Anda di halaman 1dari 6

Nama : Firana Fadzan

NIM : 2004166
Kelas : BK-2B-2020

Link video pemaparan materi oleh kelompok 3: https://youtu.be/hSEcHrMco8A


Link video pemaparan materi oleh kelompok 4: https://youtu.be/GUp1mbUG6ww

Resume Materi 3 (Manusia sebagai Makhluk Pendidikan)

A. Keharusan Manusia untuk Menjadi Manusia Dewasa


Manusia dihadapkan kepada suatu kenyataan bahwa ia harus melanjutkan
keberadaannya (eksistensinya). Karl Jaspers (dalam Syaripudin T. & Kurniasih,
2020, hlm. 128) menyatakan bahwa “To be a man is to become a man”. Eksistensi
manusia tiada lain adalah untuk menjadi manusia. Jadi, pada hakikatnya manusia
harus menjadi manusia ideal (manusia yang diharapkan, dicita-citakan, atau
menjadi manusia yang seharusnya).
Adapun manusia ideal yang dimaksud adalah manusia yang telah mampu
mewujudkan berbagai potensinya secara optimal, sehingga beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cerdas, berperasaan, berkemauan,
dan mampu berkarya, mampu memenuhi berbagai kebutuhannya secara wajar,
mampu mengendalikan hawa nafsunya, berkepribadian, bermasyarakat, dan
berbudaya. Makna manusia ideal itu disebut sebagai manusia yang telah mencapai
kedewasaan. Jadi dalam konteks pendidikan, dapat dikatakan bahwa keharusan
manusia adalah untuk menjadi manusia dewasa atau untuk mencapai kedewasaan.
B. Eksistensi dan Perkembangan Manusia bersifat Terbuka
Manusia bersifat terbuka, artinya bahwa dalam eksistensinya manusia adalah
makhluk yang belum selesai meng-ada-kan dirinya sendiri. Ia harus
merencanakan dan terus menerus berupaya “mewujudkan” apa yang telah
direncanakannya itu, untuk menjadi seorang pribadi tertentu sesuai pilihannya
(bereksistensi).
Perkembangan manusia bersifat terbuka, berbagai potensi mungkin
terwujudkan, mungkin kurang terwujudkan, atau mungkin pula tidak terwujudkan.
Manusia mungkin berkembang sesuai kodrat dan martabat kemanusiaannya
(memanusia), sebaliknya mungkin pula ia berkembang ke arah yang kurang atau
tidak sesuai dengan kodrat dan martabat kemanusiaannya (kurang atau tidak
memanusia).
C. Manusia Sebagai Makhluk yang Perlu Bantuan
Dalam perjalanan hidup manusia, anak manusia masih harus belajar untuk
“hidup”, hal tersebut mengimplikasikan adanya ketergantungan dan perlunya
bantuan dari orang dewasa. Sejak kelahirannya, anak manusia memang telah
dibekali insting, nafsu, dan berbagai potensi untuk dapat menjadi manusia atau
untuk dapat menjadi dewasa.
Manusia memiliki motif untuk mempertanggungjawabkan pendidikan bagi
anak-anaknya, karena itu agar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,
praktik pendidikan anak memerlukan pedagogik sebagai landasannya. Manusia
memiliki potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan potensi
untuk berbuat baik, tetapi di samping itu karena hawa nafsunya ia pun memiliki
potensi untuk berbuat jahat. Selain itu, manusia memiliki potensi untuk mampu
berpikir (cita), berperasaan (rasa), dan berkehendak (karsa).
Berbagai potensi yang dimiliki manusia, tidak otomatis terwujud dalam
perkembangan anak manusia setelah ia dilahirkan. Supaya bisa mewujudkan
semua potensinya itu, anak manusia mempunyai ketergantungan kepada orang
dewasa. Sebelum mencapai kedewasaannya dan dalam rangka mencapai
kedewasaannya, anak manusia memerlukan bantuan orang dewasa dalam rentang
waktu yang cukup lama.

D. Manusia sebagai Makhluk yang Perlu Dididik dan Perlu Mendidik Diri
Berbagai kompetensi atau kemampuan yang diperoleh manusia memerlukan
upaya bantuan dari pihak lain. Di sisi lain, manusia yang bersangkutan juga harus
belajar atau mendidik diri. Manusia harus mendidik diri karena dalam
bereksistensi yang harus meng-ada-kan atau menjadikan diri itu hakikatnya adalah
manusia itu sendiri.
Empat prinsip yang menjadi alasan mengapa manusia perlu dididik, yaitu:
1. Manusia belum selesai meng-ada-kan dirinya sendiri.
2. Keharusan manusia untuk menjadi manusia dewasa.
3. Perkembangan manusia bersifat terbuka.
4. Manusia sebagai makhluk yang lahir tak berdaya, memiliki ketergantungan
dan memerlukan bantuan.
Resume Materi 4 (Manusia sebagai Makhluk Pendidikan)
A. Manusia sebagai Makhluk yang Dapat Dididik
Pendidikan bertujuan agar seorang manusia menjadi manusia ideal atau
manusia dewasa. Ditinjau dari sudut pendidik, pendidikan diupayakan dalam
rangka membantu atau membimbing manusia (anak didik) agar menjadi manusia
ideal (manusia dewasa). Praktik pendidikan merupayakan upaya pendidik dalam
membimbing manusia (anak didik) yang antara lain diarahkan agar ia mampu
menjadi dirinya sendiri (menjadi seseorang/pribadi) atau menjadi seorang dewasa
sesuai dengan pilihan/cita-citanya sendiri. Pendidikan hakikatnya berlangsung
dalam pergaulan (interaksi/komunikasi) antarsesama manusia (antara pendidik
dengan anak didik). Pendidikan bersifat normatif, artinya dilaksanakan
berdasarkan sistem norma dan nilai tertentu.
Ada lima prinsip antropologis yang melandasi kemungkinan manusia akan
dapat dididik, yaitu:
1. Prinsip potensialitas.
2. Prinsip dinamika.
3. Prinsip individualitas.
4. Prinsip sosialitas.
5. Prinsip moralitas.
B. Manusia sebagai Makhluk yang Mampu Mendidik
Syaripudin (2015) berdasarkan riset hermeneutikannya atas pikiran-pikiran Ki
Hadjar Dewantara, mengidentifikasi enam asumsi mengapa manusia mau dam
mampu mendidik bagi generasi penerusnya, yaitu:
1. Manusia mempunyai naluri untuk memelihara hidup dan melanggengkan
keturunan (oerinstinct).
2. Manusia memiliki insting dan kecakapan untuk mendidik anak-anaknya.
3. Manusia khususnya para orang tua merasa terperintah oleh Tuhan untuk
memelihara dan melanggengkan keturunannya dengan baik.
4. Dengan cinta kasihnya, semua anak dengan sendirinya sejak kecil mendapat
pengaruh pendidikan dari para orang tuanya.
5. Manusia mampu menghasilkan kebudayaan, hidup berkebudayaan, termasuk di
dalamnya menghasilkan ilmu pendidikan.
6. Manusia memiliki intuisi pedagogis.

C. Batas-batas Pendidikan
Menurut Soelaeman (dalam Syaripudin dan Kurniasih, 2020, hlm. 142),
terdapat dua permasalahan mengenai batas-batas pendidikan, yaitu:
1. Batas pendidikan.
Batas pendidikan dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Batas bawah pendidikan atau saat pendidikan dapat mulai berlangsung
adalah ketika anak didik mengenal kewibawaan yaitu kurang lebih sekitar
usia 3,5 tahun.
b. Batas atas pendidikan atau kapan pendidikan berakhir, yaitu ketika tujuan
pendidikan telah tercapai atau ketika anak mencapai kedewasaan.
c. Batas pendidikan berkenaan dengan pribadi anak didik. Praktik pendidikan
hendaknya dilaksanakan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan
anak didik. Pendidik dalam melaksanakan peranan-peranannya hendaknya
tetap menghormati pribadi anak didik.
2. Batas kemungkinan untuk mendapatkan pendidikan atau untuk dididik.
Batas kemungkinan dididik diyakini bahwa manusia dilahirkan membawa
berbagai potensi atau bakat. Batas pendidikan hanya berurusan dengan potensi
atau bakat mana yang harus diwujudkan, bagaimana cara mewujudkannya, dan
sejauh mana potensi atau bakat yang ada pada diri anak didik telah diwujudkan.
Selain itu, batas kemungkinan dididik berhubungan dengan jenis kelamin anak
didik. Batas pendidikan bersifat individual, yaitu tidak dapat disamaratakan untuk
anak yang satu dengan anak yang lainnya.
Terdapat tiga aliran pokok tentang nature and nurture:
a. Nativisme
Tokoh aliran ini, yaitu Schoupenhauer. Penganut teori ini berasumsi bahwa
setiap individu dilahirkan ke dunia dengan membawa bakat atau potensi yang
merupakan faktor turunan (heredity) yang berasal dari orang tuanya. Bakat atau
potensi ini diyakini menjadi faktor penentu perkembangan individu selanjutnya
setelah ia dilahirkan. Implikasi teori Nativisme terhadap pendidikan kurang
memberikan kemungkinan bagi pendidik dalam upaya mengubah kepribadian
anak didik.
b. Empirisme
Tokoh aliran ini, yaitu John Locke dan J.B. Watson. Mereka berasumsi
bahwa setiap anak dilahirkan ke dunia dalam keadaan bersih ibarat papan tulis
yang belum ditulisi. Implikasi teori empirisme terhadap pendidikan, yaitu
memberikan kemungkinan sepenuhnya bagi pendidik (pendidikan/ajar/nurture)
untuk dapat membentuk kepribadian anak didik, tanggung jawab pendidikan
sepenuhnya ada di pihak pendidik.
c. Konvergensi
Tokoh aliran ini, yaitu William Stern. Penganut aliran konvergensi
berasumsi bahwa perkembangan individu ditentukan baik oleh faktor
bakat/potensi yang merupakan turunan (heredity) maupun oleh faktor
lingkungan/pengalaman. Implikasi teori konvergensi terhadap pendidikan,
yaitu perkembangan anak didik mendapat pengaruh baik dari bakat bawaan
(dasar/nature) maupun dari lingkungan, termasuk dari pendidik (ajar/nurture).
Kedua hal tersebut sama-sama memberikan kontribusinya terhadap
perkembangan anak didik. Teori konvergensi inilah yang cocok diadopsi dalam
rangka praktik pendidikan.

Referensi:
Syaripudin, T. & Kurniasih. (2020). Pedagogik Teoretis Sistematis. Percikan
Ilmu: Bandung.

Anda mungkin juga menyukai