Anda di halaman 1dari 23

ALIRAN-ALIRAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok dalam Mata Kuliah Fiqih II Jurusan
Pendidikan Agama Islam pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR 2016
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama universal mempunyai ajaran yang sangat pleksibel sehingga ia dapat
dikatakan shalih li kulli zaman wa makan (cocok untuk semua zaman dan tempat) dan mencakup
berbagai aspek kehidupan manusia, di antaranya adalah aspek pendidikan, ekonomi, politik,
sejarah dan lain sebagainya. Dalam mengajarkan dan menyebarkan risalah yang diemban oleh
Beliau. Hal ini terlihat dari adanya wahyu pertama yang diturunkan kepadanya yang diawali
dengan kataIqra'(perintah membaca)[1]. Disamping itu, Islam juga menyampaikan bahwa proses
pendidikan telah berlangsung sejak adanya manusia, meskipun tidak dalam bentuk seperti yang
disaksikan dan dialami manusia didik sekarang.
Islam telah menyampaikan kepada kita bahwa manusia adalah makhluk paedagogik, dalam
pengertian bahwa manusia adalah bisa dididik dan memang memerlukan pendidikan[2].
Pendidikanlah yang bisa mengangkat derajat manusia bahkan membedakannya dengan makhluk
yang lain. Status sosial pun akan jauh berbeda di tengah-tengah masyarakat, bilamana seseorang
memiliki pendidikan yang tinggi.
Dengan segala potensi yang dimiliki, manusia bisa dengan mudah menerima pendidikan dan
pengajaran yang selanjutnya mengubah dan mengembangkan apa yang diperoleh dari proses
pendidikan itu. Selain itu, manusia mempunyai sifat alamiah (kodrati)yaitu perasaan ingin tahu.
Dari rasa ingin tahu manusia itu menjadikan hidupnya dinamis dan selalu berusaha mencari
jawaban-jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul dalam benaknya dengan melakukan
renungan-renungan, pemikiran yang mendalam ataupun melalui eksperimentasi.
Atas dasar ini, para filosof dan psikologi pendidikan mengemukakan pemikirannya tentang adanya
kemungkinan manusia bisa dididik dan menerima pendidikan. Para ahli Islam maupun non Islam
mengemukakan pendangannya tentang adanya sesuatu yang melekat pada diri manusia yang
dibawa sejak lahir dengan berbagai kemungkinan untuk bisa dikembangkan atau ada hal-hal lain
yang bisa mempengaruhinya. Sehingga dengan demikian melahirkan pandangan yang berbeda-
beda sesuai dengan perbedaan sudut pandang mereka. Dan lahirlah berbagai aliran-aliran dalam
pendidikan seperti naturalisme, nativisme, emperisme, konvergensi,progresivisme,
dan konstruktivisme, dan tidak akan ketinggalan pula mengenai aliran-aliran dalam pendidikan
Islam[3].

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka timbullah rumusan masalah, yaitu sebagai
berikut:
1. Apa pengertian dasar aliran pendidikan Islam?
2. Apa aliran-aliran dalam pendidikan?
3. Apa aliran-aliran pendidikan Islam menurut para ahli tokoh pendidikan Islam?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Dasar Aliran Pendidikan Islam
Secara etimologi, kata "aliran" adalah bentuk nomina dari kata "alir" yang kemudian mendapat
akhiran "an" yang berarti haluan, pendapat dan paham[4]. Sedangkan di dalam literatur Arab
disebut dengan Al-Mazhab[5]. Kata aliran ataumazhab secara erminologi adalah pendapat atau
pemikiran seseorang dalam memahami sesuatu baik dalam bidang filsafat, hukum, politik,
ekonomi dan lain-lain yang kemudian diikuti oleh beberapakelompok orang[6].
Pendidikan Islam menurut Abd. Rahman Getteng adalah usaha membina dan mengembangkan
potensi manusia baik jesmani maupun rohani agar tujuan kehadirannya di dunia sebagai hamba
dan khalifah Allah bisa terwujud dengan baik[7].
Abd. Rahman Al-Nahlawi mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah upaya mengembangkan
pikiran manusia, menata tingkah lakunya, emosinya pada seluruh aspek kehidupan agar tujuan
yang dikehendaki bisa terealisasi[8].
Dengan demikian, secara operasionalaliran pendidikan Islam adalah paham atau pemikiran
pendidikan Islam sebagai titik tolak dalam membina dan mengembankan potensi-potensi manusia
serta hal-hal yang mempengaruhinya sesuai pandangan Islam.
B. Aliran-Aliran Dalam Pendidikan
1. Aliran Nativisme
Aliran ini mempunyai doktrin filosofis yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran pendidikan,
bahkan aliran ini pernah mewarnai dunia pemikiran pendidikan[9]. Tokohnya adalah Arthur
schopenhour (1788-1860) yang berpandangan bahwa anak yang lahir sudah mempunyai potensi
yang mempengaruhi hasil dari perkembangan selanjutnya[10]. Pendidikan sama sekali tidak
mempunyai daya atau kekuatan untuk mempengaruhi anak. Pendidikan hanya memberi polesan
kulit luar dari tingkah laku sosial anak, sedangkan bagian internal dari kepribadian anak didik tidak
dapat ditentukan. Aliran ini disebut pula dengan aliran pesimisme karena tidak adanya
kepercayaan akan nilai-nilai dari pendidikan sehingga anak itu diterima apa adanya[11].
Sukses tidaknya suatu proses pendidikan menurut aliran notivisme sangat di tentukan oleh tinggi
rendahnya kualitas hereditas yang dimiliki oleh anak. Pembawan yang sifatnya kodrati tidak bisa
di ubah-ubah, dan ia menjadi penentu masa depan seorang anak. Meskipun telah diberikan
pendidikan sedemikian rupa jika mutu hereditasnya rendah maka hasilnya tetap rendah pula.
Naturalisme pun mempunyai pandangan yang hampir sama dengan nativisme di atas. Perbedaanya
hanya berada pada aspek penekanan baik buruknya pembawaan itu.
Tokoh aliran ini adalah Jean Jacques Roesseu (1712-1778). Ia lahir di Geneva Swiss, karena
ketidak puasan di negerinya serta kehidupan yang tidak menentu, maka pada tahun 1728 ia
melarikan diri ke Prancis setelah ia bekerja pada tukang ukir yang suka menghukumnya[12].
Hidup di tengah masyarakat yang dianggap sudah modern tetapi moral mereka bobrok dan
keadaanya sebagai seorang pelarian sangat mempengaruhi alur pemikirannya.
Roesseau berpendapat bahwa segala sesuatu yang datang dari alam itu adalah baik, tetapi setelah
tiba pada manusia bisa saja ia menjadi buruk. Maka untuk membimbing seorang anak cukuplah
berdasar pada keinginan dan pembawaanya[13]. Roesseu menganggap bahwa lingkungan atau
masyarakat adalah sumber dari segala kerusakan dan keburukan. Seorang anak harus di hindarkan
dari hal-hal tersebut sehingga ia tumbuh dan berkembang secara alamiah. Aliran ini disebut juga
aliran negatifisme karena menganggap bahwa proses pendidikan itu di lakukan dengan memberi
kebebasan yang sebebas-bebasnya kepada anak didikuntuk tumbuh dan berkembang dengan
sendirinya lalu kemudian memberikan sepenuhnya kepada alam sebagai pelaksanaan pendidikan
agar pembawaan anak bisa tetap terjaga dan tidak dirusak oleh tangan-tangan manusia karena
kesalahan dalam mendidik[14].
Roesseuau sangat optimis terhadap pembawaan baik dan positif dari manusia yang baik.
Pembawaan sifatnya natural (berasal dari alam), maka manusia harus dididik dari alam pula.
Roesseau memberi contoh yang dilakukan oleh alam, seorang anak di saat bermain-main dengan
pisau, lalu teriris tangannya, maka minimal anak tersebut berhati-hati menggunakan pisau kedua
kalinya mengingat bahaya yang ditimbulkan di saat ceroboh dalam menggunakannya. Begitu juga
seorang anak tidak mau lengah ada waktu menutup pintu rumahnya karena pernah merasakan
bagaimana sakitnya dijepit pintu. Disini, alamlah yang mengajari anak tersebut dan menjadikan ia
sadar dan mengerti akan hal-hal yang di perbuatnya. Pandangan-pandangan naturalisme yang di
kemukakan oleh roesseau di atas berhasil mengokohkan dirinya sebagai tokoh seorang tokoh
naturalisme dalam sebuah karya monumentalnya ‘Emile’ masih dapat dibaca hingga sekarang
dalam lingkungan pendidikan.
2. Aliran Naturalisme
Pandangan yang ada pada persamaannya dengan nativisme adalah naturalisme yang di pelopori
oleh J.J Rousseau (1712-1778) Naturalisme mempunyai pandangan bahwa setiap anak yang lahir
di dunia mempunyai pembawaan baik, namun pembawaan tersebut akan menjadi rusak karena
pengaruh lingkungan, sehingga naturalisme sering disebut negativisme. Naturalisme memiliki
prinsip tentang proses pembelajaran (M. Arifin dan Amiruddin R, galaman sendiri). Kemudian
terjadi interaksi antara pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan perkembangan di dalam
diri secara alami.
Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik berperan sebagai
fasilitator atau narasumber yang menyediakan lingkungan yang mampu mendorong keberanian
anak didik ke arah pandangan yang positif dan tanggap terhadap kebutuhan untuk memperoleh
bimbingan dan sugesti dari pendidik. Tanggung jawab belajar tergantung pada diri anak didik
sendiri. Program pendidikan di sekolah harus di sesuaikan dengan minat dan bakat dengan
menyediakan lingkungan belajar yang berorientasi kepada pola belajar anak didik.
3. Aliran Empirisme
Tokoh utamanya adalah John Lock, (1632-1704) dilahirkan di Inggris dari keluarga tedidik[15].
Ia dianggap sebagai pemberi titik terang dalam perkembangan psikologi di karenakan teorinya
seakan memberi paradigma baru dalam pemikiran pendidikan[16]. Teorinya yang terkenal adalah
teori tabula rasa yang mengibaratkan anak yang baru lahir bagaikan kertas putih bersih (kosong)
atau meja yang berlapis lilin. Di atas kertas atau lilin itu dapat ditulis apa saja sesuai dengan
keinginan.
Teori tabula rasa yang di kemukakan oleh John Lock menekankan arti penting dari pengalaman
dan lingkungan dalam mendidik anak. Ada pun pembawaan itu di anggap tidak berpengaruh pada
aspek pendidikan anak. Karena penekanan pendidikan terletak pada aspek lingkunga dan
pengalaman, maka alirannya dikatakan bercorak empiris[17]. John Lock berusaha mendekatkan
pendidikan itu dengan situasi[18].
Aliran ini kemudian menjadi sangat terkenal karena keoptimisannya dalam mendidik yang tidak
mengenal putus asa. Aliran ini menganggap bahwa ia bisa saja menjadikan anak itu sebagai
seorang ahli kimia misalnya meskipun tidak terlahir dari keluarga ahli kimia atau menjadikan anak
itu artis meskipun ia tidak berasal dari keluarga seniman. Hanya saja seorang anak diusahakan di
pola sedemikian rupa bagaikan sebuah robot yang harus mengikuti keinginan dari pendidiknya
atau penutupnya untuk memperoleh hasil yang dikehendaki. Aliran ini sangat bertolak belakang
dari aliran nativisme dan naturalisme[19].
4. Aliran Konvergensi
Aliran ini di perkenalkan oleh seorang ahli ilmu jiwa berkebangsaan Jerman bernama Willian
Sterm. Lahir di jerman pada tanggal 28 April 1871. William Sterm berpandangn bahwa antara
hereditas dan mlliu saling berkaitan dan saling memberi pengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan manusia[20]. Secara kodrati, manusia telah dibekali dengan bakat atau potensi.
Akan tetapi untuk berkembang ke arah yang lebih baik perlu adanya pengaruh dari luar berupa
tuntunan dan bimbingan melalui pendidikan[21].
Siterm berusaha menyatukan dua aliran yang bertolak belakang yaitu nativisme/naturalisme dan
emperisme dalam memandang manusia sebagai peserta didik karen bagaimana pun juga, jika yang
di ambil hanya salah satunya berarti pendidikan itu akan berjalan pincang, karena dua hal yang
semestinya berjalan beriringan namun dipisahkan. Pemisahan salah satu dari keduanya berarti
mengabaikan teori keseimbangan antara bawaan (hereditas) yang muncul sejak manusia itu lahir
dan lingkungan sebagai bentuk interaksi anak terhadap lingkungannya. Sebagai anak yang lahir di
tengah-tegah keluarga agamawan bisa saja ia menjadi ahli agama jika diberi pendidikan sejak kecil
dalam lingkungan keagamaan.
Aliran konvergensi adalah aliran yang banyak dianut oleh para pendidik dewasa ini. Sementara
aliran nativisme dan emperisme telah mulai usang dan mulai banyak ditinggalkan oleh
penganutnya. Dalam pandangan Islam, kemampuan dasar atau pembawaaan di sebut
dengan "fitrah". Secara etimologis, "fitrah" berarti "sifat asal, kesucian, bakat, dan pembawaan.
Secara terminologi, Muhammad Al-Jurjani menyebutkan, bahwa "fitrah" adalah tabiat yang siap
untuk menerima agama Islam.
Kata fitrah di sebutkan dalam Al-Qur’an pada surah Ar-Rum ayat 30 sebagai berikut:

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu[22]. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui"[23].
Dalam kaitannya dengan teori kependidikan dapat di katakan, bahwa fitrah mengandung implikasi
kependidikan yang berkonotasi kepada paham converagent. Karena fitrah mengandung makna
kejadian yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus yaitu Islam.Namun
potensi dasar ini bisa di ubah oleh lingkungan sekitarnya[24].
5. Aliran Progresivisme
Tokoh aliran progresivisme adalah John Dewey. Aliran ini berpendapat bahwa manusia
mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat mengahadapi serta mengatasi masalah
yang bersifat menekan, ataupun masalah-masalah yang bersifat mengancam dirinya. Aliran ini
memandang bahwa peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan. Hal itu ditunjukkan dengan
fakta bahwa manusia mempunyai kelebihan-kelebihan jika dibandingkan dengan mahluk lain.
Manusia memiliki sifat dinamis dan kreatif yang di dukung oleh kecerdasannya sebagai bekal
menghadapi dan memecahkan masalah. Peningkatan kecerdasan menjadi tugas utama pendidik,
yang secara teori mengerti karakter peserta didiknya. Peserta didik tidak hanya di pandang sebagai
kesatuan jasmani dan rohani, namun juga termanifestasikan di dalam tingkah laku dan perbuatan
yang berada di dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan, perlu di
optimalkan. Artinya, peserta didik di beri kesempatan untuk bebas dan sebanyak mungkin
mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya, sehingga suasana
belajar timbul di dalam maupun di luar sekolah.
6. Aliran Konstruktivisme
Gagasan pokok aliran ini di awali oleh Giambatista Vico, seorang epistemiolog Italia. Ia di
pandang sebagai cikal bakal lahirnya konstruktivisme. Ia mengatakan bahwa Tuhan adalah
pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan. Mengerti berarti mengetahui sesuatu
jika mengetahi. Hanya Tuhan yang mengetahui segala sesuatu karena dia pencipta segala sesuatu
itu. Manusia hanya dapat mengetahui sesuatu yang di konstruksikan Tuhan. Bagi Vico,
pengetahuan dapat menunjuk pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan tidak bisa lepas
dari subjek yang mengetahui.
Aliran ini di kembangkan oleh Jean Piaget, melalui teori perkembangan kognitif, piaget
mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan interaksi kontinu antara individu satu dengan
lingkungannya. Pengetahuan merupakan suatu proses, bukan suatu barang. Menurut piaget,
mengerti adalah proses adaptasi intelektual antara pengalaman dan ide baru dengan pengetahuan
yang telah dimilikinya, sehingga dapat terbentuk pengertian baru, (Pul Suparno, 1997:33). Piaget
juga berpendapat bahwa perkembangan kognitif di pengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu
asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi[25].
C. Aliran-Aliran Pendidikan Islam Menurut Para Ahli Tokoh Pendidikan Islam
Islam mengajarkan kepada manusia melalui kitabnya dan memperkenalkan kata kunci untuk
memahami manusia secara komperehensif dengan kata insan dan basyar. Kata insan merunjuk
kepada proses perkembangan manusia yang bergantung kepada lingkungannya, sehingga
penalaran, kematangan, kesadaran dan sikap hidup yang terkait dengan pendidikan yang terjadi
dalam masyarakat selalu dinamis. Rasulullah telah memberikan tuntunan tentang bagaimana cara
pandang orang mukmin terhadap anak sebagai orang yang akan dididik seperti yang tercermin
adalah sebuah hadisnya:

ِّ ‫ُك ُّل َم ْو لُ ْو ٍد ي ُْو لَد ُ َعلَ ْي اَ ْل ِّفتْ َر ِّة فَأ َ َب َواْهُ يُ َه ِّودَانُهُ أَ ْو يُن‬
]26[...ُ‫َص َرا نُهُ أ َ ْو ُم َي ِّج ِّسا نُه‬
"Semua anak di lahirkan dalam keadaan fitrah maka orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai
Yahudi, Nasrani dan Majusi".
Dari hadis di atas dapat di pahami bahwa manusia yang baru lahir sudah membawa potensi, akan
tetapi potensi itu baru bisa berkembang dengan baik jika didukung oleh faktor lingkungan.
Tampaknya para pemikir Islam telah merumuskan aliran konvergensi walaupun tidak disebut
sebagai teori konvergensi jauh sebelum Sterm. Ibn Mizkawaih misalnya dalam bukunya Tahzib
akhlak berpendapat bahwa tiap benda itu mempunyai form atau bentuknya masing-masing
sehingga tidak bisa menerima bentuk lain. Pada manusia, meskipun mempunyai pembawaan yang
lemah bisa saja diubah menjadi cepat atau lambat melalui disiplin tertentu[27].
Ibn Sina salah seorang tokoh filosof muslim berpendapat bahwa seorang anak telah mempunyai
kemampuan-kemampuan alamiah, akan tetapi mengandalkan kemampuan tersebut tidak cukup
untuk mendidik seseorang, dan harus ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Seorang anak
yang lahir dari keluarga dokter belum tentu ia dapat mengikuti profesi keluarganya kalau ia tidak
di bekali dan dasari dengan bakat serta kecenderungan anak itu ataupun hal-hal lain yang
mempengaruhinya[28].
Menurut Al-Gazali, anak yang lahir telah membawa fitrahnya sendiri, kecenderungan-
kecenderungan serta warisan dari orang tuanya. Kesemuanya itu perlu diberi pendidikan. Jika ia
bengkok maka harus diluruskan, jika salah maka harus dibenarkan dan jika sudah benar maka
harus diarahkan pada pengembangannya[29]. Faktor internal dan eksternal keduanya sangat
berperan dalam perkembangan anak didik.
Berdasarkan uraian kedua tokoh tersebut, maka dapat di pahami bahwa:
1. Ada beberapa aliran yang mewarnai dunia pendidikan terutama cara memandang manusia
sebagai subjek sekaligus objek pendidikan dalam proses perkembangannya dan hubungannya
dengan proses belajar.
2. Islam telah memberi petunjuk tentang adanya konsep insan dan basyr dalam Al-Qur'an dan
yang mana kedua hal ini mengarh kepada potensi manusia dan lingkungan mnusia yang
mempengaruhi pendidikannya.
3. Tokoh-tokoh pemikir islm dalam mengajukan tesisnya tentang pendidikan mengarah kepada
aliran konvergensi yang mengakui adanya penyatuan kedua hal itu- melliu dan hereditas
berpengaruh dalam kehidupan manusia sebagai obyek atau manusia didik.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara operasionalaliran pendidikan Islam adalah paham atau pemikiran pendidikan Islam sebagai
titik tolak dalam membina dan mengembangkan potensi-potensi manusia serta hal-hal yang
mempengaruhinya sesuai pandangan Islam.
Berdasarkan pembahasan di atas, aliran-aliran pendidikan dibagi menjadi enam aliran, yaitu
sebagai berikut:
1. Aliran Nativisme,
2. Aliran Naturalisme,
3. Aliran Empirisme,
4. Aliran Konvergensi,
5. Aliran Progresivisme, dan
6. Aliran Konstruktivisme.
Dari aliran-aliran di atas, adapula aliran-aliran yang bergerak di bidang pendidikan Islam menurut
para tokoh pendidikan Islam, diantaranya yang berpendapat yaitu Ibn Mizkawaih dan Al-Gazali.
Menurut Ibn Mizkawaih, berpendapat bahwa seorang anak telah mempunyai kemampuan-
kemampuan alamiah, akan tetapi mengandalkan kemampuan tersebut tidak cukup untuk mendidik
seseorang, dan harus ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Seoranganak yang lahir dari
keluarga dokter belum tentu ia dapat mengikuti profesi keluarganya kalau ia tidak dibekali dan
dasari dengan bakat serta kecenderungan anak itu ataupun hal-hal lain yang mempengaruhinya.
Sedangkanmenurut Al-Gazali, berpendapat bahwa anak yang lahir telah membawa fitrahnya
sendiri, kecenderungan-kecenderungan serta warisan dari orang tuanya. Kesemuanya itu perlu
diberi pendidikan. Jika ia bengkok maka harus diluruskan, jika salah maka harus dibenarkan dan
jika sudah benar maka harus di arahkan pada pengembangannya. Faktor internal dan eksternal
keduanya sangat berperan dalam perkembangan anak didik.
Berdasarkan uraian di atas dapat di pahami bahwa:
1. Ada beberapa aliran yang mewarnai dunia pendidikan terutama cara memandang manusia
sebagai subjek sekaligus objek pendidikan dalam proses perkembangannya dan hubungannya
dengan proses belajar.
2. Islam telah memberi petunjuk tentang adanya konsep insan dan basyr dalam Al-Qur'an dan
yang mana kedua hal ini mengarh kepada potensi manusia dan lingkungan mnusia yang
mempengaruhi pendidikannya.
3. Tokoh-tokoh pemikir islm dalam mengajukan tesisnya tentang pendidikan mengarah kepada
aliran konvergensi yang mengakui adanya penyatuan kedua hal itu- melliu dan hereditas
berpengaruh dalam kehidupan manusia sebagai obyek atau manusia didik
B. Saran
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat dijadikan bahan refrensi baru akan kepenulisan
selanjutnya agar mendapatkan sedikit nilai kesempurnaan dari kepenulisan ini. Dengan tulisan
selanjutnya dapat menanggapi atau mengomentari bahkan mengkritik tulisan sederhana ini. Insya
Allah.
Part 2
Aliran-Aliran Utama dalam Pemikiran Pendidikan Islam - Aliran-aliran utama pemikiran
pendidikan Islam dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: Aliran Agamis-konservatif; aliran religius-
rasional; dan aliran pragmatis-instrumental.
Aliran Konservatif. Pendidikan dalam aliran ini cenderung bersikap murni keagamaan. Ilmu
dimaknai dengan pengertian sempit, hanya mencakup ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat ini (hidup
di dunia) hanya yang jelas membawa manfaat di akhirat. Untuk penuntut ilmu harus mengawali
belajarnya dengan kitab suci Al-Quran, dengan menghafal dan menafsirkan. Setelah itu
dilanjutkan dengan belajar al-Hadist. Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasirudin al-
Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi. Menurut aliran ini, ragam
ilmu diklasifikasikan menjadi:
Ilmu yang wajib dipelajari setiap individu, yaitu ilmu tentang kewajiban-kewajiban agama;
Ilmu yang wajib kifayahuntuk dipelajari (apabila sebagian warga suatu masyarakat telah
mempelajarinya maka warga yang lain tidak wajib lagi mempelajari), contoh: ilmu kedokteran,
ilmu hitung.
Sedangkan menurut al-Ghazali sendiri ilmu-ilmu pelengkap, termasuk di dalamnya filsafat dibagi
menjadi 4:
Ilmu ukur dan ilmu hitung, diperbolehkan dipelajari dan dilarang hanya jika jelas-jelas dapat
mengantarkannya ke ilmu yang tercela;
Ilmu mantik (logika), ilmu yang berkenaan dengan bentuk dalil (argumentasi);
Ilmu ketuhanan (teologi), ilmu yang berisi kajian tentang dzat Tuhan; dan
Ilmu kealaman.
Aliran Religius-Rasional. Beberapa tokoh dari aliran ini adalah: Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu
Sina, dan Ibnu Miskawaih. Ikhwan al-Shafa merumuskan ilmu sebagai gambaran tentang sesuatu
yang diketahui pada jiwanya. Lawan dari ilmu adalah kebodohan, yaitu tiadanya gambaran yang
diketahui pada jiwanya. Belajar dan mengajar adalah mengaktualisasikan hal-hal potensial,
melahirkan hal-hal yang “terpendam” dalam jiwa. Aktivitas tersebut bagi guru (orang berilmu)
dinamakan dengan mengajar, dan bagi pelajar dinamakan dengan belajar.
Jiwa pelajar adalah berilmu (mengetahui) secara potensial. Artinya, siap untuk belajar, atau
menurut istilah pendidikan sekarang educable (kesiapan ajar). Proses pengajaran adalah usaha
transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya
transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu (mengathui) secara potensial agar menjadi
berilmu (secara riil-aktual. Dengan demikian inti proses pendidikan adalah pada kiat transformasi
potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan "psikomotorik". Aliran religius-rasional
banyak membangun konsep-konsepnya dari pemikiran filsafat Yunani dan berusaha
menyelaraskan pemikiran filsafat Yunani dengan pandangan-pandangan dasar dari orientasi
keagamaan mereka.
Advertisement
Hal penting dari pemikiran Ikhwan al-Shafa dan tokoh sealiran lainnya adalah ijtihad (perenungan
intelektual) mereka dalam menafsirkan fenomena pendidikan secara sosiologis, bahwa pendidikan
pada tahap pertama merupakan sosialisasi atau proses “adaptasi” sosial. Mereka membedakan
antara “pengetahuan” dan “pendidikan”. Pengetahuan adalah cahaya batin yang melimpah dari
dalam jiwa; pendidikan adalah proses tumbuh kembang yang berada dalam kerangka sosial, yakni
pendidikan merupakan aktivitas sosial di mana tata nilai dan ideologi yang terbangun secara sosial
mempunyai peran nyata. Para ahli pendidikan rasionalis muslim mengakui akan kebutuhan
manusia terhadap kehidupan bermasyarakat atau kebutuhan manusia terhadap pembentukan
tatanan sosial-kemasyarakatan dalam istilah kita sekarang. Mereka membagi ragam disiplin ilmu
secara hirarkis sebagai berikut:
Ilmu-ilmu syar’iyah (keagamaan);
Ilmu-ilmu filsafat;
ilmu-ilmu riyadliyyat (pelatihan jiwa dan akal).
Dalam aliran ini pendidikan harus dipandang sebagai fenomena sosial yang tidak bisa dimengerti
dengan baik tanpa dikaitkan dengan perilaku manusia (masyarakat) dan hal- hal yang
mempengaruhinya: cita-cita, kepentingan dan distribusi potensi/kekuatan di masyarakat.
Aliran Pragmatis. Ibnu Khaldun adalah satu-satunya tokoh dari aliran ini. Pemikirannya meskipun
tidak kurang komprehensifnya dibanding kalangan rasionalis, dilihat dari sudut pandang tujuan
pendidikan, lebih banyak bersifat pragmatis dan lebih berorientasi pada aplikatif- praktis. Ia
membagi ragam ilmu yang perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan menjadi dua bagian:
Ilmu-ilmu yang bernilai intrinsik, seperti ilmu-ilmu syar’iyyat (keagamaan): tafsir, hadis, fikih,
kalam, ontologi dan teologi dari cabang filsafat;
Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu-ilmu jenis pertama, seperti bahasa Arab,
ilmu hitung, dan sejenisnya bagi ilmu syar’iy, logika bagi filsafat.
Aliran pragmatis yang digulirkan Ibnu khaldun merupakan wacana baru dalam pemikiran
pendidikan Islam. Ia mengakomodir ragam keilmuan yang nyata terkait dengan kebutuhan
langsung manusia, baik berupa kebutuhan spiritual-rohaniah maupun kebutuhan material.
Part 3
TOKOH PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA DAN PEMIKIRANNYA
BAB II
PEMBAHASAN
A. K.H. Ahmad Dahlan
1. Biografi Ahmad Dahlan
Beliau dilahirkan di kauman (Yogyakarta) tahun 1868 dan meninggal pada tanggal 25 Pebruari
1923. Nama kecilnya Muhammad Darwis. Ayahnya bernama. K.H. Abu Bakar, seorang imam dan
khatib masjid besar kraton Yogyakarta. Ibunya bernama Siti Aminah. Beliau berasal dari keluarga
yang didaktis dan alim dalam ilmu agama. Sejak kecil beliau diasuh dan dididik sebagai putera
kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan
kmitab-kitab agama. Menejelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada
beberapa ulama’ besar pada waktu itu. Diantaranya , K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqih),
K.H.Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis) ,Syekh Amin dan Sayyid Bakri (Qiraat Al-
Qur’an). Dalam usia relatif muda, beliau telah mampu menguasai beberapa disiplin ilmu
keislaman.
Setelah beliau lulus pendidikan dasar di madrasah dalam bidang nahwu, fiqih dan tafsir di
Yogyakarta, beliau pergi ke makkah pada tahun 1890 untuk menuntut ilmu di sana selama satu
tahun. Salah satu gurunya adalah Syekh Ahmad Khatib. Sekitar tahun 1903, beliau kembali ke
makkah dan menetap di sana selama dua tahun. Sepulang dari makkah beliau berganti nama Haji
Ahmad Dahlan. Kemudian beliau menikah dengan siti Waalidah putri Kyai Penghulu Haji
Fadhil.[1]
Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la
juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga
mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur
yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
2. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan Tentang Pendidikan Islam
Beliau mengatakan, uapaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari berpikir statis menuju
pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan.umat islam dididik agar cerdas, kritis, dan
memiliki daya analisis yang tajan dalam membaca dinamika kehidupan yang akan datang. Adapun
kunci bagi kemajuan umat islam adalah kemabali pada Al-Qur’an dan hadits, mengarahkan umat
islam pada pemahaman ajaran islam yang komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu
pengetahuan.
Pendidikan islam hendaknya menjadi media dan mampu mengembangkanal-ruh dan al-akal.hal
ini disebabkan di alam ini ada dua dimensi yaitu dimensi pisika dan metapisika. Manusia adalah
integrasi dari dua dimensi yaitu dimensi ruh dan jasad. Maka aktivitas pendidikan harus mampu
mengembangkan dimensi tersebut. Dan perlunya pengkajian ilmu pengetahuan secara langsung
sesuai prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Hadits.Ahmad Dahlan melihat bahwa problem epistemologi
pendidikan islam tradisional disebabkan karena ideologi ilmiahnya terbatas pada dimensi religius
yang membatasi pada pengkajian kitab-kitab klasik, khususnya dalam madzhab syafi’i. Sikap
ilmiah yang demikian mengakibatkan umat islam tidak mampu menganalisa ilmu pengetahuan
secara kritis sehingga kurag mampu berkompetisi secara preoduktif dan kreatif terhadap
perkembangan peradaban kekinian.
Menurut ahmad Dahlan pendidikan islam hendaknya diarahkan untuk membnetuk manusia
muslim yang berbudi pakerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu
keduniaan, serta bersedia berjuang demi kemajuan masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan ini,
hendaknya pendidikan islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik umum
maupun agama, untuk mempertajam intelektualitas dan memperkokoh spiritualitas peserta didik.
Upaya ini akan terwujud jika proses pendidikan bersifat integral dan epistemologi islam
hendaknya dijadikn landasan metodologis dalam kurikulum dan bentuk pendidikan yang
dilaksanakan. Menurut Ahmad Dahlan, Materi pendidikan adalah pengajaran Al-Qur’an dan
hadits, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, dan menggambar. Sistem pemdidikan yang
diapakai beliau adalah klasikal, beliau ingin menggabungkan sistem pendidkan belanda dengan
sistem pendiidkan tradisional secara integral.
Materi Al-Qur’an dan hadits yaitu ibadah, persmaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam
menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran Al-Qur’an dan hadits menurut akal,
kerjasama anatara agama-kebudayaan keamajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan,,nafsu
dan kehendak, demokratisasi, dan liberalisasi, kebebasan berpikir, dinamika kehidupan dan
peranannya, dan akhlak.
Komitmen ahmad dahlan terhadap pendidikan agama adalah sanagat kuat, untuk itu beliau masuk
orgnasisasi Budi Oetomo pada tahun 1909, untuk mendapatkan peluang mengajarkan pendidikan
agama kepada para anggotanya. Komitmen terhadap pendidikan selanjutnya menjadi salah satu
ciri khas organisasi yang didirikannya pada tahun 1912 yaitu Muhammadiyah.
Pandangan ahmad dahlan dalam pendidikan juga dapat dilihat dalam kegiatan pendidikan yang
dilaksanakan oleh Muhammadiyah. Dalam bidang pendidikan muhammadiyah melanjutkan model
sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Disamping itu ,
Muhammadiyah mendirikan sekolah yang agamis yaitu madrasah diniyah di minangkabau untuk
memperbaiki pengajian Al-Qur’an yang tradisional. Pada tanggal 8 Desember 1921,
Muhammadiyah mendirikan pondok Muhammadiyah sebagai sekolah pendidikan guru agama.
Dalam sekolah tersebut pelajaran umum diberikan oleh dua orang guru dari sekolah pendidikan
guru (kweekschool), sedangkan ahmad dahlan dan beberapa orang lainnya memberikan pelajaran
agama yang lebih mendalam.
Muhammadiyah berhasil melanjutkan model pembaruan pendidikan dikarenakan lingkungan
sosial yang dihadapi adalah terbatas pada pegawai, guru maupun pedagang. Kelompok ini banyak
menguasai perusahaan percetakan yang secara ekonomis sangat penting di masyarakat. Oleh
karena itu, muhammadiyah dengan model pendidikan barat ditambah dengan pendidikan agama,
mendapatkan hasil yang baik dalam kalangan ini. Diantara sekolah-sekolah yang tertua dan besar
yaitu :
a. Kweekschool Muhammadiyah, di Yogyakarta
b. Mu’allimin Muhammadiyah, di Solo, Yogyakarta dan Jakarta
c. Zu’ama/Za’imat di Yogyakarta
d. Kulliyah Muballigh/Muballigat di Padangpanjang Sumatera Tengah
e. Tabligh School dan HIK School di Yogyakarta
Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa ide-ide pendidikan menurut Ahmad Dahlan yaitu
a. Pembaruan di bidang lembaga pendidikan, yang semula sistem pesantren menjadi sistem
sekolah.
b. Beliau memasukkan pelajaran umum ke sekolah-sekolah agama atau madrasah
c. Perubahan pada metode pengajaran sosrogan menjadi metode yang bervariasi
d. Dengan organisasi Muhammadiyah beliau berhasil mengembangkan lembaga pendidikan
yang lebih bervariasi dan manajemen yang modern.[2]
B. K.H. A. Wahid Hasyim
1. Biografi
Wahid Hasyim yang akrab di sapa dengan Gus Wahid lahir pada hari jumat legi, tanggal 5 Rabiul
Awal 1333 H bertepatan dengan 1 juni 1914 di Desa Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Oleh
ayahnya Hadratus Syeh K.H. Hasyim Asy’ari beliau diberi nama Muhammad Asy’ari, terambil
dari nama neneknya. Karena di anggap nama tersebut tidak cocok dan berat maka namanya di
ganti Abdul Wahid, pengambilan dari nama seorang datuknya. Namun ibunya kerap kali
memanggil dengan nama Mudin. Sedangkan para santri dan masyarakat sekitar sering memanggil
dengan sebutan Gus Wahid, sebuah panggilan yang kerap ditujukan untuk menyebut putra seorang
Kyai di Jawa.
Wahid Hasyim berasal dari keluarga yang taat beragama, keluarga pesantrern yang berpegang erat
pada tradisi. Ia lahir, tumbuh dan dewasa dalam lingkungan pesantren. Ibunya bernama Nafiqah
putri K.H. Ilyas pemimpin pesantren Sewulan di madiun. Garis keturunan ayah dan ibunya
bertemu pada Lembu Peteng ( Brawijaya VI ), yaitu dari pihak ayah melalui Joko Tingkir ( Sultan
Pajang 1569-1587 ) dan dari pihak ibu melalui Kiai Ageng Tarub I. Sejak usia 5 tahun ia belajar
membaca Al Quran pada ayahnya setiap selesai sholat magrib dan dhuhur, sedang pada pagi hari
ia belajar di Madrasah Slafiyah di dekat rumahnya. Dalam usia 7 tahun ia mulai mempelajari
kitab Fath Al-Qarib ( kemenangan bagi yang dekat ) dan al-Minhaj al-Qawim ( jalan yang lurus ).
Sejak kecil minat membacanya sangat tinggi, berbagai macam kitab di telaahnya. Ia sangat
menggemari buku-buku kesusastraan Arab, khususnya buku Diwan asy-Syu’ara’ ( Kumpulan
penyair dengan syair-syairnya ).[3]
Sejak kecil ia terkenal sebagai seorang anak yang pendiam, peramah dan pandai mengambil hati
orang. Dikenal banyak orang sebagai orang yang gemar menolonh kawan, suka bergaul dengan
tidak memandang bangsa, atau memilih agama, pangkat dan uang. Terlalu percaya pada kawan,
suka berkorban, akan tetapi mudah tersinggung perasaannya dan mudah marah, akan tetapi dapat
mengatasi kemarahannya. Ketika berusia 12 tahun Wahid Hasyim telah menamatkan studinya di
Madrasah Salafiyah Tebuireng, lalu beliau belajar ke pondok Siwalan Panji, Sidoarjo, di pondok
Kyai Hasyim bekas mertua ayahnya. Di sana ia belajar kitab-kitab Bidayah, Sullamut Taufik,
Taqrib dan Tafsir Jalalain. Gurunya Kyai Hasyim sendiri dan Kyai Chozin Panji, namun ia hanya
belajar dalam hitungan hari yaitu selama 25 hari tidak sebagaimana umumnya santri.
Pengembaraan intelektual pesantrennya dilanjutkan di Pesantren Lirboyo, kediri, namun juga
untuk beberapa . Setelah itu ia tidak meneruskan pengembaraannya ke pesantren lain, tetapi
memilih tinggal di rumah dan belajar secara otodidak dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Di
dukung oleh tingkat kecerdasannya yang tinggi serta tingkat hafalannya yang kuat , dalam belajar
ia tidak mengalami kesulitan. Mengenai hal ini Saifuddin Zuhri menuturkan : “ Aku mendengar
bahwa K.H. A. Wahid Hasyim dan Muhammad Ilyas ketika masih sama-sama jadi santri di
Tebuireng dahulu, bukan hanya hafal seluruh bait-bait Alfiyah yang 1000 dengan arti maknanya,
tetapi juga mahir menghafalnya dari belakang ke muka. Padahal dari
muka ke belakang saja bukan main sulitnya.”[4]
Bukti lagi kecerdasan dan kecemerlangan pikiran K.H. A. Wahid Hasyim dikisahkan oleh Ahmad
Syahri sebagai berikut :
“ Kyai Wahid mudah menghafal nama tamu-tamunya, apalagi para pemimpin NU di
daerah-lazim disebut konsul-sebelum ada sebutan pengurus wilayah dan cabang.
Kecerdasannya juga terlihat dari cara beliau belajar bahasa Asing. Serta menangkap alur bicara
lawan diskusinya, sehingga bisa menanggapi dengan tajam”.
2. Kepribadian Wahid Hasyim
Wahid Hasyim hidup dalam lingkungan pesantren yang tentu sangat relegius yang membentuk
kepribadiannya dalam cara bergaul, beorganisasi, mendidik menjadi seorang pemimpin dan
bahkan menjadi seorang negarawan. Kepribadian Wahid Hasyim adalah kepribadian lintas batas,
artinya tidak sekedar di bentuk dari pergesekan,, dialektikanya dengan komunitas pesantren dan
NU, tapi dengan berbagai komunitas seperti dengan organisasi pergerakan Islam, partai politik dan
juga birokrasi pemerintahan ketika beliau menjabat sebagai Mentri Agama.
3. Pemikiran Pendidikan K.H. A. Wahid Hasyim
a. Prinsip-prinsip pendidikan.
Pemikiran pendidikan Islam Wahid Hasyim dapat di cermati pada beberapa karya beliau yang di
muat di media yang setidaknya terdapat 7 judul, seperti Abdullah Oebayd sebagai pendidik. Dalam
buku ini K.H.A. Wahid Hasyim membeberkan beberapa prinsip dalam pendidikan yaitu :
1) Percaya kepada diri sendiri atau prinsip kemandirian.
2) Kesabaran.
3) Pendidikan adalah proses bukan serta merta.
4) Keberanian.
5) Prinsip tanggung jawab dalam menjalankan tugas.
b. Orientasi Pendidikan Islam.
Sebagai seorang santri pendidik agama, fokus utama pemikiran Wahid Hasyim adalah peningkatan
kualitas sumberdaya umat Islam. Upaya peningkatan kualitas tersebut menurut Wahid Hasyim,
dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren. Dari sini dapat dipahami, bahwa kualitas
manusia muslim sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani dan akal.
Kesehatan jasmani dibuktikan dengan tiadanya gangguan fisik ketika berkreatifitas. Sedangkan
kesehatan rohani dibuktikan dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang kemudian
diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Disamping sehat jasmani dan rohani, manusia muslim
harus memiliki kualitas nalar (akal) yang senantiasa diasah sedemikian rupa sehingga mampu
memberikan solusi yang tepat, adil dan sesuai dengan ajaran Islam.
Mendudukkan para santri dalam posisi yang sejajar, atau bahkan bila mungkin lebih tinggi, dengan
kelompok lain agaknya menjadi obsesi yang tumbuh sejak usia muda. Ia tidak ingin melihat santri
berkedudukan rendah dalam pergaulan masyarakat. Karena itu, sepulangnya dari menimba ilmu
pengetahuan, dia berkiprah secara langsung membina pondok pesantren asuhannya ayahnya.
Pertama-tama ia mencoba menerapkan model pendidikan klasikal dengan memadukan unsur ilmu
agama dan ilmu-ilmu umum di pesantrennya. Ternyata uji coba tersebut dinilai berhasil. Karena
itu ia kenal sebagai perintis pendidikan klasikal dan pendidikan modern di dunia pesantren. Untuk
pendidikan pondok pesantren Wahid Hasyim memberikan sumbangsih pemikirannya untuk
melakukan perubahan. Banyak perubahan di dunia pesantren yang harus dilakukan. Mulai dari
tujuan hingga metode pengajarannya.
Dalam mengadakan perubahan terhadap sistem pendidikan pesantren, ia membuat perencanaan
yang matang. Ia tidak ingin gerakan ini gagal di tengah jalan. Untuk itu, ia mengadakan langkah-
langkah sebagai berikut:
1) Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya
2) Menggambarkan cara mencapai tujuan itu
3) Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh-sungguh tujuan dapat dicapai.
Menurut beliau, tujuan pendidikan adalah untuk menggiatkan santri yang berahlakul karimah,
takwa kepada Allah dan memiliki ketrampilan untuk hidup. Artinya dengan ilmu yang dimiliki ia
mampu hidup layak di tengah masyarakat, mandiri, tidak jadi beban bagi orang lain. Santri yang
tidak mempunyai ketrampilan hidup ia akan menghadapi berbagai problematika yang akan
mempersempit perjalanan hidupnya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan
Wahid Hasyim bersifat Teosentris ( Ketuhanan ) sekaligus Antroposentris ( kemanusiaan ).
Artinya bahwa pendidikan itu harus memenuhi antara kebutuhan duniawi dan ukhrowi, moralitas
dan ahlak, dengan titik tekan pada kemampuan kognisi ( iman ), afeksi ( ilmu ) dan psikomotor (
amal, ahlak yang mulia ).[5]
c. Materi Pendidikan Islam.
Materi yang di rancang oleh Wahid Hasyim dalam pendidikan terbagi menjadi tiga
: Pertama, ilmu-ilmu agama Islam seperti fiqih, tafsir, hadist dan ilmu agama lainnya. Kedua, ilmu
non agama seperti ilmu jiwa, matematika, dan Ketiga, kemampuan bahasa, yaitu Bahasa Inggris,
Belanda dan Bahasa Indonesia.
d. Metode Pendidikan.
Adapun metode pendidikan yang dianut oleh K.H.A. Wahid Hasyim yaitu banyak mencontoh
model pengajaran ayahnya Hasyim Asy’ari berupa penanaman kepercayaan diri yang tinggi
terhadap muridnya. Ini sebagai bukti bahwa pola pemikiran Wahid Hasyim dengan ayahnya yaitu
Hasyim Asy’ari banyak sekali persamaannya, atau dengan kata lain bahwa sistem dan tehnik yang
diterapkan Wahid Hasyim merupakan kelanjutan dari sistem dan tehnik Hasyim Asy’ari. Adapun
contohnya seperti :
1) Tanggung jawab murid
- Tidak menunda-nunda kesempatan dalam belajar atau tidak malas.
- Berhati-hati, menghindari hal-hal yang kurang bermanfaat.
- Memuliakan dan memperhatikan hak guru , mengikuti jejak guru.
- Duduk dengan rapi bila berhadapan dengan guru.
- Berbicara dengan sopan dan santun dengan guru.
- Bila terdapat sesuatu yang kurang bisa dipahami hendaknya bertanya.
- Pelajari pelajaran yang telah diberikan oleh guru secara istiqomah.
- Pancangkan cita-cita yang tinggi.
- Tanamkan rasa antusias dalam belajar.[6]
2) Tanggung jawab guru
- Bersikap tenang dan selalu berhati-hati dalam bertindak.
- Mengamalkan sunnah Nabi.
- Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih gemerlap dunia.
- Berahlakul karimah dan selalu menabur salam.
- Menghindarkan diri dari tempat-tempat yang kotor dan maksiat.
- Memberi nasehat dan menegur dengan baik jika ada anak yang bandel.
- Mendahulukan materimateri yang penting dan sesuai dengan profesi yang dimiliki.[7]

C. Zainuddin Labay El-Yunus


1. Biografi
Syekh ZaInuddin Labay el-Yunisy lahir di Bukit Surungan padangpanjang, Pada tanggal 12 Rajab
1308/1890 M. Ia meninggal pada tahun 1924 dalam usia 34 tahun. Pada usia 8 tahun ia sekolah di
Government Padangpanjang sampai kelas IV, karena tidak puas dengan metode mengajar pada
waktu itu. Secara autodidak, ia banyak membaca buku, baiak agama maupun umum. Kemudian ia
berguru kepada H. Abdullah Ahmad, H. Abdullah Abbas, H. Abdul Karim Amrullah. Dalam
perjalanan intelektualnya beliau lebih banyak belajar secara autodidak.
2. Pemikiran Pendidikan
Untuk mewujudkan cita-citanya pada tanggal 10 oktober 1915, beliau mendidrikan Diniyah
School di Padangpanjang yang sarat dengan ide pembaharuan. Ia melakukan perombakan terhadap
sistem pendidikan, menyusun kurikulum dan daftar pelajaran yang lebih sistematis serta mengubah
sistem pendidikan surau menjadi sistem pendidikan klasikal. Sebagai pengantarnya adalah bahasa
arab, materi pendidikan yang diberikan meliputi pendidikan agama dan umum yang buku-bukunya
diambil dari Mesir dan Belanda.
Lembaga pendidikan diniyah school memperkenalkan sitem pendidikan modern yaitu sistem
klasikal dan kurikulum yang teratur. Materi pendidikan yang ditawarkan adalah ilmu agama dan
ilmu umum. Ilmu umum yang diajarkan adalah bahasa asing, ilmu bumi, sejarah dan matematika.
Murid-murid di diniyah school pada umunya diseleksi dengan cermat dan memenuhi syarat-syarat
yang ada, yaitu murid dalam satu kelas memeliki rata-rata umurt dan kesanggupan yang sama.[8]
Dalam mengajarkan ilmu agama Zainuddin lebih banyak mengambil metode Mesir, sedangkan
dalam mengajarkan ilmu umum beliau banyak mengambil gagasan pembaruan dari Musthofa
Kemal Pasya, Muhammad Abduh, Dan Rasyid Ridha. Kedua pendekatan ini terlihat jelas dari
kitab yang digunakan di lembaga ini. Di samping kitab yang dikarangnya sendiri ia juga
menggunakan kitab arab sebagaimana pendidikan Mesir untuk ilmu agama dan ilmu umum dengan
menggunakan literatur Barat.[9]
Sebelum pembelajaran Al-Qur’an dan ilmu-ilmu lainnya, susunan pelajaran diniyah school
dimulai dengan mengajarkan pengetahuan bahasa arab,hal ini karena bahas arab adalah alat utama
yang perlu dikuasai peserta didik agar mudah meahami ilmu yang lain. Metodeyang ditertapkan
Zainuddin untuk mnemperkenalkan bahasa arab dimulai dengan tulisan arab dan menyusun
kalimat dalam bahasa arab melayu, baru kemudian bahasa arab sesungguhnya. Untuk kelas
rendahj, dia menyusun sendiri buku pelajaran muridnya dalam bahasa arab melayu. Kemudian
untuk kelas menengah, bahasa arab yang digunakan adalah bahasa arab sederhana, sementara
untuk kelas tinggi ia menggunakan buku terbitan Kairo dan beirut.[10]
D. Sayyed Muhammad Naquib Al-Attas
1. Biografi
Beliau lahir di Bogor Jawa Barat pada tangal 1931. Pada waktu indonesia berada di bawah
kolonialisme belanda. Beliau adalah keturunan bangsawan.
2. Pemikran Pebdidikan
Menurut beliau ada dua macam pengetahuan. Pertama, adalah santapan dan kehidupan jiwa yang
dioeroleh dari Allah. Yang meliputi Al-Qur’an , hadits, syari’ah, ilmu ladunni dan hikmah yang
berupa pengetahuan dan kearifan. Konsep pengetahuan dan kearifan berkaitan erat dengan
moralitas dan pendidikan. Kearifan menurut Al-Attas adalah pengetahuan yang diberikan oleh
Allah untuk memungkinkan si pemilik pengetahuan menerapakan kebijaksanaan sehingga timbul
keadilan.[11] Keadilan itu secara inhern mengandung pengertian pengetahuan. Jadi keadilan
adalah keadaan eksistensial dari keraifan yang dinyatakan dalam apa yang dapat ditangkap
pancaindera dan dapat dipahami akal budi serta dalam alam spiritual yang berkaitan dengan jiwa
manusiayaitu jiwa rasional dan iiwa hewani. Kedua, tujuan pengajaran yang operasionalistik dan
pragmatis cara memperolehnya dapat dilakukan melalui pengalaman, pengamatan dan penelitian.
Pengetahuan ini bertujuan membentuk manusia yang baik dan beradab. Sebab bila masing-masing
manusia memiliki miniatur atau representasi mikrokosmos dari makrokosmos sudah baik dan
beradab, maka dengan sendirinya semuanya menjadi baik dan beradab.[12]
Klasifikasi ilmuj menurt Al-Attas, yaitu pertama, ilmu-ilmu agama yang meliputi Al-Qur’an dan
hadits, syari’ah, teologi, metafisika islam (tasawuf), bahasa arab, tata bahasa. Kedua ilmu-ilmu
rasional, intelekyual dan filosofis yang meliputi kemanusiaan, alam, terapan, dan teknologi.
E. K. H. Hasyim Asy’ari
1. Biografi
Beliau lahir di desa Nggedang Jombang Jawa Timur, pada tanggal 25 Juli 1871. Nama
lengkapnya adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn Abd Wahid Ibn Abd Halim yang mempunyai
gelar pangeran Bona ibn Abd al-Rahman yang dikenal dengan jaka tingkir sultan hadiwijaya ibn
Abdullah ibn abd Aziz ibn abd al-Fattah ibn Maulana Ishaq dari sunan giri.[13]
Guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri yang mendidikny membaca Al-Qur’an dan literatur
islam lainnya. Jenjang pendidikan yang ditempuh beliau adalah di berbagai pesantern. Pada
awalnya, beliau menjadi santri di pesantren Wonokojo Probolinggo, lalu pindah di langitan,
Tuban. Dari langitan pindah ke bangkalan yang diasuh oleh kyai kholil. Dan terakhir sebelum ke
Makkah beliau sempat nyantri di pesantren siwalan panji, sidoarjo. Pada pesantren terakhir
inilahbeliau diambil menantu oleh Kyai Ya’qub pengasuh pesantren tersebut.[14] Sepulang dari
Makkah untuk mengamalkan dan mengembangkan ilmunya beliau membuka Pesantren Tebuireng
pada tanggal 26 Rabi’ul Awwal tahun 1899 M. Pada tahun 1919 beliau mendirikan madrasah
Salafiyah sebagai tangga untuk measuki tingkat menengah pesantren Tebuireng. Pada tahun 1929
beliau menunjuk K.H. Ilyas menjadi kepala Madrasah Salafiyah, maka di bawah pimpinan K.H.
Ilyas dimasukkan pengaetahun umum ke dalam madrasah yaitu
1. Membaca dan menulis huruf latin
2. Mempelajari bahasa indonesia
3. Mempelajari ilmu bumi dan sejarah indonesia
4. Mempelajari ilmu hitung[15]
2. Pemikiran pendidikan.
Diantara karaya K.H. Hasyim Asy’ari yang sangat monumental yaitu kitab adab al-alim wa al-
muta’alim fima yahtaj ilah al-muta’allim fi ahuwal ta’allum wa ma yataqaff al-muta’allim fi
maqamat ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1451 H. Kitab tersebu terdiri dari 8 bab,
yaitu keutamaan ilmu serta keutamaan mengajar, etika yang harus diperhatikan dalam belajar
mengajar, etika seorang murid terhadap guru, etika murid terhadap pelajaran, etika yang harus
dipedomani oleh guru, etika guru ketika akan mengajar, etika guru terhadap murid-muridnya dan
etika terhadap buku. Dari 8 bab dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu
a. Signifikansi pendidikan
Berkaitan dengan pendidikan , di dalam kitab tersebut beliau banyak mengutip ayat-ayat Al-
Qur’an yang menjelaskan keutamaan ilmu dan orang yang berilmu. Dan dalam pembahasan bab
pertama dilengkapi dengan berbagai hadits Nabi dan pendapat berbagai ulama’. Diantara isinya
yaitu tentang tujuan ilmu pengetahuan adalah mengamalkannya, mkasudnya agar ilmu yang
dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal di kehidupan akhherat, syariat mewajibkan menuntut
ilmu dan memperoleh pahala yang besar, ilmu merupakan sifat yang menjadikan jelas identitas
pemiliknya.,bertauhid itu harus mempunyai iman. Maka barang siapa beriman maka ia harus
bertauhid. Keimanan mewajibkan adanya syariat, sehingga orang yang tidak menjalankan syariat
maka berarti ia tidak beriman dan bertauhid. Sementara orang yang bersyariat harus beradab.
Dengan demikian beradab berarti ia juga bertauhid, beriman dan bersyariat.
Dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu pertama bagai murid hendaknya
berniat suci, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi, jangan melecehkan dan
menyepelekannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmunya meleuruskan niat, tidak
mengharapkan materi semata-mata. Dalam penjelasannya tidak ada definisi khusus tentang
belajar. Tetapi yang menjadi titik tekan pengertian belajar adalah ibadah mencari ridha Allah yang
mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Belajar harus
diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilia islam, bukan hannya sekedar
menghilangkan kebodohan.[16]
b. Tugas dan tanggung jawab murid
1) Etika yang harus diperhatikan dalam belajar
Etika dalam belajar yaitu membersihkan hati dari keduniawian, membersihkan niat, tidak
menunda-nunda kesempatan belajar. Sabar dan qana’ah,pandai mengatur waktu,menyederhanakan
makan dan minum, bersikap hati-hati (wara’), menghindari makanan dan minuman yang
menyebabkan kemalasan dan kebodohan, menyedikitkan waktu tidur, meninggalkan hal-hal yang
kurang berfaedah.
2) Etika seorang murid terhadap guru
Etika seorang murid terhadap guru yaitu memperhatikan dan mendengarkan apa yang disampaikan
oleh guru, memilih guru yang wara’ dan profesional, mengikuti jejak-jejak guru, memuliakan
guru, memperhatikan hak guru, bersabar terhadap kekerasan guru, berkunjung ke rumah guru,
duduk dengan rapi dan sopan ketika berhadapan dengan guru, berbicara dengan sopan dan lemah
lembut, mendengarkan fatwanya, jangn sekali-kali menyela-nyela ketika guru sedang
menjelaskan, menggunakan anggota yang kanan ketika menyerahkan sesuatu kepadanya.
3) Etika murid terhadap pelajaran
Etika murid terhadap pelajaran yaitu memperhatikan ilmu yang fardhu ‘ain, mempelajari ilmu-
ilmu yang mendukung ilmu fardhu ‘ain, berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf ulama’,
mendiskusikan dan menyetorkan hasilnya kepada orang yang dipercaya, menganlisa dan
menyimak ilmu, mempunyai cita-cita tinggi, bergaul dengan orang yang ilmu lebih tinggi, ucapkan
salam ketika sampai di majlis ta’lim, hendaklah bertanya jika belum paham,, jangan mendahukui
antrian, selalu membawa catatan, pelajari pelajaran yang telah diberikan, sealalu semanagat dalam
belajar.
c. Tugas dan tanggung jawab guru
1) Etika seorang guru
Etika yang harus dimiliki seorang guru antara lain : selalu mendekatkan diri kepada Allah, takut
kepada Allah, bersikap tenang, wara’, khusu’, mengadukan persoalan kepada Allah, tidak
menggunakan untuk meraih keduniawian semata, zuhud, menghindari hal-hal yang rendah,
menghindari tempat-tempat yang kotor dan tempat ma’siyat, mengamalkan sunnah Nabi, bersikap
ramah, ceria, suka menebarkan salam, semangat menambah ilmu pengetahuan, tidak sombong,
membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.
2) Etika guru dalam mengajar
Etika guru ketika mengajar yaitu mensucikan diri dari hadts dan kotoran, berpakaian rapi, sopan
dan berbau wangi, berniat ibadah, menyampaikan perintah allah, selalu membaca untuk
menambah ilmu pengetahuan, mengucapkan salam ketika masuk kelas, berdo’a dahulu sebelum
memulai pelajaran, berpenampilan yang kalem, menjauhkan diri dari banyak bergurau dan tertawa,
jangan mengajar ketikakondisi marah, lapar, dan mengantuk, mengambil tempat duduk yang
strategis, mendahukukan materi yang penting, menciptakan ketenangan dalam belajar, dan
memberikan kesempatan bertanya jika ada yang belum jelas atau belum paham.
3) Etika terhadap buku, alat pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Etika terhadap pelajaran yaitu berusaha memiliki buku yang diajarkan, merelakan dan
mengizinkan apabila ada teman yang pinjam, meletakkan buku pelajaran di tempat yang
terhormat, memeriksa dahulu ketika membeli atau meminjam buku, , bila menyalin buku
pelajaran syari’ah hendaknya bersuci dahulu dan mengawalinya dengan basmalah.
F. Prof. Dr. Mahmud Yunus
1. Biografi
Mahmud Yunus lahir di Batusangkar, Sumatra Barat pada tanggal 10 Pebruari 1899 dan wafat
pada tanggal 16 Januari 1982. Beliau termasuk tokoh pendidikan islam indonesia yang gigih
memperjuangkan masuknya pendidikan agama ke sekolah umum dan ikut berusaha
memperjuangkan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN).
2. Usaha dan Pemikiran Pendidikan
Usaha yang dilakukan Mahmud Yunus di bidang pendidikan setelah kembali ke indonesia yaitu
memperbaruai madrasah yang pernah dipimpinnya di sungayang yang bernama al-Jami’ah al-
Islamiyah, dengan mendirikan sekolah yang kurikulumnya memadukan ilmu agama dan ilmu
umum yaitu Normal Islam. Madrasah ini yang pertama kali memiliki Laboratorium ilmu fisika
dan kimia di Sumatra Barat. Pembaruan di diutamakan pada metode mengajar bahasa arab.
Mahmud Yunus memilki komitmen dan perhatian yang besar terhadap upaya membangun,
meningkatkan dan mengembangkan pendidikan agama islam, Diantara gagasan dan pemikirannya
adalah :
a. Dari segi tujuan pendidikan islam, hendaknya lulusan pendidikan islam mutunya lebih baik
dan mampu bersaing dengan lulusan sekolah yang sudah maju.
b. Dari segi kurikulum,beliau menawarkan pengajaran bahasa arab yang integrated antara satu
cabang dengan cabang lainnya dalam ilmu bahasa arab.
c. Dalam bidang kelembagaan, perlu mengubah sistem yang bercorak individual kepada sistem
pengajaran klasikal.
d. Dari segi metode pengajaran, hendaknya cara mengajarkan agama sesuai dengan tingkat usia
dan jenjang pendidikan dengan menggunakan metode yang bervariasi.[17]
G. Muhammad Natsir
1. Biografi
Beliau lahir di jembatan berukir, alahan panjang, kabupaten Solok, Sumatra Barat pada tanggal 17
Juli 1908. Ibunya bernama khadijah, sedangkan ayahnya bernama Mohammad Idris Sutan
Saripado, seorang pegawai rendah yang pernah menjadi juru tulis pada kantor kontroler di
Mininjau dan sipir penjara di Sulawesi Selatan.
2. Gagasan dan pemikiran
Gagasan dan pemikiran Beliau berbicara tentang beberapa komponen pendidikan yaitu :
a. Tentang peran dan fungsi pendidikan, pendidikan harus mampu membimbing manusia
mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani maupun rohani secara sempurna, menjadikan
anak didik berakhlak mulia, membentuk manusia yang jujur dan benar, membawa manusia
menjadi hamba Allah SWT.
b. Tentang tujuan pendidikan Islam, pendidikan harus mampu menghasilkan manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.
c. Tentang dasar pendidikan, tauhid harus dijadikan dasar pendidikan.
d. Tentang ideologi dan pendekatan dalam pendidikan,konsep pendidikan integral, harmonis
dan universal harus diapakai.
e. Tentang bahasa asing, bahwa bahas asing amat besar peranannya dalam mendukung
kemajuan dan kecerdasan bangsa.
H. Ki Hajar Dewantara
1. Biografi
Beliau lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta dan wafat pada tanggal 26 April 1959.
Ayahnya Suryaningrat, putra Paku alam III. Beliau adalah bapak pendidikan Nasional indonesia.
Prinsip pendidikan yang sangat demokratis dari belaiu adalah ing ngarso sing tulodo (di depan
memberi contoh), ing madya mangun karso ( di tengah membangkitkan kreativitas), dan tut wuri
handayani (di belakang memberikan pengawasan).
2. Gagasan dan pemikiran pendidikan
a. Tentang Visi, misi, dan tujuan pendidikan, pendidikan sebagai alat perjuangan untuk
mengangkat harkat, martabat dan kemjuan manusia secara universal, sehingga mampu berdiri
kokoh dan bersaing dengan bangsa lain.
b. Kurikulum (mata pelajaran ), untuk anak usia TK, hendaknya diajarkan, permainan,
olahraga, menyanyi, menari, cerita berwujud dongeng, dan pelajaran mengenal tempat di
sekelilingnya. Untuk Taman Muda (masa wiraga wirama), hendaknya diajarkan : olahraga,
pencak, menari, menyanyi, bahasa dan cerita kesusasteraan, dan pengetahuan tentang kodrat alam.
Untuk taman dewasa (masa wirama) hendaknya diajarkan olahraga, menari, kesenian, bahasa dan
kesusateraan daerah dan indonesia, bahasa asing, koperasi, majalah dan lain-lain.
c. Pendidikan budi pakerti, yang ditekankan pada pembentukan karakter, perilaku dan
kepribadian yang baik.
d. Pendidikan agama didasarkan pada toleransi, kebebasn menyatakan keagamaan.
e. Wawasan global internasional, hendaknya diajarkan bahasa asing yaitu bahasa inggris.
Bahasa arab, dan bahasa jerman agar mampu berhubungan dengan dunia internasional.
f. Sistem pondok, memiliki banyak keuntungan yaitu hemat biaya, membangun kebersamaan,
kesederhanaan hidup, keberanian berkorban, dan pemanfaatn waktu sebanyak-banyaknya
I. K. H. Imam Zarkasyi
1. Biografi
Beliau lahir di Gontor , Ponorogo Jawa Timur pada tanggal 21 Maret 1910, dan wafat pada tanggal
30 maret 1985. ayahnya bernama Santausa Annam Bashri, dari pangeran Hadiraja Adipati
merupakan generasi ketiga dari pimpinan gontor lama dan generasi kelima dari pangeran Hadiraja
Adipati Anom, putra kesepuhan sultan cirebon. Sedangkan ibunya adalah keturunan bupati
suriadiningrat.
2. Pemikiran pendidikan
a. Pembaruan metode dan sistem pendidikan
b. Pembaharuan metode dan sistem pendidikan pesantren di gontor yaitu menerapkan sistem
klasikal dalam bentuk penjenjangan dalam jangka waktu yang ditetapkan, memperkenalkan
kegiatan di luar jam pelajaran seperti olahraga, kesenian, keterampilan, pidato dalam tiga bahasa
(indonesia, arab, inggris), pramuka dan organisasi pelajar, perpaduan sistem sekolah dengan sistem
asrama (pesantren) tetap dipertahankan, menganjurkan agar para santri memiliki kitab yang
dipakai di pesantren tradisional,dan menerapkan disiplin yang ketat.
c. Kurikulum pesantren
d. Kurikulum yang diterapkan Imam Zarkasyi di pondok pesantren modern Gontor yaitu 100%
umum dan 100% agama. Disamping pelajaran tafsir, hadits, fiqih, ushul fiqh, beliau juga
mengajarkan pengetahuan umum seperti, ilmu alam, ilmu hayat, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu
pasti, ilmu sejarah, ilmu jiwa dan lain-lain. Mata pelajaran yang ditekankan dan harus menjadi
karakteristik lembaga pendidikannya yaitu pelajaran bahasa arab dan bahasa inggris.
e. Pembaharuan Struktur dan sistem manajemen pesantren
f. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran islam imam Zarkasyi dan dua saudaranya
mewakafkan pondok pesantren gontor kepada badan wakaf pondok modern gontor.dengan
ditandatangani piagam penhyerahan wakaf, maka pondok modern gontor tidak lagi menjadi milik
pribadi, tetapi menjadi milik umat islam dan semua umat islam bertanggung jawab atasnya.
g. Pembaharuan Pola pikir santri dan kebebasan pesantren
h. Setiap santri ditanamkan jiwa agar berdikari dan bebas. Sikap ini tidak saja belajar dan
berlatih mengurusnya sendiri dan menentukan jalan hidupnya di masyarakat, tetapi juga pondok
modern gontor harus tetap independen dan tidak bergantung kepada pihak lain. Hal ini diperkuat
dengan semboyan gontor di atas dan untuk semua golongan. Kemandirin pondok pesantren gontor
terlihat adanya kebebasan mennetukan jalan hidupnya kelak. Imam zarkasyi sering mengatakan
gontor tidak mencetak pegawai tetapi mencetak majikan untuk dirinya sendiri.[18]

Anda mungkin juga menyukai