfolding', di mana bawaan dari anak menuju
spa yang akan tedadi; `unfolf adalah hasil dari kematangan yang dikaitkan dengan
jadual perkembangan yang sifatnya bawaan. Rousseau sangat yakin bahwa ibu yang

dapat menjamin Pendidikan secara alamiah. Pads saat itu ia mengan jurkan agar para ibu
kembali mau menyusui anaknya sendiri. Pads mass itu banyak ibu terutama dari
kalangan atas tidak suka menyusui anaknya walaupun hal tersebut memungkinkan.
hinsip bahwa dalam mendidik anak, orang tea perlu memberi kebebasan kepada anak
agar tumbuh dan berkembang secara alamiah (Soemantri Patinodewono, 1998:4).
3. Johan Heindrick Pestalozzi (1746-1827)
Pestalozzi dilahirkan di Swiss. Ia sangat dipengaruhi oleh Rousseau khususnya
bukunya berjudul Emile dan juga dengan konsep 'back to nature'. Pads tahun 1774 ia
mendirikan

sekolah

yang

disebut

neuhof

di

tanah

pertaniannya.

Ia

mengembangkan idenya yang merupakan integrasi antara pendidikan rumah,


pendidikan vokasional dan pendidikan untuk membaca dan menuhs. Dalarn usahanya
ini kurang berhasil disebabkan masalah keuangan, sebab ia hanya mengandalkan uang
dari muridnya saja.
Selanjutnya, Pestalozzi menulis buku tentang pemikiran pendidikan dan
pengalamannya yang tertuang dalam judul 'Leonard and Getrude' yang lebih mirip
novel, kemudian iamenjadi terkenal baik sebagai penulis maupun sebagai pendidik.
Pengaruh Rousseau sangat kuat dalam ide Pestalozzi, yaitu bahwa pendidikan
sebaiknya mengikuti sifat-sifat bawaan anak (child's nature). Keyakinan ini
diterapkan dalam mendidik anaknya dengan menggunakan Emile hasil karya Rousseau
sebagai acuannya. Dasar dari metodenya merupakan perpaduan yang serasi antara
nature dan pendidikan yang praktis. Yaitu metode yang mengikuti nature, atau
dengan kata lain, membimbing anak secara perlahan, dan dengan usaha anak
sendiri, bermula dari 'sense-impression' menuju ide-ide abstrak. Sikapnya terhadap
anak lebih bersifat belaj ar bersama anak daripada mengajar secara otoriter (The
Great Deductic William Boyd, 1959:325).
Pestalozzi percaya bahwa segala bentuk pendidikan berdasarkan pengaruh dari
panca indera, dan melalui pengalamannya potensi-potensi yang dimilikinya dapat
dikembangkan. Sementara beberapa, anak mampu belajar membaca sendiri,
seseorang sebaiknya merancang suasana dan kondisi guna berkembangnya proses
belajar mengajar tersebut. Mengharapkan bahwa anak akan mampu atau bertanggung
jawab belajar ketrampilan disar untuk dirinya sendiri, merupakan pertanyaan besar.

Adapun cara belajar yang terbaik untuk mengenal berbagai konsep adalah melalui
pengalaman, seperti dengan menghitung, mengukur, merasakan dan menyentuhnya.
Guru adalah yang paling baik untuk mengajar anak, bukan subyek sendiri. Oleh
karena. itu, Pestalozzi sangat menganjurkan pengelompokan yang terdiri dari
berbagai tahapan usia di sekolah. Lingkungan rumah, dianggap sebagai pusat
kegiatan bagi para ibu dalam mendidik anak. Ibu mempunyai tanggung jawab yang
terbesar dalam pendidikan anak (The Great Deductic William Boyd, 1959:5-6).
4. Friederich Wilhelm Frobel (1782-1852)
Ia

dilahirkan

di

Jerman

dan

mengabadikan

kehidupannya

dalam

mengembangkan suatu sistem untuk mendidik anak. Frobel dianggap sebagai ayah
dari pendidik anak usia bayi, selain itu dikenal sebagai pencipta 'garden of children'
atau kindergarten (taman kanak-kanak),yang didirikan pads tahun 1837 di
Blankenburg Jerman.
Pandangan

Frobel

tentang

pendidikan

merupakan

perluasan

dari

pandangannya terhadap dunia dan pemahamannya tentang hubungan individu, Tuhan


dan alam. Pendidikan dapat membantu perkembangan anak secara wajar. Apabila
anak mendapat pengasuhan yang tepat, maka seperti halnya tanaman muda atau
binatang yang berkembang secara wajar dan mengikuti hukumnya. sendiri.
Pendidikan taman kanak-kanak perlu mengikuti sifat dari anak. Bermain dipandang
sebagai suatu metode dari pendidikan dan cars dari anak untuk meniru kehidupan
p

rang dewasa dengan wajar.


Kurikulum yang dirancang Frobel meliputi pekerjaan, atau kegiatan seni keahlian,

pembangunan atau konstruksi. Kegiatan tersebut dilakukan dengan bermain Jilin,


kayu, kotak, menggunting kertas, menganyam, melipat kertas dan menusuk-nusuk
kertas. Meronce benang, menggambar dan menyulam, menyanyi, permainanpermainan, bahasa dan aritmatika.
Menurut Frobel, guru bertanggung jawab dalam membimbing dan
mengamhkan, dengan demikian anak menjadi kreatif dan akan menyumbangkannya
kepada masyarakat. Oleh karena, itu, is mengembangkan kurikulum pra sekolah
dengan terencana, dan sistematis. Dasar kurikulumnya adalah gift dan occupation,
nyanyian yang dicitakan dan bermain yang mendidik (Soemantri Patmodewono,

1998: 6-7).
5. John Dewey (1859-1952)
John Dewey merupakan salah satu tokoh Amenka yang mempengaruhi
pendidikan di Ame;ika. Melalui posisinya sebagai seorang profescr dalam bidang
filsafat di Universitas Chicago dan Columbia, hasil tulisan dan pengalamannya
dalam praktek pendidikan menjadikannya sangat terkenal. Teori Dewey tentang
sekolah yang biasanya disebutprogessivisme lebih menekankan pads anak didik
dan minat anak daripada mats pelajarannya. Progessivisme lebih menekankan pads
anak didik dan minat anak daripada mats pelajarannya. sendiri. Dari hal tersebut
muncul pengertian child centered curriculum dan child centered schools. Gerakan
progresif tersebut mempertahankan bahwa sekolah sebaiknya mempersiapkan
anak guna menghadapi kehidupan mass kini bukan mass yang akan datang yang
belum jelas. Seperti apa yang ditulis dalam "My Pedagogical Creed" bahwa
pendidikan adalah proses dari kehidupan bukan persiapan guna mass yang akan
datang.
Di dalam kelas yang mengikuti teori Dewey anak-anak berpartisipasi dalam
kegiatan fisik, seperti kegiatan lari, lompat, dan lain-lain. Dalamkegiatan ini anak
melalui proses pendidikan dan kemudian mengembangkan minatnya dalam bidang
yang lain. Anak yang telah lebih berkembang akan belajar menggunakan alas-alas
dan obyek-obyek. Dewey menganggap ungkapan dan minat dikaitkan dengan
kegiatan atau pekerjaan seperti memasak dan pertukangan. Guna mengusahakan
timbulnya minat yang berkaitan dengan hal-hal yang barn, dan menggambarkan atau
menjelaskan bagaimana sesuatu hal berlangsung. Minas terhadap hal-hal yang bersifat
sosial dinyatakan dengan bagaimana seseorang melakukan hubungan interpersonal
(Soemantri Patmodewono, 1998:8-9).
Demikianlah beberapa percikan pemikiran singkat dari para pakar pendidikan
Barat, yang pads urnumnya menekankan pads pendidikan fisik, khususnya yang
berkaitan dengan permainan dan kesukaan anak-anak. Pemikiran pendidikan anak
dari Barat ini ada beberapa yang diadopsi dan dilaksanakan di Indonesia. Apalagi
pada akhir-akhir ini dengan semakin gencarnya kemajuan teknologi, semakin
banyak masyarakat yang melihat kehebatan teori-teori pendidikan anak dari Barat

yang mau tidak mau harus diperhatikan juga oleh pars orang tea di Indonesia.
Kesimpulan
Dari beberapa uraian singkat tentang pemikiran pendidikan anak baik di dunia
Islam maupun Barat, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pendidikan
anak merupakan sate hal yang sangat penting. Pendidikan pada mass kanak-kanak
akan sangat menentukan kehidupan mereka di mass mendatang. Pemikir
pendidikan anak di dunia Islam lebih cenderung bersifat filosofis-religius,
sedangkan pemikir dari Barat cenderung pada bersifat psikologis-akademis.
Meskipun terdapat perbedaan kecenderungan, namun dari beberapa pemikiran
tersebut dapat ditarik benang merah yang saling melengkapi yaitu bahwa
pendidikan anak harus bersifat komprehensif bukan hanya berdimensi filosofis-religius
atau psikologis-akademis, melainkan paduan di antara keduanya. Barangkali
ungkapan yang terakhir ini yang mendasari munculnya dan semakin pentingnya
pendidikan usia dini (PADU) dalam sistem pendidikan nasional. WaAllah A'lam bi
al-Shawab.

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, 2001. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta:


Rajagrafindo, cet. ke-2.
Soejono, Agoes. 1978. Aliran Baru dalam Pendidikan, Bandung: CV. Ilmu.
Marimba, Ahmad D. 1962. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: AlMa'arif.
Tafsir, Alu aad. 1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif j'slam, Bandung: Remaja
Rosdakarya. cet. IV.
al-Tuwaisi, Ali al-Jumbulati Abdul Futuh. 1994. Perbandingan Pendidikan Islam,
Jakarta : Rineka Cipta.
Sulaiman, Fatiyah Hasan. 1993. Aliran-aliran dalam Pendidikan; Studi tentang
Aliran Pendidikan Menurut al-Ghazali, ter . H. S. Agil Husin al-Munawar
dan Hadri Hasan, Semarang: Toha Petra.
Dewantara, Ki Hajar. 1962. Bagian Pertama Pendidikan, Yogyakarta: Majelis
Luhur Persatuan Taman Siswa,
Mursyi, Muhamamd Munir. 1980. Al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa
Tathawwuruha fi Bilad al-Arabiyyah, Mesir: Dar al-Maarif, cet. IV.
al-Abrasyi,

Muhammad Athiyyah. 1975.

Al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa

Falsafatuha, Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, cet. Ke-3.


Poerbakawatja, Soegarda. 1970. Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka,
Jakarta: GunungAgung.
Patmodewono, Soemantri. 1998. Pendidikan Anak Pra sekolah, Jakarta: Rineka
Cipta.
Boyd, William. 1959. The History of Western Education, London: Adam and
Charles Black.

Anda mungkin juga menyukai