Anda di halaman 1dari 18

PAPER 1

HAKIKA ANAK SEBAGAI SUBJEK


PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Pada Mata Kuliah


Analisis Pengembangan PAUD dan PLS

Malim Soleh Rambe


(19169015)

Dosen Pengampu
Prof. Dr. Jamaris, M.Pd.
Prof. Dr. Solfema, M.Pd.

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM DOKTOR PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
TAHUN 1442 H / 2020 M

1
i

2
A. Ringkasan Materi (Maks 2 Halaman)

Pandangan anak adalah potensi menyatakan bahwa, sebagaimana John


Dewey, anak memiliki kekuatan (potensi) alamiah yang diwarisi sejak lahir
(man's natural power) yaitu bakat dan kemampuan (predisposisi) atau potensi
dasar berupa akal sehingga anak didik dapat mengatasi segala problematika
hidupnya baik yang berupa tantangan, hambatan, ancaman maupun gangguan
yang timbul dari lingkungannya.Sehubungan dengan itu Wasty Soemanto
menyatakan bahwa akal sama dengan intelegensi yang berkaitan dengan potensi
untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha
penyesuaian terhadap situasi yang kurang dikenal atau dalam pemecahan masalah.
Dengan demikian, potensi yang dimiliki manusia mempunyai kekuatan-
kekuatan yang harus dikembangkan, dan hal ini menjadi perhatian John Dewey.
Dari situlah nampak bahwa J. Dewey menempatkan manusia sebagai makhluk
biologis yang utuh dan menghormati harkat dan martabat manusia sebagai subyek
di dalam hidupnya. Adapun sebagai bentuk penghormatannya terhadap harkat dan
martabat manusia sebagai subyek di dalam hidupnya, J. Dewey meletakkan dasar-
dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak untuk bersikap dan berbuat sesuai
dengan cara dan kemampuannya masing-masing dalam upaya meningkatkan
kecerdasan dan daya kreasi anak tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh
orang lain.
Kemudian konsep anak investasi adalah penempatan dana/Penukaran uang
dengan bentuk-bentuk kekayaan lain selama periode tertentu salah satunya adalah
anak atau pendidikan, yang diharapkan dapat memperoleh penghasilan yang lebih
meningkat dari nilai investasi. Sedangkan pengertian investasi menurut Fitz
Gerald (1978) Yaitu aktivitas yang berkaitan dengan usaha penarikan sumber-
sumber yang dipakai untuk mengadakan modal barang pada saat sekarang ini.
Barang modal tersebut akan menghasilkan aliran produk baru di masa yang akan
datang berupa nilai atau jasa. Fitz Gerald juga mengungkapkan bahwa investasi
yaitu aktivitas yang berkaitan dengan usaha penarikan sumber-sumber untuk
dipakai mengadakan barang atau jasa. Dari modal tersebut akan dihasilkan aliran
produk baru di masa yang akan datang berupa nilai atau keuntungan salah satunya
adalah pendidikan.
Memberi pendidikan yang baik untuk anak merupakan investasi jangka
panjang tak hanya buat orang tua, tetapi juga buat masa depan si anak. Sebab
kebiasaan, karakter, dan pencapaian seseorang berasal dari kebiasaan yang
dipelajarinya saat kecil.Apalagi di era persaingan yang semakin ketat dan
perkembangan yang semakin pesat, seseorang dituntut mau tak mau harus
menjadi bagian dari masyarakat global yang berdaya saing tinggi, berwawasan
luas, dan terbuka terhadap dunia.

3
Sementara pandangan bahwa anak adalah kertas putih/kosong, hal ini
para tokoh aliran “Empirisme” atau disebut juga aliran enviromnetalisme
berpendapat bahwa anak dilahirkan tanpa potensi apapun, anak lahir sebagai
“papan kosong” (tabula rasa). Perkembangan individu itu sepenuhnya ditentukan
oleh faktor lingkungan/pendidikan, sedangkan faktor dasar/ pembawaan tidak
berpengaruh sama sekali. Aliran empririsme ini menjadikan faktor
lingkungan/pembawaan maha kuasa dalam menentukan perkembangan seseorang
individu. Tokoh aliran ini adalah John Locke. 15 Pendapat John Locke yang
selalu dipandang sebagai ide besar empirisme adalah pikiran adalah tabula rasa
(batu tulis yang kosong).
Dalam pemikiran pendidikan Islam, fitrah penciptaan manusia
merupakan diskursus yang banyak dibahas oleh para ahli, mengingat salah satu
aspek pendidikan Islam adalah upaya menumbuhkembangkan potensi manusia
yang dibawa sejak lahir. Potensi inilah yang dalam konteks pendidikan Islam
disebut dengan fitrah. Ahmad Tafsir menegaskan bahwa fitrah adalah potensi.
Potensi adalah kemampuan. Dalam hal ini fitrah dapat disebut sebagai pem-
bawaan. Tafsir menghubungkan fitrah dengan hadits yang Artinya: “Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua ayah dan ibunyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kemudian, Muhaimin (2001: 18), membagi fitrah menjadi beberapa macam,
yakni sebagai berikut: Fitrah beragama, Fitrah berakal budi, Fitrah kebersihan dan
kesucian, Fitarh berakhlak, Fitrah kebenaran, Fitrah kemerdekan. Dari berbagai
pengertian fitrah diatas, dapat disimpulkan bahwa fitrah terbagi menjadi dua,
yaitu: Pertama fitrah ilahiyyah (Kecendrungan bertauhid dan beragama). Ke dua
yaitu fitrah jasadiyyah yang terkait dengan alat-alat potensial dan kemampuan-
kemampuan dasar yangdimiliki manusia.
Pandangan tentang anak adalah keturunan, secara umum apa yang
dimaksud dengan anak adalah keturunan atau generasi sebagai suatu hasil dari
hubungan kelamin atau persetubuhan (sexual intercoss) antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan baik dalam ikatan perkawinan maupun diluar
perkawinan. Kemudian di dalam hukum adat sebagaimana yang dinyatakan oleh
Soerojo Wignjodipoero yang dikutip oleh Tholib Setiadi, dinyatakan bahwa:
kecuali dilihat oleh orang tuanya sebagai penerus generasi juga anak itu
dipandang pula sebagai wadah di mana semua harapan orang tuanya kelak
kemudian hari wajib ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelindung orang
tuanya kelak bila orang tua itu sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari
nafkah (Tholib Setiady, 2010).
Manusia dilahirkan ke dunia dengan membawa kepribadian yang berbeda
satu sama lain.

4
B. Pembahasan (Minimal 7 Halaman)
Konsep anak adalah potensi, bila dilihat dari segi kedudukannya, anak
adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan
pertumbuhan menurut potensi (kemampuan) masing-masing, mereka memerlukan
bimbingan dan pengarahan serta pendampingan yang konsisten menuju ke arah
titik optimal potensinya.Dalam pandangan yang lebih modern, anak didik tidak
hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran pendidikan melainkan juga
diperlakukan sebagai subyek pendidikan, yaitu dengan melibatkan mereka dalam
memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar, karena menganggap anak
didik memiliki potensi.
Pandangan modern juga menyatakan bahwa, sebagaimana John Dewey, anak
memiliki kekuatan (potensi) alamiah yang diwarisi sejak lahir (man's natural
power) yaitu bakat dan kemampuan (predisposisi) atau potensi dasar berupa akal
sehingga anak didik dapat mengatasi segala problematika hidupnya baik yang
berupa tantangan, hambatan, ancaman maupun gangguan yang timbul dari
lingkungannya.Sehubungan dengan itu Wasty Soemanto menyatakan bahwa akal
sama dengan intelegensi yang berkaitan dengan potensi untuk belajar dan
menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap situasi
yang kurang dikenal atau dalam pemecahan masalah.
Dengan demikian, potensi yang dimiliki manusia mempunyai kekuatan-
kekuatan yang harus dikembangkan, dan hal ini menjadi perhatian John Dewey.
Dari situlah nampak bahwa J. Dewey menempatkan manusia sebagai makhluk
biologis yang utuh dan menghormati harkat dan martabat manusia sebagai subyek
di dalam hidupnya. Adapun sebagai bentuk penghormatannya terhadap harkat dan
martabat manusia sebagai subyek di dalam hidupnya, J. Dewey meletakkan dasar-
dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak untuk bersikap dan berbuat sesuai
dengan cara dan kemampuannya masing-masing dalam upaya meningkatkan
kecerdasan dan daya kreasi anak tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh
orang lain.
Oleh karena itu ia tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Karena,
pendidikan akan mematikan keinginan para pelajar untuk hidup sebagai pribadi
yang gembira menghadapi pelajaran dan sekaligus daya kreasi baik secara fisik
maupun psikis anak didik.Salah satu usaha untuk mewujudkan potensi dasar yang
berupa bakat dan kemampuan akal yang masih perlu dikembangkan agar dapat
berfungsi secara optimal adalah melalui pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas maka cara memberi pengajaran harus disesuaikan
dengan tingkat perkembangan, cara berpikir dan cara bekerja peserta didik.
Penentuan bahan pengajaran harus disesuaikan dengan perhatian dan keperluan

5
peserta didik sebagai akibat dari insting yang merupakan daya-daya yang terdapat
pada diri anak didik selain nafsu.
Menurut John Dewey insting manusia berjumlah 13, akan tetapi yang
berhubungan dengan pendidikan berjumlah 4 (empat), yaitu: pertama, insting
sosial unuk melakukan hubungan dengan orang lain di sekitarnya; kedua,
insting membentuk dan membangun untuk membuat sebuah miniatur
bangungan saat bermain; ketiga, insting menyelidiki untuk menungkap rasa
ingin tahu anak tentang benda yang dipegang atau dilihat; dan keempat, insting
kesenian untuk mengeksplor bakat seninya yangnampak saat mengiasi
mainannya.Keempat insting tersebut sangat penting dalam pengajaran, maka
semuaya harus dikembangkan dan dipertimbangkan dalam memilih cara
pengajaran yang tepat untuk anak.
Kemudian pandangan bahwa anak adalah investasi, dalam konteks
pendidikan yang berkualitas, maka lembaga pendidikan dapat menjalankan
salah satu fungsi dan tugasnya untuk menyiapkan tenaga kerja yang profesional
dan trampil yang siap memasuki pasaran kerja secara kompetitif dalam pasar
global. Selain itu, lembaga pendidikan juga harus menjalankan tugas dan
fungsi lain, berupa pengembang ilmu dan pewaris budaya kepada peserta
didiknya. Lembaga pendidikan yang dapat menyiapkan manusia menjadi
tenaga kerja profesional dan trampil, pengembang ilmu dan pewaris budaya,
dan membangun kesadaran kolektif (Depdiknas,2006:15), memerlukan suatu
kebijakan dan kemauan politik yang concern terhadap pendidikan. Jika
pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang dapat menghasilkan tenaga kerja
profesional yang siap memasuki pasar global, maka pendidikan harus dijadikan
perioritas utama dalam pembangunan sumber daya manusia
(Tilaar,1999:74;Depdiknas,2006:15).
Anak adalah investasi, mudahnya mendapatkan artikel ini ditambah
beberapa teman yang alim mengiyakan konsep anak adalah investasi, membuat
penulis percaya bahwa marak juga dalam aneka ceramah agama yang memberi
arahan pentingnya pendidikan untuk anak. Tetapi arahan itu kemudian
berujung pada keuntungan yang akan diraih orangtua. Jika berhasil mengasuh
dan mendidik anak, anak tersebut akan memberi kebanggaan, kesejahteraan
dan bantuan di akhirat kelak. Karena salah satu amalan yang tidak terputus
setelah seseorang meninggal adalah doa dari anak yang soleh/solehah. Ini dia
yang begitu mengganjal. Bukan pada Hadist Riwayat Muslim tentang amalan
yang tidak terputus, tetapi cara pendekatan yang berpusat pada keuntungan
yang didapat orangtua, pendekatan yang terasa penuh pamrih.
Kenapa harus menggunakan sudut pandang ini saat berbagi cara
mengasuh dan mendidik anak? Kenapa harus anak ditempatkan sebagai obyek
dan orangtua sebagai penerima keuntungan (investasi)? Apakah ini salah satu

6
penyebab orang-orang berusaha keras untuk punya anak? Bagaimana dengan
pasangan tanpa anak? Jika hanya bersandar pada HR Muslim tersebut tanpa
melihat sudut pandang lain tentang eksistensi anak, maka orangtua yang
berbondong-bondong menjadikan anak sebagai investasi. Ada kelompok yang
diuntungkan (karena punya anak) dan kurang beruntung (karena tidak ada anak
alias tidak ada bahan investasi).
Konsep anak adalah investasi bagi orangtua, adalah motivasi sehingga
orangtua untuk terus menanamkan pendidikan agama (yang seringkali juga di
outsource ke pihak lain seperti sekolah/pesantren), berharap anak tersebut
menjadi anak soleh/solehan, lalu mendoakan orangtua setiap saat. Lebih parah
lagi jika orangtua tersebut kelakuannya minus dan merasa sudah 'aman' karena
ada anak yang nantinya menolong mereka di akhirat kelak.
Sudah lazim kita ketahui adanya anak-anak di sekolah Islam (juga agama
lain) berlatar belakang orangtua pejabat yang nakal dan korup, spesimen artis
yang wallahualam sumber kekayaannya, atau pengusaha/politisi yang
melakukan praktik tidak terpuji. Jadi mereka pikir, tugas mereka mendidik
sudah cukup dengan mencari uang, lalu serahkan bagian lain ke sekolah. Kalau
anak nakal, itu salah gurunya. Kalau anak membangkang, itu karena salah
didikan di sekolah. Sekolah dan guru (atau plus babysitter) ditekan untuk
menciptakan anak sesuai keinginan orangtua, yang nurut, soleh dan solehah,
sehingga sang orangtua bebas menjadi pendosa, toh nanti ada doa anak yang
akan menolongnya.
Kalau tidak mau contoh yang ekstrim, secara umum para orangtua
muslim yang cukup agamis akan mendoktrin konsep agama yang dia anut pada
anaknya, berharap anak tersebut yang akan membimbingnya di sakaratul maut
dan kemudian menolong mereka dari api neraka melalui doa.
Sementara pandangan anak adalah kertas putih, John Locke (1690)
mengungkapkan, sebuah informasi dimasukkan ke dalam pikiran, ia akan
diproses dan dibentuk oleh pengalaman sensoris secara murni. Ia berasumsi
bahwa manusia bebas mengolah pikirannya sendiri. Poin komprehensif Locke
(1690) ini mengacu pada perolehan pemahaman dan pengetahuan manusia.
Kemudian mempengaruhi banyak filosof seperti Berkeley dan Hume (M
ImtiazSubhani dan Amber Osman, 2011) untuk meneliti keberfungsian
mental manusia dalam Tabula rasa erat kaitannyadengan pengalaman, dan
dengan hal ini John Locke tidak mengakui adanya intuisi yang membangun
pemahaman manusia. Segala yang diketahui oleh seorang anak hanyalah akibat
dari apa yang diajarkan oleh orangtuanya. Setiap anak lahir dengan
kemampuan yang sama dan setelah itu perkembangannya berdasarkan apa
yang diberikan oleh orang tuanya. Teori ini tidak mengakui adanya
kemampuan awal yang ada dalam setiap diri anak. Jadi, sejak lahir, seorang

7
anak tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa, dan segala yang akan
terjadi merupakan tanggung jawab penuh dari pendidiknya, entah guru atau
orangtuanya. Tabula rasa juga tidak mengakui adanya kemampuan awal atau
bakat awal dan diwariskan dari orangtuanya.
Sampai sekarang, anggapan ini masih terus berkembang dan menjadi
pijakan empiris dalam memandang anak didik hanya membuat kita
membayangkan benda statis (kertas) yang dapat kita (pendidik maupun
lingkungan) tulis dengan tinta diatasnya. Padahal kita semua tahu bahwa
subjek pendidikan, baik pendidik maupun peserta didik, merupakan makhluk
psikologis yang dinamis. Jadi, metafor tersebut memudahkan, namun bila
ditelisik dari sudut pandang kognitif manusia, juga dapat dibilang
menyesatkan.
Pada zaman dahulu anak dipandang sebagai miniatur orang dewasa,
sehingga diperlakukan sebagai orang dewasa dengan fisik yang lebih kecil.
Anak-anak dipandang dengan sudut pandang filosofis yang berbeda-beda.
Aliran-aliran filsafat yang membahas tentang perkembangan anak antara lain
aliran empirisme, aliran nativisme, dan aliran naturalisme.
Para tokoh aliran “Empirisme” atau disebut juga aliran enviromnetalisme
berpendapat bahwa anak dilahirkan tanpa potensi apapun, anak lahir sebagai
“papan kosong” (tabula rasa). Perkembangan individu itu sepenuhnya
ditentukan oleh faktor lingkungan/pendidikan, sedangkan faktor dasar/
pembawaan tidak berpengaruh sama sekali. Aliran empririsme ini menjadikan
faktor lingkungan/pembawaan maha kuasa dalam menentukan perkembangan
seseorang individu. Tokoh aliran ini adalah John Locke.
Kemudian menurut Al-Qur’an, dalam konteks penciptaan manusia,
fitrah banyak dimaknai sebagai sebuah kecenderungan yang dimiliki oleh
manusia untuk percaya (iman) kepada adanya Allah. Pendapat ini merujuk
kepada ayat al-Qur’an yang artinya: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu
mengeluarkanketurunan anak-anak Adam dari tulang sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukanlah
Aku ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab : “Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi”.
Ayat di atas menggambarkan betapa manusia telah diambil ke-
saksiannya oleh Allah terhadap keberadaan-Nya dan manusia mengakui adanya
Allah. Kesaksian inilah yang merupakan kecenderungan manusia sejak lahir
untuk beriman kepada Allah. Namun demikian, pemaknaan fitrah sebagaimana
di atas dalam kaitannya dengan pendidikan Islam belum menyentuh seluruh
aspek psikologis manusia, karena hanya menyentuh aspek kepercayaan saja
dan manusia cenderung--dengan pengakuannya itu--fatalis dan passif, yaitu
manusia dengan otomatis membawa imannya dan dituntut untuk dapat

8
menyembah dan melaksanakan perintah Tuhannya. babak akhir penciptaannya,
Allah meniupkan ruh-Nya kepada Adam dan menyuruh kepada para malaikat
untuk hormat kepadanya.
Pada saat peniupan ruh Allah kepada Adam itulah, Adam memiliki sifat-
sifat yang dimiliki Allah. Perbedaannya adalah jika Adam memiliki sifat
melihat, mendengar, mengetahui, hidup, maka Allah memiliki sifat Maha
Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Hidup dan seterusnya.
Atau dengan kata lain, Allah memiliki sifat-sifat dengan segala kesempurnaan-
Nya dan manusia memiliki sifat-sifat itu dengan segala keterbatasannya.
Dengan keterbatasan itulah manusia membutuhkan pertolongan kepada
Tuhannya dalam upaya memenuhi kebutuhannya. Dengan keadaan ini, maka
manusia menyadari akan keterbatasannya dan mengakui ke-Maha Kuasa-an
dan ke-Maha Sempurna-an Allah.
Sifat-sifat ketuhanan yang ditiupkan kepada manusia itulah yang harus
ditumbuhkembangkan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan
perorangan maupun dalam hubungannya dengan masya-rakat, karena
kemuliaan seseorang ditentukan oleh sejauh mana seseorang mampu
mengembangkan potensi-potensi yang berasal dari sifat-sifat ketuhanan itu.
Muhaimin dkk memberikan pengertian bahwa fitrah adalah sebagai alat-
alat potensial dan potensi-potensi dasar yang harus diaktualisasikan dan
ditumbuh kembangkan dalam kehidupan nyata di dunia. Untuk menguatkan
pendapatnya tersebut Muhaimin dkk mengutip pendapat Abdul Fatah Jalal
yang merinci alat-alat potensial manusia ke dalam beberapa hal. Menurut
AbduI Fatah Jalal, manusia itu dianugerahi 5 macam alat potensial yang dapat
digunakan untuk meraih ilmu pengetahuan. Kelima alat tersebut adalah:
1. al-lams & As-Syums (alat peraba dan alat pencium/pembau),sebagaimana
firman Allahdalam Q.S. al-An'am ayat 7 dan Q.S. Yusuf ayat 94.
2. As-Sam'u (alat pendengaran). Penyebutan alat ini dihubungkan dengan
penglihatan danqalbu, yang menunjukkan adanya saling melengkapi antara
berbagai alat untuk mencapai ilmu pengetahuan, sebagaimana firman Allah
dalam Q.S. al al-isra' ayat 36, aI-Mu'minun ayat 78, al-Sajdah ayat 9, dan
sebagainya.
3. Al-Absar (pengtihatan). Banyak ayat aI-Qur'an yang menyeru manusia
untuk malihat danmerenungkan apa yang dilihatnya, sehingga dapat
mencapai hakekatnya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-A'raf ayat
185, Yunusayat 101, al-Sajdah ayat 27 dan sebagainya.
4. Al-‘aql (akal atau daya berfikir). Al-Qur'an memberikan perhatian khusus
terhadappenggunaan akal dalam berfikir, sebagaimana firman Allah dalam
Q.S. Al Imran ayat 191. Dalam AI-Qur'an dijelaskan bahwa penggunaan
akal memungkinkan diri manusia untuk terus ingat (dzikr) dan memikirkan

9
atau merenungkan ciptaan-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. al-
Ra'd ayat 19. Dan penggunaan akal memungkinkan manusia mengetahui
tanda-tanda (kebesaran atau keagungan) Allah serta mengambil pelajaran
dari padanya.
5. Al-qalb (kalbu). HaI ini termasuk alat ma'rifah yang digunakan manusia
untuk dapatmencapai ilmu, sebagaimana firman Allah Q.S. al-Hajj ayat 46,
Q.S. Muhammad ayat 24 dan sebagainya. Kalbu ini mempunyai kedudukan
khusus dalam ma'rifah ilahiyah, dengan kalbu manusia dapat meraih
berbagai ilmu serta rna'rifah yang diserap dari sumber iIahi.( Mujahid,
2005:28).
Kemudian yang terakhir bahwa anak sebagai keturunan atau
hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan
individu. Dalam hal ini hereditas diartikan sebagai “totalitas karakteristik
individu yang diwariskan orang tua kepada anak, atau segala potensi, baik fisik
maupun psikis yang dimiliki individu sejak masa konsepsi (pertumbuhan ovum
oleh sperma) sebagai pewarisandari pihak orang tua melalui gen-gen”.9 Bisa
dikatakan bahwa hereditas adalah pewarisan atau pemindahan biologis,
karakteristik individu dari pihak orang tua.
Hereditas adalah kecenderungan untuk berkembang mengikuti pola-pola
tertentu, seperti kecenderungan untuk berjalan tegak, kecenderungan
bertambah besar, kecenderungan untuk menjadi orang yang lincah.
Kecenderungan ini tidak hanya terdapat selama masa kanak-kanak, melainkan
tetap ada pada diri kita selama kita masih hidup. Akan tetapi, kecenderungan
tersebut tidak akan terwujud menjadi kenyataan, jika tidak mendapatkan
kesempatan atau rangsangan dari luar untuk berkembang.
Menurut Witherington seperti yang dikutip oleh H. M. Arifin, hereditas
adalah suatu proses penurunan sifat-sifat atau benih dari generasi ke generasi
lain, melalui plasma benih, bukan dalam bentuk tingkah laku melainkan
struktur tubuh. Hal ini senada dengan ungkapan Rifa Hidayah, hereditas adalah
proses penurunan/pemindahan ciri-ciri khas generasi yang satu ke generasi
berikutnya dengan melalui plasma benih.13 Jadi yang diturunkan adalah
stukturnya dan bukan perilakunya. Jadi, kita dapat mengatakan bahwa sifat-
sifat atau ciri-ciri pada seorang anak adalah keturunan, jika sifat-sifat atau ciri-
ciri tersebutdiwariskan atau diturunkan melalui sel-sel kelamin dari generasi
yang lain.
Dalam implementasi pendidikan anak, guru dan orang tua memiliki
keharusan untuk memperhatikan periodisasi perkembangan psikis anak.
Menurut Kohntamn, anak memiliki periodisasi perkembangan psikologis, yaitu
masa vital 0- 2 tahun, masa estetis 2-7 tahun, masa intelektual 7-13 tahun, masa
sosial 13/14 -20/21 tahun. Masa vital ini dimulai dengan kelahiran anak. Bayi

10
lahir dalam keadaan yang sangat lemah. Ia tidak akan mampu hidup terus tanpa
bantuan orang lain. Manusia lain terutama ibunya, akan membantu bayi yang
baru lahir itu untuk dapat hidup terus. Jadi bayi, begitu juga setiap orang,
memerlukan orang lain. Dengan perkataan lain, dalam proses pertumbuhan
setiap orang tidak dapat berdiri sendiri. Setiap manusia memerlukan
lingkungan dan senantiasa akan memerlukan manusia lain.

11
C. Tanggapan (Minimal 2 Halaman)
Adapun tanggapan tentang materi ini bahwa kemajuan suatu bangsa ditandai
dengan majunya kesempatan memperoleh pendidikan yang luas dan berkualitas
bagi masyarakatnya. Pendidikan yang berkualitas dan dinikmati secara luas oleh
setiap anggota masyarakat bangsa, termasuk anak usia dini merupakan usaha
bangsa itu untuk memperoleh kualitas dirinya. Dengan kualitas diri yang
diperoleh lewat pendidikan, (Tilaar, 1999:34) maka bangsa ini akan sanggup
hidup secara tangguh dalam masyarakat dunia yang ditandai dengan kehidupan
yang penuh dengan tantangan dan kompetitif dan penuh tantangan itu
memerlukan modal kemampuan manusia yang berkualitas.
Kualitas sumber daya manusia masa kini menjadi kunci utama untuk meraih
masa depan (Kompas, 2006), termasuk program pengembangan anak usia dini
(Kompas,2007), sebagai langkah awal penyiapan kualitas sumber daya manusia.
Mereka yang berkualitas akan mampu memprediksi apa yang terjadi di depan, dan
merealisasikan apa yang menjadi kebutuhan di masa depan. Mereka pulalah yang
kelak akan mampu memetik manfaat dan menikmati berbagai produk kehidupan
paling maksimal.
Penulis menyimpulkan, bahwa potensi dalam perspektif Psikologi Barat
adalah hanya bertumpu pada aspek dimensi kemanusiaan saja, tidak ada unsur
atau tidak mengenal aspek tuhan. Artinya, anak memiliki potensi karna adanya
perlakuan dari luar bukan bawaan dari jiwa anak sendiri.Selanjutnya menurut
tokoh Psikologi modern yakni Fu’ad Nashori (2003:89), beliau berpendapat
bahwa Manusia memiliki beragam potensi diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Potensi Berfikir
Manusia memiliki potensi berfikir. Seringkali Allah SWT menyuruh
manusia untuk berfikir, maka berfikir. Logikanya orang hanya disuruh berfikir
karena ia memiliki potensi berfikir. Maka, dapat dikatakan bahwa setiap
manusia memiliki potensi untuk belajar informasi-informasi baru,
menghubungkan berbagai informasi, serta menghasilkan pemikiran baru.
2. Potensi Emosi
Manusia adalah makhluk yang memiliki emosi, hidup manusia diwarnai
dengan emosi. Setiap manusia memiliki potensi cita rasa, yang dengannya

12
manusia dapat memahami orang lain, memahami suara alam, ingin mencintai
dan dicintai, memperhatikan dan diperhatikan, menghargai dan dihargai.
Manusia akan sulit menikmati hidup secara optimal tanpa memiliki emosi.
Daniel Goleman menyebutkan adanya ratusan emosi yang dimiliki manusia.
Atas emosi beraneka ragam itu Goleman memilahnya kedalam tujuh emosi,
yaitu: amarah, rasa takut, kebahagiaan, cinta, terkejut, jijik dan rasa sedih
(Goleman, 1996:8-9).
3. Potensi Fisik
Adakalanya manusia memilki potensi yang luar biasa untuk membuat
gerakan fisik yang efektif dan efisien serta memiliki kekuatan fisik yang
tangguh.Orang yang berbakat dalam bidang fisik mampu mempelajari olah
raga dengan cepat dan selalu menunjukkan permainan yang baik.
4. Potensi Sosial
Pemilik potensi sosial yang besar memiliki kapasitas menyesuaikan diri
dan mempengaruhi orang lain. Kemampuan menyesuaikan diri dan
mempengaruhi orang lain didasari kemampuan belajarnya, baik dalam dataran
pengetahuan maupun ketrampilan.

Kemudian tanggapan penulis tentang anak adalah investasi, jika orangtua


berpegang pada prinsip anak adalah amanah, maka anak bukanlah obyek
melainkan subyek. Mereka sama saja dengan orangtua, sama-sama manusia yang
punya akal dan rasa. Mereka bukan investasi untuk kebaikan orangtua, mereka
adalah masa depan itu sendiri. Bagi penulis, anak itu sendiri adalah rejeki yang
luar biasa. Kita diberi kesempatan untuk belajar, menjadi lebih dewasa dan
memiliki cinta berlebih karena hadirnya anak. Sebelum kita memiliki anak
kandung, kita sudah mulai belajar tentang banyak hal seperti kesabaran, imajinasi,
kejujuran, kepolosan, ketulusan (dan banyak hal lain), melalui anak teman, anak
tetangga dan ponakan sendiri. Jadi sesungguhnya, seorang anak adalah rejeki
untuk semua orang, tidak hanya orangtuanya semata.
Kita bisa menangkap betapa adilnya pepatah 'butuh satu kampung untuk
membesarkan seorang anak'. Sebab sesungguhnya seorang anak berpotensi
membawa perubahan (baik) untuk satu kampung, bahkan lebih! Inilah yang lebih
tepat dijadikan makna investasi. Mendidik anak-anak generasi hari ini dengan
baik agar masa depan masyarakat luas juga baik, bahkan lebih baik. Orangtua
adalah medium hadirnya anak, menjadi ujung tombak pendidikan dan
pengasuhannya. Sementara 'orang sekampung' menjadi support system yang tidak
bisa dipisahkan. Setiap orang dewasa memiliki tanggung jawab atas anak-anak di
sekitarnya, sesuai kapasitas masing-masing.
Kegagalan mengasuh anak dapat berakibat fatal bagi masyarakat umum.
Sebaliknya, kesuksesan dalam membesarkan anak akan terlihat melalui peran

13
serta anak tersebut nantinya untuk masyarakat. Mendoakan anak menjadi
'penolong orangtua' terasa kerdil dibandingkan mendoakan anak menjadi 'manusia
yang berguna'. Jangan pandang anak Anda sebagai investasi pribadi, dan jangan
ajak-ajak orang lain memandang anak sebagai investasi pribadi. Hargai akal dan
rasa mereka, seperti Anda ingin dihargai atas pilihan-pilihan Anda oleh orangtua.
Jika Allah yang Maha Adil mengetahui tulusnya kita menjaga amanah anak ini,
tanpa pamrih, tanpa permintaan pribadi, saya yakin ada kebaikan yang dapat kita
tuai.
Oleh karena itu, perencanaan pendidikan anak sejak dini untuk jangka
panjangnya ialah suatu keharusan bagi orang tua. Salah satu cara mudah untuk
menyiapkan anak berdaya saing global yaitu orang tua bisa menyekolahkannya di
sekolah yang bagus. Di era modern ini, peran orang tua baik di daerah maupun di
kota tidak jauh berbeda. Mereka memiliki andil besar dalam membimbing dan
mengarahkan anak-anaknya menjadi pribadi yang tidak hanya unggul di segi
pendidikan namun juga pada akhlakul kharimahnya.
Kemudian pandangan anak adalah kertas putih dikembangkan oleh Jhon
Locke, ia lahir di Wrington, Inggris pada tanggal 29 Agustus tahun 1632 dan
meninggal pada tanggal 28 Oktober 1704 di Essex, Inggris. Dia menggagas teori
berdasarkan tradisi Francis Bacon. John Locke diberi gelar Bapak Liberalisme
Klasik. Sebagian ahli sejarah berpendapat teori liberalism John Lock direfleksikan
pada Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat.15 Pendapat John Locke yang
selalu dipandang sebagai ide besar empirisme adalah pikiran adalah tabula rasa
(batu tulis yang kosong).
Locke percaya bahwa pengalaman masa anak-anak sangat menentukan
karakteristik seseorang ketika dewasa. Locke menyarankan para orang tua untuk
menghabiskan waktu bersama anak-anak mereka dan membantu anak-anaknya
menjadi anggota masyarakat yang berguna.
John Locke (1632-1704), bapak aliran ini pada zaman modern
mengemukakan teori tabula rasa yang secara bahasa berarti meja lilin.
Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan,
lantas pengetahuannya mengisi  jiwa yang kosong itu, lantas ia  memiliki
pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama
kelamaan ruwet, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Berarti, bagaimana pun
kompleks (ruwet)-nya pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada
pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah
pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman indera itulah sumber pengetahuan
yang benar. Karena itulah metode penelitian yang menjadi tumpuan aliran ini
adalah metode eksperimen.
Sementara pandangan anak adalah fitrah, merupakan konsep bahwa
kemampuan-kemampuan dasar dan kecenderungan-kecenderungan yang murni

14
bagi setiap individu. Kemampuan- kemampuan dan kecenderungan tersebut lahir
dalam bentuk yang sederhana dan terbatas kemudian saling mempengaruhi
dengan lingkungan sehingga dapat tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik
atau sebaliknya.(Muhammad Fadlil, 1986:65).
Dari berbagai pengertian fitrah diatas, dapat disimpulkan bahwa fitrah terbagi
menjadi dua, yaitu: Pertama fitrah ilahiyyah (Kecendrungan bertauhid dan
beragama). Ke dua yaitu fitrah jasadiyyah yang terkait dengan alat-alat potensial
dan kemampuan-kemampuan dasar yangdimiliki manusia. Namun demikian
Muhaimin belum menjelaskan konsep fitrah berdasarkan perspektif psikologis
manusia sejak dilahirkansampai ia mencapai kesempurnaan hidup. Dalam
perspektif psikologis, fitrah manusia sebagai potensi dasar, menurut Ibnu
Taimiyah, dibagi dalam tiga macam daya. Ketiga daya tersebut--sebagaimana
dikutip oleh Juhaja S.Praja adalah:
1. Daya intelektual (quwwah al-‘aql), yaitu potensi dasar yang memberikan
kemampuan kepada manusia untuk membedakan sesu-atu itu baik atau buruk.
Dengan daya intelektualnya manusia dapat mengetahui dan mempercayai ke-
Esa-an Allah.
2. Daya ofensif (quwwah al-syahwah) yaitu potesi dasar yang dimiliki manusia
untuk mampu menerima obyek-obyek yang menguntung-kan dan bermanfaat
bagi kehidupannya, baik jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan
seimbang.
3. Daya defensif (quwwah al-ghadlb) yaitu potensi dasar manusia untuk mampu
menghindarkan diri dari obyek-obyek dan keadaan yang membahayakan dan
merugikan dirinya.
Kemudian anak adalah keturunan, manusia dilahirkan ke dunia dengan
membawa kepribadian yang berbeda satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa
sumber utama yang menimbulkan adanya perbedaan-perbedaan dari kepribadian
setiap manusia disebabkan oleh tiga faktor, yaitu: faktor pembawaan, faktor
keturunan, dan faktor lingkungan (environtment).
Pada dasarnya ciri-ciri pembawaan manusia yang essensial dari berbagai
“ras” dan kelompok “etnis” adalah sama, tetapi sifat-sifat spesifik yang
disembunyikannya pada masing-masing individu sangat bervariasi setiap individu
pada saat konsepsi menerima warisan genetik (keturunan) dari kedua orang tuanya
yang akan memberikan potensi bagi perkembangan dan tingkah lakunya
sepanjang hidupnya.

15
D. Simpulan (Maks 2 Halaman)
Adanya perbedaan individual menuntut adanya perlakukan secara individual
dalam sistem pendidikan. Perbedan indidual dapat dilihat dari kecerdasan, potensi,
minat, bakat maupun motivasi yang dimiliki masing-masing indivdu. Perbedaan
potensi, kecerdasan, dan faktor hereditas lainnya akan mempengaruhi pada
perhatian, kecepatan pemahaman, bahkan penerimaan peserta didik. Menurut
Hovland, sebagaimana dikutip Hidayah, bahwa perhatian, pemahaman dan
penerimaan pesan yang disampaikan akan menentukan apa yang akan dipelajari
oleh subjek mengenai isi pesan tersebut.
Pendidikan tidak boleh memaksakan terhadap kemampuan seseorang, akan
tetapi pendidikan bersifat membimbing dan mengarahkan agar potensi yang
dimiliki oleh anak dapat berkembang dengan baik. Belajar membutuhkan
kesiapan anak. Kondisi kesiapan individu untuk belajar sangat mempengaruhi
hasil belajar. Jika belajar dalam keadaan tidak siap maka tidak akan mampu
menghasilkan tujuan yang maksimal, karena itu untuk melihat kesiapan peserta
didik harus dilihat dari masing-masing-kesiapannya apakah siswa sudah siap
secara fisik, psikologis mapun lingkungan sosialnya memaksakan kesiapan anak
untuk belajar.
Maka dari itu, seorang pendidik harus mengetahui kondisi peserta didiknya
sebelum melaksanakan pembelajaran. Kondisi perbedaan peserta didik tersebut
akan mempengaruhi pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik, baik dalam
menentukan model pembelajaran, pendekatan pembelajaran, strategi
pembelajaran, metode pembelajaran, pemilihan media pembelajaran dan lain
sebagainya, bahkan sikap atau interaksi dalam melakukan pembelajaran.
Psikologi pendidikan umum ketika memandang pembawaan, keturunan dan
lingkungan berkembang menjadi empat aliran, yaitu empirisme, naturalisme,
nativisme, dan konvergensi. Dalam Islam muncul teori fithrah, dimana anak
mempunyai potensi keagamaan yang dibawa sejak lahir yang berupa potensi
keislaman. Di samping itu, potensi jasmani anak juga mengikuti keturunan yaitu
orang tuanya. Kondisi perbedaan peserta didik tersebut akan mempengaruhi

16
pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik, baik dalam menentukan model
pembelajaran, pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran, metode
pembelajaran, pemilihan media pembelajaran dan lain sebagainya, bahkan sikap
atau interaksi dalam melakukan pembelajaran.
Saran dan masukan kepada orang tua dan para pakar pendidikanbahwa proses
pembinaan tumbuh kembang anak usia lahir hingga dewasa dan secara
menyuluruh, yang mencakup aspek fisik dan non-fisik, dengan memberikan
rangsangan bagi perkembangan jasmani, rohani (moral dan spiritual ), motorik,
akal pikir, emosional, dan sosial yang tepat agar anak dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal. Dengan demikian dukungan dan kerjasama orang tua
demi keberhasilan pembelajaran sangat dibutuhkan.Komunikasi guru dan sekolah
dengan orang tua harus terjalin dengan lancar.

17
E. Daftar Bacaan (Minimal 5 Sumber)
1. Ahmadi, Abu, Nur Uhbiyati., Ilmu Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2001).
2. Akhyak. Profil Pendidik Sukses: Sebuah Formulasi dalam Implementasi
Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Surabaya: eLKAF, 2005).
3. Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il. Shahih Bukhari juz 5,
Mauqi’u al-Islam: dalam Software (al-Maktabah al-Syamilah, 2005).
4. Al-Ghazali, Abu Hamid, Bidayah al-Hidayah dalam Khawasyi
MiraqilUbudiyah, (Semarang: Toha Putra, tt).
5. Anwar, Saeful, Filsafat Ilmu al Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi,
(Bandung: Pustaka Setia, 2007).
6. Arifin, H. M., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 2006).
7. Arifin, H. M., Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniah Manusia,
(Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1976)

18

Anda mungkin juga menyukai