Anda di halaman 1dari 7

TUGAS INDIVIDU

FILSAFAT PENDIDIKAN

“MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PENDIDIKAN”

DI SUSUN

RAHMA EGA INDRIANI

22002222

DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH:

DRA. ZUWIRNA, M. PD, Ph. D, HP ELSA

RAHMAYANTI S,Pd., M.Pd, HP

MUKTADIL ARYA S,Pd., M.Pd, HP

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

TP.2022/2023
A. Keharusan Manusia untuk menjadi Manusia Dewasa

Manusia dihadapkan kepada suatu kenyataan bahwa ia harus melanjutkan


keberadaannya (eksistensinya). Hakikatnya manusia harus menjadi manusia idea yang
bersumber dari Tuhan yang diketahui melali ajaran agama yan diturunkanNya, bersumber
dari sesama dan budayanya bakan dari diri manusia itu sendiri. Manusia ideal adalah manusia
yang telah dan mampu mewujudkan berbagai potensinya secara optimal, sehingga beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat dan cerdas, berperasaan,
berkemauan, dan mampu berkarya; mampu memenuhi berbagai kebutuhannya secara wajar,
mampu mengendalikan hawa nafsunya; berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya.

Manusia ideal disebut sebagai manusia yang telah mencapai kedewasaan. Sehingga
dapat dikatakan bahwa keharusan manusia adalah untuk menjadi manusia dewasa atau untuk
mencapai kedewasaan.

B. Eksistensi dan Perkembangan Manusia bersifat Terbuka

1. Eksistensi Manusia bersifat Terbuka

Manusia bersifat terbuka artinya bahwa dalam eksistensinya manusia adalah makhluk
yang belum selesai mengadakan dirinya sendiri. Ia harus merencanakan dan terus menerus
mengupayakan ”mewujudkan” apa yang telah direncanakanya itu, untuk menjadi seseorang
pribadi tertentu sesuai pilihannya (bereksistensi).

2. Perkembangan manusia bersifat terbuka

Blok telah mengemukakan teori retardasi (teori perlambatan dan perkembangan).


Teorinya menunjukan bahwa perkembangan hewan bersifat terspesialisasi (tertutup),
sedangkan perkembangan manusia bersifat belum terspesialisasi (terbuka). Manusia bersifat
terbuka artinya manusia memiliki berbagai potensi untuk mampu menjadi manusia, misalnya
: potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, potensi untuk dapat berbuat baik,
potensi cipta, rasa, karsa.

C. Manusia sebagai Makhluk yang Perlu Bantuan

Dalam perjalanan hidupnya, anak manusia masih harus belajar untuk ”hidup”, adapun
hal tersebut mengimplikasikan adanya ketergantungan dan perlunya anak memperolah
bantuan dari orang dewasa. Bagi anak manusia, insting, nafsu, dan semua potensi itu belum
mencukupi untuk dapat langsung menjalani dan mengahadapi kehidupan serta untuk dapat
mengatasi semua masalah dan tantangan dalam hidupnya. Untuk dapa mewujudkan semua
potensinya itu, anak manusia mempunyai ketergantungan kepada orang dewasa.

D. Manusia sebagai Makhluk yang Perlu dididik dan Perlu Mendidik Diri

Manusia belum selesai menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi


manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia, untuk menjadi manusia ia perlu
dididik dan mendidik diri. ”Manusia dapat menjadi manusia hanya melalui pendidikan”,
demikian kesimpulan Immanuel Kant dalam teori pendidikannya (Henderson, 1959).
Peryataan tersebut sejalan dengan hasil studi M.J. Langeveld yang memberikan identitas
kepada manusia dengan sebutan ”animal Educandum” atau hewan yang perlu didik dan
mendidik diri (M.J.Langeveld, 1980)

Empat Prinsip yang menjadi alasan mengapa manusia perlu mendidik.


a. Manusia belum selesai mengadakan dirinya sendiri
b. Keharusan manusia untuk menjadi manusia dewasa
c. Perkembangan manusia bersifat terbuka
d. Manusia sebagai makhluk yang lahir tak berdaya, memiliki ketergantungan
dan memerlukan bantuan

E.Manusia sebagai Makhluk yang Dapat Dididik

N. Drijakarya S.J. (1986) menyatakan bahwa manusia mempunyai atau berupa


dinamika (manusia sebagai dinamika), artinya manusia tidak pernah berhenti selalu dalam
keaktifan, baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya. Dinamika mempunyai arah
horisontal (ke arah sesama dan dunia) maupun kearah transedental (kearah Yang
Mutlak).Karena itu dinamika manusia mengimplikasikan bahwa ia akan dapat dididik.
Manusia (anak didik) hakikatnya adalah makhluk sosial, ia hidup bersama dengan
sesamanya ini akan terjadi hubungan pengaruh timbal balik dimana setiap individu akan
menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Sebab itu, maka sosialitas mengimplikasikan
bahwa manusia akan dapat dididik.

5. Prinsip antropologis yang melandasi kemungkinan manusia akan dapat dididik, yaitu :

 Prinsip Potensialitas
 Prinsip Dinamika
 Prinsip Individualitas
 Prinsip Sosialitas

F. Batas-batas Pendidikan

1. Masalah Batas Pendidikan

Sebagaimana dikemukakan oleh M.I. Soelaeman (1988:42-51) mengenai batas-batas


pendidikan ini terdapat dua permasalahan, yaitu :

a. Batas pendidikan
b. Batas kemungkinan untuk mendapatkan pendidikan atau untuk dididik
2. Jenis Batas Pendidikan

Batas pendidikan dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:

a.Batas bawah pendidikan

b.Batas atas pendidikan

c.Batas pendidikan berkenaan dengan pribadi anak didik.

1. Batas bawah dan Batas atas pendidikan

Batas bawah adalah ketika anak didik mengenal kewibawaan yaitu kurang lebih sekitar
usia 3,5 tahun. Batas atas pendidikan adalah ketika tujuan pendidikan telah tercapai atau
ketika anak mencapa kedewasaan.

2. Batas Pendidikan berhubungan dengan pribadi anak didik.

Praktek pendidikan hendaknya dilaksanakan dengan memperhatikan dan

3
mempertimbangkan anak didi. Pendidik dalam melaksanakan peranan-peranannya
hendaknya

tetap menghormati pribadi anak didik. Jangan sampai anak pendidik mengorbankan
pribadi anak didik. M.J.Langeveld (1980:34) pernah mengingatkan bahwa ”pergaulan yang
tidak menghormati keanakan itu tidak menunjukan kekurangan dan ketidaksempurnaan
pedagogis”.

3. Batas Kemungkinan dididik

Batas pendidikan hanya berurusan dengan potensi atau bakat mana yang harus
dikembangkan, bagaimana cara mengembangkannya, dan sejauhmana potensi atau bakat
yang ada pada diri anak didik telah dikembangkan. Selain itu, batas kemungkinan dididik
berhubungan dengan jenis kelamin anak didik, yaitu bagaimana mengembangkan anak laki-
laki menjadi laki-laki dan anak prempuan menjadi perempuan.

4. Batas pendidikan bersifat individual

Batas pendidikan tidak bisa disamaratakan untuk anak yang satu dengan anak lainnya.

5. Dasar dan ajar

 Pembawaan/dasar (nature) atau pendidikan/ajar memiliki 3 aliran pokok, yaitu:


 Nativisme

Tokoh aliran nativisme adalah Schoupenhauer. Penganut teori ini berasumsi bahwa
setiap individu (anak) dilahirkan kedunia dengan mmbawa bakat atau potensi yang
merupakan faktor turunan yang berasal dari orang tuanya. Bakat atau potensi ini diyakini
menjadi faktor penentu perkembangan individu selanjutnya setelah ia dilahirkan. Teori ini
dikenal sebagai teori yang pesimistik terhadap peranan ajar/pendidikan (nature).

 Empirisme

Tokoh aliran empirisme antara lain John Locke dan J.B. Watson. Mereka berasumsi
bahwa setiap anak dilahirkan ke dunia dalam keadaan bersih ibarat papan tulis yang belum
ditulisi. Mereka tidak percaya kepada faktor bakat atau potensi yang merupakan turunan atau
hereditas sebagai penentu perkembangan individu (anak didik).
Implikasi teori empirisme terhadap pendidikan yakni memberikan kemungkinan
sepenuhnya bagi pendidik (pendidikan/ajar/nurture) untuk dapat membentuk kepribadian
anak didik, tanggung jawab pendidikan sepenuhnya ada di pihak pendidik

 Konvergensi

Tokoh aliran ini antaralain, William Stern. Penganut aliran ini berasumsi bahwa
perkembanga individu ditentukan baik oleh faktor bakat/potensi yang merupakan turunan
maupun oleh faktor lingkungan/pengalaman. Implikasi teor ini terhadap pendidikan yakni,
bahwa perkembangan anak didik mendapat pengaruh baik dari bakat bawaan maupun dari
lingkungan, termasuk dari pendidik -alt:auto;margin-left:54.0pt; text-align:justify;text-
indent:0cm;mso-list:l6 level1 lfo5;tab-stops:72.0pt'>1. Fungsi transmisi (konservasi)
kebudayaan masyarakat

 Fungsi sosialisasi (memilih dan mengajarkan peranan social)


 Fungsi integrasi social
 Fungsi mengembangkan kepribadian anak didik
 Fungsi mempersiapkan anak didik untuk suatu pekerjaan
 Fungsi inovasi/mentransformasi masyarakat dan kebudayaannya.

1. Tujuan dan fungsi pendidikan sekolah

Secara umum sekolah memiliki tujuan pendidikan sejalan dengan fungsi-fungsi


sekolah. Implikasinya, maka isi pendidikan di sekolah akan disesuaikan dengan jenjang dan
jenis sekolah yang bersangkutan. Adapun tujuan dan isi pendidikan masing-masing sekolah
tentunya telah terumuskan secara tertulis (formal) di dalam kurikulumnya.

2. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal

Sekolah merupakan kesatuan kegiatan-kegiatan menyelenggarakan pembelajaran


yang dilakukan oleh para petugas khusus dengan cara-cara terencana dan teratur menurut
tatanan nilai dan norma yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan.
3. Formalitas sekola merembes ke dalam kurikulum dan
pembelajaran

Formalitas sekolah berakar pada status para individu yang menjadi komponennya,
serta system nilai dan norma yang serba resmi. Perlu kita sadari bahwa selanjutnya
formalitas tersebut merembes ke dalam kurikulum dan cara-cara pembelajaran.

4. Karakteristik pendidikan di sekolah


 Secara factual, pendidikan di sekolah lebih menekankan kepada pengembangan
kemampuan intelektual
 Peserta didiknya bersifat homogen
 Isi pendidiknya terprogram secara formal/kurikulumnya tertulis
 Berjenjang dan berkesinambungan
 Waktu pendidikan terjadwal secara ketat, relative lama.
 Cara pelaksanaan pendidikan bersifat formal dan artificial
 Evaluasi pendidikan dilaksanakan secara sistematis
 Credentials ada dan penting.

Anda mungkin juga menyukai